Sabtu, 31 Mei 2014

Pure Love Prolog



            “Kau yakin?”
            Elanie menundukkan kepalanya, takut-takut dengan apa yang ia tanya tadi membuat ibunya marah. Elanie hanya keberatan, ia tidak yakin dengan rencana ayah dan ibunya sekarang.  Bukan Elanie tak mau, tapi ia juga ingin bebas seperti Eline, saudara kembarnya. Ibu Elanie yang berada di depannya meneguk teh hangat yang baru saja dibuat. Ayah Elanie memegang tangan Elanie lalu ia mengelus punggung tangan yang bergetar, berharap kegugupan putrinya menghilang. Ayah Elanie mengangguk kepala, ia yakin dengan apa yang akan ia lakukan pada putrinya. Putrinya sudah menginjak umur 24 namun ia masih belum memiliki suami. Jangankan suami, kekasih pun, ia tak punya. Masa kesuburan Elanie sebentar lagi akan habis. Masih ada 6 tahun untuk Elanie agar ia bisa membuat orangtuanya menimang cucu. Well, mungkin Elanie masih bisa memiliki anak diumur 30-an, tetapi itu bukanlah ide yang bagus. Elanie harus cepat-cepat menikah seperti saudara kembarnya, Eline.
            Eline sudah tidak lagi tinggal di rumah orangtuanya. Ia sudah memiliki suami lebih dulu dari Elanie. Sulit untuk Elanie untuk bergaul dengan teman-teman saudara kembarnya, Eline. Mereka hidup mudah, instan, dan bersenang-senang. Tidak dengan Elanie. Ia lebih senang berdiam di rumah, bermain dengan anjing kesayangannya, Timo, dan menulis cerita. Ia senang dengan ruangan tertutup. Ia bisa dibilang orang yang kurang pergaulan. Ia juga tidak bekerja, ia kuliah namun sudah lulus sejak dua tahun yang lalu. Sekarang ia tidak tahu harus bekerja menjadi apa. Ia menganggur. Tinggal di rumah orangtuanya dan kadang juga menyelip tidur di antara tubuh orangtuanya jika hujan. Ia anak yang manja. Yang mungkin akan dibenci oleh orang-orang sekumpulan yang mudah bergaul serta tak manja.
            Elanie mendesah, lalu ia mengangguk. “Baiklah, asalkan jangan seperti suami Eline. Aku tidak mau. Charlos selalu menggodaku, kau tahu,”
            “Dia memang penggoda, sayang. Charlos sudah menganggapmu sebagai adiknya. Dan calon suamimu ini tidak sama sekali mirip dengan Charlos. Ia menarik, tidak ada yang perlu kautakutkan, sayang,” ucap ibu Elanie yang berambut pirang dari samping tubuh Elanie. Tangannya  yang sudah keriput itu mulai mengelus rambut Elanie. “Kau akan menyukainya,”
            “Tapi aku tidak pernah bersama seorang laki-laki sebelumnya, Bu. Aku hanya takut jika ia tidak menyukaiku. Aku kaku. Aku mudah kikuk,”
            “Kita berdua tahu, tapi kau sudah berumur 24 tahun. Kau ingin menjadi perawan tua?”
            “Tidak!” Elanie langsung menyergah ucapan ayahnya itu.
            “Baik. Jika begitu, dua hari ke depan kau akan bertemu dengan calon suamimu. Bagus sayang,” ucap ibunya dengan lembut. Ia mengecup pipi Elanie lalu bangkit dari kursi bar dapurnya lalu berjalan menuju tempat cuci piring kotor. “Kau pasti akan menyukainya.”
            “Bagaimana jika ia tidak menyukaiku? Aku hanya takut jika ia tidak menyukaiku,” ucap Elanie takut-takut, ia menggigit bibir bawahnya, kepalanya tertunduk.  Keraguannya semakin terlihat jelas sekarang. Ternyata hal itu menular pada ayahnya yang sekarang mulai ragu akan keselamatan anaknya. Bagaimana jika anaknya tidak baik-baik saja bersama dengan pria ini?  Meski teman baiknya sudah meyakinkan ayah Elanie bahwa anaknya akan baik-baik saja jika tinggal bersama dengan anaknya –anak teman baik ayah Elanie. Ibu Elanie menghampiri Elanie dari belakang lalu memegang kedua pundak anaknya, ia berusaha membuat Elanie tenang. Jangan sampai anaknya menjadi perawan tua yang hanya mengelus anjingnya di atas kursi goyang. Ibu Elanie bahkan tidak pernah berniat untuk membayangkan hal itu, namun ternyata kejadian. Fakta bahwa Elanie tidak pernah berpacaran memang benar. Ia tidak mempunyai pengalaman dengan seorang lelaki. Dan ibu Elanie berharap calon suami Elanie dapat membuat Elanie nyaman dan terbiasa hidup bersama dengan seorang pria.
            Ibu Elanie bahkan tidak pernah bertemu dengan anak teman suaminya. Mengapa Elanie membuat segalanya menjadi sulit? Mereka hanya ingin melihat Elanie bahagia bersama dengan pasangan hidupnya. Jika ia tidak bisa menemukan belahan jiwanya, mungkin mereka –orang tua Elanie—bisa menemukannya. Keputusan ini adalah keputusan putus asa mereka. Jika berhasil, mereka akan pesta di atas ranjang. Jika tidak, mereka akan membakar ranjang.
            “Dia akan menyukaimu sayang,” ucap ibunya mengelus kepala Elanie. “Mata birumu akan membuatnya terpikat padamu. Rambutmu yang panjang ini akan ia elus seperti ibu mengelus rambutmu jika kau menangis. Kau hanya …kau sempurna, baby girl,”
            “Kau yakin? Apa kalian sudah pernah bertemu dengan pria ini?” Tanya Elanie mendongak, menatap ayahnya dengan kedua alis bertaut. Elanie memang sangat cantik. Matanya besar berwarna biru bening seperti mata air, ia memiliki bibir yang menggiurkan untuk dilumat, serta rambutnya yang mendukung kecantikan wajah Elanie. Mungkin kekurangannya keningnya yang cukup lebar serta buah dadanya yang tidak begitu besar. Ia selalu diejek oleh Eline karena buah dadanya tidak sebesar Eline. Eline lebih baik daripada Elanie. Ia masih memiliki buah dada dan keningnya biasa-biasa saja. Maka dari itu Elanie memiliki poni untuk menutupi keningnya. Eline memiliki mata yang sama seperti ayahnya, cokelat. Namun rambutnya sama dengan ibunya yang berwarna pirang. Ayah Elanie menurunkan rambut cokelatnya pada Elanie.
            Ayah Elanie menggeleng kepala. “Belum. Namanya Justin Bieber. Tetapi dia adalah anak dari teman ayah. Ayah yakin ia adalah pria baik-baik dan dia akan menyukaimu,”
            “Tapi yang kudengar dari Eline, biasanya orang-orang kaya seperti teman ayah itu suka bermain-main dengan wanita-wanita di luar sana. Minum bir. Ciuman. Uh, astaga, aku tidak bisa membayangkan betapa buruknya pria itu,”
            “Hey, jangan berprasangka buruk, nak. Belum tentu apa yang kaubilang adalah benar, sayang. Yang perlu kaulakukan hanyalah diam di kamar, menulislah, dan urus dirimu agar tetap hidup,”
            Elanie menatap ayahnya dengan raut wajah pasrah. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan selain mengikuti apa yang ayahnya katakan. Mungkin memang jodohnya ada di rumah pria itu. Setelah Elanie berpikir lama-lama, akhirnya ia baru sadar. Ia sekarang bersyukur karena orangtuanya melakukan perjodohan ini. Elanie gadis yang kaku, sampai dia mati pun, jika ia tetap kaku, ia tidak akan mendapatkan seorang pria. Beberapa detik kemudian ia mengangguk. Ia benar-benar seperti anak kecil yang disuruh pergi ke dokter gigi tapi jangan sampai ia menangis atau bertingkah gila selama diperiksa setelah itu orangtuanya akan membelikannya boneka.
            Dan ia berharap, ia memang mendapatkan bonekanya. Boneka hidupnya. Mungkin ia tidak akan mainkan boneka itu.

***


            Keinginan terbesar Elanie sekarang hanyalah ia bisa secepatnya keluar dari pertemuan ini. Ia tidak suka dilihati oleh banyak orang seperti ini. Ia merasa sebentar lagi, ia akan dimakan oleh manusia-manusia yang ada di hadapannya. Tangannya meremas tangan ibunya yang ia pegang, ia selalu ketakutan saat ia harus diperhadapkan oleh banyak orang. Well, sebenarnya, ia bersikap tertutup karena ia selalu ditindas oleh teman-temannya sewaktu SMA. Saudara kembarnya, Eline, selalu membelanya saat SMP atau SMA. Tetapi, dari semua tindasan yang ia terima, zaman SMA-nya adalah yang paling buruk dari semua. Ia beruntung memiliki Eline yang pemberani dan selalu membelanya. Elanie kadang cemburu karena ia tidak memiliki sifat pemberani seperti Eline. Dan sekarang, ia tidak memiliki Eline di sisinya. Yang ia punya hanyalah ayah dan ibu yang mengapit tubuhnya di tengah-tengah mereka. Elanie menundukkan kepalanya malu-malu. Rambut cokelat Elanie yang ia dapat dari ayahnya itu berhasil menutupi wajahnya yang cantik.
            Sebenarnya, apa yang akan ia lakukan di rumah besar seperti istana ini? Ayah dan ibunya sepertinya sudah sering bertemu dengan orang-orang ini. Elanie tidak pernah mengingat atau bahkan tahu teman-teman dari orangtuanya. Namun Eline. Eline adalah wanita yang mudah berbaur. Ia ramah kepada semua orang. Elanie sempat berpikir, apakah hidup sempurna adalah hidup yang dimiliki oleh Eline? Karena jika ya, Elanie bersedia mengikuti apa yang Eline lakukan. Satu orang pria berwajah 4 kepala itu mulai berbicara dengan suara yang lantang. Ia membuat kedua ujung lutut Elanie berciuman, kepalanya semakin menunduk. Pria itu berucap, mempersilahkan beberapa orang untuk masuk ke dalam ruangan besar ini. Elanie mulai mendongak dan melihat siapa yang muncul. Pertama adalah seorang pria bertubuh tegap, memakai setelan rapi dengan dasi berwarna biru. Pria itu memiliki mata biru yang sama seperti pria yang mempersilahkannya masuk ke ruangan. Lalu disusul dengan pria yang lebih muda, memiliki tahi lalat kecil di atas sudut bibirnya, rambutnya lebih panjang dan terlihat sangat mudah bergaul karena senyumnya yang menawan. Mata biru yang dimiliki pria kedua itu menatap pada Elanie lalu tersenyum ramah pada Elanie. Inikah pria yang akan dijodohkan dengan Elanie? Elanie menunduk kepala, tersipu malu atas senyum menawan pria itu, pipinya memerah.
            “Ini anak pertamaku, Angelo. Dan ini adalah anak keduaku, Robert. Mereka berdua telah memiliki istri. Mereka berdua adalah aset berharga di keluargaku. Aku bangga dengan mereka berdua karena telah membangun perusahaan yang kubangun menjadi lebih maju—dan berkat kau juga, Clinton,” ucap pria itu mengangguk dengan senyum penuh arti pada ayah Elanie yang membuat ayah Elanie balas mengangguk. Pria itu mempersilahkan kedua anaknya untuk duduk di samping istri mereka yang sedang menggendong anak. Ruangan ini terasa sesak bagi Elanie. Ia butuh udara. Dan sial sekali, mengapa pria yang kedua itu harus sudah memiliki istri? Padahal Elanie ingin bersama dengan pria itu.
            “Tetapi, mereka berdua bukan bintang utamanya malam ini—selain Elanie,” ucap pria itu membuat Elanie mendongak, pipinya tambah memerah. “Ayo, Justin. Masuklah, tidak apa-apa,” pria itu memanggil seseorang—hampir berteriak. Pintu kayu tua yang kokoh itu tidak memunculkan seorang pria sama sekali. Elanie jadi penasaran. Siapa anak ketiganya? Apa lebih tampan dari anak keduanya? Ada suara berisik-berisik dari luar ruangan ini. Seperti suara rengekan, lalu tiba-tiba bunyi dorongan ke pintu terdengar. Itu membuat pria yang memanggil Justin itu melangkah satu kali. Sebelum benar-benar melangkah pada pintu itu, akhirnya muncul seorang pria yang masuk dengan keadaan tak rapi. Ia mengancing satu kancing jas hitamnya berjalan sempoyongan ke arah ayahnya. Kepala Justin masih tertunduk saat ia melangkah, sampai akhirnya ia tak sengaja hampir menabrak tubuh pria yang memanggilnya tadi, sebelum pria yang memanggilnya itu menahan pundaknya.
            “Oh, sial! Ayah, kancingkan!” Perintah pria yang bernama Justin itu pada ayahnya. Dengan penuh kesabaran, ayah Justin mengancingkan jas hitam anaknya. Lalu ia merapikan sebentar pakaian anaknya dan rambut yang menutupi kening anaknya. “Terima kasih ayah, kau memang yang terbaik.” Ucap Justin mengecup pipi ayahnya.
            “Ya, ya, ayah tahu,” ucap ayah Justin dengan nada suara berusaha untuk menghargai anaknya. “Dan ini dia, bintang utama ki—“
            “Siapa?” Tanya Justin memotong ucapan ayahnya. Justin tidak sama sekali menoleh pada sekumpulan orang yang duduk di lima sofa di hadapannya. Ia hanya menatap ayahnya. Justin mulai melihat ke sekelilingnya, tetapi tidak pada bagian sofa. “Tidak ada Nicki Minaj.”
            “Bukan Nicki Minaj, Justin. Bintang utamanya adalah kau,” ujar ayahnya menepuk pundak Justin, berusaha untuk bersabar atas sikap anaknya yang seperti sosiopat –dan tepukan pundak ayah Justin semakin lama semakin mengencang, membuat Justin meringis sehingga ayahnya berhenti menepuk pundak Justin. Justin tersenyum lebar, ia senang menjadi bintang utama.Pusat perhatian. Tapi ia tidak senang ditindas. Akhirnya, Justin menoleh pada orang-orang yang terduduk di sofa. Orang-orang itu menatap Justin dengan raut wajah tegang, canggung, dan tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat. Satu detik kemudian terdengar suara tangisan bayi dari salah seorang wanita yang sedang menggendong bayi.
            “Permisi,” ucap wanita yang memakai gaun hitam itu dari sofa—istri dari Robert—untuk meninggalkan ruangan ini. Justin memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana lalu berjinjit satu kali dan mengembuskan nafas. Canggung. Benar-benar canggung. Elanie melihat Justin dari sofanya. Inikah pria yang akan ia nikahi? Ia kelihatan berandalan! Elanie tidak mau bersama dengan Justin. Ia seperti pemakai narkoba! Elanie menelan ludah.
            “Hai, semuanya,” sapa Justin mengangkat satu tangannya lalu menyembunyikannya kembali ke dalam kantong celananya. “Namaku Justin Bieber. Aku 27 tahun. Aku pengurus salah satu perusahaan ayahku. Dan aku tahu, aku tampan, terima kasih,” Justin mengangkat kedua tangannya seolah-olah ia menahan para penggemarnya untuk tidak berteriak-teriak padanya tanpa menatap para penggemarnya. Pria ini memang sangat percaya diri.
            “Paman Justin!” Seorang anak laki-laki bertepuk tangan di atas pangkuan ayahnya, Angelo.
            “LeBron, aku tidak percaya kau akan datang ke sini, dude! Wooh, aku bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi sekarang,” seru Justin berusaha untuk tidak bersikap begitu kasar, ia menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya, ia menatap apa pun yang ia bisa lihat kecuali daerah keluarganya yang berkumpul dan orang asing. Justin memang tidak tahu apa yang terjadi sekarang. Orangtuanya belum memberitahu Justin tentang perjodohan Justin dengan Elanie. “Dan sekarang aku ingin buang air kecil,” bisik Justin menundukkan kepalanya lalu menjijitkan kakinya satu kali lagi.
            Hening di tempat itu. Tidak ada yang berucap. Terutama Elanie. Ia sekarang telah diperhadapkan dengan jodohnya. Jodohnya. Tidak ingin suasana canggung menghancurkan acara sore ini, ayah Justin langsung menepuk tangannya satu kali.
            “Well, Justin. Kau di sini karena kau akan dijodohkan bersama seorang gadis cantik jelita –yang sepertinya tidak pernah disentuh oleh pria mana pun,” canda ayah Justin. “Elanie. Elanie Clinton. Silahkan maju ke depan sayang,” pinta ayah Justin selembut mungkin. Elanie menegang. Tubuhnya menjadi tegap lalu ayahnya berbisik pada Elanie untuk mengikuti apa yang ayah Justin katakan. Segera saja Elanie bangkit dari sofa lalu ragu-ragu maju ke depan untuk mendekati Justin. Ia berdiri di sebelah ayah Justin, bukan Justin. Mata Justin memerhatikan Elanie, lalu ia menelan ludahnya. Entah ada getaran apa saat ia menatap Elanie. Getaran ini tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Well, pernah, satu kali saat seorang wanita berusaha menggodanya. Pipi Justin memerah melihat Elanie lalu ia menundukkan kepala malu-malu.
            “Justin dan Elanie akan kami jodohkan. Dengan senang hati, kami keluarga Bieber menyambut kedatangan Elanie untuk masuk ke dalam bagian dari keluarga Bieber. Seperti yang kita ketahui, Justin belum mendekati wanita mana pun, itu cukup membuatku dan Lisa putus asa karena diumurnya yang ke-27 sekarang ia belum memiliki pasangan hidup. Dan sisi lain, Elanie pun belum pernah berpacaran—seperti apa yang kau katakan Clinton—sehingga kita berdua bersepakat untuk menyatukan dua insan yang tidak berpasangan ini menjadi satu pasangan yang serasi. Apa kalian bisa melihat betapa serasinya mereka berdua?” Tanya ayah Justin yang benar-benar pintar berbicara. Ia meraup bahu Justin dan Elanie—ia berada di tengah-tengah. Justin mengangkat kepala, begitu juga dengan Elanie lalu mereka berdua sama-sama tersenyum. Orang-orang yang ada di hadapan mereka ikut tersenyum lalu menganggukkan kepala mereka pelan-pelan secara tak sadar. Bagaimana tidak? Mereka memang terlihat sangat serasi dengan senyum menawan. Justin orang yang percaya diri sekaligus malu-malu tetapi Elanie orang yang kaku dan malu-malu. Ia seorang penurut. Dari fisik, mereka terlihat serasi. Hanya saja, Elanie atau Justin harus meninjau hubungan mereka lebih jauh lagi.
            Justin tidak mendengar apa yang ayahnya katakan selanjutnya. Ia dari tadi hanya memerhatikan Elanie yang berdiri di samping ayahnya dengan balutan gaun panjang selutut berwarna putih yang tidak begitu ketat serta ikat pinggang kecil berwarna emas yang melingkar di pinggangnya yang ramping. Poni Elanie membuat wajah Elanie semakin manis. Elanie menggigit bibir bawahnya yang membuat Justin terkesiap. Mengapa gadis itu melakukan hal itu pada Justin? Sekujur tubuh Justin seketika berkeringat. Justin ingin menikah dengan gadis ini sekarang juga, jika bisa. Tapi ia juga tidak percaya diri karena ini kali pertama ia akan berbicara hal-hal yang mungkin tidak pernah ia kira sebelumnya. Sebentar lagi ia akan menjadi seorang suami. Justin menelan ludahnya bersamaan ketika ayahnya selesai berbicara.
            “Sekarang, biarkan mereka berdua saling mengenal satu sama lain sementara kita meminum teh. Ayo, ikut aku.” Ajak ayah Justin meninggalkan mereka berdua di tempat. Orang-orang yang duduk di sofa itu mulai berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Ibu Elanie menatap Elanie dengan tatapan penuh arti. Sedangkan ayah Elanie terlihat cukup khawatir.  Justin melakukan tos dengan anak Angelo yang ia panggil LeBron itu lalu ditinggalkan begitu saja. Pintu kayu yang berat itu tertutup begitu saja.
            Hening.
            Hanya satu meter jarak mereka berdiri. Namun tidak ada satu pun di antara mereka berusaha untuk berbicara. Justin tentu tidak akan menyentuh tangan Elanie! Gila, ia tidak pernah ingin menyentuh tangan wanita sebelum ia menikah. Memikirkan untuk menyentuh tangan Elanie saja sudah menakutkan, bagaimana bisa perjodohan ini bisa berhasil? Justin mendesah. Demi mendapatkan gadis ini, Justin rela melakukan apa pun agar ia cepat menikah. Justin mulai berpikir, hal apa yang akan ia bicarakan dengan Elanie? Ia menjijit satu kali lagi sambil menggerakan kedua tangannya ke depan ke belakang.
            “Ap-apa kau ingin pergi ke kamarku?” Tanya Justin berhati-hati. Elanie menoleh. Bibir atasnya menutup bibir bawahnya lalu ia menekan bibir atasnya hingga membuat tubuh Justin bereaksi tidak seperti biasanya. Apa-apaan yang Elanie lakukan pada Justin? Lalu Elanie mengangguk kepala satu kali. Ia berpikir, Justin tidak mungkin akan menidurinya karena ia bisa berteriak dan orang-orang di rumah ini akan mendengarnya. “Sempurna.”


***


            Justin memegang tangan Elanie dengan jantung yang berdetak kencang. Astaga, tangannya benar-benar lembut!, seru Justin dalam hati. Ia berusaha untuk tidak terlihat gugup. Ia bisa melakukan ini dengan baik. Ia bisa menaklukan Elanie. Elanie memegang sebuah gelas berisi air putih, ia memang membutuhkannya. Mereka telah berdiri di depan pintu kamar Justin, lalu Justin menghela nafas. Ini pertama kalinya ia membawa seorang gadis ke dalam kamarnya. Kau bisa melakukannya Bieber!, Justin menyemangati dirinya. Pintu kamar Justin terbuka. Mereka mulai masuk lalu pintu tertutup.
            Elanie terdiam. Tangannya berusaha mencengkeram gelas yang ia pegang dengan erat agar tidak lepas. Matanya tidak berkedip. Ia melihat begitu banyak susunan koleksi mainan dinosaurus yang dipajang di tembok yang berbaris tiga. Tidak ada poster wanita seksi? Tidak ada gitar listrik? Tidak ada baju hitam yang berserakan di atas tempat tidurnya? Justin memerhatikan reaksi Elanie sambil menjijitkan kedua kakinya berkali-kali sehingga ia terlihat melompat-lompat di tempatnya.
            “Kau memiliki mainan ini? Ini sangat brilliant!” Puji Elanie tersenyum. Senyum Justin melebar. Ternyata responnya benar-benar bagus.
            “Ayo, ada lagi mainan—oh, ya Tuhan! Maafkan aku! Maafkan aku!” Justin berteriak panik ketika ia tak sengaja menarik siku-siku Elanie yang membuat gelas yang berisi air putih itu secara tak sengaja tertumpah di atas pakaian bagian dada Elanie. Sekarang bra biru yang Elanie pakai terlihat dari luar. “Ya Tuhan maafkan aku!” Tangan Justin menyentuh-nyentuh gaun bagian atas Elanie, menyentuh dada Elanie yang kecil itu.
            “Ya Tuhan! Justin …jangan sentuh…”
            “Ya Tuhan, aku bisa membersihkannya, kumohon maafkanku. Jangan adukan pada orangtuaku! Tolong, tolong, tolong?!” Mohon Justin bersungut-sungut pada Elanie. Ia mulai bersimpuh di hadapan Elanie dengan kedua tangan seperti orang yang berdoa. Wajah Elanie memucat. Dia baru saja disentuh di daerah terlarangnya oleh orang asing, orang yang baru ia temui setengah jam yang lalu. “Kau pucat! Kau pasti akan mengadukan hal ini pada orangtuaku. A-aku akan mengurung diri di kamar mandi sekarang!”
            “Tidak!” Elanie menahan tangan lengan Justin saat Justin mulai berdiri dan ingin pergi. “A-aku hanya butuh pakaian kering sekarang. Dan handuk,” ucap Elanie menelan ludahnya. Justin menoleh, membalikkan tubuhnya pada Elanie lalu mengangguk seketika.
            “Asalkan tidak memberitahu pada orangtuaku?” Tanya Justin memberikan jari kelingkingnya pada Elanie. Elanie langsung mengaitkan jari kelingkingnya pada Justin lalu mengangguk. “Masuklah ke dalam kamar mandiku. Aku akan datang sebentar lagi,” ucap Justin. Elanie mengangguk. Justin keluar dari kamarnya sementara Elanie berjalan untuk mencari dimana kamar mandi. Di kamar Justin ada tiga pintu yang entah apa itu kamar mandi atau lemari pakaian. Ia membuka pintu pertama, lemari pakaian yang cukup luas. Lalu pintu kedua. Elanie mundur beberapa langkah karena ketakutan. Ia melihat patung dinosaurus yang lebih tingg darinya sedang tersenyum lebar, memamerkan giginya yang putih serta tajam itu. Pantas pintunya sangat besar. Berarti yang terakhir adalah kamar mandi.
            Ia masuk ke dalam kamar mandi yang luar biasa besar. Terdapat bak mandi, shower di tempat lain, dan ruang sauna. Apa-apaan ini? Elanie menutup pintu kamar mandi lalu berjalan lebih dalam. Ia menyimpan gelas yang sudah tidak berisi air itu ke atas tempat peralatan mandi. Ia melihat cermin lalu melihat seberapa buruk penampilannya. Bagian atasnya memang sangat basah dari dada hingga pinggangnya. Elanie mulai membuka gaunnya hingga menyisakan bra dan celana dalamnya yang memiliki warna senada. Pintu terbuka begitu saja.
            “Holy shit! Apa-apaan yang baru saja kulihat? Demi Tuhan, apa-apaan yang baru saja kulihat?!” Teriak Justin histeris hingga wajahnya memerah. Justin menelan ludahnya, matanya terpejam, ia terengah-engah. Astaga, apa-apaan yang baru saja ia lihat? Wajah Elanie memucat, ia terdiam di tempatnya. Ia kaku, benar-benar kaku. “A-aku tidak akan mengintip. Ini pakaian kering untukmu, ambillah,” ucap Justin masih memejamkan matanya. Namun Elanie tidak ingin beranjak dari tempatnya. Ia ketakutan. Gaun yang sudah ia lepas sekarang sudah seperti handuk baginya. Ia menutup tubuh bagian depan.

            “O-oke, aku yang akan datang padamu. Aku bersumpah demi Tuhan tidak akan mengintip!” Seru Justin mengangkat tangan kiri untuk menutup matanya. Ia mulai berjalan masuk ke dalam kamar mandi dengan langkah hati-hati. Tangan kanannya menjulur pada Elanie. Segera saja Elanie meraih baju itu dari tangan Justin. “Ini adalah kejadian terhoror dalam hidupku, ya Tuhan.” Justin menarik ingus.






:) 

1 komentar:

  1. Hahahaha. Baru baca prolognya aku uda ngakak.. gmna sampe kelar..
    Oh my God.. aothor emang bner2 keren

    BalasHapus