CHAPTER EIGHT – ONE
MORE STEP AND GAME OVER.
JUSTIN MIGUEL
THADDEUS
Tiap hari yang kurasakan segalanya terasa hambar. Seharusnya aku senang karena
Eleanor selalu berada di sisi Margery, yang dimana itu berarti aku dapat melihatnya
tiap hari tanpa perlu khawatir kalau saja Ayahku akan melecehkannya lagi.
Tetapi, di luar dugaanku, segalanya justru semakin rumit. Eleanor selalu
menolak kecupan bibirku atau memeluknya. Dan itu telah berlangsung selama dua
minggu lebih—dimana sekarang pernikahanku sudah berumur 1 bulan. Kini,
kesabaranku telah menipis, aku tak ingin bermain lebih lama lagi.
Semua ini membuang waktu berhargaku. Yang kuinginkan hanyalah hidup damai
bersama Eleanor. Dan untuk mendapatkan semua itu, aku perlu mengorbankan
istriku dan Ayahku sendiri. Tidak, aku tidak buta karena cinta. Membunuh
istriku memang sudah kurencanakan semenjak aku dinyatakan akan menikah
dengannya. Dan Ayahku—oh tidak!—aku bahkan tidak akan menyesal jika aku
membunuhnya. Aku tidak haus kekuasaan atau kehormatan, semua ini berpusat pada
satu alasan: aku ingin bebas. Setelah mereka pergi dari kehidupanku, aku akan
sepenuhnya bebas. Tidak akan ada lagi yang akan menyuruhku untuk membangkitkan
perekonomian Cardwell atau yang menahan diriku menyentuh Eleanor.
Malam ini akan menjadi malam pertama Margery tinggal di surga. Tanganku gatal
sekali ingin menarik pisau lalu menyabit lehernya dengan satu sentakan cepat.
Tentu saja aku tidak akan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Aku tak ingin
mengotori tanganku karena telah membunuh orang yang telah membuat perekonomian
Cardwell menjadi lebih baik—dan setelahnya, akan semakin lebih baik—jadi aku
meminta Zachary untuk membunuh istriku malam nanti. Sementara itu, aku
akan membangun sikap panik.
Saat pembunuhan itu terjadi, di sana akan ada Eleanor. Kuharap Eleanor tidak
menyulitkan pembunuh bayaran itu agar ia tak terluka. Kusuruh Margery bersama
Eleanor untuk pergi ke pelabuhan bersamaku hingga sore lalu mereka akan dikawal
pulang bersama salah satu pengawalku—yang bodoh, tentunya. Perdagangan di
Cardwell semakin membaik, aku senang karena di bawah kekuasaanku nanti,
semuanya akan baik-baik saja. Dari atas kapal, aku melihat matahari hampir
menyentuh laut dari ujung barat. Kulihat Eleanor berdiri di belakang Margery,
ia sedang menunggu Margery berbincang-bincang bersama salah satu anak buah
kapal.
Segera aku berjalan ke arah mereka agar mereka cepat pulang. “Maafkan aku,
sayang, Margery. Tetapi aku harus menghentikan percakapan kalian. Sudah malam,
kalian berdua harus pulang. Aku takut jika terjadi apa-apa pada kalian jika
matahari sudah tenggelam,” ucapku selembut embun pagi. Aku tidak sama sekali
memerhatikan Eleanor di belakang Margery, aku takut jika aku menahannya di
sini.
“Tentu saja, Suamiku,” balas Margery dengan gigi majunya. “Aku tak sadar kalau
sekarang hampir malam. Di sini sangat menyenangkan, Miguel, kuharap aku bisa
datang lagi ke sini. Ayo Eleanor.” Margery berjalan meninggalkanku dan diikuti
Eleanor yang segera berbalik memunggungiku. Rambut merahnya ia kepang menempel
di kepala dan itu sungguh cantik.
“Francis! Temani istriku dan pelayannya pulang. Pastikan mereka baik-baik
saja,” perintahku saat kulihat Francis sedang berdiri di samping tali tambang.
Ia membungkuk lalu berjalan cepat-cepat keluar dari kapal. Ia hanyalah pengawal
baru yang masih muda, bertubuh pendek, rambutnya berwarna hitam dan ia tertarik
pada istriku. Apa yang ia pikirkan hingga bisa menyukai istriku? Tidak, aku
tidak ingin membayangkannya.
Sekarang, aku hanya perlu menatap langit malam bertabur bintang sambil menunggu
perginya istriku ke Danau Mayat.
***
“Yang Mulia!” Teriak wanita muda berambut merah kesukaanku sambil berlari-lari
menuju Ayahku yang sedang mengadakan pertemuan dengan para pengusaha sukses
untuk membahas perekonomian Cardwell yang mulai membaik. Setelah hampir satu
jam aku menunggu kedatangan Eleanor di istana, akhirnya wanita muda itu muncul
dengan darah di kepalanya. Wajahnya pucat dan ia menangis. Pelipisnya pun basah
karena keringat, bibirnya bergetar dan nafasnya terengah-engah.
Ayahku bangkit dari kursinya begitu ia melihat Eleanor. Ketertarikannya pada
Eleanor pasti semakin meningkat, tiap hari ia selalu membicarakannya
denganku—dan selalu aku mengabaikan ucapannya. Terlebih lagi, sekarang Eleanor
mencari-cari bantuannya, bukan aku. Kugeleng kepalaku, yang perlu kupastikan
saat ini hanyalah kematian Margery. Ayahku berjalan mendekati Eleanor lalu
mengambil kedua tangan wanita muda kesukaanku ketika Eleanor tersungkur di
hadapannya terisak-isak.
“Ada apa, sayangku, Eleanor?” Tanya Ayahku sangat lembut. Keningnya yang
berlumur darah berwarna merah pekat itu membuatku khawatir. Apakah ia terluka
parah? Sudah kukatakan pada Ralph agar tidak sekalipun menyentuh Eleanor selama
ia melakukan pembunuhan itu! Sialan.
“Putri Margery, Yang Mulia… ia dibunuh! Aku sudah berusaha… membantunya bersama
Francis tetapi… pembunuh itu begitu lihai. Ia membunuh… putri Margery lalu
Francis dan… ia membawa putri Margery pergi, entah kemana. Aku sudah
mengejarnya… tetapi sudah gelap dan aku tak dapat melihat lagi.” Ia berkata
tersendat-sendat, nafasnya pun terputus-putus. Pekerjaan bagus, Ralph,
bisik hatiku. Aku memasang wajah terkejut, tetapi tidak berlebihan seperti para
pengusaha yang duduk mengitari meja panjang dan besar ini. Dengan sikap rendah
hati dari Mr. Giles bangkit dari kursinya lalu membantu Eleanor agar ia duduk
di atas kursi Mr. Giles.
Kepala Eleanor masih tertunduk sehingga wajahnya tak terlihat. Tetapi kulit
tangannya berwarna merah muda seperti warna bibirnya. Segera saja aku bangkit
terburu-buru dan berlari kecil ke arahnya. Meski kutahu mendorong Ayah sangat
tak sopan untuk mendengar penjelasan—yang sebenarnya tak kubutuhkan—dari
Eleanor, namun aku yang pasti, seluruh pengusaha di sini mengerti bagaimana
jika mereka berada di posisiku. Aku bersimpuh di hadapan Eleanor, menggenggam
kedua tangannya yang terasa dingin namun basah. Ia bergetar, pasti ia sangat
terguncang.
Ia mendongak sedikit agar dapat melihat mataku. Air matanya membuat dua bola
mata biru itu berkaca-kaca seperti air laut jernih jika dilihat dari tebing.
Bibir bawahnya tersembunyi di balik bibir atasnya. Kedua alisku bertaut
bersandiwara agar mendapat simpatinya. Berdosalah aku karena telah menipu
wanita muda sepolos Eleanor.
“Kau bisa menceritakannya padaku,” bisikku lembut, lalu kuangkat kepalaku
melihat sekeliling. “Bisakah aku mendapatkan waktu privasi bersama pelayan
istriku?” 10 pasang mata memerhatikanku selama beberapa detik, kemudian mereka
secara bersamaan bangkit dari kursi mereka dan menyingkir dari ruang pertemuan.
Ayahku tetap berdiri di belakangku namun segera beranjak begitu aku menatap
matanya memelas agar aku mendapatkan waktu.
Oh, jika saja situasi ini tidak begitu sedih bagi Eleanor, aku pasti akan
tersenyum senang karena semua orang yang baru saja kuusir itu sangat tolol!
Begitu pintu ruang pertemuan tertutup, suara gemanya memberi suasana berbeda.
Hangat dan lembut. Eleanor tak mengatakan apa pun padaku begitu aku menatapnya
kembali. Jantungku berdegup kencang memikirkan banyak kemungkinan buruk yang
akan terjadi. Bibir yang tersembunyi itu akhirnya muncul. Menampilkan mulut
yang memanggil-manggil untuk kukecup. Hanya saja, waktu itu hanya perlu 3 hari
lagi. Setelah Margery dimakamkan, pemakaman kedua akan tersedia untuk Ayahku.
“Jangan katakan padaku kaulah yang membunuh istrimu,” bisik Eleanor tanpa
menatapku sama sekali. Leherku tercekik, tenggorokanku tercekat. Ia menarik
kedua tangannya dari genggaman tanganku. “Aku tidak ingin disentuh oleh pria
yang membunuh istrinya sendiri,”
“Aku tidak membunuhnya, Eleanor,” ucapku setenang air sungai. “Kau ingin
mendengar yang sejujurnya?” Tanyaku menarik perhatiannya. Sambil menyeka
hidungnya, ia mengangguk dua kali. Aku menarik nafas tajam lalu mengambil
tangannya kembali dalam genggamanku, kali ini tidak akan kubiarkan ia
menariknya lagi. Yang kutahu ini bukanlah urusan Eleanor jika ia marah atau
tidak karena ia tahu, ia hanyalah seorang pelayan. Namun melihat kedua mata
biru penuh belas kasih dan tak berdosa itu, aku tidak bisa berbohong padanya. Tidak
akan pernah bisa berbohong padanya.
Ia menunggu selama beberapa saat kemudian tangisannya memecah. Kepalanya
tertunduk kembali, kali ini aku bebas memeluknya dan membiarkan kepalanya
bersandar di bahuku. Kuelus rambutnya yang lembap karena udara malam. Aku
bukanlah pria yang pintar berhadapan dengan wanita muda yang sedang menangis,
seringnya, aku akan mengabaikan mereka sampai mereka berhenti menangis. Tetapi
melihat Eleanor menangis seperti penderitaan aneh yang menggetarkan seluruh
tubuhku. Tanpa perintah otakku, tanganku akan memeluknya dan mengelus punggung
atau kepalanya agar segala isakan atau air mata yang mengalir di pipinya
berhenti.
“Kuminta seseorang membunuhnya,” bisikku. “Ini bukan karena kau, Eleanor, kau
harus tahu itu. Aku sudah berencana membunuhnya ketika Ayah memberitahuku kalau
aku akan dijodohkan dengan wanita yang bukan kupilih—dan itu Margery. Namun
ketahuilah, Eleanor, aku tidak memilih pilihan lain agar aku bebas memilih apa
pun yang kuinginkan—“
“Dan begitu egois!”
“—termasuk mendapatkanmu.” Sebuah dorongan kuat—yang terasa pelan—di dadaku
membuatku mengalah sehingga aku menjauh darinya. Ia bangkit dari kursi lalu
berjalan cepat meninggalkanku. “Jika kau berpikir berlari dariku akan
membangkitkan Margery, maka kau salah.” Langkahannya terhenti, kemudian ia
berbalik berjalan ke arahku terburu-buru. Bahkan kurasa ia akan tersandung
karena terinjak roknya sendiri sehingga aku menyiapkan kedua tanganku untuknya.
Sebuah tamparan keras menyengat pipiku. “Aku tidak pernah bertemu dengan pria
seegois dirimu, Justin Miguel Thaddeus! Apa kau berpikir aku mengatakan yang
sebenarnya? Tidak akan karena aku hanya memancingmu.”
“Eleanor, kumohon, jangan buat dirimu terlihat bodoh sekarang,” kataku.
“Jujurlah, Eleanor, karena aku tidak ingin ada rahasia di antara kita,”
“Margery belum mati!” Serunya mengelap air mata yang menodai pipinya. Kemudian
ia membuang wajahnya dariku. “Hanya Francis yang terbunuh. Margery dibawa pergi
oleh pria itu sementara aku berusaha menolongnya agar tak dibawa pergi oleh
pria sialan itu.”
“Mengapa kau melakukan ini padaku?” Tanyaku lirih. Eleanor melirikku dari ujung
ekornya dan aku sangat yakin ia merasa bersalah karena telah membohongiku.
Setelah pertemuan sialan ini, aku akan pergi menemui Ralph dan Margery lalu
membunuh mereka dengan pedangku. Inilah mengapa aku tidak mudah memercayai
orang, seringnya, mereka mengecewakanku.
“Itu karena kau selalu bersikap jahat pada setiap orang!”
“Tidak padamu,” tukasku cepat. Kepalanya menghadap padaku seketika itu juga,
terkejut atas ucapanku. Apakah aku baru saja mengatakan hal yang salah? Sejauh
ini, aku selalu benar—hanya saja orang-orang selalu mengacaukan prosesnya.
“Eleanor, aku tidak ingin memanfaatkan waktu ini untuk merayumu, tetapi
percayalah padaku, aku sedang melakukan ini demi masa depan kita.”
“Tidak dengan cara seperti ini!” Serunya gemas. “Kau tidak perlu membunuh orang
lain—“
“Aku tidak punya pilihan lain!” Geramku, membentaknya. Ia tersentak hingga
mundur satu langkah dariku. Seketika itu juga aku merasa bersalah. “Eleanor,
maafkan aku. Aku tidak bermaksud—“
“Cukup.” Ia berucap lalu mengambil langkah panjang sebelum aku bisa menahannya.
Tetapi aku tidak ingin menahannya. Aku tahu, aku salah dan ia memerlukan waktu
untuk memikirkan apakah aku layak untuknya atau tidak. Ia membuka pintu ruang
pertemuan kemudian lenyap begitu saja dari pandanganku.
Ralph sialan! Amarah meliputi seluruh tubuhku hingga aku rasa, aku akan meledak
seperti meriam. Aku melangkah cepat keluar dari ruang pertemuan dan untungnya,
tidak menemui siapa pun yang berusaha mencuri dengar percakapanku dengan
Eleanor. Yang kuperlukan hanyalah Zachary, satu-satunya orang yang dapat
kupercayai.
***
Tidak seperti yang kuduga. Ralph tidak selihai yang kukira. Ia begitu lemah
malam ini untuk melawanku seorang diri. Margery tidak ia bunuh, tetapi ia
perkosa. Untungnya, aku menyelamatkan Margery dari perkosaan yang tengah
berlangsung itu lalu membiarkannya mati di tangan Zachary sementara aku melawan
Ralph yang pedangnya sudah teracung tinggi, siap untuk menusukku. Sayangnya, ia
tampak begitu terguncang atas kedatanganku di tengah malam seperti ini, di
hutan yang sudah menjadi tempat perjanjianku bertemu dengannya untuk melakukan
pembayaran.
Demi Tuhan, aku tidak akan pernah meminta bantuan orang lain lagi untuk
menjalankan misi pembunuhan sesederhana ini lagi pada siapa pun—kecuali
Zachary, tentunya. Hanya dengan satu tendangan di kakinya dan satu kali tusukan
di dadanya sudah membuatnya mati sempurna di atas tanah. Sudah lama. Sudah lama
sekali aku tidak merasakan kepuasan seperti ini. Membunuh tanpa harus merasa
bersalah. Aku membuang pedangku ke Danau Mayat bersama Zachary. Ia sedang
membuang mayat Ralph dan aku sendiri sedang menggendong Margery sebagai bukti
bahwa akulah orang pertama yang mendapatkan Margery.
Ayah perlu mendengar penjelasan Eleanor sementara aku pergi sehingga para
prajurit baru saja datang ke Danau Mayat dengan kuda-kuda mereka. Eleanor duduk
di atas Gertrude dengan raut wajah tegang dan pucat. Ingin aku memarahinya
karena ikut pergi ke tempat berbahaya seperti ini! Tempat dimana ia akan
mengingat pertemuan pertama kami yang tidak begitu mengesankan. Matanya tak
berkedip begitu ia melihat mayat Margery berada dalam gendonganku. Kuda-kuda
lain menyingkir begitu Ayahku muncul dengan kuda putihnya. Segera ia turun dari
kuda, lalu melangkah tergopoh-gopoh ke arahku.
Sandiwara sialannya itu memang sudah sempurna. Ia tampak begitu sedih dan
menangis dengan air mata palsunya. Mulutnya menyerukan nama Margery dan
mengelus pipi Margery sementara giginya yang maju tampak sangat memperburuk
kematiannya. Aku tidak ingin menghinanya saat ia mati seperti ini—oh, itu akan
membuatku lebih kejam dari membunuh orang. “Bawa menantuku pulang dan beritakan
ini pada keluarganya agar mereka cepat datang ke Cardwell.” Ayahku memerintah
dengan suara bergetar.
Dua orang berpakaian prajurit mengambil Margery dari gendonganku sementara aku
menoleh mencari Eleanor yang sudah tidak lagi berada di atas kudanya. Begitu
Ayahku melangkah ke samping untuk melewatiku, seorang wanita muda bertubuh
mungil muncul di baliknya dengan wajah dingin. Ia membenciku, aku sangat yakin.
Raut wajahnya memancarkan ketidaksukaan. Seperti baru saja memakan makanan basi
dan menjijikan hingga ia ingin mual. Aku tidak begitu panik atau khawatir
dengan sikap Eleanor yang seperti ini karena bagaimanapun juga, ia akan tetap
menjadi milikku.
“Kau yang melakukannya?” Bisik Eleanor. Aku menggeleng.
“Tidak, bukan aku,” balasku jujur. Memang bukan aku pembunuhnya, aku hanya
menyuruh orang untuk membunuhnya, bukan? “Dan bukan urusanmu.”
“Dari yang dapat kusimpulkan dari pembunuhan ini hanyalah bahwa sikap seorang
pangeran tidak lebih dari orang miskin yang baru saja mencuri satu emas koin
yang disimpan istrinya, pangeran Miguel,” katanya ketus. Mencuri satu koin
emas? Meski sindiran itu menggambarkan situasi sekarang, aku berusaha tidak
memperlihatkan keterkejutan atas keberaniannya mengatakan hal seperti itu
padaku. Untungnya, ia berbisik. Jadi, hanya aku dan dia yang dapat
mendengarnya. Seperti empat tembok telah membentengi kami berdua.
“Satu emas koin itu akan menjadi kunci untuk masa depan kita,”
“Aku tidak membutuhkannya!” Serunya dengan suara kecil.
“Bukan kau, tapi kita.”
***
Aku ingin tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataan raja Crumple begitu ia
mengatakan bahwa kepergian Margery tidak sama sekali membuatnya sedih—hanya Ibu
Margery yang menangis di istana semenjak Margery dimakamkan dengan cara yang
begitu mewah. Raja Crumple menceritakan bagaimana ia sudah muak dihina dan
dicaci maki oleh masyarakatnya sendiri karena wajah Margery yang tak seindah
musim semi. Cukup kejam jika dilihat dari sisi kekeluargaan, tetapi ini
merupakan keuntungan bagiku. Berbicara bertiga dengan Ayah dan raja Crumple
merupakan pertemuan rahasia. Raja Crumple akan membuat menaikkan bayaran mereka
atas barang yang kami kirim pada Crumple dan menurunkan harga barang yang
mereka jual di Cardwell. Ini konyol, tetapi membuatku sangat senang.
Yang perlu kuluruskan sekarang adalah kepergian Ayahku yang sekarang
berbincang-bincang dengan raja Crumple dengan suara yang mengintimidasi lawan
bicaranya. Namun tidak lama lagi, suara itu tidak akan pernah terdengar lagi
mulai besok. Sudah hampir satu minggu, sejak kepergian Margery, Eleanor tidak
ingin berbicara denganku. Ia sudah kembali menjadi pelayan Abigail bahkan ia
sekarang yang mengabaikanku seolah-olah aku tak ada padahal aku sering pergi
bersama Abigail agar aku bisa menghabiskan waktu bersama dua orang yang
kucintai di seluruh dunia. Aku bangkit begitu raja Crumple dan Ayah berdiri
dari kursinya.
“Terima kasih atas waktu Anda, Gregory. Dan anakmu yang sangat berani, aku
berutang budi pada kalian. Kuharap keringanan yang kuberikan akan membalas
utang budiku. Aku harus menemui istriku sekarang,” ujar raja Crumple dengan
berita tak penting. Ayah mengangguk ramah.
“Sementara itu, aku harus berbicara dengan putra sulungku, jika kau tidak
keberatan,” usir Ayahku dengan cara halus. Raja Crumple mengangguk lalu keluar
dari ruang duduk. Setelah menutup pintu ruang duduk, ia berjalan melewatiku
dengan langkah gusar. Oh, ini pertama kalinya aku melihat ia gusar setelah
beberapa bulan terakhir ini.
“Kau ingin berbicara denganku?”
“Ya,” bisiknya ragu. “Aku tidak tahu akhir-akhir ini aku mendapat mimpi buruk,”
“Benarkah? Ceritakan.” Aku berjalan santai menuju kursi sementara Ayah berjalan
mondar-mandir di belakang kursinya. Ia seperti bingung dan kehilangan sesuatu.
Aku ingin tertawa melihat seorang Gregory kebingungan seperti ini. Oh, tidak
Ayah, aku akan membuat kebingungan dan ketakutanmu berakhir. Aku duduk di atas
kursi empuk hangat lalu menumpuh pahaku ke paha yang lain.
Ia berhenti mondar-mandir lalu menatapku. “Aku melihatmu di mimpi-mimpiku,”
katanya membuat segalanya semakin menarik. “Dan Eleanor. Kalian… demi Tuhan,
jauhkan hal itu, berciuman sementara tanganmu menyumpal mulutku dengan
pedangmu,”
“Sangat menarik, Ayah. Lalu?”
“Itu mimpi pertamaku, Miguel, dan jangan anggap itu candaan! Aku akan memanggil
penafsir mimpi besok untuk mengartikan mimpi bodohku. Dan masih ada beberapa
mimpi lainnya setelah Margery meninggal.”
“Aku ragu mimpi itu memiliki arti, Ayah,” bisikku dingin. Aku bangkit dari kursi
namun tak beranjak dari tempat. “Lagi pula, bukankah Ayah sendiri yang
mengatakan padaku kalau kematianmu ada di tanganku?” Mata birunya melebar
begitu aku berlenggang pergi darinya seolah-olah aku tidak mengatakan apa-apa.
***
Aku mencengkeram tangannya dengan erat hingga ia mengerang. Melihatnya
kesakitan merobek hatiku dengan mudahnya hingga aku segera memeluknya dengan
erat agar ia tidak pergi dariku. Di bawah pohon rindang kesukaan Eleanor, aku
mendapatinya menyendiri lagi dengan sapu tangan—yang entah sudah berapa telah
ia buat—yang sedang ia jahit. Ia berusaha pergi lagi dariku namun kali ini aku
tidak akan membiarkannya pergi. Aku memaksa.
Diamnya seorang Eleanor nyaris membuatku sinting di istana. Ia tidak pernah membuka
mulut jika aku bertanya padanya—kalau hanya berdua saja—namun akan menjawab
pertanyaanku atas dasar menghormatiku sebagai pangeran. Aku tidak ingin
dianggap seorang pangeran terhormat olehnya, aku ingin ia menganggapku sebagai
pria yang selalu memikirkannya tiap saat. Eleanor tidak dapat membenciku
berlama-lama seperti ini, meski sudah menginjak satu minggu, aku yakin ia tidak
akan tahan.
“Kesabaranku sudah habis Eleanor,” ucapku tegas. “Aku akan mengakhiri permainan
ini hanya dengan satu langkah lagi. Setelah itu, tidak akan ada yang bisa
membatasi hubungan kita,”
“Biar kutebak,” katanya berlagak seperti sedang berpikir. “Kau akan membunuh
seseorang lagi, bukan? Wah, pangeran Miguel! Sudah berapa kali kau datang ke
gereja untuk pengakuan dosamu pada pastur?”
“Aku tidak membutuhkan pastur untuk mengakui dosaku,” kataku tanpa mengedip.
Eleanor terdiam sejenak tiap kali ia melihat mataku di bawah sinar rembulan
atau mentari, seperti terhipnotis—padahal aku sedang tidak mencoba merayunya.
Ia terengah kemudian memejamkan matanya selama beberapa saat.
“Kau adalah pria yang baru saja kehilangan istri,” tukasnya cepat-cepat.
“Yang tidak sama sekali kucintai,” tambahku begitu ia membuka mata. “Sekarang,
biarkan aku meluruskan hal ini, Eleanor. Kau… tidak akan pernah membenciku
karena kau menginginkanku. Kau juga tidak akan peduli siapa pun yang mati
sekarang karena yang kaupedulikan hanyalah keinginanmu mendapatkanku. Dan kau—“
“Itu tidak benar!”
“—selalu menyangkalnya. Mengapa? Biarkan aku mewujudkan keinginanmu, Eleanor.
Apakah kau tidak lelah bermain di arena permainan ini? Di bawah pohon rindang
bodoh ini? Aku lelah dan aku ingin semua ini berakhir. Setelahnya, biarkan aku
yang mengurusmu dan segalanya. Kau tahu mengapa? Karena kau milikku.”
“Aku bukan milikmu lagi setelah apa yang kaulakukan pada Margery!”
“Kau ingin bertaruh?” Tanyaku menggodanya. Wajah kami yang begitu dekat sampai
aku dapat menghirup wangi tubuhnya. Tidak seperti wanita muda lain yang pernah
kutemui, Eleanor malah memberi wajah menantang padaku. “Aku akan menciummu
dalam dan penuh perasaan. Jika kau membalasnya, kau tidak boleh menyangkal apa
pun yang kukatakan—karena aku selalu benar dan jujur. Mengerti?”
Mata melotot. “Itu tidak adil!”
“Berarti kau pengecut, bukankah kau, Eleanor?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar