Minggu, 21 Desember 2014

Beautiful Slave Bab 8 - One More Step and Game Over

CHAPTER EIGHT – ONE MORE STEP AND GAME OVER.

JUSTIN MIGUEL THADDEUS

            Tiap hari yang kurasakan segalanya terasa hambar. Seharusnya aku senang karena Eleanor selalu berada di sisi Margery, yang dimana itu berarti aku dapat melihatnya tiap hari tanpa perlu khawatir kalau saja Ayahku akan melecehkannya lagi. Tetapi, di luar dugaanku, segalanya justru semakin rumit. Eleanor selalu menolak kecupan bibirku atau memeluknya. Dan itu telah berlangsung selama dua minggu lebih—dimana sekarang pernikahanku sudah berumur 1 bulan. Kini, kesabaranku telah menipis, aku tak ingin bermain lebih lama lagi.
            Semua ini membuang waktu berhargaku. Yang kuinginkan hanyalah hidup damai bersama Eleanor. Dan untuk mendapatkan semua itu, aku perlu mengorbankan istriku dan Ayahku sendiri. Tidak, aku tidak buta karena cinta. Membunuh istriku memang sudah kurencanakan semenjak aku dinyatakan akan menikah dengannya. Dan Ayahku—oh tidak!—aku bahkan tidak akan menyesal jika aku membunuhnya. Aku tidak haus kekuasaan atau kehormatan, semua ini berpusat pada satu alasan: aku ingin bebas. Setelah mereka pergi dari kehidupanku, aku akan sepenuhnya bebas. Tidak akan ada lagi yang akan menyuruhku untuk membangkitkan perekonomian Cardwell atau yang menahan diriku menyentuh Eleanor.
            Malam ini akan menjadi malam pertama Margery tinggal di surga. Tanganku gatal sekali ingin menarik pisau lalu menyabit lehernya dengan satu sentakan cepat. Tentu saja aku tidak akan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Aku tak ingin mengotori tanganku karena telah membunuh orang yang telah membuat perekonomian Cardwell menjadi lebih baik—dan setelahnya, akan semakin lebih baik—jadi aku meminta Zachary  untuk membunuh istriku malam nanti. Sementara itu, aku akan membangun sikap panik.
            Saat pembunuhan itu terjadi, di sana akan ada Eleanor. Kuharap Eleanor tidak menyulitkan pembunuh bayaran itu agar ia tak terluka. Kusuruh Margery bersama Eleanor untuk pergi ke pelabuhan bersamaku hingga sore lalu mereka akan dikawal pulang bersama salah satu pengawalku—yang bodoh, tentunya. Perdagangan di Cardwell semakin membaik, aku senang karena di bawah kekuasaanku nanti, semuanya akan baik-baik saja. Dari atas kapal, aku melihat matahari hampir menyentuh laut dari ujung barat. Kulihat Eleanor berdiri di belakang Margery, ia sedang menunggu Margery berbincang-bincang bersama salah satu anak buah kapal.
            Segera aku berjalan ke arah mereka agar mereka cepat pulang. “Maafkan aku, sayang, Margery. Tetapi aku harus menghentikan percakapan kalian. Sudah malam, kalian berdua harus pulang. Aku takut jika terjadi apa-apa pada kalian jika matahari sudah tenggelam,” ucapku selembut embun pagi. Aku tidak sama sekali memerhatikan Eleanor di belakang Margery, aku takut jika aku menahannya di sini.
            “Tentu saja, Suamiku,” balas Margery dengan gigi majunya. “Aku tak sadar kalau sekarang hampir malam. Di sini sangat menyenangkan, Miguel, kuharap aku bisa datang lagi ke sini. Ayo Eleanor.” Margery berjalan meninggalkanku dan diikuti Eleanor yang segera berbalik memunggungiku. Rambut merahnya ia kepang menempel di kepala dan itu sungguh cantik.
            “Francis! Temani istriku dan pelayannya pulang. Pastikan mereka baik-baik saja,” perintahku saat kulihat Francis sedang berdiri di samping tali tambang. Ia membungkuk lalu berjalan cepat-cepat keluar dari kapal. Ia hanyalah pengawal baru yang masih muda, bertubuh pendek, rambutnya berwarna hitam dan ia tertarik pada istriku. Apa yang ia pikirkan hingga bisa menyukai istriku? Tidak, aku tidak ingin membayangkannya.
            Sekarang, aku hanya perlu menatap langit malam bertabur bintang sambil menunggu perginya istriku ke Danau Mayat.

***

            “Yang Mulia!” Teriak wanita muda berambut merah kesukaanku sambil berlari-lari menuju Ayahku yang sedang mengadakan pertemuan dengan para pengusaha sukses untuk membahas perekonomian Cardwell yang mulai membaik. Setelah hampir satu jam aku menunggu kedatangan Eleanor di istana, akhirnya wanita muda itu muncul dengan darah di kepalanya. Wajahnya pucat dan ia menangis. Pelipisnya pun basah karena keringat, bibirnya bergetar dan nafasnya terengah-engah.
            Ayahku bangkit dari kursinya begitu ia melihat Eleanor. Ketertarikannya pada Eleanor pasti semakin meningkat, tiap hari ia selalu membicarakannya denganku—dan selalu aku mengabaikan ucapannya. Terlebih lagi, sekarang Eleanor mencari-cari bantuannya, bukan aku. Kugeleng kepalaku, yang perlu kupastikan saat ini hanyalah kematian Margery. Ayahku berjalan mendekati Eleanor lalu mengambil kedua tangan wanita muda kesukaanku ketika Eleanor tersungkur di hadapannya terisak-isak.
            “Ada apa, sayangku, Eleanor?” Tanya Ayahku sangat lembut. Keningnya yang berlumur darah berwarna merah pekat itu membuatku khawatir. Apakah ia terluka parah? Sudah kukatakan pada Ralph agar tidak sekalipun menyentuh Eleanor selama ia melakukan pembunuhan itu! Sialan.
            “Putri Margery, Yang Mulia… ia dibunuh! Aku sudah berusaha… membantunya bersama Francis tetapi… pembunuh itu begitu lihai. Ia membunuh… putri Margery lalu Francis dan… ia membawa putri Margery pergi, entah kemana. Aku sudah mengejarnya… tetapi sudah gelap dan aku tak dapat melihat lagi.” Ia berkata tersendat-sendat, nafasnya pun terputus-putus. Pekerjaan bagus, Ralph, bisik hatiku. Aku memasang wajah terkejut, tetapi tidak berlebihan seperti para pengusaha yang duduk mengitari meja panjang dan besar ini. Dengan sikap rendah hati dari Mr. Giles bangkit dari kursinya lalu membantu Eleanor agar ia duduk di atas kursi Mr. Giles.
            Kepala Eleanor masih tertunduk sehingga wajahnya tak terlihat. Tetapi kulit tangannya berwarna merah muda seperti warna bibirnya. Segera saja aku bangkit terburu-buru dan berlari kecil ke arahnya. Meski kutahu mendorong Ayah sangat tak sopan untuk mendengar penjelasan—yang sebenarnya tak kubutuhkan—dari Eleanor, namun aku yang pasti, seluruh pengusaha di sini mengerti bagaimana jika mereka berada di posisiku. Aku bersimpuh di hadapan Eleanor, menggenggam kedua tangannya yang terasa dingin namun basah. Ia bergetar, pasti ia sangat terguncang.
            Ia mendongak sedikit agar dapat melihat mataku. Air matanya membuat dua bola mata biru itu berkaca-kaca seperti air laut jernih jika dilihat dari tebing. Bibir bawahnya tersembunyi di balik bibir atasnya. Kedua alisku bertaut bersandiwara agar mendapat simpatinya. Berdosalah aku karena telah menipu wanita muda sepolos Eleanor.
            “Kau bisa menceritakannya padaku,” bisikku lembut, lalu kuangkat kepalaku melihat sekeliling. “Bisakah aku mendapatkan waktu privasi bersama pelayan istriku?” 10 pasang mata memerhatikanku selama beberapa detik, kemudian mereka secara bersamaan bangkit dari kursi mereka dan menyingkir dari ruang pertemuan. Ayahku tetap berdiri di belakangku namun segera beranjak begitu aku menatap matanya memelas agar aku mendapatkan waktu.
            Oh, jika saja situasi ini tidak begitu sedih bagi Eleanor, aku pasti akan tersenyum senang karena semua orang yang baru saja kuusir itu sangat tolol! Begitu pintu ruang pertemuan tertutup, suara gemanya memberi suasana berbeda. Hangat dan lembut. Eleanor tak mengatakan apa pun padaku begitu aku menatapnya kembali. Jantungku berdegup kencang memikirkan banyak kemungkinan buruk yang akan terjadi. Bibir yang tersembunyi itu akhirnya muncul. Menampilkan mulut yang memanggil-manggil untuk kukecup. Hanya saja, waktu itu hanya perlu 3 hari lagi. Setelah Margery dimakamkan, pemakaman kedua akan tersedia untuk Ayahku.
            “Jangan katakan padaku kaulah yang membunuh istrimu,” bisik Eleanor tanpa menatapku sama sekali. Leherku tercekik, tenggorokanku tercekat. Ia menarik kedua tangannya dari genggaman tanganku. “Aku tidak ingin disentuh oleh pria yang membunuh istrinya sendiri,”
            “Aku tidak membunuhnya, Eleanor,” ucapku setenang air sungai. “Kau ingin mendengar yang sejujurnya?” Tanyaku menarik perhatiannya. Sambil menyeka hidungnya, ia mengangguk dua kali. Aku menarik nafas tajam lalu mengambil tangannya kembali dalam genggamanku, kali ini tidak akan kubiarkan ia menariknya lagi. Yang kutahu ini bukanlah urusan Eleanor jika ia marah atau tidak karena ia tahu, ia hanyalah seorang pelayan. Namun melihat kedua mata biru penuh belas kasih dan tak berdosa itu, aku tidak bisa berbohong padanya. Tidak akan pernah bisa berbohong padanya.
            Ia menunggu selama beberapa saat kemudian tangisannya memecah. Kepalanya tertunduk kembali, kali ini aku bebas memeluknya dan membiarkan kepalanya bersandar di bahuku. Kuelus rambutnya yang lembap karena udara malam. Aku bukanlah pria yang pintar berhadapan dengan wanita muda yang sedang menangis, seringnya, aku akan mengabaikan mereka sampai mereka berhenti menangis. Tetapi melihat Eleanor menangis seperti penderitaan aneh yang menggetarkan seluruh tubuhku. Tanpa perintah otakku, tanganku akan memeluknya dan mengelus punggung atau kepalanya agar segala isakan atau air mata yang mengalir di pipinya berhenti.
            “Kuminta seseorang membunuhnya,” bisikku. “Ini bukan karena kau, Eleanor, kau harus tahu itu. Aku sudah berencana membunuhnya ketika Ayah memberitahuku kalau aku akan dijodohkan dengan wanita yang bukan kupilih—dan itu Margery. Namun ketahuilah, Eleanor, aku tidak memilih pilihan lain agar aku bebas memilih apa pun yang kuinginkan—“
            “Dan begitu egois!”
            “—termasuk mendapatkanmu.” Sebuah dorongan kuat—yang terasa pelan—di dadaku membuatku mengalah sehingga aku menjauh darinya. Ia bangkit dari kursi lalu berjalan cepat meninggalkanku. “Jika kau berpikir berlari dariku akan membangkitkan Margery, maka kau salah.” Langkahannya terhenti, kemudian ia berbalik berjalan ke arahku terburu-buru. Bahkan kurasa ia akan tersandung karena terinjak roknya sendiri sehingga aku menyiapkan kedua tanganku untuknya.
            Sebuah tamparan keras menyengat pipiku. “Aku tidak pernah bertemu dengan pria seegois dirimu, Justin Miguel Thaddeus! Apa kau berpikir aku mengatakan yang sebenarnya? Tidak akan karena aku hanya memancingmu.”
            “Eleanor, kumohon, jangan buat dirimu terlihat bodoh sekarang,” kataku. “Jujurlah, Eleanor, karena aku tidak ingin ada rahasia di antara kita,”
            “Margery belum mati!” Serunya mengelap air mata yang menodai pipinya. Kemudian ia membuang wajahnya dariku. “Hanya Francis yang terbunuh. Margery dibawa pergi oleh pria itu sementara aku berusaha menolongnya agar tak dibawa pergi oleh pria sialan itu.”
            “Mengapa kau melakukan ini padaku?” Tanyaku lirih. Eleanor melirikku dari ujung ekornya dan aku sangat yakin ia merasa bersalah karena telah membohongiku. Setelah pertemuan sialan ini, aku akan pergi menemui Ralph dan Margery lalu membunuh mereka dengan pedangku. Inilah mengapa aku tidak mudah memercayai orang, seringnya, mereka mengecewakanku.
            “Itu karena kau selalu bersikap jahat pada setiap orang!”
            “Tidak padamu,” tukasku cepat. Kepalanya menghadap padaku seketika itu juga, terkejut atas ucapanku. Apakah aku baru saja mengatakan hal yang salah? Sejauh ini, aku selalu benar—hanya saja orang-orang selalu mengacaukan prosesnya. “Eleanor, aku tidak ingin memanfaatkan waktu ini untuk merayumu, tetapi percayalah padaku, aku sedang melakukan ini demi masa depan kita.”
            “Tidak dengan cara seperti ini!” Serunya gemas. “Kau tidak perlu membunuh orang lain—“
            “Aku tidak punya pilihan lain!” Geramku, membentaknya. Ia tersentak hingga mundur satu langkah dariku. Seketika itu juga aku merasa bersalah. “Eleanor, maafkan aku. Aku tidak bermaksud—“
            “Cukup.” Ia berucap lalu mengambil langkah panjang sebelum aku bisa menahannya. Tetapi aku tidak ingin menahannya. Aku tahu, aku salah dan ia memerlukan waktu untuk memikirkan apakah aku layak untuknya atau tidak. Ia membuka pintu ruang pertemuan kemudian lenyap begitu saja dari pandanganku.
            Ralph sialan! Amarah meliputi seluruh tubuhku hingga aku rasa, aku akan meledak seperti meriam. Aku melangkah cepat keluar dari ruang pertemuan dan untungnya, tidak menemui siapa pun yang berusaha mencuri dengar percakapanku dengan Eleanor. Yang kuperlukan hanyalah Zachary, satu-satunya orang yang dapat kupercayai.

***

            Tidak seperti yang kuduga. Ralph tidak selihai yang kukira. Ia begitu lemah malam ini untuk melawanku seorang diri. Margery tidak ia bunuh, tetapi ia perkosa. Untungnya, aku menyelamatkan Margery dari perkosaan yang tengah berlangsung itu lalu membiarkannya mati di tangan Zachary sementara aku melawan Ralph yang pedangnya sudah teracung tinggi, siap untuk menusukku. Sayangnya, ia tampak begitu terguncang atas kedatanganku di tengah malam seperti ini, di hutan yang sudah menjadi tempat perjanjianku bertemu dengannya untuk melakukan pembayaran.
            Demi Tuhan, aku tidak akan pernah meminta bantuan orang lain lagi untuk menjalankan misi pembunuhan sesederhana ini lagi pada siapa pun—kecuali Zachary, tentunya. Hanya dengan satu tendangan di kakinya dan satu kali tusukan di dadanya sudah membuatnya mati sempurna di atas tanah. Sudah lama. Sudah lama sekali aku tidak merasakan kepuasan seperti ini. Membunuh tanpa harus merasa bersalah. Aku membuang pedangku ke Danau Mayat bersama Zachary. Ia sedang membuang mayat Ralph dan aku sendiri sedang menggendong Margery sebagai bukti bahwa akulah orang pertama yang mendapatkan Margery.
            Ayah perlu mendengar penjelasan Eleanor sementara aku pergi sehingga para prajurit baru saja datang ke Danau Mayat dengan kuda-kuda mereka. Eleanor duduk di atas Gertrude dengan raut wajah tegang dan pucat. Ingin aku memarahinya karena ikut pergi ke tempat berbahaya seperti ini! Tempat dimana ia akan mengingat pertemuan pertama kami yang tidak begitu mengesankan. Matanya tak berkedip begitu ia melihat mayat Margery berada dalam gendonganku. Kuda-kuda lain menyingkir begitu Ayahku muncul dengan kuda putihnya. Segera ia turun dari kuda, lalu melangkah tergopoh-gopoh ke arahku.
            Sandiwara sialannya itu memang sudah sempurna. Ia tampak begitu sedih dan menangis dengan air mata palsunya. Mulutnya menyerukan nama Margery dan mengelus pipi Margery sementara giginya yang maju tampak sangat memperburuk kematiannya. Aku tidak ingin menghinanya saat ia mati seperti ini—oh, itu akan membuatku lebih kejam dari membunuh orang. “Bawa menantuku pulang dan beritakan ini pada keluarganya agar mereka cepat datang ke Cardwell.” Ayahku memerintah dengan suara bergetar.
            Dua orang berpakaian prajurit mengambil Margery dari gendonganku sementara aku menoleh mencari Eleanor yang sudah tidak lagi berada di atas kudanya. Begitu Ayahku melangkah ke samping untuk melewatiku, seorang wanita muda bertubuh mungil muncul di baliknya dengan wajah dingin. Ia membenciku, aku sangat yakin. Raut wajahnya memancarkan ketidaksukaan. Seperti baru saja memakan makanan basi dan menjijikan hingga ia ingin mual. Aku tidak begitu panik atau khawatir dengan sikap Eleanor yang seperti ini karena bagaimanapun juga, ia akan tetap menjadi milikku.
            “Kau yang melakukannya?” Bisik Eleanor. Aku menggeleng.
            “Tidak, bukan aku,” balasku jujur. Memang bukan aku pembunuhnya, aku hanya menyuruh orang untuk membunuhnya, bukan? “Dan bukan urusanmu.”
            “Dari yang dapat kusimpulkan dari pembunuhan ini hanyalah bahwa sikap seorang pangeran tidak lebih dari orang miskin yang baru saja mencuri satu emas koin yang disimpan istrinya, pangeran Miguel,” katanya ketus. Mencuri satu koin emas? Meski sindiran itu menggambarkan situasi sekarang, aku berusaha tidak memperlihatkan keterkejutan atas keberaniannya mengatakan hal seperti itu padaku. Untungnya, ia berbisik. Jadi, hanya aku dan dia yang dapat mendengarnya. Seperti empat tembok telah membentengi kami berdua.
            “Satu emas koin itu akan menjadi kunci untuk masa depan kita,”
            “Aku tidak membutuhkannya!” Serunya dengan suara kecil.
            “Bukan kau, tapi kita.”

***

            Aku ingin tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataan raja Crumple begitu ia mengatakan bahwa kepergian Margery tidak sama sekali membuatnya sedih—hanya Ibu Margery yang menangis di istana semenjak Margery dimakamkan dengan cara yang begitu mewah. Raja Crumple menceritakan bagaimana ia sudah muak dihina dan dicaci maki oleh masyarakatnya sendiri karena wajah Margery yang tak seindah musim semi. Cukup kejam jika dilihat dari sisi kekeluargaan, tetapi ini merupakan keuntungan bagiku. Berbicara bertiga dengan Ayah dan raja Crumple merupakan pertemuan rahasia. Raja Crumple akan membuat menaikkan bayaran mereka atas barang yang kami kirim pada Crumple dan menurunkan harga barang yang mereka jual di Cardwell. Ini konyol, tetapi membuatku sangat senang.
            Yang perlu kuluruskan sekarang adalah kepergian Ayahku yang sekarang berbincang-bincang dengan raja Crumple dengan suara yang mengintimidasi lawan bicaranya. Namun tidak lama lagi, suara itu tidak akan pernah terdengar lagi mulai besok. Sudah hampir satu minggu, sejak kepergian Margery, Eleanor tidak ingin berbicara denganku. Ia sudah kembali menjadi pelayan Abigail bahkan ia sekarang yang mengabaikanku seolah-olah aku tak ada padahal aku sering pergi bersama Abigail agar aku bisa menghabiskan waktu bersama dua orang yang kucintai di seluruh dunia. Aku bangkit begitu raja Crumple dan Ayah berdiri dari kursinya.
            “Terima kasih atas waktu Anda, Gregory. Dan anakmu yang sangat berani, aku berutang budi pada kalian. Kuharap keringanan yang kuberikan akan membalas utang budiku. Aku harus menemui istriku sekarang,” ujar raja Crumple dengan berita tak penting. Ayah mengangguk ramah.
            “Sementara itu, aku harus berbicara dengan putra sulungku, jika kau tidak keberatan,” usir Ayahku dengan cara halus. Raja Crumple mengangguk lalu keluar dari ruang duduk. Setelah menutup pintu ruang duduk, ia berjalan melewatiku dengan langkah gusar. Oh, ini pertama kalinya aku melihat ia gusar setelah beberapa bulan terakhir ini.
            “Kau ingin berbicara denganku?”
            “Ya,” bisiknya ragu. “Aku tidak tahu akhir-akhir ini aku mendapat mimpi buruk,”
            “Benarkah? Ceritakan.” Aku berjalan santai menuju kursi sementara Ayah berjalan mondar-mandir di belakang kursinya. Ia seperti bingung dan kehilangan sesuatu. Aku ingin tertawa melihat seorang Gregory kebingungan seperti ini. Oh, tidak Ayah, aku akan membuat kebingungan dan ketakutanmu berakhir. Aku duduk di atas kursi empuk hangat lalu menumpuh pahaku ke paha yang lain.
            Ia berhenti mondar-mandir lalu menatapku. “Aku melihatmu di mimpi-mimpiku,” katanya membuat segalanya semakin menarik. “Dan Eleanor. Kalian… demi Tuhan, jauhkan hal itu, berciuman sementara tanganmu menyumpal mulutku dengan pedangmu,”
            “Sangat menarik, Ayah. Lalu?”
            “Itu mimpi pertamaku, Miguel, dan jangan anggap itu candaan! Aku akan memanggil penafsir mimpi besok untuk mengartikan mimpi bodohku. Dan masih ada beberapa mimpi lainnya setelah Margery meninggal.”
            “Aku ragu mimpi itu memiliki arti, Ayah,” bisikku dingin. Aku bangkit dari kursi namun tak beranjak dari tempat. “Lagi pula, bukankah Ayah sendiri yang mengatakan padaku kalau kematianmu ada di tanganku?” Mata birunya melebar begitu aku berlenggang pergi darinya seolah-olah aku tidak mengatakan apa-apa.

***

            Aku mencengkeram tangannya dengan erat hingga ia mengerang. Melihatnya kesakitan merobek hatiku dengan mudahnya hingga aku segera memeluknya dengan erat agar ia tidak pergi dariku. Di bawah pohon rindang kesukaan Eleanor, aku mendapatinya menyendiri lagi dengan sapu tangan—yang entah sudah berapa telah ia buat—yang sedang ia jahit. Ia berusaha pergi lagi dariku namun kali ini aku tidak akan membiarkannya pergi. Aku memaksa.
            Diamnya seorang Eleanor nyaris membuatku sinting di istana. Ia tidak pernah membuka mulut jika aku bertanya padanya—kalau hanya berdua saja—namun akan menjawab pertanyaanku atas dasar menghormatiku sebagai pangeran. Aku tidak ingin dianggap seorang pangeran terhormat olehnya, aku ingin ia menganggapku sebagai pria yang selalu memikirkannya tiap saat. Eleanor tidak dapat membenciku berlama-lama seperti ini, meski sudah menginjak satu minggu, aku yakin ia tidak akan tahan.
            “Kesabaranku sudah habis Eleanor,” ucapku tegas. “Aku akan mengakhiri permainan ini hanya dengan satu langkah lagi. Setelah itu, tidak akan ada yang bisa membatasi hubungan kita,”
            “Biar kutebak,” katanya berlagak seperti sedang berpikir. “Kau akan membunuh seseorang lagi, bukan? Wah, pangeran Miguel! Sudah berapa kali kau datang ke gereja untuk pengakuan dosamu pada pastur?”
            “Aku tidak membutuhkan pastur untuk mengakui dosaku,” kataku tanpa mengedip. Eleanor terdiam sejenak tiap kali ia melihat mataku di bawah sinar rembulan atau mentari, seperti terhipnotis—padahal aku sedang tidak mencoba merayunya. Ia terengah kemudian memejamkan matanya selama beberapa saat.
            “Kau adalah pria yang baru saja kehilangan istri,” tukasnya cepat-cepat.

            “Yang tidak sama sekali kucintai,” tambahku begitu ia membuka mata. “Sekarang, biarkan aku meluruskan hal ini, Eleanor. Kau… tidak akan pernah membenciku karena kau menginginkanku. Kau juga tidak akan peduli siapa pun yang mati sekarang karena yang kaupedulikan hanyalah keinginanmu mendapatkanku. Dan kau—“
            “Itu tidak benar!”
            “—selalu menyangkalnya. Mengapa? Biarkan aku mewujudkan keinginanmu, Eleanor. Apakah kau tidak lelah bermain di arena permainan ini? Di bawah pohon rindang bodoh ini? Aku lelah dan aku ingin semua ini berakhir. Setelahnya, biarkan aku yang mengurusmu dan segalanya. Kau tahu mengapa? Karena kau milikku.”
            “Aku bukan milikmu lagi setelah apa yang kaulakukan pada Margery!”
            “Kau ingin bertaruh?” Tanyaku menggodanya. Wajah kami yang begitu dekat sampai aku dapat menghirup wangi tubuhnya. Tidak seperti wanita muda lain yang pernah kutemui, Eleanor malah memberi wajah menantang padaku. “Aku akan menciummu dalam dan penuh perasaan. Jika kau membalasnya, kau tidak boleh menyangkal apa pun yang kukatakan—karena aku selalu benar dan jujur. Mengerti?”
            Mata melotot. “Itu tidak adil!”
            “Berarti kau pengecut, bukankah kau, Eleanor?”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar