CHAPTER SEVEN - A
SINNER
“Tidak,” kataku mendorong tubuh Justin agar menjauh dariku sekarang. Sebentar
lagi ia akan menjadi milik orang lain dan aku sudah tak berhak menyentuhnya
lagi. Aku bukan tipe wanita muda yang ingin menjadi wanita simpanan atau
gundik. Sesungguhnya, aku hanya ingin menjadi pusat perhatian kehidupan seorang
pria yang mencintaiku tulus. Pemikiran naif itu selalu mengejekku tiap kali aku
sadar bahwa pangeran Miguel adalah keturunan kerajaan.
Dua bola mata biru itu
menatapku dengan kecewa namun aku tidak peduli. Mengapa ia tidak memberitahuku
sejak pertama kali kami berciuman? Aku pasti akan mengantisipasi keadaan yang
akan diperhadapkan, seperti sekarang ini. Pangeran Miguel mengangguk satu kali,
kemudian ia mengecup pipiku dan beranjak dari tempat. Nafasku tertahan begitu
ia berhenti di mulut pintu kamarku yang menghubungkan kamar Abigail.
“Aku akan kembali. Hanya
saja, bukan sekarang.” Mulai dari sana aku tidak pernah bisa tersenyum tulus
lagi. Aku menghias rambutku agar tampak cantik dengan kepangan yang rumit.
Setelahnya, aku berlari terburu-buru menuju gereja di samping istana. Pasti
acaranya sudah dimulai karena pangeran Miguel sudah pergi. Semuanya terjadi
begitu cepat dan aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi saat aku sudah
melangkah masuk ke gereja dan melihat pangeran Miguel berdiri di altar dengan
wajah tanpa senyum.
Ia sudah menjadi milik orang
lain. Inikah yang dikatakan Ibuku, mencintai namun tak bisa memiliki? Aku
membuang wajah tiap kali pangeran Miguel mencuri-curi pandang padaku di gereja
maupun dalam istana. Ia berdansa dengan Abigail—raja yang meminta mereka untuk
mempersembahkan dansa istimewa di hari pernikahannya. Mata birunya tak lepas
pandang dari mata cokelat Abigail selama mereka berdansa penuh gairah dan
gemulai. Kakiku seolah-olah tak menginjak bumi dan pikiranku selalu hilang
entah kemana tiap kali aku berusaha mengabaikan yang sedang terjadi.
Meski aku sudah melihat wajah istri pangeran Miguel, wanita muda itu tidak
begitu buruk. Ia hanya memiliki gigi seperti gigi kuda dan selebihnya, ia
memiliki tubuh yang elok. Baiklah, mungkin bibirnya yang tak dapat terkatup
rapat karena giginya yang terlalu maju sehingga saat pastur meminta pangeran
Miguel mengecup mempelai perempuan, ia mengecup pipi wanita muda itu. Dan
wanita muda itu memiliki nama; Margery. Putri sulung kerajaan yang tidak akan
mendapat gelar ratu karena adiknya laki-laki yang akan mendapat gelar raja. Selalu
seperti itu.
Seharian itu aku tidak dapat tersenyum tulus. Oh, betapa buruknya sifatku!
Mengapa aku tidak bisa sekali saja tersenyum senang atas pernikahan pangeran
Miguel? Pangeran Geoffrey menawarkanku untuk berdansa, tetapi aku menolaknya
halus. Berdansa bukan keahlianku dan itu hal yang sangat memalukan. Sesekali
beberapa pria mendekatiku untuk berkenalan dan bertanya siapa aku. Begitu aku
memberitahunya kalau aku hanyalah seorang pelayan, ia berlenggang pergi.
Menyedihkan sekali.
Malam harinya, aku bertanya-tanya apa yang dilakukan pangeran Miguel bersama
istrinya sekarang. Apakah mereka sedang bercinta? Atau pangeran Miguel langsung
tidur karena kelelahan? Dari seluruh bayanganku, yang paling mendominasi adalah
bagaimana pangeran Miguel memperlakukan Margery begitu lembut, sama seperti ia
memperlakukanku di atas tempat tidur. Aku tidak bisa tidur! Sinar bulan
menembus masuk melewati kaca bening di samping tempat tidurku. Dalam keadaan
duduk, aku memerhatikan keluar kamar. Tidak banyak orang malam itu—tentu saja
karena sudah tengah malam.
Dari jarak jauh, aku dapat melihat seorang wanita sedang memberontak di dekat
pintu gerbang istana. Wanita itu seperti menjerit saat salah seorang prajurit
mencapit lehernya dengan pipinya menempel dengan tembok. Rok wanita muda itu
terangkat setelah itu ia diperkosa habis-habisan. Ingin aku menolongnya, tetapi
kembali lagi, itu bukan urusanku. Ayah yang mengajarkanku untuk tidak
mengikutcampur urusan orang lain. Sekalipun orang itu dibunuh atau diperkosa.
Bukan karena Ayah tidak peduli, tetapi ia tidak ingin aku menjadi korban
berikutnya. Pemerkosaan itu berlangsung begitu cepat dan prajurit itu mendorong
kasar wanita muda berambut pirang kusam itu dari mulut gerbang istana ke pintu
yang lebih kecil agar wanita muda itu pergi.
Aku membayangkan bagaimana jika hal itu terjadi padaku. Aku diperkosa sementara
aku berteriak-teriak meminta tolong. Siapa yang akan menolongku? Oh, segala
ucapan yang dikatakan pangeran Miguel kembali mengembara di pikiranku.
Bagaimana dia meyakinkanku kalau aku akan aman selama bersama dengannya. Dan
itu sungguh mustahil karena ia telah menjadi milik orang lain. Orang terhormat
yang sama sepertinya. Aku begitu naif memikirkan segala keindahan yang akan
kualami bersamanya. Pada dasarnya, aku hanyalah pelayan yang tak dianggap.
***
Berada di istana Crumple selama satu minggu tidak begitu menyenangkan. Aku
harus membantu Abigail berjalan-jalan bersama pangeran Miguel dan istrinya.
Sesekali pangeran Geoffrey menemaniku untuk berkuda bersama di luar
istana—tentunya mengendap-endap. Perasaan cemburuku terus bertumbuh tiap kali
istri pangeran Miguel bergelanyut mesra di lengan pangeran Miguel. Namun ketika
kulihat raut wajah pangeran Miguel yang tampak tak bahagia, rasa cemburuku
tertindih dengan perasaan sedih. Seharusnya ia senang telah menikah.
Dan untungnya, sepulang dari istana Crumple, aku dapat melihat senyum tulus
dari pangeran Miguel pada masyarakatnya begitu ia disambut dengan meriah oleh
masyarakat karena ia telah menikah. Seluruh karnaval diadakan untuk menghibur
masyarakat. Tentu saja raja tidak akan menyia-nyiakan momen sempurna ini.
Mungkin tahun ini merupakan tahun yang paling bersejarah baginya selain ia
pernah melumpuhkan kerajaan lain—20 tahun lalu. Udara sejuk Cardwell kembali
kuhirup untuk meyakinkan diri sendiri bahwa aku sudah pulang. Satu bulan sudah
aku tidak menemui keluargaku. Pangeran Geoffrey bilang, keluargaku baik-baik
saja. Raja tidak membayarku di istana tetapi ia berjanji akan terus mengirimkan
persediaan makanan untuk keluargaku jika aku masih bekerja di istana.
Siang ini, pangeran Miguel harus berjalan-jalan bersama Margery untuk
memperkenalkan Cardwell pada istrinya. Abigail ikut bersama pangeran Geoffrey
dan aku menolak tawaran mereka untuk ikut bersama-sama. Aku tidak ingin melihat
kemesraan yang memuakkn dari pasangan terhormat itu. Seluruh harga diriku jatuh
mengingat apa yang telah kulakukan bersama pangeran Miguel! Jadi, untuk menenangkan
otakku yang panas, aku duduk di bawah pohon rindang yang sama. Tempat dimana
aku pertama kali berbicara dengan pangeran Geoffrey sementara aku akan menjahit
sebuah sapu tangan tipis.
Aku bersenandung pelan sambil terus memainkan dua jarum yang menghasilkan sapu
tangan halus dari benang sutra. Malam nanti aku harus bertemu dengan sang raja
di ruang duduk, seperti yang dikatakan pangeran Geoffrey tiga minggu yang lalu.
Rasa penasaranku tak dapat kubendung sehingga aku terus membuat pertanyaan
konyol. Oh, apa yang akan raja bicarakan denganku?
“Aku tidak pernah mendengarmu bersenandung.” Sebuah suara rendah membuatku
terkejut setengah mati sehingga secara tak sengaja jarum tajam itu menusuk jari
tengahku. Oh sial! Aku mencium jari tengahku agar darahnya tak menetes.
Pangeran Miguel dengan sikap ksatrianya menarik jari tengahku dari mulutku lalu
mengisap jari tengahku. Isapan mulutnya di jari tengahku membuatku mendesah
pelan.
“Tidak,” kataku menarik jari tengahku dari mulutnya. Bukankah seharusnya ia
berada di samping Margery? “Pergilah, pangeran Miguel,” ucapku mendongak agar
dapat melihat wajahnya. Wajah tampan itu gelap karena sinar matahari di
belakang dan dedaunan yang menutupi tubuh kami dari sinar matahari dari atas.
Mata birunya menyiratkan kerinduan dan juga pemujaan. Selalu dengan pandangan
yang sama. Pandangan yang membuatku bingung harus berbuat apa padanya.
“Kau mengusirku?” Tanyanya membungkuk. Jari telunjuknya menarik daguku kemudian
bibirnya mengecup bibirku singkat. “Sudah berminggu-minggu aku tidak mengecup
bibir manis ini,”
“Ya, benar sekali,” sindirku. “Pasti bibir Margery rasanya lebih nikmat,”
tukasku menarik wajah darinya lalu menunduk untuk meniup jari tengahku.
Pangeran Miguel tidak beranjak dari tempatnya setelah sindiranku, ia malah
duduk di sebelahku dan menarik jariku yang terluka.
“Aku tidak pernah mencium bibirnya atau bercinta dengannya,” akunya. Aku tidak
percaya! Tubuh Margery sangat menggiurkan meski tampangnya tak mendukung.
Sebuah tiupan halus dari mulut pangeran Miguel memberikan getaran nikmat di
sekujur tubuhku. Aku tidak bisa membohongi diriku lagi. Aku sangat merindukan
pangeran Miguel! Mataku mencuri-curi pandang padanya. Ia dengan penuh perhatian
meniup jari tengahku lalu mengecupnya lembut. “Aku tidak bisa melakukannya jika
bayang-bayangmu terus menghantui pikiranku.”
“Maka hilangkanlah,” bisikku.
“Tidak bisa,” katanya menaruh tanganku di atas pahanya. “Kau sudah menetap di
pikiranku secara permanen,” lanjutnya. Pipiku memanas dan aku tak dapat
menyembunyikan atau pun menahan rona merah itu. Ibu jarinya mengelus-elus
punggung tanganku lalu ia mendesah pelan. Tidak banyak yang kami bicarakan,
hanya bahasa-bahasa tubuh saja yang menemani kami. Pangeran Miguel menyandarkan
kepalanya di bahuku lalu bersenandung lembut.
Sesekali ia bernyanyi pelan dan aku tak tahu kalau suara merdunya itu dapat
memberikan gelenyar nikmat di indra pendengarku lalu berujung di bagian bawah
sana. Aku menarik tanganku dari elusan ibu jarinya sehingga ia mengangkat
kepala dari bahuku. Ibu jarinya menarik daguku sehingga wajah kami berhadapan.
Terhipnotis akan dua bola mata birunya yang sekarang terlihat semburat warna
hijau mengilau, aku ingin berteriak padanya. Aku ingin memberitahunya betapa
aku sangat merindukannya. Aku ingin ia memelukku. Aku ingin ia menciumku. Aku
ingin mengatakan hal-hal manis padaku. Tetapi keadaan sekarang sudah berbanding
terbalik.
Aku tidak bisa mendapat pelukan darinya sementara ia memiliki istri. Aku tidak
bisa melakukan hal-hal seperti itu jika ia memiliki istri. Hal itu membuatku
seperti perusak hubungan orang lain. Di satu sisi, aku sangat menginginkannya.
Tetapi di satu sisi, aku memikirkan bagaimana perasaan Margery jika suaminya
selingkuh darinya. Dan aku bertanya-tanya, perasaan mana yang lebih
mendominasi?
Saat pangeran Miguel ingin mencium bibirku, aku membuang wajah darinya. “Kita
tidak bisa melakukan ini.” Kudengar suara desahan nafas putus asa dari pangeran
Miguel.
“Kita bisa,” katanya kasar. Aku meliriknya dan suaranya mulai melembut. “Kita
bisa, Eleanor. Kau tidak perlu takut akan apa pun karena aku akan
melindungimu.” Aku bangkit dari tempatku dan merapikan jahitan-jahitanku.
“Kuharap Margery cepat hamil agar kau tidak lagi menyentuhku,” kataku ketus.
“Tidak akan ada yang menghalangiku, Eleanor,” ucapnya. “Jika kau takut akan
sesuatu, katakanlah. Aku akan melindungimu.” Mendengar ucapannya yang penuh
omong kosong itu, aku tersinggung. Sejak kapan ia melindungiku? Yang ia
pikirkan hanyalah perasaannya! Ia bajingan egois yang tidak memikirkan
bagaimana perasaanku jika ia melakukan ini atau itu.
“Kau tidak pernah melindungiku, Justin Miguel Thaddeus! Tidak sekalipun. Yang
kaupikirkan hanyalah dirimu, dirimu, dan dirimu. Kau memikirkan bagaimana
perasaanmu jika Abigail menikah dengan orang lain, kau memikirkan bagaimana
perasaanmu jika aku tidak menuruti keinginanmu dan kau memikirkan bagaimana
caranya menghamiliku! Ini semua tentangmu!” Aku mulai berbicara tak jelas.
Pangeran Miguel bangkit dari tempatnya lalu menyentuh lenganku. Refleks, aku
melangkah mundur agar tak tersentuh seolah-olah ia mahluk nista. Kulihat
kekecewaan yang sama seperti sebelum ia pergi dariku dari kamar di Crumple.
“Suatu saat kau akan mengerti pengorbananku untukmu,” katanya dingin.
“Oh, aku akan menunggu,”
sindirku menatapnya tajam. Perasaan cinta dan benci ini seperti minyak dan air,
dan aku tidak ingin perasaan ini terus menyakitiku atau pangeran Miguel. Aku
mendengus kesal dan meninggalkannya sendirian. Seluruh amarahku benar-benar
menguasaiku. Aku meremas tanganku lalu merasakan cairan yang basah di telapak
tanganku. Sialan, darah jari tengahku kembali keluar.
***
Rambut hitam dan putihnya berbaur menjadi satu di kepala itu, mata birunya
menatap lembut padaku dengan sebuah senyum menenangkan hati. Dalam ruang duduk
yang hening ini, aku dapat mendengar detak jantungku sendiri. Ini pertama
kalinya aku duduk bersama dengan seorang raja dan sebentar lagi ia akan
berbicara denganku. Mengingat kembali apa yang dilakukan padaku membuat
senyumnya yang menenangkan hati, tidak begitu berarti apa-apa bagiku.
Ia memakai jubah ungu yang menutupi seluruh tubuhnya dengan mahkota besar di
kepalanya. Ia tidak memiliki janggut atau kumis, segalanya tercukur rapi
sehingga ia kelihatan lebih muda dibanding umur yang sebenarnya. Sekarang aku
mengerti mengapa pangeran Miguel dan Geoffrey bisa begitu tampan. Sebagian
besar keelokan mereka diturunkan dari Ayahnya yang memiliki sejarah. Selain
melumpuhkan kerajaan besar 20 tahun lalu, ternyata ia juga dirumorkan memiliki
kekuatan hebat di atas ranjang. Terlebih lagi saat ia masih muda. Dengan wajah
dan stamina muda yang hebat, ia dijuluki sebagai pria yang memiliki kekuatan 10
kali lipat dibanding pria normal lainnya.
Dan di usianya yang sudah menginjak 50 tahun ini, ia masih kelihatan begitu
bugar. Kerutan di wajahnya mungkin menjadi masalah utama bagi wanita muda
yang—sebenarnya—menginginkannya. Pemikiran itu begitu gila, tetapi itulah yang
kudengar. Sepupu teman-temanku yang usianya bisa dikatakan seumuran denganku,
menginginkan sang raja sebagai kekasihnya. Dan hal itu sempat membuatku
mual—mungkin sampai sekarang. Setelah keheningan yang panjang, akhirnya raja
membuka percakapan.
“Bagaimana keadaanmu selama di istana ini, Eleanor yang cantik?” Tanyanya
dengan suara serak. Aku mengangguk sopan tetapi tidak tersenyum.
“Semuanya baik-baik saja, Yang Mulia,” kataku. Raja tertawa—lebih terdengar
tertawa mengejek bagiku. Sederetan gigi putihnya terlihat. Sulit diakui kalau
ia sudah menginjak umur 50 tahun, ia tampak seperti baru memasuki umur 40
tahun. Aku membayangkan bagaimana pangeran Miguel di masa tua nanti. Apakah
akan semuda ini saat ia menginjak umur 50 tahun? Cepat-cepat aku membuang
pemikiran bodoh itu.
“Kudengar kau tertarik pada anak sulungku, Miguel. Apakah itu benar?”
“Siapa yang tidak, Yang Mulia?” Kataku dengan nada bertanya balik. Aku tidak
ingin berbohong padanya tetapi aku juga tidak ingin mengakui bahwa aku sangat
tertarik pada anak sulungnya. Raja terkekeh pelan kemudian ia melepas
mahkotanya dari kepala lalu menaruhnya di atas meja di depan kami. Ia bersandar
kursi lalu memerhatikanku dengan tatapan menilai. Kepalaku tertunduk saat ia
memerhatikanku seperti pangeran Miguel melihatku.
“Kau gadis muda yang menarik, Eleanor. Aku tidak rela memberikanmu pada istriku
sebagai perawannya yang akan dijual pada earl atau duke di luar sana.
Biarkanlah kau dan anak perempuanku menjadi primadona di Cardwell. Asalkan…” ia
menggantungkan ucapannya.
“Asalkan?”
“Asalkan kau mau menjadi salah satu wanita simpananku. Oh, akan sangat
mengagumkan bila aku memiliki wanita muda berambut merah dengan paras elok
sepertimu. Raja dari kerajaan lain pasti akan iri setengah mati padaku karena
memilikimu sebagai wanita simpanan. Bagaimana dengan itu? Semuanya akan lancar
bila kau menyetujuinya, Eleanor,” katanya santai. Aku ingin mual. Menjadi
wanita simpanan dari pria tua berumur 50 tahun? Aku tercengang. Sudah jelas aku
akan menolaknya. Sebuah senyum mesum ia pancarkan dan aku bisa yakin, aku akan
berada di atas ranjang malam ini jika aku menerima tawarannya. Pipiku berubah
menjadi sama seperti warna rambutku jika aku sedang marah, namun apakah ia tahu
akan hal itu?
“Tidak,” tolakku menggeleng.
“Aku tahu kau akan menjawabku seperti itu,” katanya. “Maka dari itu, aku
memaksamu, Eleanor-ku yang cantik. Kuberi kau waktu kira-kira… hmm, 2 hari? Aku
bukan pria yang sabar terutama jika hal itu berurusan dengan kebutuhanku. Nah,
sebelum kau memikirkannya, aku akan memberitahu keuntunganmu menerima tawaran
ini dan kerugiannya jika kau menolaknya.”
“Yang Mulia, kurasa ini sangat salah. Mengingat perbuatan sang ratu yang sangat
baik padaku tentu akan membuatku merasa bersalah jika aku menerima tawaranmu,”
kataku menolaknya lebih halus lagi. Namun apa pun yang keluar dari mulutku
tidak ia indahkan.
“Jika kau menjadi wanita simpananku, aku akan membuat keluargamu sejahtera,
sayangku. Adik-adikmu akan mendapatkan pendidikan yang bagus, pakaian yang
indah dan makanan yang sehat. Bahkan kau boleh mengunjungi keluargamu satu
minggu sekali. Bagaimana dengan itu? Nah, sebaliknya. Jika kau menolak menjadi
wanita simpananku, aku akan membuat keluargamu menderita. Terutama pada Sarah
kecil yang cantik—“
“Jangan berani-berani kau menyentuhnya!”
“—dan Lucas yang menawan. Oh, mereka akan menjadi sasaran utama. Semuanya tidak
akan hidup bahagia bahkan kau, Eleanor. Aku akan melakukan itu sampai kau ingin
menjadi wanita simpananku. Jadi, sekarang, pergilah keluar dan tidur. Atau pikirkanlah
apa yang baru saja kukatakan. Mengerti?”
“Bajingan tua tak berharga!” Aku bangkit dari kursi. Sepertinya sikap tenang
pangeran Miguel diturunkan dari raja sialan ini.
“Aku memaafkanmu,” ucapnya pelan dan tenang. Tidak ada raut wajah marah atau
tersinggung, ia terlalu tenang sampai-sampai aku ingin mencekik lehernya.
Berani-beraninya ia menawari tawaran sialan itu! Karena sudah tidak tahan, aku
berjalan keluar dari kursi sambil memikirkan bagaimana cara agar aku dapat keluar
dari situasi. Raja Gregory sudah menjadi pemegang kuasa di Cardwell dan diriku.
Ia memiliki banyak hak istimewa. Dan memiliki wanita simpanan termasuk hak
istimewa yang ia miliki. Mengapa ratu Margaret tidak memarahi atau menegur
suaminya yang berengsek itu? Kalau aku jadi ratu, aku sudah pasti tidak akan
membiarkan suamiku memiliki wanita simpanan atau gundik yang tak berharga.
Melewati lorong yang berliku-liku, tak terasa air mataku menetes. Tidak ada
yang pernah merendahkanku seperti yang raja baru saja lakukan. Mengingat
ancamannya membuatku ketakutan setengah mati. Meski kehidupanku sederhana di
desa, aku tidak pernah menjual diriku untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Tubuhku bergetar membayangkan jika ia menciumku di seluruh tubuh dan memasukiku.
Ya Tuhan, haruskah aku menerima tawaran sialan itu? Tujuanku awalnya pergi ke
kamar dan tidur dengan tenang. Namun aku malah mendapati diriku di bawah pohon
rindang yang sama. Angin malam menerpa tubuhku. Aku ingin memejamkan mata dan
tak pernah bangun lagi.
Sinar bulan malam itu memberi pencahayaan meski tidak begitu terang. Bayangan
dedaunan di rumput tampak bergoyang-goyang sementara aku menyandarkan diri di
pohon, mengangkat kedua lututku dan memeluknya. Kusembunyikan wajahku di antara
kedua ujung lutut lalu menangis sepuas mungkin. Suara patahan ranting menarik
perhatianku. Kepalaku mendongak mencaritahu dari mana asal suara patahan
ranting itu. Ketakutan mulai menghinggap di seluruh tubuhku hingga bulu romaku
berdiri.
“Siapa itu?” Tanyaku dengan suara besar.
“Mengapa kau menangis?” Suara berat pangeran Miguel terdengar dingin di
telingaku. Aku tidak menjawabnya saat kutahu itu hanyalah dia. Jadi aku kembali
menyembunyikan wajahku di antara ujung paha sambil berharap ia akan pergi. Dan
harapan itu pasti tidak akan terjadi karena langkahan kakinya makin mendekat.
“Aku bertanya padamu, Eleanor Hughes,”
Kuangkat kepalaku dan menatapnya tajam. “Ini bukan urusanmu,” kataku ketus.
“Aku bisa membantumu jika kau membutuhkan bantuan, kau tahu itu, bukan?
Sekarang, ceritakanlah apa yang terjadi padamu.”
“Tidak ada.” Aku berbohong. Dan saat itulah aku sadar kalau aku sebenarnya tak
memiliki pilihan lain. Lebih baik mengorbankan satu orang dibanding 6 orang
berharga di rumahku. Kutatap pangeran Miguel dan berbicara dengan mantap.
“Tidak ada apa-apa, pangeran Miguel. Aku hanya merindukan keluargaku.”
“Begitukah? Kau bisa menemuinya jika kau ingin pergi bersamaku besok pagi
bersama Abigail dan Margery ke luar istana. Abigail ingin membawa Margery
berbelanja di pasar pedesaan dan sekalian agar Margery dapat berbaur dengan
masyarakat Cardwell,”
“Wah, pernikahan kalian sungguh luar biasa!” Sindirku memberi senyum palsu. Pangeran
Miguel membungkuk kemudian mengelap kedua mataku dengan ibu jarinya. “Terima
kasih untuk bantuannya. Tapi kurasa, Margery lebih membutuhkanmu dibanding aku.
Lagi pula sekarang sudah malam. Aku harus tidur,” kataku berdiri lalu
mengangkat rok agar dapat mengambil langkah besar. Aku baru saja mengambil satu
langkah namun tangan pangeran Miguel menahan lenganku.
“Bagaimana dengan penawaranku?” Tanyanya kasar karena kau mengabaikannya.
“Aku tidak bisa,” kataku menolak. Kuberanikan diriku untuk menatapnya tajam
lagi. “Raja memintaku untuk bertemu dengannya besok. Jadi aku tidak bisa
menemani Abigail. Bagaiman pun juga, raja orang pertama di Cardwell dan aku
harus melayaninya lebih dulu dari Abigail,”
“Apa ayahku yang membuatmu menangis seperti ini?” Tanyanya dingin, suaranya
menyiratkan ketidaksukaan. Aku menggeleng.
“Tidak. Sudah kukatakan padamu, aku merindukan keluargaku,” dustaku. Kutarik
kasar genggaman tangannya di lenganku lalu pergi dari hadapannya. Tidak ayah,
tidak anaknya, mereka sama saja. Bedanya, pangeran Miguel menarik dan aku
mencintainya. Sialan! Lupakan perasaanmu, kata hatiku menegur. Aku
mengangguk. Ya, aku harus melupakan perasaan konyol ini dan berdamai dengan
pangeran Miguel. Ia sudah menjadi milik Margery, putri Cardwell, istri pangeran
Miguel.
***
Ia memasukiku sementara air mataku terus mengalir namun suara tangisku tak
terdengar. Aku hanya menunggu sampai ia selesai melakukannya. Tubuhku diapit
diantara tubuhnya dan tempat tidur dalam keadaan telungkup. Rasanya sangat
menyakitkan sekaligus menyedihkan berada dalam keadaan seperti pelacur murahan.
Ia tidak sama sekali mengasihaniku saat aku memohon untuk tidak menjadikanku
wanita simpanannya. Tetapi melihat keluargaku menderita akan lebih menyakitiku,
terutama karena aku tidak bersama-sama mereka.
Raja mendesah-desah di atas tubuhku sementara aku terus menunggu sampai ia
selesai. Aku tidak sama sekali menikmatinya dan rasanya sungguh tak
menyenangkan. Meski ia terus berusaha merangsangku, aku tidak terangsang sama
sekali. Aku sangat membencinya! Aku membenci keluarga Thaddeus sama seperti
masyarakat tidak menyukai keluarga mereka! Saat kurasakan ia menyembur di atas
punggungku, aku menarik nafas dalam-dalam dan terisak-isak. Ia sungguh
melecehkanku dan aku membiarkannya.
“Jangan cengeng,” katanya memarahiku. Tetapi aku tidak bisa menahan sakit hati
ini. Aku menarik selimut terdekat dan menutupi tubuh telanjangku.
“Bajingan,” gumamku turun dari tempat tidurnya.
“Aku pernah mendengar lebih buruk dari itu, jadi, aku hanya akan
mengabaikannya. Kembalilah ke kamarmu dan bersihkan dirimu.” Ia memerintahku
sementara hatiku terus memakinya. Kuambil gaun hitamku yang bertengger di atas
kursi lalu dengan selimut yang membalut seluruh tubuhku, aku mengelap air
maninya yang berada di punggungku. Sangat bau dan menjijikan. Seperti inikah
rasanya menjadi wanita simpanan sang raja? Akan kuberitahu sepupu temanku untuk
menarik kata-katanya kembali.
Aku berdiri di balik papan ganti baju lalu menekan-nekan punggungku dengan
selimut itu agar air maninya tak melengket di sana. Bahkan pangeran tidak
melakukannya begitu kasar dan sesingkat itu. Aku meragukan kehebatan raja di
atas ranjang. Ia tidak sama sekali menyenangkan. Aku memakai gaun tanpa memakai
korset atau apa pun. Setelah ini, aku yakin, kebiasaanku malam adalah menangis.
Oh, Ibu, apakah ini memang takdirku menjadi wanita menyedihkan?
“Ada surat dari keluargamu,” kata raja menarik perhatianku. Aku mendengus
sambil mengambil selimut bekas air mani yang tadi membersihkan punggungku.
“Mereka bilang, mereka merindukanmu dan berharap kau baik-baik saja. Oh,
Eleanor. Selama kau bersamaku, kau akan baik-baik saja. Akan kukirim pakaian-pakaian
indah untuk adik-adikmu dan pelayan untuk melayani mereka. Malam ini, meski kau
cengeng, aku masih menikmatinya,”
“Kuharap kau menyukai neraka,” ucapku keluar dari balik papan ganti baju.
Ternyata ia dari tadi berdiri di depan papan ganti baju. Tanganya yang nakal
meremas bokongku hingga aku terperanjat. Aku memakinya kemblai dalam hati. Lalu
aku berjalan menuju pintu keluar kamar dan berhenti saat kubuka pintunya.
“Sampaikan salamku pada Lucifer.”
“Oh, tidak. Kau sekarang sedang berbicara dengannya.” Aku hanya mengabaikan
tawa mengejeknya dan keluar. Mataku terbakar mengingat apa yang sudah terjadi.
Ia mencium bibirku saat aku masuk dalam kamar dan meremas buah dadaku. Ia
sangat menikmati perbuatannya sementara aku terus meneteskan air mata. Tidak
sekalipun ia mengasihaniku, justru ia semakin menyukainya. Katanya, ia suka
wanita keras kepala sepertiku—bahkan di saat lemah seperti itu.
Aku melempar selimut kotor itu di sisi lorong yang kulewati dan membiarkannya
tergeletak di sana. Kupeluk perutku dan menundukkan kepala sehingga rambut
merahku menyembunyikan wajahku. Aku ingin mandi. Aku ingin berenang di laut
atau di setidaknya, di sungai di dekat istana ini. Matahari mulai turun
sehingga aku tidak memiliki pilihan lain selain berlari cepat-cepat menuju
sungai agar aku bisa mandi dengan air segar.
Tidak akan ada yang dapat melihatku telanjang di sana. Sungai itu hampir tak
pernah terjamah oleh siapa pun di istana. Mungkin hanya pengurus perkebunan
yang harus memotong-motong rerumputan nakal yang menutupi keindahan sungai.
Tetapi kata pangeran Geoffrey, pengurus perkebunan hanya datang ke sungai
sebulan satu kali. Setibanya di sungai, aku membuka gaunku dan memasukkan
tubuhku dalam air sungai yang mengalir tenang. Airnya begitu jernih, bahkan aku
bisa melihat bebatuan di dalamnya. Aku menyelam selama beberapa detik untuk
membasahi rambut merahku lalu kembali keluar ke permukaan.
Saat itulah aku kedinginan. Tetapi aku mengabaikan rasa dinginku dan
menggantikannya dengan rasa sakit hati yang mendalam. Air mataku menyatu dengan
air sungai sambil aku menutupi buah dadaku. Aku masih bisa merasakan air
maninya yang menyembur di atas punggungku dan suara tawa kecilnya yang
mengejekku. Kembali aku menyelamkan wajahku ke dalam air lalu berteriak di
dalam. Teriakkanku teredam di sana dan aku merasa lebih baik. Kuangkat kembali
kepalaku ke permukaan air lalu mengelap wajahku dengan telapak tangan.
“Oh, ya Tuhan, maafkan aku,” bisikku terisak. Tanganku membersihkan punggung
yang terasa lengket itu sampai aku rasa punggungku sudah bersih. “Kuharap ia
mati,” ucapku sekarang tidak merasa sedih lagi. Tidak, tidak, tidak. Aku bukan tidak
merasa sedih, tetapi aku merasa sedih sekaligus marah. Seharusnya ia tidak
memanfaatkan keadaanku yang lemah.
“Apa yang ia lakukan padamu?” Sebuah suara berat membuatku terperanjat di
tempat. Pangeran Miguel berjongkok di belakang gaun hitamku sementara ia
mengendusnya. Raut wajahnya jijik dan membuang gaun itu ke sungai sehingga gaun
itu terbawa arus. “Naiklah,” perintahnya lembut.
“Kau baru saja membuang gaunku!” Teriakku marah.
“Naik atau aku yang akan membawamu naik,” katanya mengabaikan amarahku. Tidak
punya pilihan lain, aku naik malu-malu ke daratan dan mengabaikan pandangannya
yang sekarang berubah menjadi tatapan serigala yang melihat domba nikmat. Tidak
mengatakan apa-apa, ia membuka kaitan jubahnya lalu membaluti tubuhku dengan
jubahnya yang terlalu besar untukku.
“Terima kasih,” bisikku.
“Apa yang Ayahku lakukan padamu, Eleanor?” Geramnya marah. Aku menggeleng. Jika
aku memberitahunya, maka besok kepalaku sudah menjadi hiasan istana di dinding.
Tangannya mencengkeram lenganku dengan kuat sampai terasa sakit. “Jawab aku!”
Perintahnya menatapku tajam. Aku mulai ketakutan. Tidak pernah aku melihat
pangeran Miguel begitu marah seperti ini. Mata birunya lebih gelap dibanding
mata biru cerahnya—yang biasanya diselingi dengan warna hijau. Rahangnya menegang
dan warna wajahnya hampir sama dengan warna rambutku.
“Ia memintaku menjadi wanita simpanannya,” bisikku gemetaran.
“Dan kau menerimanya?” Tanyanya. Aku mengangguk dua kali. “Bajingan!” Bentaknya
memejamkan mata. “Kau berbohong padaku, Eleanor! Oh, sialan kau. Mengapa kau
menerima tawaran itu? Mengapa kau tidak memberitahuku kemarin malam? Jika kau
memberitahuku, aku pasti akan melindungimu dari bajingan macam Ayahku!”
“Miguel,” bisikku mengangkat tanganku untuk mengelus pipinya agar ia melembut.
“Aku tidak punya pilihan lain. Jika aku tidak menerimanya, keluargaku terancam
mati. Aku tidak mempunyai siapa pun lagi di dunia ini selain keluargaku.
Kumohon mengertilah.”
“Aku tidak bisa mengerti pemikiranmu yang bodoh ini! Mulai sekarang kau tidak
boleh melayaninya lagi. Aku akan memintanya agar kau menjadi pelayan istriku,
setelahnya, kau akan aman. Dan jika kau berbohong padaku lagi, Eleanor, aku tak
tahu lagi apa yang harus kulakukan selain membunuh siapa pun yang berani
merusak hubungan kita agar kau berhenti berbohong padaku.”
“Tidak, jangan lakukan itu,” bisikku mengelus pipinya. Matanya terpejam sesaat,
seolah-olah sedang menahan sesuatu hingga rahangnya semakin mengeras.
“Ceritakan padaku apa yang terjadi,”
“Tidak, aku tidak bisa,” tolakku menarik tangan dari pipinya. Tatapanku jatuh
pada kancing pakaiannya. “Terlalu menyakitkan jika aku mengingat-ingat kembali
apa yang baru saja ia lakukan padaku.”
“Apa ia menyakitimu?”
“Tidak secara fisik,” bisikku masih tidak berani menatap matanya. “Aku merasa
bersalah padamu, Miguel. Maafkan aku. Seharusnya aku tidak bersikap
kekanak-kanakan. Oh, ini semua salahku. Jika saja aku membiarkanmu menjelaskan
segalanya, aku pasti tidak akan merasa bersalah seperti ini. Terlebih lagi, aku
sudah tidur dengan Ayahmu. Jika kau membenciku sekarang, tidak apa-apa. Aku
mengerti. Sekarang aku hanyalah pelacur murahan yang dipakai keluarga Thaddeus.
Tinggal kutunggu giliran adikmu, Geoffrey,”
“Hush.” Ia menarikku dalam dekapannya. “Aku tidak pernah menganggapmu pelacur
dan ini semua bukan salahmu. Ayahku yang berengsek itu memang harus berhenti
mencari-cari wanita simpanan. Aku selalu mendapati Ibuku memberi senyum paksa
di dapur sambil membantu para pelayan menyiapkan makan malam atau di
kamarnya—saat ia menunggu Ayahku selesai dengan simpanannya,”
“Apa itu yang sedang ia lakukan sekarang?” Tanyaku pelan.
“Ya, aku lihat dia di dapur sambil berusaha tersenyum dengan Jemima. Saat
itulah aku tahu, Ayah pasti bersama dengan wanita simpanan barunya. Kupikir ia
memakai adik dari salah satu pengawal Ayahku. Namun saat kulihat kau berjalan
terburu-buru di lorong dan keluar dari taman dengan wajah tertekuk, aku
bersumpah tidak akan membiarkannya menyentuhmu,” jelasnya membuatku mengangguk
tenang. “Kau yakin ia tidak menyakitimu?”
“Ya,” bisikku. “Aku merindukanmu, Miguel. Aku sangat merindukanmu, terutama
pelukan hangat ini. Tiap malam aku membayangkan bagaimana perasaan Margery
berada dalam dekapanmu seperti ini. Pasti sangat menyenang—“
“Aku tidak pernah memeluknya di atas tempat tidur atau dimana pun. Aku sudah
mengatakan padanya dengan jelas bahwa aku tidak menyukainya dan ia—ternyata,
dan aku tidak percaya—sudah tahu. Sehingga hubungan kami hanya seperti teman
yang berada dalam satu
ranjang.”
“Tidakkah itu menyakiti perasaannya?” Tanyaku mendongak untuk melihatnya.
Pangeran Miguel menggeleng lalu menurunkan kepalanya agar dapat mengecup
bibirku. Satu kecupan hangat menyelimuti seluruh tubuhku hingga aku merasa
tenang.
“Itulah yang kuinginkan sejak aku menikah dengan Margery. Mengecupmu agar aku
tenang seperti biasa. Dan tidak melihatmu seharian ini sungguh mengganggu
pikiranku. Berjanjilah padaku, kau akan mengatakan apa pun yang kau
khawatirkan, mengerti?” Aku hanya mengangguk. Pangeran Miguel kembali mengecup
bibirku, kali ini dengan mulut terbuka, lidah kami saling membelai. Segalanya
terasa seperti mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar