Minggu, 21 Desember 2014

Beautiful Slave Bab 7 - A Sinner

CHAPTER SEVEN - A SINNER

            “Tidak,” kataku mendorong tubuh Justin agar menjauh dariku sekarang. Sebentar lagi ia akan menjadi milik orang lain dan aku sudah tak berhak menyentuhnya lagi. Aku bukan tipe wanita muda yang ingin menjadi wanita simpanan atau gundik. Sesungguhnya, aku hanya ingin menjadi pusat perhatian kehidupan seorang pria yang mencintaiku tulus. Pemikiran naif itu selalu mengejekku tiap kali aku sadar bahwa pangeran Miguel adalah keturunan kerajaan.
Dua bola mata biru itu menatapku dengan kecewa namun aku tidak peduli. Mengapa ia tidak memberitahuku sejak pertama kali kami berciuman? Aku pasti akan mengantisipasi keadaan yang akan diperhadapkan, seperti sekarang ini. Pangeran Miguel mengangguk satu kali, kemudian ia mengecup pipiku dan beranjak dari tempat. Nafasku tertahan begitu ia berhenti di mulut pintu kamarku yang menghubungkan kamar Abigail.
“Aku akan kembali. Hanya saja, bukan sekarang.” Mulai dari sana aku tidak pernah bisa tersenyum tulus lagi. Aku menghias rambutku agar tampak cantik dengan kepangan yang rumit. Setelahnya, aku berlari terburu-buru menuju gereja di samping istana. Pasti acaranya sudah dimulai karena pangeran Miguel sudah pergi. Semuanya terjadi begitu cepat dan aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi saat aku sudah melangkah masuk ke gereja dan melihat pangeran Miguel berdiri di altar dengan wajah tanpa senyum.
Ia sudah menjadi milik orang lain. Inikah yang dikatakan Ibuku, mencintai namun tak bisa memiliki? Aku membuang wajah tiap kali pangeran Miguel mencuri-curi pandang padaku di gereja maupun dalam istana. Ia berdansa dengan Abigail—raja yang meminta mereka untuk mempersembahkan dansa istimewa di hari pernikahannya. Mata birunya tak lepas pandang dari mata cokelat Abigail selama mereka berdansa penuh gairah dan gemulai. Kakiku seolah-olah tak menginjak bumi dan pikiranku selalu hilang entah kemana tiap kali aku berusaha mengabaikan yang sedang terjadi.
            Meski aku sudah melihat wajah istri pangeran Miguel, wanita muda itu tidak begitu buruk. Ia hanya memiliki gigi seperti gigi kuda dan selebihnya, ia memiliki tubuh yang elok. Baiklah, mungkin bibirnya yang tak dapat terkatup rapat karena giginya yang terlalu maju sehingga saat pastur meminta pangeran Miguel mengecup mempelai perempuan, ia mengecup pipi wanita muda itu. Dan wanita muda itu memiliki nama; Margery. Putri sulung kerajaan yang tidak akan mendapat gelar ratu karena adiknya laki-laki yang akan mendapat gelar raja. Selalu seperti itu.
            Seharian itu aku tidak dapat tersenyum tulus. Oh, betapa buruknya sifatku! Mengapa aku tidak bisa sekali saja tersenyum senang atas pernikahan pangeran Miguel? Pangeran Geoffrey menawarkanku untuk berdansa, tetapi aku menolaknya halus. Berdansa bukan keahlianku dan itu hal yang sangat memalukan. Sesekali beberapa pria mendekatiku untuk berkenalan dan bertanya siapa aku. Begitu aku memberitahunya kalau aku hanyalah seorang pelayan, ia berlenggang pergi. Menyedihkan sekali.
            Malam harinya, aku bertanya-tanya apa yang dilakukan pangeran Miguel bersama istrinya sekarang. Apakah mereka sedang bercinta? Atau pangeran Miguel langsung tidur karena kelelahan? Dari seluruh bayanganku, yang paling mendominasi adalah bagaimana pangeran Miguel memperlakukan Margery begitu lembut, sama seperti ia memperlakukanku di atas tempat tidur. Aku tidak bisa tidur! Sinar bulan menembus masuk melewati kaca bening di samping tempat tidurku. Dalam keadaan duduk, aku memerhatikan keluar kamar. Tidak banyak orang malam itu—tentu saja karena sudah tengah malam.
            Dari jarak jauh, aku dapat melihat seorang wanita sedang memberontak di dekat pintu gerbang istana. Wanita itu seperti menjerit saat salah seorang prajurit mencapit lehernya dengan pipinya menempel dengan tembok. Rok wanita muda itu terangkat setelah itu ia diperkosa habis-habisan. Ingin aku menolongnya, tetapi kembali lagi, itu bukan urusanku. Ayah yang mengajarkanku untuk tidak mengikutcampur urusan orang lain. Sekalipun orang itu dibunuh atau diperkosa. Bukan karena Ayah tidak peduli, tetapi ia tidak ingin aku menjadi korban berikutnya. Pemerkosaan itu berlangsung begitu cepat dan prajurit itu mendorong kasar wanita muda berambut pirang kusam itu dari mulut gerbang istana ke pintu yang lebih kecil agar wanita muda itu pergi.
            Aku membayangkan bagaimana jika hal itu terjadi padaku. Aku diperkosa sementara aku berteriak-teriak meminta tolong. Siapa yang akan menolongku? Oh, segala ucapan yang dikatakan pangeran Miguel kembali mengembara di pikiranku. Bagaimana dia meyakinkanku kalau aku akan aman selama bersama dengannya. Dan itu sungguh mustahil karena ia telah menjadi milik orang lain. Orang terhormat yang sama sepertinya. Aku begitu naif memikirkan segala keindahan yang akan kualami bersamanya. Pada dasarnya, aku hanyalah pelayan yang tak dianggap.

***

            Berada di istana Crumple selama satu minggu tidak begitu menyenangkan. Aku harus membantu Abigail berjalan-jalan bersama pangeran Miguel dan istrinya. Sesekali pangeran Geoffrey menemaniku untuk berkuda bersama di luar istana—tentunya mengendap-endap. Perasaan cemburuku terus bertumbuh tiap kali istri pangeran Miguel bergelanyut mesra di lengan pangeran Miguel. Namun ketika kulihat raut wajah pangeran Miguel yang tampak tak bahagia, rasa cemburuku tertindih dengan perasaan sedih. Seharusnya ia senang telah menikah.
            Dan untungnya, sepulang dari istana Crumple, aku dapat melihat senyum tulus dari pangeran Miguel pada masyarakatnya begitu ia disambut dengan meriah oleh masyarakat karena ia telah menikah. Seluruh karnaval diadakan untuk menghibur masyarakat. Tentu saja raja tidak akan menyia-nyiakan momen sempurna ini. Mungkin tahun ini merupakan tahun yang paling bersejarah baginya selain ia pernah melumpuhkan kerajaan lain—20 tahun lalu. Udara sejuk Cardwell kembali kuhirup untuk meyakinkan diri sendiri bahwa aku sudah pulang. Satu bulan sudah aku tidak menemui keluargaku. Pangeran Geoffrey bilang, keluargaku baik-baik saja. Raja tidak membayarku di istana tetapi ia berjanji akan terus mengirimkan persediaan makanan untuk keluargaku jika aku masih bekerja di istana.
            Siang ini, pangeran Miguel harus berjalan-jalan bersama Margery untuk memperkenalkan Cardwell pada istrinya. Abigail ikut bersama pangeran Geoffrey dan aku menolak tawaran mereka untuk ikut bersama-sama. Aku tidak ingin melihat kemesraan yang memuakkn dari pasangan terhormat itu. Seluruh harga diriku jatuh mengingat apa yang telah kulakukan bersama pangeran Miguel! Jadi, untuk menenangkan otakku yang panas, aku duduk di bawah pohon rindang yang sama. Tempat dimana aku pertama kali berbicara dengan pangeran Geoffrey sementara aku akan menjahit sebuah sapu tangan tipis.
            Aku bersenandung pelan sambil terus memainkan dua jarum yang menghasilkan sapu tangan halus dari benang sutra. Malam nanti aku harus bertemu dengan sang raja di ruang duduk, seperti yang dikatakan pangeran Geoffrey tiga minggu yang lalu. Rasa penasaranku tak dapat kubendung sehingga aku terus membuat pertanyaan konyol. Oh, apa yang akan raja bicarakan denganku?
            “Aku tidak pernah mendengarmu bersenandung.” Sebuah suara rendah membuatku terkejut setengah mati sehingga secara tak sengaja jarum tajam itu menusuk jari tengahku. Oh sial! Aku mencium jari tengahku agar darahnya tak menetes. Pangeran Miguel dengan sikap ksatrianya menarik jari tengahku dari mulutku lalu mengisap jari tengahku. Isapan mulutnya di jari tengahku membuatku mendesah pelan.
            “Tidak,” kataku menarik jari tengahku dari mulutnya. Bukankah seharusnya ia berada di samping Margery? “Pergilah, pangeran Miguel,” ucapku mendongak agar dapat melihat wajahnya. Wajah tampan itu gelap karena sinar matahari di belakang dan dedaunan yang menutupi tubuh kami dari sinar matahari dari atas. Mata birunya menyiratkan kerinduan dan juga pemujaan. Selalu dengan pandangan yang sama. Pandangan yang membuatku bingung harus berbuat apa padanya.
            “Kau mengusirku?” Tanyanya membungkuk. Jari telunjuknya menarik daguku kemudian bibirnya mengecup bibirku singkat. “Sudah berminggu-minggu aku tidak mengecup bibir manis ini,”
            “Ya, benar sekali,” sindirku. “Pasti bibir Margery rasanya lebih nikmat,” tukasku menarik wajah darinya lalu menunduk untuk meniup jari tengahku. Pangeran Miguel tidak beranjak dari tempatnya setelah sindiranku, ia malah duduk di sebelahku dan menarik jariku yang terluka.
            “Aku tidak pernah mencium bibirnya atau bercinta dengannya,” akunya. Aku tidak percaya! Tubuh Margery sangat menggiurkan meski tampangnya tak mendukung. Sebuah tiupan halus dari mulut pangeran Miguel memberikan getaran nikmat di sekujur tubuhku. Aku tidak bisa membohongi diriku lagi. Aku sangat merindukan pangeran Miguel! Mataku mencuri-curi pandang padanya. Ia dengan penuh perhatian meniup jari tengahku lalu mengecupnya lembut. “Aku tidak bisa melakukannya jika bayang-bayangmu terus menghantui pikiranku.”
            “Maka hilangkanlah,” bisikku.
          “Tidak bisa,” katanya menaruh tanganku di atas pahanya. “Kau sudah menetap di pikiranku secara permanen,” lanjutnya. Pipiku memanas dan aku tak dapat menyembunyikan atau pun menahan rona merah itu. Ibu jarinya mengelus-elus punggung tanganku lalu ia mendesah pelan. Tidak banyak yang kami bicarakan, hanya bahasa-bahasa tubuh saja yang menemani kami. Pangeran Miguel menyandarkan kepalanya di bahuku lalu bersenandung lembut.
            Sesekali ia bernyanyi pelan dan aku tak tahu kalau suara merdunya itu dapat memberikan gelenyar nikmat di indra pendengarku lalu berujung di bagian bawah sana. Aku menarik tanganku dari elusan ibu jarinya sehingga ia mengangkat kepala dari bahuku. Ibu jarinya menarik daguku sehingga wajah kami berhadapan. Terhipnotis akan dua bola mata birunya yang sekarang terlihat semburat warna hijau mengilau, aku ingin berteriak padanya. Aku ingin memberitahunya betapa aku sangat merindukannya. Aku ingin ia memelukku. Aku ingin ia menciumku. Aku ingin mengatakan hal-hal manis padaku. Tetapi keadaan sekarang sudah berbanding terbalik.
            Aku tidak bisa mendapat pelukan darinya sementara ia memiliki istri. Aku tidak bisa melakukan hal-hal seperti itu jika ia memiliki istri. Hal itu membuatku seperti perusak hubungan orang lain. Di satu sisi, aku sangat menginginkannya. Tetapi di satu sisi, aku memikirkan bagaimana perasaan Margery jika suaminya selingkuh darinya. Dan aku bertanya-tanya, perasaan mana yang lebih mendominasi?
            Saat pangeran Miguel ingin mencium bibirku, aku membuang wajah darinya. “Kita tidak bisa melakukan ini.” Kudengar suara desahan nafas putus asa dari pangeran Miguel.
            “Kita bisa,” katanya kasar. Aku meliriknya dan suaranya mulai melembut. “Kita bisa, Eleanor. Kau tidak perlu takut akan apa pun karena aku akan melindungimu.” Aku bangkit dari tempatku dan merapikan jahitan-jahitanku.
            “Kuharap Margery cepat hamil agar kau tidak lagi menyentuhku,” kataku ketus.
            “Tidak akan ada yang menghalangiku, Eleanor,” ucapnya. “Jika kau takut akan sesuatu, katakanlah. Aku akan melindungimu.” Mendengar ucapannya yang penuh omong kosong itu, aku tersinggung. Sejak kapan ia melindungiku? Yang ia pikirkan hanyalah perasaannya! Ia bajingan egois yang tidak memikirkan bagaimana perasaanku jika ia melakukan ini atau itu.
            “Kau tidak pernah melindungiku, Justin Miguel Thaddeus! Tidak sekalipun. Yang kaupikirkan hanyalah dirimu, dirimu, dan dirimu. Kau memikirkan bagaimana perasaanmu jika Abigail menikah dengan orang lain, kau memikirkan bagaimana perasaanmu jika aku tidak menuruti keinginanmu dan kau memikirkan bagaimana caranya menghamiliku! Ini semua tentangmu!” Aku mulai berbicara tak jelas. Pangeran Miguel bangkit dari tempatnya lalu menyentuh lenganku. Refleks, aku melangkah mundur agar tak tersentuh seolah-olah ia mahluk nista. Kulihat kekecewaan yang sama seperti sebelum ia pergi dariku dari kamar di Crumple.
            “Suatu saat kau akan mengerti pengorbananku untukmu,” katanya dingin.
“Oh, aku akan menunggu,” sindirku menatapnya tajam. Perasaan cinta dan benci ini seperti minyak dan air, dan aku tidak ingin perasaan ini terus menyakitiku atau pangeran Miguel. Aku mendengus kesal dan meninggalkannya sendirian. Seluruh amarahku benar-benar menguasaiku. Aku meremas tanganku lalu merasakan cairan yang basah di telapak tanganku. Sialan, darah jari tengahku kembali keluar.

***

            Rambut hitam dan putihnya berbaur menjadi satu di kepala itu, mata birunya menatap lembut padaku dengan sebuah senyum menenangkan hati. Dalam ruang duduk yang hening ini, aku dapat mendengar detak jantungku sendiri. Ini pertama kalinya aku duduk bersama dengan seorang raja dan sebentar lagi ia akan berbicara denganku. Mengingat kembali apa yang dilakukan padaku membuat senyumnya yang menenangkan hati, tidak begitu berarti apa-apa bagiku.
            Ia memakai jubah ungu yang menutupi seluruh tubuhnya dengan mahkota besar di kepalanya. Ia tidak memiliki janggut atau kumis, segalanya tercukur rapi sehingga ia kelihatan lebih muda dibanding umur yang sebenarnya. Sekarang aku mengerti mengapa pangeran Miguel dan Geoffrey bisa begitu tampan. Sebagian besar keelokan mereka diturunkan dari Ayahnya yang memiliki sejarah. Selain melumpuhkan kerajaan besar 20 tahun lalu, ternyata ia juga dirumorkan memiliki kekuatan hebat di atas ranjang. Terlebih lagi saat ia masih muda. Dengan wajah dan stamina muda yang hebat, ia dijuluki sebagai pria yang memiliki kekuatan 10 kali lipat dibanding pria normal lainnya.
            Dan di usianya yang sudah menginjak 50 tahun ini, ia masih kelihatan begitu bugar. Kerutan di wajahnya mungkin menjadi masalah utama bagi wanita muda yang—sebenarnya—menginginkannya. Pemikiran itu begitu gila, tetapi itulah yang kudengar. Sepupu teman-temanku yang usianya bisa dikatakan seumuran denganku, menginginkan sang raja sebagai kekasihnya. Dan hal itu sempat membuatku mual—mungkin sampai sekarang. Setelah keheningan yang panjang, akhirnya raja membuka percakapan.
            “Bagaimana keadaanmu selama di istana ini, Eleanor yang cantik?” Tanyanya dengan suara serak. Aku mengangguk sopan tetapi tidak tersenyum.
            “Semuanya baik-baik saja, Yang Mulia,” kataku. Raja tertawa—lebih terdengar tertawa mengejek bagiku. Sederetan gigi putihnya terlihat. Sulit diakui kalau ia sudah menginjak umur 50 tahun, ia tampak seperti baru memasuki umur 40 tahun. Aku membayangkan bagaimana pangeran Miguel di masa tua nanti. Apakah akan semuda ini saat ia menginjak umur 50 tahun? Cepat-cepat aku membuang pemikiran bodoh itu.
            “Kudengar kau tertarik pada anak sulungku, Miguel. Apakah itu benar?”
            “Siapa yang tidak, Yang Mulia?” Kataku dengan nada bertanya balik. Aku tidak ingin berbohong padanya tetapi aku juga tidak ingin mengakui bahwa aku sangat tertarik pada anak sulungnya. Raja terkekeh pelan kemudian ia melepas mahkotanya dari kepala lalu menaruhnya di atas meja di depan kami. Ia bersandar kursi lalu memerhatikanku dengan tatapan menilai. Kepalaku tertunduk saat ia memerhatikanku seperti pangeran Miguel melihatku.
            “Kau gadis muda yang menarik, Eleanor. Aku tidak rela memberikanmu pada istriku sebagai perawannya yang akan dijual pada earl atau duke di luar sana. Biarkanlah kau dan anak perempuanku menjadi primadona di Cardwell. Asalkan…” ia menggantungkan ucapannya.
            “Asalkan?”
            “Asalkan kau mau menjadi salah satu wanita simpananku. Oh, akan sangat mengagumkan bila aku memiliki wanita muda berambut merah dengan paras elok sepertimu. Raja dari kerajaan lain pasti akan iri setengah mati padaku karena memilikimu sebagai wanita simpanan. Bagaimana dengan itu? Semuanya akan lancar bila kau menyetujuinya, Eleanor,” katanya santai. Aku ingin mual. Menjadi wanita simpanan dari pria tua berumur 50 tahun? Aku tercengang. Sudah jelas aku akan menolaknya. Sebuah senyum mesum ia pancarkan dan aku bisa yakin, aku akan berada di atas ranjang malam ini jika aku menerima tawarannya. Pipiku berubah menjadi sama seperti warna rambutku jika aku sedang marah, namun apakah ia tahu akan hal itu?
            “Tidak,” tolakku menggeleng.
            “Aku tahu kau akan menjawabku seperti itu,” katanya. “Maka dari itu, aku memaksamu, Eleanor-ku yang cantik. Kuberi kau waktu kira-kira… hmm, 2 hari? Aku bukan pria yang sabar terutama jika hal itu berurusan dengan kebutuhanku. Nah, sebelum kau memikirkannya, aku akan memberitahu keuntunganmu menerima tawaran ini dan kerugiannya jika kau menolaknya.”
            “Yang Mulia, kurasa ini sangat salah. Mengingat perbuatan sang ratu yang sangat baik padaku tentu akan membuatku merasa bersalah jika aku menerima tawaranmu,” kataku menolaknya lebih halus lagi. Namun apa pun yang keluar dari mulutku tidak ia indahkan.
            “Jika kau menjadi wanita simpananku, aku akan membuat keluargamu sejahtera, sayangku. Adik-adikmu akan mendapatkan pendidikan yang bagus, pakaian yang indah dan makanan yang sehat. Bahkan kau boleh mengunjungi keluargamu satu minggu sekali. Bagaimana dengan itu? Nah, sebaliknya. Jika kau menolak menjadi wanita simpananku, aku akan membuat keluargamu menderita. Terutama pada Sarah kecil yang cantik—“
            “Jangan berani-berani kau menyentuhnya!”
            “—dan Lucas yang menawan. Oh, mereka akan menjadi sasaran utama. Semuanya tidak akan hidup bahagia bahkan kau, Eleanor. Aku akan melakukan itu sampai kau ingin menjadi wanita simpananku. Jadi, sekarang, pergilah keluar dan tidur. Atau pikirkanlah apa yang baru saja kukatakan. Mengerti?”
            “Bajingan tua tak berharga!” Aku bangkit dari kursi. Sepertinya sikap tenang pangeran Miguel diturunkan dari raja sialan ini.
            “Aku memaafkanmu,” ucapnya pelan dan tenang. Tidak ada raut wajah marah atau tersinggung, ia terlalu tenang sampai-sampai aku ingin mencekik lehernya. Berani-beraninya ia menawari tawaran sialan itu! Karena sudah tidak tahan, aku berjalan keluar dari kursi sambil memikirkan bagaimana cara agar aku dapat keluar dari situasi. Raja Gregory sudah menjadi pemegang kuasa di Cardwell dan diriku. Ia memiliki banyak hak istimewa. Dan memiliki wanita simpanan termasuk hak istimewa yang ia miliki. Mengapa ratu Margaret tidak memarahi atau menegur suaminya yang berengsek itu? Kalau aku jadi ratu, aku sudah pasti tidak akan membiarkan suamiku memiliki wanita simpanan atau gundik yang tak berharga.
            Melewati lorong yang berliku-liku, tak terasa air mataku menetes. Tidak ada yang pernah merendahkanku seperti yang raja baru saja lakukan. Mengingat ancamannya membuatku ketakutan setengah mati. Meski kehidupanku sederhana di desa, aku tidak pernah menjual diriku untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tubuhku bergetar membayangkan jika ia menciumku di seluruh tubuh dan memasukiku. Ya Tuhan, haruskah aku menerima tawaran sialan itu? Tujuanku awalnya pergi ke kamar dan tidur dengan tenang. Namun aku malah mendapati diriku di bawah pohon rindang yang sama. Angin malam menerpa tubuhku. Aku ingin memejamkan mata dan tak pernah bangun lagi.
            Sinar bulan malam itu memberi pencahayaan meski tidak begitu terang. Bayangan dedaunan di rumput tampak bergoyang-goyang sementara aku menyandarkan diri di pohon, mengangkat kedua lututku dan memeluknya. Kusembunyikan wajahku di antara kedua ujung lutut lalu menangis sepuas mungkin. Suara patahan ranting menarik perhatianku. Kepalaku mendongak mencaritahu dari mana asal suara patahan ranting itu. Ketakutan mulai menghinggap di seluruh tubuhku hingga bulu romaku berdiri.
            “Siapa itu?” Tanyaku dengan suara besar.
            “Mengapa kau menangis?” Suara berat pangeran Miguel terdengar dingin di telingaku. Aku tidak menjawabnya saat kutahu itu hanyalah dia. Jadi aku kembali menyembunyikan wajahku di antara ujung paha sambil berharap ia akan pergi. Dan harapan itu pasti tidak akan terjadi karena langkahan kakinya makin mendekat. “Aku bertanya padamu, Eleanor Hughes,”
            Kuangkat kepalaku dan menatapnya tajam. “Ini bukan urusanmu,” kataku ketus.
            “Aku bisa membantumu jika kau membutuhkan bantuan, kau tahu itu, bukan? Sekarang, ceritakanlah apa yang terjadi padamu.”
            “Tidak ada.” Aku berbohong. Dan saat itulah aku sadar kalau aku sebenarnya tak memiliki pilihan lain. Lebih baik mengorbankan satu orang dibanding 6 orang berharga di rumahku. Kutatap pangeran Miguel dan berbicara dengan mantap. “Tidak ada apa-apa, pangeran Miguel. Aku hanya merindukan keluargaku.”
            “Begitukah? Kau bisa menemuinya jika kau ingin pergi bersamaku besok pagi bersama Abigail dan Margery ke luar istana. Abigail ingin membawa Margery berbelanja di pasar pedesaan dan sekalian agar Margery dapat berbaur dengan masyarakat Cardwell,”
            “Wah, pernikahan kalian sungguh luar biasa!” Sindirku memberi senyum palsu. Pangeran Miguel membungkuk kemudian mengelap kedua mataku dengan ibu jarinya. “Terima kasih untuk bantuannya. Tapi kurasa, Margery lebih membutuhkanmu dibanding aku. Lagi pula sekarang sudah malam. Aku harus tidur,” kataku berdiri lalu mengangkat rok agar dapat mengambil langkah besar. Aku baru saja mengambil satu langkah namun tangan pangeran Miguel menahan lenganku.
            “Bagaimana dengan penawaranku?” Tanyanya kasar karena kau mengabaikannya.
            “Aku tidak bisa,” kataku menolak. Kuberanikan diriku untuk menatapnya tajam lagi. “Raja memintaku untuk bertemu dengannya besok. Jadi aku tidak bisa menemani Abigail. Bagaiman pun juga, raja orang pertama di Cardwell dan aku harus melayaninya lebih dulu dari Abigail,”
           “Apa ayahku yang membuatmu menangis seperti ini?” Tanyanya dingin, suaranya menyiratkan ketidaksukaan. Aku menggeleng.
            “Tidak. Sudah kukatakan padamu, aku merindukan keluargaku,” dustaku. Kutarik kasar genggaman tangannya di lenganku lalu pergi dari hadapannya. Tidak ayah, tidak anaknya, mereka sama saja. Bedanya, pangeran Miguel menarik dan aku mencintainya. Sialan! Lupakan perasaanmu, kata hatiku menegur. Aku mengangguk. Ya, aku harus melupakan perasaan konyol ini dan berdamai dengan pangeran Miguel. Ia sudah menjadi milik Margery, putri Cardwell, istri pangeran Miguel.

***

            Ia memasukiku sementara air mataku terus mengalir namun suara tangisku tak terdengar. Aku hanya menunggu sampai ia selesai melakukannya. Tubuhku diapit diantara tubuhnya dan tempat tidur dalam keadaan telungkup. Rasanya sangat menyakitkan sekaligus menyedihkan berada dalam keadaan seperti pelacur murahan. Ia tidak sama sekali mengasihaniku saat aku memohon untuk tidak menjadikanku wanita simpanannya. Tetapi melihat keluargaku menderita akan lebih menyakitiku, terutama karena aku tidak bersama-sama mereka.
            Raja mendesah-desah di atas tubuhku sementara aku terus menunggu sampai ia selesai. Aku tidak sama sekali menikmatinya dan rasanya sungguh tak menyenangkan. Meski ia terus berusaha merangsangku, aku tidak terangsang sama sekali. Aku sangat membencinya! Aku membenci keluarga Thaddeus sama seperti masyarakat tidak menyukai keluarga mereka! Saat kurasakan ia menyembur di atas punggungku, aku menarik nafas dalam-dalam dan terisak-isak. Ia sungguh melecehkanku dan aku membiarkannya.
            “Jangan cengeng,” katanya memarahiku. Tetapi aku tidak bisa menahan sakit hati ini. Aku menarik selimut terdekat dan menutupi tubuh telanjangku.
            “Bajingan,” gumamku turun dari tempat tidurnya.
            “Aku pernah mendengar lebih buruk dari itu, jadi, aku hanya akan mengabaikannya. Kembalilah ke kamarmu dan bersihkan dirimu.” Ia memerintahku sementara hatiku terus memakinya. Kuambil gaun hitamku yang bertengger di atas kursi lalu dengan selimut yang membalut seluruh tubuhku, aku mengelap air maninya yang berada di punggungku. Sangat bau dan menjijikan. Seperti inikah rasanya menjadi wanita simpanan sang raja? Akan kuberitahu sepupu temanku untuk menarik kata-katanya kembali.
            Aku berdiri di balik papan ganti baju lalu menekan-nekan punggungku dengan selimut itu agar air maninya tak melengket di sana. Bahkan pangeran tidak melakukannya begitu kasar dan sesingkat itu. Aku meragukan kehebatan raja di atas ranjang. Ia tidak sama sekali menyenangkan. Aku memakai gaun tanpa memakai korset atau apa pun. Setelah ini, aku yakin, kebiasaanku malam adalah menangis. Oh, Ibu, apakah ini memang takdirku menjadi wanita menyedihkan?
            “Ada surat dari keluargamu,” kata raja menarik perhatianku. Aku mendengus sambil mengambil selimut bekas air mani yang tadi membersihkan punggungku. “Mereka bilang, mereka merindukanmu dan berharap kau baik-baik saja. Oh, Eleanor. Selama kau bersamaku, kau akan baik-baik saja. Akan kukirim pakaian-pakaian indah untuk adik-adikmu dan pelayan untuk melayani mereka. Malam ini, meski kau cengeng, aku masih menikmatinya,”
            “Kuharap kau menyukai neraka,” ucapku keluar dari balik papan ganti baju. Ternyata ia dari tadi berdiri di depan papan ganti baju. Tanganya yang nakal meremas bokongku hingga aku terperanjat. Aku memakinya kemblai dalam hati. Lalu aku berjalan menuju pintu keluar kamar dan berhenti saat kubuka pintunya. “Sampaikan salamku pada Lucifer.”
            “Oh, tidak. Kau sekarang sedang berbicara dengannya.” Aku hanya mengabaikan tawa mengejeknya dan keluar. Mataku terbakar mengingat apa yang sudah terjadi. Ia mencium bibirku saat aku masuk dalam kamar dan meremas buah dadaku. Ia sangat menikmati perbuatannya sementara aku terus meneteskan air mata. Tidak sekalipun ia mengasihaniku, justru ia semakin menyukainya. Katanya, ia suka wanita keras kepala sepertiku—bahkan di saat lemah seperti itu.
            Aku melempar selimut kotor itu di sisi lorong yang kulewati dan membiarkannya tergeletak di sana. Kupeluk perutku dan menundukkan kepala sehingga rambut merahku menyembunyikan wajahku. Aku ingin mandi. Aku ingin berenang di laut atau di setidaknya, di sungai di dekat istana ini. Matahari mulai turun sehingga aku tidak memiliki pilihan lain selain berlari cepat-cepat menuju sungai agar aku bisa mandi dengan air segar.
            Tidak akan ada yang dapat melihatku telanjang di sana. Sungai itu hampir tak pernah terjamah oleh siapa pun di istana. Mungkin hanya pengurus perkebunan yang harus memotong-motong rerumputan nakal yang menutupi keindahan sungai. Tetapi kata pangeran Geoffrey, pengurus perkebunan hanya datang ke sungai sebulan satu kali. Setibanya di sungai, aku membuka gaunku dan memasukkan tubuhku dalam air sungai yang mengalir tenang. Airnya begitu jernih, bahkan aku bisa melihat bebatuan di dalamnya. Aku menyelam selama beberapa detik untuk membasahi rambut merahku lalu kembali keluar ke permukaan.
            Saat itulah aku kedinginan. Tetapi aku mengabaikan rasa dinginku dan menggantikannya dengan rasa sakit hati yang mendalam. Air mataku menyatu dengan air sungai sambil aku menutupi buah dadaku. Aku masih bisa merasakan air maninya yang menyembur di atas punggungku dan suara tawa kecilnya yang mengejekku. Kembali aku menyelamkan wajahku ke dalam air lalu berteriak di dalam. Teriakkanku teredam di sana dan aku merasa lebih baik. Kuangkat kembali kepalaku ke permukaan air lalu mengelap wajahku dengan telapak tangan.
            “Oh, ya Tuhan, maafkan aku,” bisikku terisak. Tanganku membersihkan punggung yang terasa lengket itu sampai aku rasa punggungku sudah bersih. “Kuharap ia mati,” ucapku sekarang tidak merasa sedih lagi. Tidak, tidak, tidak. Aku bukan tidak merasa sedih, tetapi aku merasa sedih sekaligus marah. Seharusnya ia tidak memanfaatkan keadaanku yang lemah.
            “Apa yang ia lakukan padamu?” Sebuah suara berat membuatku terperanjat di tempat. Pangeran Miguel berjongkok di belakang gaun hitamku sementara ia mengendusnya. Raut wajahnya jijik dan membuang gaun itu ke sungai sehingga gaun itu terbawa arus. “Naiklah,” perintahnya lembut.
            “Kau baru saja membuang gaunku!” Teriakku marah.
            “Naik atau aku yang akan membawamu naik,” katanya mengabaikan amarahku. Tidak punya pilihan lain, aku naik malu-malu ke daratan dan mengabaikan pandangannya yang sekarang berubah menjadi tatapan serigala yang melihat domba nikmat. Tidak mengatakan apa-apa, ia membuka kaitan jubahnya lalu membaluti tubuhku dengan jubahnya yang terlalu besar untukku.
            “Terima kasih,” bisikku.
            “Apa yang Ayahku lakukan padamu, Eleanor?” Geramnya marah. Aku menggeleng. Jika aku memberitahunya, maka besok kepalaku sudah menjadi hiasan istana di dinding. Tangannya mencengkeram lenganku dengan kuat sampai terasa sakit. “Jawab aku!” Perintahnya menatapku tajam. Aku mulai ketakutan. Tidak pernah aku melihat pangeran Miguel begitu marah seperti ini. Mata birunya lebih gelap dibanding mata biru cerahnya—yang biasanya diselingi dengan warna hijau. Rahangnya menegang dan warna wajahnya hampir sama dengan warna rambutku.
            “Ia memintaku menjadi wanita simpanannya,” bisikku gemetaran.
            “Dan kau menerimanya?” Tanyanya. Aku mengangguk dua kali. “Bajingan!” Bentaknya memejamkan mata. “Kau berbohong padaku, Eleanor! Oh, sialan kau. Mengapa kau menerima tawaran itu? Mengapa kau tidak memberitahuku kemarin malam? Jika kau memberitahuku, aku pasti akan melindungimu dari bajingan macam Ayahku!”
            “Miguel,” bisikku mengangkat tanganku untuk mengelus pipinya agar ia melembut. “Aku tidak punya pilihan lain. Jika aku tidak menerimanya, keluargaku terancam mati. Aku tidak mempunyai siapa pun lagi di dunia ini selain keluargaku. Kumohon mengertilah.”
            “Aku tidak bisa mengerti pemikiranmu yang bodoh ini! Mulai sekarang kau tidak boleh melayaninya lagi. Aku akan memintanya agar kau menjadi pelayan istriku, setelahnya, kau akan aman. Dan jika kau berbohong padaku lagi, Eleanor, aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan selain membunuh siapa pun yang berani merusak hubungan kita agar kau berhenti berbohong padaku.”
            “Tidak, jangan lakukan itu,” bisikku mengelus pipinya. Matanya terpejam sesaat, seolah-olah sedang menahan sesuatu hingga rahangnya semakin mengeras.
            “Ceritakan padaku apa yang terjadi,”
            “Tidak, aku tidak bisa,” tolakku menarik tangan dari pipinya. Tatapanku jatuh pada kancing pakaiannya. “Terlalu menyakitkan jika aku mengingat-ingat kembali apa yang baru saja ia lakukan padaku.”
            “Apa ia menyakitimu?”
            “Tidak secara fisik,” bisikku masih tidak berani menatap matanya. “Aku merasa bersalah padamu, Miguel. Maafkan aku. Seharusnya aku tidak bersikap kekanak-kanakan. Oh, ini semua salahku. Jika saja aku membiarkanmu menjelaskan segalanya, aku pasti tidak akan merasa bersalah seperti ini. Terlebih lagi, aku sudah tidur dengan Ayahmu. Jika kau membenciku sekarang, tidak apa-apa. Aku mengerti. Sekarang aku hanyalah pelacur murahan yang dipakai keluarga Thaddeus. Tinggal kutunggu giliran adikmu, Geoffrey,”
            “Hush.” Ia menarikku dalam dekapannya. “Aku tidak pernah menganggapmu pelacur dan ini semua bukan salahmu. Ayahku yang berengsek itu memang harus berhenti mencari-cari wanita simpanan. Aku selalu mendapati Ibuku memberi senyum paksa di dapur sambil membantu para pelayan menyiapkan makan malam atau di kamarnya—saat ia menunggu Ayahku selesai dengan simpanannya,”
            “Apa itu yang sedang ia lakukan sekarang?” Tanyaku pelan.
            “Ya, aku lihat dia di dapur sambil berusaha tersenyum dengan Jemima. Saat itulah aku tahu, Ayah pasti bersama dengan wanita simpanan barunya. Kupikir ia memakai adik dari salah satu pengawal Ayahku. Namun saat kulihat kau berjalan terburu-buru di lorong dan keluar dari taman dengan wajah tertekuk, aku bersumpah tidak akan membiarkannya menyentuhmu,” jelasnya membuatku mengangguk tenang. “Kau yakin ia tidak menyakitimu?”
            “Ya,” bisikku. “Aku merindukanmu, Miguel. Aku sangat merindukanmu, terutama pelukan hangat ini. Tiap malam aku membayangkan bagaimana perasaan Margery berada dalam dekapanmu seperti ini. Pasti sangat menyenang—“
            “Aku tidak pernah memeluknya di atas tempat tidur atau dimana pun. Aku sudah mengatakan padanya dengan jelas bahwa aku tidak menyukainya dan ia—ternyata, dan aku tidak percaya—sudah tahu. Sehingga hubungan kami hanya seperti teman yang berada dalam satu ranjang.”        
            “Tidakkah itu menyakiti perasaannya?” Tanyaku mendongak untuk melihatnya. Pangeran Miguel menggeleng lalu menurunkan kepalanya agar dapat mengecup bibirku. Satu kecupan hangat menyelimuti seluruh tubuhku hingga aku merasa tenang.
            “Itulah yang kuinginkan sejak aku menikah dengan Margery. Mengecupmu agar aku tenang seperti biasa. Dan tidak melihatmu seharian ini sungguh mengganggu pikiranku. Berjanjilah padaku, kau akan mengatakan apa pun yang kau khawatirkan, mengerti?” Aku hanya mengangguk. Pangeran Miguel kembali mengecup bibirku, kali ini dengan mulut terbuka, lidah kami saling membelai. Segalanya terasa seperti mimpi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar