Minggu, 21 Desember 2014

Beautiful Slave Bab 6 - Love and Hate








CHAPTER SIX – LOVE AND HATE

ELEANOR HUGHES

            Ia memandangku lekat-lekat. Di bawah tatapannya, aku yakin aku tidak dapat melakukan apa pun selain pasrah dan menyerahkan diri padanya. Jika aku memiliki dua pilihan antara kebahagiaan singkat lalu mati atau kesengsaaran lama namun tetap hidup, aku lebih memilih pilihan pertama. Aku jatuh cinta padanya, dan aku sudah tidak ingin menyangkalnya lagi—setidaknya, tidak pada diriku lagi. Ini mungkin konyol, namun sulit membenci orang seperti pangeran Miguel. Dan aku bertanya-tanya, apakah yang akan membuatku membencinya? Tidak ada celah yang membiarkanku untuk tahu.
            Pangeran Miguel masih tercengang akan ucapanku tentang aku masih perawan. Sebagian besar, ekspresinya menampakkan kebahagiaan namun sekaligus keraguan. Mungkinkah ia ingin meniduriku malam ini? Apa yang harus kukatakan pada pastur tentang ini? Temanku selalu menyarankanku untuk berbuat dosa agar pastur masih berada di ruangan yang sama saat aku datang ke gereja. Aku menampik segala pikiran kotor yang mulai masuk dalam pikiranku.
            Tunggu sampai waktunya sudah tepat, bisikku berusaha mengingatkan diri sendiri. Sentuhan jarinya di pipiku membawa gelenyar aneh. Kulitnya yang kasar terasa begitu menggelikan tiap kali ia menyentuh pipiku dan aku menyukainya, entah mengapa. Karena begitu lama ia menatapku, akhirnya aku membuang wajah darinya sehingga tangannya lepas dari pipiku. Ia tertawa kecil menikmati ketidakberdayaanku di bawah sentuhan maupun tatapannya. Detik setelahnya, kejadiannya begitu cepat sampai-sampai aku hampir berteriak.
            Pangeran Miguel mendorong tubuhku agar berbaring di atas tempat tidur sementara ia melayang di atas tubuhku. Siku-siku kanannya berada di sebelah kepalaku sehingga sekarang wajahnya berada dalam jarak yang sangat dekat dengan wajahku. Kembali, jari telunjuknya menyentuh bentuk pipiku yang tembam, lalu bibirku.
            “Aku tidak akan melakukannya jika kau tidak mau melakukannya,” bisik pangeran Miguel membuatku mengernyit bingung. Melakukan apa… oh, sesuatu melintas di kepalaku dan itu semua tidak sama sekali bagus. Bercinta dengan pangeran Miguel? Teman-temanku sudah pernah melakukannya dan mereka bilang padaku, lebih baik aku menjadi biarawan—itu karena aku tidak ingin bercinta dengan siapa pun sampai menikah. Dan sekarang aku bertanya-tanya, apakah aku masih dapat memegang kata-kataku sendiri? Terlebih lagi, cobaan yang diberikan melebihi apa pun yang teman-temanku pernah lewati. Mahluk sempurna ini menginginkanku. Ia akan menungguku sampai aku siap, mungkin. Ia yang bilang sendiri, ia tidak akan melakukannya jika aku tidak mau melakukannya.
            “Saat bersamamu, pangeran Miguel,” bisikku menatapnya ragu-ragu, “semuanya berawal dari dua kata; pertama kali. Pertama kali aku dikecup oleh seorang pangeran. Pertama kali aku berkuda bersama seorang pangeran. Pertama kali aku diseret dari kamar pelayan oleh seorang pangeran. Dan pertama kali berada di bawah tubuh seorang pangeran,”
            “Ya, benar sekali,” katanya setuju. Tetapi ia tidak sama sekali mengedip.
            “Untuk pertama kali yang satu ini, tidakkah terlalu berisiko? Bagaimana jika aku hamil? Bagaimana jika banyak yang mengejekmu karena telah menghamili seorang pelayan? Tidakkah kau berpikir risiko yang tidak setimpal itu jika kau meniduriku, pangeran Miguel?” Tanyaku berhati-hati. Pangeran Miguel tampak tidak pernah ragu melakukan apa pun selama ini—sejauh yang kutahu. Ia tahu apa yang ia lakukan, namun apa ia tahu apa yang ia lakukan sekarang? Jika saja status kerajaan atau pelayan ini tidak berlaku, aku pasti akan membiarkannya bercinta denganku dimana saja. Terdengar murahan, namun itulah kenyataannya.
            Aku hanya ingin berada dalam dekapannya. Merasakan kenikmatan yang selalu kudapat tiap kali ia mencium bibirku. Dan sekarang aku menginginkan lebih. Hanya saja, dengan situasi yang diperhadapkan denganku—dan pangeran Miguel—sangat tidak memungkinkan untuk melakukan hal seperti bercinta. Setelah lama terdiam, akhirnya pangeran Miguel membuka mulut.
            “Aku sudah memikirkannya sejak dua tahun lalu, segala cara untuk mendapatkanmu sekalipun aku harus menodaimu agar kau menjadi milikku,” ucapnya menatapku lekat-lekat dengan mata biru yang memesona. Tatapannya diselingi gairah sekaligus cinta. Ia melembut tiap kali ia berada di dekatku, aku dapat merasakannya. Aku senang ia memperlakukanku seperti itu. Oh, begitu banyak pertanyaannya yang berjatuhan di otakku tiap kali aku memikirkan realitas yang ada.
            “Dan kau akan melakukannya mulai malam ini?” Tanyaku menggodanya. Sebuah senyum kecil muncul di wajah sempurnanya, membuatku lupa bagaimana cara bernafas.
            “Oh, ya, tentu saja,” katanya menyelipkan wajahnya di celah leherku. “Aku akan menghamilimu jika perlu agar kita dapat bersama-sama. Dan saat kau bersama-sama denganku, aku telah menjadi raja. Tidak ada yang kau perlu takutkan,” bisiknya mengecup leherku hingga memberikan getaran aneh di sekujur tubuhku dan berujung di bagian bawah sana. Ciuman yang berawal dari leher mulai naik ke daguku, rahang lalu pipi. Tangan kirinya tidak hanya diam di atas perutku, ia menurunkan gaun bagian buah dadaku sehingga sekarang buah dadaku yang terasa penuh tadi sekarang bebas begitu saja. Telapak tangannya meremas lembut hingga aku harus mengerang di telinganya.
            Bukan hanya satu buah dadaku saja yang ia mainkan, ia mengeluarkan yang lain, mengelusnya perlahan-lahan kemudian satu remasan lembut memberikan getaran lain hingga aku merasakan lembap menggelikan di bawah sana. Ciuman-ciuman pangeran Miguel berujung di mulutku. Ia memagut bibirku dengan lembut sehingga segala eranganku teredam di sana namun aku dapat merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang di bahuku. Seluruh darahku naik sampai kepala hingga aku rasa pusing. Ciuman itu ia tarik tiba-tiba, yang dimana itu membuatku mengangkat kepala untuk menerima lebih. Tetapi ia tidak memberikannya.
            Begitu mata kami bertemu, kulihat kilatan lain di mata biru terangnya. Ia bergairah, menuntut sesuatu dan memuja. Ia memujaku. Kepalanya turun mengecup leher, tulang leherku lalu buah dadaku. Ia mengecup putingku yang mencuat, seluruh tubuhku menegang seketika akan perlakuannya. Kecupan itu berubah menjadi lumatan lembut diselingi dengan jilatan di ujung lidahnya. Kakiku mengejang akan sentuhan-sentuhan mulutnya yang nyaris membuatku gila.
            Tangan kirinya mengangkat rokku, ia menyelipkan jari-jarinya di bawah sana. Di daerah yang belum pernah disentuh oleh siapa pun selain diriku sendiri. Begitu telapak tangannya menyentuh daerah itu, ia tidak hanya diam di sana. Jari tengahnya mencari-cari sesuatu. Aku harus mendesah dan menggeleng-gelengkan kepalaku karena tak kuat menahan siksaan nikmat ini. Ia terlalu mahir. Ujung jari tengahnya mendapatkan titik sensitifku lalu ia memutar di sana begitu lambat. Mulutnya tak berhenti memainkan buah dadaku.
            “Cintaku,” bisiknya mengangkat kepalanya sehingga mata kami akhirnya bertemu. Jari-jarinya tak berhenti, ia terus memainkannya, membuatku mengangkat-angkat pinggul dan aku menahan malu karena aku tidak tahu bahwa hal ini membuatku menjadi liar. “Eleanor-ku,” bisiknya lagi kemudian menurunkan kepalanya sehingga mulut kami kembali bertemu. Tangan kananku terangkat menggelantung di tengkuknya sementara tangan kiriku meremas rambutnya yang terasa lembut di bawah sentuhanku. Aku seakan-akan melayang sekarang. Lidahnya dan lidahku terus membelai satu sama lain. Kami seperti dua orang yang tidak pernah bercinta setelah perpisahan yang lama.
            Permainan jarinya yang lembut itu membawaku ke tempat dimana aku tidak tahu apakah ini benar-benar nyata atau hanyalah khayalan semata. Bendungan kenikmatan yang selama kutahan bertahun-tahun ini akhirnya meledak hingga pangeran Miguel terpaksa harus menciumku terus menerus bahkan ketika aku sudah kehabisan nafas. Seluruh tubuhku menegang selama beberapa saat, jari kakiku mengerut dan jari tanganku meremas rambut pangeran Miguel. Entah mengapa, seluruh kekuatanku tersedot sepenuhnya dan aku melemas di bawah tangannya.
            “Kau melakukannya begitu bagus, Eleanor,” bisiknya membuatku tersenyum sedikit karena aku terlalu lemah untuk menghasilkan senyum senang. Mataku terpejam untuk menikmati apa yang baru saja pangeran Miguel lakukan dan aku tak tahu kapan kenikmatan ini berakhir. “Katakan padaku, Eleanor,”
            “Ya,” bisikku tahu apa yang ia inginkan. Mataku terbuka untuk menatapnya, namun ia membuat segalanya terasa begitu sulit untukku. Ia sudah membuka jubah sehingga yang kulihat hanya celana sepanjang lutut yang menggantung di pinggangnya yang ramping. Otot perutnya berkeringat… apakah teman-temanku pernah melihat yang seindah ini? Pangeran Miguel membungkuk kembali, ia menempatkan lututnya di antara pahaku.
            “Aku tidak akan melakukannya—“
            “Lakukan!” Pintaku sudah tak tahan. Ia sudah menggodaku dan ia menahan diriku—dan dirinya—begitu saja? Tidak akan kubiarkan! “Lakukan, pangeran Miguel. Aku menginginkannya.” Aku menarik kepalanya yang sengaja disandarkan di tengah-tengah dadaku. Ia mulai menciumku lagi namun tangannya tak menyentuh tubuhku yang menginginkan sentuhan kulitnya. Mataku terpejam, lenganku memeluk lehernya sehingga ciuman kami begitu dalam. Ia mendengus saat aku melingkarkan kakiku di sekitar pinggangnya. Begitu jari-jarinya menyentuh buah dadaku dari bawah tubuhnya, aku menggigit bibirnya hingga pangeran Miguel menggeram pelan.
            Mulutnya menjauh dari mulutku. Aku menatapnya bingung karena ia menatapku begitu liar dan tak terkendali. Tatapan matanya tidak sama seperti perlakuannya yang begitu lembut. Keningnya basah karena keringat namun hal itu entah mengapa membuatnya kelihatan sangat… uh, aku tak dapat menggambarkannya dengan kata-kata.
            “Jangan takut,” bisiknya masih sempat mengelus pipiku. “Aku tidak akan menyakitimu, mengerti?” Katanya lembut sekaligus tegas. Aku mengangguk mantap. Kedua tangannya menyelip di belakang kepalaku lalu menggenggamnya seolah-olah itu adalah kelapa yang ia temukan di pantai. Ia tetap membuka matanya begitu aku merasakan ia memasuki tubuhku. Saat ia memasuki, aku merasakan sengatan tak tertahan sehingga aku harus menggigit bibirku agar aku tak berteriak dan memancing keingintahuan orang lain di luar sana. Matanya menatapku lekat-lekat hingga aku tenggelam dalam mata birunya yang lebih biru dari langit. Kulihat ada rasa bersalah di kedua bola matanya namun aku tahu ia tidak berniat menyakitiku.
            Begitu seluruhnya telah memasuki tubuhku, ia mulai menggerakan pinggulnya. Saat itulah aku lupa diri dan mataku terpejam. Tubuh kami melebur menjadi satu. Kedua tangannya berpindah ke punggungku sehingga aku seolah-olah setengah duduk. Ia sangat lembut dan aku tak bisa menahan kenikmatan yang rasanya tak berujung ini.
            “Sebut namaku,” katanya membuatku membuka mata. Ia menggeram saat aku rasa, aku meremasnya.
            “Miguel,” bisikku meremas rambutnya. Dan ia mulai mempercepat gerakan pinggulnya namun tak menyakitiku. “Miguel, kumohon,” isakku menginginkannya. Kusebut kembali namanya dan ia menggeram, seolah-olah itu adalah kata yang sakral. Mulutnya menyebut namaku seolah-olah ia membelai dengan lembut dan saat itulah aku hancur. Begitupun dirinya hingga aku dapat merasakan ia menyembur di dalam tubuhku hingga menambah kenikmatan yang baru saja ia berikan.

***

            Keesokan harinya, aku tak dapat mengentikan senyuman konyol yang terus menghiasi wajahku. Jemima bertanya-tanya apa yang terjadi padaku namun aku hanya bilang padanya, tidak apa-apa. Sepanjang hari itu, aku tak melihat pangeran Miguel dimana-mana. Saat jam sarapan dan makan siang, ia tidak ada di ruang makan. Hanya Abigail dan adik-adiknya bersama sang raja dan ratu duduk di sana. Tetapi kehadirannya tak ada. Abigail kembali dengan sikapnya saat kami pertama kali bertemu. Tidak menyukaiku.
            Aku sempat gugup. Apakah ia tahu apa yang terjadi antara aku dan pangeran Miguel? Demi Tuhan, pangeran Miguel tak dapat pergi dari pikiranku! Semalam merupakan malam terbaik dan tidur ternyenyakku sepanjang hidup. Aku mendapati diriku sudah berada di tempat tidurku sendiri tadi pagi dan berpikir, mungkinkah pangeran Miguel yang mengembalikanku atau ia menyuruh prajurit? Abigail berbicara begitu lembut pada Ayah dan Ibunya saat berada di ruang makan. Ia sangat sopan dan cerdas. Aku yakin, siapa pun yang mendapatkannya akan sangat beruntung.
            Terlebih lagi karena ia memiliki rambut cokelat indah terawat. Ditambah lagi, ia seorang putri kerajaan. Dan satu-satunya putri kerajaan—yang tentunya akan dirawat sebaik-baiknya. Orang terhormat mana yang tidak menginginkan Abigail? Bahkan, mungkin, jika pangeran Miguel bukan kakaknya, aku yakin pangeran Miguel menginginkan Abigail. Ah, sialan. Pemikiran bodoh itu terus menghantuiku. Ada rasa cemburu tiap kali aku melihat kebersamaan yang berlebihan antara pangeran Miguel dan Abigail. Dan sepanjang hari ini, aku tak melihat kebersamaan mereka. Kemana pangeran Miguel?
            Tenggelam dalam pikiranku, aku tak sadar seseorang sudah berdiri di hadapanku. Setelah jam makan siang selesai, Abigail memintaku untuk meninggalkannya di kamar sehingga aku tak tahu harus melakukan apa pun selain menjahit di bawah pohon rindang di hutan, di belakang istana—dekat taman ditempat ciuman pertamaku. Mataku melihat sepasang sepatu mengilap di depanku kemudian terangkat sambil mengamati pakaiannya yang hampir sama dengan milik pangeran Miguel. Ternyata pangeran Geoffrey, adik laki-laki pertama pangeran Miguel, berdiri di depanku.
            Ia memiliki warna mata yang sama dengan pangeran Miguel namun miliknya lebih gelap. Rambutnya rapi sama seperti milik pangeran Miguel namun bibir dan hidungnya berbeda. Ia tak setinggi pangeran Miguel namun yang jelas, ia lebih tinggi dariku. Kedua sudut bibirnya tertarik sehingga senyum tipisnya terlihat. Melihat kecanggungan di antara kami, cepat-cepat aku bangkit dari dudukku kemudian membungkuk di hadapannya.
            “Pangeran Geoffrey,” ujarku sopan. Lalu berdiri tegak.
            “Eleanor Hughes,” katanya dengan suara rendahnya. “Bolehkah aku bergabung denganmu?” Tanyanya membuatku terkejut.
            “Oh, tentu saja, pangeran Geoffrey,” kataku membungkuk menyingkirkan jahitanku. Ia tidak duduk di bawah sana, mungkinkah ia takut merasa kotor? Ia menatapku lama dan kemudian aku sadar, ia menginginkan aku lebih dulu duduk. Malu-malu, aku duduk di atas rerumputan lembut itu. Dari gerakan pangeran Geoffrey, aku tahu ia seorang pria yang suka memainkan wanita. Ia masih muda, mungkin hanya berbeda dua tahun dariku, dan aku yakin jiwa mudanya pasti menggebu-gebu. Dan setiap jiwa muda, tidak akan lepas dari yang namanya kebebasan. Sama sepertiku menginginkan kebebasan, tetapi aku terjebak di istana ini.
            Ia bersandar di pohon lalu tangannya menarik rumput panjang di antara pahanya, lalu ia memasukkan ke dalam mulut. Apa yang baru saja ia lakukan? Aku hanya berusaha menganggap lalu hal itu. Keheningan meliputi kami sampai ia mendesah nafas panjang.
            “Rambut merahmu sangat indah,” komentarnya. Kedua pipiku memanas dan aku tersipu-sipu akan pujiannya. “Dari semua gadis yang pernah kutemui, tidak ada yang semenarik dirimu.”
            “Oh, pangeran Geoffrey, kau sangat berlebihan. Aku bahkan tidak semenarik pelayan-pelayan cantik di sini,” kataku membuatnya mendengus. Apakah aku baru saja membuatnya marah? Mengapa kedua kakak-beradik ini mudah sekali marah? Tidak pangeran Miguel atau Abigail atau Geoffrey, sifat mereka yang satu ini lebih mendominasi.
            “Jujur sajalah,” katanya menuntut sesuatu, “apa yang kaulakukan dengan kakakku, pangeran Miguel itu?” Tanyanya lebih terdengar marah dibanding bertanya biasa. Ia menoleh ke arahku saat aku juga menoleh padanya. Seluruh tubuhku menegang dan kurasa aku pucat akan pertanyaan yang benar-benar menohok hatiku. Ingin aku mual karena aku rasa… aku sudah berada di ambang kematian.
            “Pangeran Geoffrey… aku bisa jelaskan segalanya. Aku dan pangeran Miguel tidak memiliki—“ saat itulah aku berhenti berkata-kata. Ia menertawaiku secara tiba-tiba hingga mulutku terkatup rapat. Kedua tangannya memegang perutnya dan aku baru sadar rumput yang di mulutnya sudah tidak ada. Apakah ia memakannya? Aku terkekeh meski tidak tahu apa yang ia tertawakan dan itu membuatku merasa bodoh.
            Lalu ia berhenti mendadak. “Kau harus lihat ekspresimu, Eleanor!” Serunya mengelap air matanya. “Kau begitu pucat dan takut! Aku hanya bercanda, Eleanor, sayang. Aku tahu kakakku. Ia tidak mungkin menginginkanmu karena ia tahu, kaulah tipe gadis yang kuinginkan.” Seluruh tubuhku kembali menegang. Kaulah tipe gadis yang kuinginkan. Apakah pangeran Miguel benar-benar tahu kalau akulah gadis yang diinginkan adiknya? Dan ia tidak menginginkanku? Ini berita baru dan aku tidak percaya. Seluruh kecupan di sekujur tubuhku tadi malam membuktikan bahwa ia mencintaiku. Pangeran Miguel menginginkanku tiap kali ia menyebut namaku. Dan tatapannya yang memuja… aku tidak akan percaya begitu saja dengan adiknya.
            Mengetahui hanya Abigail-lah yang disayangi diantara keempat adiknya, pangeran Miguel pasti tidak begitu dekat dengan pangeran Geoffrey. Punggung tanganku tiba-tiba terasa hangat karena sentuhan kulit lain. Dengan refleks aku menarik tanganku dari genggaman tangannya. Itu membuatku merasa telah mengkhianati pangeran Miguel. Berduaan bersama dengan pangeran Geoffrey saja sudah kuanggap mengkhianati pangeran Miguel, apalagi berpegangan tangan? Dosa apa lagi yang harus kuakui katakan pada pastur? Aku masih ragu untuk datang ke gereja dan mengakui dosaku semalam.
            “Maaf,” bisikku meliriknya.
            “Tidak apa-apa, aku mengerti,” katanya. “Kau masih wanita muda yang suci, bukan? Melihat sikapmu yang malu-malu seperti ini, sudah pasti kau belum tersentuh oleh siapa pun,” lanjutnya. Seluruh ucapannya membuatku kembali pada hari-hari sebelum aku diperawani oleh pangeran Miguel. Tidak banyak yang kukatakan pada pangeran Geoffrey, namun ia pria yang menyenangkan. Ia mulai menceritakan betapa ia tidak menyukai pangeran Miguel karena pangeran Miguel-lah yang akan menjadi raja setelah Ayah. Dan betapa ia menyayangi Abigail, adik perempuan satu-satunya. Dua kakak laki-laki itu sangat menyayangi Abigail. Katanya, mereka berdua berpikir Abigail akan menjadi anak terakhir kerajaan. Namun 6 tahun kemudian, dua adik kembar lahir di umur Ibunya yang sudah terbilang tak seharusnya melahirkan lagi. Ia juga menceritakan saat ia harus melakukan persaingan dengan pangeran Miguel untuk mendapatkan perhatian Abigail.
            Aku membayangkan bagaimana rupa pangeran Miguel saat kecil. Dua bola mata biru besar yang menatap tajam adik laki-lakinya, mengancamnya kalau ia akan menguliti adik laki-lakinya jika ia tidak mendapatkan perhatian Abigail. Dan bagaimana saat mereka berkelahi, lalu ia yang akan memenangkan perkelahian mereka. Sementara Abigail hanya menikmati kasih sayang kedua kakaknya sepanjang hidupnya. Oh, betapa beruntungnya Abigail memiliki dua kakak laki-laki yang menyayanginya begitu tulus.
            “Abigail,” ucap pangeran Geoffrey setelah keheningan panjang. “Ayahku pernah membicarakanmu saat aku dan dia sedang berbincang-bincang di ruang duduk,” katanya menarik perhatianku. Seorang raja ingin membicarakan pelayan sepertiku? Perasaan senangku lenyap begitu saja saat aku berpikir, mungkinkah raja tahu hubunganku dan pangeran Miguel? Atau raja akan memecatku dan memanggil Sarah kembali?
            “Benarkah?” Tanyaku dengan nada senang yang dipura-purakan.
            “Ya.” Ia mengangguk satu kali, lalu raut wajahnya murung. “Ia membicarakan keberanianmu melindungi adik kesayanganmu itu. Kalian berdua tidak ada bedanya, kecuali rambut terangmu yang mencolok.”
            “Hanya itu?”
            “Tidak.” Pangeran Geoffrey menggeleng, pandangannya lurus ke suatu benda. “Ia ingin kau berada di ruang duduk sepulang dari pernikahan pangeran Miguel yang akan diadakan dua minggu lagi.”
            Aku tersedak!

***

            Dua minggu ini aku tidak berbicara dengan pangeran Miguel! Aku kesal padanya karena ia terus mengabaikanku. Ia menghindari kontak mata denganku meski keadaan sudah mendesak. Seperti saat aku berdiri di samping Abigail atau saat ia sedang memerhatikan Abigail yang sedang kupakaian gaun untuk acara pernikahannya nanti. Jika aku tahu persetubuhan kami hanya sebagai tanda akhirnya hubungan kami, aku sudah pasti tidak akan memaksanya bersetubuh layaknya aku pelacur! Dan di sinilah aku, di kamar yang disediakan istana Crumple bagi Abigail dan aku.
            Sebuah kamar besar bagi Abigail sementara aku berada di kamar yang lebih kecil, di sebelah kamar Abigail. Aku belum melihat calon istri pangeran Miguel. Sepulang dari istana ini, aku tidak ingin berbicara dengan pangeran Miguel—dan aku meragukannya. Aku yakin calon istri pangeran Miguel lebih elok dibanding diriku sehingga pangeran Miguel tidak mau berbicara denganku. Oh, begitu banyak asumsi yang dapat kubuat jika hal itu dihubungkan dengan persetubuhanku dan pangeran Miguel.
            Pasti baginya, aku hanya gadis menarik tiga hari sekali pakai. Setelah ia mendapatkan keperawananku, ia berlenggang pergi dariku seolah-olah tidak ada yang terjadi di antara kami. Awalnya, aku pikir hadirnya pangeran Miguel di istana membuat istana tidak terasa buruk. Dan semuanya akan lenyap dalam waktu satu hari setelah hari pernikahannya. Pangeran Miguel akan datang kembali ke istana bersama dengan istrinya sementara aku akan terus memerhatikan kemesraan mereka. Mulai dari sana, aku pasti merasa seperti berada di neraka! Tiap hari aku akan datang pada pastur dan mengakui dosaku yang iri hati pada istri pangeran Miguel.
            Abigail sudah berada di tangan para pelayan di istana Crumple. Aku sedang sibuk-sibuknya menghias diri di depan cermin panjang. Ratu memberikanku gaun indah dan memesona. Gaun berwarna biru laut dengan renda di sekitar leher dan bahu. Permata-permata menghias di sepanjang dada hingga pinggang. Oh, sangat indah, aku tak dapat menahan diri untuk tidak tersenyum. Setelah memakai korset dengan kesulitan luar biasa—karena tidak ada Jemima yang biasanya membantuku—akhirnya aku hanya perlu memasukkan tubuhku dalam balutan gaun biru laut.
            Setelah aku memakai gaun, aku merapikan ujung-ujung rok dan renda-renda yang terlipat di cermin. Dan seseorang. Dua pasang mata biru yang sama memerhatikanku di cermin itu. Dadanya naik-turun tak menentu dan wajahnya merah. Pangeran Miguel dengan sebuah mahkota di kepalanya. Bagi kerajaan Crumple, seorang pangeran perlu memakai mahkota, kata Abigail saat aku menghias rambutnya melingkar. Ia memakai pakaian berwarna putih yang diselingi dengan warna emas. Dan sebuah pedang berada di sisi pinggangnya. Bagi orang normal, pasti akan sangat membingungkan melihat seorang pria yang akan menikah tetapi wajahnya tidak begitu bahagia.
            Jadi, aku berbalik tubuh agar melihat keadaannya. Tidak banyak yang ia katakan—bahkan tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya—namun ia mengambil dua langkah panjang lalu menarik kepalaku agar mulut kami menyatu. Aku tidak menginginkannya! Ia mengabaikanku selama dua minggu setelah persetubuhan hebat itu! Aku tidak membalas ciumannya, aku mendorong dadanya sekuat tenagaku. Tak sekalipun aku membiarkan mulutku terbuka untuk memberontak. Ia pasti akan memanfaatkannya sebaik-baiknya agar ciuman yang ia berikan dapat melumpuhkanku. Kepalaku menggeleng-geleng agar ia berhenti mengecup bibirku dan akhirnya ia menyerah.
            “Hentikan!” Teriakku mundur darinya. Wajah pangeran Miguel terperangah akan sikapku yang berubah. Bukan aku yang menginginkannya, tetapi ia yang memulai! Ia yang membuatku tak menyukainya—bahkan membencinya.
            “Eleanor, aku tahu mengapa kau bersikap seperti ini, tetapi aku terjepit di satu situasi yang tidak akan me—“
            “Hentikan, omong kosong ini, Miguel!” Bentakku hingga seluruh tubuhku bergetar. Aku sendiri terkejut dengan keberanianku yang datang entah dari mana. Pangeran Miguel yang awalnya terkejut, dengan ajaibnya, dapat tenang. Kedua bahunya tak menegang sepertiku atau tidak ada dua garis di keningnya. Atau salah satu alisnya terangkat. Ia tenang setengan air sungai yang mengalir.
            “Eleanor, biarkan aku berbicara,”
            “Tidak!” Aku menolaknya. Dengan cepat aku membalikkan tubuh agar tidak melihatnya. “Setelah persetubuhan itu, kau tiba-tiba menjauhiku. Hari pertama tanpamu membuatku gila! Dan kemudian adikmu datang padaku dan menceritakan betapa kalian tidak menyukai satu sama lain, bagaimana kau mendapatkan perhatian Abigail dan pernikahan ini! Tentu saja semua itu tampak jelas di depanku setelah ia berkata seperti itu. Ia menyinggung kesucianku, yang membuatku tertawa dalam hati karena segala yang ia katakan itu salah.” Aku menarik nafas dalam-dalam. Suaraku memelan dan air mata mulai membendung. Sialan, aku begitu lemah sekarang.
            “Eleanor,” bisiknya membuatku melangkah satu kali, menjauh darinya di belakangku. “Dengarkan aku,”
            “Tidak,” bisikku. “Setelah pangeran Geoffrey berbicara denganku, aku sadar bahwa aku hanya wanita muda yang dipakai untuk memuaskan nafsu pria sepertimu. Satu hari setelah kau mengabaikanku, aku mulai bertekad untuk tidak mengharapkanmu kembali. Dan untungnya kau tidak menyulitkanku karena kau sendiri mengabaikanku sepanjang dua minggu ini. Bahkan di tempat yang sama, benar? Jadi, ciuman itu tidak berharga untukku,” jelasku menarik nafas dalam-dalam lalu mengerjap-kerjapkan mata agar air mataku tak mengalir. Dua tangan menyentuh bahuku kemudian kulirik dari cermin, ia menyandarkan pipinya di bahuku.
            “Aku merindukanmu, Yang Mulia, Eleanor,” bisiknya terdengar bersungut. “Sengaja aku tidak berbicara denganmu setelah persetubuhan itu. Aku tak ingin tiap kali kita bersentuhan atau bertatapan, aku akan mendorongmu ke tempat tidur terdekat. Malam itu, segalanya terasa begitu luar biasa dan aku belum puas. Aku tidak akan pernah puas. Eleanor, aku akan menikah. Wanita yang akan kunikahkan ini tidak sama sekali kucintai. Kau akan mengasihaniku setelah kau melihat wajahnya—bahkan Geoffrey senang karena aku menikahi putri ini. Setidaknya, berikan aku ciuman berharga sebelum aku memasuki mimpi burukku,” ucapnya. Apa pun yang keluar dari mulutnya membuatku iba sehingga aku membalikkan tubuhku agar berhadapan dengannya.
            “Aku tidak bisa mencium pria yang akan menikah hari ini,” bisikku serius. Ia cemberut seperti anak kecil hingga aku terkikik, kedua alisnya bertaut.
            “Kau cantik dalam gaun biru ini, sayangku, Eleanor.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar