CHAPTER SIX – LOVE
AND HATE
ELEANOR HUGHES
Ia memandangku lekat-lekat. Di bawah tatapannya, aku yakin aku tidak dapat
melakukan apa pun selain pasrah dan menyerahkan diri padanya. Jika aku memiliki
dua pilihan antara kebahagiaan singkat lalu mati atau kesengsaaran lama namun
tetap hidup, aku lebih memilih pilihan pertama. Aku jatuh cinta padanya, dan
aku sudah tidak ingin menyangkalnya lagi—setidaknya, tidak pada diriku lagi.
Ini mungkin konyol, namun sulit membenci orang seperti pangeran Miguel. Dan aku
bertanya-tanya, apakah yang akan membuatku membencinya? Tidak ada celah yang
membiarkanku untuk tahu.
Pangeran Miguel masih tercengang akan ucapanku tentang aku masih perawan.
Sebagian besar, ekspresinya menampakkan kebahagiaan namun sekaligus keraguan.
Mungkinkah ia ingin meniduriku malam ini? Apa yang harus kukatakan pada pastur
tentang ini? Temanku selalu menyarankanku untuk berbuat dosa agar pastur masih
berada di ruangan yang sama saat aku datang ke gereja. Aku menampik segala
pikiran kotor yang mulai masuk dalam pikiranku.
Tunggu sampai waktunya sudah tepat, bisikku berusaha mengingatkan diri
sendiri. Sentuhan jarinya di pipiku membawa gelenyar aneh. Kulitnya yang kasar
terasa begitu menggelikan tiap kali ia menyentuh pipiku dan aku menyukainya,
entah mengapa. Karena begitu lama ia menatapku, akhirnya aku membuang wajah
darinya sehingga tangannya lepas dari pipiku. Ia tertawa kecil menikmati
ketidakberdayaanku di bawah sentuhan maupun tatapannya. Detik setelahnya,
kejadiannya begitu cepat sampai-sampai aku hampir berteriak.
Pangeran Miguel mendorong tubuhku agar berbaring di atas tempat tidur sementara
ia melayang di atas tubuhku. Siku-siku kanannya berada di sebelah kepalaku
sehingga sekarang wajahnya berada dalam jarak yang sangat dekat dengan wajahku.
Kembali, jari telunjuknya menyentuh bentuk pipiku yang tembam, lalu bibirku.
“Aku tidak akan melakukannya jika kau tidak mau melakukannya,” bisik pangeran
Miguel membuatku mengernyit bingung. Melakukan apa… oh, sesuatu melintas di
kepalaku dan itu semua tidak sama sekali bagus. Bercinta dengan pangeran
Miguel? Teman-temanku sudah pernah melakukannya dan mereka bilang padaku, lebih
baik aku menjadi biarawan—itu karena aku tidak ingin bercinta dengan siapa pun
sampai menikah. Dan sekarang aku bertanya-tanya, apakah aku masih dapat
memegang kata-kataku sendiri? Terlebih lagi, cobaan yang diberikan melebihi apa
pun yang teman-temanku pernah lewati. Mahluk sempurna ini menginginkanku. Ia
akan menungguku sampai aku siap, mungkin. Ia yang bilang sendiri, ia tidak akan
melakukannya jika aku tidak mau melakukannya.
“Saat bersamamu, pangeran Miguel,” bisikku menatapnya ragu-ragu, “semuanya
berawal dari dua kata; pertama kali. Pertama kali aku dikecup oleh seorang
pangeran. Pertama kali aku berkuda bersama seorang pangeran. Pertama kali aku
diseret dari kamar pelayan oleh seorang pangeran. Dan pertama kali berada di bawah
tubuh seorang pangeran,”
“Ya, benar sekali,” katanya setuju. Tetapi ia tidak sama sekali mengedip.
“Untuk pertama kali yang satu ini, tidakkah terlalu berisiko? Bagaimana jika
aku hamil? Bagaimana jika banyak yang mengejekmu karena telah menghamili
seorang pelayan? Tidakkah kau berpikir risiko yang tidak setimpal itu jika kau
meniduriku, pangeran Miguel?” Tanyaku berhati-hati. Pangeran Miguel tampak
tidak pernah ragu melakukan apa pun selama ini—sejauh yang kutahu. Ia tahu apa
yang ia lakukan, namun apa ia tahu apa yang ia lakukan sekarang? Jika saja
status kerajaan atau pelayan ini tidak berlaku, aku pasti akan membiarkannya
bercinta denganku dimana saja. Terdengar murahan, namun itulah kenyataannya.
Aku hanya ingin berada dalam dekapannya. Merasakan kenikmatan yang selalu
kudapat tiap kali ia mencium bibirku. Dan sekarang aku menginginkan lebih.
Hanya saja, dengan situasi yang diperhadapkan denganku—dan pangeran
Miguel—sangat tidak memungkinkan untuk melakukan hal seperti bercinta. Setelah
lama terdiam, akhirnya pangeran Miguel membuka mulut.
“Aku sudah memikirkannya sejak dua tahun lalu, segala cara untuk mendapatkanmu
sekalipun aku harus menodaimu agar kau menjadi milikku,” ucapnya menatapku
lekat-lekat dengan mata biru yang memesona. Tatapannya diselingi gairah
sekaligus cinta. Ia melembut tiap kali ia berada di dekatku, aku dapat
merasakannya. Aku senang ia memperlakukanku seperti itu. Oh, begitu banyak
pertanyaannya yang berjatuhan di otakku tiap kali aku memikirkan realitas yang
ada.
“Dan kau akan melakukannya mulai malam ini?” Tanyaku menggodanya. Sebuah senyum
kecil muncul di wajah sempurnanya, membuatku lupa bagaimana cara bernafas.
“Oh, ya, tentu saja,” katanya menyelipkan wajahnya di celah leherku. “Aku akan
menghamilimu jika perlu agar kita dapat bersama-sama. Dan saat kau bersama-sama
denganku, aku telah menjadi raja. Tidak ada yang kau perlu takutkan,” bisiknya
mengecup leherku hingga memberikan getaran aneh di sekujur tubuhku dan berujung
di bagian bawah sana. Ciuman yang berawal dari leher mulai naik ke
daguku, rahang lalu pipi. Tangan kirinya tidak hanya diam di atas perutku, ia
menurunkan gaun bagian buah dadaku sehingga sekarang buah dadaku yang terasa
penuh tadi sekarang bebas begitu saja. Telapak tangannya meremas lembut hingga
aku harus mengerang di telinganya.
Bukan hanya satu buah dadaku saja yang ia mainkan, ia mengeluarkan yang lain,
mengelusnya perlahan-lahan kemudian satu remasan lembut memberikan getaran lain
hingga aku merasakan lembap menggelikan di bawah sana. Ciuman-ciuman pangeran
Miguel berujung di mulutku. Ia memagut bibirku dengan lembut sehingga segala
eranganku teredam di sana namun aku dapat merasakan detak jantungnya yang
berdegup kencang di bahuku. Seluruh darahku naik sampai kepala hingga aku rasa
pusing. Ciuman itu ia tarik tiba-tiba, yang dimana itu membuatku mengangkat
kepala untuk menerima lebih. Tetapi ia tidak memberikannya.
Begitu mata kami bertemu, kulihat kilatan lain di mata biru terangnya. Ia
bergairah, menuntut sesuatu dan memuja. Ia memujaku. Kepalanya turun mengecup
leher, tulang leherku lalu buah dadaku. Ia mengecup putingku yang mencuat,
seluruh tubuhku menegang seketika akan perlakuannya. Kecupan itu berubah menjadi
lumatan lembut diselingi dengan jilatan di ujung lidahnya. Kakiku mengejang
akan sentuhan-sentuhan mulutnya yang nyaris membuatku gila.
Tangan kirinya mengangkat rokku, ia menyelipkan jari-jarinya di bawah sana. Di
daerah yang belum pernah disentuh oleh siapa pun selain diriku sendiri. Begitu
telapak tangannya menyentuh daerah itu, ia tidak hanya diam di sana. Jari
tengahnya mencari-cari sesuatu. Aku harus mendesah dan menggeleng-gelengkan
kepalaku karena tak kuat menahan siksaan nikmat ini. Ia terlalu mahir. Ujung
jari tengahnya mendapatkan titik sensitifku lalu ia memutar di sana begitu
lambat. Mulutnya tak berhenti memainkan buah dadaku.
“Cintaku,” bisiknya mengangkat kepalanya sehingga mata kami akhirnya bertemu.
Jari-jarinya tak berhenti, ia terus memainkannya, membuatku mengangkat-angkat
pinggul dan aku menahan malu karena aku tidak tahu bahwa hal ini membuatku
menjadi liar. “Eleanor-ku,” bisiknya lagi kemudian menurunkan kepalanya
sehingga mulut kami kembali bertemu. Tangan kananku terangkat menggelantung di
tengkuknya sementara tangan kiriku meremas rambutnya yang terasa lembut di
bawah sentuhanku. Aku seakan-akan melayang sekarang. Lidahnya dan lidahku terus
membelai satu sama lain. Kami seperti dua orang yang tidak pernah bercinta
setelah perpisahan yang lama.
Permainan jarinya yang lembut itu membawaku ke tempat dimana aku tidak tahu
apakah ini benar-benar nyata atau hanyalah khayalan semata. Bendungan
kenikmatan yang selama kutahan bertahun-tahun ini akhirnya meledak hingga
pangeran Miguel terpaksa harus menciumku terus menerus bahkan ketika aku sudah
kehabisan nafas. Seluruh tubuhku menegang selama beberapa saat, jari kakiku
mengerut dan jari tanganku meremas rambut pangeran Miguel. Entah mengapa,
seluruh kekuatanku tersedot sepenuhnya dan aku melemas di bawah tangannya.
“Kau melakukannya begitu bagus, Eleanor,” bisiknya membuatku tersenyum sedikit
karena aku terlalu lemah untuk menghasilkan senyum senang. Mataku terpejam
untuk menikmati apa yang baru saja pangeran Miguel lakukan dan aku tak tahu
kapan kenikmatan ini berakhir. “Katakan padaku, Eleanor,”
“Ya,” bisikku tahu apa yang ia inginkan. Mataku terbuka untuk menatapnya, namun
ia membuat segalanya terasa begitu sulit untukku. Ia sudah membuka jubah
sehingga yang kulihat hanya celana sepanjang lutut yang menggantung di
pinggangnya yang ramping. Otot perutnya berkeringat… apakah teman-temanku
pernah melihat yang seindah ini? Pangeran Miguel membungkuk kembali, ia
menempatkan lututnya di antara pahaku.
“Aku tidak akan melakukannya—“
“Lakukan!” Pintaku sudah tak tahan. Ia sudah menggodaku dan ia menahan
diriku—dan dirinya—begitu saja? Tidak akan kubiarkan! “Lakukan, pangeran
Miguel. Aku menginginkannya.” Aku menarik kepalanya yang sengaja disandarkan di
tengah-tengah dadaku. Ia mulai menciumku lagi namun tangannya tak menyentuh
tubuhku yang menginginkan sentuhan kulitnya. Mataku terpejam, lenganku memeluk
lehernya sehingga ciuman kami begitu dalam. Ia mendengus saat aku melingkarkan
kakiku di sekitar pinggangnya. Begitu jari-jarinya menyentuh buah dadaku dari
bawah tubuhnya, aku menggigit bibirnya hingga pangeran Miguel menggeram pelan.
Mulutnya menjauh dari mulutku. Aku menatapnya bingung karena ia menatapku
begitu liar dan tak terkendali. Tatapan matanya tidak sama seperti perlakuannya
yang begitu lembut. Keningnya basah karena keringat namun hal itu entah mengapa
membuatnya kelihatan sangat… uh, aku tak dapat menggambarkannya dengan
kata-kata.
“Jangan takut,” bisiknya masih sempat mengelus pipiku. “Aku tidak akan
menyakitimu, mengerti?” Katanya lembut sekaligus tegas. Aku mengangguk mantap.
Kedua tangannya menyelip di belakang kepalaku lalu menggenggamnya seolah-olah itu
adalah kelapa yang ia temukan di pantai. Ia tetap membuka matanya begitu aku
merasakan ia memasuki tubuhku. Saat ia memasuki, aku merasakan sengatan tak
tertahan sehingga aku harus menggigit bibirku agar aku tak berteriak dan
memancing keingintahuan orang lain di luar sana. Matanya menatapku lekat-lekat
hingga aku tenggelam dalam mata birunya yang lebih biru dari langit. Kulihat
ada rasa bersalah di kedua bola matanya namun aku tahu ia tidak berniat
menyakitiku.
Begitu seluruhnya telah memasuki tubuhku, ia mulai menggerakan pinggulnya. Saat
itulah aku lupa diri dan mataku terpejam. Tubuh kami melebur menjadi satu.
Kedua tangannya berpindah ke punggungku sehingga aku seolah-olah setengah
duduk. Ia sangat lembut dan aku tak bisa menahan kenikmatan yang rasanya tak berujung
ini.
“Sebut namaku,” katanya membuatku membuka mata. Ia menggeram saat aku rasa, aku
meremasnya.
“Miguel,” bisikku meremas rambutnya. Dan ia mulai mempercepat gerakan
pinggulnya namun tak menyakitiku. “Miguel, kumohon,” isakku menginginkannya.
Kusebut kembali namanya dan ia menggeram, seolah-olah itu adalah kata yang
sakral. Mulutnya menyebut namaku seolah-olah ia membelai dengan lembut dan saat
itulah aku hancur. Begitupun dirinya hingga aku dapat merasakan ia menyembur di
dalam tubuhku hingga menambah kenikmatan yang baru saja ia berikan.
***
Keesokan harinya, aku tak dapat mengentikan senyuman konyol yang terus
menghiasi wajahku. Jemima bertanya-tanya apa yang terjadi padaku namun aku
hanya bilang padanya, tidak apa-apa. Sepanjang hari itu, aku tak melihat
pangeran Miguel dimana-mana. Saat jam sarapan dan makan siang, ia tidak ada di
ruang makan. Hanya Abigail dan adik-adiknya bersama sang raja dan ratu duduk di
sana. Tetapi kehadirannya tak ada. Abigail kembali dengan sikapnya saat kami
pertama kali bertemu. Tidak menyukaiku.
Aku sempat gugup. Apakah ia tahu apa yang terjadi antara aku dan pangeran
Miguel? Demi Tuhan, pangeran Miguel tak dapat pergi dari pikiranku! Semalam
merupakan malam terbaik dan tidur ternyenyakku sepanjang hidup. Aku mendapati
diriku sudah berada di tempat tidurku sendiri tadi pagi dan berpikir,
mungkinkah pangeran Miguel yang mengembalikanku atau ia menyuruh prajurit?
Abigail berbicara begitu lembut pada Ayah dan Ibunya saat berada di ruang
makan. Ia sangat sopan dan cerdas. Aku yakin, siapa pun yang mendapatkannya
akan sangat beruntung.
Terlebih lagi karena ia memiliki rambut cokelat indah terawat. Ditambah lagi,
ia seorang putri kerajaan. Dan satu-satunya putri kerajaan—yang tentunya akan
dirawat sebaik-baiknya. Orang terhormat mana yang tidak menginginkan Abigail?
Bahkan, mungkin, jika pangeran Miguel bukan kakaknya, aku yakin pangeran Miguel
menginginkan Abigail. Ah, sialan. Pemikiran bodoh itu terus menghantuiku. Ada
rasa cemburu tiap kali aku melihat kebersamaan yang berlebihan antara pangeran
Miguel dan Abigail. Dan sepanjang hari ini, aku tak melihat kebersamaan mereka.
Kemana pangeran Miguel?
Tenggelam dalam pikiranku, aku tak sadar seseorang sudah berdiri di hadapanku.
Setelah jam makan siang selesai, Abigail memintaku untuk meninggalkannya di
kamar sehingga aku tak tahu harus melakukan apa pun selain menjahit di bawah
pohon rindang di hutan, di belakang istana—dekat taman ditempat ciuman pertamaku.
Mataku melihat sepasang sepatu mengilap di depanku kemudian terangkat sambil
mengamati pakaiannya yang hampir sama dengan milik pangeran Miguel. Ternyata
pangeran Geoffrey, adik laki-laki pertama pangeran Miguel, berdiri di depanku.
Ia memiliki warna mata yang sama dengan pangeran Miguel namun miliknya lebih
gelap. Rambutnya rapi sama seperti milik pangeran Miguel namun bibir dan
hidungnya berbeda. Ia tak setinggi pangeran Miguel namun yang jelas, ia lebih
tinggi dariku. Kedua sudut bibirnya tertarik sehingga senyum tipisnya terlihat.
Melihat kecanggungan di antara kami, cepat-cepat aku bangkit dari dudukku
kemudian membungkuk di hadapannya.
“Pangeran Geoffrey,” ujarku sopan. Lalu berdiri tegak.
“Eleanor Hughes,” katanya dengan suara rendahnya. “Bolehkah aku bergabung
denganmu?” Tanyanya membuatku terkejut.
“Oh, tentu saja, pangeran Geoffrey,” kataku membungkuk menyingkirkan jahitanku.
Ia tidak duduk di bawah sana, mungkinkah ia takut merasa kotor? Ia menatapku
lama dan kemudian aku sadar, ia menginginkan aku lebih dulu duduk. Malu-malu,
aku duduk di atas rerumputan lembut itu. Dari gerakan pangeran Geoffrey, aku
tahu ia seorang pria yang suka memainkan wanita. Ia masih muda, mungkin hanya
berbeda dua tahun dariku, dan aku yakin jiwa mudanya pasti menggebu-gebu. Dan
setiap jiwa muda, tidak akan lepas dari yang namanya kebebasan. Sama sepertiku
menginginkan kebebasan, tetapi aku terjebak di istana ini.
Ia bersandar di pohon lalu tangannya menarik rumput panjang di antara pahanya,
lalu ia memasukkan ke dalam mulut. Apa yang baru saja ia lakukan? Aku hanya
berusaha menganggap lalu hal itu. Keheningan meliputi kami sampai ia mendesah
nafas panjang.
“Rambut merahmu sangat indah,” komentarnya. Kedua pipiku memanas dan aku
tersipu-sipu akan pujiannya. “Dari semua gadis yang pernah kutemui, tidak ada
yang semenarik dirimu.”
“Oh, pangeran Geoffrey, kau sangat berlebihan. Aku bahkan tidak semenarik
pelayan-pelayan cantik di sini,” kataku membuatnya mendengus. Apakah aku baru
saja membuatnya marah? Mengapa kedua kakak-beradik ini mudah sekali marah?
Tidak pangeran Miguel atau Abigail atau Geoffrey, sifat mereka yang satu ini
lebih mendominasi.
“Jujur sajalah,” katanya menuntut sesuatu, “apa yang kaulakukan dengan kakakku,
pangeran Miguel itu?” Tanyanya lebih terdengar marah dibanding bertanya biasa.
Ia menoleh ke arahku saat aku juga menoleh padanya. Seluruh tubuhku menegang
dan kurasa aku pucat akan pertanyaan yang benar-benar menohok hatiku. Ingin aku
mual karena aku rasa… aku sudah berada di ambang kematian.
“Pangeran Geoffrey… aku bisa jelaskan segalanya. Aku dan pangeran Miguel tidak
memiliki—“ saat itulah aku berhenti berkata-kata. Ia menertawaiku secara tiba-tiba
hingga mulutku terkatup rapat. Kedua tangannya memegang perutnya dan aku baru
sadar rumput yang di mulutnya sudah tidak ada. Apakah ia memakannya? Aku
terkekeh meski tidak tahu apa yang ia tertawakan dan itu membuatku merasa
bodoh.
Lalu ia berhenti mendadak. “Kau harus lihat ekspresimu, Eleanor!” Serunya
mengelap air matanya. “Kau begitu pucat dan takut! Aku hanya bercanda, Eleanor,
sayang. Aku tahu kakakku. Ia tidak mungkin menginginkanmu karena ia tahu,
kaulah tipe gadis yang kuinginkan.” Seluruh tubuhku kembali menegang. Kaulah
tipe gadis yang kuinginkan. Apakah pangeran Miguel benar-benar tahu kalau
akulah gadis yang diinginkan adiknya? Dan ia tidak menginginkanku? Ini berita
baru dan aku tidak percaya. Seluruh kecupan di sekujur tubuhku tadi malam
membuktikan bahwa ia mencintaiku. Pangeran Miguel menginginkanku tiap kali ia
menyebut namaku. Dan tatapannya yang memuja… aku tidak akan percaya begitu saja
dengan adiknya.
Mengetahui hanya Abigail-lah yang disayangi diantara keempat adiknya, pangeran
Miguel pasti tidak begitu dekat dengan pangeran Geoffrey. Punggung tanganku
tiba-tiba terasa hangat karena sentuhan kulit lain. Dengan refleks aku menarik
tanganku dari genggaman tangannya. Itu membuatku merasa telah mengkhianati pangeran
Miguel. Berduaan bersama dengan pangeran Geoffrey saja sudah kuanggap
mengkhianati pangeran Miguel, apalagi berpegangan tangan? Dosa apa lagi yang
harus kuakui katakan pada pastur? Aku masih ragu untuk datang ke gereja dan
mengakui dosaku semalam.
“Maaf,” bisikku meliriknya.
“Tidak apa-apa, aku mengerti,” katanya. “Kau masih wanita muda yang suci,
bukan? Melihat sikapmu yang malu-malu seperti ini, sudah pasti kau belum
tersentuh oleh siapa pun,” lanjutnya. Seluruh ucapannya membuatku kembali pada
hari-hari sebelum aku diperawani oleh pangeran Miguel. Tidak banyak yang
kukatakan pada pangeran Geoffrey, namun ia pria yang menyenangkan. Ia mulai
menceritakan betapa ia tidak menyukai pangeran Miguel karena pangeran
Miguel-lah yang akan menjadi raja setelah Ayah. Dan betapa ia menyayangi
Abigail, adik perempuan satu-satunya. Dua kakak laki-laki itu sangat menyayangi
Abigail. Katanya, mereka berdua berpikir Abigail akan menjadi anak terakhir
kerajaan. Namun 6 tahun kemudian, dua adik kembar lahir di umur Ibunya yang
sudah terbilang tak seharusnya melahirkan lagi. Ia juga menceritakan saat ia
harus melakukan persaingan dengan pangeran Miguel untuk mendapatkan perhatian
Abigail.
Aku membayangkan bagaimana rupa pangeran Miguel saat kecil. Dua bola mata biru
besar yang menatap tajam adik laki-lakinya, mengancamnya kalau ia akan
menguliti adik laki-lakinya jika ia tidak mendapatkan perhatian Abigail. Dan
bagaimana saat mereka berkelahi, lalu ia yang akan memenangkan perkelahian mereka.
Sementara Abigail hanya menikmati kasih sayang kedua kakaknya sepanjang
hidupnya. Oh, betapa beruntungnya Abigail memiliki dua kakak laki-laki yang
menyayanginya begitu tulus.
“Abigail,” ucap pangeran Geoffrey setelah keheningan panjang. “Ayahku pernah
membicarakanmu saat aku dan dia sedang berbincang-bincang di ruang duduk,”
katanya menarik perhatianku. Seorang raja ingin membicarakan pelayan sepertiku?
Perasaan senangku lenyap begitu saja saat aku berpikir, mungkinkah raja tahu
hubunganku dan pangeran Miguel? Atau raja akan memecatku dan memanggil Sarah
kembali?
“Benarkah?” Tanyaku dengan nada senang yang dipura-purakan.
“Ya.” Ia mengangguk satu kali, lalu raut wajahnya murung. “Ia membicarakan
keberanianmu melindungi adik kesayanganmu itu. Kalian berdua tidak ada bedanya,
kecuali rambut terangmu yang mencolok.”
“Hanya itu?”
“Tidak.” Pangeran Geoffrey menggeleng, pandangannya lurus ke suatu benda. “Ia
ingin kau berada di ruang duduk sepulang dari pernikahan pangeran Miguel yang
akan diadakan dua minggu lagi.”
Aku tersedak!
***
Dua minggu ini aku tidak berbicara dengan pangeran Miguel! Aku kesal padanya
karena ia terus mengabaikanku. Ia menghindari kontak mata denganku meski
keadaan sudah mendesak. Seperti saat aku berdiri di samping Abigail atau saat
ia sedang memerhatikan Abigail yang sedang kupakaian gaun untuk acara
pernikahannya nanti. Jika aku tahu persetubuhan kami hanya sebagai tanda
akhirnya hubungan kami, aku sudah pasti tidak akan memaksanya bersetubuh
layaknya aku pelacur! Dan di sinilah aku, di kamar yang disediakan istana
Crumple bagi Abigail dan aku.
Sebuah kamar besar bagi Abigail sementara aku berada di kamar yang lebih kecil,
di sebelah kamar Abigail. Aku belum melihat calon istri pangeran Miguel.
Sepulang dari istana ini, aku tidak ingin berbicara dengan pangeran Miguel—dan
aku meragukannya. Aku yakin calon istri pangeran Miguel lebih elok dibanding
diriku sehingga pangeran Miguel tidak mau berbicara denganku. Oh, begitu banyak
asumsi yang dapat kubuat jika hal itu dihubungkan dengan persetubuhanku dan
pangeran Miguel.
Pasti baginya, aku hanya gadis menarik tiga hari sekali pakai. Setelah ia
mendapatkan keperawananku, ia berlenggang pergi dariku seolah-olah tidak ada
yang terjadi di antara kami. Awalnya, aku pikir hadirnya pangeran Miguel di
istana membuat istana tidak terasa buruk. Dan semuanya akan lenyap dalam waktu
satu hari setelah hari pernikahannya. Pangeran Miguel akan datang kembali ke
istana bersama dengan istrinya sementara aku akan terus memerhatikan kemesraan
mereka. Mulai dari sana, aku pasti merasa seperti berada di neraka! Tiap hari
aku akan datang pada pastur dan mengakui dosaku yang iri hati pada istri
pangeran Miguel.
Abigail sudah berada di tangan para pelayan di istana Crumple. Aku sedang
sibuk-sibuknya menghias diri di depan cermin panjang. Ratu memberikanku gaun
indah dan memesona. Gaun berwarna biru laut dengan renda di sekitar leher dan
bahu. Permata-permata menghias di sepanjang dada hingga pinggang. Oh, sangat
indah, aku tak dapat menahan diri untuk tidak tersenyum. Setelah memakai korset
dengan kesulitan luar biasa—karena tidak ada Jemima yang biasanya
membantuku—akhirnya aku hanya perlu memasukkan tubuhku dalam balutan gaun biru
laut.
Setelah aku memakai gaun, aku merapikan ujung-ujung rok dan renda-renda yang
terlipat di cermin. Dan seseorang. Dua pasang mata biru yang sama
memerhatikanku di cermin itu. Dadanya naik-turun tak menentu dan wajahnya
merah. Pangeran Miguel dengan sebuah mahkota di kepalanya. Bagi kerajaan
Crumple, seorang pangeran perlu memakai mahkota, kata Abigail saat aku menghias
rambutnya melingkar. Ia memakai pakaian berwarna putih yang diselingi dengan
warna emas. Dan sebuah pedang berada di sisi pinggangnya. Bagi orang normal,
pasti akan sangat membingungkan melihat seorang pria yang akan menikah tetapi
wajahnya tidak begitu bahagia.
Jadi, aku berbalik tubuh agar melihat keadaannya. Tidak banyak yang ia
katakan—bahkan tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya—namun ia mengambil dua
langkah panjang lalu menarik kepalaku agar mulut kami menyatu. Aku tidak
menginginkannya! Ia mengabaikanku selama dua minggu setelah persetubuhan hebat
itu! Aku tidak membalas ciumannya, aku mendorong dadanya sekuat tenagaku. Tak
sekalipun aku membiarkan mulutku terbuka untuk memberontak. Ia pasti akan
memanfaatkannya sebaik-baiknya agar ciuman yang ia berikan dapat melumpuhkanku.
Kepalaku menggeleng-geleng agar ia berhenti mengecup bibirku dan akhirnya ia
menyerah.
“Hentikan!” Teriakku mundur darinya. Wajah pangeran Miguel terperangah akan
sikapku yang berubah. Bukan aku yang menginginkannya, tetapi ia yang memulai!
Ia yang membuatku tak menyukainya—bahkan membencinya.
“Eleanor, aku tahu mengapa kau bersikap seperti ini, tetapi aku terjepit di
satu situasi yang tidak akan me—“
“Hentikan, omong kosong ini, Miguel!” Bentakku hingga seluruh tubuhku bergetar.
Aku sendiri terkejut dengan keberanianku yang datang entah dari mana. Pangeran
Miguel yang awalnya terkejut, dengan ajaibnya, dapat tenang. Kedua bahunya tak
menegang sepertiku atau tidak ada dua garis di keningnya. Atau salah satu
alisnya terangkat. Ia tenang setengan air sungai yang mengalir.
“Eleanor, biarkan aku berbicara,”
“Tidak!” Aku menolaknya. Dengan cepat aku membalikkan tubuh agar tidak
melihatnya. “Setelah persetubuhan itu, kau tiba-tiba menjauhiku. Hari pertama
tanpamu membuatku gila! Dan kemudian adikmu datang padaku dan menceritakan
betapa kalian tidak menyukai satu sama lain, bagaimana kau mendapatkan
perhatian Abigail dan pernikahan ini! Tentu saja semua itu tampak jelas di
depanku setelah ia berkata seperti itu. Ia menyinggung kesucianku, yang
membuatku tertawa dalam hati karena segala yang ia katakan itu salah.” Aku
menarik nafas dalam-dalam. Suaraku memelan dan air mata mulai membendung.
Sialan, aku begitu lemah sekarang.
“Eleanor,” bisiknya membuatku melangkah satu kali, menjauh darinya di belakangku.
“Dengarkan aku,”
“Tidak,” bisikku. “Setelah pangeran Geoffrey berbicara denganku, aku sadar
bahwa aku hanya wanita muda yang dipakai untuk memuaskan nafsu pria sepertimu.
Satu hari setelah kau mengabaikanku, aku mulai bertekad untuk tidak
mengharapkanmu kembali. Dan untungnya kau tidak menyulitkanku karena kau
sendiri mengabaikanku sepanjang dua minggu ini. Bahkan di tempat yang sama,
benar? Jadi, ciuman itu tidak berharga untukku,” jelasku menarik nafas
dalam-dalam lalu mengerjap-kerjapkan mata agar air mataku tak mengalir. Dua
tangan menyentuh bahuku kemudian kulirik dari cermin, ia menyandarkan pipinya
di bahuku.
“Aku merindukanmu, Yang Mulia, Eleanor,” bisiknya terdengar bersungut. “Sengaja
aku tidak berbicara denganmu setelah persetubuhan itu. Aku tak ingin tiap kali
kita bersentuhan atau bertatapan, aku akan mendorongmu ke tempat tidur
terdekat. Malam itu, segalanya terasa begitu luar biasa dan aku belum puas. Aku
tidak akan pernah puas. Eleanor, aku akan menikah. Wanita yang akan
kunikahkan ini tidak sama sekali kucintai. Kau akan mengasihaniku setelah kau
melihat wajahnya—bahkan Geoffrey senang karena aku menikahi putri ini.
Setidaknya, berikan aku ciuman berharga sebelum aku memasuki mimpi burukku,”
ucapnya. Apa pun yang keluar dari mulutnya membuatku iba sehingga aku
membalikkan tubuhku agar berhadapan dengannya.
“Aku tidak bisa mencium pria yang akan menikah hari ini,” bisikku serius. Ia
cemberut seperti anak kecil hingga aku terkikik, kedua alisnya bertaut.
“Kau cantik dalam gaun biru ini, sayangku, Eleanor.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar