Aku memasang maskara dan pelembap
bibir sebelum aku beranjak dari apartemen sambil memikirkan apa yang akan
terjadi selanjutnya. Mengapa orang-orang takut padanya? Maksudku, apa yang
harus ditakutkan dari seorang manusia? Kecuali jika orang itu adalah Adolf
Hitler, kau memang harus cepat-cepat pergi dari tempatmu berdiri saat itu juga.
Tetapi, ada apa dengan orang ini? Mengapa Hailey tidak setuju aku bekerja di
perusahaan periklanan yang satu ini? Apa dia pernah membunuh orang? Apa ia
orang jahat? Oke, memang aku sudah tahu mengapa ia tidak setuju aku bekerja di
sana, hanya saja, alasannya tak masuk akal. Sejak kapan aku takut dengan
seorang lelaki atau wanita? Hailey sudah mengenalku kurang lebih 5 tahun, dan
ia masih meragukan keberanianku? Aku tidak terima. Dan hanya karena aku diterima
di perusahaan, Hailey takut aku akan berakhir di rumah sakit jiwa. Sekejam
apakah orang itu? Jika memang ia kejam, pasti orang itu tidak akan memilih
menjadi direktur periklanan. Ia pasti lebih memilih menjadi pembunuh bayaran. Setelah
memakai pelembap bibir, aku menegakkan tubuhku lalu menatap pantulan diriku di
cermin, di hadapanku.
Rambut cokelat kehitaman yang sudah
kusanggul serapi mungkin, pakaian teraneh telah terpasang di tubuhku—rok
selutut, kemeja biru muda dengan blazer berwarna hitam, serta sepatu tumit
tinggi berwarna hitam. Jika bukan Hailey yang menyarankanku memakai pakaian
bodoh seperti ini, sudah dari tadi aku meninju orang itu dan tidak akan
berakhir seperti ini. Sejak kapan seorang Giavanna memakai pakaian ini? Oh,
saat aku bekerja—hanya setelah aku mati. Kulirik jam tangan kecil pemberian ayahku
telah menunjukkan pukul 07.50 pagi. Orang yang menghubungiku kemarin
memberitahu padaku untuk datang sebelum jam 9 pagi. Perusahaan periklanan yang
akan menjadi tempat kerjaku adalah perusahaan yang membuat iklan-iklan bermutu
di televisi. Nama perusahaan itu RCS Advertisement. Sudah banyak brand-brand di luar sana memakai perusahaan ini untuk membuat iklan bagi brand mereka agar laku di pasaran. Aku
sendiri bingung mengapa aku bisa diterima di perusahaan ini. Dan hebatnya
adalah aku langsung dijadikan sebagai asisten karena asisten sebelumnya telah
keluar dari perusahaan.
Aku keluar dari kamar. Mataku mendapati pacar Hailey
sedang tidur di atas sofa dengan keadaan setengah telanjang. Oh, kuharap tidak ada anak kecil
yang masuk ke dalam sini. Jeritan dari teko terdengar, detik setelahnya pintu
kamar Hailey terbuka. Wanita bertubuh mungil serta berambut cokelat yang
menutupi hampir sebagian punggungnya itu berlari-lari seperti sedang latihan kebakaran
di sekolah. Ia langsung mematikan kompor karena air panasnya telah mendidih.
Aku hanya terkekeh melihat Hailey dari pintu pembatas ruang tamu dan dapur lalu
mengalihkan perhatianku pada pacar Hailey. Jika pria di atas sofa ini berani
menyakiti Hailey, sungguh, aku tak segan-segan memukulnya. Bukan ingin bersikap
sombong, tetapi sudah ada beberapa pria yang kupukuli karena berani macam-macam
denganku atau Hailey—yang membuatku bertanya-tanya mengapa Hailey khawatir aku
bekerja di perusahaan periklanan ini. Kulirik kembali jam tanganku, sudah jam
8. Aku harus cepat-cepat berada di kantor.
“Hailey, aku
pergi!” Teriakku berjalan cepat menuju pintu apartemen lalu membukanya. “Jangan
lupa kunci pintu jika kau keluar,” lanjutku menutup pintu, tepat ketika Hailey
menyahutku.
Bekerja
di RCS Advertisement merupakan pekerjaan impian, kata orang-orang di luar sana.
Jika kau berhasil bekerja di RCS berarti kau telah mendapatkan kehidupan yang
sebenarnya. Maksudku, yang benar saja! Mungkin memang RCS sangatlah sukses,
tetapi pasti tidak akan menyenangkan bekerja di sana. Kau harus mati-matian
bekerja untuk mendapatkan kesuksesan. Dan—sebenarnya—aku belum siap untuk
bekerja di perusahaan periklanan ini. Jika bukan karena tagihan sewa apartemen
yang mahal, aku tidak akan bekerja di perusahaan sukses seperti ini. Hailey,
sahabat—yang sudah kuanggap keluarga—hanya bekerja sebagai pelukis. Ia sering
menjual hasil karya dengan harga yang hanya menutupi tagihan apartemen.
Sedangkan aku sebelumnya magang di sebuah restoran mewah sebagai pelayan,
tetapi gajiku tidak begitu besar. Seharusnya aku tidak digaji, tetapi atasannya
menyukai keberanianku berbicara dengannya, jadi aku digaji. Kadang uang yang
kudapatkan kurang untuk memenuhi kebutuhanku dan Hailey. Hingga akhirnya aku
mengirim resume-ku pada beberapa perusahaan, hebatnya, RCS Advertisement-lah
yang pertama kali menghubungiku untuk bekerja di perusahaan mereka. Aku curiga
mereka tidak membaca resume-ku.
Aku menaiki taksi yang berhenti di
depanku setelah aku melambai-lambaikan tangan. Uh, aku jadi penasaran seperti
apa atasanku. Apakah ia seorang pria atau wanita? Apakah ia cantik atau tampan?
Apa ia ramah atau sombong? Well, itu semua akan terjawab ketika aku
melangkahkan kaki di kantornya.
***
Setelah diberi beberapa intruksi
pada asisten utama di perusahaan ini, aku mengerti apa yang harus kulakukan.
Aku hanya perlu mengangkat telepon, mengikuti perintah dari atasanku, dan
membantu asisten utama. Rekanku—kurasa begitu—bernama Morgan, ia sudah bekerja
di perusahaan ini kira-kira 1 tahun, katanya ia yang paling bisa bertahan
bekerja di perusahaan RCS sebagai asisten utama. Sebenarnya, apa yang terjadi
dengan perusahaan ini? Sekejam apakah atasan RCS ini? Ia belum datang, jam sudah
menunjukkan pukul 9.Nama pria itu—ternyata pria—Justin Richardson. Sekarang aku
mengerti mengapa perusahaan ini diberi nama RCS. Kembali lagi dengan Morgan. Ia
wanita cantik dengan rambut pirang yang digerai panjang, postur tubuh yang
ideal dengan mata biru yang semakin memercantik dirinya. Aku kagum dengan
kecantikannya. Andai aku bisa operasi plastik sepertinya, aku pasti tidak akan
melakukannya. Well, sayangnya, aku bukan Morgan.
Aku duduk di atas kursi hangat
pertamaku. Ah, jadi seperti ini rasanya menjadi seorang asisten. Duduk, mengangkat telepon dan
memberitahu jadwal-jadwal apa saja yang akan dilakukan oleh atasan. Aku belum
melihat tanda-tanda dari Yang Mulia Justin Richardson. Tidak ada foto
Mr.Richardson yang terpajang di perusahaan ini. Aku hanya foto ayahnya saja
yang membangun perusahaan ini. Tetapi sudah bertahun-tahun yang lalu, ayah dari
Mr.Richardson meninggal. Morgan yang duduk berseberangan denganku menatapiku
dengan tatapan bingung.
“Apa yang kau pikirkan?” Tanyanya
bingung sambil menahan tawa. Kedua alisku terangkat.
“Hanya memikirkan pemilik perusahaan
ini,” ucapku jujur. Morgan tertawa sinis mendengar jawabanku. Apa yang salah?
“Jangan berani-berani memikirkannya.
Sebentar lagi, pikiranmu tentangnya akan berubah 180 derajat dari apa yang
kaupikirkan tadi,” ucap Morgan mengetik di komputer. Aku semakin tertarik.
Seperti apakah atasanku ini? Apakah tampan dan garang? Apakah ia pintar
memukul? Selama ini aku tidak pernah bertemu dengan seorang pria tampan yang
pintar memukul tetapi manis pada kekasihnya. Siapa tahu atasanku seperti itu?
Aku mungkin bisa berbicara sedikit dengannya, well, hanya untuk awal
pendekatan. Kulihat Morgan yang menegakkan punggungnya lalu melirik pada pintu
bening yang menjadi pembatas kantor serta ruang atasanku dari kantor luar. Oh,
itu dia! Mungkin dia.
Aku ikut menegakkan punggungku untuk
terlihat profesional. Pintu kantorku terbuka. Saat itulah atasanku muncul
dengan segala ketampanannya. Seperti di film-film, ia berjalan anggun, menatap
lurus ke depan, dan matanya seolah-olah selalu mengintimidasi orang lain dengan
karismanya. Apa yang terjadi denganku? Setampan inikah atasanku? Aku berdiri
dari kursiku ketika ia ingin melewati mejaku.
“Selamat pagi—“
“Bilang pada ibuku kalau aku sibuk
dan tidak bisa berbicara dengannya. Beritahu saja padanya untuk memberi pesan
padaku. Aku tidak suka jika orang-orang menggangguku ketika aku bekerja,” ucap
pria itu dengan suara maskulinnya pada Morgan sambil terus berjalan sementara
Morgan langsung melangkah keluar dari mejanya, mengikuti kemana Mr.Richardson
yang pergi masuk ke dalam kantor pribadinya. Morgan menutup pintu ruang pribadi
Mr.Richardson sehingga aku tidak bisa melihat mereka karena kacanya buram.
Mendengarnya pun aku tidak bisa. Bahuku melemas dan aku jatuh terduduk,
jari-jariku mengetuk meja. Jadi seperti itu orang yang ditakuti oleh Hailey?
Tidak seburuk yang Hailey pikirkan, kurasa. Dan yah, benar apa yang dikatakan
Morgan, apa yang kubayangkan berbeda 180 derajat dengan apa yang kulihat tadi.
Mr.Richardson bahkan tidak
sedikitpun melirikku yang sudah berdiri! Aku melihat Morgan dari kaca yang
buram melangkah menuju pintu lalu membukanya. Ia dengan catatan kecil di
tangannya telah keluar dengan selamat dari kantor pribadi Mr.Richardson, itu
berarti tidak ada yang berbahaya dari Mr.Richardson. Tetapi tetap saja, apa
yang Morgan katakan padaku sungguh benar. Aku seharusnya tidak mengimajinasikan
hal-hal yang indah dari Mr.Richardson.
“Ia ingin bertemu denganmu,” ucap
Morgan sambil melangkah menuju mejanya. Aku langsung berdiri dari kursi lalu
keluar dari meja. Sambil membersihkan rok dan blazerku, aku mengambil nafas
dalam-dalam. Jangan menjadi wanita di luar sana! Jadilah Giavanna yang ramah
pada atasannya. Aku mendorong pintu kantor pribadi Mr.Richardson. Baru aku
mengambil satu langkah, aku dapat menghirup aroma harum dari ruangan ini.
Seharum inikah ruangan dari pria tampan sepertinya? Kulihat Mr.Richardson
sedang terduduk di kursinya memakai kacamata. Bukan koran yang ia baca, tetapi
majalah. Oh, ini berita baru. Mungkin ia sedang mencari inspirasi untuk iklan-iklan di
televisi nanti.
“Mr.Richardson,”
ucapku dengan ramah. Mr.Richardson mengangkat kepalanya. Bersamaan dengan itu,
ia melepaskan kacamatanya. “Aku Giavanna Anderson, asisten barumu,” lanjutku.
Mr.Richardson tidak mengatakan apa pun, ia memerhatikanku. Tidak mengatakan
apa-apa, aku juga terdiam tidak mengatakan apa-apa. Mr.Richardson memiliki
sesuatu yang lebih dari sekedar wajah tampannya, tetapi aku tidak menunjuknya
dengan jariku. Rambutnya rapi, alis matanya tebal, bibir yang sensual, dan
hidungnya mancung. Ia tidak seperti atasan-atasan yang pernah kulihat di
televisi-televisi. Gemuk, galak, dan kerjaannya hanya duduk-duduk di ruang
pribadinya. Mr.Richardson sebenarnya tampan, tetapi dengan sifatnya yang
sombong seperti ini membuat ketampanannya berkurang. Aku jadi tidak tertarik.
Setelah ia menatap wajahku baik-baik, ia lalu mengangguk satu kali, detik
setelahnya ia menghela nafas.
“Mengapa kau
bekerja di sini?” Ah pertanyaan macam apa ini? Terlalu biasa!
“Untuk
mendapatkan uang agar tetap hidup?” Jawabku dengan nada balik bertanya.
Mr.Richardson menganggukkan kepalanya satu kali lagi, lalu ia tersenyum. Tidak,
tidak membuatku meleleh seperti sebelum aku bertemu dengannya. Kesombongannya
membuatku sedikit tidak menyukainya. Baru beberapa detik ia tersenyum, bibirnya
kembali mendatar.
“Baiklah. Aku ingin kopiku berada di
mejaku dalam 10 menit. Panggil Morgan.” Perintahnya kembali memakai kacamata
lalu kembali membaca majalahnya. Aku yang berjenis kelamin perempuan saja tidak
membaca sebuah majalah! Bagaimana bisa seorang Justin Richardson membaca majalah sialan itu sambil memerintahku
seperti budak? Tidak, jangan Giavanna!
Dia adalah atasanmu, tidak boleh ada memar biru di wajahnya. “Mengapa kau
masih ada di hadapanku?” Tanyanya membuatku sadar, aku tidak bergerak.
Aku langsung membalikkan tubuhku dan
berjalan cepat menuju pintu. Jadi ini adalah orang yang Hailey khawatirkan?
Orang yang dapat membuatku masuk rumah sakit jiwa? Oh, jangan bercanda, orang
sepertinya hanya perlu diberi pelajaran agar ia tahu bagaimana caranya
menghargai orang lain! Dan bagaimana caranya berbicara dengan orang lain sambil
menatap mata lawan bicara! Aku jadi penasaran apakah ia mempunyai pacar? Jika
ya, aku heran mengapa pacarnya ingin berpacarannya dengannya.
“Morgan,” aku memanggil Morgan
sambil menunjuk ruang Mr.Richardson. “Sebenarnya, aku harus memanggilnya
Mr.Richardson atau Justin saja?” Tanyaku sambil berjalan menuju dapur yang
sebenarnya hanya ada di sebelah ruanganku. Aku menyentuh pintu menuju dapur
tepat saat Morgan menjawab pertanyaan. Ia sudah berdiri di depan pintu
Mr.Richardson.
“Justin, jika berada di ruangan ini.
Dan Mr.Richardson jika kita bertemu dengan klien. Jangan lupa
kopinya tidak terlalu manis dan hitam pekat,”
“Apa aku harus beri racun juga?” Tanyaku bercanda. Tetapi
Morgan tidak mendapati candaanku, ia mengangkat salah satu alisnya.
“Sungguh?” Aku tidak mengatakan apa-apa
selain langsung masuk ke dalam dapur.
***
Awalnya, memang aku berpikir bekerja
sebagai asisten akan sangat mudah. Tetapi mungkin itu hanya ada di dalam
imajinasiku. Baru satu hari aku di kantor itu, aku ingin mati! Justin terus
memanggilku untuk membelikan ia sesuatu yang menurutku tidak penting! Untuk apa
ia memintaku membeli balon? Untuk apa ia memintaku membeli glitter hanya untuk satu macam warna? Ia memintaku membeli makan
siang untuknya. Aku mengangkat teleponnya untuk membuat jadwal-jadwalnya ke
depan. Memikirkan apa yang kukerjakan tadi membuat kepalaku pening. Saat aku
membuka pintu apertemen, aku langsung menutup pintu dan berlari menuju sofa.
Kubanting tubuhku di atasnya untuk melemaskan seluruh otot-ototku. Kudengar
Hailey yang terkekeh di dekat balkon sambil melukis. Ia menertawakanku?
“Bagaimana rasanya?”
“Seperti di neraka,” ucapku
memejamkan mata. “Bos-ku sebenarnya biasa saja. Ia sama seperti bos-bos
yang lain. Jika kau mengkhawatirkanku hanya karena bekerja di sana, kau tidak
perlu. Well, bos-ku
hanya sedikit menyebalkan karena ia begitu sombong.”
“Bukan itu maksud pertanyaanku!
Maksudku, bagaimana rasanya bekerja di sebuah perusahaan yang memiliki atasan
tampan seperti Justin Richardson?” Tanya Hailey membuatku bingung. Ia tahu nama
atasanku? Bagaimana bisa?
“Bagaimana bisa kau tahu ia tampan
dan bernama Justin Richardson?”
“Apa gunanya
Internet di dunia ini jika tidak kita pakai, Ms.Anderson? Aku sudah melihatnya di
Wikipedia. Ia tampan, ahli waris perusahaan keluarga Richardson karena ia anak
tunggal. Sudah pernah ada di sampul-sampul majalah terkenal karena kerja
kerasnya. Dan yang paling mengesankan adalah ia masih lajang,” ucap Hailey. Mataku mengedip.
“Ya? Ketampanannya tidak begitu
memukau ketika ia berbicara tidak menatap lawan bicaranya. Dan sekali lagi, ia
sombong. Kau tahu bagaimana aku ketika diperhadapkan dengan seseorang yang
sombong.”
“Dia pantas bersikap sombong atas
apa yang telah ia kerjakan. Lagi pula, aku hanya menakut-nakutimu tentang kau
akan masuk rumah sakit jiwa. Maksudku, kau akan masuk rumah sakit jiwa karena
tidak bisa mendapatkannya. Selamat, Giavanna Anderson! Kau berhasil bekerja di
perusahaan idaman para manusia di New York!”
“Aku gila karena tidak bisa
mendapatkannya? Yang benar saja! Bunuh aku jika aku menginginkannya!” ucapku
memutar bola matanya.
“Perkataan adalah doa, Anna.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar