Rabu, 18 Juni 2014

Perfect Time Bab 1



            Aku memasang maskara dan pelembap bibir sebelum aku beranjak dari apartemen sambil memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Mengapa orang-orang takut padanya? Maksudku, apa yang harus ditakutkan dari seorang manusia? Kecuali jika orang itu adalah Adolf Hitler, kau memang harus cepat-cepat pergi dari tempatmu berdiri saat itu juga. Tetapi, ada apa dengan orang ini? Mengapa Hailey tidak setuju aku bekerja di perusahaan periklanan yang satu ini? Apa dia pernah membunuh orang? Apa ia orang jahat? Oke, memang aku sudah tahu mengapa ia tidak setuju aku bekerja di sana, hanya saja, alasannya tak masuk akal. Sejak kapan aku takut dengan seorang lelaki atau wanita? Hailey sudah mengenalku kurang lebih 5 tahun, dan ia masih meragukan keberanianku? Aku tidak terima. Dan hanya karena aku diterima di perusahaan, Hailey takut aku akan berakhir di rumah sakit jiwa. Sekejam apakah orang itu? Jika memang ia kejam, pasti orang itu tidak akan memilih menjadi direktur periklanan. Ia pasti lebih memilih menjadi pembunuh bayaran. Setelah memakai pelembap bibir, aku menegakkan tubuhku lalu menatap pantulan diriku di cermin, di hadapanku.
            Rambut cokelat kehitaman yang sudah kusanggul serapi mungkin, pakaian teraneh telah terpasang di tubuhku—rok selutut, kemeja biru muda dengan blazer berwarna hitam, serta sepatu tumit tinggi berwarna hitam. Jika bukan Hailey yang menyarankanku memakai pakaian bodoh seperti ini, sudah dari tadi aku meninju orang itu dan tidak akan berakhir seperti ini. Sejak kapan seorang Giavanna memakai pakaian ini? Oh, saat aku bekerja—hanya setelah aku mati. Kulirik jam tangan kecil pemberian ayahku telah menunjukkan pukul 07.50 pagi. Orang yang menghubungiku kemarin memberitahu padaku untuk datang sebelum jam 9 pagi. Perusahaan periklanan yang akan menjadi tempat kerjaku adalah perusahaan yang membuat iklan-iklan bermutu di televisi. Nama perusahaan itu RCS Advertisement. Sudah banyak brand-brand di luar sana memakai perusahaan ini untuk membuat iklan bagi brand mereka agar laku di pasaran. Aku sendiri bingung mengapa aku bisa diterima di perusahaan ini. Dan hebatnya adalah aku langsung dijadikan sebagai asisten karena asisten sebelumnya telah keluar dari perusahaan.
            Aku keluar dari kamar. Mataku mendapati pacar Hailey sedang tidur di atas sofa dengan keadaan setengah telanjang. Oh, kuharap tidak ada anak kecil yang masuk ke dalam sini. Jeritan dari teko terdengar, detik setelahnya pintu kamar Hailey terbuka. Wanita bertubuh mungil serta berambut cokelat yang menutupi hampir sebagian punggungnya itu berlari-lari seperti sedang latihan kebakaran di sekolah. Ia langsung mematikan kompor karena air panasnya telah mendidih. Aku hanya terkekeh melihat Hailey dari pintu pembatas ruang tamu dan dapur lalu mengalihkan perhatianku pada pacar Hailey. Jika pria di atas sofa ini berani menyakiti Hailey, sungguh, aku tak segan-segan memukulnya. Bukan ingin bersikap sombong, tetapi sudah ada beberapa pria yang kupukuli karena berani macam-macam denganku atau Hailey—yang membuatku bertanya-tanya mengapa Hailey khawatir aku bekerja di perusahaan periklanan ini. Kulirik kembali jam tanganku, sudah jam 8. Aku harus cepat-cepat berada di kantor.
            “Hailey, aku pergi!” Teriakku berjalan cepat menuju pintu apartemen lalu membukanya. “Jangan lupa kunci pintu jika kau keluar,” lanjutku menutup pintu, tepat ketika Hailey menyahutku.
            Bekerja di RCS Advertisement merupakan pekerjaan impian, kata orang-orang di luar sana. Jika kau berhasil bekerja di RCS berarti kau telah mendapatkan kehidupan yang sebenarnya. Maksudku, yang benar saja! Mungkin memang RCS sangatlah sukses, tetapi pasti tidak akan menyenangkan bekerja di sana. Kau harus mati-matian bekerja untuk mendapatkan kesuksesan. Dan—sebenarnya—aku belum siap untuk bekerja di perusahaan periklanan ini. Jika bukan karena tagihan sewa apartemen yang mahal, aku tidak akan bekerja di perusahaan sukses seperti ini. Hailey, sahabat—yang sudah kuanggap keluarga—hanya bekerja sebagai pelukis. Ia sering menjual hasil karya dengan harga yang hanya menutupi tagihan apartemen. Sedangkan aku sebelumnya magang di sebuah restoran mewah sebagai pelayan, tetapi gajiku tidak begitu besar. Seharusnya aku tidak digaji, tetapi atasannya menyukai keberanianku berbicara dengannya, jadi aku digaji. Kadang uang yang kudapatkan kurang untuk memenuhi kebutuhanku dan Hailey. Hingga akhirnya aku mengirim resume-ku pada beberapa perusahaan, hebatnya, RCS Advertisement-lah yang pertama kali menghubungiku untuk bekerja di perusahaan mereka. Aku curiga mereka tidak membaca resume-ku.
            Aku menaiki taksi yang berhenti di depanku setelah aku melambai-lambaikan tangan. Uh, aku jadi penasaran seperti apa atasanku. Apakah ia seorang pria atau wanita? Apakah ia cantik atau tampan? Apa ia ramah atau sombong? Well, itu semua akan terjawab ketika aku melangkahkan kaki di kantornya.

***

            Setelah diberi beberapa intruksi pada asisten utama di perusahaan ini, aku mengerti apa yang harus kulakukan. Aku hanya perlu mengangkat telepon, mengikuti perintah dari atasanku, dan membantu asisten utama. Rekanku—kurasa begitu—bernama Morgan, ia sudah bekerja di perusahaan ini kira-kira 1 tahun, katanya ia yang paling bisa bertahan bekerja di perusahaan RCS sebagai asisten utama. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan perusahaan ini? Sekejam apakah atasan RCS ini? Ia belum datang, jam sudah menunjukkan pukul 9.Nama pria itu—ternyata pria—Justin Richardson. Sekarang aku mengerti mengapa perusahaan ini diberi nama RCS. Kembali lagi dengan Morgan. Ia wanita cantik dengan rambut pirang yang digerai panjang, postur tubuh yang ideal dengan mata biru yang semakin memercantik dirinya. Aku kagum dengan kecantikannya. Andai aku bisa operasi plastik sepertinya, aku pasti tidak akan melakukannya. Well, sayangnya, aku bukan Morgan.
            Aku duduk di atas kursi hangat pertamaku. Ah, jadi seperti ini rasanya menjadi seorang asisten. Duduk, mengangkat telepon dan memberitahu jadwal-jadwal apa saja yang akan dilakukan oleh atasan. Aku belum melihat tanda-tanda dari Yang Mulia Justin Richardson. Tidak ada foto Mr.Richardson yang terpajang di perusahaan ini. Aku hanya foto ayahnya saja yang membangun perusahaan ini. Tetapi sudah bertahun-tahun yang lalu, ayah dari Mr.Richardson meninggal. Morgan yang duduk berseberangan denganku menatapiku dengan tatapan bingung.
            “Apa yang kau pikirkan?” Tanyanya bingung sambil menahan tawa. Kedua alisku terangkat.
            “Hanya memikirkan pemilik perusahaan ini,” ucapku jujur. Morgan tertawa sinis mendengar jawabanku. Apa yang salah?
            “Jangan berani-berani memikirkannya. Sebentar lagi, pikiranmu tentangnya akan berubah 180 derajat dari apa yang kaupikirkan tadi,” ucap Morgan mengetik di komputer. Aku semakin tertarik. Seperti apakah atasanku ini? Apakah tampan dan garang? Apakah ia pintar memukul? Selama ini aku tidak pernah bertemu dengan seorang pria tampan yang pintar memukul tetapi manis pada kekasihnya. Siapa tahu atasanku seperti itu? Aku mungkin bisa berbicara sedikit dengannya, well, hanya untuk awal pendekatan. Kulihat Morgan yang menegakkan punggungnya lalu melirik pada pintu bening yang menjadi pembatas kantor serta ruang atasanku dari kantor luar. Oh, itu dia! Mungkin dia.
            Aku ikut menegakkan punggungku untuk terlihat profesional. Pintu kantorku terbuka. Saat itulah atasanku muncul dengan segala ketampanannya. Seperti di film-film, ia berjalan anggun, menatap lurus ke depan, dan matanya seolah-olah selalu mengintimidasi orang lain dengan karismanya. Apa yang terjadi denganku? Setampan inikah atasanku? Aku berdiri dari kursiku ketika ia ingin melewati mejaku.
            “Selamat pagi—“
            “Bilang pada ibuku kalau aku sibuk dan tidak bisa berbicara dengannya. Beritahu saja padanya untuk memberi pesan padaku. Aku tidak suka jika orang-orang menggangguku ketika aku bekerja,” ucap pria itu dengan suara maskulinnya pada Morgan sambil terus berjalan sementara Morgan langsung melangkah keluar dari mejanya, mengikuti kemana Mr.Richardson yang pergi masuk ke dalam kantor pribadinya. Morgan menutup pintu ruang pribadi Mr.Richardson sehingga aku tidak bisa melihat mereka karena kacanya buram. Mendengarnya pun aku tidak bisa. Bahuku melemas dan aku jatuh terduduk, jari-jariku mengetuk meja. Jadi seperti itu orang yang ditakuti oleh Hailey? Tidak seburuk yang Hailey pikirkan, kurasa. Dan yah, benar apa yang dikatakan Morgan, apa yang kubayangkan berbeda 180 derajat dengan apa yang kulihat tadi.
            Mr.Richardson bahkan tidak sedikitpun melirikku yang sudah berdiri! Aku melihat Morgan dari kaca yang buram melangkah menuju pintu lalu membukanya. Ia dengan catatan kecil di tangannya telah keluar dengan selamat dari kantor pribadi Mr.Richardson, itu berarti tidak ada yang berbahaya dari Mr.Richardson. Tetapi tetap saja, apa yang Morgan katakan padaku sungguh benar. Aku seharusnya tidak mengimajinasikan hal-hal yang indah dari Mr.Richardson.
            “Ia ingin bertemu denganmu,” ucap Morgan sambil melangkah menuju mejanya. Aku langsung berdiri dari kursi lalu keluar dari meja. Sambil membersihkan rok dan blazerku, aku mengambil nafas dalam-dalam. Jangan menjadi wanita di luar sana! Jadilah Giavanna yang ramah pada atasannya. Aku mendorong pintu kantor pribadi Mr.Richardson. Baru aku mengambil satu langkah, aku dapat menghirup aroma harum dari ruangan ini. Seharum inikah ruangan dari pria tampan sepertinya? Kulihat Mr.Richardson sedang terduduk di kursinya memakai kacamata. Bukan koran yang ia baca, tetapi majalah. Oh, ini berita baru. Mungkin ia sedang mencari inspirasi untuk iklan-iklan di televisi nanti.
            “Mr.Richardson,” ucapku dengan ramah. Mr.Richardson mengangkat kepalanya. Bersamaan dengan itu, ia melepaskan kacamatanya. “Aku Giavanna Anderson, asisten barumu,” lanjutku. Mr.Richardson tidak mengatakan apa pun, ia memerhatikanku. Tidak mengatakan apa-apa, aku juga terdiam tidak mengatakan apa-apa. Mr.Richardson memiliki sesuatu yang lebih dari sekedar wajah tampannya, tetapi aku tidak menunjuknya dengan jariku. Rambutnya rapi, alis matanya tebal, bibir yang sensual, dan hidungnya mancung. Ia tidak seperti atasan-atasan yang pernah kulihat di televisi-televisi. Gemuk, galak, dan kerjaannya hanya duduk-duduk di ruang pribadinya. Mr.Richardson sebenarnya tampan, tetapi dengan sifatnya yang sombong seperti ini membuat ketampanannya berkurang. Aku jadi tidak tertarik. Setelah ia menatap wajahku baik-baik, ia lalu mengangguk satu kali, detik setelahnya ia menghela nafas.
            “Mengapa kau bekerja di sini?” Ah pertanyaan macam apa ini? Terlalu biasa!
            “Untuk mendapatkan uang agar tetap hidup?” Jawabku dengan nada balik bertanya. Mr.Richardson menganggukkan kepalanya satu kali lagi, lalu ia tersenyum. Tidak, tidak membuatku meleleh seperti sebelum aku bertemu dengannya. Kesombongannya membuatku sedikit tidak menyukainya. Baru beberapa detik ia tersenyum, bibirnya kembali mendatar.
            “Baiklah. Aku ingin kopiku berada di mejaku dalam 10 menit. Panggil Morgan.” Perintahnya kembali memakai kacamata lalu kembali membaca majalahnya. Aku yang berjenis kelamin perempuan saja tidak membaca sebuah majalah! Bagaimana bisa seorang Justin Richardson membaca  majalah sialan itu sambil memerintahku seperti budak? Tidak, jangan Giavanna! Dia adalah atasanmu, tidak boleh ada memar biru di wajahnya. “Mengapa kau masih ada di hadapanku?” Tanyanya membuatku sadar, aku tidak bergerak.
            Aku langsung membalikkan tubuhku dan berjalan cepat menuju pintu. Jadi ini adalah orang yang Hailey khawatirkan? Orang yang dapat membuatku masuk rumah sakit jiwa? Oh, jangan bercanda, orang sepertinya hanya perlu diberi pelajaran agar ia tahu bagaimana caranya menghargai orang lain! Dan bagaimana caranya berbicara dengan orang lain sambil menatap mata lawan bicara! Aku jadi penasaran apakah ia mempunyai pacar? Jika ya, aku heran mengapa pacarnya ingin berpacarannya dengannya.
            “Morgan,” aku memanggil Morgan sambil menunjuk ruang Mr.Richardson. “Sebenarnya, aku harus memanggilnya Mr.Richardson atau Justin saja?” Tanyaku sambil berjalan menuju dapur yang sebenarnya hanya ada di sebelah ruanganku. Aku menyentuh pintu menuju dapur tepat saat Morgan menjawab pertanyaan. Ia sudah berdiri di depan pintu Mr.Richardson.
            “Justin, jika berada di ruangan ini. Dan Mr.Richardson jika kita bertemu dengan klien. Jangan lupa kopinya tidak terlalu manis dan hitam pekat,”
            “Apa aku harus beri racun juga?” Tanyaku bercanda. Tetapi Morgan tidak mendapati candaanku, ia mengangkat salah satu alisnya.
            “Sungguh?”  Aku tidak mengatakan apa-apa selain langsung masuk ke dalam dapur.

***

            Awalnya, memang aku berpikir bekerja sebagai asisten akan sangat mudah. Tetapi mungkin itu hanya ada di dalam imajinasiku. Baru satu hari aku di kantor itu, aku ingin mati! Justin terus memanggilku untuk membelikan ia sesuatu yang menurutku tidak penting! Untuk apa ia memintaku membeli balon? Untuk apa ia memintaku membeli glitter hanya untuk satu macam warna? Ia memintaku membeli makan siang untuknya. Aku mengangkat teleponnya untuk membuat jadwal-jadwalnya ke depan. Memikirkan apa yang kukerjakan tadi membuat kepalaku pening. Saat aku membuka pintu apertemen, aku langsung menutup pintu dan berlari menuju sofa. Kubanting tubuhku di atasnya untuk melemaskan seluruh otot-ototku. Kudengar Hailey yang terkekeh di dekat balkon sambil melukis. Ia menertawakanku?
            “Bagaimana rasanya?”
            “Seperti di neraka,” ucapku memejamkan mata. “Bos-ku sebenarnya biasa saja. Ia sama seperti bos-bos yang lain. Jika kau mengkhawatirkanku hanya karena bekerja di sana, kau tidak perlu. Well, bos-ku hanya sedikit menyebalkan karena ia begitu sombong.”
            “Bukan itu maksud pertanyaanku! Maksudku, bagaimana rasanya bekerja di sebuah perusahaan yang memiliki atasan tampan seperti Justin Richardson?” Tanya Hailey membuatku bingung. Ia tahu nama atasanku? Bagaimana bisa?
            “Bagaimana bisa kau tahu ia tampan dan bernama Justin Richardson?”
            “Apa gunanya Internet di dunia ini jika tidak kita pakai, Ms.Anderson? Aku sudah melihatnya di Wikipedia. Ia tampan, ahli waris perusahaan keluarga Richardson karena ia anak tunggal. Sudah pernah ada di sampul-sampul majalah terkenal karena kerja kerasnya. Dan yang paling mengesankan adalah ia masih lajang,” ucap Hailey.  Mataku mengedip.
            “Ya? Ketampanannya tidak begitu memukau ketika ia berbicara tidak menatap lawan bicaranya. Dan sekali lagi, ia sombong. Kau tahu bagaimana aku ketika diperhadapkan dengan seseorang yang sombong.”
            “Dia pantas bersikap sombong atas apa yang telah ia kerjakan. Lagi pula, aku hanya menakut-nakutimu tentang kau akan masuk rumah sakit jiwa. Maksudku, kau akan masuk rumah sakit jiwa karena tidak bisa mendapatkannya. Selamat, Giavanna Anderson! Kau berhasil bekerja di perusahaan idaman para manusia di New York!”
            “Aku gila karena tidak bisa mendapatkannya? Yang benar saja! Bunuh aku jika aku menginginkannya!” ucapku memutar bola matanya.

            “Perkataan adalah doa, Anna.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar