Hailey berharap aku bisa bertahan
bekerja di RCS Advertisement. Bagiku itu bukan masalah besar. Aku hanya perlu
beradaptasi dengan keadaan di kantor yang penuh dengan kemunafikan antar
karyawan. Mungkin dari antara semua karyawan di lantai 9 ini, hanya aku yang
tidak banyak bicara dan lebih banyak mendengarkan karyawan-karyawan bermuka dua
di dapur atau ketika aku sedang mencari barang-barang keperluan Justin—aku
boleh menyebut nama depannya saja ketika ia sedang tidak bersama klien—di ruang
penyimpanan. Baru empat hari aku bekerja di perusahaan ini, tetapi sejak aku
masuk ke dalam perusahaan ini, hinaan terhadap Justin tidak pernah berhenti.
Okelah, mungkin sebagian karyawan wanita di perusahaan ini memuja Justin
daripada karyawan pria. Mungkin hinaan-hinaan yang sering kudengar keluar dari
mulut karyawan pria. Mereka seolah-olah ingin menjadi Justin Richardson, hanya
saja, mereka tak mampu. Atau lebih tepatnya, mereka tak bisa.
Aku menyusun jadwal pertemuan-pertemuan
Justin di hari-hari berikutnya agar ia tidak kewalahan untuk menghadapi hari
esok. Ada beberapa hal yang ia minta padaku untuk diberitahu padanya apakah
semuanya baik-baik saja. Seperti properti yang ia butuhkan ketika ia presentasi
besok, keadaan ibunya, serta keadaan anjingnya sekarang. Besok Justin akan
bertemu dengan kliennya untuk membuat iklan sepatu. Dan aku harus ikut
bersamanya kemana pun ia pergi karena Morgan, entah mengapa bisa ia jatuh
sakit. Mataku melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul 12 siang.
Saatnya makan siang. Aku menutup buku jadwal Justin lalu menyimpannya di ujung
meja agar kelihatan rapi. Ketika aku bangkit dari kursi dan mengambil tas kecil
yang kubawa, pintu ruangan Justin terbuka. Muncullah monster yang paling
menawan dari semua monster di dunia ini dari balik pintunya. Ia tidak
menatapku, tetapi ia menatap pada ponsel yang dipegangnya.
“Anna, kau punya waktu?” Tanyanya
tanpa menatapku, matanya fokus pada ponsel.
“Tidak?” Aku menjawab dengan nada
bertanya balik. Saat itu juga Justin mendongakkan kepalanya. Justin menatapku
seperti Joe Bastianich yang selalu memberikan tatapan mematikan, aku membeku.
“Ya, aku punya waktu, Justin,”
“Aku ingin kau pergi ke bar teman
baikku untuk mengambil berkas-berkas contoh iklan di sana. Tetapi kau tahu aku
punya janji makan siang bukan hari ini dengan teman baikku yang lain? Lebih
baik kau naik mobil bersamaku, aku akan menurunkanmu di barnya,” ucap Justin
tanpa melepaskan pandangannya dariku. Aku mengangguk mantap merasa bersedia
untuk melakukan apa pun demi pekerjaan ini, bukan demi dia. “Ayo.”
Ia berjalan cepat melewati meja
kerjaku. Kenapa bukan dia saja yang ambil berkas-berkas sialan itu? Mengapa
bukan asisten temannya saja yang membawanya ke gedung ini? Mengapa Justin
terlihat begitu nyaman menyiksaku seperti ini? Aku ingin makan siang!
***
Selama berada di dalam mobil bersama
Justin—untuk yang pertama kalinya—aku merasa sangat tegang. Entah mengapa pria ini tiba-tiba menjadi bisu
ketika kami berada di luar gedung. Bahkan sedari tadi ia menatap ponselnya atau
keluar jendela. Tidakkah ia melihat ada manusia yang sedang duduk di
sebelahnya? Apakah suaraku seburuk itu hingga ia tidak ingin berbicara
denganku? Ponselnya tiba-tiba berdering, dengan gaya anggunnya, Justin
mengangkat telepon itu.
“Hey, sayang, ada apa?” Suara Justin
tiba-tiba saja terdengar lembut. Tubuhku merinding seketika ketika ia berbicara
dengan suara seperti itu. Dengan siapa ia berbicara? Kekasihnya? Tidak mungkin!
Hailey sudah mencaritahu tentang Justin dari tempo hari dan tidak pernah
mendapatkan foto Justin bergandeng tangan dengan wanita. Aku curiga ia gay,
tetapi tidak mungkin. Mungkin ia trauma dengan masa lalunya atau sesuatu yang
membuatnya tak ingin memiliki kekasih. “Maafkan ayah, sayang. Ayah tak bisa
menjemputmu, tetapi Dave bisa. Apakah itu baik-baik saja? Baiklah, ayah
mencintaimu.” Ucapnya lembut pada anaknya—pastinya. Aku berdeham hingga membuat
kepalanya menoleh padaku.
“Jadi, kau sudah menikah?” Tanyaku
melirik tangan kirinya, tetapi tidak ada cincin di sana. Ia yang memandang
lurus ke depan langsung melirikku dari ekor matanya. Apakah ia selalu bersikap
seperti ini pada setiap asistennya? Aku menggeliat tak jelas di atas kursi ini
karena merasa canggung. “Maksudku, kau berbicara dengan …baiklah, memang bukan
urusanku, maaf,”
“Apakah orangtuamu pernah mengajarmu
untuk tidak mencuri dengar percakapan orang lain?” Tanyanya dengan nada dingin,
tak menatapku. Aku terdiam tak berani menatap matanya. Bukan karena aku takut—aku
tidak pernah takut pada siapa pun— tetapi merasa sakit hati atas apa yang ia
singgung. Jika ia tahu masa laluku, pasti ia akan menyesal.
“Tidak,” bisikku menggigit bibir
bagian dalam. Jika bukan karena ia adalah atasanku, sudah dari tadi aku
meneriakinya untuk memberikan sedikit rasa hormat padaku.
“Tidak? Baiklah, kalau begitu,
jangan pernah mencuri dengar percakapan orang lain karena itu tidak sopan.
Mengerti, Giavanna?”
“Sebenarnya, aku tidak mencuri
dengar karena kau berbicara tepat di sampingku jadi secara tidak sengaja aku
mendengarnya. Memang apa yang bisa kudengar selain mulutmu yang
bersuara? Jadi, secara—“
“Apakah
orangtuamu pernah mengajarmu untuk diam?”
Aku terdiam saat itu juga. Lebih
baik mengalah dibanding aku harus kehilangan pekerjaan ini.
***
Sudah menjadi kewajibanku mengikuti
dan melakukan apa yang Justin perintahkan—jika itu masih dalam batas-batas
norma. Menunggu seorang pria bernama Alexander juga menjadi salah satu
pekerjaanku. Dan aku digaji karena itu juga. Aku belum tahu siapa itu Mr. Alexander
kecuali tentang ia teman baik dari Justin dan pemilik bar ini. Sebenarnya, jika
aku lihat-lihat ini bukan sepenuhnya bar. Tetapi tempat penari telanjang unjuk
gigi di atas panggung-panggung mereka. Sungguh aneh ketika kau mendapati dirimu
duduk di dekat pintu ruang VIP di sebuah bar, tengah siang, dan kau kelaparan. Tetapi
tidak apalah, ini semua demi pekerjaan dan membayar sewa apartemen.
Sesekali aku menundukkan kepala ketika salah satu penari
telanjang yang kira-kira tiga meter dari tempatku duduk melirik padaku lalu
mengedipkan salah satunya matanya. Maksudku, apakah aku kelihatan seperti
penyuka sesama wanita? Aku bergidik. Kulirik jam tangan yang kupakai telah
menunjukkan pukul 12.30. Sisa jam makan siangku adalah 30 menit lagi. Dan orang
yang kucari belum datang-datang juga. Menurut kepala pengurus bar ini,
Alexander akan datang kira-kira beberapa menit lagi. Tetapi dimana dia? Aku
sudah menunggu selama beberapa menit tetapi ia belum muncul. Pintu bar terbuka
sehingga sinar matahari masuk ke bar selama beberapa detik lalu pintu tertutup
kembali. Bar ini
bukan bar yang ricuh atau tempat orang pemabuk. Bar ini lebih rapi dan elegan.
Bahkan aku tidak percaya kalau tempat ini adalah bar, karena suasananya seperti
restoran yang dimana setiap mejanya bukan berisi makanan, tetapi wanita seksi
setengah telanjang menari-nari erotis.
Terlarut
dalam lamunanku, tiba-tiba muncul seorang pria yang kucari. Kurasa. Pria ini
sangat tampan bagaikan malaikat yang jatuh dari surga dikirimkan hanya
untukku—dan itu sangat mustahil. Aku berdiri dari kursi sofa empuk berwarna
hitam itu, lalu melangkah satu kali ke depan untuk menyambut Mr.Alexander. Teman
Justin ini memiliki rambut cokelat keemasan panjang sebahu rapi dengan mata
biru yang menakjubkan. Kulitnya putih, tetapi bukan putih pucat. Mr.Alexander
kelihatan seperti berandalan, tetapi berandalan yang memakai setelan abu-abu
rapi serta terhormat. Ia sangat seksi! Aku menarik nafas dalam-dalam saat ia
berhenti di depan pengawal yang berdiri di depan pintu VIP—orang yang tadi
menyuruhku untuk duduk di kursi hitam itu—lalu berbicara, melanjutkan
penderitaanku yang sulit bernafas karena pemandangan panas ini. Detik
setelahnya, Mr.Alexander membalikkan tubuhnya ke arahku, matanya menatapku
menembus jiwaku, lalu tangannya terjulur. “Kau pasti…”
“Giavanna Anderson, asisten Mr.Richardson. Kau pasti
Mr.Alexander,” ucapku ramah sambil menjabat tangannya erat-erat. Aku
bersumpah tidak akan mencuci tanganku
hari ini! Genggaman tangannya begitu erat, bahkan aku bisa merasakan kejutan
listrik yang membuat seluruh tubuhku merinding. Ia tersenyum tipis, tetapi
matanya sangat hangat sampai-sampai aku merasa ia sedang menggoda. Beberapa
detik bertatapan seperti di film-film, aku melepaskan jabatan tangan kami.
“Setelah
kau, Ms.Anderson,” ujar Mr.Alexander mempersilakan aku masuk ke dalam ruang VIP.
Aku melangkah masuk, disusul Mr.Alexander yang sudah menutup pintunya. “Jadi,
Justin memintamu untuk mengambil berkas-berkas contoh iklan itu eh?” Tanyanya.
“Ya, sir.” Ucapku mantap sambil mengambil posisi
duduk yang nyaman. Oh, ini bukan ruang VIP—berarti aku salah pengertian. Ini
ruangan Mr.Alexander, mungkin tempatnya bekerja sekaligus mendapat hiburan dari
wanita-wanita di luar sana. Mr.Alexander mendekati meja kerjanya, kurasa.
“Silakan duduk, Ms.Anderson. Aku sungguh senang karena
Justin memiliki asisten semenarik dirimu. Selama ini aku bertemu dengan asisten
Justin yang memakai rok di atas lutut, kemeja yang dua kancing dari atas
terbuka serta blazer sampai siku-siku. Justin adalah sahabat baikku,” ucapnya
santai sambil berjalan-jalan menyimpan tasnya, melepas jas abu-abu yang ia
pakai dan ia gantung di belakang kursi kerjanya. Ia kelihatan berbeda dari
Justin, mengapa mereka bisa bersahabat?
“Ah, kurasa aku tak cocok memakai pakaian sekurang itu. Aku tidak ingin membuat mata
orang lain sakit karena melihatku,” candaku tertawa kecil. Giavanna macam apa ini?Astaga, apa yang terjadi padaku? Aku geli
mendapati diriku seperti wanita genit. Mr.Alexander tertawa mendengar candaanku
lalu kepalanya tergeleng, seolah-olah tak setuju. Ia sedang mengambil berkas
yang kuminta di dalam laci meja kerjanya, kurasa.
“Well, aku tak begitu yakin dengan
pernyataan itu.” Ucapnya menarik satu map berwarna kuning dari laci meja
kerjanya. Aku hanya diam menyembunyikan senyum malu-maluku. Apa yang terjadi
padaku? Aku tahu ia hanya melakukan hal biasa, tetapi entah mengapa bisa aku
mengubahnya menjadi hal yang begitu menggoda. Mr.Alexander berjalan menuju sofa
di sebelahku sambil tangannnya memegang map kuning itu lalu duduk di sofa yang
memuat satu orang. “Ini dia.”
Aku mengambil map itu dari tangannya. “Mengapa map ini
ada padamu? Maksudku,
aku hanya tidak mengerti. Kau yang membuat contoh-contohnya?”
“Aku hanya membantu Justin. Dia
teman baikku. Bar ini juga ada karena bantuannya. Kami sudah berteman sejak
kami kuliah. Dia satu-satunya teman yang membantuku hingga aku sukses seperti
ini,” ucap Mr.Alexander, bercerita. Sesungguhnya aku hanya bertanya apa dia
yang membuat contohnya, bukan siapa yang membantunya membangun bar ini. Aku
mengangguk-anggukkan kepala untuk menghargainya. “Dia pria yang baik,
sebenarnya.” Lanjut Mr.Alexander menghela nafas, matanya menatap pada lantai.
Kepalanya terangguk-angguk seolah-olah ia sangat setuju dengan pendapat bahwa
Justin adalah pria yang baik.
“Tetapi orang-orang di luar sana
menganggapnya pria yang jahat. Aku tak mengerti.”
“Tentu saja,” adalah ucapan dusta
pertamaku padanya. “Well, Mr.Alexander, kurasa aku sudah mendapatkan apa yang
Mr.Richardson butuhkan. Jika kau tidak keberatan, aku akan kembali ke tempat
kerja,” ujarku bangkit dari sofa. Mr.Alexander ikut berdiri dari sofa lalu
menjulurkan tangannya padaku agar aku menjabat tangannya.
“Senang bertemu denganmu,
Ms.Anderson,”
“Suatu kehormatan bagiku.”
***
Ketika aku sampai di ruanganku
kembali, aku merasa sangat puas karena telah memakan makanan cepat saji—yang
kutemui di jalan—dan cukup membuatku kenyang. Ha! Jadi ini
cara Justin membuat para mantan-mantan asistennya lengah? Well, tidak denganku. Morgan mungkin
menjadi asisten utama yang bertahan paling lama, baiklah, aku akan menjadi
asisten kedua yang akan bertahan paling lama. Aku menyimpan tas kecilku ke atas
meja lalu melangkah menuju ruang kerja Justin. Kuharap Justin belum kembali
dari makan siangnya karena ia sudah memeringatiku agar berkas yang ia butuhkan
sudah ada di meja kerjanya sebelum ia datang. Aku membuka pintu ruangannya lalu
melangkah terburu-buru menuju meja kerjanya yang kosong. Oh, syukurlah! Kutaruh
berkas itu di atas meja Justin serapi yang kubisa, lalu memutar tubuhku
cepat-cepat agar dapat kembali ke meja kerjaku sebelum Justin datang. Tetapi ternyata aku tidak cukup cepat untuk
kembali ke meja kerjaku, pintu ruangannya terbuka dari luar. Hanya saja, bukan
pria dewasa yang mendorongnya. Sebuah tangan kecil mendorong pintu itu diiringi
suara tawa senang yang mengisi ruangan ini seketika. Anak kecil itu menyanyikan
lagu Twinkle-Twinkle Little Star dengan suara beningnya.
“Jangan sampai menetes kemana-mana,”
suara Justin memeringati anak kecil itu. Lalu mereka berdua muncul di
hadapanku. Aku membeku. Anak kecil yang awalnya bernyanyi itu berhenti menyanyi
ketika ia melihatku. Kakinya mundur beberapa langkah dariku hingga pungunggnya
menabrak lutut Justin. Justin menatapku dingin. “Mengapa kau ada di ruanganku?”
Aku masih tercengang. Jadi ini anak
yang berbicara dengan Justin di ponsel itu? “Aku hanya… Berkas… Aku baru
menyimpan berkas yang kauminta, Justin,”
“Kalau
begitu, mengapa kau masih di sini?” Tanyanya
menarik tangan anak kecil itu menuju sofa hitamnya. Ruangan Justin cukup besar
untuk satu orang—dan ya, aku tahu itu wajar karena pasti ia sering berbicara
dengan klien atau temannya di sofa itu. Anak kecil itu duduk dengan tenang
bersama dengan es krim vanilla yang ia jilat di atas sofa sementara Justin
berjalan ke arahku lalu menunjuk padanya. “Jangan sampai tumpah, gunakan
tisumu,”
“Iya, ayah. Cerewet sekali,” gerutu
anak kecil itu mengerucutkan mulutnya. Sebelum berada dalam jarak 1 meter
dariku, Justin berhenti di tempat.
“Apa kau akan tetap berada di sana?”
Tanyanya. Oh, ya, benar sekali!
“Maaf,” bisikku. “Kau memiliki
pertemuan jam 3 nanti bersama Mr.Mitch untuk membahas tentang—“
“Aku sudah tahu.” Ucapnya membuatku
terdiam dan melangkah keluar dari ruangannya. Kupejamkan mataku beberapa saat
untuk menenangkan diri. Semuanya akan baik-baik saja. Kulangkahkan kakiku
kembali menuju meja kerja lalu telingaku mendengar suara teriakan dari ruangan
Justin. Tapi aku tak peduli. Baru ingin menyentuhkan bokongku ke kursi, pintu
ruangan Justin.
“Belikan Arthur pakaian, sekarang!”
perintah Justin dengan wajah memerah. Apa-apaan?!
***
Dia tidak menjawab saat aku bertanya
padanya berapa ukuran tubuh Arthur, anaknya. Ia malah menatapku dengan tatapan
dingin sambil membersihkan es krim yang tertumpah di atas sofa hitam sementara
Arthur menggigit jari telunjuk menatapku dengan tatapan minta maaf. Tetapi,
seperti biasa, aku hanya memberikan senyum lembut pada anak kecil itu. Dan
sekarang, aku terjebak di antara pakaian anak-anak yang tergantung dimana-mana.
Aku harus memilih pakaian yang mana? Aku tidak tahu ukuran tubuh anak Justin.
Dengan insting yang tidak pernah bisa membantuku, aku mendekati gantungan baju
biru dengan gambar beruang di tengah-tengahnya. Ukuran apa pun itu, aku akan
ambil—selama ukuran itu kelonggaran pada tubuh Arthur. Aku cukup kesal pada
Justin yang—sepertinya—tolol sekali. Jika aku salah membelikan baju untuk
anaknya, apakah aku harus kembali lagi ke sini? Ponselku berdering ketika aku
sudah mengambil pakaian biru itu.
“Ya?” Aku
mengangkat telepon dari Justin. Tidak ada jawaban darinya. Kujauhkan ponselku
dari telinga dan mengembuskan nafas panjang lalu kembali mendekatkan ponsel itu
ke telinga. “Mr.Bieber, adakah yang bisa kubantu?”
“Dimana kau sekarang? Aku butuh pakaian itu dan bisakah
kau membelikan aku dan Arthur makan siang?” Aku mengambil dua pakaian lain yang
berbeda agar jika Arthur membuat pakaian kotor, Ia masih memiliki pakaian
cadangan. Setelah itu seorang pegawai di toko pakaian ini mendekatiku sambil
tersenyum. Pegawai perempuan yang melayaniku menunjuk pada pakaian yang
kupegang. Aku mengangguk lalu memberikan pakaian itu padanya. Kemudian wanita
itu berjalan pergi meninggalkanku.
“Tentu saja. Apa yang kau mau?” tanyaku. Entah mengapa
pikiran jahat mulai menyeruak masuk dalam pikiranku. Bagaimana jika aku meracuni
makanannya nanti? Kedengaran sangat bagus.
“Steak. Usahakan Arthur mendapatkan
potongan kecil, mengerti?”
“Ya, Mr.Bieber.” Kemudian teleponnya
terputus. Aku berpikir betapa beruntungnya aku bekerja di RCS Advertisement
menjadi asisten. Pertama, aku tidak akan terjebak dalam kasus skandal di
perusahaan itu karena Justin tampaknya tak tertarik padaku dan aku tidak
tertarik padanya. Kedua, aku bisa kapan saja membunuh Justin menggunakan racun.
Ketiga.. aku tidak begitu memikirkan untungnya bekerja di sana. Wanita yang
melayaniku kembali muncul dan memberikanku kertas berwarna merah muda.
“Kasir ada di sebelah sana, Ma’am,”
ucapnya ramah. Ma’am? Apakah aku terlihat seperti ibu-ibu? Aku melihat ke
sekeliling toko dan memerhatikan pakaian apa saja yang dijual. Ya, tidak salah
lagi alasan wanita ini memanggilku Ma’am. Aku berada di toko pakaian anak-anak
dan membeli tiga pakaian untuk seorang anak kecil! Kemudian aku menatap padanya
dan tersenyum.
“Terima kasih,” ujarku
meninggalkannya, lalu berjalan menuju kasir.
***
AUTHOR
Giavanna mengetuk-ketuk jari
telunjuk ke atas meja kerjanya sambil menunggu atasannya yang memintanya untuk
menunggu sampai ia pulang. Tentu Giavanna belum tahu apa yang direncanakan oleh
Justin, atasannya, setelah ini. Sepanjang hari ini Giavanna hanya fokus pada
pekerjaannya meski sesekali ia mengomel dalam hati karena begitu banyak
permintaan Justin. Ia berharap Morgan cepat sembuh agar Morgan bisa
membantunya. Atau lebih tepatnya, ia dapat membantu Morgan. Arthur, anak
Justin, tampaknya kelelahan dan bosan berada di dalam gedung ayahnya. Untungnya
pakaian yang dibelinya pas untuk Arthur. Dari tadi ia bersungut-sungut untuk
pulang tetapi Justin terus memintanya untuk menunggu seolah-olah Arthur adalah
orang dewasa. Dan yah, pada akhirnya pun, Giavanna yang mendapat getahnya.
Justin meminta Giavanna mengurus Arthur sampai pekerjaan Justin selesai. Jadi,
hari ia bekerja sebagai babysitter.
Giavanna mendongak ketika Justin keluar dari ruangannya dengan Arthur yang
digendong di bahu. Tampaknya Giavanna sedikit luluh akan sifat Justin yang satu
ini. Giavanna berpikir dengan sok tahu, agaknya Justin menyayangi Arthur dan
menjaganya karena perintah dari mendiang istrinya. Well, meski tidak ada cincin
yang melingkar di jari Justin, tetap saja Giavanna berpikir—dengan sok
tahu—kalau Justin telah menikah.
Sadar dari pemikirannya yang sok
tahu, Giavanna bangkit dari kursi. Justin kelihatan tidak suka dengan sikap
Giavanna yang kurang sigap. Ia berdiri terdiam di hadapan Giavanna, menatap
perempuan di hadapannya yang balik menatapnya. Justin tidak pernah menyukainya
perempuan macam Giavanna ini—bicara blakblakan, tidak tahu kapan harus
berbicara dan berhenti berbicara, dan ingin tahu urusan orang lain. Justin
lebih menyukai perempuan yang tenang, tidak banyak bicara, dan mengikuti apa
yang ia katakan. Setelah selesai menilai kekurangan Giavanna—dan menurutnya
kelebihan Giavanna hanya ada pada kerja kerasnya dan perbedaan yang Giavanna
miliki—ia membuka mulut.
“Aku membaca surel dari Morgan sore
ini. Ia tidak bisa masuk kerja untuk tiga hari ke depan. Sebelumnya, aku tidak
tahu jadwal apa yang kumiliki besok. Kedua, kau harus menjemput Arthur besok
jam 2 siang di sekolahnya. Ketiga, aku ingin kopi hangat sudah ada di mejaku
sebelum aku masuk. Terakhir.. beritahu ibuku untuk tidak menghubungiku karena
aku sibuk,” ucap Justin melangkah melewati Giavanna, meninggalkan perempuan
itu. “Padahal aku sudah sering memberitahunya untuk tidak menggangguku,” gumam
Justin sendiri, ia tampak marah.
“Hanya itu?” Tanya Giavanna sebelum tangan
kiri Justin menyentuh pintu. Merasa tersinggung, Justin tersenyum miring, entah
mengapa Justin memiliki pikiran jahat untuk perempuan ini besok.
“Hanya itu.” ucap Justin mendorong
pintu keluar lalu menghilang dari pandangan Giavanna. Giavanna melotot tak
percaya, ia mendesah. Apa? Hanya itu yang ingin dia katakan? Semua karyawan
sudah pulang dari gedung ini tetapi dengan bodohnya, Giavanna menunggu Justin
yang baru selesai jam 8 malam hanya untuk mengatakan hal itu? Dan sekarang ia
harus mengetahui jadwal-jadwal apa saja untuk Justin besok? Sialan! Morgan
belum memberitahu jadwal apa saja yang akan dilakukan Justin besok. Entah
mengapa Giavanna merasa kiamat sebentar lagi akan datang.
***
Seperti disengaja, dinding buram
ruangan Justin sekarang berubah menjadi transparan dan pemilik ruangan itu
sedang terduduk seperti patung di kursinya. Ia tidak menatap layar komputernya,
tetapi hanya menatap lurus. Lalu ia menoleh ke samping, matanya langsung
melihat Giavanna yang baru saja tiba di kantor. Justin tertawa dalam hati.
Kelancangannya kemarin membuat Justin berpikir untuk datang ke kantor lebih
cepat dibanding bawahannya itu agar ia dapat memarahi perempuan yang lancang
kemarin. Tidak pernah ada bawahannya yang berani bertanya setelah Justin pergi
dari hadapan mereka. Tetapi berbeda dengan perempuan yang masih terdiam di
tempatnya itu. Ia tampak sangat terkejut dan memang ekspresi itulah yang Justin
harapkan. Segera Giavanna melempar tasnya ke atas meja lalu berjalan menuju
ruangan Justin. Ia membuka pintu lalu masuk ke dalam.
“Terlambat, Ms.Anderson?” Tanya
Justin, licik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar