Rabu, 18 Juni 2014

Perfect Time Bab 2

            Hailey berharap aku bisa bertahan bekerja di RCS Advertisement. Bagiku itu bukan masalah besar. Aku hanya perlu beradaptasi dengan keadaan di kantor yang penuh dengan kemunafikan antar karyawan. Mungkin dari antara semua karyawan di lantai 9 ini, hanya aku yang tidak banyak bicara dan lebih banyak mendengarkan karyawan-karyawan bermuka dua di dapur atau ketika aku sedang mencari barang-barang keperluan Justin—aku boleh menyebut nama depannya saja ketika ia sedang tidak bersama klien—di ruang penyimpanan. Baru empat hari aku bekerja di perusahaan ini, tetapi sejak aku masuk ke dalam perusahaan ini, hinaan terhadap Justin tidak pernah berhenti. Okelah, mungkin sebagian karyawan wanita di perusahaan ini memuja Justin daripada karyawan pria. Mungkin hinaan-hinaan yang sering kudengar keluar dari mulut karyawan pria. Mereka seolah-olah ingin menjadi Justin Richardson, hanya saja, mereka tak mampu. Atau lebih tepatnya, mereka tak bisa.
            Aku menyusun jadwal pertemuan-pertemuan Justin di hari-hari berikutnya agar ia tidak kewalahan untuk menghadapi hari esok. Ada beberapa hal yang ia minta padaku untuk diberitahu padanya apakah semuanya baik-baik saja. Seperti properti yang ia butuhkan ketika ia presentasi besok, keadaan ibunya, serta keadaan anjingnya sekarang. Besok Justin akan bertemu dengan kliennya untuk membuat iklan sepatu. Dan aku harus ikut bersamanya kemana pun ia pergi karena Morgan, entah mengapa bisa ia jatuh sakit. Mataku melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul 12 siang. Saatnya makan siang. Aku menutup buku jadwal Justin lalu menyimpannya di ujung meja agar kelihatan rapi. Ketika aku bangkit dari kursi dan mengambil tas kecil yang kubawa, pintu ruangan Justin terbuka. Muncullah monster yang paling menawan dari semua monster di dunia ini dari balik pintunya. Ia tidak menatapku, tetapi ia menatap pada ponsel yang dipegangnya.
            “Anna, kau punya waktu?” Tanyanya tanpa menatapku, matanya fokus pada ponsel.
            “Tidak?” Aku menjawab dengan nada bertanya balik. Saat itu juga Justin mendongakkan kepalanya. Justin menatapku seperti Joe Bastianich yang selalu memberikan tatapan mematikan, aku membeku. “Ya, aku punya waktu, Justin,”
            “Aku ingin kau pergi ke bar teman baikku untuk mengambil berkas-berkas contoh iklan di sana. Tetapi kau tahu aku punya janji makan siang bukan hari ini dengan teman baikku yang lain? Lebih baik kau naik mobil bersamaku, aku akan menurunkanmu di barnya,” ucap Justin tanpa melepaskan pandangannya dariku. Aku mengangguk mantap merasa bersedia untuk melakukan apa pun demi pekerjaan ini, bukan demi dia. “Ayo.”
            Ia berjalan cepat melewati meja kerjaku. Kenapa bukan dia saja yang ambil berkas-berkas sialan itu? Mengapa bukan asisten temannya saja yang membawanya ke gedung ini? Mengapa Justin terlihat begitu nyaman menyiksaku seperti ini? Aku ingin makan siang!

***

            Selama berada di dalam mobil bersama Justin—untuk yang pertama kalinya—aku merasa sangat tegang. Entah  mengapa pria ini tiba-tiba menjadi bisu ketika kami berada di luar gedung. Bahkan sedari tadi ia menatap ponselnya atau keluar jendela. Tidakkah ia melihat ada manusia yang sedang duduk di sebelahnya? Apakah suaraku seburuk itu hingga ia tidak ingin berbicara denganku? Ponselnya tiba-tiba berdering, dengan gaya anggunnya, Justin mengangkat telepon itu.
            “Hey, sayang, ada apa?” Suara Justin tiba-tiba saja terdengar lembut. Tubuhku merinding seketika ketika ia berbicara dengan suara seperti itu. Dengan siapa ia berbicara? Kekasihnya? Tidak mungkin! Hailey sudah mencaritahu tentang Justin dari tempo hari dan tidak pernah mendapatkan foto Justin bergandeng tangan dengan wanita. Aku curiga ia gay, tetapi tidak mungkin. Mungkin ia trauma dengan masa lalunya atau sesuatu yang membuatnya tak ingin memiliki kekasih. “Maafkan ayah, sayang. Ayah tak bisa menjemputmu, tetapi Dave bisa. Apakah itu baik-baik saja? Baiklah, ayah mencintaimu.” Ucapnya lembut pada anaknya—pastinya. Aku berdeham hingga membuat kepalanya menoleh padaku.
            “Jadi, kau sudah menikah?” Tanyaku melirik tangan kirinya, tetapi tidak ada cincin di sana. Ia yang memandang lurus ke depan langsung melirikku dari ekor matanya. Apakah ia selalu bersikap seperti ini pada setiap asistennya? Aku menggeliat tak jelas di atas kursi ini karena merasa canggung. “Maksudku, kau berbicara dengan …baiklah, memang bukan urusanku, maaf,”
            “Apakah orangtuamu pernah mengajarmu untuk tidak mencuri dengar percakapan orang lain?” Tanyanya dengan nada dingin, tak menatapku. Aku terdiam tak berani menatap matanya. Bukan karena aku takut—aku tidak pernah takut pada siapa pun— tetapi merasa sakit hati atas apa yang ia singgung. Jika ia tahu masa laluku, pasti ia akan menyesal.
            “Tidak,” bisikku menggigit bibir bagian dalam. Jika bukan karena ia adalah atasanku, sudah dari tadi aku meneriakinya untuk memberikan sedikit rasa hormat padaku.
            “Tidak? Baiklah, kalau begitu, jangan pernah mencuri dengar percakapan orang lain karena itu tidak sopan. Mengerti, Giavanna?”
            “Sebenarnya, aku tidak mencuri dengar karena kau berbicara tepat di sampingku jadi secara tidak sengaja aku mendengarnya. Memang apa yang bisa kudengar selain mulutmu yang bersuara? Jadi, secara—“
            “Apakah orangtuamu pernah mengajarmu untuk diam?”
            Aku terdiam saat itu juga. Lebih baik mengalah dibanding aku harus kehilangan pekerjaan ini.

***

            Sudah menjadi kewajibanku mengikuti dan melakukan apa yang Justin perintahkan—jika itu masih dalam batas-batas norma. Menunggu seorang pria bernama Alexander juga menjadi salah satu pekerjaanku. Dan aku digaji karena itu juga. Aku belum tahu siapa itu Mr. Alexander kecuali tentang ia teman baik dari Justin dan pemilik bar ini. Sebenarnya, jika aku lihat-lihat ini bukan sepenuhnya bar. Tetapi tempat penari telanjang unjuk gigi di atas panggung-panggung mereka. Sungguh aneh ketika kau mendapati dirimu duduk di dekat pintu ruang VIP di sebuah bar, tengah siang, dan kau kelaparan. Tetapi tidak apalah, ini semua demi pekerjaan dan membayar sewa apartemen.
            Sesekali aku menundukkan kepala ketika salah satu penari telanjang yang kira-kira tiga meter dari tempatku duduk melirik padaku lalu mengedipkan salah satunya matanya. Maksudku, apakah aku kelihatan seperti penyuka sesama wanita? Aku bergidik. Kulirik jam tangan yang kupakai telah menunjukkan pukul 12.30. Sisa jam makan siangku adalah 30 menit lagi. Dan orang yang kucari belum datang-datang juga. Menurut kepala pengurus bar ini, Alexander akan datang kira-kira beberapa menit lagi. Tetapi dimana dia? Aku sudah menunggu selama beberapa menit tetapi ia belum muncul. Pintu bar terbuka sehingga sinar matahari masuk ke bar selama beberapa detik lalu pintu tertutup kembali. Bar ini bukan bar yang ricuh atau tempat orang pemabuk. Bar ini lebih rapi dan elegan. Bahkan aku tidak percaya kalau tempat ini adalah bar, karena suasananya seperti restoran yang dimana setiap mejanya bukan berisi makanan, tetapi wanita seksi setengah telanjang menari-nari erotis.
            Terlarut dalam lamunanku, tiba-tiba muncul seorang pria yang kucari. Kurasa. Pria ini sangat tampan bagaikan malaikat yang jatuh dari surga dikirimkan hanya untukku—dan itu sangat mustahil. Aku berdiri dari kursi sofa empuk berwarna hitam itu, lalu melangkah satu kali ke depan untuk menyambut Mr.Alexander. Teman Justin ini memiliki rambut cokelat keemasan panjang sebahu rapi dengan mata biru yang menakjubkan. Kulitnya putih, tetapi bukan putih pucat. Mr.Alexander kelihatan seperti berandalan, tetapi berandalan yang memakai setelan abu-abu rapi serta terhormat. Ia sangat seksi! Aku menarik nafas dalam-dalam saat ia berhenti di depan pengawal yang berdiri di depan pintu VIP—orang yang tadi menyuruhku untuk duduk di kursi hitam itu—lalu berbicara, melanjutkan penderitaanku yang sulit bernafas karena pemandangan panas ini. Detik setelahnya, Mr.Alexander membalikkan tubuhnya ke arahku, matanya menatapku menembus jiwaku, lalu tangannya terjulur. “Kau pasti…”
            “Giavanna Anderson, asisten Mr.Richardson. Kau pasti Mr.Alexander,” ucapku ramah sambil menjabat tangannya erat-erat. Aku bersumpah  tidak akan mencuci tanganku hari ini! Genggaman tangannya begitu erat, bahkan aku bisa merasakan kejutan listrik yang membuat seluruh tubuhku merinding. Ia tersenyum tipis, tetapi matanya sangat hangat sampai-sampai aku merasa ia sedang menggoda. Beberapa detik bertatapan seperti di film-film, aku melepaskan jabatan tangan kami.
            “Setelah kau, Ms.Anderson,” ujar Mr.Alexander mempersilakan aku masuk ke dalam ruang VIP. Aku melangkah masuk, disusul Mr.Alexander yang sudah menutup pintunya. “Jadi, Justin memintamu untuk mengambil berkas-berkas contoh iklan itu eh?” Tanyanya.
            “Ya, sir.” Ucapku mantap sambil mengambil posisi duduk yang nyaman. Oh, ini bukan ruang VIP—berarti aku salah pengertian. Ini ruangan Mr.Alexander, mungkin tempatnya bekerja sekaligus mendapat hiburan dari wanita-wanita di luar sana. Mr.Alexander mendekati meja kerjanya, kurasa.
            “Silakan duduk, Ms.Anderson. Aku sungguh senang karena Justin memiliki asisten semenarik dirimu. Selama ini aku bertemu dengan asisten Justin yang memakai rok di atas lutut, kemeja yang dua kancing dari atas terbuka serta blazer sampai siku-siku. Justin adalah sahabat baikku,” ucapnya santai sambil berjalan-jalan menyimpan tasnya, melepas jas abu-abu yang ia pakai dan ia gantung di belakang kursi kerjanya. Ia kelihatan berbeda dari Justin, mengapa mereka bisa bersahabat?
            “Ah, kurasa aku tak cocok memakai pakaian sekurang itu. Aku tidak ingin membuat mata orang lain sakit karena melihatku,” candaku tertawa kecil. Giavanna macam apa ini?Astaga, apa yang terjadi padaku? Aku geli mendapati diriku seperti wanita genit. Mr.Alexander tertawa mendengar candaanku lalu kepalanya tergeleng, seolah-olah tak setuju. Ia sedang mengambil berkas yang kuminta di dalam laci meja kerjanya, kurasa.
            “Well, aku tak begitu yakin dengan pernyataan itu.” Ucapnya menarik satu map berwarna kuning dari laci meja kerjanya. Aku hanya diam menyembunyikan senyum malu-maluku. Apa yang terjadi padaku? Aku tahu ia hanya melakukan hal biasa, tetapi entah mengapa bisa aku mengubahnya menjadi hal yang begitu menggoda. Mr.Alexander berjalan menuju sofa di sebelahku sambil tangannnya memegang map kuning itu lalu duduk di sofa yang memuat satu orang. “Ini dia.”
            Aku mengambil map itu dari tangannya. “Mengapa map ini ada padamu? Maksudku, aku hanya tidak mengerti. Kau yang membuat contoh-contohnya?”
            “Aku hanya membantu Justin. Dia teman baikku. Bar ini juga ada karena bantuannya. Kami sudah berteman sejak kami kuliah. Dia satu-satunya teman yang membantuku hingga aku sukses seperti ini,” ucap Mr.Alexander, bercerita. Sesungguhnya aku hanya bertanya apa dia yang membuat contohnya, bukan siapa yang membantunya membangun bar ini. Aku mengangguk-anggukkan kepala untuk menghargainya. “Dia pria yang baik, sebenarnya.” Lanjut Mr.Alexander menghela nafas, matanya menatap pada lantai. Kepalanya terangguk-angguk seolah-olah ia sangat setuju dengan pendapat bahwa Justin adalah pria yang baik.
            “Tetapi orang-orang di luar sana menganggapnya pria yang jahat. Aku tak mengerti.”
            “Tentu saja,” adalah ucapan dusta pertamaku padanya. “Well, Mr.Alexander, kurasa aku sudah mendapatkan apa yang Mr.Richardson butuhkan. Jika kau tidak keberatan, aku akan kembali ke tempat kerja,” ujarku bangkit dari sofa. Mr.Alexander ikut berdiri dari sofa lalu menjulurkan tangannya padaku agar aku menjabat tangannya.
            “Senang bertemu denganmu, Ms.Anderson,”
            “Suatu kehormatan bagiku.”

***

            Ketika aku sampai di ruanganku kembali, aku merasa sangat puas karena telah memakan makanan cepat saji—yang kutemui di jalan—dan cukup membuatku kenyang. Ha! Jadi ini cara Justin membuat para mantan-mantan asistennya lengah? Well, tidak denganku. Morgan mungkin menjadi asisten utama yang bertahan paling lama, baiklah, aku akan menjadi asisten kedua yang akan bertahan paling lama. Aku menyimpan tas kecilku ke atas meja lalu melangkah menuju ruang kerja Justin. Kuharap Justin belum kembali dari makan siangnya karena ia sudah memeringatiku agar berkas yang ia butuhkan sudah ada di meja kerjanya sebelum ia datang. Aku membuka pintu ruangannya lalu melangkah terburu-buru menuju meja kerjanya yang kosong. Oh, syukurlah! Kutaruh berkas itu di atas meja Justin serapi yang kubisa, lalu memutar tubuhku cepat-cepat agar dapat kembali ke meja kerjaku sebelum Justin datang.  Tetapi ternyata aku tidak cukup cepat untuk kembali ke meja kerjaku, pintu ruangannya terbuka dari luar. Hanya saja, bukan pria dewasa yang mendorongnya. Sebuah tangan kecil mendorong pintu itu diiringi suara tawa senang yang mengisi ruangan ini seketika. Anak kecil itu menyanyikan lagu Twinkle-Twinkle Little Star dengan suara beningnya.
            “Jangan sampai menetes kemana-mana,” suara Justin memeringati anak kecil itu. Lalu mereka berdua muncul di hadapanku. Aku membeku. Anak kecil yang awalnya bernyanyi itu berhenti menyanyi ketika ia melihatku. Kakinya mundur beberapa langkah dariku hingga pungunggnya menabrak lutut Justin. Justin menatapku dingin. “Mengapa kau ada di ruanganku?”
            Aku masih tercengang. Jadi ini anak yang berbicara dengan Justin di ponsel itu? “Aku hanya… Berkas… Aku baru menyimpan berkas yang kauminta, Justin,”
            “Kalau begitu, mengapa kau masih di sini?” Tanyanya menarik tangan anak kecil itu menuju sofa hitamnya. Ruangan Justin cukup besar untuk satu orang—dan ya, aku tahu itu wajar karena pasti ia sering berbicara dengan klien atau temannya di sofa itu. Anak kecil itu duduk dengan tenang bersama dengan es krim vanilla yang ia jilat di atas sofa sementara Justin berjalan ke arahku lalu menunjuk padanya. “Jangan sampai tumpah, gunakan tisumu,”
            “Iya, ayah. Cerewet sekali,” gerutu anak kecil itu mengerucutkan mulutnya. Sebelum berada dalam jarak 1 meter dariku, Justin berhenti di tempat.
            “Apa kau akan tetap berada di sana?” Tanyanya. Oh, ya, benar sekali!
            “Maaf,” bisikku. “Kau memiliki pertemuan jam 3 nanti bersama Mr.Mitch untuk membahas tentang—“
            “Aku sudah tahu.” Ucapnya membuatku terdiam dan melangkah keluar dari ruangannya. Kupejamkan mataku beberapa saat untuk menenangkan diri. Semuanya akan baik-baik saja. Kulangkahkan kakiku kembali menuju meja kerja lalu telingaku mendengar suara teriakan dari ruangan Justin. Tapi aku tak peduli. Baru ingin menyentuhkan bokongku ke kursi, pintu ruangan Justin.
            “Belikan Arthur pakaian, sekarang!” perintah Justin dengan wajah memerah. Apa-apaan?!

***

            Dia tidak menjawab saat aku bertanya padanya berapa ukuran tubuh Arthur, anaknya. Ia malah menatapku dengan tatapan dingin sambil membersihkan es krim yang tertumpah di atas sofa hitam sementara Arthur menggigit jari telunjuk menatapku dengan tatapan minta maaf. Tetapi, seperti biasa, aku hanya memberikan senyum lembut pada anak kecil itu. Dan sekarang, aku terjebak di antara pakaian anak-anak yang tergantung dimana-mana. Aku harus memilih pakaian yang mana? Aku tidak tahu ukuran tubuh anak Justin. Dengan insting yang tidak pernah bisa membantuku, aku mendekati gantungan baju biru dengan gambar beruang di tengah-tengahnya. Ukuran apa pun itu, aku akan ambil—selama ukuran itu kelonggaran pada tubuh Arthur. Aku cukup kesal pada Justin yang—sepertinya—tolol sekali. Jika aku salah membelikan baju untuk anaknya, apakah aku harus kembali lagi ke sini? Ponselku berdering ketika aku sudah mengambil pakaian biru itu.
            “Ya?” Aku mengangkat telepon dari Justin. Tidak ada jawaban darinya. Kujauhkan ponselku dari telinga dan mengembuskan nafas panjang lalu kembali mendekatkan ponsel itu ke telinga. “Mr.Bieber, adakah yang bisa kubantu?”
            “Dimana kau sekarang? Aku butuh pakaian itu dan bisakah kau membelikan aku dan Arthur makan siang?” Aku mengambil dua pakaian lain yang berbeda agar jika Arthur membuat pakaian kotor, Ia masih memiliki pakaian cadangan. Setelah itu seorang pegawai di toko pakaian ini mendekatiku sambil tersenyum. Pegawai perempuan yang melayaniku menunjuk pada pakaian yang kupegang. Aku mengangguk lalu memberikan pakaian itu padanya. Kemudian wanita itu berjalan pergi meninggalkanku.
            “Tentu saja. Apa yang kau mau?” tanyaku. Entah mengapa pikiran jahat mulai menyeruak masuk dalam pikiranku. Bagaimana jika aku meracuni makanannya nanti? Kedengaran sangat bagus.
            “Steak. Usahakan Arthur mendapatkan potongan kecil, mengerti?”
            “Ya, Mr.Bieber.” Kemudian teleponnya terputus. Aku berpikir betapa beruntungnya aku bekerja di RCS Advertisement menjadi asisten. Pertama, aku tidak akan terjebak dalam kasus skandal di perusahaan itu karena Justin tampaknya tak tertarik padaku dan aku tidak tertarik padanya. Kedua, aku bisa kapan saja membunuh Justin menggunakan racun. Ketiga.. aku tidak begitu memikirkan untungnya bekerja di sana. Wanita yang melayaniku kembali muncul dan memberikanku kertas berwarna merah muda.
            “Kasir ada di sebelah sana, Ma’am,” ucapnya ramah. Ma’am? Apakah aku terlihat seperti ibu-ibu? Aku melihat ke sekeliling toko dan memerhatikan pakaian apa saja yang dijual. Ya, tidak salah lagi alasan wanita ini memanggilku Ma’am. Aku berada di toko pakaian anak-anak dan membeli tiga pakaian untuk seorang anak kecil! Kemudian aku menatap padanya dan tersenyum.
            “Terima kasih,” ujarku meninggalkannya, lalu berjalan menuju kasir.


***

AUTHOR

            Giavanna mengetuk-ketuk jari telunjuk ke atas meja kerjanya sambil menunggu atasannya yang memintanya untuk menunggu sampai ia pulang. Tentu Giavanna belum tahu apa yang direncanakan oleh Justin, atasannya, setelah ini. Sepanjang hari ini Giavanna hanya fokus pada pekerjaannya meski sesekali ia mengomel dalam hati karena begitu banyak permintaan Justin. Ia berharap Morgan cepat sembuh agar Morgan bisa membantunya. Atau lebih tepatnya, ia dapat membantu Morgan. Arthur, anak Justin, tampaknya kelelahan dan bosan berada di dalam gedung ayahnya. Untungnya pakaian yang dibelinya pas untuk Arthur. Dari tadi ia bersungut-sungut untuk pulang tetapi Justin terus memintanya untuk menunggu seolah-olah Arthur adalah orang dewasa. Dan yah, pada akhirnya pun, Giavanna yang mendapat getahnya. Justin meminta Giavanna mengurus Arthur sampai pekerjaan Justin selesai. Jadi, hari ia bekerja sebagai babysitter. Giavanna mendongak ketika Justin keluar dari ruangannya dengan Arthur yang digendong di bahu. Tampaknya Giavanna sedikit luluh akan sifat Justin yang satu ini. Giavanna berpikir dengan sok tahu, agaknya Justin menyayangi Arthur dan menjaganya karena perintah dari mendiang istrinya. Well, meski tidak ada cincin yang melingkar di jari Justin, tetap saja Giavanna berpikir—dengan sok tahu—kalau Justin telah menikah.
            Sadar dari pemikirannya yang sok tahu, Giavanna bangkit dari kursi. Justin kelihatan tidak suka dengan sikap Giavanna yang kurang sigap. Ia berdiri terdiam di hadapan Giavanna, menatap perempuan di hadapannya yang balik menatapnya. Justin tidak pernah menyukainya perempuan macam Giavanna ini—bicara blakblakan, tidak tahu kapan harus berbicara dan berhenti berbicara, dan ingin tahu urusan orang lain. Justin lebih menyukai perempuan yang tenang, tidak banyak bicara, dan mengikuti apa yang ia katakan. Setelah selesai menilai kekurangan Giavanna—dan menurutnya kelebihan Giavanna hanya ada pada kerja kerasnya dan perbedaan yang Giavanna miliki—ia membuka mulut.
            “Aku membaca surel dari Morgan sore ini. Ia tidak bisa masuk kerja untuk tiga hari ke depan. Sebelumnya, aku tidak tahu jadwal apa yang kumiliki besok. Kedua, kau harus menjemput Arthur besok jam 2 siang di sekolahnya. Ketiga, aku ingin kopi hangat sudah ada di mejaku sebelum aku masuk. Terakhir.. beritahu ibuku untuk tidak menghubungiku karena aku sibuk,” ucap Justin melangkah melewati Giavanna, meninggalkan perempuan itu. “Padahal aku sudah sering memberitahunya untuk tidak menggangguku,” gumam Justin sendiri, ia tampak marah.
            “Hanya itu?” Tanya Giavanna sebelum tangan kiri Justin menyentuh pintu. Merasa tersinggung, Justin tersenyum miring, entah mengapa Justin memiliki pikiran jahat untuk perempuan ini besok.
            “Hanya itu.” ucap Justin mendorong pintu keluar lalu menghilang dari pandangan Giavanna. Giavanna melotot tak percaya, ia mendesah. Apa? Hanya itu yang ingin dia katakan? Semua karyawan sudah pulang dari gedung ini tetapi dengan bodohnya, Giavanna menunggu Justin yang baru selesai jam 8 malam hanya untuk mengatakan hal itu? Dan sekarang ia harus mengetahui jadwal-jadwal apa saja untuk Justin besok? Sialan! Morgan belum memberitahu jadwal apa saja yang akan dilakukan Justin besok. Entah mengapa Giavanna merasa kiamat sebentar lagi akan datang.

***

            Seperti disengaja, dinding buram ruangan Justin sekarang berubah menjadi transparan dan pemilik ruangan itu sedang terduduk seperti patung di kursinya. Ia tidak menatap layar komputernya, tetapi hanya menatap lurus. Lalu ia menoleh ke samping, matanya langsung melihat Giavanna yang baru saja tiba di kantor. Justin tertawa dalam hati. Kelancangannya kemarin membuat Justin berpikir untuk datang ke kantor lebih cepat dibanding bawahannya itu agar ia dapat memarahi perempuan yang lancang kemarin. Tidak pernah ada bawahannya yang berani bertanya setelah Justin pergi dari hadapan mereka. Tetapi berbeda dengan perempuan yang masih terdiam di tempatnya itu. Ia tampak sangat terkejut dan memang ekspresi itulah yang Justin harapkan. Segera Giavanna melempar tasnya ke atas meja lalu berjalan menuju ruangan Justin. Ia membuka pintu lalu masuk ke dalam.

            “Terlambat, Ms.Anderson?” Tanya Justin, licik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar