Giavanna tidak tahu apa yang
merasuki Justin hari ini tetapi sepertinya pria itu sangat membencinya.
Seharian ini Giavanna pergi dari toko ke toko untuk mengambil pesanan yang
diminta oleh Justin yang anehnya, barang-barang yang ia beli sungguh berat.
Giavanna berpikir sebentar lagi ia akan pendek karena barang-barang berat yang
ia bawa. Begitu banyak tas-tas bermerek yang ia bawa di tangannya. Setelah
menekan tombol ke atas lift, Giavanna menghela nafas panjang. Entah apa mungkin
Justin memiliki dendam terhadap Giavanna yang jelas Giavanna berharap pria itu
mati di tempat karena serangan jantung! Seharusnya sekarang Giavanna
berada di kursi kerjanya sambil mencari-cari informasi di Internet mengenai
Justin Richardson. Tetapi sekarang, ia terjebak di lantai pertama gedung RCS
Advertisement sambil mengetuk-ketuk ujung sepatu tumit tingginya. Pintu lift terbuka, segerombolan
orang yang di dalam lift langsung menghambur begitu saja. Mereka melewati
Giavanna tanpa satu orang pun berani menyentuh tas-tas yang Giavanna bawa
seolah-olah Giavanna memiliki penyakit menular. Setelah lift kosong, Giavanna
langsung melangkah masuk ke dalam.
Dan inilah masalah selanjutnya. Ia
tidak bisa menekan tombol lantai kantornya! Sungguh sial sekali nasibnya hari
ini. Ia ingin menangis. Apa salahnya terhadap Justin selama ini? Ia baru satu
minggu bekerja di RCS Advertisement tetapi Justin membuatnya terasa seperti 1
tahun di neraka. Giavanna menunduk kepala. Ketika matanya terbakar, tiba-tiba
saja seorang pria melangkah masuk ke dalam lift lalu menekan tombol angka 9.
Ah, ya Tuhan, terima kasih. Giavanna mendongakkan kepalanya, lalu mendapati Alexander
sudah berada di sampingnya. Oh, di sela-sela penderitaannya, ia masih diberikan
pemandangan menyenangkan.
“Selamat siang, Ms.Anderson. Senang
melihatmu kembali,” ucap Alexander yang sungguh tampan. Rambutnya yang gondrong
itu berwarna hitam itu tidak mengurangi ketampanannya. Ia memang berandalan
terhormat. Giavanna hanya mengangguk tersipu malu akan ucapan Alexander.
“Selamat siang, Mr.Alexander. Senang
juga melihatmu,” balas Giavanna merasa ada yang aneh terjadi pada dirinya.
Apa-apaan? Ia tidak pernah merasa malu-malu pada seorang pria sebelumnya.
Bahkan pada Justin Richardson sekalipun. Well, Alexander berbeda baginya. Ia
kelihatan sangat ramah sekaligus tampan dalam waktu yang bersamaan. Alexander
memerhatikan barang bawaan Giavanna. Nalurinya sebagai lelaki langsung
mengambil beberapa barang dari tangan Giavanna tanpa pamrih.
“Kelihatannya
kau sangat sibuk,” ucap Alexander membantu membawa tas-tas Giavanna. “Apa ini
ulah dari Justin?” Tanya Alexander. Giavanna mengangguk lalu menghela nafas
panjang.
“Tetapi begitulah. Jika
ingin mendapat uang kau harus bekerja keras,”
“Aku setuju. Tetapi Justin tidak
pernah menyusahkan asisten-asistennya seperti sebelumnya,” ucap Alexander
keheranan. Giavanna hanya tergelak satu kali dan kembali menghela nafas
panjang.
“Mungkin dia dendam padaku,
entahlah,” ucap Giavanna acuh tak acuh. Ia tidak ingin membicarakan tentang
Justin sekarang. Menyebut namanya saja ia tidak mau. Giavanna merasa lidahnya
harus dipotong ketika ia harus menyebut nama atasannya. Ia merasa berdosa jika
ia menyebut nama sialan itu. Begitu kesalnya, Giavanna mematahkan sepatu tumit
tingginya, ia sangat gemas sampai ke ujung jempol kakinya. Ingin sekali
tangannya mengambil sepatu tumit tinggi itu lalu melempar sepatu itu ke wajah
Justin. Kalau perlu ujung hak sepatunya menusuk mata Justin.
“Giavanna? Kita sudah sampai.” suara
Alexander membuat lamunan Giavanna buyar. Segera ia keluar dari lift.
Kelihatannya Justin tidak suka
melihat Alexander membantu Giavanna membawa barang-barang yang ia pesan untuk
melengkapi ide cemerlang yang ia punya untuk iklan Burger King dan kondom. Ia
melihat Giavanna yang terus berterima kasih pada Alexander dari dinding
transparan itu, lalu berpikir mengapa perempuan ini masih bisa tersenyum di
sela-sela penderitaannya? Ia menyukai Alexander? Pft, mustahil Alexander
menyukai Giavanna. Kemudian Alexander melangkah menuju ruangannya dengan segala
daya tarik yang ia miliki. Tetapi mata Justin tak lepas dari Giavanna yang
sekarang mengeluarkan barang-barang yang ia bawa itu dari tas. Baru satu minggu
ia berada di sini dan Justin sungguh yakin, dua atau tiga hari ke depan,
Giavanna akan keluar dari perusahaannya.
Alexander melihat Justin yang
memerhatikan Giavanna dengan seksama sembari ia melangkahkan kaki menuju ruangan
Justin. Tentu saja Justin memerhatikan Giavanna. Atau lebih tepatnya, ia
memikirkan Giavanna. Bukan berpikir tentang betapa hebatnya perempuan itu,
tetapi lebih mengarah pada alasan mengapa Giavanna memiliki sikap lancang.
Ketika Justin memerhatikan Giavanna bersama Alexander, perempuan itu tampak
baik-baik saja. Ia tersenyum dan kelihatan begitu ramah. Berbeda ketika
perempuan itu berhadapan dengan Justin. Ia lancang, ketus, dan kadang
candaannya tak lucu. Alexander mengetuk-ketuk meja Justin, mengagetkan Justin.
“Sedang menikmati pemandangan
atau…?”
“Tidak, aku hanya memerhatikan
bawahanku. Jadi, kau ingin makan siang sekarang?” Tanya Justin. Sebenarnya
waktu sudah menunjukkan pukul 1.53 siang, yang berarti sudah lewat jam makan
siang. Tetapi Justin memiliki banyak pekerjaan untuk mengurus iklan Dolce &
Gabana. Alexander menggeleng kepala.
“Baiklah. Mungkin kita undur.”
“Bukankah seharusnya Arthur sudah
dijemput sekarang?” Tanya Alexander melirik jam tangannya. Ya, memang
seharusnya anak itu dijemput dari sekolah. Mata Justin menatap Giavanna di
balik dinding transparannya, lalu melihat perempuan itu melirik jam dinding dan
kata kotor keluar dari mulut perempuan itu. Justin tergelak satu kali.
“Giavanna yang akan menjemputnya.
Jadi tenang saja. Omong-omong, Dolce & Gabana? Bagaimana menurutmu?” Tanya
Justin meminta ide cemerlang. Bersamaan dengan itu, Giavanna sudah melangkah
keluar dari kantor. “Dia sudah pergi.”
Suasana di ruangan Justin memanas
seketika.
***
Anak kecil bermata biru tampaknya
tidak suka menunggu. Ia tidak pernah menunggu selama ini selama ia bersekolah.
Mengapa ayahnya lama sekali menjemput? Ia mengayunkan ayunan yang ia naiki
untuk mengurangi rasa bosannya. Teman-temannya sudah pulang, hanya sisa
beberapa temannya di taman bermain. Sebenarnya, Arthur sedikit bingung mengapa
akhir-akhir ini bukan ayahnya atau Alexander yang menjemputnya melainkan
perempuan berambut cokelat panjang yang menjemputnya. Dan Arthur tidak sama
sekali memiliki masalah dengan perempuan itu, hanya saja, ia merindukan
Alexander yang biasanya menjemputnya. Arthur mendongak ketika seorang perempuan
memanggil namanya dari belakang. Ia langsung berhenti mengayunkan ayunannya dan
turun dari atas sana. Giavanna. Arthur lebih senang memanggilnya Gigs.
Giavanna mengambil tas Arthur yang
digantung di arena seluncuran. Anak itu tidak mirip dengan ayahnya, mungkin
hanya warna rambutnya yang cokelat. Selebihnya, tidak ada. Mungkin wajahnya lebih mendominasi pada ibunya, pikir Giavanna sok
tahu. Giavanna tidak begitu peduli siapa ibunya atau siapa ayah Arthur
sebenarnya. Anak kecil itu melangkah cepat menuju Giavanna lalu memegang tangan
Giavanna. “Aku ingin makan es krim, Gigs,”
“Oke, pertama-tama, jangan panggil
aku Gigs. Kedua, aku akan membelikanmu es krim karena aku juga lapar. Ketiga,
jangan banyak bicara seperti biasanya. Mengerti?” Tanya Giavanna yang memang
dari dulu tidak begitu bisa bersahabat dengan anak kecil. Ia mungkin senang
melihat anak kecil, tetapi mengurusnya? Mustahil.
“Oke,” Arthur setuju. Kemudian
mereka berjalan melewati taman bermain dan keluar dari sekolah. Giavanna telah
memarkirkan mobil perusahaan yang tidak begitu jauh dari tempat mereka berdiri
sekarang. Giavanna bisa menyetir mobil karena diajari oleh pacar Hailey, tiga
tahun yang lalu. Jadi ya, bisa dikatakan, Giavanna pantas mengendarai mobil
perusahaan. Hanya saja, tanpa anak kecil. Setelah menekan tombol untuk membuka
kunci mobil, Giavanna membukakan pintu untuk Arthur. Dengan cepat Arthur
melompat dengan lincah ke dalam mobil lalu menutup pintunya. Arthur tidak bisa
menahan gejolak bahagianya sekarang! Es krim, ia akan makan es krim. Arthur
tahu seharusnya ia dilarang makan es krim oleh ayahnya, tetapi karena bukan
ayahnya yang menjemput—dan Giavanna tidak tahu kalau ia dilarang—maka ia
mengambil kesempatan berharga ini.
Giavanna menutup pintu lalu
menyalakan mesin mobil. Ia menaruh tas Arthur ke kursi belakang dan mulai
memundurkan mobil. Seperti anak kecil pada umumnya, Arthur tidak bisa menutup
mulut.
“Dimana daddy Alex?” Tanya Arthur.
Giavanna mengernyitkan keningnya. Apa? Daddy Alex? Mungkin yang ia maksud Daddy
Justin, tetapi ia salah sebut.
“Maksudmu, daddy Justin?” Tanya
Giavanna yang sudah keluar dari kawasan sekolah. Ia menatap Arthur yang
menggelengkan kepala.
“Bukan!” Seru anak kecil itu
berlebihan. “Daddy Alex! Kau tidak tahu dia? Dia yang biasa menjemputku, aku
sudah sering bilang padamu,”
“Ya, memang kau sudah sering
memberitahu padaku tentang daddy Alex-mu. Tetapi, baru kali ini kau menyebutnya
Daddy di hadapanku. Mengapa kau memanggilnya ‘daddy’? Dia bukan ayahmu, kau sok
tahu,” ucap Giavanna terkekeh. Daddy Alex? Konyol. Oh, mungkin karena Alexander adalah sahabat Justin,pikir Giavanna
kembali sok tahu, dan Arthur sudah
menganggapnya sebagai ayahnya.
“Karena—“
“Sudah cukup, tidak usah beritahu
aku. Aku sudah tahu mengapa. Dan daddy Alex-mu sedang berada di kantor ayahmu.
Kau mengerti? Sekarang, tutup mulutmu.” ucap Giavanna memberikan kepalan tangan
pada Arthur, tanda agar anak kecil itu menutup mulutnya. Dan ya, Arthur anak
yang penurut. Ia tidak berbicara sama sekali setelah itu.
“Apa daddy akan tahu aku memakan es
krim nanti?” Well, mungkin tidak sampai satu menit. Giavanna menghela nafas
panjang lalu membenturkan kepalanya ke kaca mobil. Arthur menatap perempuan itu
bingung. Mengapa ia membenturkan kepalanya? “Hey! Berhenti! Nanti kepalamu
berdarah, kau tahu.”
Mungkin memang tidak ada yang bisa
membuat mulut anak kecil ini berhenti berbicara.
***
Bukan maksud Giavanna mengeluh dalam
pekerjaannya, tetapi sungguh, ia sudah muak! Selama dua minggu penuh, Justin
memberikan begitu banyak pekerjaan yang memberatkan Giavanna sampai Giavanna
terpaksa harus meminum obat penenang. Morgan kembali bekerja satu minggu yang
lalu membantu pekerjaan Giavanna yang memang bisa dikatakan begitu berat. Sudah
dua kali Justin meminta Giavanna memanggil artis-artis terkenal agar menjadi
model iklan mereka. Well, bagi Morgan itu adalah hal yang mudah. Telepon saja
manajernya lalu minta mereka untuk menjadi model iklan dengan bayaran yang
besar. Semiskin apa perusahaan Justin hingga ia tidak bisa membayar mahal
artis-artis di luar sana? Dan yah, ternyata memang mudah. Setelah dua kali
Giavanna menangani masalah itu, akhirnya Giavanna sudah terbiasa. Dan
omong-omong, Giavanna merasa ia penjemput Arthur dari sekolah ke gedung
perusahaannya. Masalahnya ialah, Arthur pulang jam 2 siang. Kadang Giavanna
terpaksa melewatkan jam makan siangnya karena sibuk mengurusi masalah Justin,
lalu setelah itu, ia harus menjemput Arthur tanpa bisa mengisi perutnya yang
kosong.
Hingga akhirnya, Giavanna merosot di
kursinya sendiri. Justin baru saja menyuruhnya mencari artis untuk iklan
Coca Cola, klien terbesar mereka. Dan
pihak Coca Cola akan datang tiga hari mendatang, namun sampai sekarang, belum
ada artis yang bisa membintangi iklan mereka. Justin bahkan belum menyiapkan
presentasi untuk iklan Coca Cola. Sekarang, baik bagi Justin dan Giavanna,
mereka sudah berada di tingkat kekhawatiran paling tinggi. Udara di kantornya
terasa begitu panas sampai-sampai Giavanna merasa ia sedang berada di neraka.
Baru saja Giavanna memejamkan mata untuk menenangkan diri, tiba-tiba Justin
membuka pintu ruang kerjanya. Ketika Justin melewati meja kerja Giavanna, ia
merasa masih ada orang yang duduk di kursi itu. Lalu ia berhenti melangkah
tepat sebelum ia mendorong pintu kantor.
“Mengapa kau
masih duduk di sana?” Tanya
Justin sambil memutar tubuhnya ke belakang, melihat Giavanna. Segera perempuan
itu bangkit dari kursinya dan mengambil telepon untuk menghubungi manajer dari
artis siapa pun itu. “Ah, aku ingin kau menghubungi manajer Andrew Garfield.
Aku ingin dia menjadi model iklan Coca Cola. Harus dia, aku tidak tahu mau
tahu.” Perintah Justin dengan jari telunjuk yang menunjuk Giavanna, menekankan
keinginannya yang tak boleh tak terkabulkan. Justin membalikkan tubuhnya lalu
menyentuh gagang pintu.
“Jika mereka menolak?” Tanya
Giavanna merasa sangat bodoh.
“Singkirkan barang-barangmu dari
kantor ini.” bisik Justin namun terdengar jelas ia mengancam. Senyum miring
menghias wajah tampannya itu, lalu ia keluar dari kantor. Mencari Alexander,
meminta bantuan. Seperti biasanya.
---
Giavanna terpana dengan seorang
aktor di hadapannya sedang mempromosikan iklan Coca Cola di ruang studio. Setelah
kemarin ia mengutarakan ide cemerlangnya pada Andrew—aktor yang diminta Justin
untuk membintangi iklannya—akhirnya, pria itu mau menjadi model di iklan Coca
Cola. Dan tentu saja, bayarannya begitu mahal. Coca Cola salah satu klien
terbesar di RCS Advertisement, mereka diperlakukan begitu sempurna untuk
mempromosikan minuman terkenal itu.
“That’s
a wrap!” teriak sutradara. Giavanna bertepuk tangan, kagum pada Andrew yang berjalan menuju manajernya. Justin yang
berada di sebelah sutradara hanya menganggukkan kepala satu kali, kedua
tangannya terlipat di depan dada memperlihatkan betapa sombongnya pria itu.
Tetapi, Giavanna tak peduli. Idenya dipakai untuk iklan Coca Cola. Dan besok
mereka akan mempresentasikan iklan menakjubkan ini. Dari depan, Justin
menolehkan kepalanya ke belakang. Ia melihat Giavanna yang melompat-lompat
gemas, berhasil akan hasil kerja kerasnya yang bisa dikatakan luar biasa.
Haruskah Justin mempertahankan Giavanna di perusahaannya? Sepertinya perempuan
ini harus diberi tekanan lebih keras lagi dibanding ini.
“Mr.Richardson,”
sutradara di sampingnya mendongak. “Sepertinya,
iklan Coca Cola kali ini yang terbaik dibanding iklan-iklan sebelumnya. Aku
harus jujur,”
“Ya, aku setuju.” bisik Justin.
***
Dan hebatnya perempuan itu masih ada
di perusahaannya! Rasanya sebentar lagi Justin akan mati karena serangan
jantung. Mengapa Giavanna dapat bertahan selama dua bulan di tempat kerjanya?
Bagaimana bisa setan kecil itu menaklukan pekerjaan yang bertubi-tubi itu tanpa
mengeluh? Mengapa belum ada surat pengunduran diri darinya? Justin
memejamkan matanya. Harus Justin akui perempuan ini memiliki tekad yang besar
dalam bekerja. Namun, sikap perempuan itulah yang membuat Justin cukup jengkel
padanya. Selalu bertanya. Justin tidak suka diberi pertanyaan menyangkut
masalah privasinya. Termasuk tentang masalah istri atau Arthur. Giavanna hanya perlu melakukan
apa yang harus ia lakukan, tanpa bertanya. Haruskah Justin membuat peraturan
tertulis pada setiap asisten barunya?
Sudah banyak iklan di televisi yang
ia kerjakan bersama dengan Giavanna selama dua bulan ini tanpa ada masalah apa
pun. Padahal Justin sudah memberikan pekerjaan tambahan yang seharusnya membuat
Giavanna jengah. Dan yah, perempuan itu masih ada di tempat kerjanya. Ia mengikat
rambut cokelatnya menjadi satu, pakaian yang seperti biasa ia pakai, dan ia
sedang menikmati kue kesukaannya. Begitu banyak tantangan yang Justin berikan
pada Giavanna dan perempuan itu dapat menerimanya dengan baik. Justin merasakan
hal yang begitu aneh tiap kali Giavanna kembali masuk ke ruang kerjanya dengan
semangat. Seolah-olah Justin diejek secara tak langsung. Perempuan ini
menguntungkan sekaligus membuat Justin merasa ..entahlah, dikalahkan—padahal Justin
adalah atasan perempuan itu sendiri.
Hari ini Arthur tidak datang ke
kantornya karena ia sakit di rumah. Justin seharusnya pulang jam 7 malam karena
ada pertemuan dengan Alexander malam ini. Mungkin
tidak hari ini, pikir Justin melirik jam tangannya yang telah menunjukkan
pukul setengah 5 sore. Ia mengambil ponsel di atas meja kerja lalu menekan
nomor telepon Alexander. Sambil menunggu jawaban dari Alexander, matanya
memerhatikan Giavanna yang sedang mengangkat telepon sambil mengetik. Kadang
ide yang diutarakan oleh Giavanna cemerlang dan membuat para klien menyukainya.
Iklan dengan rekor tertinggi di perusahaannya merupakan ide dari Giavanna, Coca
Cola. Giavanna tampaknya sudah selesai dengan pekerjaannya, ia telah merapikan
dokumen-dokumen di hadapannya. Mengapa Giavanna bisa mengerjakan pekerjaannya
secepat itu? Ia tampak begitu ahli. Lamunan Justin terbuyar begitu saja saat ia
sadar teleponnya telah diangkat.
“Ya, Justin?” Suara Alexander
terdengar di seberang sana.
“Mungkin kita harus bertemu
sekarang. Aku akan menjemputmu di kantor. Sampai jumpa.”
“Baiklah.” Setelah telepon itu terputus, Justin bangkit
dari kursinya. Ia tidak merapikan meja kerjanya, melainkan langsung melangkah
keluar dari balik meja kerjanya. Ia mendorong pintu ruang kerjanya lalu
melewati Giavanna tanpa menatap perempuan itu sedikitpun.
Giavanna menertawakan Justin dalam hati ketika pria itu
melewati meja kerjanya tanpa sekalipun menatap Giavanna. Meski Giavanna
kebingungan mengapa pria itu cepat sekali pulang, tetapi tidak apalah, jika ia
cepat pulang, Giavanna juga bisa cepat pulang. Dua bulan terakhir merupakan bulan yang cukup
melelahkan bagi Giavanna. Apalagi semakin banyak klien yang memakai jasa
mereka. Meski pekerjaannya begitu berat, Giavanna masih memiliki waktu-waktu
menyenangkan bersama Arthur. Yah, mungkin anak kecil itu sungguh menyebalkan,
tetapi tetap saja ia menggemaskan. Cukup menyedihkan saat Giavanna tahu anak
kecil itu jatuh sakit sejak dua hari yang lalu. Melalui anak kecil itu, Giavanna
dapat mengetahui sifat-sifat Justin yang sebenarnya. Dan oh, ya Tuhan, Giavanna
tidak tahu sama sekali tentang hubungan Arthur dan Alexander yang begitu dekat.
Kekaguman Giavanna terhadap
Alexander semakin membesar tiap kali Arthur menceritakan betapa menyenangkannya
jalan-jalan bersama Alexander. Persahabatan Justin dan Alexander tampaknya
sangat erat sama seperti Giavanna dengan Hailey. Perekonomian Giavanna dan
Hailey dapat teratasi dua bulan ini karena gaji Giavanna yang lebih dari cukup.
Mereka bahkan bisa membeli perabotan baru. Well, setidaknya, di balik kelelahan
dan jerih payahnya, Giavanna masih bisa melihat Hailey tersenyum. Morgan
membuka pintu kantor dengan segelas kopi di tangannya. Matanya melirik pada
Giavanna yang sedang melamun seperti orang sinting. Apa yang terjadi pada
Giavanna? Ia tersenyum-senyum seperti orang puas akan sesuatu. Atasannya hari
ini pulang lebih cepat daripada biasanya—secara mendadak—dan Giavanna
tersenyum-senyum sendirian di meja kerjanya. Dengan segera Morgan berjalan
menuju ruangan Justin. Ia masuk ke dalam lalu memerhatikan meja kerjanya.
Sebuah cangkir kopi berada di atas meja Justin, kopinya sudah habis.
Jangan-jangan Giavanna meracuni
Justin?! Morgan menggelengkan kepala, tidak mungkin perempuan itu berani meracuni
atasannya sendiri. Jika iya, sudah jelas ia tersangka pertama dan memang
pelakunya. Morgan keluar dari ruangan Justin.
“Giavan…” suara menghilang. “Na.”
Morgan tidak mendapati Giavanna di tempatnya. Dia pulang. Sial!
Kendaraan berwarna kuning yang biasa
disebut taksi itu berhenti tepat di depan gedung apartemen Giavanna. Tangan
Giavanna mengeluarkan dompet dari tasnya lalu mengambil beberapa lembar uang
sesuai dengan harga kargonya. Ketika tangannya menjulur ke depan untuk
memberikan uang itu pada sopir taksi, mata Giavanna terjatuh pada dua orang
pria yang ia kenal. Mereka berdiri di depan lorong gelap di seberang taksinya.
Tak ingin membuang-buang waktunya, ia langsung turun dari taksi setelah sopir
taksi itu mengambil uangnya. Apa-apaan yang mereka lakukan berdua di seberang
sana? Hari mulai gelap, Giavanna berpura-pura berdiri di belakang kotak surat
yang besar lalu mengambil ponselnya dari tas.
Mata Giavanna sesekali melirik
mereka berdua. Sepertinya mereka sedang bertengkar. Entah mengapa Giavana
melihat pertengkaran mereka seperti dua orang pasangan yang sedang bertengkar.
Ya, Justin dan Alexander. Mereka seperti pasangan yang sedang bertengkar. Ia
dengan segera membuka kamera di ponselnya saat Justin dan Alexander berpelukan.
Tanpa ragu-ragu Giavanna mengambil foto mereka berdua yang tampak begitu mesra.
Kali ini bukan Justin yang tersenyum miring tiap kali ia memiliki pikiran jahat
pada Giavanna, tetapi Giavanna-lah yang tersenyum miring tiap kali jempolnya menekan
layar sentuh ponselnya, mengambil gambar. Lihat saja besok.
***
Agaknya pagi itu Giavanna duduk di
kursi yang salah. Justin baru saja tiba di kantornya dan mendapati Giavanna
duduk di atas kursi kerjanya. Kedua alis Justin terangkat, bingung akan apa
yang perempuan ini lakukan. Baru saja Justin ingin membuka mulutnya, Giavanna
menyodorkan ponsel di hadapannya. Seketika itu juga jantung Justin berhenti
sepersekian detik.
“Oh, lihatlah, sangat mesra! Aku
bahkan tidak pernah dicium semesra itu,”
“Bagaimana kau bisa mendapatkan foto
ini?”
“Mudah saja, kau tidak perlu tahu.”
ucap Giavanna tersenyum licik. Saat itulah Justin tahu, perempuan ini akan memerasnya. Foto
itu membuat seluruh pori-pori Justin meremang.
“Apa
yang kauinginkan sialan?” Wajah Justin memerah, marah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar