Rabu, 18 Juni 2014

Perfect Time Bab 3


            Giavanna tidak tahu apa yang merasuki Justin hari ini tetapi sepertinya pria itu sangat membencinya. Seharian ini Giavanna pergi dari toko ke toko untuk mengambil pesanan yang diminta oleh Justin yang anehnya, barang-barang yang ia beli sungguh berat. Giavanna berpikir sebentar lagi ia akan pendek karena barang-barang berat yang ia bawa. Begitu banyak tas-tas bermerek yang ia bawa di tangannya. Setelah menekan tombol ke atas lift, Giavanna menghela nafas panjang. Entah apa mungkin Justin memiliki dendam terhadap Giavanna yang jelas Giavanna berharap pria itu mati di tempat karena serangan jantung! Seharusnya sekarang Giavanna berada di kursi kerjanya sambil mencari-cari informasi di Internet mengenai Justin Richardson. Tetapi sekarang, ia terjebak di lantai pertama gedung RCS Advertisement sambil mengetuk-ketuk ujung sepatu tumit tingginya. Pintu lift terbuka, segerombolan orang yang di dalam lift langsung menghambur begitu saja. Mereka melewati Giavanna tanpa satu orang pun berani menyentuh tas-tas yang Giavanna bawa seolah-olah Giavanna memiliki penyakit menular. Setelah lift kosong, Giavanna langsung melangkah masuk ke dalam.
            Dan inilah masalah selanjutnya. Ia tidak bisa menekan tombol lantai kantornya! Sungguh sial sekali nasibnya hari ini. Ia ingin menangis. Apa salahnya terhadap Justin selama ini? Ia baru satu minggu bekerja di RCS Advertisement tetapi Justin membuatnya terasa seperti 1 tahun di neraka. Giavanna menunduk kepala. Ketika matanya terbakar, tiba-tiba saja seorang pria melangkah masuk ke dalam lift lalu menekan tombol angka 9. Ah, ya Tuhan, terima kasih. Giavanna mendongakkan kepalanya, lalu mendapati Alexander sudah berada di sampingnya. Oh, di sela-sela penderitaannya, ia masih diberikan pemandangan menyenangkan.
            “Selamat siang, Ms.Anderson. Senang melihatmu kembali,” ucap Alexander yang sungguh tampan. Rambutnya yang gondrong itu berwarna hitam itu tidak mengurangi ketampanannya. Ia memang berandalan terhormat. Giavanna hanya mengangguk tersipu malu akan ucapan Alexander.
            “Selamat siang, Mr.Alexander. Senang juga melihatmu,” balas Giavanna merasa ada yang aneh terjadi pada dirinya. Apa-apaan? Ia tidak pernah merasa malu-malu pada seorang pria sebelumnya. Bahkan pada Justin Richardson sekalipun. Well, Alexander berbeda baginya. Ia kelihatan sangat ramah sekaligus tampan dalam waktu yang bersamaan. Alexander memerhatikan barang bawaan Giavanna. Nalurinya sebagai lelaki langsung mengambil beberapa barang dari tangan Giavanna tanpa pamrih.
            “Kelihatannya kau sangat sibuk,” ucap Alexander membantu membawa tas-tas Giavanna. “Apa ini ulah dari Justin?” Tanya Alexander. Giavanna mengangguk lalu menghela nafas panjang.
            “Tetapi begitulah. Jika ingin mendapat uang kau harus bekerja keras,”
            “Aku setuju. Tetapi Justin tidak pernah menyusahkan asisten-asistennya seperti sebelumnya,” ucap Alexander keheranan. Giavanna hanya tergelak satu kali dan kembali menghela nafas panjang.
            “Mungkin dia dendam padaku, entahlah,” ucap Giavanna acuh tak acuh. Ia tidak ingin membicarakan tentang Justin sekarang. Menyebut namanya saja ia tidak mau. Giavanna merasa lidahnya harus dipotong ketika ia harus menyebut nama atasannya. Ia merasa berdosa jika ia menyebut nama sialan itu. Begitu kesalnya, Giavanna mematahkan sepatu tumit tingginya, ia sangat gemas sampai ke ujung jempol kakinya. Ingin sekali tangannya mengambil sepatu tumit tinggi itu lalu melempar sepatu itu ke wajah Justin. Kalau perlu ujung hak sepatunya menusuk mata Justin.
            “Giavanna? Kita sudah sampai.” suara Alexander membuat lamunan Giavanna buyar. Segera ia keluar dari lift.
            Kelihatannya Justin tidak suka melihat Alexander membantu Giavanna membawa barang-barang yang ia pesan untuk melengkapi ide cemerlang yang ia punya untuk iklan Burger King dan kondom. Ia melihat Giavanna yang terus berterima kasih pada Alexander dari dinding transparan itu, lalu berpikir mengapa perempuan ini masih bisa tersenyum di sela-sela penderitaannya? Ia menyukai Alexander? Pft, mustahil Alexander menyukai Giavanna. Kemudian Alexander melangkah menuju ruangannya dengan segala daya tarik yang ia miliki. Tetapi mata Justin tak lepas dari Giavanna yang sekarang mengeluarkan barang-barang yang ia bawa itu dari tas. Baru satu minggu ia berada di sini dan Justin sungguh yakin, dua atau tiga hari ke depan, Giavanna akan keluar dari perusahaannya.
            Alexander melihat Justin yang memerhatikan Giavanna dengan seksama sembari ia melangkahkan kaki menuju ruangan Justin. Tentu saja Justin memerhatikan Giavanna. Atau lebih tepatnya, ia memikirkan Giavanna. Bukan berpikir tentang betapa hebatnya perempuan itu, tetapi lebih mengarah pada alasan mengapa Giavanna memiliki sikap lancang. Ketika Justin memerhatikan Giavanna bersama Alexander, perempuan itu tampak baik-baik saja. Ia tersenyum dan kelihatan begitu ramah. Berbeda ketika perempuan itu berhadapan dengan Justin. Ia lancang, ketus, dan kadang candaannya tak lucu. Alexander mengetuk-ketuk meja Justin, mengagetkan Justin.
            “Sedang menikmati pemandangan atau…?”
            “Tidak, aku hanya memerhatikan bawahanku. Jadi, kau ingin makan siang sekarang?” Tanya Justin. Sebenarnya waktu sudah menunjukkan pukul 1.53 siang, yang berarti sudah lewat jam makan siang. Tetapi Justin memiliki banyak pekerjaan untuk mengurus iklan Dolce & Gabana.  Alexander menggeleng kepala. “Baiklah. Mungkin kita undur.”
            “Bukankah seharusnya Arthur sudah dijemput sekarang?” Tanya Alexander melirik jam tangannya. Ya, memang seharusnya anak itu dijemput dari sekolah. Mata Justin menatap Giavanna di balik dinding transparannya, lalu melihat perempuan itu melirik jam dinding dan kata kotor keluar dari mulut perempuan itu. Justin tergelak satu kali.
            “Giavanna yang akan menjemputnya. Jadi tenang saja. Omong-omong, Dolce & Gabana? Bagaimana menurutmu?” Tanya Justin meminta ide cemerlang. Bersamaan dengan itu, Giavanna sudah melangkah keluar dari kantor. “Dia sudah pergi.”
            Suasana di ruangan Justin memanas seketika.

***

            Anak kecil bermata biru tampaknya tidak suka menunggu. Ia tidak pernah menunggu selama ini selama ia bersekolah. Mengapa ayahnya lama sekali menjemput? Ia mengayunkan ayunan yang ia naiki untuk mengurangi rasa bosannya. Teman-temannya sudah pulang, hanya sisa beberapa temannya di taman bermain. Sebenarnya, Arthur sedikit bingung mengapa akhir-akhir ini bukan ayahnya atau Alexander yang menjemputnya melainkan perempuan berambut cokelat panjang yang menjemputnya. Dan Arthur tidak sama sekali memiliki masalah dengan perempuan itu, hanya saja, ia merindukan Alexander yang biasanya menjemputnya. Arthur mendongak ketika seorang perempuan memanggil namanya dari belakang. Ia langsung berhenti mengayunkan ayunannya dan turun dari atas sana. Giavanna. Arthur lebih senang memanggilnya Gigs.
            Giavanna mengambil tas Arthur yang digantung di arena seluncuran. Anak itu tidak mirip dengan ayahnya, mungkin hanya warna rambutnya yang cokelat. Selebihnya, tidak ada. Mungkin wajahnya lebih mendominasi pada ibunya, pikir Giavanna sok tahu. Giavanna tidak begitu peduli siapa ibunya atau siapa ayah Arthur sebenarnya. Anak kecil itu melangkah cepat menuju Giavanna lalu memegang tangan Giavanna. “Aku ingin makan es krim, Gigs,”
            “Oke, pertama-tama, jangan panggil aku Gigs. Kedua, aku akan membelikanmu es krim karena aku juga lapar. Ketiga, jangan banyak bicara seperti biasanya. Mengerti?” Tanya Giavanna yang memang dari dulu tidak begitu bisa bersahabat dengan anak kecil. Ia mungkin senang melihat anak kecil, tetapi mengurusnya? Mustahil.
            “Oke,” Arthur setuju. Kemudian mereka berjalan melewati taman bermain dan keluar dari sekolah. Giavanna telah memarkirkan mobil perusahaan yang tidak begitu jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. Giavanna bisa menyetir mobil karena diajari oleh pacar Hailey, tiga tahun yang lalu. Jadi ya, bisa dikatakan, Giavanna pantas mengendarai mobil perusahaan. Hanya saja, tanpa anak kecil. Setelah menekan tombol untuk membuka kunci mobil, Giavanna membukakan pintu untuk Arthur. Dengan cepat Arthur melompat dengan lincah ke dalam mobil lalu menutup pintunya. Arthur tidak bisa menahan gejolak bahagianya sekarang! Es krim, ia akan makan es krim. Arthur tahu seharusnya ia dilarang makan es krim oleh ayahnya, tetapi karena bukan ayahnya yang menjemput—dan Giavanna tidak tahu kalau ia dilarang—maka ia mengambil kesempatan berharga ini.
            Giavanna menutup pintu lalu menyalakan mesin mobil. Ia menaruh tas Arthur ke kursi belakang dan mulai memundurkan mobil. Seperti anak kecil pada umumnya, Arthur tidak bisa menutup mulut.
            “Dimana daddy Alex?” Tanya Arthur. Giavanna mengernyitkan keningnya. Apa? Daddy Alex? Mungkin yang ia maksud Daddy Justin, tetapi ia salah sebut.
            “Maksudmu, daddy Justin?” Tanya Giavanna yang sudah keluar dari kawasan sekolah. Ia menatap Arthur yang menggelengkan kepala.
            “Bukan!” Seru anak kecil itu berlebihan. “Daddy Alex! Kau tidak tahu dia? Dia yang biasa menjemputku, aku sudah sering bilang padamu,”
            “Ya, memang kau sudah sering memberitahu padaku tentang daddy Alex-mu. Tetapi, baru kali ini kau menyebutnya Daddy di hadapanku. Mengapa kau memanggilnya ‘daddy’? Dia bukan ayahmu, kau sok tahu,” ucap Giavanna terkekeh. Daddy Alex? Konyol. Oh, mungkin karena Alexander adalah sahabat Justin,pikir Giavanna kembali sok tahu, dan Arthur sudah menganggapnya sebagai ayahnya.
            “Karena—“
            “Sudah cukup, tidak usah beritahu aku. Aku sudah tahu mengapa. Dan daddy Alex-mu sedang berada di kantor ayahmu. Kau mengerti? Sekarang, tutup mulutmu.” ucap Giavanna memberikan kepalan tangan pada Arthur, tanda agar anak kecil itu menutup mulutnya. Dan ya, Arthur anak yang penurut. Ia tidak berbicara sama sekali setelah itu.
            “Apa daddy akan tahu aku memakan es krim nanti?” Well, mungkin tidak sampai satu menit. Giavanna menghela nafas panjang lalu membenturkan kepalanya ke kaca mobil. Arthur menatap perempuan itu bingung. Mengapa ia membenturkan kepalanya? “Hey! Berhenti! Nanti kepalamu berdarah, kau tahu.”  
            Mungkin memang tidak ada yang bisa membuat mulut anak kecil ini berhenti berbicara.
                       
***

            Bukan maksud Giavanna mengeluh dalam pekerjaannya, tetapi sungguh, ia sudah muak! Selama dua minggu penuh, Justin memberikan begitu banyak pekerjaan yang memberatkan Giavanna sampai Giavanna terpaksa harus meminum obat penenang. Morgan kembali bekerja satu minggu yang lalu membantu pekerjaan Giavanna yang memang bisa dikatakan begitu berat. Sudah dua kali Justin meminta Giavanna memanggil artis-artis terkenal agar menjadi model iklan mereka. Well, bagi Morgan itu adalah hal yang mudah. Telepon saja manajernya lalu minta mereka untuk menjadi model iklan dengan bayaran yang besar. Semiskin apa perusahaan Justin hingga ia tidak bisa membayar mahal artis-artis di luar sana? Dan yah, ternyata memang mudah. Setelah dua kali Giavanna menangani masalah itu, akhirnya Giavanna sudah terbiasa. Dan omong-omong, Giavanna merasa ia penjemput Arthur dari sekolah ke gedung perusahaannya. Masalahnya ialah, Arthur pulang jam 2 siang. Kadang Giavanna terpaksa melewatkan jam makan siangnya karena sibuk mengurusi masalah Justin, lalu setelah itu, ia harus menjemput Arthur tanpa bisa mengisi perutnya yang kosong.
            Hingga akhirnya, Giavanna merosot di kursinya sendiri. Justin baru saja menyuruhnya mencari artis untuk iklan Coca Cola, klien terbesar mereka. Dan pihak Coca Cola akan datang tiga hari mendatang, namun sampai sekarang, belum ada artis yang bisa membintangi iklan mereka. Justin bahkan belum menyiapkan presentasi untuk iklan Coca Cola. Sekarang, baik bagi Justin dan Giavanna, mereka sudah berada di tingkat kekhawatiran paling tinggi. Udara di kantornya terasa begitu panas sampai-sampai Giavanna merasa ia sedang berada di neraka. Baru saja Giavanna memejamkan mata untuk menenangkan diri, tiba-tiba Justin membuka pintu ruang kerjanya. Ketika Justin melewati meja kerja Giavanna, ia merasa masih ada orang yang duduk di kursi itu. Lalu ia berhenti melangkah tepat sebelum ia mendorong pintu kantor.
            “Mengapa kau masih duduk di sana?” Tanya Justin sambil memutar tubuhnya ke belakang, melihat Giavanna. Segera perempuan itu bangkit dari kursinya dan mengambil telepon untuk menghubungi manajer dari artis siapa pun itu. “Ah, aku ingin kau menghubungi manajer Andrew Garfield. Aku ingin dia menjadi model iklan Coca Cola. Harus dia, aku tidak tahu mau tahu.” Perintah Justin dengan jari telunjuk yang menunjuk Giavanna, menekankan keinginannya yang tak boleh tak terkabulkan. Justin membalikkan tubuhnya lalu menyentuh gagang pintu.
            “Jika mereka menolak?” Tanya Giavanna merasa sangat bodoh.
            “Singkirkan barang-barangmu dari kantor ini.” bisik Justin namun terdengar jelas ia mengancam. Senyum miring menghias wajah tampannya itu, lalu ia keluar dari kantor. Mencari Alexander, meminta bantuan. Seperti biasanya.

---

            Giavanna terpana dengan seorang aktor di hadapannya sedang mempromosikan iklan Coca Cola di ruang studio. Setelah kemarin ia mengutarakan ide cemerlangnya pada Andrew—aktor yang diminta Justin untuk membintangi iklannya—akhirnya, pria itu mau menjadi model di iklan Coca Cola. Dan tentu saja, bayarannya begitu mahal. Coca Cola salah satu klien terbesar di RCS Advertisement, mereka diperlakukan begitu sempurna untuk mempromosikan minuman terkenal itu.
            “That’s a wrap!” teriak sutradara. Giavanna bertepuk tangan, kagum pada Andrew  yang berjalan menuju manajernya. Justin yang berada di sebelah sutradara hanya menganggukkan kepala satu kali, kedua tangannya terlipat di depan dada memperlihatkan betapa sombongnya pria itu. Tetapi, Giavanna tak peduli. Idenya dipakai untuk iklan Coca Cola. Dan besok mereka akan mempresentasikan iklan menakjubkan ini. Dari depan, Justin menolehkan kepalanya ke belakang. Ia melihat Giavanna yang melompat-lompat gemas, berhasil akan hasil kerja kerasnya yang bisa dikatakan luar biasa. Haruskah Justin mempertahankan Giavanna di perusahaannya? Sepertinya perempuan ini harus diberi tekanan lebih keras lagi dibanding ini.
            “Mr.Richardson,” sutradara di sampingnya mendongak. “Sepertinya, iklan Coca Cola kali ini yang terbaik dibanding iklan-iklan sebelumnya. Aku harus jujur,”
            “Ya, aku setuju.” bisik Justin.

***

            Dan hebatnya perempuan itu masih ada di perusahaannya! Rasanya sebentar lagi Justin akan mati karena serangan jantung. Mengapa Giavanna dapat bertahan selama dua bulan di tempat kerjanya? Bagaimana bisa setan kecil itu menaklukan pekerjaan yang bertubi-tubi itu tanpa mengeluh? Mengapa belum ada surat pengunduran diri darinya? Justin memejamkan matanya. Harus Justin akui perempuan ini memiliki tekad yang besar dalam bekerja. Namun, sikap perempuan itulah yang membuat Justin cukup jengkel padanya. Selalu bertanya. Justin tidak suka diberi pertanyaan menyangkut masalah privasinya. Termasuk tentang masalah istri atau Arthur. Giavanna hanya perlu melakukan apa yang harus ia lakukan, tanpa bertanya. Haruskah Justin membuat peraturan tertulis pada setiap asisten barunya?
            Sudah banyak iklan di televisi yang ia kerjakan bersama dengan Giavanna selama dua bulan ini tanpa ada masalah apa pun. Padahal Justin sudah memberikan pekerjaan tambahan yang seharusnya membuat Giavanna jengah. Dan yah, perempuan itu masih ada di tempat kerjanya. Ia mengikat rambut cokelatnya menjadi satu, pakaian yang seperti biasa ia pakai, dan ia sedang menikmati kue kesukaannya. Begitu banyak tantangan yang Justin berikan pada Giavanna dan perempuan itu dapat menerimanya dengan baik. Justin merasakan hal yang begitu aneh tiap kali Giavanna kembali masuk ke ruang kerjanya dengan semangat. Seolah-olah Justin diejek secara tak langsung. Perempuan ini menguntungkan sekaligus membuat Justin merasa ..entahlah, dikalahkan—padahal Justin adalah atasan perempuan itu sendiri.
            Hari ini Arthur tidak datang ke kantornya karena ia sakit di rumah. Justin seharusnya pulang jam 7 malam karena ada pertemuan dengan Alexander malam ini. Mungkin tidak hari ini, pikir Justin melirik jam tangannya yang telah menunjukkan pukul setengah 5 sore. Ia mengambil ponsel di atas meja kerja lalu menekan nomor telepon Alexander. Sambil menunggu jawaban dari Alexander, matanya memerhatikan Giavanna yang sedang mengangkat telepon sambil mengetik. Kadang ide yang diutarakan oleh Giavanna cemerlang dan membuat para klien menyukainya. Iklan dengan rekor tertinggi di perusahaannya merupakan ide dari Giavanna, Coca Cola. Giavanna tampaknya sudah selesai dengan pekerjaannya, ia telah merapikan dokumen-dokumen di hadapannya. Mengapa Giavanna bisa mengerjakan pekerjaannya secepat itu? Ia tampak begitu ahli. Lamunan Justin terbuyar begitu saja saat ia sadar teleponnya telah diangkat.
            “Ya, Justin?” Suara Alexander terdengar di seberang sana.
            “Mungkin kita harus bertemu sekarang. Aku akan menjemputmu di kantor. Sampai jumpa.”
            “Baiklah.” Setelah telepon itu terputus, Justin bangkit dari kursinya. Ia tidak merapikan meja kerjanya, melainkan langsung melangkah keluar dari balik meja kerjanya. Ia mendorong pintu ruang kerjanya lalu melewati Giavanna tanpa menatap perempuan itu sedikitpun.
            Giavanna menertawakan Justin dalam hati ketika pria itu melewati meja kerjanya tanpa sekalipun menatap Giavanna. Meski Giavanna kebingungan mengapa pria itu cepat sekali pulang, tetapi tidak apalah, jika ia cepat pulang, Giavanna juga bisa cepat pulang. Dua bulan terakhir merupakan bulan yang cukup melelahkan bagi Giavanna. Apalagi semakin banyak klien yang memakai jasa mereka. Meski pekerjaannya begitu berat, Giavanna masih memiliki waktu-waktu menyenangkan bersama Arthur. Yah, mungkin anak kecil itu sungguh menyebalkan, tetapi tetap saja ia menggemaskan. Cukup menyedihkan saat Giavanna tahu anak kecil itu jatuh sakit sejak dua hari yang lalu. Melalui anak kecil itu, Giavanna dapat mengetahui sifat-sifat Justin yang sebenarnya. Dan oh, ya Tuhan, Giavanna tidak tahu sama sekali tentang hubungan Arthur dan Alexander yang begitu dekat.
            Kekaguman Giavanna terhadap Alexander semakin membesar tiap kali Arthur menceritakan betapa menyenangkannya jalan-jalan bersama Alexander. Persahabatan Justin dan Alexander tampaknya sangat erat sama seperti Giavanna dengan Hailey. Perekonomian Giavanna dan Hailey dapat teratasi dua bulan ini karena gaji Giavanna yang lebih dari cukup. Mereka bahkan bisa membeli perabotan baru. Well, setidaknya, di balik kelelahan dan jerih payahnya, Giavanna masih bisa melihat Hailey tersenyum. Morgan membuka pintu kantor dengan segelas kopi di tangannya. Matanya melirik pada Giavanna yang sedang melamun seperti orang sinting. Apa yang terjadi pada Giavanna? Ia tersenyum-senyum seperti orang puas akan sesuatu. Atasannya hari ini pulang lebih cepat daripada biasanya—secara mendadak—dan Giavanna tersenyum-senyum sendirian di meja kerjanya. Dengan segera Morgan berjalan menuju ruangan Justin. Ia masuk ke dalam lalu memerhatikan meja kerjanya. Sebuah cangkir kopi berada di atas meja Justin, kopinya sudah habis.
            Jangan-jangan Giavanna meracuni Justin?! Morgan menggelengkan kepala, tidak mungkin perempuan itu berani meracuni atasannya sendiri. Jika iya, sudah jelas ia tersangka pertama dan memang pelakunya. Morgan keluar dari ruangan Justin.
            “Giavan…” suara menghilang. “Na.” Morgan tidak mendapati Giavanna di tempatnya. Dia pulang. Sial!

            Kendaraan berwarna kuning yang biasa disebut taksi itu berhenti tepat di depan gedung apartemen Giavanna. Tangan Giavanna mengeluarkan dompet dari tasnya lalu mengambil beberapa lembar uang sesuai dengan harga kargonya. Ketika tangannya menjulur ke depan untuk memberikan uang itu pada sopir taksi, mata Giavanna terjatuh pada dua orang pria yang ia kenal. Mereka berdiri di depan lorong gelap di seberang taksinya. Tak ingin membuang-buang waktunya, ia langsung turun dari taksi setelah sopir taksi itu mengambil uangnya. Apa-apaan yang mereka lakukan berdua di seberang sana? Hari mulai gelap, Giavanna berpura-pura berdiri di belakang kotak surat yang besar lalu mengambil ponselnya dari tas.
            Mata Giavanna sesekali melirik mereka berdua. Sepertinya mereka sedang bertengkar. Entah mengapa Giavana melihat pertengkaran mereka seperti dua orang pasangan yang sedang bertengkar. Ya, Justin dan Alexander. Mereka seperti pasangan yang sedang bertengkar. Ia dengan segera membuka kamera di ponselnya saat Justin dan Alexander berpelukan. Tanpa ragu-ragu Giavanna mengambil foto mereka berdua yang tampak begitu mesra. Kali ini bukan Justin yang tersenyum miring tiap kali ia memiliki pikiran jahat pada Giavanna, tetapi Giavanna-lah yang tersenyum miring tiap kali jempolnya menekan layar sentuh ponselnya, mengambil gambar. Lihat saja besok.

***

            Agaknya pagi itu Giavanna duduk di kursi yang salah. Justin baru saja tiba di kantornya dan mendapati Giavanna duduk di atas kursi kerjanya. Kedua alis Justin terangkat, bingung akan apa yang perempuan ini lakukan. Baru saja Justin ingin membuka mulutnya, Giavanna menyodorkan ponsel di hadapannya. Seketika itu juga jantung Justin berhenti sepersekian detik.
            “Oh, lihatlah, sangat mesra! Aku bahkan tidak pernah dicium semesra itu,”
            “Bagaimana kau bisa mendapatkan foto ini?”
            “Mudah saja, kau tidak perlu tahu.” ucap Giavanna tersenyum licik. Saat itulah Justin tahu, perempuan ini akan memerasnya. Foto itu membuat seluruh pori-pori Justin meremang.
            “Apa yang kauinginkan sialan?” Wajah Justin memerah, marah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar