Giavanna tidak menjawab Justin. Keheningan
di antara mereka membuat suasana semakin mencekam, hanya bagi Justin. Bagaimana
perempuan itu mendapatkan foto yang ada di hadapannya sekarang? Kaki panjang
Giavanna berada di atas meja kerjanya, seolah-olah dialah bos di perusahaan
ini. Justin tahu, saat Giavanna memperlihatkan foto itu, dunia Justin akan
segera hancur. Sudah bertahun-tahun Justin menutupi hubungan tak normalnya ini
pada siapa pun. Semenjak ayahnya meninggal, Justin merasa lebih bebas karena ia
dapat berpacaran dengan seorang pria. Mengingat betapa kerasnya kedispilinan
yang ayahnya terapkan membuat Justin merasa terkekang. Terlebih lagi ketika
ayahnya mulai memukul Justin membuat ia membenci ayahnya sendiri. Berpacaran
dengan seorang pria membuat Justin merasakan betapa indahnya hidup. Terlebih
lagi, hubungannya dengan seorang pria membuat Justin merasa lebih hidup
dibanding kehidupan sebeulmnya. Dan selama bertahun-tahun, hubungannya dengan
pria baik-baik saja. Bahkan hubungannya dengan Alexander sudah berjalan selama
dua tahun. Namun jika foto di hadapannya tersebar di Internet, Justin tahu
reputasinya akan hancur begitu saja.
Ini bukanlah salah Alexander. Justru
Alexander-lah yang meminta Justin untuk berdekatan dengan perempuan-perempuan
di luar sana agar hubungan mereka tak begitu mencolok. Pria itu tersakiti demi
kebaikan Justin sendiri. Tetapi usaha kekasihnya sia-sia begitu saja saat
perempuan bernama Giavanna, yang entah bagaimana, bisa mendapatkan foto ciuman
mereka. Kecerobohan mereka di trotoar kemarin menghasilkan iblis licik yang
sekarang duduk di kursi kerjanya. Giavanna menekan sebuah tombol remote hingga
dinding yang buram berubah menjadi warna abu-abu. Dinding ini jarang Justin
ubah menjadi abu-abu karena ia tidak begitu menyukai suasananya. Sekarang,
dinding itu memisahkan mereka dari dunia luar. Giavanna lalu menyodorkan
ponselnya pada Justin, memaksa pria itu untuk memegang ponselnya.
“Lihatlah,” ucap Giavanna ketika
Justin telah meraih ponselnya. Pria itu langsung melihat foto-fotonya yang lain
bersama Alexander. Astaga, Giavanna mengambil foto ini dari mereka berpelukan
hingga mereka berciuman dan berpisah. Bagaimana Giavanna bisa mendapatkannya?
Apa perempuan itu membututinya kemarin? Dengan cepat Justin menghapus satu per
satu foto itu. Saat ia mengecek kembali galeri foto itu, sudah tidak ada
fotonya dengan Alexander. Detik berikutnya, Justin melempar ponsel itu ke atas
mejanya. Kedua alis Giavanna terangkat.
“Sudah selesai menghapus fotonya?”
Tanya Giavanna malah senang. Perempuan itu tertawa lepas hingga kedua tangannya
memeluk perut. “Aku tidak sebodoh yang kaupikir, Justin Richardson yang licik!
Aku sudah memindahkan seluruh foto itu ke dalam laptop temanku dan mengunci
berkasnya. Jadi tenang, saat ini hanya aku yang mengetahui hubunganmu dengan
Mr.Alexander,” ucap Giavanna sedikit patah hati. Harapannya bersama dengan
Alexander sirna sudah semenjak ia melihat Justin berciuman dengannya. Tetapi
nasi sudah menjadi bubur, Giavanna tidak bisa lebih memilih memiliki Alexander
dibanding kesempatan menyiksa Justin. Kelebihan menyiksa Justin begitu banyak,
setelah Giavanna hitung-hitung tadi malam. Ia bisa memeras Justin, mengancamnya
jika Justin berusaha bersikap jahat padanya, atau mungkin Giavanna bisa
memiliki kehidupan yang lebih baik dari kehidupan sebelumnya.
“Aku tidak percaya bawahanku
memerasku seperti ini,” ucap Justin membuang wajahnya. Giavanna terkejut atas
ucapan Justin, tetapi sunggingan senyum mengejek membuat seluruh tubuh Justin
merinding. Agaknya Giavanna kelupaan akan sesuatu. Ia merogoh kantong kemeja
putihnya lalu mengambil sesuatu yang kecil dari sana.
“Oh, hampir lupa, aku juga
memindahkannya ke flashdisk ini. Kau
mau lihat dan menghapusnya? Silakan. Nah, besok kau akan ditertawakan oleh seluruh
pegawaimu sendiri. Dan media di luar sana mungkin akan mendapatkan kenaikkan
gaji,” jelas Giavanna menurunkan kakinya dari meja. Perempuan itu memakai rok
selutut berwarna hitam, dan jelas saja pahanya terlihat ketika kakinya
bersandar di atas meja. Perempuan itu tidak perlu berpikir dua kali, Giavanna
tidak perlu malu-malu memperlihatkan seluruh tubuhnya pada Justin. Pria itu gay! Penyuka sesama pria
dan tidak mungkin bergairah jika melihat Giavanna telanjang. Giavanna
melangkahkan kakinya menuju Justin. Tangan Giavanna menyentuh leher Justin lalu
ia berjalan mengitari tubuh Justin, seperti penggoda. Bedanya, Giavanna tahu
pria ini tidak akan menyukainya atau pun bergairah. Setelah itu Giavanna
berhenti di belakang tubuh Justin, ia memeluk Justin dari belakang. Sepatu
tumit tingginya begitu membantu sehingga Giavanna dapat menyandarkan dagunya di
atas bahu Justin. Tubuh Justin menegang tiap kali tangan Giavanna menyentuh
tubuhnya. Mungkin memang ia sering berjalan dengan perempuan di luar dan sering
berciuman dengan mereka, tetapi Justin tidak pernah bergairah pada seorang
perempuan. Hanya Alexander dan kaumnya sendiri.
Alasan mengapa Justin meminta Andrew
Garfield menjadi bintang iklannya karena pria itu sangat seksi! Well, saat ini
bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkan aktor seksi itu. Sekarang satu
tangannya sedang berusaha menahan tubuhnya di ujung tebing agar tidak terjatuh,
hanya ada dua pilihan. Kaki Giavanna menginjak tangannya atau tangan Giavanna
menarik tangannya ke atas. Giavanna mengembuskan nafas panjang.
“Yang kuinginkan, hormati aku
sebagai bawahanmu, sayang. Itu yang pertama. Kedua, aku ingin kau menaikkan
gajiku. Ketiga, kumohon jangan berikan aku pekerjaan yang berat seperti
sebelum-sebelumnya. Keempat, aku ingin bertemu Arthur hari ini,” ucap Giavanna
tersenyum. Justin mendesah pasrah. “Untuk saat ini, hanya itu yang kuinginkan. Dan
apabila kau bisa memenuhinya, aku bersumpah tidak akan menyebarkan foto-foto
itu di Internet. Jadi, apa kau bisa memenuhinya, Mr.Richardson?”
Justin merasa begitu terhina. Harga dirinya terinjak-injak.
Bisa-bisanya ia diperas oleh seorang perempuan licik seperti Giavanna!
Seharusnya Giavanna takut pada dirinya, bukan ia yang takut pada ancaman
Giavanna. Tetapi foto itu memang nyata. Justin juga tidak ingin merusak
reputasi Alexander yang dikenal sebagai gentleman
di luar sana. Ini demi
kebaikan mereka berdua.
“Ya,” bisik Justin memejamkan mata. Demi Alexander.
Pujaan hatinya. Saat itu juga Giavanna melangkah mundur menjauhi Justin. “Tapi
sebelum itu, aku ingin kau terus berada di sisiku saat jam kerja agar aku bisa
memastikan apa kau benar-benar memegang ucapanmu. Dan meminimalisir
penggunaanmu terhadap Internet.”
“Tidak masalah. Aku bisa berada di sisimu 24/7 jika kau
mau. Hanya jam kerja, bukan? Tentu saja. Baiklah, terima kasih Justin atas
kerjasamanya,” ucap Giavanna merapikan pakaiannya. Pintu ruangan Justin terbuka
begitu saja, memperlihatkan kepala Morgan yang masuk lebih dulu ke dalam
ruangan. Dapat terlihat Morgan terkejut akan apa yang ia lihat. Giavanna
merapikan pakaiannya dan Justin sedang mengelap keringatnya dengan sapu tangan.
Apa Justin baru saja digoda oleh Giavanna? Atau mereka baru melakukan suatu
yang tidak pernah Morgan bayangkan? Justin menatap Morgan lalu Giavanna,
kembali lagi pada Morgan lalu Giavanna. Seperti itu terus menerus sampai
akhirnya Justin menarik nafasnya dalam-dalam.
“Bisakah kalian keluar dari ruanganku sekarang juga?”
Tanya Justin tegas. Morgan langsung melenyapkan tubuhnya di balik pintu
sementara Giavanna berlari kecil menuju pintu. Sebelum benar-benar keluar, ia menatap mata Justin
lalu mengedip sebelah matanya. Sekujur tubuh Justin merinding. Pintunya telah
tertutup. Kepala Justin pening setelah ia benar-benar menyadari bahwa perempuan
yang baru saja mengedipkan sebelah matanya itu mengetahui hubungannya dengan
Alexander. Apa yang harus ia katakan pada Alexander? Kemarin mereka bertengkar
karena Justin tidak bisa memenuhi janjinya pada Alexander. Dan sekarang,
masalah baru datang. Bagaimana bisa?
Jika Giavanna sudah mengetahui rahasia
Justin, itu berarti Justin harus mengetahui rahasia terkelam Giavanna. Well,
mungkin sedikit pendekatan mengenai kehidupan pribadi Giavanna akan menarik. Mata
Justin jatuh pada ponsel Giavanna yang masih berada di atas meja kerjanya.
Senyumnya yang menawan muncul menghiasi wajahnya. Jadi, rahasia apa yang
disimpan oleh seorang Giavanna?
***
Seharian ini Giavanna tidak pergi
keluar, ia mengerjakan tugasnya seperti biasa. Bedanya, kali ini ia tidak
disuruh untuk membeli makan siang atau membeli barang-barang tak penting bagi
Justin. Ternyata ancaman itu memiliki dampak yang baik bagi Giavanna. Dan yah,
berada di sisi Justin setiap jam kerja—bila Justin keluar dari kantor untuk
melakukan pertemuan dengan klien—membuat Giavanna tersenyum jahat. Seorang pemilik
perusahaan RCS Advertisement memintanya untuk berada di sisinya selama jam
kerja? Betapa bodohnya dia. Justru dengan kebersamaan mereka yang akan terlalu
sering akan menjadi keuntungan besar bagi Giavanna untuk mengetahui lebih dalam
hubungan atasannya dengan …mantan pujaan hatinya. Giavanna baik-baik saja
mengetahui Justin Richardson adalah seorang gay, tetapi Alexander? Pria
berwajah tampan, berandalan terhormat, dan ramah adalah seorang penyuka sesama
jenis? Mengapa dunia ini tidak adil? Giavanna menghela nafas panjang.
Setidaknya Justin akan memberikan tugas-tugas normal, seperti yang Morgan
dapatkan tiap harinya. Morgan tampak tidak kesulitan dengan tugas-tugas yang
Justin berikan. Tentu saja, pekerjaannya hanya berada di gedung ini seharian.
Sementara Giavanna. Ia harus keluar
gedung mencari apa pun yang Justin butuhkan. Bahkan yang tidak ada hubungannya
dengan pekerjaan pun Justin berikan pada perempuan itu. Tetapi
rencana jahatnya sudah berjalan lancar sejauh ini. Pria itu tunduk di hadapannya.
Bergetar seperti
kucing bertemu anjing saat tangan Giavanna menyentuh leher pria itu. Seharusnya
Giavanna sudah menduganya sejak Arthur menceritakan tentang betapa seringnya
Alexander datang ke rumahnya, menemaninya tidur siang dan menjemputnya dari sekolah.
Ternyata hubungan yang diakui sebagai persahabatan itu hanya dusta belaka.
Sempat Giavanna berpikir bagaimana Arthur bisa lahir ke dunia jika dari salah
satu orangtuanya tidak ada yang berjenis kelamin perempuan? Kemudian
ketidakmiripan antara Justin-Arthur-Alexander membuat Giavanna berasumsi bahwa
anak itu diangkat dari panti asuhan. Mustahil ketika tongkat melawan tongkat
menghasilkan seorang bayi. Giavanna bergidik ketika ia mulai berimajinasi
bagaimana mereka berhubungan badan. Cepat-cepat Giavanna membuang pikiran itu.
Ia tidak ingin mengotori meja kerjanya dengan muntahan.
Sialan. Begitu banyak rahasia yang
Giavanna dapatkan sekarang dari balik kelicikan atasannya. Kembali perempuan
itu tersenyum puas di tempatnya. Morgan yang sedang membenarkan riasan wajahnya
melirik Giavanna. Mengingat kejadian tadi pagi, Morgan berhenti merapikan
riasan lalu berdeham.
“Aku ingin tahu apa yang kaulakukan
dengan Justin di ruangannya tadi pagi. Dan alasan mengapa kau tersenyum-senyum
seperti orang… sinting,” Morgan menatap Giavanna dari seberang dengan tatapan
menyelidik. Alis tebal Giavanna terangkat lalu ia menggeleng kepala.
“Tidak ada. Hanya… masalah
pekerjaan. Memang apa yang kaupikirkan?”
“Well, kau tahulah, Justin tampaknya
butuh belaian dari perempuan. Dan…” suara perempuan itu lenyap dari pendengaran
Giavanna ketika perempuan itu mengucapkan kalimat ‘belaian dari perempuan’.
Giavanna ingin tertawa. Justin tidak membutuhkan perempuan, ia butuh belaian
lelaki! Dan sayangnya, Alex-lah menjadi pria yang membelai Justin selama ini.
Pria yang Giavanna puja-puja tiap kali pria itu masuk ke ruang kerjanya dan
menyapa Giavanna diselingi senyum manis. Giavanna menggeleng kepala. “Kau
dengar aku tidak?”
Kepala Giavanna langsung tergeleng.
“Tidak, tentu saja aku tidak menggoda pria seperti Justin! Tidak mungkin. Lagi
pula, aku bukan tipenya,” karena dia gay!
pikir Giavanna menahan tawa. Astaga, sulit dipercaya. Pria setampan Justin bisa
menyukai sesama jenis. Giavanna merasa mual. Morgan mengangkat bahu acuh tak
acuh. Selama Giavanna tidak berbohong padanya, Morgan akan percaya perempuan
itu. Mata biru Morgan melirik jam tangan yang ia pakai. Sudah jam 5, waktunya
ia pulang. Dengan segera Morgan merapikan berkas-berkas di atas mejanya dan
memasukkan barang yang ia bawa dari rumah ke dalam tas. Ia melihat Giavanna
kembali—yang sekarang sedang mengetik di komputer. Mungkin ia akan menunggu
Justin lagi. Ah, entah mengapa, Morgan merasa perempuan itu memiliki hubungan
spesial dengan atasannya yang gagah. Well, Morgan tidak begitu berani untuk
menebak hubungan apa yang mereka miliki.
Ia bangkit
dari kursi lalu menarik tasnya. “Giavanna? Aku pulang,” ucap Morgan berpamitan.
Giavanna hanya mengangguk satu kali, membiarkan Morgan pulang dengan damai dan
tenang.
Giavanna masih memiliki urusan dengan Justin. Ketika
Giavanna melirik ruangan Justin yang transparan itu, ia baru sadar kalau dari
tadi pria itu memerhatikannya. Tatapan Justin bukan tatapan dingin lagi.
Kekhawatiran penggantinya. Apa Giavanna begitu menakutinya? Sayangnya, memang
Giavanna menakutinya. Sangat.
***
“Tidak ada yang perlu kautakuti, Justin. Aku orang yang
memenuhi janjiku. Bahkan aku bukan berjanji lagi, tapi aku bersumpah. Rahasiamu
akan tersimpan baik,” ucap Giavanna meyakinkan Justin yang berada di
sebelahnya. Tidak
seperti hari-hari sebelumnya ketika mereka berada dalam mobil yang sama.
Giavanna tidak berani berbicara dengan Justin di dalam mobil. Setelah pertama
kali ia menaiki mobil bersama Justin, kesan pertamanya tidak begitu baik. Dan
Giavanna berniat tidak melakukan untuk yang kedua kalinya. Well, dulu memang ia
tak berniat berbicara dengan Justin. Tetapi hanya dengan beberapa foto di
ponselnya, ia mulai berani berbicara dengan Justin. Justin hanya terdiam tak
menanggapi ucapan perempuan gila di sampingnya.
Apa
yang akan kukatakan pada Alexander? pikir Justin khawatir. Bagaimana jika
Alexander memutuskannya hanya karena foto sialan yang dimiliki perempuan gila
ini? Alexander telah mengorbankan perasaannya demi kelancaran hubungan mereka.
Pria itu sangat mencintai Justin sampai-sampai Justin sendiri pun tak tega
untuk menamparnya. Kelakuan Alexander di rumah Justin dan di luar rumah sangat
berbeda. Di rumah Justin, biasanya pria itu mengikat rambutnya dan berjalan
seperti perempuan. Arthur bahkan kelihatan bingung mengapa Alexander berjalan
dengan tangan yang menggantung di pinggangnya seperti ibu-ibu di salon—Arthur
sering pergi ke salon agar rambutnya sehat, rapi dan terjaga. Justin tidak akan
pernah bisa melupakan pertemuan pertama mereka. Mata Justin terpejam mengingat
kembali pertemuan mereka.
2
tahun yang lalu, saat itu Justin benar-benar tidak tahu apa yang harus ia
lakukan saat badai musim salju di Kanada. Ia baru saja ditipu dan dipukul oleh
orang terdekatnya di depan sebuah rumah yang sudah pernah ia kunjungi. Entah
bagaimana orang itu bisa menjadi pengkhianat. Badai salju membuat orang-orang
tak berani keluar dari rumahnya sendiri. Mengintip jendela rumahnya saja mereka
tidak berani. Keadaan Justin sangat buruk. Ia melewati perumahan yang sudah
ditutupi salju. Ban mobil sudah tak kelihatan karena tertimbun oleh salju yang
dinginnya hampir mematikan. Wajah Justin yang putih berubah menjadi pucat
karena kedinginan. Bibirnya sudah berwarna kebiruan dan tubuhnya sudah mati
rasa. Ia hanya terus berjalan entah harus kemana. Orang yang mengkhianatinya
itu telah mengambil apa pun yang Justin miliki selain pakaian hangatnya. Justin
sudah tak berdaya. Ia hanya berharap keajaiban Tuhan datang menghampirinya.
Sudut bibirnya berdarah, begitupun matanya yang membiru akibat serangan
tiba-tiba. Untungnya Justin tidak pingsan dan dibiarkan di luar rumah. Ia bisa
mati sia-sia.
Tangan seseorang tiba-tiba saja
menyentuh pundaknya, membuat Justin dengan sigap menjauh dari pemilik tangan.
Ketika Justin membalikkan tubuhnya, matanya bertatapan dengan mata yang begitu
hangat sampai-sampai Justin merasa dirinya sedang dipeluk. Seorang pria
berambut gondrong itu memakai kupluk berwarna biru. Tanpa mengatakan apa pun, pria itu menarik tangan Justin
menuju sebuah rumah. Akhirnya, ada seseorang yang menolongnya. Justin dihujani
oleh rasa syukur saat pria itu mengajaknya masuk ke dalam rumahnya.
Penghangat ruangan belum
mampu membuat Justin hangat. Pria yang memiliki mata hangat itu membawanya
masuk lebih dalam lagi, membawanya ke perapian. Ah, akhirnya. Pria itu pergi
menghilang begitu saja sementara Justin memerhatikan rumah pria itu. Tidak
begitu mewah. Hanya rumah biasa kelas menengah,
yang pastinya bukan rumah idaman Justin. Justin tiba-tiba merindukan rumahnya
di Atlanta, betapa hangatnya rumah itu jika musim dingin—tanpa salju. Terutama
pada anaknya yang masih berumur 4 tahun. Pasti anaknya merindukan Justin. Justin
membuka jaket musim dinginnya lalu duduk di depan api yang menyala-nyala di
hadapannya. Justin tidak ingin berpikir tentang apa yang baru saja menimpa
dirinya, termasuk orang yang telah mengkhianatinya. Kedua telapak tangannya
saling menggosok satu sama lain, berusaha untuk menghangat dirinya. Atlanta tak
pernah sedingin ini. Sebuah selimut yang menutupi bahu Justin membuat Justin
terperanjat, terkejut. Justin menoleh ke belakang, namun ia hanya dapat melihat
punggung pria itu yang menghilang dari ruangan ini. Pria ini bukan pria kaya,
ia hanya pria biasa penggemar barang-barang klasik.
Tangan Justin menarik selimut itu
sampai seluruh tubuhnya tertutupi dengan baik. Suara langkahan kaki membuat
Justin kembali menoleh ke belakang. Pria bermata hangat itu muncul dengan
secangkir teh di tangannya.
“Minumlah,” bisik pria itu lembut.
Justin menerima teh itu tanpa memutuskan kontak matanya dengan pria ini. “Aku
melihatmu berjalan sendirian di tengah badai salju. Padahal pemerintah sudah
memperingati kalau badai salju bisa datang kapan saja, tapi kau malah berjalan
di tengah-tengah badai. Jika aku boleh tahu, apa gerangan terjadi?”
Justin meneguk tehnya, wajahnya
sangat muram. “Aku tidak begitu ingin membicarakannya. Omong-omong, terima
kasih atas bantuanmu. Aku sangat menghargainya,”
“Tentu saja, aku senang membantu
orang. Ada lain yang bisa kubantu?” Tanya pria itu ramah. Sangat ramah malah.
Justin memejamkan mata untuk mengumpulkan kekuatannya. Ia dapat merasakan
ketertarikan pria itu terhadapnya. Mata yang lembut itu menatapnya seperti Justin menatap pria yang ia sukai.
Dapat Justin simpulkan pria ini menyukainya. Lalu ia membuka matanya.
“Maukah kau memelukku
untuk memperhangat suhu tubuhku?” Tanya Justin,
ragu-ragu.
“Kamarku cukup hangat. Kau ingin
berbaring di sana sambil aku memelukmu?”
“Tentu saja.”
Dan pelukan itu masih dapat Justin
rasakan keesokan harinya sampai mereka menjalin hubungan. Pria pertama yang
membuat Justin merasa begitu …dicintai.
Justin menghela nafas panjang, ia
melihat Giavanna yang memerhatikannya. Perempuan sialan ini telah merusak
kehidupannya yang indah! Justin tentu tidak bisa memecat Giavanna begitu saja.
Foto-foto itu asli tanpa edit.
Orang-orang di luar sana pasti percaya. Dan perempuan-perempuan yang selama ini
dekat dengannya pasti merasa jijik karena Justin pernah mencium bibir mereka.
“Justin,” panggil Giavanna yang dari
tadi diam. Perempuan ini sadar kalau ucapannya tidak didengar oleh Justin, jadi
ia lebih memilih diam. Tetapi Justin sepertinya sudah tidak melamun lagi,
bahkan ia sudah menoleh. “Bagaimana rasanya …kau tahulah, berhubungan intim
dengan Alexander? Tidakkah aneh bagimu?” Tanya Giavanna dengan ekspresi wajah
jijik.
“Hubunganku
dan Alexander tidak berdasarkan nafsu. Aku mencintainya karena perhatiannya dan
pengorbanannya untukku. Kau tidak perlu tahu bagaimana rasanya, kau bukan pria.
Dan, aku masih bingung Giavanna, sungguh,” ujar Justin gemas. “Mengapa kau
tidak bisa tidak bertanya tentang masalah privasiku? Aku dan Alexander memang
sepasang kekasih, bukan berarti kau harus tahu apa yang kulakukan dengannya,”
lanjut Justin tanpa takut sopirnya mendengar. Tentu saja,
limosin yang panjang ini memiliki pembatas antara sopir dan penumpang. Dan
jelas sekali, sopirnya tidak bisa mendengar apa pun yang mereka bicarakan.
Giavanna mengedik bahu. “Aku hanya ingin tahu saja.
Kau sangat sensitif,” ucap Giavanna risih.
“Terserah
kau, Giavanna. Aku tidak ingin berbicara denganmu setelah apa yang kaulakukan
terhadap hubunganku dengan Alexander,”
“Aku
tahu, aku tahu. Kau pasti tidak tahu harus mengatakan apa pada Alexander,
bukan? Tenang, kau dan aku akan berlagak tidak ada yang terjadi. Anggap saja,
tidak ada foto-foto itu, mengerti? Kita bisa menjadi rekan kerja yang baik,
Justin. Ayolah, bersenang-senanglah sedikit bersamaku. Aku termasuk orang yang
menyenangkan,”
“Yah,
jika selera ‘menyenangkan’-mu itu rendah, maka bagimu memang menyenangkan. Kau
tahu apa? Aku tidak pernah memiliki menyenangkan bekerja sama denganmu. Entah
mengapa, kau sangat …sangat menyebalkan. Apa kau tahu kenapa itu bisa terjadi?”
Tanya Justin dengan ekspresi bingung. Bibirnya mengerucut ke samping sambil
mengangguk-angguk.
“Aku
juga tidak tahu. Mari kita mengingat kembali apa yang telah kau perbuat padaku
sehingga aku bisa bersikap begitu menyebalkan padamu,” ucap Giavanna bersikap
seperti orang berpikir. Kepalanya mendongak ke atas-samping, bibirnya
mengerucut dan matanya meliaht ke atas-kiri seolah-olah ia sedang memikirkan
jalan keluar dari masalah yang sangat sulit. “Pertama
kali aku bertemu denganmu, kau tidak membalas sapaan selamat pagi-ku. Kedua kau
biasa menyuruhku tanpa membuat kontak mata. Ketiga, kau selalu menyuruhku
sesuka hatimu—bahkan jika permintaanmu tidak masuk akal. Keempat, kau
menyuruhku untuk menjemput anakmu agar kau bisa memiliki waktu berduaan bersama
pacarmu yang tampan itu di kantor. Ya Tuhan, Justin, bahkan daftarnya tak ada
habisnya. Itu mungkin alasan mengapa aku bisa begitu menyebalkan,”
Justin memerhatikan mulut Giavanna
yang dari tadi mengoceh tanpa ia mendengarkan. Perempuan ini terlalu banyak
bicara sampai Justin merasa harus ada seseorang yang memasukkan batu besar ke
dalam mulutnya. Pria itu mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Giavanna.
Wajah mereka begitu dekat, hidung mereka hampir bersentuhan dan mata Justin
terpejam. Mulut pria itu terbuka.
“Kau sudah selesai?” bisik Justin
bertanya. Justin membuka matanya. Kedua mata itu saling beradu tatap. Mata
Giavanna menyipit, tanda ia kesal dengan respon Justin.
“Ya,” balas Giavanna berbisik. “Gay.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar