Jumat, 20 Juni 2014

Perfect Time Bab 4

            Giavanna tidak menjawab Justin. Keheningan di antara mereka membuat suasana semakin mencekam, hanya bagi Justin. Bagaimana perempuan itu mendapatkan foto yang ada di hadapannya sekarang? Kaki panjang Giavanna berada di atas meja kerjanya, seolah-olah dialah bos di perusahaan ini. Justin tahu, saat Giavanna memperlihatkan foto itu, dunia Justin akan segera hancur. Sudah bertahun-tahun Justin menutupi hubungan tak normalnya ini pada siapa pun. Semenjak ayahnya meninggal, Justin merasa lebih bebas karena ia dapat berpacaran dengan seorang pria. Mengingat betapa kerasnya kedispilinan yang ayahnya terapkan membuat Justin merasa terkekang. Terlebih lagi ketika ayahnya mulai memukul Justin membuat ia membenci ayahnya sendiri. Berpacaran dengan seorang pria membuat Justin merasakan betapa indahnya hidup. Terlebih lagi, hubungannya dengan seorang pria membuat Justin merasa lebih hidup dibanding kehidupan sebeulmnya. Dan selama bertahun-tahun, hubungannya dengan pria baik-baik saja. Bahkan hubungannya dengan Alexander sudah berjalan selama dua tahun. Namun jika foto di hadapannya tersebar di Internet, Justin tahu reputasinya akan hancur begitu saja.
            Ini bukanlah salah Alexander. Justru Alexander-lah yang meminta Justin untuk berdekatan dengan perempuan-perempuan di luar sana agar hubungan mereka tak begitu mencolok. Pria itu tersakiti demi kebaikan Justin sendiri. Tetapi usaha kekasihnya sia-sia begitu saja saat perempuan bernama Giavanna, yang entah bagaimana, bisa mendapatkan foto ciuman mereka. Kecerobohan mereka di trotoar kemarin menghasilkan iblis licik yang sekarang duduk di kursi kerjanya. Giavanna menekan sebuah tombol remote hingga dinding yang buram berubah menjadi warna abu-abu. Dinding ini jarang Justin ubah menjadi abu-abu karena ia tidak begitu menyukai suasananya. Sekarang, dinding itu memisahkan mereka dari dunia luar. Giavanna lalu menyodorkan ponselnya pada Justin, memaksa pria itu untuk memegang ponselnya.
            “Lihatlah,” ucap Giavanna ketika Justin telah meraih ponselnya. Pria itu langsung melihat foto-fotonya yang lain bersama Alexander. Astaga, Giavanna mengambil foto ini dari mereka berpelukan hingga mereka berciuman dan berpisah. Bagaimana Giavanna bisa mendapatkannya? Apa perempuan itu membututinya kemarin? Dengan cepat Justin menghapus satu per satu foto itu. Saat ia mengecek kembali galeri foto itu, sudah tidak ada fotonya dengan Alexander. Detik berikutnya, Justin melempar ponsel itu ke atas mejanya. Kedua alis Giavanna terangkat.
            “Sudah selesai menghapus fotonya?” Tanya Giavanna malah senang. Perempuan itu tertawa lepas hingga kedua tangannya memeluk perut. “Aku tidak sebodoh yang kaupikir, Justin Richardson yang licik! Aku sudah memindahkan seluruh foto itu ke dalam laptop temanku dan mengunci berkasnya. Jadi tenang, saat ini hanya aku yang mengetahui hubunganmu dengan Mr.Alexander,” ucap Giavanna sedikit patah hati. Harapannya bersama dengan Alexander sirna sudah semenjak ia melihat Justin berciuman dengannya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, Giavanna tidak bisa lebih memilih memiliki Alexander dibanding kesempatan menyiksa Justin. Kelebihan menyiksa Justin begitu banyak, setelah Giavanna hitung-hitung tadi malam. Ia bisa memeras Justin, mengancamnya jika Justin berusaha bersikap jahat padanya, atau mungkin Giavanna bisa memiliki kehidupan yang lebih baik dari kehidupan sebelumnya.
            “Aku tidak percaya bawahanku memerasku seperti ini,” ucap Justin membuang wajahnya. Giavanna terkejut atas ucapan Justin, tetapi sunggingan senyum mengejek membuat seluruh tubuh Justin merinding. Agaknya Giavanna kelupaan akan sesuatu. Ia merogoh kantong kemeja putihnya lalu mengambil sesuatu yang kecil dari sana.
            “Oh, hampir lupa, aku juga memindahkannya ke flashdisk ini. Kau mau lihat dan menghapusnya? Silakan. Nah, besok kau akan ditertawakan oleh seluruh pegawaimu sendiri. Dan media di luar sana mungkin akan mendapatkan kenaikkan gaji,” jelas Giavanna menurunkan kakinya dari meja. Perempuan itu memakai rok selutut berwarna hitam, dan jelas saja pahanya terlihat ketika kakinya bersandar di atas meja. Perempuan itu tidak perlu berpikir dua kali, Giavanna tidak perlu malu-malu memperlihatkan seluruh tubuhnya pada Justin. Pria itu gay! Penyuka sesama pria dan tidak mungkin bergairah jika melihat Giavanna telanjang. Giavanna melangkahkan kakinya menuju Justin. Tangan Giavanna menyentuh leher Justin lalu ia berjalan mengitari tubuh Justin, seperti penggoda. Bedanya, Giavanna tahu pria ini tidak akan menyukainya atau pun bergairah. Setelah itu Giavanna berhenti di belakang tubuh Justin, ia memeluk Justin dari belakang. Sepatu tumit tingginya begitu membantu sehingga Giavanna dapat menyandarkan dagunya di atas bahu Justin. Tubuh Justin menegang tiap kali tangan Giavanna menyentuh tubuhnya. Mungkin memang ia sering berjalan dengan perempuan di luar dan sering berciuman dengan mereka, tetapi Justin tidak pernah bergairah pada seorang perempuan. Hanya Alexander dan kaumnya sendiri.
            Alasan mengapa Justin meminta Andrew Garfield menjadi bintang iklannya karena pria itu sangat seksi! Well, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk memikirkan aktor seksi itu. Sekarang satu tangannya sedang berusaha menahan tubuhnya di ujung tebing agar tidak terjatuh, hanya ada dua pilihan. Kaki Giavanna menginjak tangannya atau tangan Giavanna menarik tangannya ke atas. Giavanna mengembuskan nafas panjang.
            “Yang kuinginkan, hormati aku sebagai bawahanmu, sayang. Itu yang pertama. Kedua, aku ingin kau menaikkan gajiku. Ketiga, kumohon jangan berikan aku pekerjaan yang berat seperti sebelum-sebelumnya. Keempat, aku ingin bertemu Arthur hari ini,” ucap Giavanna tersenyum. Justin mendesah pasrah. “Untuk saat ini, hanya itu yang kuinginkan. Dan apabila kau bisa memenuhinya, aku bersumpah tidak akan menyebarkan foto-foto itu di Internet. Jadi, apa kau bisa memenuhinya, Mr.Richardson?”
            Justin merasa begitu terhina. Harga dirinya terinjak-injak. Bisa-bisanya ia diperas oleh seorang perempuan licik seperti Giavanna! Seharusnya Giavanna takut pada dirinya, bukan ia yang takut pada ancaman Giavanna. Tetapi foto itu memang nyata. Justin juga tidak ingin merusak reputasi Alexander yang dikenal sebagai gentleman  di luar sana. Ini demi kebaikan mereka berdua.
            “Ya,” bisik Justin memejamkan mata. Demi Alexander. Pujaan hatinya. Saat itu juga Giavanna melangkah mundur menjauhi Justin. “Tapi sebelum itu, aku ingin kau terus berada di sisiku saat jam kerja agar aku bisa memastikan apa kau benar-benar memegang ucapanmu. Dan meminimalisir penggunaanmu terhadap Internet.”
            “Tidak masalah. Aku bisa berada di sisimu 24/7 jika kau mau. Hanya jam kerja, bukan? Tentu saja. Baiklah, terima kasih Justin atas kerjasamanya,” ucap Giavanna merapikan pakaiannya. Pintu ruangan Justin terbuka begitu saja, memperlihatkan kepala Morgan yang masuk lebih dulu ke dalam ruangan. Dapat terlihat Morgan terkejut akan apa yang ia lihat. Giavanna merapikan pakaiannya dan Justin sedang mengelap keringatnya dengan sapu tangan. Apa Justin baru saja digoda oleh Giavanna? Atau mereka baru melakukan suatu yang tidak pernah Morgan bayangkan? Justin menatap Morgan lalu Giavanna, kembali lagi pada Morgan lalu Giavanna. Seperti itu terus menerus sampai akhirnya Justin menarik nafasnya dalam-dalam.
            “Bisakah kalian keluar dari ruanganku sekarang juga?” Tanya Justin tegas. Morgan langsung melenyapkan tubuhnya di balik pintu sementara Giavanna berlari kecil menuju pintu. Sebelum benar-benar keluar, ia menatap mata Justin lalu mengedip sebelah matanya. Sekujur tubuh Justin merinding. Pintunya telah tertutup. Kepala Justin pening setelah ia benar-benar menyadari bahwa perempuan yang baru saja mengedipkan sebelah matanya itu mengetahui hubungannya dengan Alexander. Apa yang harus ia katakan pada Alexander? Kemarin mereka bertengkar karena Justin tidak bisa memenuhi janjinya pada Alexander. Dan sekarang, masalah baru datang. Bagaimana bisa?
            Jika Giavanna sudah mengetahui rahasia Justin, itu berarti Justin harus mengetahui rahasia terkelam Giavanna. Well, mungkin sedikit pendekatan mengenai kehidupan pribadi Giavanna akan menarik. Mata Justin jatuh pada ponsel Giavanna yang masih berada di atas meja kerjanya. Senyumnya yang menawan muncul menghiasi wajahnya. Jadi, rahasia apa yang disimpan oleh seorang Giavanna?

***

            Seharian ini Giavanna tidak pergi keluar, ia mengerjakan tugasnya seperti biasa. Bedanya, kali ini ia tidak disuruh untuk membeli makan siang atau membeli barang-barang tak penting bagi Justin. Ternyata ancaman itu memiliki dampak yang baik bagi Giavanna. Dan yah, berada di sisi Justin setiap jam kerja—bila Justin keluar dari kantor untuk melakukan pertemuan dengan klien—membuat Giavanna tersenyum jahat. Seorang pemilik perusahaan RCS Advertisement memintanya untuk berada di sisinya selama jam kerja? Betapa bodohnya dia. Justru dengan kebersamaan mereka yang akan terlalu sering akan menjadi keuntungan besar bagi Giavanna untuk mengetahui lebih dalam hubungan atasannya dengan …mantan pujaan hatinya. Giavanna baik-baik saja mengetahui Justin Richardson adalah seorang gay, tetapi Alexander? Pria berwajah tampan, berandalan terhormat, dan ramah adalah seorang penyuka sesama jenis? Mengapa dunia ini tidak adil? Giavanna menghela nafas panjang. Setidaknya Justin akan memberikan tugas-tugas normal, seperti yang Morgan dapatkan tiap harinya. Morgan tampak tidak kesulitan dengan tugas-tugas yang Justin berikan. Tentu saja, pekerjaannya hanya berada di gedung ini seharian.
            Sementara Giavanna. Ia harus keluar gedung mencari apa pun yang Justin butuhkan. Bahkan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan pun Justin berikan pada perempuan itu. Tetapi rencana jahatnya sudah berjalan lancar sejauh ini. Pria itu tunduk di hadapannya. Bergetar seperti kucing bertemu anjing saat tangan Giavanna menyentuh leher pria itu. Seharusnya Giavanna sudah menduganya sejak Arthur menceritakan tentang betapa seringnya Alexander datang ke rumahnya, menemaninya tidur siang dan menjemputnya dari sekolah. Ternyata hubungan yang diakui sebagai persahabatan itu hanya dusta belaka. Sempat Giavanna berpikir bagaimana Arthur bisa lahir ke dunia jika dari salah satu orangtuanya tidak ada yang berjenis kelamin perempuan? Kemudian ketidakmiripan antara Justin-Arthur-Alexander membuat Giavanna berasumsi bahwa anak itu diangkat dari panti asuhan. Mustahil ketika tongkat melawan tongkat menghasilkan seorang bayi. Giavanna bergidik ketika ia mulai berimajinasi bagaimana mereka berhubungan badan. Cepat-cepat Giavanna membuang pikiran itu. Ia tidak ingin mengotori meja kerjanya dengan muntahan.
            Sialan. Begitu banyak rahasia yang Giavanna dapatkan sekarang dari balik kelicikan atasannya. Kembali perempuan itu tersenyum puas di tempatnya. Morgan yang sedang membenarkan riasan wajahnya melirik Giavanna. Mengingat kejadian tadi pagi, Morgan berhenti merapikan riasan lalu berdeham.
            “Aku ingin tahu apa yang kaulakukan dengan Justin di ruangannya tadi pagi. Dan alasan mengapa kau tersenyum-senyum seperti orang… sinting,” Morgan menatap Giavanna dari seberang dengan tatapan menyelidik. Alis tebal Giavanna terangkat lalu ia menggeleng kepala.
            “Tidak ada. Hanya… masalah pekerjaan. Memang apa yang kaupikirkan?”
            “Well, kau tahulah, Justin tampaknya butuh belaian dari perempuan. Dan…” suara perempuan itu lenyap dari pendengaran Giavanna ketika perempuan itu mengucapkan kalimat ‘belaian dari perempuan’. Giavanna ingin tertawa. Justin tidak membutuhkan perempuan, ia butuh belaian lelaki! Dan sayangnya, Alex-lah menjadi pria yang membelai Justin selama ini. Pria yang Giavanna puja-puja tiap kali pria itu masuk ke ruang kerjanya dan menyapa Giavanna diselingi senyum manis. Giavanna menggeleng kepala. “Kau dengar aku tidak?”
            Kepala Giavanna langsung tergeleng. “Tidak, tentu saja aku tidak menggoda pria seperti Justin! Tidak mungkin. Lagi pula, aku bukan tipenya,” karena dia gay! pikir Giavanna menahan tawa. Astaga, sulit dipercaya. Pria setampan Justin bisa menyukai sesama jenis. Giavanna merasa mual. Morgan mengangkat bahu acuh tak acuh. Selama Giavanna tidak berbohong padanya, Morgan akan percaya perempuan itu. Mata biru Morgan melirik jam tangan yang ia pakai. Sudah jam 5, waktunya ia pulang. Dengan segera Morgan merapikan berkas-berkas di atas mejanya dan memasukkan barang yang ia bawa dari rumah ke dalam tas. Ia melihat Giavanna kembali—yang sekarang sedang mengetik di komputer. Mungkin ia akan menunggu Justin lagi. Ah, entah mengapa, Morgan merasa perempuan itu memiliki hubungan spesial dengan atasannya yang gagah. Well, Morgan tidak begitu berani untuk menebak hubungan apa yang mereka miliki.
            Ia bangkit dari kursi lalu menarik tasnya. “Giavanna? Aku pulang,” ucap Morgan berpamitan. Giavanna hanya mengangguk satu kali, membiarkan Morgan pulang dengan damai dan tenang.
            Giavanna masih memiliki urusan dengan Justin. Ketika Giavanna melirik ruangan Justin yang transparan itu, ia baru sadar kalau dari tadi pria itu memerhatikannya. Tatapan Justin bukan tatapan dingin lagi. Kekhawatiran penggantinya. Apa Giavanna begitu menakutinya? Sayangnya, memang Giavanna menakutinya. Sangat.

***

           
            “Tidak ada yang perlu kautakuti, Justin. Aku orang yang memenuhi janjiku. Bahkan aku bukan berjanji lagi, tapi aku bersumpah. Rahasiamu akan tersimpan baik,” ucap Giavanna meyakinkan Justin yang berada di sebelahnya. Tidak seperti hari-hari sebelumnya ketika mereka berada dalam mobil yang sama. Giavanna tidak berani berbicara dengan Justin di dalam mobil. Setelah pertama kali ia menaiki mobil bersama Justin, kesan pertamanya tidak begitu baik. Dan Giavanna berniat tidak melakukan untuk yang kedua kalinya. Well, dulu memang ia tak berniat berbicara dengan Justin. Tetapi hanya dengan beberapa foto di ponselnya, ia mulai berani berbicara dengan Justin. Justin hanya terdiam tak menanggapi ucapan perempuan gila di sampingnya.
            Apa yang akan kukatakan pada Alexander? pikir Justin khawatir. Bagaimana jika Alexander memutuskannya hanya karena foto sialan yang dimiliki perempuan gila ini? Alexander telah mengorbankan perasaannya demi kelancaran hubungan mereka. Pria itu sangat mencintai Justin sampai-sampai Justin sendiri pun tak tega untuk menamparnya. Kelakuan Alexander di rumah Justin dan di luar rumah sangat berbeda. Di rumah Justin, biasanya pria itu mengikat rambutnya dan berjalan seperti perempuan. Arthur bahkan kelihatan bingung mengapa Alexander berjalan dengan tangan yang menggantung di pinggangnya seperti ibu-ibu di salon—Arthur sering pergi ke salon agar rambutnya sehat, rapi dan terjaga. Justin tidak akan pernah bisa melupakan pertemuan pertama mereka. Mata Justin terpejam mengingat kembali pertemuan mereka.
            2 tahun yang lalu, saat itu Justin benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat badai musim salju di Kanada. Ia baru saja ditipu dan dipukul oleh orang terdekatnya di depan sebuah rumah yang sudah pernah ia kunjungi. Entah bagaimana orang itu bisa menjadi pengkhianat. Badai salju membuat orang-orang tak berani keluar dari rumahnya sendiri. Mengintip jendela rumahnya saja mereka tidak berani. Keadaan Justin sangat buruk. Ia melewati perumahan yang sudah ditutupi salju. Ban mobil sudah tak kelihatan karena tertimbun oleh salju yang dinginnya hampir mematikan. Wajah Justin yang putih berubah menjadi pucat karena kedinginan. Bibirnya sudah berwarna kebiruan dan tubuhnya sudah mati rasa. Ia hanya terus berjalan entah harus kemana. Orang yang mengkhianatinya itu telah mengambil apa pun yang Justin miliki selain pakaian hangatnya. Justin sudah tak berdaya. Ia hanya berharap keajaiban Tuhan datang menghampirinya. Sudut bibirnya berdarah, begitupun matanya yang membiru akibat serangan tiba-tiba. Untungnya Justin tidak pingsan dan dibiarkan di luar rumah. Ia bisa mati sia-sia.
            Tangan seseorang tiba-tiba saja menyentuh pundaknya, membuat Justin dengan sigap menjauh dari pemilik tangan. Ketika Justin membalikkan tubuhnya, matanya bertatapan dengan mata yang begitu hangat sampai-sampai Justin merasa dirinya sedang dipeluk. Seorang pria berambut gondrong itu memakai kupluk berwarna biru. Tanpa mengatakan apa pun, pria itu menarik tangan Justin menuju sebuah rumah. Akhirnya, ada seseorang yang menolongnya. Justin dihujani oleh rasa syukur saat pria itu mengajaknya masuk ke dalam rumahnya.
            Penghangat ruangan belum mampu membuat Justin hangat. Pria yang memiliki mata hangat itu membawanya masuk lebih dalam lagi, membawanya ke perapian. Ah, akhirnya. Pria itu pergi menghilang begitu saja sementara Justin memerhatikan rumah pria itu. Tidak begitu mewah. Hanya rumah biasa kelas menengah, yang pastinya bukan rumah idaman Justin. Justin tiba-tiba merindukan rumahnya di Atlanta, betapa hangatnya rumah itu jika musim dingin—tanpa salju. Terutama pada anaknya yang masih berumur 4 tahun. Pasti anaknya merindukan Justin. Justin membuka jaket musim dinginnya lalu duduk di depan api yang menyala-nyala di hadapannya. Justin tidak ingin berpikir tentang apa yang baru saja menimpa dirinya, termasuk orang yang telah mengkhianatinya. Kedua telapak tangannya saling menggosok satu sama lain, berusaha untuk menghangat dirinya. Atlanta tak pernah sedingin ini. Sebuah selimut yang menutupi bahu Justin membuat Justin terperanjat, terkejut. Justin menoleh ke belakang, namun ia hanya dapat melihat punggung pria itu yang menghilang dari ruangan ini. Pria ini bukan pria kaya, ia hanya pria biasa penggemar barang-barang klasik.
            Tangan Justin menarik selimut itu sampai seluruh tubuhnya tertutupi dengan baik. Suara langkahan kaki membuat Justin kembali menoleh ke belakang. Pria bermata hangat itu muncul dengan secangkir teh di tangannya.
            “Minumlah,” bisik pria itu lembut. Justin menerima teh itu tanpa memutuskan kontak matanya dengan pria ini. “Aku melihatmu berjalan sendirian di tengah badai salju. Padahal pemerintah sudah memperingati kalau badai salju bisa datang kapan saja, tapi kau malah berjalan di tengah-tengah badai. Jika aku boleh tahu, apa gerangan terjadi?”
            Justin meneguk tehnya, wajahnya sangat muram. “Aku tidak begitu ingin membicarakannya. Omong-omong, terima kasih atas bantuanmu. Aku sangat menghargainya,”
            “Tentu saja, aku senang membantu orang. Ada lain yang bisa kubantu?” Tanya pria itu ramah. Sangat ramah malah. Justin memejamkan mata untuk mengumpulkan kekuatannya. Ia dapat merasakan ketertarikan pria itu terhadapnya. Mata yang lembut itu menatapnya seperti Justin menatap pria yang ia sukai. Dapat Justin simpulkan pria ini menyukainya. Lalu ia membuka matanya.
            “Maukah kau memelukku untuk memperhangat suhu tubuhku?” Tanya Justin, ragu-ragu.
            “Kamarku cukup hangat. Kau ingin berbaring di sana sambil aku memelukmu?”
            “Tentu saja.”
            Dan pelukan itu masih dapat Justin rasakan keesokan harinya sampai mereka menjalin hubungan. Pria pertama yang membuat Justin merasa begitu …dicintai.
            Justin menghela nafas panjang, ia melihat Giavanna yang memerhatikannya. Perempuan sialan ini telah merusak kehidupannya yang indah! Justin tentu tidak bisa memecat Giavanna begitu saja. Foto-foto itu asli tanpa edit. Orang-orang di luar sana pasti percaya. Dan perempuan-perempuan yang selama ini dekat dengannya pasti merasa jijik karena Justin pernah mencium bibir mereka.
            “Justin,” panggil Giavanna yang dari tadi diam. Perempuan ini sadar kalau ucapannya tidak didengar oleh Justin, jadi ia lebih memilih diam. Tetapi Justin sepertinya sudah tidak melamun lagi, bahkan ia sudah menoleh. “Bagaimana rasanya …kau tahulah, berhubungan intim dengan Alexander? Tidakkah aneh bagimu?” Tanya Giavanna dengan ekspresi wajah jijik.
            “Hubunganku dan Alexander tidak berdasarkan nafsu. Aku mencintainya karena perhatiannya dan pengorbanannya untukku. Kau tidak perlu tahu bagaimana rasanya, kau bukan pria. Dan, aku masih bingung Giavanna, sungguh,” ujar Justin gemas. “Mengapa kau tidak bisa tidak bertanya tentang masalah privasiku? Aku dan Alexander memang sepasang kekasih, bukan berarti kau harus tahu apa yang kulakukan dengannya,” lanjut Justin tanpa takut sopirnya mendengar. Tentu saja, limosin yang panjang ini memiliki pembatas antara sopir dan penumpang. Dan jelas sekali, sopirnya tidak bisa mendengar apa pun yang mereka bicarakan.
            Giavanna mengedik bahu. “Aku hanya ingin tahu saja. Kau sangat sensitif,” ucap Giavanna risih.
            “Terserah kau, Giavanna. Aku tidak ingin berbicara denganmu setelah apa yang kaulakukan terhadap hubunganku dengan Alexander,”
            “Aku tahu, aku tahu. Kau pasti tidak tahu harus mengatakan apa pada Alexander, bukan? Tenang, kau dan aku akan berlagak tidak ada yang terjadi. Anggap saja, tidak ada foto-foto itu, mengerti? Kita bisa menjadi rekan kerja yang baik, Justin. Ayolah, bersenang-senanglah sedikit bersamaku. Aku termasuk orang yang menyenangkan,”
            “Yah, jika selera ‘menyenangkan’-mu itu rendah, maka bagimu memang menyenangkan. Kau tahu apa? Aku tidak pernah memiliki menyenangkan bekerja sama denganmu. Entah mengapa, kau sangat …sangat menyebalkan. Apa kau tahu kenapa itu bisa terjadi?” Tanya Justin dengan ekspresi bingung. Bibirnya mengerucut ke samping sambil mengangguk-angguk.
            “Aku juga tidak tahu. Mari kita mengingat kembali apa yang telah kau perbuat padaku sehingga aku bisa bersikap begitu menyebalkan padamu,” ucap Giavanna bersikap seperti orang berpikir. Kepalanya mendongak ke atas-samping, bibirnya mengerucut dan matanya meliaht ke atas-kiri seolah-olah ia sedang memikirkan jalan keluar dari masalah yang sangat sulit. “Pertama kali aku bertemu denganmu, kau tidak membalas sapaan selamat pagi-ku. Kedua kau biasa menyuruhku tanpa membuat kontak mata. Ketiga, kau selalu menyuruhku sesuka hatimu—bahkan jika permintaanmu tidak masuk akal. Keempat, kau menyuruhku untuk menjemput anakmu agar kau bisa memiliki waktu berduaan bersama pacarmu yang tampan itu di kantor. Ya Tuhan, Justin, bahkan daftarnya tak ada habisnya. Itu mungkin alasan mengapa aku bisa begitu menyebalkan,”
            Justin memerhatikan mulut Giavanna yang dari tadi mengoceh tanpa ia mendengarkan. Perempuan ini terlalu banyak bicara sampai Justin merasa harus ada seseorang yang memasukkan batu besar ke dalam mulutnya. Pria itu mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Giavanna. Wajah mereka begitu dekat, hidung mereka hampir bersentuhan dan mata Justin terpejam. Mulut pria itu terbuka.
            “Kau sudah selesai?” bisik Justin bertanya. Justin membuka matanya. Kedua mata itu saling beradu tatap. Mata Giavanna menyipit, tanda ia kesal dengan respon Justin.

            “Ya,” balas Giavanna berbisik. “Gay.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar