Justin
hanya memberikan waktu 10 menit bagi Giavanna untuk bertemu dengan anaknya yang
sakit. Arthur tampak senang akan kedatangan Giavanna karena sudah beberapa hari
mereka tidak bertemu dan Arthur beberapa kali menanyakan keberadaan Giavanna.
Giavanna duduk di sisi tempat tidur, berbicara dengan Arthur bagaimana Arthur
bisa tahan di rumah. Pertanyaan itu jelas pertanyaan tertolol yang pernah
Justin dengar sebelumnya. Pria itu memerhatikan pertemuan Arthur dan Giavanna,
berjaga-jaga agar Giavanna tidak memberikan pertanyaan mengenai kehidupan
asmara Justin dan Alexander yang Arthur tidak ketahui sebelumnya. Tidak, jangan sampai aku mengingatnya
kembali, Justin memperingati dirinya. Kedatangan Giavanna di perusahaan
memang membuat Justin jengkel, apalagi sikapnya yang lancang jika berbicara
dengan Justin .
Dari
mulut pintu, Justin dapat melihat Giavanna yang mengaitkan jari kelingkingnya
dengan jari kelingking Arthur. Perjanjian apa yang mereka buat? Tidak, tidak.
Giavanna dan Arthur tidak boleh lagi jalan bersama. Anak itu memiliki mulut
yang cerewet seperti Giavanna, tidak pernah bisa diam dan terlalu jujur. Justin
memutar kepalanya ke belakang ketika telinganya mendengar suara langkahan kaki.
Alexander. Justin mengumpat dalam
hati. Kakinya langsung melangkah dari mulut pintu menuju tangga—mereka sedang
berada di lantai dua. Giavanna yang mendengar langkahan kaki menjauh itu
menoleh ke belakang dan tidak mendapati Justin di tempat. Kesempatan berhargaku! seru Giavanna kegirangan. Giavanna
mengeluarkan ponselnya—yang tadi siang berada di tangan Justin dan Giavanna
berpikir Justin telah melihat-lihat isi ponselnya— lalu mencari aplikasi untuk
merekam suara. Ia langsung menyalakan rekam suara di ponselnya lalu membuka
mulut.
“Arthur,
aku ingin bertanya,” ucap Giavanna berhati-hati. Arthur mengangguk-angguk,
tanda ia setuju. “Apa yang biasa daddy Alexander lakukan di rumah?” Tanya
Giavanna, kemudian tersenyum. Arthur menghela nafas panjang. Akhir-akhir ini
Alexander tidak datang ke rumahnya, membuat Arthur kesepian karena tidak ada
yang menemaninya di rumah selain pelayan yang membosankan.
“Bermain
denganku, membuatkanku makanan. Aku sering pergi ke salon bersamanya. Salonnya
dekat dari sini. Ayo, sentuh rambutku,” ujar Arthur menarik tangan Giavanna ke
arah rambutnya lalu Arthur menggoyang-goyangkan lengan itu agar tangan Giavanna
dapat mengelus kepalanya yang berambut halus. “Halus, bukan? Daddy Alex bilang
kita harus sering-sering menjaga rambut kita agar tetap sehat. Tapi, aku tidak
mau memiliki rambut seperti daddy Alex,”
“Memangnya
kenapa?” Tanya Giavanna menelengkan kepalanya ke samping, tangannya sudah ia
tarik dari kepala Arthur. Arthur mengedik bahu, mulutnya mengerucut tak suka.
“Seperti
perempuan, kau tahu. Aku tidak mau rambutku sepertimu. Panjang seperti itu.
Dan, aku tidak mengerti mengapa rambut daddy Alex bisa diikat. Tidakkah itu
bisa merusak rambutnya? Bagaimana jika rambutnya patah?”
“Patah?” Giavanna tertawa terbahak-bahak
mendengar pemilihan kata Arthur yang salah. Rambut tidak patah, tetapi rontok.
Arthur tidak mengerti mengapa Giavanna tertawa, tetapi karena menurut Giavanna
lucu, Arthur ikut tertawa seperti anak gila. Kemudian mereka berhenti
bersamaan.
“Dan
apa lagi yang ia lakukan di sini?” Tanya Giavanna.
“Jadi,
biasanya aku dikeloni daddy Alex. Dan aku tertidur. Kadang, aku terbangun dan
daddy Alex sudah tidak ada di sebelahku lagi. Saat aku keluar dari kamar untuk
mencarinya, aku selalu menemukannya di kamar daddy Justin. Aku penasaran apa
yang mereka lakukan. Karena mereka pasti selalu terkejut jika tiba-tiba aku
membuka pintu,” ucap Arthur bercerita, ia mengedik bahunya kembali seolah-olah ia
tak begitu peduli dengan apa yang dua orang itu lakukan di kamar. Giavanna
tertawa dalam hati. Ya Tuhan, mereka berdua sungguh gay. Sangat disayangkan,
salah satu orang yang melakukan itu adalah pria yang ia sukai. Tetapi, tak
apalah, masih banyak pria di luar sana yang mungkin hampir sama sepertinya.
Giavanna lalu mematikan rekaman suara di ponselnya dan menyimpannya baik-baik.
Tepat saat Giavanna menyimpan ponselnya ke dalam tas, Justin muncul.
“Kurasa
sudah lebih dari 10 menit,” suara dingin itu kembali terdengar di telinga
Justin. Giavanna menoleh melihat Justin lalu tersenyum manis. Jari telunjuknya
ia acungkan ke atas, tanda ia minta waktu satu menit lagi. Giavanna
membungkukkan tubuhnya agar bibirnya dapat mencapai telinga Arthur lalu ia
berbisik. Beberapa detik kemudian, Giavanna mengangkat kepalanya.
“Mengerti?”
Tanya Giavanna mengangkat jempolnya.
“Oke!”seru
Arthur ikut mengangkat jempol. Justin memutar bola matanya melihat Giavanna
yang konyol. Ah, apa yang mereka bicarakan? Justin sempat meninggalkan Giavanna
sebentar dan pastinya, Justin tidak mendengar percakapan mereka berdua. Bisa
saja Giavanna mempertanyakan tentang Alexander dan dirinya selama di rumah.
Sungguh sial.
“Cepatlah,
waktumu sudah lebih dari10 menit,” ujar Justin tidak suka. Giavanna
mengelus rambut Arthur yang halus lalu bangkit dari tempat tidur. Justin
melihat pemandangan itu dengan tatapan tak suka. Apa-apaan, Justin mengumpat. “Ya, mungkin kita akan mencuci
rambutmu lagi, Arthur,” ucap Justin sarkastis. Giavanna berjalan menuju Justin
yang tangannya sudah menyentuh gagang pintu kamar. Cepat-cepat Giavanna melangkah
keluar dari kamar Arthur, ia melewati Justin. Tubuh mereka begitu berdekatan,
hampir saling menyentuh. Mata cokelat Justin menatap Giavanna sedingin es, berbanding
terbalik dengan Giavanna yang menatap Justin menggoda. Ia memberikan senyum
terbaiknya pada pemilik RCS Advertisement, diam-diam menyimpan rahasia
memalukan atasannya. Justin segera menutup pintu kamar Arthur. Matanya
mengikuti langkah kaki Giavanna menuju tangga lalu naik ke atas untuk melihat
pemilik kaki itu. Giavanna tersenyum lalu melambaikan tangannya seperti gadis
genit lalu ia menghilang dari pandangan Justin.
Sekarang,
ia harus menghadapi monster di kamarnya.
***
Giavanna
kembali mendengar hasil rekamannya di kamar. Ia terus tertawa terbahak-bahak
saat ia membayangkan apa yang Justin dan Alexander lakukan di kamar! Demi
Tuhan, pasti mereka sedang bercumbu atau akan melakukan sesuatu yang lebih.
Tubuh Giavanna menggigil jijik membayangkannya. Menurut apa yang ia dengar dari
Arthur, sumber utamanya, Alexander-lah yang menjadi perempuan dalam hubungan
homonya. Aku penasaran apa yang mereka
lakukan. Karena mereka pasti selalu terkejut jika tiba-tiba aku membuka pintu,ucap
Arthur dalam rekamannya. Giavanna berguling-guling di atas tempat tidurnya
sambil tertawa seperti orang gila. Ya Tuhan, hidupnya tak pernah sebahagia ini.
Setelah mengingat apa yang dilakukan Justin Richardson terhadapnya, akhirnya,
Giavanna dapat menaklukannya.
Meski
tidak ada yang menobatkan Giavanna sebagai asisten kedua yang bertahan di
perusahaan, Giavanna tahu bagaimana rasanya menjadi asisten yang bertahan.
Giavanna tak takut pada apa pun, termasuk Justin Richardson. Baiklah, mungkin
pada awalnya Giavanna sedikit takut—itupun karena takut dipecat. Pintu kamarnya
yang terketuk mengejutkan Giavanna. Segera ia mematikan rekaman pengakuan
Arthur, ia langsung melangkah keluar dari tempat tidur.
“Makanan
sudah siap!” Teriak Hailey yang sepertinya menjauh dari kamar Giavanna.
Giavanna membuka pintu lalu keluar dari kamarnya. “Mengapa kau tertawa-tawa
seperti orang gila di kamar?” Tanya Hailey dari dapur. Giavanna terkekeh pelan
mendengar pertanyaan itu. Ya, dia gila karena ia terlalu senang. Hari ini mungkin
adalah hari terbaik yang pernah ia miliki. Bayangkan saja. Semua orang takut
terhadap Justin Richardson, bahkan tidak ada yang berani membuat kontak mata
dengannya. Tetapi, hanya dengan mengetahui rahasia yang terbuka di depan umum,
Giavanna dapat membuat Justin Richardson takut padanya. Bagaimana bisa itu
tidak dikatakan keren? Kaki Giavanna berhenti di depan meja makannya lalu
mengambil makan malamnya.
“Ya,
karena ada hal yang lucu,” ucap Giavanna. Hailey yang baru saja merapikan
peralatan masak segera bergabung. “Dimana pacarmu?”
“Liam
sedang ada di luar kota. Pekerjaan yang membawanya ke sana,” ujar Hailey yakin.
Giavanna tidak begitu percaya dengan alasan ‘sedang bekerja di luar kota’.
Pasti mereka sedang memiliki masalah. Tentu saja! Liam tidak pernah keluar kota
Atlanta, ia bekerja di sini sebagai karyawan kantoran yang monoton. Dan tidak
mungkin Liam pergi keluar kota dengan jabatan yang tak memungkinkan. Raut wajah
Hailey murung seketika, membuat Giavanna yakin kalau ada masalah di antara mereka.
“Apa
yang Liam lakukan padamu?” Tanya Giavanna mencondongkan tubuhnya ke arah
Hailey. “Beritahu aku, Hailey! Aku akan memukul wajahnya seperti kentang
tumbuk,”
Seketika
Hailey menangis. “Aku hamil,” tangisnya seperti menyesal akan apa yang ia lakukan
dengan Liam. Dan skenario berikutnya adalah Liam tidak ingin bertanggungjawab.
Lihat saja apa yang akan Giavanna lakukan terhadap pria sialan itu. “Dan, dia
tidak ingin—“
“Sudah
cukup. Kau tidak perlu mengatakannya. Besok, ia akan berada di rumah sakit,”
“Tidak!
Dia tidk bersalah, Giava—“
“Setelah
apa yang ia lakukan padamu? Aku muak dengan lelaki! Mengapa mereka melakukan
sesuatu dengan semaunya? Mengapa mereka tak berpikir apa yang akan kita
rasakan? Mengapa mereka begitu tolol?” Amarah Giavanna meledak-ledak. Terlebih
lagi, ia teringat akan sifat Justin yang tak pernah bagus di matanya. Hailey
yang menangis langsung terdiam. Sahabatnya sudah berdiri dengan garpu yang
menancap keras di meja kayu mereka. Giavanna mengatur nafasnya baik-baik lalu
akhirnya ia duduk kembali. “Maaf, aku hanya tidak suka kau diperlakukan seperti
itu. Berapa usia kandunganmu?”
“Dua
bulan,” bisik Hailey.
“Dua
bulan? Dan kau baru mengetahuinya?” Tanya Giavanna menahan
nafas. Hailey menggeleng kepala. Detik itu juga Giavanna merasa dikhianati.
Mengapa Hailey tak memberitahu tentang kehamilannya sejak dulu? Matanya
terpejam untuk menenangkan diri. “Bagaimana dengan Liam? Kau yang
memberitahunya atau dia yang tahu dengan sendirinya?”
“Aku yang memberitahunya saat kita makan malam di
luar. Ia langsung marah dan pergi dariku. Maka dari itu ia tak pernah
datang lagi ke sini,” jelas Hailey menyesal. Ia kembali menangis. Giavanna
tidak memeluk sahabatnya atau menenangkannya. Ia tahu apa yang seharusnya ia
lakukan.
***
“Tidak
mungkin!” Giavanna mengerang. “Kau orang kaya raya. Kau pasti bisa menyewa
seseorang untuk menyakiti pria ini. Justin, aku sungguh membenci pria ini
setelah apa yang ia lakukan pada sahabatku. Bantulah aku sedikit,” ucap
Giavanna. Giavanna berpikir, mungkin dengan bantuan Justin, ia tidak perlu
membuang-buang waktunya memarahi atau memukul Liam.
“Membantumu?
Sejak kapan atasan membantu bawahannya?” Tanya Justin tak percaya. Pose Justin
tidak memberikan tanda-tanda kalau pria ini adalah pria gay. Ia duduk bersandar
di kursinya dengan gaya menyamping, tangan kanannya bersandar di meja dan
kakinya sedang diselonjorkan dengn sebuah kursi empuk kecil yang menyangga
kakinya. Sungguh, pose yang sangat menggoda. Giavanna melangkah mendekati
Justin lalu ia duduk di atas mejanya. Roknya yang sudah pendek, semakin pendek
sehingga memperlihatkan pahanya yang putih. Giavanna termasuk perempuan yang
menarik. Hanya saja, mungkin tubuhnya kurus dan sikapnya yang seperti lelaki
mengurangi kecantikannya. Tangan Giavanna menekan tombol pada remote yang
membuat dinding yang awalnya buram menjadi abu-abu. Morgan yang berada di meja
kerjanya langsung melihat dinding yang berubah menjadi abu-abu itu langsung
berpikiran negatif. Apa yang mereka lakukan di dalam sana?
“Sejak
aku memiliki—“
“Sudah
cukup!” Justin mengangkat tangannya agar perempuan itu tak bicara. “Aku akan
membantumu.” ujar Justin pasrah. Ini semua karena foto-foto sialan itu! Jika
mereka tidak ada di bumi ini, sudah jelas Justin akan memecat Giavanna dari
perusahaannya. Dan sesungguhnya, alasan utama Justin tak ingin Giavanna bekerja
di perusahaannya bukanlah sikap Giavanna. Tetapi karena sesuatu yang lain, yang membuat Justin tidak ingin perempuan ini
bekerja di tempatnya. Giavanna mengangguk lalu melompat dari meja kerjanya.
Giavanna mengeluarkan sebuah kertas dari kantong kemeja putihnya lalum
menaruhnya ke atas meja kerja Justin. Pria itu meraihnya lalu membacanya.
“Itu
alamatnya,”
“
Omong-omong, apa yang kaubicarakan dengan anakku tadi malam? Dan apa yang kau
katakan padanya hingga ia tak ingin memberitahu apa yang kalian bicarakan?”
Tanya Justin menyelidik. Jelas Justin akan bertanya seperti itu pada Giavanna.
Ketika anaknya tak ingin memberitahu apa yang mereka bicarakan membuat Justin
curiga pada Giavanna yang bertanya-tanya mengenai kehidupan Justin dan
Alexander.
“Aku
hanya bertanya tentang dirimu dan Alexander,” kata perempuan itu mengeluarkan
ponsel dari kantong roknya. “Rekamannya ada di dalam sana. Tapi seperti yang
kau tahu, aku tak begitu bodoh untuk hanya menyimpannya di satu benda sialan
seperti ponsel. Biar kucarikan untukmu,” ucap Giavanna mencari rekaman suara
Arthur. Ketika mendapatkannya, Giavanna menaruh ponselnya ke atas meja kerja
Justin. Tubuh Justin menegang ketika ia mendengar suara anaknya dalam rekaman
itu. Jadi, biasanya aku dikeloni daddy
Alex. Dan aku tertidur. Kadang, aku terbangun dan daddy Alex sudah tidak ada di
sebelahku lagi. Saat aku keluar dari kamar untuk mencarinya, aku selalu
menemukannya di kamar daddy Justin. Aku penasaran apa yang mereka lakukan.
Karena mereka pasti selalu terkejut jika tiba-tiba aku membuka pintu.
Anaknya berbicara begitu lancar tanpa ada gangguan. Rahang bawahnya menegang
begitu saja. Sialan!
“Giavanna,
aku bisa menuntutmu di pengadilan!”
“Silakan,
aku tak peduli! Jika aku ada di penjara pun, kau akan hidup sengsara karena
hinaan-hinaan yang akan kau dapat dari publik. Jadi, berpikir dua kali sebelum
kau menuntutku. Aku bahkan tidak merusak nama baikmu, bukan? Well, setidaknya,
tidak saat ini,” ucap Giavanna mengambil ponselnya dari meja kerja Justin. Perempuan
itu melangkah menuju pintu lalu berhenti sejenak. “Dan, aku mau orang yang
kubenci itu berada di rumah sakit hari ini. Bagaimana, Mr.Richardson?”
“Go fuck yourself!” ujar Justin, membenci
perempuan itu.
***
Bukan
keinginan Justin agar pria yang sekarang ada di hadapannya itu terpukul. Justru
Justin tak tahan melihat pria tampan ini dipukul oleh salah seorang pengawal
yang baru saja Justin sewa. Giavanna yang ada di sebelah Justin menyandarkan siku-sikunya
di atas bahu Justin. Pria itu langsung menyingkir dari Giavanna hingga
perempuan itu hampir jatuh. Giavanna menyumpahi Justin.
Liam
bertekuk lutut di hadapan Giavanna, di dalam rumahnya sendiri dengan keadaan
babak belur. Ia tak percaya Giavanna akan memperlakukannya seperti ini. Liam
bahkan belum menjelaskan apa pun pada Giavanna tentang kehamilan Hailey. Orang
bayaran Justin berada di belakang Liam, berjaga-jaga agar pria itu tak lari
dari tempatnya. Justin dari belakang Giavanna menatap Liam dengan tatapan iba.
Ia teringat akan dirinya yang pernah dipukul seperti ini dua tahun lalu. Justin
masih ingat pria itu memukulnya begitu keras sampai Justin berpikir sebentar
lagi ia akan pingsan. Tetapi itu sudah berlalu. Pria pengkhianat itu sekarang
sudah mati karena Justin menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh setiap orang
yang pernah menyakitinya hari itu.
Perempuan
itu menginjak jari-jari Liam dengan sepatu Toms-nya. Pria itu mengerang
kesakitan. “Giavanna, kau tak mengerti,”
Giavanna
tergelak. “Aku tak mengerti, mengapa?”
“Kau
tak mengerti, Giavanna. Aku belum siap menjadi seorang ayah. Pekerjaanku belum
mendukung perekonomianku di masa depan. Aku tak ingin anak yang dilahirkan
Hailey sengsara karena ayahnya tak memiliki pekerjaan yang cukup untuk memenuhi
kebutuhannya,”
“Pembual!
Pria itu selalu membual!” Teriak Giavanna, kesal. Ia menunjuk Liam dan Justin.
“Kau dengar itu? Kaum kalian itu hanya menginginkan bagian menyenangkannya,
sementara perempuan harus menanggung bagian penderitaannya. Bagaimana bisa itu
disebut adil?” Tanya Giavanna, pipinya sudah memerah. Pria kulit hitam yang
dibayar Justin untuk memukul Liam tidak begitu menyukai ucapan Giavanna.
Tetapi, pria itu tak peduli. Keheningan yang canggung terjadi di antara mereka
selama beberapa menit dan lalu Justin membuka mulut.
“Apa
kita bisa pulang sekarang? Sepertinya, Arthur mencariku,” ujarnya berjalan
melewati Giavanna. Pria itu keluar dari dapur apartemen Liam. Giavanna
menatap Justin yang terdiam di ruang tamu lalu menatap Liam kembali. Ponsel Justin berbunyi saat mulut
Giavanna terbuka. “Aku keluar sebentar,” ucap Justin ketika ia melihat nama
yang muncul di ponselnya. Alexander. Ia membuka pintu apartemen, keluar dari
sana sambil mengangkat panggilan itu.
“Justin,”
suara Alexander yang maskulin memberi tanda kalau ia sedang berada di luar.
“Dimana kau? Kupikir kita akan bertemu malam ini,”
“Aku
sedang ada urusan, Alex. Mungkin 20 menit lagi aku akan menjemputmu di kantor. Lagi pula sekarang baru jam
setengah enam. Memangnya ada apa?” Tanya Justin sedikit kesal tetapi suaranya
tak memberi tanda-tanda kalau pria itu sedang kesal. Justin memang pintar
menjaga suaranya agar tetap tenang. Situasi ini membuat Justin sedikit gugup
karena Giavanna berada di dalam apartemen. Ia tak ingin suara perempuan itu
terdengar sampai keluar. Akhir-akhir ini Alexander sedikit protektif terhadap
Justin karena Giavanna yang begitu dekat dengan Justin. Alexander termasuk pria
yang cemburuan.
“Ada
beberapa pertanyaan yang ingin kutanyakan padamu,” ucap Alexander.
“Tentang
apa?”
“Kau
dan Giavanna.”
***
Justin
harus mengantar Giavanna ke depan apartemen perempuan itu. Ia tak percaya Giavanna
memperlakukannya seperti budak. Justin yang seharusnya memperlakukan Giavanna
seperti budak! Itulah yang Justin lakukan tiap kali seorang asisten baru masuk
ke perusahaannya. Tetapi kali ini berbeda. Ini semua seakan tak masuk akal.
Justin menelan ludahnya, mengingat apa yang Alexander katakan. Kekasihnya akan
memberikan pertanyaan seputar dirinya dengan Giavanna. Apa yang telah Giavanna
katakan pada Alexander? Justin menoleh pada Giavanna yang dari tadi diam tak
seperti biasanya. Perempuan itu menatap keluar jendela mobil dan sesekali
ia menghela nafas panjang. Justin ingin bertanya, tetapi ia berpikir, bukan
urusannya.
“Apa kau memberitahu Alexander kalau
kau sudah tahu tentang hubungan kami?” Tanya Justin. Perempuan itu menoleh pada
Justin lalu menggeleng kepala. Ia tak pernah memberitahu apa pun tentang
hubungan atasannya pada siapa pun. Justin mengangguk mengerti. Entah mengapa Justin merasa ingin tahu apa
yang ada dipikiran Giavanna sekarang. Ada yang salah dengan Giavanna setelah
keluar dari apartemen itu. Apa
yang dikatakan oleh pria bernama Liam itu? Tetapi sekali lagi, itu bukan urusan
Justin. Ia tak perlu tahu.
“Memang
ada apa?” Tanya Giavanna tanpa menatap Justin.
“Tidak
ada. Oh, aku hampir lupa memberitahumu. Berhubung Arthur sudah membaik, ia
mengajakmu pergi ke taman tengah kota. Ia ingin pergi ke labirin bersamamu. Dan
Alexander ikut. Sebaiknya kau menutup mulutmu selama di sana,”
“Baiklah.”
Perempuan itu menjawab tak bersemangat. Ada yang salah dengan Giavanna.
Hanya
saja, itu bukan urusan Justin.
***
Alexander menatap Justin di
hadapannya. Mengapa kekasihnya dari tadi diam? Well, mereka memang belum membuka percakapan sejak
memesan makan malam mereka. Mengingat perkataan Morgan padanya tadi sore
sungguh mempengaruhi keraguan Alexander terhadap perasaan Justin yang
sepertinya tertarik pada Giavanna. Menurut apa yang dilihat Morgan kemarin pagi
dan hari ini, sepertinya Giavanna baru saja menggoda Justin. Atau jika ingin
memilih pemikiran terburuk Morgan, sepertinya mereka melakukan seks kilat di
dalam kantor maka dari itu dinding diubah menjadi abu-abu. Apalagi kejadian
kemarin pagi, saat Giavanna merapikan pakaiannya dan Justin mengelap
keringatnya. Tentu ada yang terjadi di antara mereka. Dan Alexander berpikir,
tidak mungkin Morgan berbohong karena jika ia berbohong, keesokan paginya ia
akan dipecat. Alexander mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya
terlipat di atas meja, bibirnya menipis.
“Justin,”
suara Alexander membuka percakapan. “Bagaimana pendapatmu tentang Giavanna?
Maksudku, tidakkah ia mengingatkanmu pada seseorang?” Tanya Alexander berdeham.
Justin
tersenyum, tangannya menyentuh tangan Alexander yang berada di atas meja itu
dan menatap Alexander penuh keyakinan. “Alex, aku tidak menyukainya. Kau tahu
aku seperti apa. Terlebih lagi, kau tahu bukan ia terlihat seperti siapa—oh,
aku tak ingin menyebut namanya. Itu membuatku merasa bersalah sekaligus
membencinya—dan ia tak tertarik padaku. Tak ada yang perlu kautakuti,” ucap
Justin lembut. Sangat lembut. Kakek-nenek yang duduk tak jauh dari mereka
melihat tangan kedua pria itu saling bertautan. Mereka menatap dua orang homo
itu dengan tatapan ngeri sekaligus jijik. Apa-apaan yang mereka lakukan di
restoran ini! Sudah jelas ini adalah tempat umum.
“Tetapi
Morgan melihat dinding ruanganmu berubah menjadi abu-abu tiap kali Giavanna
masuk ke dalam ruanganmu. Bukankah hanya aku yang diperlakukan seperti itu tiap
aku masuk ke dalam ruanganmu agar orang-orang di luar tak tahu apa yang kita
lakukan?”
“Aku
tahu, Alex. Percayalah padaku, aku tak mungkin menyukai perempuan seperti
Giavanna. Oke? Percaya padaku,” ucap Justin mengelus jari kekasihnya. Ia merasa
begitu damai tiap kali menatap mata Alexander yang lembut dan hangat.
“Baiklah.
Aku ingin lihat apa yang akan terjadi besok saat kita pergi jalan-jalan
bersamanya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar