Jumat, 20 Juni 2014

Perfect Time Bab 5

            Justin hanya memberikan waktu 10 menit bagi Giavanna untuk bertemu dengan anaknya yang sakit. Arthur tampak senang akan kedatangan Giavanna karena sudah beberapa hari mereka tidak bertemu dan Arthur beberapa kali menanyakan keberadaan Giavanna. Giavanna duduk di sisi tempat tidur, berbicara dengan Arthur bagaimana Arthur bisa tahan di rumah. Pertanyaan itu jelas pertanyaan tertolol yang pernah Justin dengar sebelumnya. Pria itu memerhatikan pertemuan Arthur dan Giavanna, berjaga-jaga agar Giavanna tidak memberikan pertanyaan mengenai kehidupan asmara Justin dan Alexander yang Arthur tidak ketahui sebelumnya. Tidak, jangan sampai aku mengingatnya kembali, Justin memperingati dirinya. Kedatangan Giavanna di perusahaan memang membuat Justin jengkel, apalagi sikapnya yang lancang jika berbicara dengan Justin .
            Dari mulut pintu, Justin dapat melihat Giavanna yang mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Arthur. Perjanjian apa yang mereka buat? Tidak, tidak. Giavanna dan Arthur tidak boleh lagi jalan bersama. Anak itu memiliki mulut yang cerewet seperti Giavanna, tidak pernah bisa diam dan terlalu jujur. Justin memutar kepalanya ke belakang ketika telinganya mendengar suara langkahan kaki. Alexander. Justin mengumpat dalam hati. Kakinya langsung melangkah dari mulut pintu menuju tangga—mereka sedang berada di lantai dua. Giavanna yang mendengar langkahan kaki menjauh itu menoleh ke belakang dan tidak mendapati Justin di tempat. Kesempatan berhargaku! seru Giavanna kegirangan. Giavanna mengeluarkan ponselnya—yang tadi siang berada di tangan Justin dan Giavanna berpikir Justin telah melihat-lihat isi ponselnya— lalu mencari aplikasi untuk merekam suara. Ia langsung menyalakan rekam suara di ponselnya lalu membuka mulut.
            “Arthur, aku ingin bertanya,” ucap Giavanna berhati-hati. Arthur mengangguk-angguk, tanda ia setuju. “Apa yang biasa daddy Alexander lakukan di rumah?” Tanya Giavanna, kemudian tersenyum. Arthur menghela nafas panjang. Akhir-akhir ini Alexander tidak datang ke rumahnya, membuat Arthur kesepian karena tidak ada yang menemaninya di rumah selain pelayan yang membosankan.
            “Bermain denganku, membuatkanku makanan. Aku sering pergi ke salon bersamanya. Salonnya dekat dari sini. Ayo, sentuh rambutku,” ujar Arthur menarik tangan Giavanna ke arah rambutnya lalu Arthur menggoyang-goyangkan lengan itu agar tangan Giavanna dapat mengelus kepalanya yang berambut halus. “Halus, bukan? Daddy Alex bilang kita harus sering-sering menjaga rambut kita agar tetap sehat. Tapi, aku tidak mau memiliki rambut seperti daddy Alex,”
            “Memangnya kenapa?” Tanya Giavanna menelengkan kepalanya ke samping, tangannya sudah ia tarik dari kepala Arthur. Arthur mengedik bahu, mulutnya mengerucut tak suka.
            “Seperti perempuan, kau tahu. Aku tidak mau rambutku sepertimu. Panjang seperti itu. Dan, aku tidak mengerti mengapa rambut daddy Alex bisa diikat. Tidakkah itu bisa merusak rambutnya? Bagaimana jika rambutnya patah?”
            “Patah?” Giavanna tertawa terbahak-bahak mendengar pemilihan kata Arthur yang salah. Rambut tidak patah, tetapi rontok. Arthur tidak mengerti mengapa Giavanna tertawa, tetapi karena menurut Giavanna lucu, Arthur ikut tertawa seperti anak gila. Kemudian mereka berhenti bersamaan.
            “Dan apa lagi yang ia lakukan di sini?” Tanya Giavanna.
            “Jadi, biasanya aku dikeloni daddy Alex. Dan aku tertidur. Kadang, aku terbangun dan daddy Alex sudah tidak ada di sebelahku lagi. Saat aku keluar dari kamar untuk mencarinya, aku selalu menemukannya di kamar daddy Justin. Aku penasaran apa yang mereka lakukan. Karena mereka pasti selalu terkejut jika tiba-tiba aku membuka pintu,” ucap Arthur bercerita, ia mengedik bahunya kembali seolah-olah ia tak begitu peduli dengan apa yang dua orang itu lakukan di kamar. Giavanna tertawa dalam hati. Ya Tuhan, mereka berdua sungguh gay. Sangat disayangkan, salah satu orang yang melakukan itu adalah pria yang ia sukai. Tetapi, tak apalah, masih banyak pria di luar sana yang mungkin hampir sama sepertinya. Giavanna lalu mematikan rekaman suara di ponselnya dan menyimpannya baik-baik. Tepat saat Giavanna menyimpan ponselnya ke dalam tas, Justin muncul.
            “Kurasa sudah lebih dari 10 menit,” suara dingin itu kembali terdengar di telinga Justin. Giavanna menoleh melihat Justin lalu tersenyum manis. Jari telunjuknya ia acungkan ke atas, tanda ia minta waktu satu menit lagi. Giavanna membungkukkan tubuhnya agar bibirnya dapat mencapai telinga Arthur lalu ia berbisik. Beberapa detik kemudian, Giavanna mengangkat kepalanya.
            “Mengerti?” Tanya Giavanna mengangkat jempolnya.
            “Oke!”seru Arthur ikut mengangkat jempol. Justin memutar bola matanya melihat Giavanna yang konyol. Ah, apa yang mereka bicarakan? Justin sempat meninggalkan Giavanna sebentar dan pastinya, Justin tidak mendengar percakapan mereka berdua. Bisa saja Giavanna mempertanyakan tentang Alexander dan dirinya selama di rumah. Sungguh sial.
            “Cepatlah, waktumu sudah lebih dari10 menit,” ujar Justin tidak suka. Giavanna mengelus rambut Arthur yang halus lalu bangkit dari tempat tidur. Justin melihat pemandangan itu dengan tatapan tak suka. Apa-apaan, Justin mengumpat. “Ya, mungkin kita akan mencuci rambutmu lagi, Arthur,” ucap Justin sarkastis. Giavanna berjalan menuju Justin yang tangannya sudah menyentuh gagang pintu kamar. Cepat-cepat Giavanna melangkah keluar dari kamar Arthur, ia melewati Justin. Tubuh mereka begitu berdekatan, hampir saling menyentuh. Mata cokelat Justin menatap Giavanna sedingin es, berbanding terbalik dengan Giavanna yang menatap Justin menggoda. Ia memberikan senyum terbaiknya pada pemilik RCS Advertisement, diam-diam menyimpan rahasia memalukan atasannya. Justin segera menutup pintu kamar Arthur. Matanya mengikuti langkah kaki Giavanna menuju tangga lalu naik ke atas untuk melihat pemilik kaki itu. Giavanna tersenyum lalu melambaikan tangannya seperti gadis genit lalu ia menghilang dari pandangan Justin.
            Sekarang, ia harus menghadapi monster di kamarnya.

***

            Giavanna kembali mendengar hasil rekamannya di kamar. Ia terus tertawa terbahak-bahak saat ia membayangkan apa yang Justin dan Alexander lakukan di kamar! Demi Tuhan, pasti mereka sedang bercumbu atau akan melakukan sesuatu yang lebih. Tubuh Giavanna menggigil jijik membayangkannya. Menurut apa yang ia dengar dari Arthur, sumber utamanya, Alexander-lah yang menjadi perempuan dalam hubungan homonya. Aku penasaran apa yang mereka lakukan. Karena mereka pasti selalu terkejut jika tiba-tiba aku membuka pintu,ucap Arthur dalam rekamannya. Giavanna berguling-guling di atas tempat tidurnya sambil tertawa seperti orang gila. Ya Tuhan, hidupnya tak pernah sebahagia ini. Setelah mengingat apa yang dilakukan Justin Richardson terhadapnya, akhirnya, Giavanna dapat menaklukannya.
            Meski tidak ada yang menobatkan Giavanna sebagai asisten kedua yang bertahan di perusahaan, Giavanna tahu bagaimana rasanya menjadi asisten yang bertahan. Giavanna tak takut pada apa pun, termasuk Justin Richardson. Baiklah, mungkin pada awalnya Giavanna sedikit takut—itupun karena takut dipecat. Pintu kamarnya yang terketuk mengejutkan Giavanna. Segera ia mematikan rekaman pengakuan Arthur, ia langsung melangkah keluar dari tempat tidur.
            “Makanan sudah siap!” Teriak Hailey yang sepertinya menjauh dari kamar Giavanna. Giavanna membuka pintu lalu keluar dari kamarnya. “Mengapa kau tertawa-tawa seperti orang gila di kamar?” Tanya Hailey dari dapur. Giavanna terkekeh pelan mendengar pertanyaan itu. Ya, dia gila karena ia terlalu senang. Hari ini mungkin adalah hari terbaik yang pernah ia miliki. Bayangkan saja. Semua orang takut terhadap Justin Richardson, bahkan tidak ada yang berani membuat kontak mata dengannya. Tetapi, hanya dengan mengetahui rahasia yang terbuka di depan umum, Giavanna dapat membuat Justin Richardson takut padanya. Bagaimana bisa itu tidak dikatakan keren? Kaki Giavanna berhenti di depan meja makannya lalu mengambil makan malamnya.
            “Ya, karena ada hal yang lucu,” ucap Giavanna. Hailey yang baru saja merapikan peralatan masak segera bergabung. “Dimana pacarmu?”
            “Liam sedang ada di luar kota. Pekerjaan yang membawanya ke sana,” ujar Hailey yakin. Giavanna tidak begitu percaya dengan alasan ‘sedang bekerja di luar kota’. Pasti mereka sedang memiliki masalah. Tentu saja! Liam tidak pernah keluar kota Atlanta, ia bekerja di sini sebagai karyawan kantoran yang monoton. Dan tidak mungkin Liam pergi keluar kota dengan jabatan yang tak memungkinkan. Raut wajah Hailey murung seketika, membuat Giavanna yakin kalau ada masalah di antara mereka.
            “Apa yang Liam lakukan padamu?” Tanya Giavanna mencondongkan tubuhnya ke arah Hailey. “Beritahu aku, Hailey! Aku akan memukul wajahnya seperti kentang tumbuk,”
            Seketika Hailey menangis. “Aku hamil,” tangisnya seperti menyesal akan apa yang ia lakukan dengan Liam. Dan skenario berikutnya adalah Liam tidak ingin bertanggungjawab. Lihat saja apa yang akan Giavanna lakukan terhadap pria sialan itu. “Dan, dia tidak ingin—“
            “Sudah cukup. Kau tidak perlu mengatakannya. Besok, ia akan berada di rumah sakit,”
            “Tidak! Dia tidk bersalah, Giava—“
            “Setelah apa yang ia lakukan padamu? Aku muak dengan lelaki! Mengapa mereka melakukan sesuatu dengan semaunya? Mengapa mereka tak berpikir apa yang akan kita rasakan? Mengapa mereka begitu tolol?” Amarah Giavanna meledak-ledak. Terlebih lagi, ia teringat akan sifat Justin yang tak pernah bagus di matanya. Hailey yang menangis langsung terdiam. Sahabatnya sudah berdiri dengan garpu yang menancap keras di meja kayu mereka. Giavanna mengatur nafasnya baik-baik lalu akhirnya ia duduk kembali. “Maaf, aku hanya tidak suka kau diperlakukan seperti itu. Berapa usia kandunganmu?”
            “Dua bulan,” bisik Hailey.
            “Dua bulan? Dan kau baru mengetahuinya?” Tanya Giavanna menahan nafas. Hailey menggeleng kepala. Detik itu juga Giavanna merasa dikhianati. Mengapa Hailey tak memberitahu tentang kehamilannya sejak dulu? Matanya terpejam untuk menenangkan diri. “Bagaimana dengan Liam? Kau yang memberitahunya atau dia yang tahu dengan sendirinya?”
            “Aku yang memberitahunya saat kita makan malam di luar. Ia langsung marah dan pergi dariku. Maka dari itu ia tak pernah datang lagi ke sini,” jelas Hailey menyesal. Ia kembali menangis. Giavanna tidak memeluk sahabatnya atau menenangkannya. Ia tahu apa yang seharusnya ia lakukan.

***

            “Tidak mungkin!” Giavanna mengerang. “Kau orang kaya raya. Kau pasti bisa menyewa seseorang untuk menyakiti pria ini. Justin, aku sungguh membenci pria ini setelah apa yang ia lakukan pada sahabatku. Bantulah aku sedikit,” ucap Giavanna. Giavanna berpikir, mungkin dengan bantuan Justin, ia tidak perlu membuang-buang waktunya memarahi atau memukul Liam.
            “Membantumu? Sejak kapan atasan membantu bawahannya?” Tanya Justin tak percaya. Pose Justin tidak memberikan tanda-tanda kalau pria ini adalah pria gay. Ia duduk bersandar di kursinya dengan gaya menyamping, tangan kanannya bersandar di meja dan kakinya sedang diselonjorkan dengn sebuah kursi empuk kecil yang menyangga kakinya. Sungguh, pose yang sangat menggoda. Giavanna melangkah mendekati Justin lalu ia duduk di atas mejanya. Roknya yang sudah pendek, semakin pendek sehingga memperlihatkan pahanya yang putih. Giavanna termasuk perempuan yang menarik. Hanya saja, mungkin tubuhnya kurus dan sikapnya yang seperti lelaki mengurangi kecantikannya. Tangan Giavanna menekan tombol pada remote yang membuat dinding yang awalnya buram menjadi abu-abu. Morgan yang berada di meja kerjanya langsung melihat dinding yang berubah menjadi abu-abu itu langsung berpikiran negatif. Apa yang mereka lakukan di dalam sana?
            “Sejak aku memiliki—“
            “Sudah cukup!” Justin mengangkat tangannya agar perempuan itu tak bicara. “Aku akan membantumu.” ujar Justin pasrah. Ini semua karena foto-foto sialan itu! Jika mereka tidak ada di bumi ini, sudah jelas Justin akan memecat Giavanna dari perusahaannya. Dan sesungguhnya, alasan utama Justin tak ingin Giavanna bekerja di perusahaannya bukanlah sikap Giavanna. Tetapi karena sesuatu yang lain, yang membuat Justin tidak ingin perempuan ini bekerja di tempatnya. Giavanna mengangguk lalu melompat dari meja kerjanya. Giavanna mengeluarkan sebuah kertas dari kantong kemeja putihnya lalum menaruhnya ke atas meja kerja Justin. Pria itu meraihnya lalu membacanya.
            “Itu alamatnya,”
            “ Omong-omong, apa yang kaubicarakan dengan anakku tadi malam? Dan apa yang kau katakan padanya hingga ia tak ingin memberitahu apa yang kalian bicarakan?” Tanya Justin menyelidik. Jelas Justin akan bertanya seperti itu pada Giavanna. Ketika anaknya tak ingin memberitahu apa yang mereka bicarakan membuat Justin curiga pada Giavanna yang bertanya-tanya mengenai kehidupan Justin dan Alexander.
            “Aku hanya bertanya tentang dirimu dan Alexander,” kata perempuan itu mengeluarkan ponsel dari kantong roknya. “Rekamannya ada di dalam sana. Tapi seperti yang kau tahu, aku tak begitu bodoh untuk hanya menyimpannya di satu benda sialan seperti ponsel. Biar kucarikan untukmu,” ucap Giavanna mencari rekaman suara Arthur. Ketika mendapatkannya, Giavanna menaruh ponselnya ke atas meja kerja Justin. Tubuh Justin menegang ketika ia mendengar suara anaknya dalam rekaman itu. Jadi, biasanya aku dikeloni daddy Alex. Dan aku tertidur. Kadang, aku terbangun dan daddy Alex sudah tidak ada di sebelahku lagi. Saat aku keluar dari kamar untuk mencarinya, aku selalu menemukannya di kamar daddy Justin. Aku penasaran apa yang mereka lakukan. Karena mereka pasti selalu terkejut jika tiba-tiba aku membuka pintu. Anaknya berbicara begitu lancar tanpa ada gangguan. Rahang bawahnya menegang begitu saja. Sialan!
            “Giavanna, aku bisa menuntutmu di pengadilan!”
            “Silakan, aku tak peduli! Jika aku ada di penjara pun, kau akan hidup sengsara karena hinaan-hinaan yang akan kau dapat dari publik. Jadi, berpikir dua kali sebelum kau menuntutku. Aku bahkan tidak merusak nama baikmu, bukan? Well, setidaknya, tidak saat ini,” ucap Giavanna mengambil ponselnya dari meja kerja Justin. Perempuan itu melangkah menuju pintu lalu berhenti sejenak. “Dan, aku mau orang yang kubenci itu berada di rumah sakit hari ini. Bagaimana, Mr.Richardson?”
            “Go fuck yourself!” ujar Justin, membenci perempuan itu.

***

            Bukan keinginan Justin agar pria yang sekarang ada di hadapannya itu terpukul. Justru Justin tak tahan melihat pria tampan ini dipukul oleh salah seorang pengawal yang baru saja Justin sewa. Giavanna yang ada di sebelah Justin menyandarkan siku-sikunya di atas bahu Justin. Pria itu langsung menyingkir dari Giavanna hingga perempuan itu hampir jatuh. Giavanna menyumpahi Justin.
            Liam bertekuk lutut di hadapan Giavanna, di dalam rumahnya sendiri dengan keadaan babak belur. Ia tak percaya Giavanna akan memperlakukannya seperti ini. Liam bahkan belum menjelaskan apa pun pada Giavanna tentang kehamilan Hailey. Orang bayaran Justin berada di belakang Liam, berjaga-jaga agar pria itu tak lari dari tempatnya. Justin dari belakang Giavanna menatap Liam dengan tatapan iba. Ia teringat akan dirinya yang pernah dipukul seperti ini dua tahun lalu. Justin masih ingat pria itu memukulnya begitu keras sampai Justin berpikir sebentar lagi ia akan pingsan. Tetapi itu sudah berlalu. Pria pengkhianat itu sekarang sudah mati karena Justin menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh setiap orang yang pernah menyakitinya hari itu.
            Perempuan itu menginjak jari-jari Liam dengan sepatu Toms-nya. Pria itu mengerang kesakitan. “Giavanna, kau tak mengerti,”
            Giavanna tergelak. “Aku tak mengerti, mengapa?”
            “Kau tak mengerti, Giavanna. Aku belum siap menjadi seorang ayah. Pekerjaanku belum mendukung perekonomianku di masa depan. Aku tak ingin anak yang dilahirkan Hailey sengsara karena ayahnya tak memiliki pekerjaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya,”
            “Pembual! Pria itu selalu membual!” Teriak Giavanna, kesal. Ia menunjuk Liam dan Justin. “Kau dengar itu? Kaum kalian itu hanya menginginkan bagian menyenangkannya, sementara perempuan harus menanggung bagian penderitaannya. Bagaimana bisa itu disebut adil?” Tanya Giavanna, pipinya sudah memerah. Pria kulit hitam yang dibayar Justin untuk memukul Liam tidak begitu menyukai ucapan Giavanna. Tetapi, pria itu tak peduli. Keheningan yang canggung terjadi di antara mereka selama beberapa menit dan lalu Justin membuka mulut.
            “Apa kita bisa pulang sekarang? Sepertinya, Arthur mencariku,” ujarnya berjalan melewati Giavanna. Pria itu keluar dari dapur apartemen Liam. Giavanna menatap Justin yang terdiam di ruang tamu lalu menatap Liam kembali. Ponsel Justin berbunyi saat mulut Giavanna terbuka. “Aku keluar sebentar,” ucap Justin ketika ia melihat nama yang muncul di ponselnya. Alexander. Ia membuka pintu apartemen, keluar dari sana sambil mengangkat panggilan itu.
            “Justin,” suara Alexander yang maskulin memberi tanda kalau ia sedang berada di luar. “Dimana kau? Kupikir kita akan bertemu malam ini,”
            “Aku sedang ada urusan, Alex. Mungkin 20 menit lagi aku akan menjemputmu di kantor. Lagi pula sekarang baru jam setengah enam. Memangnya ada apa?” Tanya Justin sedikit kesal tetapi suaranya tak memberi tanda-tanda kalau pria itu sedang kesal. Justin memang pintar menjaga suaranya agar tetap tenang. Situasi ini membuat Justin sedikit gugup karena Giavanna berada di dalam apartemen. Ia tak ingin suara perempuan itu terdengar sampai keluar. Akhir-akhir ini Alexander sedikit protektif terhadap Justin karena Giavanna yang begitu dekat dengan Justin. Alexander termasuk pria yang cemburuan.
            “Ada beberapa pertanyaan yang ingin kutanyakan padamu,” ucap Alexander.
            “Tentang apa?”
            “Kau dan Giavanna.”

***

            Justin harus mengantar Giavanna ke depan apartemen perempuan itu. Ia tak percaya Giavanna memperlakukannya seperti budak. Justin yang seharusnya memperlakukan Giavanna seperti budak! Itulah yang Justin lakukan tiap kali seorang asisten baru masuk ke perusahaannya. Tetapi kali ini berbeda. Ini semua seakan tak masuk akal. Justin menelan ludahnya, mengingat apa yang Alexander katakan. Kekasihnya akan memberikan pertanyaan seputar dirinya dengan Giavanna. Apa yang telah Giavanna katakan pada Alexander? Justin menoleh pada Giavanna yang dari tadi diam tak seperti biasanya. Perempuan itu menatap keluar jendela mobil dan sesekali ia menghela nafas panjang. Justin ingin bertanya, tetapi ia berpikir, bukan urusannya.
            “Apa kau memberitahu Alexander kalau kau sudah tahu tentang hubungan kami?” Tanya Justin. Perempuan itu menoleh pada Justin lalu menggeleng kepala. Ia tak pernah memberitahu apa pun tentang hubungan atasannya pada siapa pun. Justin mengangguk mengerti.  Entah mengapa Justin merasa ingin tahu apa yang ada dipikiran Giavanna sekarang. Ada yang salah dengan Giavanna setelah keluar dari apartemen itu. Apa yang dikatakan oleh pria bernama Liam itu? Tetapi sekali lagi, itu bukan urusan Justin. Ia tak perlu tahu.
            “Memang ada apa?” Tanya Giavanna tanpa menatap Justin.
            “Tidak ada. Oh, aku hampir lupa memberitahumu. Berhubung Arthur sudah membaik, ia mengajakmu pergi ke taman tengah kota. Ia ingin pergi ke labirin bersamamu. Dan Alexander ikut. Sebaiknya kau menutup mulutmu selama di sana,”
            “Baiklah.” Perempuan itu menjawab tak bersemangat. Ada yang salah dengan Giavanna.
            Hanya saja, itu bukan urusan Justin.

***

            Alexander menatap Justin di hadapannya. Mengapa kekasihnya dari tadi diam? Well, mereka memang belum membuka percakapan sejak memesan makan malam mereka. Mengingat perkataan Morgan padanya tadi sore sungguh mempengaruhi keraguan Alexander terhadap perasaan Justin yang sepertinya tertarik pada Giavanna. Menurut apa yang dilihat Morgan kemarin pagi dan hari ini, sepertinya Giavanna baru saja menggoda Justin. Atau jika ingin memilih pemikiran terburuk Morgan, sepertinya mereka melakukan seks kilat di dalam kantor maka dari itu dinding diubah menjadi abu-abu. Apalagi kejadian kemarin pagi, saat Giavanna merapikan pakaiannya dan Justin mengelap keringatnya. Tentu ada yang terjadi di antara mereka. Dan Alexander berpikir, tidak mungkin Morgan berbohong karena jika ia berbohong, keesokan paginya ia akan dipecat. Alexander mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya terlipat di atas meja, bibirnya menipis.
            “Justin,” suara Alexander membuka percakapan. “Bagaimana pendapatmu tentang Giavanna? Maksudku, tidakkah ia mengingatkanmu pada seseorang?” Tanya Alexander berdeham.
            Justin tersenyum, tangannya menyentuh tangan Alexander yang berada di atas meja itu dan menatap Alexander penuh keyakinan. “Alex, aku tidak menyukainya. Kau tahu aku seperti apa. Terlebih lagi, kau tahu bukan ia terlihat seperti siapa—oh, aku tak ingin menyebut namanya. Itu membuatku merasa bersalah sekaligus membencinya—dan ia tak tertarik padaku. Tak ada yang perlu kautakuti,” ucap Justin lembut. Sangat lembut. Kakek-nenek yang duduk tak jauh dari mereka melihat tangan kedua pria itu saling bertautan. Mereka menatap dua orang homo itu dengan tatapan ngeri sekaligus jijik. Apa-apaan yang mereka lakukan di restoran ini! Sudah jelas ini adalah tempat umum.
            “Tetapi Morgan melihat dinding ruanganmu berubah menjadi abu-abu tiap kali Giavanna masuk ke dalam ruanganmu. Bukankah hanya aku yang diperlakukan seperti itu tiap aku masuk ke dalam ruanganmu agar orang-orang di luar tak tahu apa yang kita lakukan?”
            “Aku tahu, Alex. Percayalah padaku, aku tak mungkin menyukai perempuan seperti Giavanna. Oke? Percaya padaku,” ucap Justin mengelus jari kekasihnya. Ia merasa begitu damai tiap kali menatap mata Alexander yang lembut dan hangat.

            “Baiklah. Aku ingin lihat apa yang akan terjadi besok saat kita pergi jalan-jalan bersamanya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar