Jumat, 20 Juni 2014

Perfect Time Bab 6

            Mata cokelat lembut Giavanna menatap Hailey yang telah terlelap di atas tempat tidur. Tangan Hailey memeluk perutnya yang mulai berbentuk. Kemudian matanya terpejam mengingat apa yang dikatakan Liam sebelum Giavanna meninggalkan apartemen dan mendapati Justin telah selesai berbicara di ponselnya. Jika Giavanna tak memiliki hati nurani atau belas kasihan pada pria itu, sudah pasti Liam mati di tangan… pria kulit hitam di belakang Liam. Giavanna tentu tidak ingin membunuh orang jika ia masih bisa memakai orang lain untuk membunuh orang yang ia benci. Alasan Liam sesungguhnya bukan masalah perekonomiannya, tetapi orang lain. Orang ketiga. Liam mencintai wanita lain di luar sana. Wanita yang tidak pernah dikenal atau ditemui Hailey. Liam brengsek luar biasa dan Giavanna tidak ingin memberitahu alasan ini. Hailey pasti akan merasa sangat sakit hati.
            Giavanna tidak ingin mengambil risiko Hailey keguguran hanya karena stress. Liam dipukul habis-habisan sampai ia pingsan lalu Giavanna meninggalkannya. Orang-orang di luar sana harus melewati mayat Giavanna sebelum mereka ingin menyakiti hati sahabatnya. Hailey satu-satunya yang Giavanna miliki. Ia sahabat sekaligus keluarganya. Giavanna tak pernah bertemu dengan ayah kandungnya, ibunya termasuk perempuan yang kuat. Ia tinggal dalam kesusahan namun ibunya masih bisa menyekolahkannya hingga Giavanna lulus SMA. Masih diingatnya ketika ibu Giavanna berusaha untuk bunuh diri dengan cara menggantung diri—dan gagal karena Giavanna berhasil menyelamatkannya—karena tak kuat untuk hidup lebih lama lagi. Giavanna tahu bagaimana rasanya ditinggalkan begitu saja oleh orang yang sangat dicintai. Tidak memiliki ayah seumur hidupnya tidak mempengaruhi ketertarikan Giavanna terhadap lelaki. Ia masih menyukai pria, hanya saja, sampai sekarang ia belum begitu memikirkan jodohnya.
            Memiliki kepintaran yang bisa dibanggakan cukup membuat Giavanna mendapatkan beasiswa selama dua tahun di tempat kuliahnya. Ibunya meninggal setelah Giavanna berkuliah selama satu tahun di salah satu kampus di Atlanta—tempat yang mempertemukan Giavanna dan Hailey di kampus. Dan di apertemen inilah Giavanna hidup selama lima tahun bersama Hailey. Sempat Giavanna berpikir sifat optimisnya ia dapatkan dari ayah, tetapi ia memejamkan mata, meyakinkan diri kalau ibunya mengandung dirinya seperti Komodo mengandung. Sahabatnya bergerak di atas tempat tidur lalu mengerjap-kerjapkan matanya. Ia terkejut melihat Giavanna berada di mulut pintu kamar.
            “Giavanna,” desahnya dengan suara serak. “Kau baru pulang? Sudah jam berapa ini?” Tanya Hailey menarik jam weker di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Sudah jam 3 pagi. Kemana saja Giavanna sampai-sampai ia lama pulang? Giavanna tersenyum lemah.
            “Aku lembur,” bisiknya berbohong. Hailey mengernyikan kening, bingung. Sejak kapan Giavanna lembur? Tidak seperti biasanya. Giavanna tahu Hailey tak percaya akan ucapannya, jadi ia membuka mulutnya kembali. “Sungguh, Justin memintaku untuk membuat laporan. Dan yah, aku terlalu larut dalam keseriusan sampai aku lupa… untuk pulang,” desahnya kelelahan. Hailey hanya mengangguk percaya dengan yang dikatakan Giavanna lalu ia kembali terlelap. Perempuan bermata cokelat lembut itu kemudian menarik gagang pintu dari dalam dan menutup kamar.
            Hari ini bukan hari yang begitu menyenangkan.

***

            Pria berambut gondrong itu sudah terlelap di samping pria yang masih membuka matanya. Sinar bulan yang menerangi malam menembus tirai putihnya sehingga bayangan pria itu terlihat di tembok. Pria itu tidak dapat tidur setelah percakapan makan malam bersama kekasihnya. Tidak begitu menyenangkan untuk dibicarakan tetapi terus dibahas. Justin tidak bisa menerima kenyataan bahwa perempuan itu kembali lagi dalam hidupnya. Rambut cokelat panjang bergelombang, mata cokelat tajam menatapnya, dan lekukan tubuh yang hampir sama. Justin memejamkan mata beberapa saat lalu kembali membukanya. Mengapa Giavanna harus bekerja di perusahaannya? Mengapa Morgan menerimanya? Banyak pertanyaan yang membuat Justin dilema, apakah ia harus memecat perempuan ini atau mempertahankannya? Perempuan itu memiliki rahasia memalukan Justin dan tentu saja Justin tidak ingin perempuan itu membeberkannya pada publik. Majalah-majalah akan meliputi Justin dan merusak nama baiknya. Sangat menyedihkan ketika kau harus bekerja bersama dengan orang yang hampir sama dengan orang dulu sangat kaubenci.
            Tangan Alexander memeluk perut telanjang berotot Justin dengan nyaman. Kepalanya berada di samping dada Justin untuk mendapatkan posisi nyaman. Kembali Justin mengembus nafas panjang untuk menenangkan diri. Jika bukan karena Arthur, anaknya, yang meminta pergi jalan-jalan keluar besok, sudah pasti Arthur dan Giavanna tidak akan ber6temu lagi. Justin berpikir untuk membuat jaga jarak diantara Giavanna dan Arthur. Mulut anaknya tidak bisa dijaga dan anehnya, Arthur lebih menurut pada Giavanna dibanding Justin. Itu membuat Justin cukup kesal.
            “Kau tidak tidur, sayang?” Tanya Alexander dari bawah dapat merasakan kekasihnya belum terlelap. Ia mendongak agar dapat melihat kekasihnya. “Sudah jam berapa ini?”
            Justin melirik jam dinding kamar, sudah pukul 3 subuh. “Aku terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Sebaiknya kau tidur kembali,”
            “Kau memikirkan Giavanna?” Tanya Alexander, curiga. Justin menggelengkan kepala, berbohong. Ia tidak ingin membuat Alexander merasa terkhianati. Pria ini telah menyelamatkan nyawanya di badai salju dan Justin tidak pernah bisa berhenti berterima kasih atas kejadian itu. Mereka memang ditakdirkan bersatu. Alexander menipiskan bibirnya lalu memindahkan kepala ke atas dada Justin yang telanjang. Beberapa tato menghias tubuh pria itu menambah keseksiannya yang sangat kelewatan. Mungkin wanita-wanita di luar sana akan merasa gagal sebagai perempuan. Bagaimana bisa seorang tampan seperti Justin menjadi seorang gay? Orang yang seharusnya kaum wanita ciumi dan cintai berubah menjadi mimpi buruk karena keberadaannya sebagai gay.
            Alexander berdeham. Matanya memerhatikan tirai putih di samping Justin. “Giavanna termasuk perempuan yang manis. Aku menyukai semangatnya dan keramahannya. Tetapi tetap saja aku cemburu karena ia memiliki lebih banyak waktu bersamamu dibanding kau bersamaku,” rengek Alexander manja. Justin terkekeh pelan akan ucapan konyol kekasihnya. Giavanna perempuan yang manis? Bagaimana bisa Alexander mengatakannya seperti itu? Alexander belum pernah bersama dengan Giavanna seharian, jadi, dia tidak tahu bagaimana rasa sebenarnya.
            “Dia perempuan yang manis? Kurasa tidak,” Justin tersenyum mencemooh.
            Kepala Alexander kembali terdongak. “Aku punya ide. Mengapa kau tidak mendekatinya saja? Maksudku, itulah kebiasaanmu agar hubungan kita tetap terjaga. Kau tidak ingin bukan hubungan kita terhenti di tengah jalan?” Tanya Alexander yang sepertinya kerasukan.
            “Kau gila? Aku tidak pernah berkencan dengan asistenku sendiri. Apa yang akan dikatakan orang-orang di luar sana?” Justin memprotes. Alexander pasti sudah gila. Bukan apa-apa, pasti rasanya akan aneh jika Justin berkencan dengan Giavanna sementara Giavanna telah mengetahui hubungan asmaranya dengan Alexander. Giavanna tak mudah dibodoh-bodohi.
            “Mungkin aku akan cemburu sedikit. Tapi tak apalah, daripada orang-orang di luar sana tahu hubungan kita? Aku tidak ingin reputasimu hancur hanya karena aku,” ucapan romantis itu diucapkan oleh pria yang ditujukan oleh pria lain. Sangat salah. Sungguh salah. Alexander mengelus pipi Justin dengan lembut. “Oh, ayolah, tidak akan seburuk yang kaupikirkan,” lanjut Alexander membujuk. Tidak seburuk yang kupikirkan? Apa tidak ada perempuan lain selain Giavanna? Giavanna adalah wanita gila! Aku tidak ingin berkencan dengannya demi hubunganku, ucap Justin dalam hati, panik. Justin hanya tertawa renyah akan ucapan kekasihnya, menganggapnya hanya lelucon semata lalu ia memeluk bahu Alexander dan mengelusnya.
            “Aku tidak begitu yakin dengan ide konyol itu,” ucap Justin, tetap tak setuju. Alexander tidak begitu senang dengan keputusan Justin yang tidak menuruti keinginannya. Orang-orang di luar sana harus tahu bahwa kekasihnya adalah orang yang normal, bukan gay seperti ini. Alexander masih ingin bersama dengan Justin, tetapi reputasi yang telah dibangun kekasihnya ini lebih penting. Hubungan mereka tetap bertahan karena Justin yang menuruti permintaannya, termasuk mengencani perempuan. Hanya dengan cara itu, orang-orang di luar sana tidak akan curiga dan mereka masih bisa menjalin cinta.
            “Itu bukan ide yang konyol! Aku percaya padamu. Kau bisa mengencaninya—hanya untuk menjaga nama baikmu. Giavanna perempuan yang manis,”
            “Mengapa tidak kau saja yang mengencaninya? Giavanan tidak menyukaiku karena perlakuanku yang cukup keras padanya dan sepertinya ia sedikit menyukaimu,” ucap Justin menggoda Alexander. Kekasihnya tertawa pelan. Tidak mungkin Giavanna menyukainya! Alexander tidak pernah mengencani perempuan sebelumnya. Ia dikenal sebagai pria ramah, menggoda tetapi tidak murahan. Ia selalu membuat perempuan di luar sana mengaguminya tetapi tidak bisa memilikinya. Well, Alexander tidak begitu nyaman berdekatan dengan perempuan dalam jangka waktu yang lama. Apalagi jika mereka sudah mulai mengelus-elus paha Alexander. Ia merasa kiamat akan datang. Cepat-cepat Alexander menghentikan bayangan-bayangan perempuan di kelabnya menyentuh tubuhnya.
            “Yaiks!” Alexander menggeliat. Justin tertawa melihat tingkah kekasihnya yang aneh. “Intinya, aku berharap kau bisa mengencaninya demi reputasi dan hubunganmu. Kau mengerti?” Tanya Alexander menunjuk-nunjuk dagu Justin, menggoda kekasihnya.
            “Ya, ya, ya. Terserah kau. Sebaiknya kita tidur!” seru Justin tiba-tiba saja memeluk Alexander lalu memutar-mutar tubuh kekasihnya sambil tertawa bahagia. Mereka kelihatan seperti pasangan serasi yang manis. Hanya saja.. dunia tidak menerimanya.

***

            Giavanna tampak sangat terburu-buru. Sudah jam 8 lewat dan ia harus sampai di tempatnya sebelum Justin berada di kantor. Ia berlari melewati anak tangga yang rasanya dibuat sebanyak 100 tangga, lalu berhenti sejenak di depan penjaga gedung RCS Advertisement dan memperlihatkan tanda pengenalnya kalau ia bekerja bagi Justin Richardson, pemilik perusahaan itu. Setelah dipersilahkan masuk ke dalam gedung. Perempuan itu berlari secepat mungkin menuju lift yang tak jauh dari tempatnya berdiri tadi. Seseorang telah masuk ke dalam lift itu. Tak ingin membuang-buang waktu, Giavanna melepas sepatu tumit tingginya dan berlari seperti atlit terlatih. Tubuh kurusnya menyamping masuk ke dalam lift ketika pintu lift hampir tertutup. Dan akhirnya, ia dapat bernafas lega. Jari telunjuknya menekan tombol angka 9.
            “Akhirnya,” desah Giavanna merasa senang. Ia segera memakai sepatu tumit tingginya kembali lalu merapikan pakaiannya. Pria yang berada di sebelah Giavanna menahan senyum, bibirnya berkedut-kedut ingin tertawa. Giavanna mendongak dengan senyum menghias wajahnya dan kemudian surut begitu saja ketika ia mendapati dirinya bersama dengan pria bajingan ini. Justin Richardson, untuk pertama kalinya, berada dalam satu lift. Mengapa dari tiga lift di gedung RCS Advertisement, Giavanna memilih yang satu ini? Pilihan yang sangat buruk! Justin hanya diam, tak mengatakan apa-apa meski ia tahu Giavanna sedang memerhatikannya. Perempuan itu melangkah ke samping untuk menjauh dari Justin. Justin tersenyum miring. Sebelumnya, tidak ada seorangpun berani berada satu lift bersama Justin, kecuali Alexander. Dan dari semua hari yang ada, Justin harus terjebak satu lift dengan Giavanna, perempuan yang diminta Alexander untuk dikencani.
            “Bagaimana keadaan Arthur?” Tanya Giavanna membuka percakapan.
            “Dia sudah sehat,” ucap Justin tanpa menatap Giavanna. “Dan jangan lupa siang ini kita akan pergi ke labirin,” lanjut Justin mengingatkan. Beberapa detik setelah ucapan itu, lift mereka berhenti. Mata Justin melihat ke langit-langit, ia menganalisis apa yang terjadi. Lampu dalam lift mati-nyala beberapa kali, setelahnya, hanya lampu darurat yang menyala. Nafas Justin tercekat begitu saja. Ia tidak bisa! Ia tidak bisa terjebak di dalam lift seperti ini. Ya Tuhan, ada yang salah! Justin yang awalnya bersikap biasa saja, tiba-tiba mundur beberapa langkah hingga punggungnya menyentuh dinding lift. Begitupun Giavanna yang kelihatan sangat panik. Ah, mati lampu. Dan, mereka terjebak di dalam lift. Berdua.
            Giavanna tak takut jika ia terjebak di dalam lift sendirian atau dengan orang lain. Tetapi dengan Justin Richardson? Bunuh saja dia sekarang! Ia tak ingin terjebak dengan iblis seperti Justin. Kakinya melangkah ke belakang, ke arah yang berlawanan dari Justin. Lampu darurat menerangi mereka namun Justin kelihatan begitu ketakutan. Butir-butir keringat mulai muncul di pelipis pria itu. Giavanna memerhatikan Justin mulai kesulitan bernafas. Sungguh? Benarkah? Giavanna tidak akan percaya jika Justin takut karena mati lampu. Giavanna mengabaikannya. Siapa tahu saja pria ini hanya menipunya. Tidak mungkin seorang Justin Richardson takut karena mati lampu bukan? Bahkan lampu darurat pun menyala—meski remang-remang.
            Pria itu merogoh kantong celananya. Sebuah ponsel sekarang berada dalam genggamannya, ia langsung menekan nomor 911. Satu nada. Dua nada. Tiga nada.
            “911, aku Justin Richardson. Gedung RCS Advertisement mati lampu dan aku terjebak di dalam lift. Tolong aku sekarang juga. Kirim siapa pun agar aku selamat!” Seru Justin.
            “Baiklah, Mr.Richardson. Pemadam kebakaran akan datang untuk membantu Anda,” ucap operator 911 dengan nada tenang. Tetapi sebelum operator itu berucap kembali, Justin telah mematikan ponselnya. Ia sudah ketakutan. Nafasnya tersengal-sengal.
            Justin menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha untuk menahan rasa paniknya. Dia memiliki phobia terhadap ruangan sempit dan gelap. Ruangan yang remang-remang itu cukup membuat Justin panik. Malah Justin merasa ruangan itu semakin lama semakin sempit seperti kedua dindingnya akan saling bertabrakan hingga tubuh Justin terlihat seperti isi roti lapis. Pandangannya menyorot Giavanna yang berada di hadapannya, perempuan itu menatap Justin dengan raut wajah biasa-biasa saja. Perempuan itu tampak baik-baik saja? Mereka sebentar lagi akan mati! Justin memejamkan mata untuk menenangkan diri. Tidak, tidak, tidak. Ini hanya mati lampu dan itu tidak berarti apa-apa, pria itu berucapa dalam hati. Mata Justin terbuka, matanya memerah—bukan karena ingin menangis—ia marah. Pada akhirnya Justin terduduk di atas lift, tak sanggup lagi untuk berdiri. Giavanna terkesiap.
            “Justin, apa kau baik-baik saja?” Tanya Giavanna berhati-hati. Ia melangkah menuju Justin pelan-pelan lalu berjongkok di hadapan atasannya. Justin menatap Giavanna dengan tatapan kesal. Ia berusaha untuk mengatur nafasnya, tetapi semakin sulit. Kedatangan Giavanna membuat ruangan ini lebih terasa sempit. Telapak tangan Justin berkeringat, ia meremas jas hitam yang ia pakai.
            “Apa aku kelihatan baik-baik saja?” Bentak Justin yang membuat Giavanna mundur satu langkah. Justin memeluk perut, tubuhnya menggigil merasa panas-dingin. “Ah, sial,” umpatnya tak tahan. Giavanna melepas sepatu tumit tingginya lalu duduk di sebelah Justin. Kakinya ia selonjorkan dan berdiam diri di samping Justin. Ia tak tahu apa yang harus lakukan! Apa ia harus memeluk pria itu? Menenangkannya? Atau memukulnya sampai mati agar pria ini diam? Ia tidak pernah duduk sedekat ini dengan pria. Well, memang ia pernah, tetapi atmosfer di atasnya tidak terasa seperti ini. Kali ini ia merasa lebih intim dan jantungnya berdegup dengan kencang. Teman-teman lelaki Giavanna memiliki otot kekar semua dan tak ada satupun diantara mereka menyukai Giavanna—menurut Giavanna seperti itu—karena mereka telah memiliki kekasih. Dan Justin? Perasaan ini seharusnya tidak ada. Perasaan gugup duduk berdekatan seperti ini dengan Justin. Lagi pula, Justin gay!
            Senyum Giavanna muncul menghias wajahnya. Senyumannya kali ini lembut. Tidak pernah Justin dapatkan sebelumnya dari perempuan ini. Untunglah, Justin tidak melihatnya. Segera Giavanna menyenggolkan siku-sikunya ke lengan Justin.
            “Tenanglah, ini hanya mati lampu,” ucap Giavanna tidak ingin terdengar peduli. Sayangnya, Giavanna memang peduli dengan Justin. Untuk saat ini, setidaknya. Sekarang pria itu bernafas melewati mulut, bahkan kepalanya terasa begitu pening.
            “A-aku memiliki phobia gelap dan sempit. Tidakkah kau mengerti? Jadi, diamlah!” Bentak Justin semakin menyudutkan diri di sudut lift. Giavanna tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang, ia tidak pernah menenangkan pria sebelumnya. Karena menurutnya, pria itu kuat! Sejauh ini, yang telah dilihat Giavanna, teman-teman prianya tidak takut pada apa pun. Giavanna mensejajarkan diri dengan Justin lalu ia menepuk-nepuk paha Justin. Justin memiliki phobia dan Giavanna baru mengetahuinya, tentu saja Giavanna tidak mengerti. Dan, mengapa pula lampu belum menyala? Ini membuat Giavanna merasa ia telah menurunkan harga diri di depan Justin.
            Tubuh Giavanna menegang saat Justin menyandarkan kepalanya di atas bahu Giavanna lalu memeluk lengannya seperti anak kecil memeluk gulingnya. Dada Justin naik-turun saking paniknya. Giavanna bingung. Apa dia harus balas memeluk atau menampar pipi Justin karena telah lancang memeluk lengannya? Ia mendongakkan kepalanya, menatap langit-langit lift remang-remang lalu melihat ke sekeliling seperti orang bodoh. Hanya nafas tersengal-sengal Justin saja yang terdengar di telinga mereka selama beberapa menit pertama sejak Justin memeluk lengan Giavanna.
            Justin teringat akan Alexander. Kekasihnya tahu apa yang harus ia lakukan jika Justin sedang ketakutan. Alexander pasti akan memeluknya lalu mengelus-elus punggung Justin hingga lembut sementara Justin menyembunyikan wajahnya di dada kekasihnya. Pujaan hatinya pasti akan memberikan kata-kata semangat agar Justin tak takut lagi. Biasanya hal itu akan berhasil. Dan sekarang, Justin terpaksa harus menurunkan harga dirinya agar ia mendapatkan ketenangan dari asistennya—yang tidak sama sekali membantu. Akhirnya, karena sudah tak tahan lagi, Justin menarik tubuh Giavanna dan menempatkan perempuan itu di atas pahanya. Rok perempuan itu tertarik ke atas saat Giavanna terpaksa harus membuka paha. Lalu Justin memeluknya, ia menekuk lutut sehingga punggung Giavanna dapat bersandar di pahanya.
            Mata Giavanna membulat panik. Apa-apaan yang Justin lakukan sekarang? Pria itu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Giavanna. Wajah tampan Justin tenggelam di antara buah dada Giavanna. Nafas Giavanna tercekat. Dia pria gay dan ia melakukan ini?! Giavanna berusaha untuk tenang. Sebagai wanita yang normal, apa yang Justin lakukan akan merangsangnya. Justin tidak perlu khawatir tentang dirinya karena ia tidak akan bergairah memeluk Giavanna seperti ini! Posisi ini adalah posisi terekstrim bagi Giavanna seumur hidup selama Giavanna memiliki teman pria. Dan pria pertama yang mengambil posisi ini adalah atasannya sendiri. Pria tidak begitu Giavanna sukai.
            “Justin, ini posisi yang benar-benar tak menguntungkan diriku,” ucap Giavanna memecahkan keheningan. Justin hanya berdeham dan menggumamkan sesuatu. Pori-pori seluruh tubuh Giavanna meremang, suasana menjadi begitu panas. Tenang, Giavanna. Ia hanya pria gay yang berusaha menenangkan dirinya, pikir Giavanna yakin. Tidak akan ada yang terjadi. Justin memalingkan kepalanya ke kanan, sehingga hanya sisi pipi kiri yang menempel di antara buah dada Giavanna. Lalu pria itu membuka mulut.
            “Terima kasih, aku merasa cukup tenang,” bisik Justin memejamkan mata. “Aku gay. Kau tidak perlu takut, aku tidak akan melecehkanmu. Lagi pula, kau tidak begitu menarik bagiku,”
            “Begitukah? Oke, lepas—“
            “Baiklah, baiklah! Kau begitu menarik bagiku. Biasanya Alexander memperlakukanku seperti ini. Memelukku dan membiarkanku berdiam…” Justin segera menutup mulut menyadari perempuan ini bisa mengancamnya jika Justin memberitahu apa yang biasa ia lakukan dengan Alexander. Perempuan ini licik! Tiba-tiba lift bergerak ke atas, lampu menyala. Justin langsung meluruskan lututnya, namun tak menjatuhkan Giavanna yang masih berada dalam pelukannya. Posisi yang Justin berikan benar-benar menggoda, namun Giavanna membuat jauh-jauh pikiran kotornya. Ia tidak ingin melakukan hal itu bersama pria yang salah. Contohnya, Justin. Ia langsung bangkit dari paha Justin dan memakai kembali sepatu tumit tingginya. Justin ikut berdiri, ia sudah dapat bernafas lega lagi.
            “Dadamu tidak begitu empuk,” komentar Justin, kembali dengan sifat sombongnya. Giavanna hanya memutar bola mata, mengabaikan perkataan Justin. Manusia tak tahu diuntung! Giavanna mengumpat dalam hati. Ia memaki-maki dan menatap tajam pria di hadapannya itu. Sialan! Sungguh sialan.
            “Mengapa tidak langsung berciuman saja?” Giavanna menyiratkan penghinaan.
            “Jika itu terjadi, aku akan menyikat gigiku lebih banyak daripada yang seharusnya,”
            “Ya, kau lakukan itu.” Tawa Giavanna tertawa mengejek.
            Pintu lift tiba-tiba terbuka. Semua karyawan yang sedang bersandar di kursi kerjanya dengan kaki yang diselonjorkan di atas meja, mendongak untuk melihat siapa yang akan muncul dari lift. Kakinya ia turunkan secepat mungkin. Karyawan-karyawan lain juga melihat siapa tiba di lantai 9 setelah mati lampu yang berdurasi 20 menit. Mereka menganga tak percaya. Giavanna baru saja membenarkan pakaiannya—khususnya rok—dan Justin merapikan jasnya. Lalu Justin melangkah lebih dulu dari Giavanna. Wajahnya memerah—bukan karena malu—marah, mengapa lampu bisa mati? Giavanna ikut melangkah di belakang Justin. Semua karyawan menatap Justin sepanjang pria itu berjalan menuju ruangannya.
            Salah satunya Morgan. Perempuan itu menganga tak percaya. Sangat. Sulit. Dipercaya.

***

            Setengah hari berada di kantor, Justin dan Giavanna akhirnya keluar dari kantor. Tentu tidak bersamaan. Hal itu akan memunculkan banyak pertanyaan diantara mereka. Justin tidak ingin dirumorkan berpacaran dengan perempuan seperti Giavanna. Seperti tidak ada perempuan lain saja di dunia ini. Mobil limosin Justin melaju cepat menuju rumahnya untuk menjemput Arthur yang belum ingin sekolah. Giavanna diam-diam saja, tidak banyak bicara sepanjang hari di kantor dan di dalam mobil Justin. Mereka duduk berseberangan tetapi dengan sisi yang berlawanan. Justin sesekali melirik Giavanan yang menggeletukkan giginya seperti anak kecil.
            Giavanna masih mengingat apa yang terjadi di dalam lift tadi pagi! Ya Tuhan, pertama kali Justin memeluknya dan Justin memilih posisi seperti itu. Dan kau tahu, saat Giavanna pergi ke kamar mandi untuk mengecek apa yang terjadi di bawah sana, ternyata dirinya terangsang. Huh, jika Giavanna lesbian, tentu hal itu tidak terjadi—celana dalam basah. Tidak berbeda jauh dengan Justin yang ternyata juga memikirkan kejadian tadi pagi. Justin mungkin pernah mencium perempuan, tetapi keintiman yang biasa ia dapatkan dari Alexander dapat ia rasakan dari Giavanna. Perasaan aneh yang membuat Justin terkekeh pelan. Perempuan itu gugup saat Justin memeluknya. Tentu saja Justin dapat mengetahuinya. Degup jantung Giavanna seperti orang yang telah berlari marathon dari Amerika ke Asia lalu kembali ke Amerika. Justin jadi tertarik dengan tawaran Alexander. Setelah dijebak oleh Giavanna, Justin berpikir, mengapa ia tidak menjebak Giavanan juga? Ah, ide cemerlang! Justin diam-diam tersenyum licik dengan pemikirannya yang sangat kotor dan jahat. Tetapi senyum itu surut begitu saja, mengingat kenangan buruk pernah terjadi pada Justin. Dan Giavanna… ia selalu mengingatkan Justin pada kejadian itu. Justin memejamkan mata. Sebisa mungkin Justin mengubur ingatan buruk itu sedalam mungkin.
            Giavanna berdeham. “Kau tahu apa? Setelah kita keluar dari lift tadi, para karyawan memerhatikanku. Mereka semua telah berpikir yang tidak-tidak tentangku,” ceracau Giavanna menatap Justin tajam. Justin yang awalnya menatap keluar jendela segera menoleh melihat Giavanna lalu kedua alisnya terangkat.
            “Oh ya? Aku tidak yakin. Kau berdiri tepat di belakangku. Mereka memerhatikanku, bukan kau,” ucap Justin, seperti biasa, menyombongkan diri. Mata Giavanna membulat.
            “Memerhatikanmu? Ya, memerhatikanmu sambil berpikir, ‘Oh ya ampun, pasti Giavanna begitu puas selama di lift tadi. Baju acak-acakan, roknya ia rapikan dan ia mengambil tasnya dari lantai lift! Apa yang telah Justin lakukan? Aku juga ingin seperti Giavanna!’,” ucap Giavanna seperti suara remaja yang menjerit ketika melihat idolanya di tengah jalan. “Dan yang berucap seperti itu sebagian adalah pria,” lanjut Giavanna menyinggung.
            Salah alis Justin terangkat. “Kau tahu apa masalahmu, Giavanna? Kau menyukaiku dan itu sudah terlihat jelas. Kau sengaja mengambil foto-foto itu agar kau bisa memiliki waktu lebih banyak denganku. Dan kau akan terlihat seperti kekasihku di luar sana. Tetapi kau terlalu—“
            “Sst, sst!” Giavanna mengangkat satu tangannya agar Justin menghentikan ucapannya. “Hanya orang buta saja yang dapat melihat betapa bodohnya wanita di luar sana menyukai dirimu atau mengagumimu. Nah, aku sebagai wanita yang normal,”—Giavanna menekankan nada di kata terakhir—“tentu tidak ingin bersamamu. Kau tampan tetapi gay? Sangat disayangkan. Aku menyesal untuk perempuan-perempuan di luar sana yang menyukaimu karena jika mereka mengetahui kebenarannya, mereka akan lebih memilih agar nyawanya dicabut. Dasar. Gay. Sombong.” Ucap Giavanna menekan tiga kata terakhir itu. Justin menahan tawa, mengingat wanita itu gila, Justin lebih memilih untuk diam. Limosin Justin berhenti di depan rumah. Terlihat Arthur sudah menunggu Justin di luar rumah bersama pelayan. Anak itu bersemangat sampai ia bertepuk tangan dan melompat-lompat di tempat. Dengan cepat ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam.
            “Gigs!” Seru Arthur bahagia.
            “Oh, tidak! Tidak dengan panggilan itu,” erang Giavanna merasa jijik akan panggilan itu. Arthur tertawa, ia duduk di sebelah Giavanna lalu ia melepaskan ransel yang berada di belakang punggung.
            “Ayo, kita jemput daddy Alexander!” Seru Arthur mengepal tangan dan meninju udara. Ia begitu bahagia. Jari telunjuk Justin yang panjang menutupi garis bibirnya yang mulai berkedut-kedut. Aku penasaran apa yang akan terjadi di sana, pikir Justin berdeham memerhatikan Arthur yang mulai memamerkan barang-barang yang ia bawa pada Giavanna.
            Sekarang, jemput kekasihnya, Alexander.

***

            Sialnya, Alexander sedang jengkel pada Justin. Mengingat apa yang dikatakan Morgan pada Alexander melalui ponsel tadi pagi sungguh membuat Alexander cemburu—dan bodohnya, Morgan tidak curiga kalau Alexander gay. Alexander dari tadi hanya berdiam diri, tidak mengajak Justin berbicara. Berada di dalam labirin, Giavanna terus menjaga Alexander agar ia tak hilang dari pandangannya. Anak itu bergerak lebih cepat dari dugaan Giavanna. Justin dan Alexander berjalan berdua di belakang Giavanna dan Arthur. Tiba-tiba Arthur berbelok ke kanan bersama Giavanna sehingga mereka berdua lepas dari pandangan dua pria gay itu. Justin membuka mulut, ia sadar jika ia tidak memulai percakapan maka mereka tidak akan berbicara selamanya.
            “Giavanna dan aku tidak punya hubungan apa pun, Alexander. Percayalah,” ucap Justin menunduk. Mereka berjalan begitu lambat. Seperti perempuan yang menyembunyikan perasaan sakit hati, Alexander mendongak melihat Justin lalu tersenyum manis.
            “Tidak apa,” bisik Alexander. “Itu yang kumau, bukan? Kau dan Giavanna dekat. Justru aku ingin kalian kelihatan seperti telah berpacaran,”
            “Oh ayolah, Alex, jangan berbohong. Aku tahu kau sakit hati,” ucap Justin dan Alexander berbelok ke kanan, mengikuti Arthur dan Giavanna tadi. Tetapi mereka sudah tidak kelihatan lagi. Mereka menghilang entah kemana. Labirin ini luas. Justin cukup khawatir bila Arthur menghilang di labirin ini. Cepat-cepat ia buang pikiran itu. “Dan, mengapa harus Giavanna? Kau tahu aku punya kenangan buruk, Alex,”
            “Aku tidak bermaksud buruk padamu, Justin. Tetapi itulah yang kupikirkan. Kalian berdekatan selama beberapa bulan agar orang-orang di luar sana mengira kau pria normal. Kita berdua tahu itu demi hubungan ini,” ucap Alexander ngotot. Emosi Justin mulai mendidih, namun ia pria yang dapat menenangkan emosinya jika ia berhadapan dengan Alexander, kekasihnya. Ia tak begitu berani untuk menampar Alexander. Hati kekasihnya begitu lembut dan mudah tersakiti, Justin tidak ingin menyakitinya. Diam selama beberapa menit untuk menenangkan diri, Justin akhirnya membuka mulut.
            “Alex, kau tahu kenangan burukku begitu pahit. Kau ingin aku selalu mengingat kejadian itu tiap kali berkencan dengan Giavanna? Mungkin bagimu ia perempuan yang manis, ya, itu hanya di hadapanmu. Dia menyukaimu dan ia tak menyukaiku. Jadi, kau lihat keadaan sekarang? Kau yang lebih memungkinkan untuk mendapatkan Giavanna,” ucap Justin. Lalu ia mengumpat. Sialan! Giavanna telah mengetahui hubungan gay mereka dan sudah jelas, Giavanna sudah tak ingin lagi bersama-sama dengan Alexander. Cepat-cepat Justin menyetujuinya. “Baiklah, akan kucoba untuk mendekatinya,”
            Alexander tersenyum terkejut senang. “Benarkah? Kau memang yang terbaik!” seru Alexander begitu senang. Pria itu menarik kepala Justin lalu mengecup bibirnya selama beberapa detik. Justin hanya tersenyum, ia melayang karena telah dikecup oleh kekasihnya, malah ia terhuyung ke samping hampir terjatuh ke samping. Dinding daun-daun labirin itu pasti akan menyelamatkan Justin. Tiba-tiba Arthur muncul berlari ke arahnya dengan nafas tersengal-sengal. Kemana Giavanna?
            “Daddy, daddy, daddy!” Teriak Arthur histeris. Ia berhenti di depan Justin dan berusaha bernafas. Arthur memegang kedua tangan Justin. Ayahnya mengangkat kedua alisnya. “Gigs menghilang! Gigs menghilang daddy!” Teriak Arthur lagi.
            “Baguslah,” ucap Justin, bercanda.

            “Sungguh, daddy! Gigs menghilang!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar