Mata
cokelat lembut Giavanna menatap Hailey yang telah terlelap di atas tempat
tidur. Tangan Hailey memeluk perutnya yang mulai berbentuk. Kemudian matanya
terpejam mengingat apa yang dikatakan Liam sebelum Giavanna meninggalkan
apartemen dan mendapati Justin telah selesai berbicara di ponselnya. Jika
Giavanna tak memiliki hati nurani atau belas kasihan pada pria itu, sudah pasti
Liam mati di tangan… pria kulit hitam di belakang Liam. Giavanna tentu tidak
ingin membunuh orang jika ia masih bisa memakai orang lain untuk membunuh orang
yang ia benci. Alasan Liam sesungguhnya bukan masalah perekonomiannya, tetapi
orang lain. Orang ketiga. Liam mencintai wanita lain di luar sana. Wanita yang
tidak pernah dikenal atau ditemui Hailey. Liam brengsek luar biasa dan Giavanna
tidak ingin memberitahu alasan ini. Hailey pasti akan merasa sangat sakit hati.
Giavanna
tidak ingin mengambil risiko Hailey keguguran hanya karena stress. Liam dipukul
habis-habisan sampai ia pingsan lalu Giavanna meninggalkannya. Orang-orang di
luar sana harus melewati mayat Giavanna sebelum mereka ingin menyakiti hati
sahabatnya. Hailey satu-satunya yang Giavanna miliki. Ia sahabat sekaligus
keluarganya. Giavanna tak pernah bertemu dengan ayah kandungnya, ibunya
termasuk perempuan yang kuat. Ia tinggal dalam kesusahan namun ibunya masih
bisa menyekolahkannya hingga Giavanna lulus SMA. Masih diingatnya ketika ibu
Giavanna berusaha untuk bunuh diri dengan cara menggantung diri—dan gagal
karena Giavanna berhasil menyelamatkannya—karena tak kuat untuk hidup lebih
lama lagi. Giavanna tahu bagaimana rasanya ditinggalkan begitu saja oleh orang
yang sangat dicintai. Tidak memiliki ayah seumur hidupnya tidak mempengaruhi
ketertarikan Giavanna terhadap lelaki. Ia masih menyukai pria, hanya saja,
sampai sekarang ia belum begitu memikirkan jodohnya.
Memiliki
kepintaran yang bisa dibanggakan cukup membuat Giavanna mendapatkan beasiswa
selama dua tahun di tempat kuliahnya. Ibunya meninggal setelah Giavanna
berkuliah selama satu tahun di salah satu kampus di Atlanta—tempat yang
mempertemukan Giavanna dan Hailey di kampus. Dan di apertemen inilah Giavanna
hidup selama lima tahun bersama Hailey. Sempat Giavanna berpikir sifat
optimisnya ia dapatkan dari ayah, tetapi ia memejamkan mata, meyakinkan diri
kalau ibunya mengandung dirinya seperti Komodo mengandung. Sahabatnya
bergerak di atas tempat tidur lalu mengerjap-kerjapkan matanya. Ia terkejut
melihat Giavanna berada di mulut pintu kamar.
“Giavanna,” desahnya dengan suara
serak. “Kau baru pulang? Sudah jam berapa ini?” Tanya Hailey menarik jam weker di atas meja kecil di
samping tempat tidurnya. Sudah jam 3 pagi. Kemana saja Giavanna sampai-sampai
ia lama pulang? Giavanna tersenyum lemah.
“Aku
lembur,” bisiknya berbohong. Hailey mengernyikan kening, bingung. Sejak kapan
Giavanna lembur? Tidak seperti biasanya. Giavanna tahu Hailey tak percaya akan
ucapannya, jadi ia membuka mulutnya kembali. “Sungguh, Justin memintaku untuk
membuat laporan. Dan yah, aku terlalu larut dalam keseriusan sampai aku lupa…
untuk pulang,” desahnya kelelahan. Hailey hanya mengangguk percaya dengan yang
dikatakan Giavanna lalu ia kembali terlelap. Perempuan
bermata cokelat lembut itu kemudian menarik gagang pintu dari dalam dan menutup
kamar.
Hari ini bukan hari yang begitu
menyenangkan.
***
Pria berambut gondrong itu sudah
terlelap di samping pria yang masih membuka matanya. Sinar bulan yang menerangi
malam menembus tirai putihnya sehingga bayangan pria itu terlihat di tembok. Pria itu tidak dapat tidur
setelah percakapan makan malam bersama kekasihnya. Tidak begitu menyenangkan
untuk dibicarakan tetapi terus dibahas. Justin tidak bisa menerima kenyataan
bahwa perempuan itu kembali lagi dalam hidupnya. Rambut cokelat panjang
bergelombang, mata cokelat tajam menatapnya, dan lekukan tubuh yang hampir
sama. Justin memejamkan mata beberapa saat lalu kembali membukanya. Mengapa
Giavanna harus bekerja di perusahaannya? Mengapa Morgan menerimanya? Banyak
pertanyaan yang membuat Justin dilema, apakah ia harus memecat perempuan ini
atau mempertahankannya? Perempuan itu memiliki rahasia memalukan Justin dan
tentu saja Justin tidak ingin perempuan itu membeberkannya pada publik.
Majalah-majalah akan meliputi Justin dan merusak nama baiknya. Sangat
menyedihkan ketika kau harus bekerja bersama dengan orang yang hampir sama
dengan orang dulu sangat kaubenci.
Tangan
Alexander memeluk perut telanjang berotot Justin dengan nyaman. Kepalanya
berada di samping dada Justin untuk mendapatkan posisi nyaman. Kembali Justin
mengembus nafas panjang untuk menenangkan diri. Jika bukan karena Arthur,
anaknya, yang meminta pergi jalan-jalan keluar besok, sudah pasti Arthur dan
Giavanna tidak akan ber6temu lagi. Justin berpikir untuk membuat jaga jarak
diantara Giavanna dan Arthur. Mulut anaknya tidak bisa dijaga dan anehnya,
Arthur lebih menurut pada Giavanna dibanding Justin. Itu membuat Justin cukup
kesal.
“Kau
tidak tidur, sayang?” Tanya Alexander dari bawah dapat merasakan kekasihnya
belum terlelap. Ia mendongak agar dapat melihat kekasihnya. “Sudah jam berapa
ini?”
Justin
melirik jam dinding kamar, sudah pukul 3 subuh. “Aku
terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Sebaiknya
kau tidur kembali,”
“Kau
memikirkan Giavanna?” Tanya Alexander, curiga. Justin menggelengkan kepala,
berbohong. Ia tidak ingin membuat Alexander merasa terkhianati. Pria ini telah
menyelamatkan nyawanya di badai salju dan Justin tidak pernah bisa berhenti
berterima kasih atas kejadian itu. Mereka memang ditakdirkan bersatu. Alexander
menipiskan bibirnya lalu memindahkan kepala ke atas dada Justin yang telanjang.
Beberapa tato menghias tubuh pria itu menambah keseksiannya yang sangat
kelewatan. Mungkin wanita-wanita di luar sana akan merasa gagal sebagai
perempuan. Bagaimana bisa seorang tampan seperti Justin menjadi seorang gay?
Orang yang seharusnya kaum wanita ciumi dan cintai berubah menjadi mimpi buruk
karena keberadaannya sebagai gay.
Alexander
berdeham. Matanya memerhatikan tirai putih di samping Justin. “Giavanna
termasuk perempuan yang manis. Aku menyukai semangatnya dan keramahannya.
Tetapi tetap saja aku cemburu karena ia memiliki lebih banyak waktu bersamamu
dibanding kau bersamaku,” rengek Alexander manja. Justin terkekeh pelan akan
ucapan konyol kekasihnya. Giavanna perempuan yang manis? Bagaimana bisa
Alexander mengatakannya seperti itu? Alexander belum pernah bersama dengan
Giavanna seharian, jadi, dia tidak tahu bagaimana rasa sebenarnya.
“Dia
perempuan yang manis? Kurasa tidak,” Justin tersenyum mencemooh.
Kepala
Alexander kembali terdongak. “Aku punya ide. Mengapa kau tidak mendekatinya
saja? Maksudku, itulah kebiasaanmu agar hubungan kita tetap terjaga. Kau tidak
ingin bukan hubungan kita terhenti di tengah jalan?” Tanya Alexander yang
sepertinya kerasukan.
“Kau
gila? Aku tidak pernah berkencan dengan asistenku sendiri. Apa yang akan
dikatakan orang-orang di luar sana?” Justin memprotes. Alexander pasti sudah
gila. Bukan apa-apa, pasti rasanya akan aneh jika Justin berkencan dengan
Giavanna sementara Giavanna telah mengetahui hubungan asmaranya dengan
Alexander. Giavanna tak mudah dibodoh-bodohi.
“Mungkin
aku akan cemburu sedikit. Tapi tak apalah, daripada orang-orang di luar sana
tahu hubungan kita? Aku tidak ingin reputasimu hancur hanya karena aku,” ucapan
romantis itu diucapkan oleh pria yang ditujukan oleh pria lain. Sangat salah.
Sungguh salah. Alexander mengelus pipi Justin dengan lembut. “Oh, ayolah, tidak
akan seburuk yang kaupikirkan,” lanjut Alexander membujuk. Tidak seburuk yang kupikirkan? Apa tidak ada perempuan lain selain
Giavanna? Giavanna adalah wanita gila! Aku tidak ingin berkencan dengannya demi
hubunganku, ucap Justin dalam hati, panik. Justin hanya tertawa renyah akan
ucapan kekasihnya, menganggapnya hanya lelucon semata lalu ia memeluk bahu
Alexander dan mengelusnya.
“Aku
tidak begitu yakin dengan ide konyol itu,” ucap Justin, tetap tak setuju.
Alexander tidak begitu senang dengan keputusan Justin yang tidak menuruti
keinginannya. Orang-orang di luar sana harus tahu bahwa kekasihnya adalah orang
yang normal, bukan gay seperti ini. Alexander masih ingin bersama dengan
Justin, tetapi reputasi yang telah dibangun kekasihnya ini lebih penting.
Hubungan mereka tetap bertahan karena Justin yang menuruti permintaannya,
termasuk mengencani perempuan. Hanya dengan cara itu, orang-orang di luar sana
tidak akan curiga dan mereka masih bisa menjalin cinta.
“Itu
bukan ide yang konyol! Aku percaya padamu. Kau bisa mengencaninya—hanya untuk
menjaga nama baikmu. Giavanna perempuan yang manis,”
“Mengapa
tidak kau saja yang mengencaninya? Giavanan tidak menyukaiku karena perlakuanku
yang cukup keras padanya dan sepertinya ia sedikit menyukaimu,” ucap Justin
menggoda Alexander. Kekasihnya tertawa pelan. Tidak mungkin Giavanna
menyukainya! Alexander tidak pernah mengencani perempuan sebelumnya. Ia dikenal
sebagai pria ramah, menggoda tetapi tidak murahan. Ia selalu membuat perempuan
di luar sana mengaguminya tetapi tidak bisa memilikinya. Well, Alexander tidak
begitu nyaman berdekatan dengan perempuan dalam jangka waktu yang lama. Apalagi
jika mereka sudah mulai mengelus-elus paha Alexander. Ia merasa kiamat akan
datang. Cepat-cepat Alexander menghentikan bayangan-bayangan perempuan di
kelabnya menyentuh tubuhnya.
“Yaiks!” Alexander menggeliat. Justin tertawa
melihat tingkah kekasihnya yang aneh. “Intinya, aku berharap kau bisa
mengencaninya demi reputasi dan hubunganmu. Kau mengerti?” Tanya Alexander
menunjuk-nunjuk dagu Justin, menggoda kekasihnya.
“Ya, ya, ya. Terserah kau. Sebaiknya
kita tidur!” seru Justin tiba-tiba saja memeluk Alexander lalu memutar-mutar
tubuh kekasihnya sambil tertawa bahagia. Mereka kelihatan seperti pasangan
serasi yang manis. Hanya saja.. dunia tidak menerimanya.
***
Giavanna tampak sangat terburu-buru.
Sudah jam 8 lewat dan ia harus sampai di tempatnya sebelum Justin berada di
kantor. Ia berlari melewati anak tangga yang rasanya dibuat sebanyak 100
tangga, lalu berhenti sejenak di depan penjaga gedung RCS Advertisement dan
memperlihatkan tanda pengenalnya kalau ia bekerja bagi Justin Richardson,
pemilik perusahaan itu. Setelah dipersilahkan masuk ke dalam gedung. Perempuan
itu berlari secepat mungkin menuju lift yang tak jauh dari tempatnya berdiri
tadi. Seseorang telah masuk ke dalam lift itu. Tak ingin membuang-buang waktu,
Giavanna melepas sepatu tumit tingginya dan berlari seperti atlit terlatih. Tubuh kurusnya menyamping masuk
ke dalam lift ketika pintu lift hampir tertutup. Dan akhirnya, ia dapat
bernafas lega. Jari telunjuknya menekan tombol angka 9.
“Akhirnya,”
desah Giavanna merasa senang. Ia segera memakai sepatu tumit tingginya kembali
lalu merapikan pakaiannya. Pria yang berada di sebelah Giavanna menahan senyum,
bibirnya berkedut-kedut ingin tertawa. Giavanna mendongak dengan senyum
menghias wajahnya dan kemudian surut begitu saja ketika ia mendapati dirinya
bersama dengan pria bajingan ini. Justin Richardson, untuk pertama kalinya,
berada dalam satu lift. Mengapa dari tiga lift di gedung RCS Advertisement,
Giavanna memilih yang satu ini? Pilihan yang sangat buruk! Justin hanya diam,
tak mengatakan apa-apa meski ia tahu Giavanna sedang memerhatikannya. Perempuan
itu melangkah ke samping untuk menjauh dari Justin. Justin tersenyum miring.
Sebelumnya, tidak ada seorangpun berani berada satu lift bersama Justin, kecuali
Alexander. Dan dari semua hari yang ada, Justin harus terjebak satu lift dengan
Giavanna, perempuan yang diminta Alexander untuk dikencani.
“Bagaimana
keadaan Arthur?” Tanya Giavanna membuka percakapan.
“Dia
sudah sehat,” ucap Justin tanpa menatap Giavanna. “Dan jangan lupa siang ini
kita akan pergi ke labirin,” lanjut Justin mengingatkan. Beberapa detik setelah
ucapan itu, lift mereka berhenti. Mata Justin melihat ke langit-langit, ia
menganalisis apa yang terjadi. Lampu dalam lift mati-nyala beberapa kali,
setelahnya, hanya lampu darurat yang menyala. Nafas Justin tercekat begitu
saja. Ia tidak bisa! Ia tidak bisa terjebak di dalam lift seperti ini. Ya Tuhan,
ada yang salah! Justin yang awalnya bersikap biasa saja, tiba-tiba mundur
beberapa langkah hingga punggungnya menyentuh dinding lift. Begitupun Giavanna
yang kelihatan sangat panik. Ah, mati lampu. Dan, mereka terjebak di dalam
lift. Berdua.
Giavanna
tak takut jika ia terjebak di dalam lift sendirian atau dengan orang lain.
Tetapi dengan Justin Richardson? Bunuh saja dia sekarang! Ia tak ingin terjebak
dengan iblis seperti Justin. Kakinya melangkah ke belakang, ke arah yang
berlawanan dari Justin. Lampu darurat menerangi mereka namun Justin kelihatan
begitu ketakutan. Butir-butir keringat mulai muncul di pelipis pria itu.
Giavanna memerhatikan Justin mulai kesulitan bernafas. Sungguh? Benarkah?
Giavanna tidak akan percaya jika Justin takut karena mati lampu. Giavanna
mengabaikannya. Siapa tahu saja pria ini hanya menipunya. Tidak mungkin seorang
Justin Richardson takut karena mati lampu bukan? Bahkan lampu
darurat pun menyala—meski remang-remang.
Pria itu merogoh kantong celananya. Sebuah ponsel sekarang berada
dalam genggamannya, ia langsung menekan nomor 911. Satu nada. Dua nada. Tiga
nada.
“911,
aku Justin Richardson. Gedung RCS Advertisement mati lampu dan aku terjebak di
dalam lift. Tolong aku sekarang juga. Kirim siapa pun agar aku
selamat!” Seru
Justin.
“Baiklah,
Mr.Richardson. Pemadam kebakaran akan datang untuk membantu Anda,” ucap operator
911 dengan nada tenang. Tetapi sebelum operator itu berucap kembali, Justin
telah mematikan ponselnya. Ia sudah ketakutan. Nafasnya tersengal-sengal.
Justin
menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha untuk menahan rasa paniknya. Dia
memiliki phobia terhadap ruangan sempit dan gelap. Ruangan yang remang-remang
itu cukup membuat Justin panik. Malah Justin merasa ruangan itu semakin lama
semakin sempit seperti kedua dindingnya akan saling bertabrakan hingga tubuh
Justin terlihat seperti isi roti lapis. Pandangannya menyorot Giavanna yang
berada di hadapannya, perempuan itu menatap Justin dengan raut wajah
biasa-biasa saja. Perempuan itu tampak baik-baik saja? Mereka sebentar lagi
akan mati! Justin memejamkan mata untuk menenangkan diri. Tidak, tidak, tidak. Ini hanya mati lampu dan itu tidak berarti apa-apa,
pria itu berucapa dalam hati. Mata Justin terbuka, matanya memerah—bukan karena
ingin menangis—ia marah. Pada akhirnya Justin terduduk di atas lift, tak
sanggup lagi untuk berdiri. Giavanna terkesiap.
“Justin,
apa kau baik-baik saja?” Tanya Giavanna berhati-hati. Ia melangkah
menuju Justin pelan-pelan lalu berjongkok di hadapan atasannya. Justin menatap Giavanna dengan
tatapan kesal. Ia berusaha untuk mengatur nafasnya, tetapi semakin sulit.
Kedatangan Giavanna membuat ruangan ini lebih terasa sempit. Telapak tangan
Justin berkeringat, ia meremas jas hitam yang ia pakai.
“Apa
aku kelihatan baik-baik saja?” Bentak Justin yang membuat Giavanna mundur satu
langkah. Justin memeluk perut, tubuhnya menggigil merasa panas-dingin. “Ah,
sial,” umpatnya tak tahan. Giavanna melepas sepatu tumit tingginya lalu duduk
di sebelah Justin. Kakinya ia selonjorkan dan berdiam diri di samping Justin.
Ia tak tahu apa yang harus lakukan! Apa ia harus memeluk pria itu? Menenangkannya?
Atau memukulnya sampai mati agar pria ini diam? Ia tidak pernah duduk sedekat
ini dengan pria. Well, memang ia pernah, tetapi atmosfer di atasnya tidak
terasa seperti ini. Kali ini ia merasa lebih intim dan jantungnya berdegup
dengan kencang. Teman-teman lelaki Giavanna memiliki otot kekar semua dan tak
ada satupun diantara mereka menyukai Giavanna—menurut Giavanna seperti
itu—karena mereka telah memiliki kekasih. Dan Justin? Perasaan ini seharusnya
tidak ada. Perasaan gugup duduk berdekatan seperti ini dengan Justin. Lagi
pula, Justin gay!
Senyum
Giavanna muncul menghias wajahnya. Senyumannya kali ini lembut. Tidak pernah
Justin dapatkan sebelumnya dari perempuan ini. Untunglah, Justin tidak
melihatnya. Segera Giavanna menyenggolkan siku-sikunya ke lengan Justin.
“Tenanglah,
ini hanya mati lampu,” ucap Giavanna tidak ingin terdengar peduli. Sayangnya,
Giavanna memang peduli dengan Justin. Untuk saat ini, setidaknya. Sekarang pria
itu bernafas melewati mulut, bahkan kepalanya terasa begitu pening.
“A-aku
memiliki phobia gelap dan sempit. Tidakkah kau mengerti? Jadi, diamlah!” Bentak
Justin semakin menyudutkan diri di sudut lift. Giavanna tak tahu apa yang harus
ia lakukan sekarang, ia tidak pernah menenangkan pria sebelumnya. Karena
menurutnya, pria itu kuat! Sejauh ini, yang telah dilihat Giavanna, teman-teman
prianya tidak takut pada apa pun. Giavanna mensejajarkan diri dengan Justin
lalu ia menepuk-nepuk paha Justin. Justin memiliki phobia dan Giavanna baru
mengetahuinya, tentu saja Giavanna tidak mengerti. Dan, mengapa pula lampu
belum menyala? Ini membuat Giavanna merasa ia telah menurunkan harga diri di
depan Justin.
Tubuh Giavanna menegang saat Justin
menyandarkan kepalanya di atas bahu Giavanna lalu memeluk lengannya seperti
anak kecil memeluk gulingnya. Dada
Justin naik-turun saking paniknya. Giavanna bingung. Apa dia harus balas
memeluk atau menampar pipi Justin karena telah lancang memeluk lengannya? Ia
mendongakkan kepalanya, menatap langit-langit lift remang-remang lalu melihat
ke sekeliling seperti orang bodoh. Hanya nafas tersengal-sengal Justin saja
yang terdengar di telinga mereka selama beberapa menit pertama sejak Justin
memeluk lengan Giavanna.
Justin
teringat akan Alexander. Kekasihnya tahu apa yang harus ia lakukan jika Justin
sedang ketakutan. Alexander pasti akan memeluknya lalu mengelus-elus punggung
Justin hingga lembut sementara Justin menyembunyikan wajahnya di dada
kekasihnya. Pujaan hatinya pasti akan memberikan kata-kata semangat agar Justin
tak takut lagi. Biasanya hal itu akan berhasil. Dan sekarang, Justin terpaksa
harus menurunkan harga dirinya agar ia mendapatkan ketenangan dari
asistennya—yang tidak sama sekali membantu. Akhirnya, karena sudah tak tahan
lagi, Justin menarik tubuh Giavanna dan menempatkan perempuan itu di atas
pahanya. Rok perempuan itu tertarik ke atas saat Giavanna terpaksa harus
membuka paha. Lalu Justin memeluknya, ia menekuk lutut sehingga punggung
Giavanna dapat bersandar di pahanya.
Mata
Giavanna membulat panik. Apa-apaan yang Justin lakukan sekarang? Pria itu
melingkarkan kedua tangannya di pinggang Giavanna. Wajah tampan Justin
tenggelam di antara buah dada Giavanna. Nafas Giavanna tercekat. Dia pria gay
dan ia melakukan ini?! Giavanna berusaha untuk tenang. Sebagai wanita yang
normal, apa yang Justin lakukan akan merangsangnya. Justin tidak perlu khawatir
tentang dirinya karena ia tidak akan bergairah memeluk Giavanna seperti ini!
Posisi ini adalah posisi terekstrim bagi Giavanna seumur hidup selama Giavanna
memiliki teman pria. Dan pria pertama yang mengambil posisi ini adalah
atasannya sendiri. Pria tidak begitu Giavanna sukai.
“Justin, ini posisi yang benar-benar
tak menguntungkan diriku,” ucap Giavanna memecahkan keheningan. Justin hanya
berdeham dan menggumamkan sesuatu. Pori-pori seluruh tubuh Giavanna meremang,
suasana menjadi begitu panas. Tenang,
Giavanna. Ia hanya pria gay yang berusaha menenangkan dirinya, pikir
Giavanna yakin. Tidak akan ada yang terjadi. Justin memalingkan kepalanya ke
kanan, sehingga hanya sisi pipi kiri yang menempel di antara buah dada
Giavanna. Lalu pria itu membuka mulut.
“Terima kasih, aku merasa cukup
tenang,” bisik Justin memejamkan mata. “Aku gay. Kau tidak perlu takut, aku
tidak akan melecehkanmu. Lagi pula, kau tidak begitu menarik bagiku,”
“Begitukah? Oke, lepas—“
“Baiklah,
baiklah! Kau begitu menarik bagiku. Biasanya Alexander
memperlakukanku seperti ini. Memelukku dan membiarkanku berdiam…” Justin segera
menutup mulut menyadari perempuan ini bisa mengancamnya jika Justin memberitahu
apa yang biasa ia lakukan dengan Alexander. Perempuan ini licik! Tiba-tiba lift
bergerak ke atas, lampu menyala. Justin langsung meluruskan lututnya, namun tak
menjatuhkan Giavanna yang masih berada dalam pelukannya. Posisi yang Justin berikan
benar-benar menggoda, namun Giavanna membuat jauh-jauh pikiran kotornya. Ia
tidak ingin melakukan hal itu bersama pria yang salah. Contohnya,
Justin. Ia langsung bangkit dari paha Justin dan memakai kembali sepatu tumit
tingginya. Justin ikut berdiri, ia sudah dapat bernafas lega lagi.
“Dadamu tidak begitu empuk,”
komentar Justin, kembali dengan sifat sombongnya. Giavanna hanya memutar bola mata,
mengabaikan perkataan Justin. Manusia tak
tahu diuntung! Giavanna mengumpat dalam hati. Ia memaki-maki dan menatap
tajam pria di hadapannya itu. Sialan! Sungguh sialan.
“Mengapa
tidak langsung berciuman saja?” Giavanna menyiratkan penghinaan.
“Jika
itu terjadi, aku akan menyikat gigiku lebih banyak daripada yang seharusnya,”
“Ya,
kau lakukan itu.” Tawa Giavanna tertawa mengejek.
Pintu
lift tiba-tiba terbuka. Semua karyawan yang sedang bersandar di kursi kerjanya
dengan kaki yang diselonjorkan di atas meja, mendongak untuk melihat siapa yang
akan muncul dari lift. Kakinya ia turunkan secepat mungkin. Karyawan-karyawan
lain juga melihat siapa tiba di lantai 9 setelah mati lampu yang berdurasi 20
menit. Mereka menganga tak percaya. Giavanna baru saja membenarkan
pakaiannya—khususnya rok—dan Justin merapikan jasnya. Lalu Justin melangkah
lebih dulu dari Giavanna. Wajahnya memerah—bukan karena malu—marah, mengapa
lampu bisa mati? Giavanna ikut melangkah di belakang Justin. Semua karyawan
menatap Justin sepanjang pria itu berjalan menuju ruangannya.
Salah
satunya Morgan. Perempuan itu menganga tak percaya. Sangat. Sulit. Dipercaya.
***
Setengah
hari berada di kantor, Justin dan Giavanna akhirnya keluar dari kantor. Tentu
tidak bersamaan. Hal itu akan memunculkan banyak pertanyaan diantara mereka.
Justin tidak ingin dirumorkan berpacaran dengan perempuan seperti Giavanna.
Seperti tidak ada perempuan lain saja di dunia ini. Mobil limosin Justin melaju
cepat menuju rumahnya untuk menjemput Arthur yang belum ingin sekolah. Giavanna
diam-diam saja, tidak banyak bicara sepanjang hari di kantor dan di dalam mobil
Justin. Mereka duduk berseberangan tetapi dengan sisi yang berlawanan. Justin
sesekali melirik Giavanan yang menggeletukkan giginya seperti anak kecil.
Giavanna
masih mengingat apa yang terjadi di dalam lift tadi pagi! Ya Tuhan, pertama
kali Justin memeluknya dan Justin memilih posisi seperti itu. Dan kau tahu,
saat Giavanna pergi ke kamar mandi untuk mengecek apa yang terjadi di bawah sana, ternyata dirinya terangsang. Huh, jika Giavanna lesbian, tentu
hal itu tidak terjadi—celana dalam basah. Tidak berbeda jauh dengan Justin yang
ternyata juga memikirkan kejadian tadi pagi. Justin mungkin pernah mencium
perempuan, tetapi keintiman yang biasa ia dapatkan dari Alexander dapat ia
rasakan dari Giavanna. Perasaan aneh yang membuat Justin terkekeh pelan.
Perempuan itu gugup saat Justin memeluknya. Tentu saja Justin dapat
mengetahuinya. Degup jantung Giavanna seperti orang yang telah berlari marathon
dari Amerika ke Asia lalu kembali ke Amerika. Justin jadi tertarik dengan
tawaran Alexander. Setelah dijebak oleh Giavanna, Justin berpikir, mengapa ia
tidak menjebak Giavanan juga? Ah, ide cemerlang! Justin diam-diam tersenyum
licik dengan pemikirannya yang sangat kotor dan jahat. Tetapi senyum itu surut
begitu saja, mengingat kenangan buruk pernah terjadi pada Justin. Dan Giavanna…
ia selalu mengingatkan Justin pada kejadian itu. Justin memejamkan mata. Sebisa
mungkin Justin mengubur ingatan buruk itu sedalam mungkin.
Giavanna
berdeham. “Kau tahu apa? Setelah kita keluar dari lift tadi, para karyawan
memerhatikanku. Mereka semua telah berpikir yang tidak-tidak tentangku,”
ceracau Giavanna menatap Justin tajam. Justin yang awalnya menatap keluar
jendela segera menoleh melihat Giavanna lalu kedua alisnya terangkat.
“Oh
ya? Aku tidak yakin. Kau berdiri tepat di belakangku. Mereka memerhatikanku,
bukan kau,” ucap Justin, seperti biasa, menyombongkan diri. Mata Giavanna
membulat.
“Memerhatikanmu? Ya, memerhatikanmu
sambil berpikir, ‘Oh ya ampun, pasti Giavanna begitu puas selama di lift tadi.
Baju acak-acakan, roknya ia rapikan dan ia mengambil tasnya dari lantai lift!
Apa yang telah Justin lakukan? Aku juga ingin seperti Giavanna!’,” ucap
Giavanna seperti suara remaja yang menjerit ketika melihat idolanya di tengah
jalan. “Dan yang
berucap seperti itu sebagian adalah pria,” lanjut Giavanna menyinggung.
Salah
alis Justin terangkat. “Kau tahu apa masalahmu, Giavanna? Kau menyukaiku dan
itu sudah terlihat jelas. Kau sengaja mengambil foto-foto itu agar kau bisa
memiliki waktu lebih banyak denganku. Dan kau akan terlihat seperti kekasihku
di luar sana. Tetapi kau terlalu—“
“Sst,
sst!” Giavanna mengangkat satu tangannya agar Justin menghentikan ucapannya.
“Hanya orang buta saja yang dapat melihat betapa bodohnya wanita di luar sana
menyukai dirimu atau mengagumimu. Nah, aku sebagai wanita yang normal,”—Giavanna menekankan nada di
kata terakhir—“tentu tidak ingin bersamamu. Kau tampan tetapi gay? Sangat
disayangkan. Aku menyesal untuk perempuan-perempuan di luar sana yang
menyukaimu karena jika mereka mengetahui kebenarannya, mereka akan lebih
memilih agar nyawanya dicabut. Dasar. Gay. Sombong.” Ucap Giavanna menekan tiga
kata terakhir itu. Justin menahan tawa, mengingat wanita itu gila, Justin lebih
memilih untuk diam. Limosin Justin berhenti di depan rumah. Terlihat Arthur
sudah menunggu Justin di luar rumah bersama pelayan. Anak itu bersemangat
sampai ia bertepuk tangan dan melompat-lompat di tempat. Dengan cepat ia
membuka pintu mobil dan masuk ke dalam.
“Gigs!”
Seru Arthur bahagia.
“Oh,
tidak! Tidak dengan panggilan itu,” erang Giavanna merasa jijik akan panggilan
itu. Arthur tertawa, ia duduk di sebelah Giavanna lalu ia melepaskan ransel
yang berada di belakang punggung.
“Ayo,
kita jemput daddy Alexander!” Seru Arthur mengepal tangan dan meninju udara. Ia
begitu bahagia. Jari telunjuk Justin yang panjang menutupi garis bibirnya yang
mulai berkedut-kedut. Aku penasaran apa
yang akan terjadi di sana, pikir Justin berdeham memerhatikan Arthur yang
mulai memamerkan barang-barang yang ia bawa pada Giavanna.
Sekarang,
jemput kekasihnya, Alexander.
***
Sialnya,
Alexander sedang jengkel pada Justin. Mengingat apa yang dikatakan Morgan pada
Alexander melalui ponsel tadi pagi sungguh membuat Alexander cemburu—dan
bodohnya, Morgan tidak curiga kalau Alexander gay. Alexander dari tadi hanya
berdiam diri, tidak mengajak Justin berbicara. Berada di dalam labirin,
Giavanna terus menjaga Alexander agar ia tak hilang dari pandangannya. Anak itu
bergerak lebih cepat dari dugaan Giavanna. Justin dan Alexander berjalan berdua
di belakang Giavanna dan Arthur. Tiba-tiba Arthur berbelok ke kanan bersama
Giavanna sehingga mereka berdua lepas dari pandangan dua pria gay itu. Justin
membuka mulut, ia sadar jika ia tidak memulai percakapan maka mereka tidak akan
berbicara selamanya.
“Giavanna
dan aku tidak punya hubungan apa pun, Alexander. Percayalah,” ucap Justin
menunduk. Mereka berjalan begitu lambat. Seperti perempuan yang menyembunyikan
perasaan sakit hati, Alexander mendongak melihat Justin lalu tersenyum manis.
“Tidak
apa,” bisik Alexander. “Itu yang kumau, bukan? Kau dan Giavanna dekat. Justru
aku ingin kalian kelihatan seperti telah berpacaran,”
“Oh
ayolah, Alex, jangan berbohong. Aku tahu kau sakit hati,” ucap Justin dan
Alexander berbelok ke kanan, mengikuti Arthur dan Giavanna tadi. Tetapi mereka
sudah tidak kelihatan lagi. Mereka menghilang entah kemana. Labirin ini luas.
Justin cukup khawatir bila Arthur menghilang di labirin ini. Cepat-cepat ia
buang pikiran itu. “Dan, mengapa harus Giavanna? Kau tahu aku punya kenangan
buruk, Alex,”
“Aku
tidak bermaksud buruk padamu, Justin. Tetapi itulah yang kupikirkan. Kalian
berdekatan selama beberapa bulan agar orang-orang di luar sana mengira kau pria
normal. Kita berdua tahu itu demi hubungan ini,” ucap Alexander
ngotot. Emosi Justin mulai mendidih, namun ia pria yang dapat menenangkan
emosinya jika ia berhadapan dengan Alexander, kekasihnya. Ia tak begitu berani untuk
menampar Alexander. Hati kekasihnya begitu lembut dan mudah tersakiti, Justin
tidak ingin menyakitinya. Diam selama beberapa menit untuk menenangkan diri,
Justin akhirnya membuka mulut.
“Alex,
kau tahu kenangan burukku begitu pahit. Kau ingin aku selalu mengingat kejadian
itu tiap kali berkencan dengan Giavanna? Mungkin bagimu ia perempuan yang manis,
ya, itu hanya di hadapanmu. Dia menyukaimu dan ia tak menyukaiku. Jadi, kau
lihat keadaan sekarang? Kau yang lebih memungkinkan untuk mendapatkan
Giavanna,” ucap Justin. Lalu ia mengumpat. Sialan! Giavanna telah mengetahui
hubungan gay mereka dan sudah jelas, Giavanna sudah tak ingin lagi bersama-sama
dengan Alexander. Cepat-cepat Justin menyetujuinya. “Baiklah, akan kucoba untuk
mendekatinya,”
Alexander
tersenyum terkejut senang. “Benarkah? Kau memang yang terbaik!” seru Alexander
begitu senang. Pria itu menarik kepala Justin lalu mengecup bibirnya selama
beberapa detik. Justin hanya tersenyum, ia melayang karena telah dikecup oleh
kekasihnya, malah ia terhuyung ke samping hampir terjatuh ke samping. Dinding daun-daun labirin itu
pasti akan menyelamatkan Justin. Tiba-tiba Arthur muncul berlari ke arahnya
dengan nafas tersengal-sengal. Kemana Giavanna?
“Daddy,
daddy, daddy!” Teriak Arthur histeris. Ia berhenti di depan Justin dan berusaha
bernafas. Arthur memegang kedua tangan Justin. Ayahnya mengangkat kedua
alisnya. “Gigs menghilang! Gigs menghilang daddy!” Teriak Arthur lagi.
“Baguslah,”
ucap Justin, bercanda.
“Sungguh,
daddy! Gigs menghilang!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar