Labirin
itu sungguh luas. Jika dilihat dari helikopter yang terbang di atas labirin
itu, sudah jelas, jarak antara Justin dan Giavanna cukup jauh dan harus
menempuh belokan-belokan yang mengecoh. Perempuan dengan rambut disanggul itu
tampak panik. Anak kecil yang seharusnya ada di sisinya, sekarang telah hilang
entah kemana. Giavanna tak terpikir untuk menghubungi Justin sampai akhirnya
ponsel di kantong roknya bergetar. Tangan kurusnya merogoh kantong roknya lalu
mengambil ponsel yang bergetar itu. Justin Richardson menghubunginya. Seketika
itu juga Giavanna panik. Bagaimana jika Arthur diculik orang jahat? Bagaimana
jika Arthur tersesat dan telah keluar dari labirin? Ya Tuhan, apa yang harus
Giavanna katakan pada Justin? Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam lalu
mengangkat teleponnya.
“Ya,
Justin,” ucap Giavanna sambil mengembus nafas panjang. Suara anak kecil
berteriak-teriak terdengar di seberang sana, membuktikan bahwa Arthur baik-baik
saja. Mata perempuan itu terpejam penuh rasa syukur. Setidaknya, Arthur telah
bersama ayahnya. Dan ayahnya yang lain.
“Kau
ada dimana?” Tanya Justin tanpa ada rasa khawatir. Tentu saja pria itu tidak
khawatir terhadap perempuan ini. Justru ia merasa senang! Setelah setengah hari
berada di kantor sambil menghirup aroma yang sama di ruang kerja, Justin
terpisah dengan Giavanna. Entah mengapa Tuhan menempatkan Giavanna di
kantornya, yang jelas Tuhan tahu apa yang sedang Ia lakukan pada Justin. Tetapi
tetap saja, Justin tidak menyukai rencana-Nya yang membuat Justin tambah
membenci Giavanna, meski alasannya tidak begitu masuk akal. Justin menunggu
jawaban dari Giavanna. Ia hanya bisa mendengar suara deru nafas Giavanna di
ponsel lalu seperti telah dijawab perempuan itu, Justin mengangguk layaknya
orang bodoh. Kemudian ia memutuskan teleponnnya.
Giavanna
menyandarkan tubuhnya ke dinding labirin di belakangnya. Mendengar suara Justin
cukup membuat Giavanna pening. Seharusnya ia tidak mengangkat telepon itu.
Entah mengapa, Giavanna merasa begitu lelah dan mengantuk. Mungkin karena
kemarin malam ia kurang tidur dan kelelahan. Giavanna terlalu banyak berpikir.
Apalagi setelah mengetahui Hailey, sahabatnya, hamil. Rasanya dunia
berputar-putar mengelilinginya, membuatnya pusing dan mual. Pekerjaan gila ini,
keadaan yang ia hadapi sekarang dan kenyataan atasannya gay membuat Giavanna
merasa jiwanya tak hidup. Ia terlalu lelah untuk berjalan sekarang. Arthur
sedari tadi berlari. Ia meminta Giavanna bermain kejar-tangkap dan berakhir
seperti ini. Sepatu tumit tinggi yang ia lepas—ketika ia bermain kejar-kejaran—sudah
berada cukup jauh dari kakinya. Tidak, tidak, tidak. Ia harus duduk sebentar,
menikmati suasana labirin dan berpikir apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
Sepertinya
meminta izin pulang ke rumah bukan ide yang buruk.
***
Kaki
anak kecil itu melayang-layang di atas kursi restoran terbuka di luar labirin.
Ia sedang menikmati makan siangnya sambil ditemani Alexander yang dari tadi
memerhatikannya sambil tersenyum. Sementara Justin terpaksa harus mencari Giavanna di dalam
labirin. Ini semua karena permintaan Alexander dan Arthur. Mengapa mereka
berdua begitu menyukai Giavanna? Mungkin hanya Justin yang normal di antara
mereka bertiga saat ia berpikir. Pengunjung labirin memerhatikan Justin yang
berlari-lari dan lalu menghilang dari penglihatan mereka. Pria itu terlihat sangat gesit
…dan tampan. Setelan hitam, kemeja
putih, dengan dasi hitam membuat perpaduan yang sangat pas. Justin berhentik
sejenak untuk mengatur nafas di tengah-tengah labirin. Dua pengunjung wanita
yang sedang berfoto-foto di daerah Justin terhipnotis begitu saja saat pria itu
berhenti di dekat mereka. Perempuan yang tadinya difoto itu berambut cokelat,
sementara yang lain berambut pirang. Mata mereka sedang dimanjakan pemandangan
langka. Ya Tuhan, pria itu sangat tampan! Ingin rasanya mereka menarik lepas
jas hitam pria itu lalu membuka kemeja putih itu dengan kasar hingga
menghasilkan suasana yang sangat erotis dan seksi.
Ah,
kemana saja mereka selama ini? Dasi pria itu tergantung-gantung bebas saat pria
itu membungkukkan tubuh. Justin menggeleng-gelengkan kepala. Seharusnya bukan
ini yang ia lakukan sekarang. Seharusnya ia menikmati makanan bersama Arthur
dan kekasihnya, bukan mencari asisten sialannya yang dari tadi tidak mengangkat
dan membalas pesan dari Justin. Dua wanita itu menghampiri Justin sambil
tersenyum-senyum genit pada Justin.
“Sir, kau butuh bantuan?” Tanya wanita
berambut cokelat yang berada di belakang wanita berambut pirang. Justin
mendongak, alisnya terangkat lalu ia tersenyum ramah. Wanita berambut pirang di
belakangnya kemudian menyodorkan tempat minum pada Justin.
“Kau
ingin minum, sir?” Tawar wanita
pirang itu. Justin terkejut. Air minum dari botol minum mereka? Tidak, terima
kasih. Tidak, Justin tidak memiliki penyakit OCD (baca: penyakit kebersihan
yang berlebihan) selama ini, hanya saja, menjijikan. Terlebih lagi jika itu
berasal dari dua orang asing seperti. Justin menggeleng ramah.
“Tidak,
terima kasih, kau sangat baik,” ucap Justin tersenyum. Ia menegakkan tubuhnya
lalu berdeham. “Ap-apa kalian melihat perempuan setinggi pundakku, memakai
pakaian kerja karyawan dan rambut tersanggul?” Tanya Justin mengingat-ingat
penampilan Giavanna yang tidak pernah membuatnya terpukau. Perempuan itu
biasa-biasa saja. Dua wanita itu terkejut. Ya Tuhan, apakah perempuan yang
dicari pria ini adalah kekasihnya? Sayang sekali, padahal mereka berniat untuk
bertukar nomor. Well, sepertinya mereka tidak akan seberuntung Giavanna—meski
bagi Giavanna, Justin adalah kesialan terburuknya. Mereka menggeleng kepala,
memang tidak bertemu dengan Giavanna. Justin mengangguk mengerti.
“Terima
kasih, ladies. Jika kau
mempersilakanku, aku permisi,” ucap Justin sangat ramah dan …jantan. Tidak ada
tanda-tanda bahwa pria itu gay. Tidak satu kalipun. Ia terlalu tampan untuk
menjadi seorang gay. Justin beranjak dari tempatnya lalu belok ke kanan,
menghilang dari pandangan dua wanita itu. Setidaknya, perempuan itu beruntung tidak
mendapat kesempatan berkenalan dengan Justin lebih dalam lagi. Mereka pasti
akan berniat bunuh diri jika mengetahui kebenarannya. Justin si Pria Gay.
Awalnya, pria itu memang tidak gay. Justin tidak gay. Ia dulu pernah berpacaran
dengan seorang perempuan—pastinya—saat ia masih SMA. Ia sangat jatuh cinta pada
perempuan ini. Justin memperkenalkan perempuan itu pada ayahnya, Richardson.
Tetapi ayah Justin tidak menyetujui hubungan mereka dikarenakan Justin harus
serius memikirkan masa depannya—yang tentunya akan menjadi penerus dari
Richardson.
Ayah
Justin meminta agar hubungan mereka putus. Dan ya, Justin dengan terpaksa putus
dengan perempuan yang sangat dicintainya. Butuh satu tahun lebih agar Justin
dapat melupakan perempuan itu. Untungnya, ayah Justin mengirim Justin pergi ke
Kanada setelah kelulusan SMA-nya. Hal itu membuat Justin membuka halaman baru
dalam hidupnya. Perempuan yang dulunya sangat ia cintai telah hilang dari
pikirannya. Sampai akhirnya, Justin bertemu dengan seorang perempuan kedua yang
membuatnya jatuh cinta. Tetapi kembali, ayahnya tak menyetujui Justin memiliki
hubungan asmara. Rasa dendam terhadap ayahnya membuat ketertarikan Justin
sedikit menyimpang. Ia ingin mendapatkan kasih sayang dari seorang pria—seorang
yang bisa ia anggap sebagai ayah. Ia menyukai pria. Seperti sekarang.
Bahkan
perempuan yang ada di hadapannya tidak membuat Justin begitu tertarik. Jika
pria normal jahat melihat perempuan ini, sudah jelas, ia akan memperkosanya.
Mata Justin memerhatikan Giavanna yang terduduk bersandar di dinding labirin,
matanya terpejam dan tampaknya sedang menikmati tidurnya yang pulas. Sungguh? Apa
ada perempuan yang lebih gila dibanding ini? Ia secara tak langsung meminta
musibah menghampirinya. Justin tak percaya akan apa yang sedang ia lihat.
Sepatu tumit tingginya bahkan telah berada di tangan Justin karena ia melihat
sepatu itu tergeletak 3 meter dari tempat Giavanna. Apa yang perempuan ini
pikirkan? Justin terjongkok di depan Giavanna.
Mata
Justin terpejam. Perempuan ini terlihat sama persis seperti dia yang ada di masa lalu Justin. Mungkin
tidak begitu sama persis, mungkin hanya potongan rambut dan warna mata yang
berbeda. Selebihnya, mereka hampir sama. Seharusnya Justin dapat melupakan
kejadian yang sudah berakhir bertahun-tahun silam. Sampai akhirnya, ia bertemu
dengan Giavanna. Wajahnya yang familiar membuat Justin sedikit tertarik, apakah
ia akan mendapatkan orang yang sama? Hanya perlu beberapa hari untuk mengetahui
apakah mereka memiliki sifat yang sama atau tidak. Mereka berdua memiliki
kepribadian yang berlawanan. Tidak mudah ketika kau bertemu dengan orang yang
mirip dengan orang yang kaukenal dan menganggap orang yang baru saja kau temui
adalah orang ‘baru’. Kepala
Justin tergeleng saat ingatan-ingatan itu menyeruak masuk kembali dalam memori.
Seseorang meringkuk di sudut ruangan sedang
menangis tersedu-sedu, berharap tak ada yang dapat menemuinya di ruangan gelap
itu. Tetapi seseorang yang lain mendekatinya, berbisik-bisik menakutkan seperti
hantu yang ingin membalas dendamnya.
“Dimana kau, sayang?” Suara
menyeramkan itu memanggil-manggilnya. Tetapi ia tak menjawab panggilan
menyeramkan itu. Ia tak ingin bertemu dengan orang itu. “Kita harus pergi
sekarang. Jangan bersembunyi,”lanjut orang itu mengeluarkan suara. Anehnya
orang itu bersikap begitu lembut padanya. Ia menyembunyikan wajahnya ke dalam
celah dua paha yang menyatu. Tidak, tidak, tidak! Ia menjerit ketika orang itu
menyentuh lengannya. Ia memberontak tak ingin disentuh.
“Apa yang
kaulakukan? Inilah yang ia mau, kau bodoh! Ia yang membuatku seperti ini!”
Teriak orang itu tidak suka ketika ia memberontak. “Ayo, keluar! Kau bahkan
belum bersiap-siap! Aku sudah bilang padamu untuk bersikap baik, mengapa kau
tak mendengarkan?”
“Tidak,
kumohon, lepaskan! Lepaskan!” Teriaknya memohon pada orang itu. Tetapi ia tak
didengar. Tangannya terus diseret-seret keluar dari ruangan gelap itu.
“Lepaskan aku!”
“Kau dan dia
yang membuatku seperti ini, sialan!”
“Justin!” panggil seseorang.
Justin
tersentak saat ia membuka matanya. Dua bola mata menatapnya dari jarak dekat,
nafas hangat yang mengembus menerpa wajahnya dan kedua alis terangkat membuat
Justin jatuh terduduk ke belakang. Sungguh, perempuan ini tolol atau apa? Giavanna
tertawa kecil melihat Justin yang terjatuh seperti anak kecil yang selera
humornya sangat rendah—jika disingkat, apa pun yang dilakukan orang dewasa bagi
mereka lucu—beberapa detik kemudian ia berhenti tertawa. Justin tak menggubris
apa yang dilakukan Giavanna. Ia bangkit dari rumput lalu melempar sepatu tumit
tinggi Giavanna ke samping tangan kanan Giavanna.
“Terima kasih,” ucap Giavanna terdengar terpaksa.
“Maaf, aku kelelahan dan tak punya pilihan lain,” ucap Giavanna mendesah lelah.
Ia harus pulang ke rumah untuk mengistirahatkan tubuhnya. Justin tak
mengucapkan sepatah kata pun. Justin masih mengingat bayang-bayang masa lalunya
yang kelam. Ya Tuhan, apakah itu benar-benar terjadi? Mengapa? Justin memutar
tubuhnya ke belakang, memunggungi Giavanna lalu berjalan pelan meninggalkan
perempuan itu. Giavanna memasang sepatu tumit tinggi sambil matanya
memerhatikan Justin yang tampak lebih pendiam—yang memang pendiam.
“Sialan!”
Giavanna mengutuk saat sepatu tumit tingginya sulit dipakai. Ia melompat-lompat
di tempat dan berharap agar ujung hak tingginya tak menancap masuk ke tanah
berumput ini. Ia mendesah lega saat kedua sepatunya telah terpasang dengan
baik. Segera ia melangkah lebih cepat menuju Justin yang mulai belok ke kanan.
Ada apa dengan pria itu? Giavanna teringat saat Justin berjongkok di hadapannya
dan memejamkan mata. Pria itu mengerutkan kening, ia tampak sangat sedih.
Giavanna tidak ingin membuat Justin malu karena tangisannya sendiri, jadi ia
memutuskan untuk memanggil Justin. Dan sekarang, Giavanna kesusahan untuk
mengejar Justin. Tangan kirinya menyentuh pundak Justin saat ia telah mencapai
Justin.
“Ya
Tuhan, kau berjalan cepat sekali,” ucap Giavanna dengan nafas terputus-putus.
“Hey, apa aku boleh pulang? Kurasa aku tidak enak badan,”
“Tetapi
kau baru saja berlari,” balas Justin tanpa menoleh pada Giavanna. Giavanna
terkesiap, ia mulai berceloteh tak terima. Apa Alexander sengaja menyuruh
Justin mencari Giavanna agar mereka berdua dapat memiliki waktu berduaan?
Justin memejamkan matanya sejenak. Ia telah berjanji pada Alexander untuk
mengencani Giavanna. Selama perempuan itu berceloteh, Justin tak
mendengar satu kata pun yang keluar dari mulut perempuan itu. Ia mengangkat
tangannya, memberi isyarat agar perempuan itu menutup mulut cerewetnya.
“Baiklah, kau boleh pulang. Aku akan mengantarmu,”
“Benarkah? Kau memang baik sekali,
Mr.Richardson,” ucap Giavanna menggoda Justin dengan memanggil pria itu
menggunakan nama belakangnya. “Kurasa kita bisa menjadi teman, kau tahu,”
“Menurutmu begitu?” Tanya Justin.
Giavanna mengangguk serius. Ia melepaskan sanggulan rambutnya hingga tergerai
indah. Justin memalingkan kepalanya untuk melihat Giavanna. Nah, sekarang,
perempuan itu kelihatan lebih cantik. Mengapa Giavanna tak pernah menggeraikan
rambutnya seperti ini selama di kantor? Entahlah, bagi Justin, perempuan itu
membingungkan. Saat rambut mereka tergerai, mereka terlihat sangat cantik. Saat
rambut mereka diikat menjadi satu, entah mengapa mereka terlihat botak. Well,
memang seperti itu perasaan Justin.
“Giavanna, aku ingin memberitahumu
sesuatu.” Ucap Justin menghentikan langkahannya. Kaki Giavanna berhenti
seketika saat Justin berhenti. Giavanna menatap Justin dengan tatapan
menyeledik. Apa yang terjadi pada pria ini? Mengapa tiba-tiba ia bersikap
serius? Bahkan sedari tadi, Justin tidak mendebat apa yang Giavanna katakan.
Arwah siapa yang merasuki tubuh Justin? Giavanna bersandar pada dinding
labirin.
“Katakanlah,” ucap Giavanna mulai
melipat kedua tangannya di depan dada. Ia sekarang kelihatan begitu angkuh.
Justin tidak begitu peduli dengan gaya perempuan ini. Ia harus bisa memenangkan
hati Giavanna agar hubungannya dengan Alexander tak putus di tengah jalan.
Terlebih lagi, Giavanna telah mengetahui rahasianya. Tetapi dibalik rahasia
terdapat rahasia yang lebih kelam. Tetapi, peduli setan! Justin tahu Giavanna
tak akan memberitahu rahasianya kali ini. Justru, Giavanna akan iba pada
Justin. Ya, benar sekali! Jika kau ingin menjatuhkan musuhmu, dekatilah mereka,
temanilah mereka lalu jatuhkan mereka setelah itu. “Hey, kau ingin
memberitahuku atau tidak?”
“Aku rasa aku gila karena
memberitahumu ini,” ucap Justin. Sejenak ia menarik nafasnya dalam-dalam lalu
akhirnya ia berucap. “Giavanna, aku memiliki masa lalu yang kelam dengan
ayahku,” kata Justin memberitahu. Saat mendengar ucapan itu, kedua alis
Giavanna terangkat lalu salah satunya turun kembali. Hanya itu? Kita semua
pasti memiliki masa lalu yang kelam! Jadi mengapa jika Justin memiliki masa
lalu yang kelam dengan ayahnya? Giavanna tak ingin menertawakan Justin. Ia
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya lalu tangannya menepuk-tepuk pundak
Justin.
“Tenanglah, kita semua memiliki masa
lalu yang kelam. Kau tak perlu merasa minder. Itu bukan salahmu, Justin,” ucap
Giavanna seperti psikolog. Tetapi masalahnya, ia bukan psikolog. Justin
menggeleng kepala.
“Tidak, bukan itu maksudku,
Giavanna,” ucap Justin menarik tangan Giavanna yang menepuk-nepuk pundaknya
sedari tadi. Tangan Justin yang besar dan kuat itu memegang lengan Giavanna
lalu ia mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Giavanna. Tangannya yang lain
menyentuh leher Giavanna sementara jempolnya mengelus-elus pipi Giavanna. Mata
Giavanna mengedip-kedip beberapa kali, jantungnya mulai berdetak lebih kencang.
“Alasan mengapa aku menjadi gay ialah ayahku,”
“Jadi? Justin, kumohon. Ini bukan
posisi yang bagus di tempat umum. Apalagi kau gay. Jika kau ingin membuat
perjanjian denganku agar kau tak terlihat gay, aku bisa memikirkannya. Tetapi,
tidak seperti ini. Kau membuatku kelihatan murahan,” ucap Giavanna merusak
suasana. Sepertinya pria ini keras kepala. Ia masih berada di posisinya yang
kelihatan sangat nyaman—jika ia seorang pria normal. Mata cokelat Justin
menatap mata Giavanna penuh arti. Ya Tuhan, mengapa tatapannya hampir sama
dengan orang itu? Jantung Giavanna
berdetak semakin kencang sampai-sampai ia merasa sebentar lagi dadanya akan
meledak saat ia diperhadapkan dengan pria setampan Justin. Tubuh mereka saling
bersentuhan, hanya pakaian mereka yang membatasi mereka. Tatapan Justin
seolah-olah dapat menyentuh hatinya. Apa yang terjadi dengannya? Justin
memejamkan mata sehingga tatapan mereka lepas begitu saja. Giavanna menegakkan
kepalanya yang terdongak lalu berdeham.
“Justin, aku tahu kau pasti memiliki
alasan mengapa kau menjadi gay. Maksudku, ayah dan ibumu normal. Tidak mungkin
bukan kau memiliki gen ‘homo’ dari kedua orangtuamu? Lagipula, aku tak begitu
tertarik mendengar ceritamu mengenai kehidupan seksualmu yang menyimpang itu,”
ucap Giavanna berusaha mencair suasana yang canggung tadi. Justin membuka
matanya, tangannya sekarang menyentuh pundak Giavanna tetapi tangannya yang
lain masih memegang lengan Giavanna. Giavanna menggaruk-garuk kepalanya yang
tak gatal. Ia tak suka dengan posisinya sekarang.
“Bukan itu maksudku,” bisik Justin. “Aku
pernah menikah sebelumnya, Giavanna,” lanjut Justin. Garukan Giavanna berhenti
begitu saja sama seperti jantungnya yang berhenti berdetak sesaat. Apa benar?
Arthur? Tidak mungkin!
“Dengan pria?” Tanya Giavanna.
“Tidak! Sialan,” umpat Justin kesal.
“Aku tak pernah menikah dengan seorang pria sebelumnya. Aku menikah dengan
seorang wanita, tentu saja,” ucap Justin berusaha menenangkan diri.
“Kau tahu, ini adalah berita baru
dan sumpah demi para dewa aku tidak akan memberitahu pada siapa pun. Tetapi, serius,
kau harus menceritakan lebih detail padaku malam ini. Bagaimana jika kau mampir
ke rumah sambil menikmati kue buatan sahabatku?”
“Tidak, terima kasih. Tapi kurasa
hotel lebih aman,”
“Baiklah, cukup adil.”
***
Layaknya sepasang kekasih, Justin telah
memasangkan cincin pada jari manis Giavanna. Begitu juga dengan jari manis
Justin. Giavanna tak mengerti mengapa Justin melakukan hal itu, tetapi ia
memutuskan untuk mengikuti rencana Justin. Mereka masih berada di dalam
limosin. Pakaian Giavanna kelihatan anggun. Setelah diperintah Justin untuk
memakai gaun terbaik yang ia miliki, Giavanna berakhir menjadi… perempuan
bergaun hitam. Gaun itu tidak sama sekali indah! Justin berpikir mungkin ia
akan membelikan gaun yang lebih baik daripada ini. Tetapi sudah terlanjur,
toko-toko pakaian telah tutup. Mobil mereka berhenti di depan hotel berbintang.
Seorang penjaga valet membuka pintu limosin Justin. Segera Justin turun dari
mobilnya lalu seperti pria jantan, ia menjulurkan tangannya ke dalam limosin
agar Giavanna bisa mengambil tangannya dan keluar dengan anggun. Perempuan itu
keluar dari limosin lalu memberi senyum manis pada penjaga valet.
“Terima kasih,” ucap Giavanna
lembut. Dan ya, Justin tidak memiliki waktu untuk berterima kasih pada pria
itu. Ia menarik Giavanna masuk ke dalam hotel. Hotel yang mereka masuki sungguh
besar dan Giavanna tak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Ah, tidak, tidak,
tidak .Giavanna tak ingin mengingat kembali masa kecilnya yang suram. Justin
tahu apa yang ia lakukan. Ia berbicara pada resepsionis tanpa melepaskan
pegangan tangannya dari tangan Giavanna. Tidak perlu menunggu lama, Justin
telah mendapatkan kartu kunci kamar.
“Sebenarnya kita tak perlu
terburu-buru, Justin. Kita masih memiliki banyak waktu,” ucap Giavanna melirik
jam tangan kecil berwarna hitam yang ia pakai. Masih jam 6 malam. Mereka masih
memiliki waktu sampai esok pagi. Dan untunglah besok adalah hari Jumat. Awalnya
Giavanna memang tak enak badan, tetapi setelah mendengar bahwa pria yang
menarik-narik tangannya sekarang pernah menikah dengan seorang wanita—yang
Tuhan, wanita!—Giavanna tertarik. Pintu lift terbuka tepat saat mereka sampai
di depan lift. Tiga pasangan keluar dari lift tanpa menyentuh Justin dan
Giavanna. Kemudian mereka melangkah masuk ke dalam lift.
Giavanna menyeringai mengingat
kejadian di lift bersama Justin. Ya Tuhan, posisi itu sungguh intim dan
Giavanna berharap Justin tak melakukan hal itu lagi. Pintu lift tertutup, detik
berikutnya, atmosfir di antara mereka berubah menjadi lebih …intim.
“Mengapa tiba-tiba kau ingin
memberitahuku tentang hal ini? Maksudku, apa kau tidak takut aku memberitahuny
pada publik? Dan apa tujuanmu memberitahu ini?” Tanya Giavanna, tak dapat
menahan mulutnya untuk bertanya. Ia mendongak agar dapat melihat Justin.
“Pertama, kurasa kau memang harus
tahu mengapa aku bisa menjadi gay. Terutama, saat kau sadar kalau kau menyukai
dan menyesal karena menyimpan perasaan itu hari-hari sebelum kau mengetahui aku
gay,”
“Demi Tuhan, rasa percaya dirimu
sangat kelewat batas, Justin. Sadar dengan hal itu? Jadi, kalau aku telah tahu
mengapa kau menjadi gay, apa untungnya bagiku?” Tanya Giavanna yang sebenarnya
tak perlu bertanya karena perempuan itu sendiri telah mengetahui jawabannya.
Justin tergelak satu kali, dari tadi ia tak menoleh melihat Giavanna.
“Aku tidak tahu apa untungnya
bagimu,” ucap Justin pura-pura bodoh. “Dan omong-omong, kau sudah bersumpah
untuk tak memberitahu pada siapa pun jika aku menceritakannya padamu. Maksudku,
tidakkah kau takut karma? Bagaimana jika keponakanmu dari sahabatmu itu
memiliki nasib yang sama denganku? Diancam seperti ini?”
“Tidak, tidak ada karma seperti itu.
Tapi terserahlah, sekarang aku tak peduli lagi mengapa kau ingin memberitahunya
padaku karena demi Tuhan, aku sangat penasaran!” Seru Giavanna kegirangan. Ia
meremas lengan Justin dengan tangannya yang tak dipegang oleh Justin. Pria ini
terlalu tegang! Giavanna dapat merasakan betapa kerasnya otot-otot pria ini
saat ia meremasnya.
“Semua orang penasaran dengan
kehidupan privasiku. Hanya beberapa orang yang masuk dalam lingkaran,
orang-orang yang mengetahui kehidupanku. Dan aku tak percaya, aku sendiri yang
memasuki dirimu dalam lingkaran itu.” Ucap Justin menggeleng-geleng tak
percaya. Pintu lift terbuka, mereka berdua keluar dari lift. Sepanjang lorong
lantai ini sangat kosong.
“Apa kau akan menceritakan
pengalaman seksmu bersama mantan istrimu?” tanya Giavanna.
“Kita bahkan belum sampai di kamar,
Giavanna!”
Nextt :D
BalasHapus