Jumat, 20 Juni 2014

Perfect Time Bab 7

            Labirin itu sungguh luas. Jika dilihat dari helikopter yang terbang di atas labirin itu, sudah jelas, jarak antara Justin dan Giavanna cukup jauh dan harus menempuh belokan-belokan yang mengecoh. Perempuan dengan rambut disanggul itu tampak panik. Anak kecil yang seharusnya ada di sisinya, sekarang telah hilang entah kemana. Giavanna tak terpikir untuk menghubungi Justin sampai akhirnya ponsel di kantong roknya bergetar. Tangan kurusnya merogoh kantong roknya lalu mengambil ponsel yang bergetar itu. Justin Richardson menghubunginya. Seketika itu juga Giavanna panik. Bagaimana jika Arthur diculik orang jahat? Bagaimana jika Arthur tersesat dan telah keluar dari labirin? Ya Tuhan, apa yang harus Giavanna katakan pada Justin? Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam lalu mengangkat teleponnya.
            “Ya, Justin,” ucap Giavanna sambil mengembus nafas panjang. Suara anak kecil berteriak-teriak terdengar di seberang sana, membuktikan bahwa Arthur baik-baik saja. Mata perempuan itu terpejam penuh rasa syukur. Setidaknya, Arthur telah bersama ayahnya. Dan ayahnya yang lain.
            “Kau ada dimana?” Tanya Justin tanpa ada rasa khawatir. Tentu saja pria itu tidak khawatir terhadap perempuan ini. Justru ia merasa senang! Setelah setengah hari berada di kantor sambil menghirup aroma yang sama di ruang kerja, Justin terpisah dengan Giavanna. Entah mengapa Tuhan menempatkan Giavanna di kantornya, yang jelas Tuhan tahu apa yang sedang Ia lakukan pada Justin. Tetapi tetap saja, Justin tidak menyukai rencana-Nya yang membuat Justin tambah membenci Giavanna, meski alasannya tidak begitu masuk akal. Justin menunggu jawaban dari Giavanna. Ia hanya bisa mendengar suara deru nafas Giavanna di ponsel lalu seperti telah dijawab perempuan itu, Justin mengangguk layaknya orang bodoh. Kemudian ia memutuskan teleponnnya.
            Giavanna menyandarkan tubuhnya ke dinding labirin di belakangnya. Mendengar suara Justin cukup membuat Giavanna pening. Seharusnya ia tidak mengangkat telepon itu. Entah mengapa, Giavanna merasa begitu lelah dan mengantuk. Mungkin karena kemarin malam ia kurang tidur dan kelelahan. Giavanna terlalu banyak berpikir. Apalagi setelah mengetahui Hailey, sahabatnya, hamil. Rasanya dunia berputar-putar mengelilinginya, membuatnya pusing dan mual. Pekerjaan gila ini, keadaan yang ia hadapi sekarang dan kenyataan atasannya gay membuat Giavanna merasa jiwanya tak hidup. Ia terlalu lelah untuk berjalan sekarang. Arthur sedari tadi berlari. Ia meminta Giavanna bermain kejar-tangkap dan berakhir seperti ini. Sepatu tumit tinggi yang ia lepas—ketika ia bermain kejar-kejaran—sudah berada cukup jauh dari kakinya. Tidak, tidak, tidak. Ia harus duduk sebentar, menikmati suasana labirin dan berpikir apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
            Sepertinya meminta izin pulang ke rumah bukan ide yang buruk.

***

            Kaki anak kecil itu melayang-layang di atas kursi restoran terbuka di luar labirin. Ia sedang menikmati makan siangnya sambil ditemani Alexander yang dari tadi memerhatikannya sambil tersenyum. Sementara Justin terpaksa harus mencari Giavanna di dalam labirin. Ini semua karena permintaan Alexander dan Arthur. Mengapa mereka berdua begitu menyukai Giavanna? Mungkin hanya Justin yang normal di antara mereka bertiga saat ia berpikir. Pengunjung labirin memerhatikan Justin yang berlari-lari dan lalu menghilang dari penglihatan mereka. Pria itu terlihat sangat gesit …dan tampan. Setelan hitam,  kemeja putih, dengan dasi hitam membuat perpaduan yang sangat pas. Justin berhentik sejenak untuk mengatur nafas di tengah-tengah labirin. Dua pengunjung wanita yang sedang berfoto-foto di daerah Justin terhipnotis begitu saja saat pria itu berhenti di dekat mereka. Perempuan yang tadinya difoto itu berambut cokelat, sementara yang lain berambut pirang. Mata mereka sedang dimanjakan pemandangan langka. Ya Tuhan, pria itu sangat tampan! Ingin rasanya mereka menarik lepas jas hitam pria itu lalu membuka kemeja putih itu dengan kasar hingga menghasilkan suasana yang sangat erotis dan seksi.
            Ah, kemana saja mereka selama ini? Dasi pria itu tergantung-gantung bebas saat pria itu membungkukkan tubuh. Justin menggeleng-gelengkan kepala. Seharusnya bukan ini yang ia lakukan sekarang. Seharusnya ia menikmati makanan bersama Arthur dan kekasihnya, bukan mencari asisten sialannya yang dari tadi tidak mengangkat dan membalas pesan dari Justin. Dua wanita itu menghampiri Justin sambil tersenyum-senyum genit pada Justin.
            “Sir, kau butuh bantuan?” Tanya wanita berambut cokelat yang berada di belakang wanita berambut pirang. Justin mendongak, alisnya terangkat lalu ia tersenyum ramah. Wanita berambut pirang di belakangnya kemudian menyodorkan tempat minum pada Justin.
            “Kau ingin minum, sir?” Tawar wanita pirang itu. Justin terkejut. Air minum dari botol minum mereka? Tidak, terima kasih. Tidak, Justin tidak memiliki penyakit OCD (baca: penyakit kebersihan yang berlebihan) selama ini, hanya saja, menjijikan. Terlebih lagi jika itu berasal dari dua orang asing seperti. Justin menggeleng ramah.
            “Tidak, terima kasih, kau sangat baik,” ucap Justin tersenyum. Ia menegakkan tubuhnya lalu berdeham. “Ap-apa kalian melihat perempuan setinggi pundakku, memakai pakaian kerja karyawan dan rambut tersanggul?” Tanya Justin mengingat-ingat penampilan Giavanna yang tidak pernah membuatnya terpukau. Perempuan itu biasa-biasa saja. Dua wanita itu terkejut. Ya Tuhan, apakah perempuan yang dicari pria ini adalah kekasihnya? Sayang sekali, padahal mereka berniat untuk bertukar nomor. Well, sepertinya mereka tidak akan seberuntung Giavanna—meski bagi Giavanna, Justin adalah kesialan terburuknya. Mereka menggeleng kepala, memang tidak bertemu dengan Giavanna. Justin mengangguk mengerti.
            “Terima kasih, ladies. Jika kau mempersilakanku, aku permisi,” ucap Justin sangat ramah dan …jantan. Tidak ada tanda-tanda bahwa pria itu gay. Tidak satu kalipun. Ia terlalu tampan untuk menjadi seorang gay. Justin beranjak dari tempatnya lalu belok ke kanan, menghilang dari pandangan dua wanita itu. Setidaknya, perempuan itu beruntung tidak mendapat kesempatan berkenalan dengan Justin lebih dalam lagi. Mereka pasti akan berniat bunuh diri jika mengetahui kebenarannya. Justin si Pria Gay. Awalnya, pria itu memang tidak gay. Justin tidak gay. Ia dulu pernah berpacaran dengan seorang perempuan—pastinya—saat ia masih SMA. Ia sangat jatuh cinta pada perempuan ini. Justin memperkenalkan perempuan itu pada ayahnya, Richardson. Tetapi ayah Justin tidak menyetujui hubungan mereka dikarenakan Justin harus serius memikirkan masa depannya—yang tentunya akan menjadi penerus dari Richardson.
            Ayah Justin meminta agar hubungan mereka putus. Dan ya, Justin dengan terpaksa putus dengan perempuan yang sangat dicintainya. Butuh satu tahun lebih agar Justin dapat melupakan perempuan itu. Untungnya, ayah Justin mengirim Justin pergi ke Kanada setelah kelulusan SMA-nya. Hal itu membuat Justin membuka halaman baru dalam hidupnya. Perempuan yang dulunya sangat ia cintai telah hilang dari pikirannya. Sampai akhirnya, Justin bertemu dengan seorang perempuan kedua yang membuatnya jatuh cinta. Tetapi kembali, ayahnya tak menyetujui Justin memiliki hubungan asmara. Rasa dendam terhadap ayahnya membuat ketertarikan Justin sedikit menyimpang. Ia ingin mendapatkan kasih sayang dari seorang pria—seorang yang bisa ia anggap sebagai ayah. Ia menyukai pria. Seperti sekarang.
            Bahkan perempuan yang ada di hadapannya tidak membuat Justin begitu tertarik. Jika pria normal jahat melihat perempuan ini, sudah jelas, ia akan memperkosanya. Mata Justin memerhatikan Giavanna yang terduduk bersandar di dinding labirin, matanya terpejam dan tampaknya sedang menikmati tidurnya yang pulas. Sungguh? Apa ada perempuan yang lebih gila dibanding ini? Ia secara tak langsung meminta musibah menghampirinya. Justin tak percaya akan apa yang sedang ia lihat. Sepatu tumit tingginya bahkan telah berada di tangan Justin karena ia melihat sepatu itu tergeletak 3 meter dari tempat Giavanna. Apa yang perempuan ini pikirkan? Justin terjongkok di depan Giavanna.
            Mata Justin terpejam. Perempuan ini terlihat sama persis seperti dia yang ada di masa lalu Justin. Mungkin tidak begitu sama persis, mungkin hanya potongan rambut dan warna mata yang berbeda. Selebihnya, mereka hampir sama. Seharusnya Justin dapat melupakan kejadian yang sudah berakhir bertahun-tahun silam. Sampai akhirnya, ia bertemu dengan Giavanna. Wajahnya yang familiar membuat Justin sedikit tertarik, apakah ia akan mendapatkan orang yang sama? Hanya perlu beberapa hari untuk mengetahui apakah mereka memiliki sifat yang sama atau tidak. Mereka berdua memiliki kepribadian yang berlawanan. Tidak mudah ketika kau bertemu dengan orang yang mirip dengan orang yang kaukenal dan menganggap orang yang baru saja kau temui adalah orang ‘baru’. Kepala Justin tergeleng saat ingatan-ingatan itu menyeruak masuk kembali dalam memori.
            Seseorang meringkuk di sudut ruangan sedang menangis tersedu-sedu, berharap tak ada yang dapat menemuinya di ruangan gelap itu. Tetapi seseorang yang lain mendekatinya, berbisik-bisik menakutkan seperti hantu yang ingin membalas dendamnya.
            Dimana kau, sayang?” Suara menyeramkan itu memanggil-manggilnya. Tetapi ia tak menjawab panggilan menyeramkan itu. Ia tak ingin bertemu dengan orang itu. “Kita harus pergi sekarang. Jangan bersembunyi,”lanjut orang itu mengeluarkan suara. Anehnya orang itu bersikap begitu lembut padanya. Ia menyembunyikan wajahnya ke dalam celah dua paha yang menyatu. Tidak, tidak, tidak! Ia menjerit ketika orang itu menyentuh lengannya. Ia memberontak tak ingin disentuh.
            “Apa yang kaulakukan? Inilah yang ia mau, kau bodoh! Ia yang membuatku seperti ini!” Teriak orang itu tidak suka ketika ia memberontak. “Ayo, keluar! Kau bahkan belum bersiap-siap! Aku sudah bilang padamu untuk bersikap baik, mengapa kau tak mendengarkan?”
            “Tidak, kumohon, lepaskan! Lepaskan!” Teriaknya memohon pada orang itu. Tetapi ia tak didengar. Tangannya terus diseret-seret keluar dari ruangan gelap itu. “Lepaskan aku!”
            “Kau dan dia yang membuatku seperti ini, sialan!”
            “Justin!” panggil seseorang.
            Justin tersentak saat ia membuka matanya. Dua bola mata menatapnya dari jarak dekat, nafas hangat yang mengembus menerpa wajahnya dan kedua alis terangkat membuat Justin jatuh terduduk ke belakang. Sungguh, perempuan ini tolol atau apa? Giavanna tertawa kecil melihat Justin yang terjatuh seperti anak kecil yang selera humornya sangat rendah—jika disingkat, apa pun yang dilakukan orang dewasa bagi mereka lucu—beberapa detik kemudian ia berhenti tertawa. Justin tak menggubris apa yang dilakukan Giavanna. Ia bangkit dari rumput lalu melempar sepatu tumit tinggi Giavanna ke samping tangan kanan Giavanna.
            “Terima kasih,” ucap Giavanna terdengar terpaksa. “Maaf, aku kelelahan dan tak punya pilihan lain,” ucap Giavanna mendesah lelah. Ia harus pulang ke rumah untuk mengistirahatkan tubuhnya. Justin tak mengucapkan sepatah kata pun. Justin masih mengingat bayang-bayang masa lalunya yang kelam. Ya Tuhan, apakah itu benar-benar terjadi? Mengapa? Justin memutar tubuhnya ke belakang, memunggungi Giavanna lalu berjalan pelan meninggalkan perempuan itu. Giavanna memasang sepatu tumit tinggi sambil matanya memerhatikan Justin yang tampak lebih pendiam—yang memang pendiam.
            “Sialan!” Giavanna mengutuk saat sepatu tumit tingginya sulit dipakai. Ia melompat-lompat di tempat dan berharap agar ujung hak tingginya tak menancap masuk ke tanah berumput ini. Ia mendesah lega saat kedua sepatunya telah terpasang dengan baik. Segera ia melangkah lebih cepat menuju Justin yang mulai belok ke kanan. Ada apa dengan pria itu? Giavanna teringat saat Justin berjongkok di hadapannya dan memejamkan mata. Pria itu mengerutkan kening, ia tampak sangat sedih. Giavanna tidak ingin membuat Justin malu karena tangisannya sendiri, jadi ia memutuskan untuk memanggil Justin. Dan sekarang, Giavanna kesusahan untuk mengejar Justin. Tangan kirinya menyentuh pundak Justin saat ia telah mencapai Justin.
            “Ya Tuhan, kau berjalan cepat sekali,” ucap Giavanna dengan nafas terputus-putus. “Hey, apa aku boleh pulang? Kurasa aku tidak enak badan,”
            “Tetapi kau baru saja berlari,” balas Justin tanpa menoleh pada Giavanna. Giavanna terkesiap, ia mulai berceloteh tak terima. Apa Alexander sengaja menyuruh Justin mencari Giavanna agar mereka berdua dapat memiliki waktu berduaan? Justin memejamkan matanya sejenak. Ia telah berjanji pada Alexander untuk mengencani Giavanna. Selama perempuan itu berceloteh, Justin tak mendengar satu kata pun yang keluar dari mulut perempuan itu. Ia mengangkat tangannya, memberi isyarat agar perempuan itu menutup mulut cerewetnya. “Baiklah, kau boleh pulang. Aku akan mengantarmu,”
            “Benarkah? Kau memang baik sekali, Mr.Richardson,” ucap Giavanna menggoda Justin dengan memanggil pria itu menggunakan nama belakangnya. “Kurasa kita bisa menjadi teman, kau tahu,”
            “Menurutmu begitu?” Tanya Justin. Giavanna mengangguk serius. Ia melepaskan sanggulan rambutnya hingga tergerai indah. Justin memalingkan kepalanya untuk melihat Giavanna. Nah, sekarang, perempuan itu kelihatan lebih cantik. Mengapa Giavanna tak pernah menggeraikan rambutnya seperti ini selama di kantor? Entahlah, bagi Justin, perempuan itu membingungkan. Saat rambut mereka tergerai, mereka terlihat sangat cantik. Saat rambut mereka diikat menjadi satu, entah mengapa mereka terlihat botak. Well, memang seperti itu perasaan Justin.
            “Giavanna, aku ingin memberitahumu sesuatu.” Ucap Justin menghentikan langkahannya. Kaki Giavanna berhenti seketika saat Justin berhenti. Giavanna menatap Justin dengan tatapan menyeledik. Apa yang terjadi pada pria ini? Mengapa tiba-tiba ia bersikap serius? Bahkan sedari tadi, Justin tidak mendebat apa yang Giavanna katakan. Arwah siapa yang merasuki tubuh Justin? Giavanna bersandar pada dinding labirin.
            “Katakanlah,” ucap Giavanna mulai melipat kedua tangannya di depan dada. Ia sekarang kelihatan begitu angkuh. Justin tidak begitu peduli dengan gaya perempuan ini. Ia harus bisa memenangkan hati Giavanna agar hubungannya dengan Alexander tak putus di tengah jalan. Terlebih lagi, Giavanna telah mengetahui rahasianya. Tetapi dibalik rahasia terdapat rahasia yang lebih kelam. Tetapi, peduli setan! Justin tahu Giavanna tak akan memberitahu rahasianya kali ini. Justru, Giavanna akan iba pada Justin. Ya, benar sekali! Jika kau ingin menjatuhkan musuhmu, dekatilah mereka, temanilah mereka lalu jatuhkan mereka setelah itu. “Hey, kau ingin memberitahuku atau tidak?”
            “Aku rasa aku gila karena memberitahumu ini,” ucap Justin. Sejenak ia menarik nafasnya dalam-dalam lalu akhirnya ia berucap. “Giavanna, aku memiliki masa lalu yang kelam dengan ayahku,” kata Justin memberitahu. Saat mendengar ucapan itu, kedua alis Giavanna terangkat lalu salah satunya turun kembali. Hanya itu? Kita semua pasti memiliki masa lalu yang kelam! Jadi mengapa jika Justin memiliki masa lalu yang kelam dengan ayahnya? Giavanna tak ingin menertawakan Justin. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya lalu tangannya menepuk-tepuk pundak Justin.
            “Tenanglah, kita semua memiliki masa lalu yang kelam. Kau tak perlu merasa minder. Itu bukan salahmu, Justin,” ucap Giavanna seperti psikolog. Tetapi masalahnya, ia bukan psikolog. Justin menggeleng kepala.
            “Tidak, bukan itu maksudku, Giavanna,” ucap Justin menarik tangan Giavanna yang menepuk-nepuk pundaknya sedari tadi. Tangan Justin yang besar dan kuat itu memegang lengan Giavanna lalu ia mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Giavanna. Tangannya yang lain menyentuh leher Giavanna sementara jempolnya mengelus-elus pipi Giavanna. Mata Giavanna mengedip-kedip beberapa kali, jantungnya mulai berdetak lebih kencang. “Alasan mengapa aku menjadi gay ialah ayahku,”
            “Jadi? Justin, kumohon. Ini bukan posisi yang bagus di tempat umum. Apalagi kau gay. Jika kau ingin membuat perjanjian denganku agar kau tak terlihat gay, aku bisa memikirkannya. Tetapi, tidak seperti ini. Kau membuatku kelihatan murahan,” ucap Giavanna merusak suasana. Sepertinya pria ini keras kepala. Ia masih berada di posisinya yang kelihatan sangat nyaman—jika ia seorang pria normal. Mata cokelat Justin menatap mata Giavanna penuh arti. Ya Tuhan, mengapa tatapannya hampir sama dengan orang itu? Jantung Giavanna berdetak semakin kencang sampai-sampai ia merasa sebentar lagi dadanya akan meledak saat ia diperhadapkan dengan pria setampan Justin. Tubuh mereka saling bersentuhan, hanya pakaian mereka yang membatasi mereka. Tatapan Justin seolah-olah dapat menyentuh hatinya. Apa yang terjadi dengannya? Justin memejamkan mata sehingga tatapan mereka lepas begitu saja. Giavanna menegakkan kepalanya yang terdongak lalu berdeham.
            “Justin, aku tahu kau pasti memiliki alasan mengapa kau menjadi gay. Maksudku, ayah dan ibumu normal. Tidak mungkin bukan kau memiliki gen ‘homo’ dari kedua orangtuamu? Lagipula, aku tak begitu tertarik mendengar ceritamu mengenai kehidupan seksualmu yang menyimpang itu,” ucap Giavanna berusaha mencair suasana yang canggung tadi. Justin membuka matanya, tangannya sekarang menyentuh pundak Giavanna tetapi tangannya yang lain masih memegang lengan Giavanna. Giavanna menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Ia tak suka dengan posisinya sekarang.
            “Bukan itu maksudku,” bisik Justin. “Aku pernah menikah sebelumnya, Giavanna,” lanjut Justin. Garukan Giavanna berhenti begitu saja sama seperti jantungnya yang berhenti berdetak sesaat. Apa benar? Arthur? Tidak mungkin!
            “Dengan pria?” Tanya Giavanna.
            “Tidak! Sialan,” umpat Justin kesal. “Aku tak pernah menikah dengan seorang pria sebelumnya. Aku menikah dengan seorang wanita, tentu saja,” ucap Justin berusaha menenangkan diri.
            “Kau tahu, ini adalah berita baru dan sumpah demi para dewa aku tidak akan memberitahu pada siapa pun. Tetapi, serius, kau harus menceritakan lebih detail padaku malam ini. Bagaimana jika kau mampir ke rumah sambil menikmati kue buatan sahabatku?”
            “Tidak, terima kasih. Tapi kurasa hotel lebih aman,”
            “Baiklah, cukup adil.”

***

            Layaknya sepasang kekasih, Justin telah memasangkan cincin pada jari manis Giavanna. Begitu juga dengan jari manis Justin. Giavanna tak mengerti mengapa Justin melakukan hal itu, tetapi ia memutuskan untuk mengikuti rencana Justin. Mereka masih berada di dalam limosin. Pakaian Giavanna kelihatan anggun. Setelah diperintah Justin untuk memakai gaun terbaik yang ia miliki, Giavanna berakhir menjadi… perempuan bergaun hitam. Gaun itu tidak sama sekali indah! Justin berpikir mungkin ia akan membelikan gaun yang lebih baik daripada ini. Tetapi sudah terlanjur, toko-toko pakaian telah tutup. Mobil mereka berhenti di depan hotel berbintang. Seorang penjaga valet membuka pintu limosin Justin. Segera Justin turun dari mobilnya lalu seperti pria jantan, ia menjulurkan tangannya ke dalam limosin agar Giavanna bisa mengambil tangannya dan keluar dengan anggun. Perempuan itu keluar dari limosin lalu memberi senyum manis pada penjaga valet.
            “Terima kasih,” ucap Giavanna lembut. Dan ya, Justin tidak memiliki waktu untuk berterima kasih pada pria itu. Ia menarik Giavanna masuk ke dalam hotel. Hotel yang mereka masuki sungguh besar dan Giavanna tak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Ah, tidak, tidak, tidak .Giavanna tak ingin mengingat kembali masa kecilnya yang suram. Justin tahu apa yang ia lakukan. Ia berbicara pada resepsionis tanpa melepaskan pegangan tangannya dari tangan Giavanna. Tidak perlu menunggu lama, Justin telah mendapatkan kartu kunci kamar.
            “Sebenarnya kita tak perlu terburu-buru, Justin. Kita masih memiliki banyak waktu,” ucap Giavanna melirik jam tangan kecil berwarna hitam yang ia pakai. Masih jam 6 malam. Mereka masih memiliki waktu sampai esok pagi. Dan untunglah besok adalah hari Jumat. Awalnya Giavanna memang tak enak badan, tetapi setelah mendengar bahwa pria yang menarik-narik tangannya sekarang pernah menikah dengan seorang wanita—yang Tuhan, wanita!—Giavanna tertarik. Pintu lift terbuka tepat saat mereka sampai di depan lift. Tiga pasangan keluar dari lift tanpa menyentuh Justin dan Giavanna. Kemudian mereka melangkah masuk ke dalam lift.
            Giavanna menyeringai mengingat kejadian di lift bersama Justin. Ya Tuhan, posisi itu sungguh intim dan Giavanna berharap Justin tak melakukan hal itu lagi. Pintu lift tertutup, detik berikutnya, atmosfir di antara mereka berubah menjadi lebih …intim.
            “Mengapa tiba-tiba kau ingin memberitahuku tentang hal ini? Maksudku, apa kau tidak takut aku memberitahuny pada publik? Dan apa tujuanmu memberitahu ini?” Tanya Giavanna, tak dapat menahan mulutnya untuk bertanya. Ia mendongak agar dapat melihat Justin.
            “Pertama, kurasa kau memang harus tahu mengapa aku bisa menjadi gay. Terutama, saat kau sadar kalau kau menyukai dan menyesal karena menyimpan perasaan itu hari-hari sebelum kau mengetahui aku gay,”
            “Demi Tuhan, rasa percaya dirimu sangat kelewat batas, Justin. Sadar dengan hal itu? Jadi, kalau aku telah tahu mengapa kau menjadi gay, apa untungnya bagiku?” Tanya Giavanna yang sebenarnya tak perlu bertanya karena perempuan itu sendiri telah mengetahui jawabannya. Justin tergelak satu kali, dari tadi ia tak menoleh melihat Giavanna.
            “Aku tidak tahu apa untungnya bagimu,” ucap Justin pura-pura bodoh. “Dan omong-omong, kau sudah bersumpah untuk tak memberitahu pada siapa pun jika aku menceritakannya padamu. Maksudku, tidakkah kau takut karma? Bagaimana jika keponakanmu dari sahabatmu itu memiliki nasib yang sama denganku? Diancam seperti ini?”
            “Tidak, tidak ada karma seperti itu. Tapi terserahlah, sekarang aku tak peduli lagi mengapa kau ingin memberitahunya padaku karena demi Tuhan, aku sangat penasaran!” Seru Giavanna kegirangan. Ia meremas lengan Justin dengan tangannya yang tak dipegang oleh Justin. Pria ini terlalu tegang! Giavanna dapat merasakan betapa kerasnya otot-otot pria ini saat ia meremasnya.
            “Semua orang penasaran dengan kehidupan privasiku. Hanya beberapa orang yang masuk dalam lingkaran, orang-orang yang mengetahui kehidupanku. Dan aku tak percaya, aku sendiri yang memasuki dirimu dalam lingkaran itu.” Ucap Justin menggeleng-geleng tak percaya. Pintu lift terbuka, mereka berdua keluar dari lift. Sepanjang lorong lantai ini sangat kosong.
            “Apa kau akan menceritakan pengalaman seksmu bersama mantan istrimu?” tanya Giavanna.

            “Kita bahkan belum sampai di kamar, Giavanna!”

1 komentar: