Kamis, 26 Juni 2014

Perfect Time Bab 8

            Orang gila macam apa yang memesan kamar President Suite hanya untuk satu malam? Bahkan ia tidak sedang berlibur! Justin memerhatikan Giavanna yang terpukau akan kamar yang baru ia masuki. Tiga bagian dari kamar ini memanjang ke samping. Mereka sedang berada di ruang tengahnya. Sebelah kanan dapur dan sebelah kiri kamar tidur. Pria itu memutuskan meninggalkan Giavanna di ruang tengah, ia memasuki dapur untuk mengambil sebotol anggur. Mungkin bukan anggur terlezat yang pernah ia rasakan, dan memang itu bukan untuknya. Anggur itu untuk perempuan yang sedang mengagumi kamar ini. Justin butuh Giavanna untuk lebih jujur agar ia juga tahu masa lalunya. Pasti ada satu hal yang membuat Giavanna malu di depan umum. Sesuatu yang paling menyakitkan dan memalukan. Justin harus mendapatkan itu untuk membalas dendamnya.
            Pintu kulkas terbuka ketika Justin menarik gagang pintunya. Beberapa botol anggur dan minuman keras berada di sana. Justin mengambil salah satunya lalu membuka penutupnya dengan alat pembuka botol anggur. Seperti hal yang sering ia lakukan, Justin dengan lihai mengambil dua gelas dari dalam lemari di atas kepalanya. Kemudian ia mengisi keduanya dengan takaran yang sama. Telinganya mendengar suara panggilan Giavanna. Ah, saat yang sangat tepat. Tetap ingat, temani musuhmu untuk menjauhkannya! Ide Giavanna benar-benar brilliant, mereka memang harus berteman. Justin mengangkat kedua gelas berisi anggur itu lalu keluar dari dapur.
            Kepala Giavanna menoleh ke mulut pintu dapur. Pria tampan itu kembali muncul bersama dua gelas berisi anggur di tangannya. Oh, mereka sedang merayakan apa? Giavanna menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak, tidak, tidak. Ia tidak bisa meminum anggur itu. Terakhir kali Giavanna meminum anggur, ia berada di rumah sakit karena ia memukul kepalanya sendiri dengan botol anggur. Saat itu ia sedang depresi karena kehilangan sosok ibu.  Tetapi, tetap saja itu tindakan bodoh bukan? Ya, sejak saat itu Giavanna tak pernah meminumnya. Trauma kepalanya bocor kembali. Bukan karena botol anggur yang ia pukul sendiri, tetapi yang dipukul Justin nanti. Giavanna harus berhati-hati dengan pria ini. Dari gerak-geriknya seharian ini, kelihatan ada sesuatu yang sedang direncanakan Justin. Dan ya, ia tidak boleh membiarkan dirinya meminum anggur itu.
            “Ada yang salah?” Tanya Justin duduk di atas sofa panjang. Giavanna melangkah mendekati Justin lalu duduk di sebelah pria itu. Ia mengedik bahu lalu menghela nafas panjang.
            “Aku tak terbiasa meminum anggur,” ucap Giavanna bersandar di sandaran sofa tanpa peduli bagaimana penampilannya sekarang. Ia memang kelihatan baik-baik saja dan tidak pernah bermaksud untuk membuat Justin kagum dengan penampilannya. Lagi pula, apa gunanya? Tidak ada! Pria ini gay dan tidak akan menyukainya. Tetapi Giavanna sangat penasaran apa yang terjadi selama Justin menikah dengan seorang perempuan. Ternyata selama ini dugaan Giavanna benar! Ia pernah menikah namun ia bercerai. Itu sudah pasti, tidak ada yang bisa menyangkalnya. Justin mengangguk satu kali.
            “Baiklah, tidak perlu terburu-buru,” ucap Justin berusaha bersabar. “Jadi kau ingin mendengar ceritaku eh?” Tanya Justin dengan pertanyaan tolol.
            “Bukankah itu alasan mengapa aku berada di sini sekarang? Ayolah, aku tak sabar mendengar ceritamu. Maksudku, dengan mantan istrimu. Bagaimana dia sekarang? Apa dia cantik? Berapa umurnya? Dan ya Tuhan, apakah Arthur adalah anak kandung kalian berdua atau kalian mengadopsinya? Ceritakanlah, ceritakanlah!” Seru Giavanna kegirangan. Cepat-cepat perempuan itu melepas sepatu tumit tingginya dan mengangkat kedua kakinya ke atas sofa. Tubuhnya menghadap Justin, salah satu siku-sikunya bersandar di sisi sandaran sofa dan ia siap mendengarkan cerita Justin. Pria itu menyilangkan kakinya seperti perempuan duduk menyilangkan kakinya di restoran.
            “Kau sangat bersemangat, Giavanna. Aku tak menyangka kau akan bersikap agresif seperti ini,” ucap Justin menahan tawanya. Giavanna mendecak setuju.
            “Aku memang seperti itu. Aku suka mendengar cerita. Jadi, ceritakanlah mengapa kau bisa menikah? Maksudku, mengapa perempuan itu mau denganmu?” Tanya Giavanna bingung sekaligus mengejek Justin. Justin menahan diri agar tak emosi dengan ucapan perempuan lancang ini.
            “Kau punya ayah yang kejam? Aku punya,” ucap Justin santai. Dada Giavanna seperti diinjak-injak kaki Gorilla sekarang. Ayah yang kejam? Well, itu tergantung bagaimana definisimu tentang kekejaman. Jika maksud Justin adalah ayah yang meninggalkan anaknya ketika anaknya bahkan belum lahir, maka Giavanna punya.
            “Ya? Seburuk apakah ayahmu sampai kau bisa menyebutnya kejam?” tanya Giavanna menatap mata Justin yang sekarang penuh kebencian. Giavanna dapat merasakan betapa tidak sukanya Justin terhadap ayahnya. Terutama ketika Justin menyebut ayahnya; ‘Ayah’. Ia kelihatan enggan namun ya seperti itulah adanya, Justin memang memiliki ayah. Justin terdiam sejenak, ia mengambil anggur dari atas meja lalu menyesapnya sedikit.
            “Ia sering memukulku ketika aku masih kecil agar aku memberikan yang terbaik baginya. Ayahku seorang perfeksionis. Ia tidak ingin ada yang cacat dariku. Ia ingin mendapatkan nilai sempurna di sekolahku. Ia ingin aku seperti dirinya yang sangat mendetail akan apa pun. Ia begitu dispilin dan rapi. Kau mengerti maksudku? Aku seperti robot di tangannya. Aku tak begitu memiliki masalah dengan hal itu sampai aku memasuki masa remaja. Ketika aku mulai menyukai perempuan ini,” ucap Justin memejamkan mata. Bahkan ia masih mengingat rupa perempuan itu. Rambut pirang, bibir sensual dan pemandu sorak di sekolah—tentu saja perempuan ini kelihatan sangat sempurna. Selain dari pada itu, gadis ini sangat baik hati. Ia ramah. Itu pertama kalinya Justin jatuh cinta,” jelas Justin menghela nafas panjang. Ia menatap air anggur dalam gelas itu untuk berpikir sejenak.
            “Wow,” Giavanna kagum tak percaya. “Dulu kau sangat normal, Justin,”
            “Yah, aku jatuh cinta padanya saat aku masih SMA. Aku memperkenalkannya orangtuaku. Dan ayahku tak menyukainya. Ia tak setuju aku berpacaran karena umurku yang begitu muda dan belum matang untuk berpacaran. Terlebih lagi, karena aku adalah anak satu-satunya di keturunan Richardson dan aku harus meneruskan perusahaan ayahku. Akhirnya aku melepaskan gadis itu dan membiarkannya dengan pria lain,
            “Ibu tak pernah membelaku setiap kali ayah memarahiku. Ia sangat jahat. Bahkan ia masih memukulku saat aku masih SMA. Kau percaya itu? Dan lalu aku lulus dari SMA. Aku dipindahkan ayahku ke Kanada untuk berkuliah di sana. Gadis keduaku hampir mirip dengan Morgan, maksudku, postur tubuhnya dan warna matanya. Ia sangat cantik. Ya Tuhan… dan akhirnya aku jatuh cinta. Aku berpacaran dengannya selama beberapa bulan, lalu aku memperkenalkannya pada ayahku saat ayah mengunjungiku ke kampus. Tetapi ia tak menerima gadis keduaku ini sama seperti ia tak menerima gadis pertamaku. Sejak saat itu aku membencinya. Aku merasa, mengapa ia tak membiarkanku berpacaran dengan perempuan seperti mereka?
            “Sejak saat itu aku memasuki suatu perkumpulan. Banyak pria yang begitu mementingkan kawannya. Maksudku, mereka membantu satu sama lain. Dan aku merasa sangat hidup di sana. Teman-teman pria di sana memerhatikanku. Dan kemudian ada satu pria yang membuatku jatuh cinta. Ia tak sadar aku jatuh cinta padanya,
            “Perasaan itu muncul begitu saja. Tiap kali ia menatap mataku, jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia sangat memukau. Tetapi aku tidak seharusnya berpikir bisa mendapatkannya. Hatiku hancur berkeping-keping ketika aku tahu ia telah memiliki pacar. Pacarnya sangat cantik dan tampaknya ia sangat mencintai perempuan itu. Aku tentu tak bisa mengubahnya menjadi pria gay. Well, ia memang tak memiliki ciri-ciri pria gay dan tidak akan pernah ingin menjadi gay. Terakhir kudengar kabar darinya, ia telah menikah dengan perempuan itu,” ucap Justin berhenti sejenak. Ia meneguk kembali anggurnya untuk melicinkan tenggorokannya yang kering. Giavanna juga kehausan. Mau tak mau ia mengambil gelas anggurnya lalu meneguk anggur itu satu kali. Kening Giavanna mengernyit dan salah satu alisnya terangkat.
            “Jadi, bagaimana bisa kau menikah dengan wanita sementara kau sudah menjadi gay? Maksudku, gay! Kau tidak mencintai perempuan, kau tidak tertarik lagi dengan kaumku. Jadi, mengapa kau bisa menikah?” Tanya Giavanna tidak ingin menebak-nebak kelanjutan ceritanya. Justin diam-diam tersenyum licik karena Giavanna telah meminum anggur itu. Ah, ya ampun, betapa bodohnya perempuan ini, pikir Justin saat Giavanna kembali meneguk anggurnya.
            “Aku kuliah di Kanada selama 4 tahun. Dan ketika aku pulang dari Kanada ke Atlanta, aku telah disiapkan seorang perempuan untuk dinikahkan. Pilihan ayahku. Perempuan pendiam, perfeksionis yang sama sepertinya dan kelihatan masih sangat muda. Bayangkan, saat itu aku masih berumur 21 tahun—aku masuk sekolah sedikit lebih cepat—dan aku belum bekerja! Seperti yang kautahu, ayahku-lah yang membangun perusahaan RCS Advertisement. Ia menempatkanku sebagai asistennya. Ia memperlakukanku seperti pembantu—“
            “Ah, ya Tuhan,” Giavanna menepuk keningnya. “Ternyata ini alasan mengapa kau memperlakukanku seperti pembantu! Kau pernah diperbudak oleh ayahmu sendiri, Justin. Percaya padaku, Justin, kau harus memaafkan ayahmu,” ucap Giavanna memotong cerita Justin. Justin menertawakan Giavanna, merasa lucu akan apa yang dikatakan Giavanna padahal tidak ada satu kata pun atau kalimat yang menunjukkan lelucon.
            “Aku tak meminta pendapatmu atau saranmu, Giavanna. Aku hanya bercerita, apa kau sadar kalau kau bukan psikolog? Jadi biarkan aku melanjutkan ceritaku,” ucap Justin memberi senyum paksa. Giavanna mendecak tak suka. Tetapi telinganya siap mendengar cerita Justin. “Gajiku bisa dikatakan cukup besar. Terlebih lagi karena aku adalah anaknya. Tak perlu lama untuk menunggu pemberkatan nikah. Satu atau dua bulan kemudian—aku sudah lupa—aku telah menikah dengannya. Cincin yang kau pakai itu adalah cincin pernikahanku. Hari pertama menjadi seorang suami sungguh membuatku resah. Aku tak tahu bagaimana harus memperlakukannya. Terlebih lagi, aku tak pernah tertarik padanya. Aku tak pernah mencintainya, sekalipun. Sampai sekarang. Aku membencinya,” bisik Justin di kalimat terakhir. Ia membuang wajah dari Giavanna. Mengingat wajah perempuan ini begitu mirip dengan mantan istrinya. Ya Tuhan, mengapa mereka bisa begitu mirip? Bibir Giavanna menipis saat ia dapat merasakan betapa bencinya pria ini terhadap mantan istrinya.
            “Siapa nama mantan istrimu? Mengapa kau membencinya?” Tanya Giavanna, kali ini dengan suara tenang. Mata Giavanna tak lepas dari wajah Justin yang sekarang terlihat sedikit memerah. Ah, ia semakin penasaran mengapa Justin bisa membenci istrinya. Apakah istrinya kejam dibalik sifatnya yang pendiam? Atau ia orang yang materialistis? Atau bahkan ternyata istrinya penyuka sesama jenis juga? Giavanna tak tahu mana yang paling benar.
            “Eva,” bisik Justin tanpa memalingkan kepalanya pada Giavanna. “Sesungguhnya, Eva tidak bersalah akan apa pun. Ini semua karena ayahku. Ia memaksaku menikah dengan orang yang tak kucintai. Ia tak pernah tahu aku gay. Awal-awal pernikahan, aku berusaha untuk bersikap normal. Eva tak banyak bicara, begitupun aku. Aku dan dia tidak memiliki waktu untuk melakukan pendekatan. Ayahku terlalu terburu-buru membuat kami bersama. Eva termasuk perempuan penurut, ia melakukan apa yang kusuruh. Ia perempuan lemah yang hanya mengikuti apa yang kukatakan. Aku tak begitu menyukainya. Tetapi ayahku menyukainya!” Seru Justin gemas di akhir kalimat. Mengapa ayahnya sangat egois?
            “Ah, biasanya seperti itu. Ayahmu pasti menyukai Eva saat mereka bertemu. Tetapi karena ia sadar ia terlalu tua, maka ia memberikannya padamu agar mereka memiliki waktu bersama lebih lama,” komentar Giavanna memutar bola matanya. Ia meneguk anggurnya hingga habis lalu mengecap sekali. “Jadi, apa kau bercinta dengannya? Maksudku, dari mana Arthur berasal? Aku tak ingin membayangkan kau dan Alexander bercinta. Ah, ya Tuhan, aku merasa sangat mual,” Giavanna berlagak seperti ingin muntah. Justin diam memerhatikan Giavanna yang sungguh banyak tingkah. Mengapa Eva tak seperti Giavanna? Jika Eva sedikit vokal dalam hubungan mereka, sudah pasti Justin …kepala Justin tergeleng ketika ia hampir memikir lebih jauh lagi.
            “Pertama kali aku berhubungan badan dengannya… ketika umur pernikahan kami menginjak 8 bulan. Aku yang meminta untuk melakukan hal itu. Well, ayah meminta cucu dariku. Jadi, aku melakukan hal itu dengan Eva. Tanpa dilandasi cinta,” bisik Justin. Giavanna tersenyum lebar.
            “Kau sangat keren, Justin! Kau pernah bercinta dengan seorang wanita. Maksudku, saat itu gay! Orang gay yang kutahu adalah ia tidak akan pernah menyentuh perempuan atau pun menciumnya, bahkan bercinta. Tetapi kau melakukannya. Sangat keren. Tepuk tangan untuk Justin,” seru Giavanna kegirangan. Ia bertepuk tangan kecil untuk Justin hingga terlihat sunggingan senyum kecil dari wajah Justin yang dari tadi tak menoleh padanya. “Ceritakanlah lebih detail. Aku sangat penasaran!”
            “Mengapa kau ingin tahu? Yang jelas aku telah bercinta dengan istriku sendiri. Tak ada yang spesial. Kau sangat berlebihan, omong-omong. Lagi pula, pasti kau sudah tahu bagaimana cara melakukannya,” ucap Justin mendongakkan kepalanya, melihat Giavanna. Nafas Giavanna tercekat. Mengingat dirinya masih suci tak tersentuh oleh siapa pun, Giavanna merasa malu. Bukan karena tidak pernah berhubungan badan dengan seorang pria. Tetapi, karena ia dikalahkan oleh pria gay seperti Justin!
            “Well, sayangnya, aku belum pernah melakukannya,” ucap Giavanna sedikit malu-malu. “Sudahlah, cepat ceritakan lebih detail lagi!” Dapat kau! seru Justin dalam hati. Ternyata dia masih perawan. Berarti tak ada pria yang tertarik padanya. Dan mengapa tidak ada pria yang dekat dengannya? Maksudnya, mengapa Giavanna, di tengah-tengah kota Atlanta, tidak pernah berhubungan badan? Justin mendesah, kepalanya tergeleng.
            “Aku tidak ingin menceritakannya sebelum kau bercerita padaku mengapa kau masih perawan. Maksudku, kau tidak berpacaran? Dekat dengan pria? Ceritakanlah, aku mau mendengarnya,” sekaligus membalas dendamku padamu, lanjut Justin dalam hati. Giavanna mendesah, ia tertawa renyah. Sebelumnya, tidak ada orang yang tertarik mendengar masa lalu Giavanna. Dan orang pertama yang ingin mengetahui masa lalunya adalah Justin. Atasannya. Tanpa berpikir panjang—dan masuk ke dalam jurang Justin—Giavanna mulai bercerita.
            “Tidak ada yang begitu menarik dengan kehidupanku. Aku tak pernah berpacaran dengan siapa pun. Dan aku tak pernah mencium bibir pria. Aku memang memiliki teman-teman pria di luar sana, tetapi mereka semua sudah memiliki pacar. Tidak ada yang menyukaiku. Lagi pula, aku tak begitu memikirkan pasangan. Aku tak punya ayah, jadi aku tak tahu bagaimana memperlakukan pria dengan baik,”
            “Ya, hal itu sangat  kelihatan,” ucap Justin sarkastik. Giavanna tertawa paksa, ia memutar bola matanya. Sindirannya sangat pas. “Tapi kau pasti pernah menyukai pria bukan?”
            “Tentu saja! Kau pikir aku penyuka sesama jenis sepertimu? Tampar aku jika aku melakukannya, oke? Dan sebelumnya, maafkan aku karena aku pernah menyukai pacarmu,”
            “Aku tak—“
            “Itu sebelum aku tahu kau dan dia gay! Sejak aku melihat kalian berdua berciuman di trotoar itu, aku mulai merasa jijik pada diriku sendiri karena telah menyukainya. Ia ramah dan baik hati. Jika ingin dihitung dari semua pria yang kusukai, well, semuanya sebanyak satu orang,” ucap Giavanna mengedik bahu, tak peduli. Mata Giavanna menyipit. Seperti ada sebuah batu yang menimpuk kepalanya, Giavanna sadar akan sesuatu. “Kau licik! Aku tidak ingin menceritakan tentangku padamu lagi! Kau menjebakku!” teriak Giavanna memukul-mukul bahu Justin dengan tangannya yang tak memegang gelas. Justin tertawa, ia mengelak.
            “Tidak! Aku tidak menjebakmu! Kupikir kita berteman dan kita bisa menceritakan kehidupan satu sama lain. Itu bukan yang dilakukan oleh sesama teman? Menceritakan apa yang dialaminya,” ujar Justin berusaha menghindari dari pelukan Giavanna. Tangannya menaruh gelas anggur ke atas meja lalu ia menahan tangan Giavanna. “Hentikan! Baik, aku akan menceritakannya padamu. Tetapi kau harus berjanji padaku agar tak tertawa,”
            Giavanna menghentikan pukulannya lalu menurunkan tangannya kembali, ia bersikap siap untuk mendengar. “Aku berjanji tidak akan tertawa, memotong ceritamu atau berkomentar saat kau sedang bercerita. Jadi, ceritakanlah sekarang,” ucap Giavanna menaruh gelas kosongnya juga ke atas meja. Justin memperbaiki cara dudukknya agar ia mendapatkan posisi yang nyaman. Mulut Justin terbuka.
            Malam itu, hujan membasahi pinggiran kota Atlanta. Sebuah mobil berwarna hitam menerjang hujan melewati perumahan kelas menengah itu. Mobilnya berhenti di depan teras sebuah rumah dengan cat berwarna biru muda. Pintu mobil itu terbuka, seorang pria muncul dari dalam mobil itu. Ia berlari-lari melawan hujan, kepalanya ia tutupi dengan jas yang ia pakai. Saat telah mencapai pintu utama, ia langsung membuka pintu rumahnya. Terdengar suara nafas tercekat dari seorang perempuan. Ya, memang ada seorang perempuan di dalam rumah itu. Ia kelihatan sedang menunggu pria ini di ruang tamu.Perempuan itu berambut cokelat panjang di bawah bahu, bermata biru, dan bertubuh ideal. Ia memakai gaun tidur, wajahnya dipenuhi dengan kekhawatiran. Segera ia mendekati pria itu. Pria yang mencari nafkah untuknya, suaminya.
            “Apa kau tidak mendengar suara mobilku?” tanya pria itu melepaskan jas yang ia pakai, dibantu oleh istrinya. Eva, nama perempuan itu, menelan ludahnya.
            “Maafkan aku, suara hujan membuatku tak mendengar suara mobilmu. Apa kau ingin aku buatkan teh?” Tanya Eva menatap Justin baik-baik dari belakang. Pria itu terdiam sejenak, ia sedang memerhatikan ponsel yang berada di tangannya sekarang.
            “Tidak perlu,” ucap Justin mengangkat kepalanya ke atas. “Lebih baik kita menghangatkan diri di kamar,” ucap Justin membuat Eva bingung. Tetapi perapian bukan di kamar mereka, itu ada di ruang keluarga. Suaminya keliru. Namun Eva tak berani untuk mengucapkan sepatah katapun.
            “Kau tidak ingin mandi air hangat atau meminum yang hangat-hangat dulu, Justin?” Tanya Eva perhatian. Justin membalik tubuh ke belakang, matanya menatap mata biru Eva yang penuh ketakutan. Apa Justin kelihatan seperti pria buruk rupa? Mengapa Eva selalu takut padanya? Bahkan sejak mereka mengucapkan janji suci, Eva masih takut padanya. Apa masalah perempuan ini? Tidak ingin hanyut dalam emosi, Justin menarik nafas dalam-dalam, lalu ia memberi senyum lembut pada Eva.
            “Tidak, sayang. Aku hanya butuh kau berada di kamar. Usahakan tidak memakai apa pun ketika aku sampai di atas. Aku ingin menghubungi teman kerjaku dulu,” ucap Justin lembut. Eva terkesiap. Ya Tuhan, Justin bersikap lembut padanya? Eva tidak ingin terlalu lama berpikir, ia segera melangkah menuju tangga ke lantai dua dan berlari cepat menuju kamar. Dibukanya pintu kamar lalu masuk ke dalam dan menutupnya kembali. Ia menggigit bibir menahan kesenangannya. Apa yang akan dilakukan Justin padanya? Mengapa Justin meminta agar ia tak mengenakan apa pun? Apa akhirnya mereka akan berhubungan badan? Eva takut sekaligus senang. Apa yang Justin pikirkan selama 8 bulan ini? Mengapa tidak sejak dulu mereka melakukan hal yang Eva inginkan? Eva menaruh jas basah Justin ke dalam ranjang kotor lalu membuka pakaiannya. Termasuk celana dalam dan bra. Ia berlari kecil ke atas tempat tidur dan menutupi tubuhnya dengan selimut.
            Jantungnya berdegup kencang. Suara langkahan kaki dari tangga terdengar membuat Eva semakin takut dan tak sabar. Tiap langkahnya membuat jantung Eva berdegup kencang dua kali lipat. Pintu kamarnya terbuka, muncul pria yang sangat ia cintai dari balik pintu. Ia masih memakai kemeja putih yang sedikit basah. Rambutnya tidak basah, ia kelihatan sangat tampan dari atas tempat tidur. Justin membuka satu per satu kancing kemejanya. Hujan di luar sana semakin deras, petir menyambar kota Atlanta, dan guntur membuat anak-anak kecil di Atlanta menjerit ketakutan di balik selimut mereka. Tetapi berbeda dengan Eva, ia takut apa yang akan Justin perbuat padanya.
            Sebelumnya, Justin tidak pernah telanjang di hadapan Eva. Dan sekarang, pria itu sudah setengah telanjang. Hanya celana boxer berwarna abu-abu yang ia pakai. Justin melangkah mendekati tempat tidur lalu merangkak naik ke atas. Sebisa mungkin Justin mendorong dirinya agar ia bisa melakukan ‘hal’ ini. Kemudian ia tersenyum pada Eva, ia mengelus pipi perempuan itu menggunakan punggung tangannya. Eva tak pernah diperlakukan selembut ini. Ia merasa sangat …spesial.
            “Justin,”  bisiknya menatap mata Justin yang menghanyutkan.
            “Eva,” balas Justin berbisik. Ia kemudian memejamkan mata, mendekatkan bibirnya pada bibir Eva dan mengecupnya dengan lembut. “Aku akan melakukannya sangat perlahan.” Lanjut Justin berbisik.
            “Selesai,” ucap Justin menggoda Giavanna. Oh, ya, benar sekali. Justin menggoda Giavanna. Giavanna melongo. Hanya begitu? Apa-apaan yang dipikirkan Justin?
            “Itu saja? Kau sialan! Tidak mungkin hanya sampai seperti itu. Kau sungguh tak seru, teman,” ucap Giavanna mencibir. Justin tertawa lepas hingga kepalanya terdongak ke belakang lalu seperti orang kerasukan, ia menegakkan kepalanya kembali lalu tangannya menarik pipi Giavanna. Bibir mereka bertemu. Ia mengecup bibir itu dengan lembut dan sangat bernafsu. Perempuan yang dikecupinya itu memukul-mukul kepala Justin, matanya terbuka terkejut dan ia tak merasakan getaran. Apa-apaan yang ia lakukan? Karena kekuatannya kurang di kepala, Giavanna memukul kemaluan Justin.
            “Ah, sialan!” erang Justin memegang kemaluannya. “Mengapa kau melakukan itu? Aku hanya mencontohkan bagaimana aku menciumnya saat itu,” ucap Justin tertahan. Giavanna menyentuh bibirnya, ia tak menjawab pertanyaan Justin. Bibirnya telah tersentuh oleh pria bernama Justin Richardson. Ya Tuhan. Ia mengingat-ingat kembali kehidupan sebelumnya. Ia sebelumnya tak pernah dikecup oleh siapa pun di dunia. Dan untuk yang pertama kalinya, ia dicium.
            “Mengapa kau melakukan itu?!” Bentak Giavanna marah pada Justin. Justin yang sedang menenangkan diri itu terkejut akan teriakan Giavanna. Ia menoleh panik melihat perempuan itu. Giavanna mengamuk. Matanya berkaca-kaca. “Kau telah mengotori bibirku yang tak pernah tersentuh sebelumnya. Tidak, tidak, tidak. Aku dicium oleh pria gay. Bukan pria idamanku…” suara Giavanna menghilang. Ia sedang menahan tangisnya. Ah, hari ini sangat mengecewakan. Mengapa Justin menciumnya? Bukankah Justin gay? Apa masalah pria ini? Justin juga tak menduga perempuan ini akan marah padanya. Bahkan ia juga bingung dengan dirinya sendiri karena telah mengecup bibir Giavanna. Otaknya memerintah untuk mengecup bibir itu. Bibir yang sama dengan milik Eva. Perempuan yang pernah bercinta dengannya. Dan untuk pertama kalinya, Justin ditolak oleh seorang perempuan. Dan ia adalah Giavanna.
            Justin merasa bersalah. Seharusnya ia memang tak mencium Giavanna. Terlebih lagi ia sudah memiliki kekasih. Tetapi bukankah ini yang diinginkan Alexander? Justin dan Giavanna bersama? Well, mungkin memang Justin terlalu terburu-buru. Giavanna memejamkan matanya sejenak untuk menenangkan diri. Tidak, Giavanna. Ini bukan masalah besar. Hanya kecupan, tak perlu diambil hati. Mungkin itu efek anggur yang Justin jadi ia berpikir aku adalah Alexander, ucap Giavanna dalam hati. Ia membuka mata, melihat pria itu sedang memerhatikannya.
            “Maafkan aku,” bisik Justin. “A—“
            “Tidak perlu, tidak apa-apa,” bisik Giavanna tersenyum tipis. “Pasti kau sangat merindukan mantan istrimu, bukan?” Tanya Giavanna berusaha bersikap netral. Justin menggeleng.
            “Tidak, aku tidak pernah merindukannya. Aku hanya terbawa suasana,” bisik Justin menundukkan kepala. Justin mendesah. Mengapa ia kelihatan begitu lemah di hadapan Giavanna? Ia seharusnya bisa lebih keras dan tegas dibanding ini. Giavanna mengembus nafas lewat mulutnya. Lalu ia mengedik bahu. Lagi pula, itu sudah terjadi. Tidak ada yang bisa mengubahnya lagi, bukan? Waktu tak bisa diputar kembali.
            “Justin, bukan apa-apa. Aku memang tidak pernah dicium siapa pun sebelumnya. Dan, sebenarnya tidak apa-apa jika kau ingin menciumku. Tapi kau tahu masalahnya apa? Kau gay. Kau memakai bibir itu untuk mencium Alexander dan kini kau menciumku. Aku bukan anti-gay, tetapi pikirkan Alexander di rumah yang merindukan kecupanmu. Bukan aku. Tentang Eva, aku rasa kau tidak pantas membencinya,” ucap Giavanna menggeleng kepala.
            “Mengapa?”
            “Kau membencinya karena perbuatan ayahmu. Ia tak bersalah. Aku menyesal mengetahui ayahmu seorang yang kejam seperti itu sampai kau berubah menjadi gay yang tampan. Lebih baik aku pulang.” Giavanna bangkit dari sofa. Tanpa diduga, Justin menarik tangan Giavanna hingga perempuan itu duduk kembali.
            “Ada lagi yang belum kuberitahu padamu,” ucap Justin kali ini tegas.
            “Apa?” Erang Giavanna lelah. Semuanya berubah setelah kecupan nafsu itu. Justin mengelus punggung tangan Giavanna. Cincin itu sangat pas di jari manis Giavanna. Dan itu terlihat sangat cocok untuknya. Cincin itu pernah ia dan Eva pakai. Ketika Justin ingin berbicara, tiba-tiba Giavanna menyambar. “Sebelum kau berbicara, aku penasaran dimana keberadaan Eva sekarang. Dimana mantan istrimu itu?” tanya Giavanna berusaha untuk mencairkan suasana canggung. Justin memang tolol! Mengapa ia selalu membuat keadaan canggung ketika mereka bersama-sama? Pria ini terlalu tegang dan serius! Bibir Justin menipis, kepalanya terangguk satu kali.
            “Dia sudah berada di sisi Tuhan,” ucap Justin. Giavanna terkejut, ia tak menduga akhir kisah cinta mereka seperti ini! Sangat menyedihkan. Pasti saat itu Justin sangat mencintai Eva namun ia membenci Eva karena ia telah meninggalkan Justin sendirian di dunia bersama Arthur! pikir Giavanna lagi-lagi sok tahu. “Kumohon jangan tanyakan bagaimana ia bisa meninggal. Itu sungguh menyakitkan,”
            “Aku sungguh menyesal, Justin. Tidak, sungguh, aku tidak akan bertanya bagaimana istrimu meninggal. Tetapi, ya ampun, aku sangat kasihan pada Arthur. Ia kehilangan ibunya,” ujar Giavanna tanpa menatap Justin. Matanya melihat ke lantai selama beberapa detik lalu kembali menoleh pada Justin. “Jadi, apa yang ingin kau beritahu padaku?”
            “Aku berpacaran dengan seorang pria saat aku masih menikah dengan Eva,” ucap Justin. Mulut Giavanna menganga tak percaya. Pria ini penuh dengan kejutan! Rasanya Giavanna tak ingin mendengar apa pun lagi cerita tentangnya. Ini terlalu berlebihan untuk Giavanna tampung dalam pikirannya. Pikiran gila apa yang melintas di otak Justin saat ia memutuskan untuk berpacaran dengan seorang pria? Eva yang malang, jika ia masih ada di dunia, pasti Giavanna akan menepuk-nepuk punggungnya. Justin tertawa melihat ekspresi Giavanna yang terkejut itu. Entah perasaan apa yang menyerang Justin, tetapi perempuan ini begitu ekspresif dan itu membuat Justin sangat …bahagia.
            “Giavanna,” panggil Justin. Tetapi perempuan itu tak mendengar. “Giavanna, aku hanya bercanda,” ucap Justin lagi. Ia melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Giavanna sambil terkekeh. Mata perempuan itu berkedip-kedip, sadar akan lamunannya.
            “Ap-apa?”
            “Aku hanya bercanda, bukan itu yang ingin kuberitahu padamu. Aku tak pernah berpacaran dengan pria selama aku menikah. Aku tak pernah berselingkuh seumur hidupku,” ucap Justin percaya diri. Giavanna masih berusaha memfokus diri pada Justin. Tadi ia berpikir bagaimana rasanya berada di posisi Eva selama Eva diselingkuhi oleh Justin. Sangat mengerikan dan menyedihkan. Setelah menyerap ucapan-ucapan Justin, Giavanna mengangguk mengerti.
            “Kau. Bajingan. Sialan.” Ucap Giavanna menekan tiap kata yang keluar dari mulut. “Jadi, apa sebenarnya yang ingin kau beritahu?”
            “Sebelumnya, jangan terkejut,” ucap Justin memperingati. Giavanna mengangguk. Justin menarik nafas panjang lalu mengembuskannya melalui mulut. “Kau sangat mirip dengan Eva, Giavanna,” ucap Justin, akhirnya. Pria itu bernafas lega. Entah mengapa rasa benci Justin terhadap perempuan ini berkurang begitu saja—bahkan ia merasa tidak pernah membenci Giavanna. Tetapi reaksi Giavanna biasa saja. Ia hanya mengangkat salah satu alisnya, kebingungan.
            “A-aku tak mengerti. Mirip? Sifatku yang mirip dengannya atau apa?” Tanya perempuan itu. Justin menepuk keningnya. Apakah ada perempuan lebih tolol dibanding Giavanna?
            “Wajahmu! Kau mirip dengannya! Hanya warna matamu dan potongan rambutmu saja yang berbeda. Tidakkah kau mengerti? Ya Tuhan, sulit sekali berbicara denganmu, Giavanna,” ucap Justin berusaha menahan tangannya agar tak meremas rambutnya sendiri.
            “Tunggu sebentar,” Giavanna berpikir sejenak. “Jika kau memang membencinya dan wajahku mirip dengan Giavanna, kau pasti …” ucapan Giavanna terhenti sejenak. Justin penasaran.
            “Ya?”
            “Kau pasti…”
            “Ya?”
            “Kau pasti tidak akan menciumku! Kau menciumku!” Teriak Giavanna menuduh-nuduh. Diam-diam Justin bersyukur karena mereka tidak mengobrol di tempat umum. Tangan Justin kembali menepuk keningnya. Sesulit inikah berbicara dengan seorang Giavanna Anderson?
            “Bukan itu, Giavanna!” Teriak Justin frustrasi. “Itu berarti aku membencimu karena kau mengingatkanku pada orang yang kubenci! Terlebih lagi sifatmu seperti ini! Aku membencimu!” Teriak Justin dengan dua tangan menunjuk-nunjuk Giavanna. Tanpa ada perasaan terhina sedikitpun, Giavanna mendecak.
            “Jadi, kenapa kau menciumku?” Tanya Giavanna, polos.
            “Kubilang aku terbawa suasana!” Ujar Justin bangkit dari sofa. Ia ingin menghentikan sejenak pembicaraan mereka sekarang. Perutnya sudah lapar. Ia harus mengisi perut. “Kau ingin makan?” Tanya Justin sebelum Giavanna membuka mulut.
            “Ya, aku lapar sekali,” ucap Giavanna menyentuh perut.
            “Kau makan apa saja bukan?” Tanya Justin berjaga-jaga jika perempuan ini banyak permintaan. Giavanna mengangguk. Ia makan apa pun yang bisa dimakan. “Bagus, aku akan memesan makanan.” Ucap Justin berjalan menuju telepon di ruang tamu.

            “Sebenarnya aku masih penasaran bagaimana istrimu meninggal.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar