Orang
gila macam apa yang memesan kamar President Suite hanya untuk satu malam?
Bahkan ia tidak sedang berlibur! Justin memerhatikan Giavanna yang terpukau
akan kamar yang baru ia masuki. Tiga bagian dari kamar ini memanjang ke
samping. Mereka sedang berada di ruang tengahnya. Sebelah kanan dapur dan
sebelah kiri kamar tidur. Pria itu memutuskan meninggalkan Giavanna di ruang
tengah, ia memasuki dapur untuk mengambil sebotol anggur. Mungkin bukan anggur
terlezat yang pernah ia rasakan, dan memang itu bukan untuknya. Anggur itu
untuk perempuan yang sedang mengagumi kamar ini. Justin butuh Giavanna untuk
lebih jujur agar ia juga tahu masa lalunya. Pasti ada satu hal yang membuat
Giavanna malu di depan umum. Sesuatu yang paling menyakitkan dan memalukan.
Justin harus mendapatkan itu untuk membalas dendamnya.
Pintu kulkas terbuka ketika Justin
menarik gagang pintunya. Beberapa botol anggur dan minuman keras berada di
sana. Justin mengambil salah satunya lalu membuka penutupnya dengan alat
pembuka botol anggur. Seperti hal yang sering ia lakukan, Justin dengan lihai
mengambil dua gelas dari dalam lemari di atas kepalanya. Kemudian ia mengisi
keduanya dengan takaran yang sama. Telinganya mendengar suara panggilan
Giavanna. Ah, saat yang sangat tepat. Tetap ingat, temani musuhmu untuk
menjauhkannya! Ide Giavanna benar-benar brilliant, mereka memang harus
berteman. Justin mengangkat kedua gelas berisi anggur itu lalu keluar dari
dapur.
Kepala Giavanna menoleh ke mulut
pintu dapur. Pria tampan itu kembali muncul bersama dua gelas berisi anggur di
tangannya. Oh, mereka sedang merayakan apa? Giavanna menggeleng-gelengkan
kepalanya. Tidak, tidak, tidak. Ia tidak bisa meminum anggur itu. Terakhir kali
Giavanna meminum anggur, ia berada di rumah sakit karena ia memukul kepalanya
sendiri dengan botol anggur. Saat itu ia sedang depresi karena kehilangan sosok
ibu. Tetapi, tetap saja itu tindakan
bodoh bukan? Ya, sejak saat itu Giavanna tak pernah meminumnya. Trauma
kepalanya bocor kembali. Bukan karena botol anggur yang ia pukul sendiri,
tetapi yang dipukul Justin nanti. Giavanna harus berhati-hati dengan pria ini.
Dari gerak-geriknya seharian ini, kelihatan ada sesuatu yang sedang
direncanakan Justin. Dan ya, ia tidak boleh membiarkan dirinya meminum anggur
itu.
“Ada yang salah?” Tanya Justin duduk
di atas sofa panjang. Giavanna melangkah mendekati Justin lalu duduk di sebelah
pria itu. Ia mengedik bahu lalu menghela nafas panjang.
“Aku tak terbiasa meminum anggur,”
ucap Giavanna bersandar di sandaran sofa tanpa peduli bagaimana penampilannya
sekarang. Ia memang kelihatan baik-baik saja dan tidak pernah bermaksud untuk
membuat Justin kagum dengan penampilannya. Lagi pula, apa gunanya? Tidak ada!
Pria ini gay dan tidak akan menyukainya. Tetapi Giavanna sangat penasaran apa yang
terjadi selama Justin menikah dengan seorang perempuan. Ternyata selama ini
dugaan Giavanna benar! Ia pernah menikah namun ia bercerai. Itu sudah pasti,
tidak ada yang bisa menyangkalnya. Justin mengangguk satu kali.
“Baiklah, tidak perlu terburu-buru,”
ucap Justin berusaha bersabar. “Jadi kau ingin mendengar ceritaku eh?” Tanya
Justin dengan pertanyaan tolol.
“Bukankah itu alasan mengapa aku
berada di sini sekarang? Ayolah, aku tak sabar mendengar ceritamu. Maksudku,
dengan mantan istrimu. Bagaimana dia sekarang? Apa dia cantik? Berapa umurnya?
Dan ya Tuhan, apakah Arthur adalah anak kandung kalian berdua atau kalian
mengadopsinya? Ceritakanlah, ceritakanlah!” Seru Giavanna kegirangan.
Cepat-cepat perempuan itu melepas sepatu tumit tingginya dan mengangkat kedua
kakinya ke atas sofa. Tubuhnya menghadap Justin, salah satu siku-sikunya
bersandar di sisi sandaran sofa dan ia siap mendengarkan cerita Justin. Pria
itu menyilangkan kakinya seperti perempuan duduk menyilangkan kakinya di
restoran.
“Kau sangat bersemangat, Giavanna.
Aku tak menyangka kau akan bersikap agresif seperti ini,” ucap Justin menahan
tawanya. Giavanna mendecak setuju.
“Aku memang seperti itu. Aku suka
mendengar cerita. Jadi, ceritakanlah mengapa kau bisa menikah? Maksudku,
mengapa perempuan itu mau denganmu?” Tanya Giavanna bingung sekaligus mengejek
Justin. Justin menahan diri agar tak emosi dengan ucapan perempuan lancang ini.
“Kau punya ayah yang kejam? Aku
punya,” ucap Justin santai. Dada Giavanna seperti diinjak-injak kaki Gorilla
sekarang. Ayah yang kejam? Well, itu tergantung bagaimana definisimu tentang
kekejaman. Jika maksud Justin adalah ayah yang meninggalkan anaknya ketika
anaknya bahkan belum lahir, maka Giavanna punya.
“Ya? Seburuk apakah ayahmu sampai
kau bisa menyebutnya kejam?” tanya Giavanna menatap mata Justin yang sekarang
penuh kebencian. Giavanna dapat merasakan betapa tidak sukanya Justin terhadap
ayahnya. Terutama ketika Justin menyebut ayahnya; ‘Ayah’. Ia kelihatan enggan
namun ya seperti itulah adanya, Justin memang memiliki ayah. Justin terdiam
sejenak, ia mengambil anggur dari atas meja lalu menyesapnya sedikit.
“Ia sering memukulku ketika aku
masih kecil agar aku memberikan yang terbaik baginya. Ayahku seorang
perfeksionis. Ia tidak ingin ada yang cacat dariku. Ia ingin mendapatkan nilai
sempurna di sekolahku. Ia ingin aku seperti dirinya yang sangat mendetail akan
apa pun. Ia begitu dispilin dan rapi. Kau mengerti maksudku? Aku seperti robot
di tangannya. Aku tak begitu memiliki masalah dengan hal itu sampai aku
memasuki masa remaja. Ketika aku mulai menyukai perempuan ini,” ucap Justin memejamkan mata. Bahkan ia masih
mengingat rupa perempuan itu. Rambut pirang, bibir sensual dan pemandu sorak di
sekolah—tentu saja perempuan ini kelihatan sangat sempurna. Selain dari pada
itu, gadis ini sangat baik hati. Ia ramah. Itu pertama kalinya Justin jatuh
cinta,” jelas Justin menghela nafas panjang. Ia menatap air anggur dalam gelas
itu untuk berpikir sejenak.
“Wow,” Giavanna kagum tak percaya.
“Dulu kau sangat normal, Justin,”
“Yah, aku jatuh cinta padanya saat
aku masih SMA. Aku memperkenalkannya orangtuaku. Dan ayahku tak menyukainya. Ia
tak setuju aku berpacaran karena umurku yang begitu muda dan belum matang untuk
berpacaran. Terlebih lagi, karena aku adalah anak satu-satunya di keturunan
Richardson dan aku harus meneruskan perusahaan ayahku. Akhirnya aku melepaskan
gadis itu dan membiarkannya dengan pria lain,
“Ibu tak pernah membelaku setiap
kali ayah memarahiku. Ia sangat jahat. Bahkan ia masih memukulku saat aku masih
SMA. Kau percaya itu? Dan lalu aku lulus dari SMA. Aku dipindahkan ayahku ke
Kanada untuk berkuliah di sana. Gadis keduaku hampir mirip dengan Morgan,
maksudku, postur tubuhnya dan warna matanya. Ia sangat cantik. Ya Tuhan… dan
akhirnya aku jatuh cinta. Aku berpacaran dengannya selama beberapa bulan, lalu
aku memperkenalkannya pada ayahku saat ayah mengunjungiku ke kampus. Tetapi ia
tak menerima gadis keduaku ini sama seperti ia tak menerima gadis pertamaku.
Sejak saat itu aku membencinya. Aku merasa, mengapa ia tak membiarkanku
berpacaran dengan perempuan seperti mereka?
“Sejak saat itu aku memasuki suatu
perkumpulan. Banyak pria yang begitu mementingkan kawannya. Maksudku, mereka
membantu satu sama lain. Dan aku merasa sangat hidup di sana. Teman-teman pria
di sana memerhatikanku. Dan kemudian ada satu pria yang membuatku jatuh cinta.
Ia tak sadar aku jatuh cinta padanya,
“Perasaan itu muncul begitu saja.
Tiap kali ia menatap mataku, jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia
sangat memukau. Tetapi aku tidak seharusnya berpikir bisa mendapatkannya.
Hatiku hancur berkeping-keping ketika aku tahu ia telah memiliki pacar.
Pacarnya sangat cantik dan tampaknya ia sangat mencintai perempuan itu. Aku
tentu tak bisa mengubahnya menjadi pria gay. Well, ia memang tak memiliki
ciri-ciri pria gay dan tidak akan pernah ingin menjadi gay. Terakhir kudengar
kabar darinya, ia telah menikah dengan perempuan itu,” ucap Justin berhenti
sejenak. Ia meneguk kembali anggurnya untuk melicinkan tenggorokannya yang
kering. Giavanna juga kehausan. Mau tak mau ia mengambil gelas anggurnya lalu
meneguk anggur itu satu kali. Kening Giavanna mengernyit dan salah satu alisnya
terangkat.
“Jadi, bagaimana bisa kau menikah
dengan wanita sementara kau sudah menjadi gay? Maksudku, gay! Kau tidak
mencintai perempuan, kau tidak tertarik lagi dengan kaumku. Jadi, mengapa kau
bisa menikah?” Tanya Giavanna tidak ingin menebak-nebak kelanjutan ceritanya.
Justin diam-diam tersenyum licik karena Giavanna telah meminum anggur itu. Ah, ya ampun, betapa bodohnya perempuan ini,
pikir Justin saat Giavanna kembali meneguk anggurnya.
“Aku kuliah di Kanada selama 4
tahun. Dan ketika aku pulang dari Kanada ke Atlanta, aku telah disiapkan
seorang perempuan untuk dinikahkan. Pilihan ayahku. Perempuan pendiam,
perfeksionis yang sama sepertinya dan kelihatan masih sangat muda. Bayangkan,
saat itu aku masih berumur 21 tahun—aku masuk sekolah sedikit lebih cepat—dan
aku belum bekerja! Seperti yang kautahu, ayahku-lah yang membangun perusahaan
RCS Advertisement. Ia menempatkanku sebagai asistennya. Ia memperlakukanku
seperti pembantu—“
“Ah, ya Tuhan,” Giavanna menepuk
keningnya. “Ternyata ini alasan mengapa kau memperlakukanku seperti pembantu!
Kau pernah diperbudak oleh ayahmu sendiri, Justin. Percaya padaku, Justin, kau
harus memaafkan ayahmu,” ucap Giavanna memotong cerita Justin. Justin
menertawakan Giavanna, merasa lucu akan apa yang dikatakan Giavanna padahal
tidak ada satu kata pun atau kalimat yang menunjukkan lelucon.
“Aku tak meminta pendapatmu atau
saranmu, Giavanna. Aku hanya bercerita, apa kau sadar kalau kau bukan psikolog?
Jadi biarkan aku melanjutkan ceritaku,” ucap Justin memberi senyum paksa.
Giavanna mendecak tak suka. Tetapi telinganya siap mendengar cerita Justin.
“Gajiku bisa dikatakan cukup besar. Terlebih lagi karena aku adalah anaknya.
Tak perlu lama untuk menunggu pemberkatan nikah. Satu atau dua bulan
kemudian—aku sudah lupa—aku telah menikah dengannya. Cincin yang kau pakai itu
adalah cincin pernikahanku. Hari pertama menjadi seorang suami sungguh
membuatku resah. Aku tak tahu bagaimana harus memperlakukannya. Terlebih lagi,
aku tak pernah tertarik padanya. Aku tak pernah mencintainya, sekalipun. Sampai
sekarang. Aku membencinya,” bisik Justin di kalimat terakhir. Ia membuang wajah
dari Giavanna. Mengingat wajah perempuan ini begitu mirip dengan mantan
istrinya. Ya Tuhan, mengapa mereka bisa begitu mirip? Bibir Giavanna menipis
saat ia dapat merasakan betapa bencinya pria ini terhadap mantan istrinya.
“Siapa nama mantan istrimu? Mengapa
kau membencinya?” Tanya Giavanna, kali ini dengan suara tenang. Mata Giavanna
tak lepas dari wajah Justin yang sekarang terlihat sedikit memerah. Ah, ia
semakin penasaran mengapa Justin bisa membenci istrinya. Apakah istrinya kejam
dibalik sifatnya yang pendiam? Atau ia orang yang materialistis? Atau bahkan
ternyata istrinya penyuka sesama jenis juga? Giavanna tak tahu mana yang paling
benar.
“Eva,” bisik Justin tanpa
memalingkan kepalanya pada Giavanna. “Sesungguhnya, Eva tidak bersalah akan apa
pun. Ini semua karena ayahku. Ia memaksaku menikah dengan orang yang tak
kucintai. Ia tak pernah tahu aku gay. Awal-awal pernikahan, aku berusaha untuk
bersikap normal. Eva tak banyak bicara, begitupun aku. Aku dan dia tidak
memiliki waktu untuk melakukan pendekatan. Ayahku terlalu terburu-buru membuat
kami bersama. Eva termasuk perempuan penurut, ia melakukan apa yang kusuruh. Ia
perempuan lemah yang hanya mengikuti apa yang kukatakan. Aku tak begitu
menyukainya. Tetapi ayahku menyukainya!” Seru Justin gemas di akhir kalimat.
Mengapa ayahnya sangat egois?
“Ah, biasanya seperti itu. Ayahmu
pasti menyukai Eva saat mereka bertemu. Tetapi karena ia sadar ia terlalu tua,
maka ia memberikannya padamu agar mereka memiliki waktu bersama lebih lama,”
komentar Giavanna memutar bola matanya. Ia meneguk anggurnya hingga habis lalu
mengecap sekali. “Jadi, apa kau bercinta dengannya? Maksudku, dari mana Arthur
berasal? Aku tak ingin membayangkan kau dan Alexander bercinta. Ah, ya Tuhan,
aku merasa sangat mual,” Giavanna berlagak seperti ingin muntah. Justin diam
memerhatikan Giavanna yang sungguh banyak tingkah. Mengapa Eva tak seperti
Giavanna? Jika Eva sedikit vokal dalam hubungan mereka, sudah pasti Justin
…kepala Justin tergeleng ketika ia hampir memikir lebih jauh lagi.
“Pertama kali aku berhubungan badan
dengannya… ketika umur pernikahan kami menginjak 8 bulan. Aku yang meminta
untuk melakukan hal itu. Well, ayah meminta cucu dariku. Jadi, aku melakukan
hal itu dengan Eva. Tanpa dilandasi cinta,” bisik Justin. Giavanna tersenyum
lebar.
“Kau sangat keren, Justin! Kau
pernah bercinta dengan seorang wanita. Maksudku, saat itu gay! Orang gay yang
kutahu adalah ia tidak akan pernah menyentuh perempuan atau pun menciumnya,
bahkan bercinta. Tetapi kau melakukannya. Sangat keren. Tepuk tangan untuk
Justin,” seru Giavanna kegirangan. Ia bertepuk tangan kecil untuk Justin hingga
terlihat sunggingan senyum kecil dari wajah Justin yang dari tadi tak menoleh
padanya. “Ceritakanlah lebih detail. Aku sangat penasaran!”
“Mengapa kau ingin tahu? Yang jelas
aku telah bercinta dengan istriku sendiri. Tak ada yang spesial. Kau sangat
berlebihan, omong-omong. Lagi pula, pasti kau sudah tahu bagaimana cara
melakukannya,” ucap Justin mendongakkan kepalanya, melihat Giavanna. Nafas
Giavanna tercekat. Mengingat dirinya masih suci tak tersentuh oleh siapa pun,
Giavanna merasa malu. Bukan karena tidak pernah berhubungan badan dengan
seorang pria. Tetapi, karena ia dikalahkan oleh pria gay seperti Justin!
“Well, sayangnya, aku belum pernah
melakukannya,” ucap Giavanna sedikit malu-malu. “Sudahlah, cepat ceritakan
lebih detail lagi!” Dapat kau! seru
Justin dalam hati. Ternyata dia masih perawan. Berarti tak ada pria yang
tertarik padanya. Dan mengapa tidak ada pria yang dekat dengannya? Maksudnya,
mengapa Giavanna, di tengah-tengah kota Atlanta, tidak pernah berhubungan
badan? Justin mendesah, kepalanya tergeleng.
“Aku tidak ingin menceritakannya
sebelum kau bercerita padaku mengapa kau masih perawan. Maksudku, kau tidak
berpacaran? Dekat dengan pria? Ceritakanlah, aku mau mendengarnya,” sekaligus membalas dendamku padamu,
lanjut Justin dalam hati. Giavanna mendesah, ia tertawa renyah. Sebelumnya,
tidak ada orang yang tertarik mendengar masa lalu Giavanna. Dan orang pertama
yang ingin mengetahui masa lalunya adalah Justin. Atasannya. Tanpa berpikir
panjang—dan masuk ke dalam jurang Justin—Giavanna mulai bercerita.
“Tidak ada yang begitu menarik
dengan kehidupanku. Aku tak pernah berpacaran dengan siapa pun. Dan aku tak
pernah mencium bibir pria. Aku memang memiliki teman-teman pria di luar sana,
tetapi mereka semua sudah memiliki pacar. Tidak ada yang menyukaiku. Lagi pula,
aku tak begitu memikirkan pasangan. Aku tak punya ayah, jadi aku tak tahu
bagaimana memperlakukan pria dengan baik,”
“Ya, hal itu sangat kelihatan,” ucap Justin sarkastik. Giavanna
tertawa paksa, ia memutar bola matanya. Sindirannya sangat pas. “Tapi kau pasti
pernah menyukai pria bukan?”
“Tentu saja! Kau pikir aku penyuka
sesama jenis sepertimu? Tampar aku jika aku melakukannya, oke? Dan sebelumnya,
maafkan aku karena aku pernah menyukai pacarmu,”
“Aku tak—“
“Itu sebelum aku tahu kau dan dia
gay! Sejak aku melihat kalian berdua berciuman di trotoar itu, aku mulai merasa
jijik pada diriku sendiri karena telah menyukainya. Ia ramah dan baik hati.
Jika ingin dihitung dari semua pria yang kusukai, well, semuanya sebanyak satu
orang,” ucap Giavanna mengedik bahu, tak peduli. Mata Giavanna menyipit.
Seperti ada sebuah batu yang menimpuk kepalanya, Giavanna sadar akan sesuatu.
“Kau licik! Aku tidak ingin menceritakan tentangku padamu lagi! Kau
menjebakku!” teriak Giavanna memukul-mukul bahu Justin dengan tangannya yang
tak memegang gelas. Justin tertawa, ia mengelak.
“Tidak! Aku tidak menjebakmu!
Kupikir kita berteman dan kita bisa menceritakan kehidupan satu sama lain. Itu
bukan yang dilakukan oleh sesama teman? Menceritakan apa yang dialaminya,” ujar
Justin berusaha menghindari dari pelukan Giavanna. Tangannya menaruh gelas
anggur ke atas meja lalu ia menahan tangan Giavanna. “Hentikan! Baik, aku akan
menceritakannya padamu. Tetapi kau harus berjanji padaku agar tak tertawa,”
Giavanna menghentikan pukulannya
lalu menurunkan tangannya kembali, ia bersikap siap untuk mendengar. “Aku berjanji
tidak akan tertawa, memotong ceritamu atau berkomentar saat kau sedang
bercerita. Jadi, ceritakanlah sekarang,” ucap Giavanna menaruh gelas kosongnya
juga ke atas meja. Justin memperbaiki cara dudukknya agar ia mendapatkan posisi
yang nyaman. Mulut Justin terbuka.
Malam
itu, hujan membasahi pinggiran kota Atlanta. Sebuah mobil berwarna hitam
menerjang hujan melewati perumahan kelas menengah itu. Mobilnya berhenti di
depan teras sebuah rumah dengan cat berwarna biru muda. Pintu mobil itu
terbuka, seorang pria muncul dari dalam mobil itu. Ia berlari-lari melawan
hujan, kepalanya ia tutupi dengan jas yang ia pakai. Saat telah mencapai pintu
utama, ia langsung membuka pintu rumahnya. Terdengar suara nafas tercekat dari
seorang perempuan. Ya, memang ada seorang perempuan di dalam rumah itu. Ia
kelihatan sedang menunggu pria ini di ruang tamu.Perempuan itu berambut cokelat
panjang di bawah bahu, bermata biru, dan bertubuh ideal. Ia memakai gaun tidur,
wajahnya dipenuhi dengan kekhawatiran. Segera ia mendekati pria itu. Pria yang
mencari nafkah untuknya, suaminya.
“Apa
kau tidak mendengar suara mobilku?” tanya pria itu melepaskan jas yang ia
pakai, dibantu oleh istrinya. Eva, nama perempuan itu, menelan ludahnya.
“Maafkan
aku, suara hujan membuatku tak mendengar suara mobilmu. Apa kau ingin aku
buatkan teh?” Tanya Eva menatap Justin baik-baik dari belakang. Pria itu
terdiam sejenak, ia sedang memerhatikan ponsel yang berada di tangannya
sekarang.
“Tidak
perlu,” ucap Justin mengangkat kepalanya ke atas. “Lebih baik kita
menghangatkan diri di kamar,” ucap Justin membuat Eva bingung. Tetapi perapian
bukan di kamar mereka, itu ada di ruang keluarga. Suaminya keliru. Namun Eva
tak berani untuk mengucapkan sepatah katapun.
“Kau
tidak ingin mandi air hangat atau meminum yang hangat-hangat dulu, Justin?”
Tanya Eva perhatian. Justin membalik tubuh ke belakang, matanya menatap mata
biru Eva yang penuh ketakutan. Apa Justin kelihatan seperti pria buruk rupa?
Mengapa Eva selalu takut padanya? Bahkan sejak mereka mengucapkan janji suci,
Eva masih takut padanya. Apa masalah perempuan ini? Tidak ingin hanyut dalam
emosi, Justin menarik nafas dalam-dalam, lalu ia memberi senyum lembut pada
Eva.
“Tidak,
sayang. Aku hanya butuh kau berada di kamar. Usahakan tidak memakai apa pun
ketika aku sampai di atas. Aku ingin menghubungi teman kerjaku dulu,” ucap
Justin lembut. Eva terkesiap. Ya Tuhan, Justin bersikap lembut padanya? Eva
tidak ingin terlalu lama berpikir, ia segera melangkah menuju tangga ke lantai
dua dan berlari cepat menuju kamar. Dibukanya pintu kamar lalu masuk ke dalam
dan menutupnya kembali. Ia menggigit bibir menahan kesenangannya. Apa yang akan
dilakukan Justin padanya? Mengapa Justin meminta agar ia tak mengenakan apa
pun? Apa akhirnya mereka akan berhubungan badan? Eva takut sekaligus senang.
Apa yang Justin pikirkan selama 8 bulan ini? Mengapa tidak sejak dulu mereka
melakukan hal yang Eva inginkan? Eva menaruh jas basah Justin ke dalam ranjang
kotor lalu membuka pakaiannya. Termasuk celana dalam dan bra. Ia berlari kecil
ke atas tempat tidur dan menutupi tubuhnya dengan selimut.
Jantungnya
berdegup kencang. Suara langkahan kaki dari tangga terdengar membuat Eva
semakin takut dan tak sabar. Tiap langkahnya membuat jantung Eva berdegup
kencang dua kali lipat. Pintu kamarnya terbuka, muncul pria yang sangat ia
cintai dari balik pintu. Ia masih memakai kemeja putih yang sedikit basah.
Rambutnya tidak basah, ia kelihatan sangat tampan dari atas tempat tidur.
Justin membuka satu per satu kancing kemejanya. Hujan di luar sana semakin
deras, petir menyambar kota Atlanta, dan guntur membuat anak-anak kecil di
Atlanta menjerit ketakutan di balik selimut mereka. Tetapi berbeda dengan Eva,
ia takut apa yang akan Justin perbuat padanya.
Sebelumnya,
Justin tidak pernah telanjang di hadapan Eva. Dan sekarang, pria itu sudah
setengah telanjang. Hanya celana boxer berwarna abu-abu yang ia pakai. Justin
melangkah mendekati tempat tidur lalu merangkak naik ke atas. Sebisa mungkin
Justin mendorong dirinya agar ia bisa melakukan ‘hal’ ini. Kemudian ia
tersenyum pada Eva, ia mengelus pipi perempuan itu menggunakan punggung
tangannya. Eva tak pernah diperlakukan selembut ini. Ia merasa sangat …spesial.
“Justin,” bisiknya menatap mata Justin yang
menghanyutkan.
“Eva,”
balas Justin berbisik. Ia kemudian memejamkan mata, mendekatkan bibirnya pada
bibir Eva dan mengecupnya dengan lembut. “Aku akan melakukannya sangat perlahan.”
Lanjut Justin berbisik.
“Selesai,” ucap Justin menggoda
Giavanna. Oh, ya, benar sekali. Justin
menggoda Giavanna. Giavanna melongo. Hanya begitu? Apa-apaan yang
dipikirkan Justin?
“Itu saja? Kau sialan! Tidak mungkin
hanya sampai seperti itu. Kau sungguh tak seru, teman,” ucap Giavanna mencibir.
Justin tertawa lepas hingga kepalanya terdongak ke belakang lalu seperti orang
kerasukan, ia menegakkan kepalanya kembali lalu tangannya menarik pipi
Giavanna. Bibir mereka bertemu. Ia mengecup bibir itu dengan lembut dan sangat
bernafsu. Perempuan yang dikecupinya itu memukul-mukul kepala Justin, matanya
terbuka terkejut dan ia tak merasakan getaran. Apa-apaan yang ia lakukan?
Karena kekuatannya kurang di kepala, Giavanna memukul kemaluan Justin.
“Ah, sialan!” erang Justin memegang
kemaluannya. “Mengapa kau melakukan itu? Aku hanya mencontohkan bagaimana aku
menciumnya saat itu,” ucap Justin tertahan. Giavanna menyentuh bibirnya, ia tak
menjawab pertanyaan Justin. Bibirnya telah tersentuh oleh pria bernama Justin
Richardson. Ya Tuhan. Ia mengingat-ingat kembali kehidupan sebelumnya. Ia
sebelumnya tak pernah dikecup oleh siapa pun di dunia. Dan untuk yang pertama
kalinya, ia dicium.
“Mengapa kau melakukan itu?!” Bentak
Giavanna marah pada Justin. Justin yang sedang menenangkan diri itu terkejut
akan teriakan Giavanna. Ia menoleh panik melihat perempuan itu. Giavanna
mengamuk. Matanya berkaca-kaca. “Kau telah mengotori bibirku yang tak pernah
tersentuh sebelumnya. Tidak, tidak, tidak. Aku dicium oleh pria gay. Bukan pria
idamanku…” suara Giavanna menghilang. Ia sedang menahan tangisnya. Ah, hari ini
sangat mengecewakan. Mengapa Justin menciumnya? Bukankah Justin gay? Apa
masalah pria ini? Justin juga tak menduga perempuan ini akan marah padanya.
Bahkan ia juga bingung dengan dirinya sendiri karena telah mengecup bibir
Giavanna. Otaknya memerintah untuk mengecup bibir itu. Bibir yang sama dengan
milik Eva. Perempuan yang pernah bercinta dengannya. Dan untuk pertama kalinya,
Justin ditolak oleh seorang perempuan. Dan ia adalah Giavanna.
Justin merasa bersalah. Seharusnya
ia memang tak mencium Giavanna. Terlebih lagi ia sudah memiliki kekasih. Tetapi
bukankah ini yang diinginkan Alexander? Justin dan Giavanna bersama? Well,
mungkin memang Justin terlalu terburu-buru. Giavanna memejamkan matanya sejenak
untuk menenangkan diri. Tidak, Giavanna.
Ini bukan masalah besar. Hanya kecupan, tak perlu diambil hati. Mungkin itu
efek anggur yang Justin jadi ia berpikir aku adalah Alexander, ucap
Giavanna dalam hati. Ia membuka mata, melihat pria itu sedang memerhatikannya.
“Maafkan aku,” bisik Justin. “A—“
“Tidak perlu, tidak apa-apa,” bisik
Giavanna tersenyum tipis. “Pasti kau sangat merindukan mantan istrimu, bukan?”
Tanya Giavanna berusaha bersikap netral. Justin menggeleng.
“Tidak, aku tidak pernah
merindukannya. Aku hanya terbawa suasana,” bisik Justin menundukkan kepala.
Justin mendesah. Mengapa ia kelihatan begitu lemah di hadapan Giavanna? Ia
seharusnya bisa lebih keras dan tegas dibanding ini. Giavanna mengembus nafas
lewat mulutnya. Lalu ia mengedik bahu. Lagi pula, itu sudah terjadi. Tidak ada
yang bisa mengubahnya lagi, bukan? Waktu tak bisa diputar kembali.
“Justin, bukan apa-apa. Aku memang
tidak pernah dicium siapa pun sebelumnya. Dan, sebenarnya tidak apa-apa jika
kau ingin menciumku. Tapi kau tahu masalahnya apa? Kau gay. Kau memakai bibir
itu untuk mencium Alexander dan kini kau menciumku. Aku bukan anti-gay, tetapi
pikirkan Alexander di rumah yang merindukan kecupanmu. Bukan aku. Tentang Eva,
aku rasa kau tidak pantas membencinya,” ucap Giavanna menggeleng kepala.
“Mengapa?”
“Kau membencinya karena perbuatan
ayahmu. Ia tak bersalah. Aku menyesal mengetahui ayahmu seorang yang kejam
seperti itu sampai kau berubah menjadi gay yang tampan. Lebih baik aku pulang.”
Giavanna bangkit dari sofa. Tanpa diduga, Justin menarik tangan Giavanna hingga
perempuan itu duduk kembali.
“Ada lagi yang belum kuberitahu
padamu,” ucap Justin kali ini tegas.
“Apa?” Erang Giavanna lelah. Semuanya
berubah setelah kecupan nafsu itu. Justin mengelus punggung tangan Giavanna.
Cincin itu sangat pas di jari manis Giavanna. Dan itu terlihat sangat cocok
untuknya. Cincin itu pernah ia dan Eva pakai. Ketika Justin ingin berbicara,
tiba-tiba Giavanna menyambar. “Sebelum kau berbicara, aku penasaran dimana
keberadaan Eva sekarang. Dimana mantan istrimu itu?” tanya Giavanna berusaha
untuk mencairkan suasana canggung. Justin memang tolol! Mengapa ia selalu
membuat keadaan canggung ketika mereka bersama-sama? Pria ini terlalu tegang
dan serius! Bibir Justin menipis, kepalanya terangguk satu kali.
“Dia sudah berada di sisi Tuhan,”
ucap Justin. Giavanna terkejut, ia tak menduga akhir kisah cinta mereka seperti
ini! Sangat menyedihkan. Pasti saat itu
Justin sangat mencintai Eva namun ia membenci Eva karena ia telah meninggalkan
Justin sendirian di dunia bersama Arthur! pikir Giavanna lagi-lagi sok
tahu. “Kumohon jangan tanyakan bagaimana ia bisa meninggal. Itu sungguh
menyakitkan,”
“Aku sungguh menyesal, Justin.
Tidak, sungguh, aku tidak akan bertanya bagaimana istrimu meninggal. Tetapi, ya
ampun, aku sangat kasihan pada Arthur. Ia kehilangan ibunya,” ujar Giavanna
tanpa menatap Justin. Matanya melihat ke lantai selama beberapa detik lalu
kembali menoleh pada Justin. “Jadi, apa yang ingin kau beritahu padaku?”
“Aku berpacaran dengan seorang pria
saat aku masih menikah dengan Eva,” ucap Justin. Mulut Giavanna menganga tak
percaya. Pria ini penuh dengan kejutan! Rasanya Giavanna tak ingin mendengar
apa pun lagi cerita tentangnya. Ini terlalu berlebihan untuk Giavanna tampung
dalam pikirannya. Pikiran gila apa yang melintas di otak Justin saat ia
memutuskan untuk berpacaran dengan seorang pria? Eva yang malang, jika ia masih
ada di dunia, pasti Giavanna akan menepuk-nepuk punggungnya. Justin tertawa
melihat ekspresi Giavanna yang terkejut itu. Entah perasaan apa yang menyerang
Justin, tetapi perempuan ini begitu ekspresif dan itu membuat Justin sangat
…bahagia.
“Giavanna,” panggil Justin. Tetapi
perempuan itu tak mendengar. “Giavanna, aku hanya bercanda,” ucap Justin lagi.
Ia melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Giavanna sambil terkekeh. Mata
perempuan itu berkedip-kedip, sadar akan lamunannya.
“Ap-apa?”
“Aku hanya bercanda, bukan itu yang
ingin kuberitahu padamu. Aku tak pernah berpacaran dengan pria selama aku
menikah. Aku tak pernah berselingkuh seumur hidupku,” ucap Justin percaya diri.
Giavanna masih berusaha memfokus diri pada Justin. Tadi ia berpikir bagaimana
rasanya berada di posisi Eva selama Eva diselingkuhi oleh Justin. Sangat
mengerikan dan menyedihkan. Setelah menyerap ucapan-ucapan Justin, Giavanna
mengangguk mengerti.
“Kau. Bajingan. Sialan.” Ucap
Giavanna menekan tiap kata yang keluar dari mulut. “Jadi, apa sebenarnya yang
ingin kau beritahu?”
“Sebelumnya, jangan terkejut,” ucap
Justin memperingati. Giavanna mengangguk. Justin menarik nafas panjang lalu
mengembuskannya melalui mulut. “Kau sangat mirip dengan Eva, Giavanna,” ucap
Justin, akhirnya. Pria itu bernafas lega. Entah mengapa rasa benci Justin
terhadap perempuan ini berkurang begitu saja—bahkan ia merasa tidak pernah
membenci Giavanna. Tetapi reaksi Giavanna biasa saja. Ia hanya mengangkat salah
satu alisnya, kebingungan.
“A-aku tak mengerti. Mirip? Sifatku
yang mirip dengannya atau apa?” Tanya perempuan itu. Justin menepuk keningnya.
Apakah ada perempuan lebih tolol dibanding Giavanna?
“Wajahmu! Kau mirip dengannya! Hanya
warna matamu dan potongan rambutmu saja yang berbeda. Tidakkah kau mengerti? Ya
Tuhan, sulit sekali berbicara denganmu, Giavanna,” ucap Justin berusaha menahan
tangannya agar tak meremas rambutnya sendiri.
“Tunggu sebentar,” Giavanna berpikir
sejenak. “Jika kau memang membencinya dan wajahku mirip dengan Giavanna, kau
pasti …” ucapan Giavanna terhenti sejenak. Justin penasaran.
“Ya?”
“Kau pasti…”
“Ya?”
“Kau pasti tidak akan menciumku! Kau
menciumku!” Teriak Giavanna menuduh-nuduh. Diam-diam Justin bersyukur karena
mereka tidak mengobrol di tempat umum. Tangan Justin kembali menepuk keningnya.
Sesulit inikah berbicara dengan seorang Giavanna Anderson?
“Bukan itu, Giavanna!” Teriak Justin
frustrasi. “Itu berarti aku membencimu karena kau mengingatkanku pada orang
yang kubenci! Terlebih lagi sifatmu seperti ini! Aku membencimu!” Teriak Justin
dengan dua tangan menunjuk-nunjuk Giavanna. Tanpa ada perasaan terhina
sedikitpun, Giavanna mendecak.
“Jadi, kenapa kau menciumku?” Tanya
Giavanna, polos.
“Kubilang aku terbawa suasana!” Ujar
Justin bangkit dari sofa. Ia ingin menghentikan sejenak pembicaraan mereka
sekarang. Perutnya sudah lapar. Ia harus mengisi perut. “Kau ingin makan?”
Tanya Justin sebelum Giavanna membuka mulut.
“Ya, aku lapar sekali,” ucap
Giavanna menyentuh perut.
“Kau makan apa saja bukan?” Tanya
Justin berjaga-jaga jika perempuan ini banyak permintaan. Giavanna mengangguk.
Ia makan apa pun yang bisa dimakan. “Bagus, aku akan memesan makanan.” Ucap
Justin berjalan menuju telepon di ruang tamu.
“Sebenarnya aku masih penasaran
bagaimana istrimu meninggal.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar