Kamis, 26 Juni 2014

Perfect Time Bab 9

            Taksi berwarna kuning itu berhenti di depan sebuah apartemen. Tidak butuh waktu lama, seorang perempuan keluar dari taksi itu mengenakan pakaian rapi dan sebuah tas selempang kecil menggantung di bahu kanannya. Sebelum ia menaiki tangga untuk masuk ke dalam gedung apartemen, ia berhenti sejenak. Mungkin karena pekerjaannya menjadi seorang asisten, ia tidak mudah lupa. Ia ingat, ia harus membeli susu formula bagi sahabatnya yang menunggunya di apartemen. Ia memutarbalikkan tubuhnya lalu berjalan menuju supermarket yang tak jauh dari apartemennya. Supermarket itu berada di ujung belokan trotoar, jadi ia bisa berjalan kaki. Kepalanya tertunduk agar ia dapat melihat jari manis tangan kanannya yang sudah tak mengenakan cincin yang diberikan Justin, atasannya.
            Giavanna menaruh cincin itu di atas meja ruang tamu sebelum ia meninggalkan Justin. Maksud Justin memakaikan cincin itu di jari manisnya itu agar orang-orang di luar sana menganggap mereka sebagai sepasang kekasih. Namun ketakutan Giavanna akan arwah Eva lebih ampuh membuat perempuan itu melepaskan cincin itu dari jari manisnya—sebelumnya Justin melarang untuk melepaskan cincin itu—karena siapa tahu saja karena cincin itu Eva merasuki tubuh Giavanna. Berarti, Eva adalah wanita beruntung yang mendapatkan Justin. Dan yah, sekarang pria itu telah benar-benar menjadi gay. Dan untungnya, pria itu berada di dalam bawah kekuasaan Giavanna. Atau bisa dibilang, kekuasaan mereka sama rata. Sebenarnya, foto-foto yang dihapus Justin saat itu telah terhapus seluruhnya. Giavanna tak memiliki foto-foto itu lagi. Giavanna berbohong tentang ia menyimpan foto-foto itu di laptop Hailey. Sahabatnya bahkan tak memiliki laptop! Well, mantan pacarnya punya dan Hailey sering meminjamnya. Tetapi gila bila Giavanan menyimpan rahasia Justin di dalam laptop itu.
            Satu-satunya barang bukti yang Giavanna adalah rekaman suara Arthur—dan terima kasih Tuhan, Justin tidak menghapus rekaman suara itu. Mengingat rekaman itu, tubuh Giavanna menggeliat lalu ia mendongak. Kejadiannya begitu cepat, kepalanya menabrak sesuatu lalu tubuhnya berbalik ke belakang dan ia jatuh dengan cara tak indah di atas trotoar. Giavanna mengutuki siapa pun yang menabraknya. Sebuah tangan menyentuh lengannya, sontak Giavanna menghentakkan tangannya agar terlepas dari sentuhan orang itu. Saat ia menyibak rambut panjangnya, ia membalik kepala ke belakang untuk melihat siapa yang menabraknya.
            Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Tuhan tahu apa yang ada di pikiran Giavanna sekarang dan tahu perasannya sekarang. Ah, Tuhan begitu baik malam ini padanya. Karena Ia telah mengirimkan pria tampan yang bisa-bisanya menabrak Giavanna. Pria itu memiliki warna mata biru cerah. Sangat kontras dengan warna rambut cokelat gelapnya. Ia luar biasa tampan. Dalam hening, Giavanna membisikan doa semoga pria ini tak gay.
            “Apa aku melukaimu, Nona?” Tanya pria itu sangat ramah. Giavanna menyesal karena ia telah menghentakkan tangannya dengan kasar. Giavanna menggeleng. Ia berusaha menelan ludah agar tenggorokannya licin. Pria ini sangat panas sampai ia berhasil membuat tenggorokan Giavanna kering. “Biar kubantu berdiri,” ucapnya menarik tangan Giavanna hingga perempuan itu berdiri. Salahnya, tubuhnya mereka bersentuhan satu sama lain. Wajahnya mereka begitu dekat. Dapat pria itu rasakan jantung Giavanna berdetak begitu kencang. Pria itu tersenyum manis lalu menarik tubuhnya dari Giavanna. Keduanya salah tingkah. Terlebih lagi Giavanna yang sekarang menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinganya.
            “Maafkan aku. Aku tak bermaksud menabrakmu. Tadi aku berjalan sambil memegang ponsel,” ucap pria itu meminta maaf lebih dulu. Giavanna berdeham.
            “Tidak apa-apa. Tidak ada yang terluka. Aku juga minta maaf karena tadi berjalan menunduk. Ini bukan salahmu sepenuhnya,” ucap Giavanna bersikap manis. Ah, memang, keuntungan biasa bagi pria yang memiliki wajah rupawan. Pria itu tersenyum berterima kasih. Sebelum Giavanna melanjutkan ucapannya, pria itu sudah menyela.
            “Aku Lance, omong-omong. Bisakah kau menolongku?” Tanya pria bernama Lance itu membuat Giavanna tak jadi mengatakan apa yang ia ingin katakan. Giavanna mengangguk. “Aku baru di Atlanta. Aku tersesat dan ingin pulang ke rumah. Tadi aku berjalan-jalan sebentar keluar tetapi sekarang aku sudah tersesat. Apa kau tahu jalan menuju alamat ini?” Tanya pria itu memperlihatkan ponselnya. Giavanna melihat alamat rumah pria itu lalu mengangguk tahu. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman senang.
            “Tentu. Itu tidak jauh dari sini, hanya beberapa blok saja. Kau ingin kuantar?” Tawar Giavanna. Pria itu mengangguk antusias. Tentu saja! Perempuan di hadapannya begitu ramah dan sangat baik hati ingin membantunya. Dan nilai tambah yang ia dapat adalah kecantikan perempuan ini. Lance menunggu Giavanna menunjukkan arah jalan, namun perempuan itu seperti berpikir sejenak. “Sebelum aku mengantarmu ke alamat itu, bisakah kita mampir ke supermarket? Ada sesuatu yang ingin kubeli,” ucap Giavanna.
            “Ya, tentu.” 

***

            Justin menyimpan ponselnya ke atas meja kecil di samping tempat tidurnya setelah ia mengirim pesan singkat. Justin memutuskan untuk tidak pulang dari hotel. Seharusnya, ia pulang malam itu juga. Namun ia sedang tak ingin berdebat dengan Alexander. Kekasihnya termasuk kekasih posesif. Justin tidak begitu senang jika ia ditanyai secara mendetail apa yang ia lakukan tiap hari. Ah, baru setengah jam ia ditinggalkan Giavanna, ia sudah ingin bertemu dengan perempuan itu kembali dan berdebat dengannya. Ia sangat lucu saat ia berdebat. Kadang ia bodoh, namun ia tidak mengada-ada kebodohannya. Tetapi sekalinya perempuan itu berpikir, ia akan menjadi perempuan terlicik yang pernah Justin temui.
            Malam itu Justin hanya memakai kimono putih yang disediakan hotel. Di atas tempat tidur, sambil terduduk di sisinya, Justin merenung. Eva. Kebencian Justin terhadap mantan istrinya cukup ekstrim. Mengingat apa yang pernah Justin lakukan pada Eva… Justin menggeleng kepala. Tidak, Giavanna berbeda dari Eva. Setidaknya, Giavanna lebih hidup dibanding Eva. Tiba-tiba rasa penasaran muncul begitu saja saat Justin mengingat bahwa dulu ia beberapa kali berhubungan badan dengan Eva. Ia ingin tahu bagaimana Giavanna berhubungan badan. Mengetahui perempuan itu masih perawan membuat Justin merasa beruntung. Ia bisa mempermalukan perempuan itu. Ya, tentu saja.
            Ah, Eva, istri pertama yang memberikan Justin seorang bayi kebanggaan Justin. Ketika Arthur lahir, Justin merasa dirinya adalah orang paling bahagia di dunia. Justin menyayangi Arthur karena ia tahu, Arthur adalah darah dagingnya sendiri. Jika Arthur bukan darah dagingnya—meski lahir dari kandungan Eva—ia tidak akan bisa menyayangi anak itu. Lagi pula, siapa yang bisa menyayangi anak yang bukan darah dagingnya sendiri? Kecuali jika kau tidak bisa hamil atau kau memang penyayang anak kecil. Justin bertanya-tanya, apa yang Giavanna lakukan sekarang? Bertemu dan berbicara dengan sahabatnya? Apa Giavanna sudah tidur? Perempuan pasti belum tidur. Apakah Justin harus menghubungi Giavanna? Justin menggelengkan kepala, kemudian ia berbaring dengan bantalan empuk di kepala. Tidak seharusnya ia memikirkan Giavanna.
            Lagi pula, besok mereka akan bertemu kembali.

***

            Setibanya di apartermen, Giavanna menaruh susu formula yang ia beli dengan Lance di atas meja ruang tamu kemudian berlari cepat-cepat menuju kamar. Hailey yang baru saja dari dapur segera keluar untuk melihat apa yang terjadi. Tetapi sahabatnya sudah menghilang di balik pintu kamarnya. Giavanna melompat, ia melempar tubuhnya ke atas tempat tidur. Diambilnya bantalan kepala lalu menjerit sekeras mungkin di sana. Ia begitu girang malam ini. Pria bernama Lance itu baru saja memberikan nomor teleponnya pada Giavanna dan berharap mereka bisa bertemu. Letak apartemen mereka tidak begitu jauh. Hanya perlu berjalan melewati beberapa blok, Giavanna bisa mendapatkan apartemen Lance. Pria itu ternyata orang baru di Atlanta. Ia dipindahkan dari LA ke Atlanta karena masalah pekerjaan. Giavanna melepaskan bantalan itu dari wajahnya lalu ia menatap langit-langit kamar.
            Terima kasih untuk bos Lance yang mengirimkan Lance ke Atlanta. Senyuman Giavanna memudar begitu saja. Ya Tuhan, ia lupa menanyakan apakah Lance gay atau tidak. Ia terlalu trauma mendapatkan pria-pria tampan yang gay. Dan salah satunya adalah pria yang sangat disukai Giavanna—Alexander. Giavanna tidak boleh terlalu optimis untuk mendapatkan pria ini. Ia tidak ingin sakit hati jika tiba-tiba ia melihat Lance berciuman dengan pria di trotoar. Atau bahkan, mungkin jika Giavanna datang ke apartemen Lance, ia menemukan Lance dalam keadaan telanjang bersama dengan kekasih prianya. Tubuh Giavanna menggeliat jijik. Well, Giavanna hanya dapat berdoa agar pria itu tidak gay. Pintu kamarnya terketuk, membuat Giavanna terpaksa berteriak.
            “Masuk saja, Hailey,” teriak Giavanna malas. Ah, bayangan sialan itu benar-benar memberikan efek buruk bagi suasana hati Giavanna. Pintu kamarnya terbuka, muncullah Hailey dengan perut yang memang sudah berbentuk. “Ada apa?”
            “Mengapa kau berlari-lari seperti orang kerasukan?” Tanya Hailey. Salah satu alis Giavanna terangkat. Ia bingung.
            “Tunggu sebentar,” ucap Giavanna mengangkat jari telunjuknya. “Pertama, aku tidak pernah tahu kalau orang kerasukan akan lari-larian seperti aku tadi. Maksudku, di film-film mereka—“
            “Jawab saja, Giavanna! Mengapa kau berlari-lari seperti itu? Apa yang Justin lakukan padamu? Kau tahu, akhir-akhir ini aku melihatmu seperti orang gila. Apa Justin memberikan pekerjaan-perkejaan berat padamu?” Tanya Hailey khawatir. Kedua alisnya hampir menyatu, keningnya mengerut begitu saja. Sekhawatir itukah Hailey? Apa Giavanna sekarang sedang menangis? Tidak. Jadi, mengapa Hailey bisa begitu khawatir?
            “Tidak, aku tidak apa-apa, Hailey. Aku berlari-lari karena …kesenangan,” ucap Giavannaberhenti sejenak. Kau tahu, aku bertemu dengan seorang pria bernama Lance. Dia tadi meminta bantuanku untuk mencari tempat tinggalnya, ia baru di Atlanta. Jadi, aku—sebagai orang baik—membantu Lance mencari apartemennya. Kemudian, ia memberikanku nomor teleponnya!” Jerit Giavanna kegirangan. Ia kembali menutupi wajahnya dengan bantal lalu kakinya menginjak-injak tempat tidur akibat kegirangan.
            “Kau serius? Apa kau yang ia pria baik-baik?” Tanya Hailey melangkah mendekati Giavanna. Tangannya memegang perut, mengingat mantan pacar Hailey adalah pria bajingan. Giavanna membuang bantalnya lalu ia mengangguk-angguk percaya diri.
            “Ya, kurasa begitu. Karena jika ia orang jahat, pasti sekarang aku tidak berada di sini bukan? Ayolah, berbahagialah sedikit untuk sahabatmu. Sebentar lagi sahabatmu ini akan mendapatkan jodohnya,” ujar Giavanna mencolek lengan Hailey, ia menggoda sahabatnya. Mau tak mau Hailey ikut tersenyum lalu berbaring di sebelah Giavanna.
            “Sekarang, aku bingung mengapa kau tidak sama sekali tertarik dengan Justin, atasanmu. Bukankah ia pria yang tampan? Mengapa kau tidak menggodanya saja?” Tanya Hailey. Terpaksa Giavanna harus menahan tawanya. Tentu saja ia tidak bisa! Sampai mati pun, Giavanna tidak akan bisa membuat Justin menyukainya. Pria itu gay! Dan ia milik pria lain. Jadi peluang untuk mendapatkan Justin; tidak ada.
            “Mungkin Tuhan mempunyai rencana lain.”

***

            Sudah sejak jam 8 pagi, Justin berada di tempatnya. Ia terduduk di atas kursi sambil menatap layar komputer yang menyala. Suasananya sedang dalam keadaan buruk. Ia bertengkar kembali dengan Alexander saat Justin baru saja tiba di rumah jam 6 pagi. Bukan salah Alexander emosi pada Justin. Itu memang kesalahan Justin hingga membuat Alexander marah. Seharusnya Justin pulang malam itu, tetapi Justin tak kunjung datang. Bahkan saat Alexander berusaha menghubungi Justin, ponsel Justin sedang dalam keadaan tak menyala. Bukankah itu sangat menyebalkan? Justin tidak berdebat dengan Alexander, ia hanya mendengar Alexander berceloteh seperti ibu yang memarahi anaknya. Kemudian Justin mengantar Arthur ke sekolah tanpa mengajak Alexander.
            Dinding ruangannya transparan, sangat sengaja agar ia dapat melihat Giavanna yang tak kunjung muncul. Jam sudah menunjukkan pukul 8.30 pagi, tetapi perempuan itu tak muncul. Apa tadi malam ia begitu bahagia sampai terbawa mimpi dan sekarang tak dapat bangun? Justin sudah menelepon Giavanna untuk membawakan kopi paginya. Kepala Justin menoleh keluar ruangan, tetapi yang muncul adalah Morgan. Sialan. Kemana Giavanna? Justin sendiri tak tahu mengapa ia ingin sekali Giavanna cepat-cepat muncul di hadapannya, ia bahkan tidak tahu apa yang harus dibicarakan dengan perempuan itu. Tetapi tak bertemu dengannya atau tak melihat tingkahnya membuat Justin merasakan sesuatu yang kurang. Hanya saja, Justin tak tahu apa itu.
            Ia menghela nafas panjang. Ponselnya berdering di atas meja kerjanya. Justin tidak mengangkat panggilan itu, ia sudah tahu siapa yang menghubunginya. Alexander. Justin sedang tak ingin berbicara dengan kekasihnya. Ia perlu sesuatu yang dapat dikerjakan. Hari ini ia akan membuat iklan parfum—lagi—tetapi ia belum menemukan modelnya. Seharusnya kemarin Giavanna mencari model untuk iklan ini. Yah, permintaan Arthur membuat segalanya terhambat. Kepala Justin kembali menoleh keluar ruangannya, kemudian muncullah orang yang sangat ia harapkan. Kelihatan Giavanna pagi ini sangat bahagia. Di tangannya sudah ada kopi pesanan Justin. Giavanna melangkah menuju ruangan Justin setelah ia menaruh tas kerjanya di atas meja.
            “Kemana saja kau?” Tanya Justin tak suka ketika Giavanna baru saja masuk ke dalam ruangan. Jari Justin menekan tombol hingga ruangan itu berubah menjadi buram. Morgan yang berada di luar menoleh ke dinding ruangan Justin yang buram. Mengapa ruangan itu selalu buram atau berwarna abu-abu tiap kali mereka berada dalam ruangan itu? Tetapi tidak ada yang terjadi selain perdebatan yang tidak begitu penting. Giavanna menaruh kopi Justin di atas meja lalu berusaha untuk tidak tersenyum.
            “Sekarang belum jam 9 dan aku telah menandai absenku. Lagi pula, mengapa kau datang begitu cepat?” Tanya Giavanna yang seharusnya tidak boleh berkata dengan nada seperti itu pada Justin. Orang bodoh pun tahu, Justin adalah atasan Giavanna. Justin menarik nafasnya dalam-dalam. Mengapa di saat dirinya menderita karena Alexander, Giavanna dapat tersenyum di luar sana dan sekarang perempuan itu memasang topeng biasa saja? Ini sangat tidak adil. Perempuan itu sedang bahagia, sedangkan Justin tidak. Apa gerangan terjadi dengan perempuan ini?
            “Itu sudah tidak penting,” tukas Justin. “Sekarang, dimana model untuk iklan parfum-ku?” Tanya Justin tanpa menatap mata Giavanna. Inilah yang tidak disukai Giavanna dari Justin. Pria itu tiap kali bertanya atau menyuruhnya tidak pernah menatapnya. Itu membuat Giavanna cukup risih. “Giavanna, aku bertanya padamu, dimana modelku?”
            “B-belum ada,” ucap Giavanna pelan. Ia memberikan senyum paksa pada Justin.
            “Aku tak mau tahu, hari ini kita harus bisa mengambil gambar,” ucap Justin tegas. Giavanna mengangguk satu kali, bagaimana pun juga ini adalah pekerjaannya. Sebelum Giavanna beranjak dari tempatnya, Justin menghentikan perempuan itu. “Aku mau kau yang menjadi modelnya.”

***

            Dalam hati Giavanna mengutuki Justin. Ia tidak bisa menjadi model untuk iklan parfum. Apalagi adegannya harus menghirup sesuatu yang memabukkan. Giavanna tak bisa berakting! Tololnya Justin adalah ia bertanya pada para staf dan sutradara apakah Giavanna cocok menjadi modelnya atau tidak. Dan semua orang di ruangan itu tentu saja menyetujui Justin! Itu semata karena Justin adalah atasan mereka dan mereka takut dipecat! Giavanna telah mengganti pakaiannya. Sebuah gaun panjang berwarna ungu telah menempel di tubuhnya. Jika Hailey melihat iklan ini, bisa-bisa sahabatnya keguguran. Ia menatap mata cokelatnya di cermin lalu menghela nafas panjang. Giavanna tak bisa menolak permintaan Justin yang satu ini. Jika Justin memecatnya—itu kalau Justin berani rahasianya terbongkar—Giavanna tak tahu apa yang harus ia publikasikan di Internet. Terlebih lagi, foto-foto itu sudah tak ada di ponselnya.
            Giavanna keluar dari ruang ganti. Dilihatnya Justin berdiri di sebelah sutradara, mereka sedang berbincang-bincang. Entah apa yang terjadi dengan orang-orang di studio, mereka menatap Giavanna saat mereka melewati Giavanna. Pipi Giavanna memerah malu. Mengapa Justin bisa-bisanya mempermalukan Giavanna seperti ini? Justin memutarbalikkan tubuhnya ketika ia sadar orang-orang di depan Justin menatap seseorang di belakang Justin. Justin terkejut setengah mati. Tubuhnya mematung, terhipnotis akan apa yang sedang ia lihat. Giavanna sangat cantik. Rambutnya bergelombang, hiasan bunga-bungaan berwarna ungu menghiasi kepala Giavanna, dan gaun yang ia kenakan begitu pas dengan tubuhnya. Justin menggelengkan kepalanya. Entah sebuah memori muncul di kepala Justin. Tetapi Justin tidak tahu kejadian apa itu.
            Ah, ia ingat. Hari pernikahannya. Eva memakai gaun sangat cantik dan tersenyum pada Justin lalu  membisikkan kata cinta pada Justin. Giavanna mendekati Justin lalu berhenti di depannya. Sama seperti di hari pernikahannya, Giavanna tersenyum pada Justin. Lalu perempuan itu menjinjit—persis seperti yang Eva lakukan—lalu ia berbisik.
            “Bajingan,” bisik Giavanna di telinga Justin. Seluruh bayang-bayang Eva saat mereka menikah runtuh sudah. Tidak ada yang mendengarnya selain mereka berdua. Giavanna berdiri normal kembali, ia tersenyum pada Justin. “Baiklah, ayo kita mulai pengambilan gambar ini. Ini harus sangat bagus!” Seru Giavanna bertepuk tangan seperti sutradara. Justin memerhatikan Giavanna berjalan pergi menjauhinya. Bisikkan Giavanna sangat berbanding terbalik dengan apa yang dibisik Eva padanya. Model pria milik RCS Advertisement muncul dari ruang ganti pakaian. Ia tidak mengenakan apa pun selain celana panjang berwarna hitam. Jadi, pria ini yang akan menjadi pasangan Giavanna? Tidak! Justin masih bersikap maskulin, ia kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. Lihat apa yang bisa dilakukan oleh seorang Giavanna Anderson di depan kamera. Sutradara di sebelah Justin berdiri, ia mendekati dua model itu—yang salah satu diantaranya, tentu saja, Giavanna—lalu memberi intruksi.
            Sesekali Giavanna menatap Justin. Ia menatap Justin seperti pembunuh berantai. Justin hanya memberikan senyum miring. Senyum itu yang mengawal pertempuran mereka. Sambil memerhatikan, Justin berpikir skeanario apa yang dibuat oleh si penulis, ia tak tahu skenario iklan ini karena Alexander-lah yang memberitahu idenya pada penulis cerita. Pengambilan gambar dimulai. Semua orang diam. Termasuk Justin yang memerhatikan Giavanna duduk di atas kursi meja rias. Giavanna memakai gaun ungu itu karena iklan ini menceritakan sepasang kekasih yang baru saja menikah dan akan berhubungan badan. Jantung Justin berdetak, ia resah mengapa ada sebuah ranjang di studio. Model pria itu sudah tertidur di atas tempat tidur sambil menatapi Giavanna. Justin tidak menatap layar sutradara, tetapi ia fokus pada Giavanna. Giavanna sedang menyemprotkan parfum itu di lehernya lalu tersenyum di depan cermin. Model pria itu sedang berada di atas tempat tidur, ia menatap Giavanna dari belakang. Harus Justin akui, ternyata Giavanna memiliki kemampuan berakting yang baik.
            Well, pria ini tidak tahu apa-apa tentang Giavanna. Perempuan itu berakting selama ia bekerja di RCS Advertisement. Giavanna bangkit dari kursi meja riasnya lalu tersenyum nakal pada pria itu. Nafas Justin tercekat, tak percaya Giavanna dapat melakukan hal itu. Bukankah ia tidak pernah berhubungan badan dengan siapa pun? Mungkinkah Giavanna berbohong padanya? Jantung Justin semakin berdegup kencang ketika Giavanna merangkak naik ke atas tempat tidur. Suasana di studio benar-benar hening. Giavanna mengecup bahu pria itu—kapan lagi ia dapat mencium otot-otot keras nan seksi ini?—dengan lembut. Mata Justin tak berkedip. Ini bukan mimpi. Pria itu melakukan sesuai intruksi sutradara, ia tersenyum miring menikmati tubuh Giavanna lalu ia menghirup aroma wangi dari leher Giavanna. Detik setelahnya, pria itu berguling sehingga sekarang Giavanna berada di bawah tubuhnya.
            Mata Justin melotot tak suka. Bibir menipis. Ini seolah-olah Eva berselingkuh darinya! Hatinya begitu panas sekarang. Apakah Giavanna berbohong tentang keperawanannya itu? Karena sekarang, Justin melihat soft porn di pengambilan gambari ini. Justin menggeleng kepala tak terima akan pemandangan yang ia lihat. Jadi, ini ide Alexander? Sulit dipercaya! Ini bukan yang Justin harapkan. Seharusnya adegan ini elegan dan menjual, tetapi mengapa yang ia dapat adalah adegan porno?
            “Cut! Hentikan!” Teriak Justin membuat semua orang di dalam studio menatap Justin. Termasuk Giavanna dan pria di atas tubuhnya. “Hentikan. Giavanna, ikut aku,” perintah Justin memanggil Giavanna menggunakan dua jarinya. Giavanna melotot. Apa yang terjadi pada Justin? Bukan pria itu yang memintanya membintangi iklan ini? Justin bodoh sekali! Orang-orang di studio pasti menyimpulkan kalau Justin cemburu pada Giavanna. Mungkinkah? Justin melangkah menuju pintu keluar.

            “Apa-apaan!” Bisik Giavanna mengumpat di telinga model pria yang masih berada di atas tubuhnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar