Taksi berwarna kuning itu berhenti
di depan sebuah apartemen. Tidak butuh waktu lama, seorang perempuan keluar
dari taksi itu mengenakan pakaian rapi dan sebuah tas selempang kecil
menggantung di bahu kanannya. Sebelum ia menaiki tangga untuk masuk ke dalam
gedung apartemen, ia berhenti sejenak. Mungkin karena pekerjaannya menjadi
seorang asisten, ia tidak mudah lupa. Ia ingat, ia harus membeli susu formula
bagi sahabatnya yang menunggunya di apartemen. Ia memutarbalikkan tubuhnya lalu
berjalan menuju supermarket yang tak jauh dari apartemennya. Supermarket itu
berada di ujung belokan trotoar, jadi ia bisa berjalan kaki. Kepalanya
tertunduk agar ia dapat melihat jari manis tangan kanannya yang sudah tak
mengenakan cincin yang diberikan Justin, atasannya.
Giavanna menaruh cincin itu di atas
meja ruang tamu sebelum ia meninggalkan Justin. Maksud Justin memakaikan cincin
itu di jari manisnya itu agar orang-orang di luar sana menganggap mereka
sebagai sepasang kekasih. Namun ketakutan Giavanna akan arwah Eva lebih ampuh
membuat perempuan itu melepaskan cincin itu dari jari manisnya—sebelumnya
Justin melarang untuk melepaskan cincin itu—karena siapa tahu saja karena
cincin itu Eva merasuki tubuh Giavanna. Berarti, Eva adalah wanita beruntung
yang mendapatkan Justin. Dan yah, sekarang pria itu telah benar-benar menjadi
gay. Dan untungnya, pria itu berada di dalam bawah kekuasaan Giavanna. Atau
bisa dibilang, kekuasaan mereka sama rata. Sebenarnya, foto-foto yang dihapus
Justin saat itu telah terhapus seluruhnya. Giavanna tak memiliki foto-foto itu
lagi. Giavanna berbohong tentang ia menyimpan foto-foto itu di laptop Hailey.
Sahabatnya bahkan tak memiliki laptop! Well, mantan pacarnya punya dan Hailey
sering meminjamnya. Tetapi gila bila Giavanan menyimpan rahasia Justin di dalam
laptop itu.
Satu-satunya barang bukti yang
Giavanna adalah rekaman suara Arthur—dan terima kasih Tuhan, Justin tidak
menghapus rekaman suara itu. Mengingat rekaman itu, tubuh Giavanna menggeliat
lalu ia mendongak. Kejadiannya begitu cepat, kepalanya menabrak sesuatu lalu
tubuhnya berbalik ke belakang dan ia jatuh dengan cara tak indah di atas
trotoar. Giavanna mengutuki siapa pun yang menabraknya. Sebuah tangan menyentuh
lengannya, sontak Giavanna menghentakkan tangannya agar terlepas dari sentuhan
orang itu. Saat ia menyibak rambut panjangnya, ia membalik kepala ke belakang
untuk melihat siapa yang menabraknya.
Jantungnya berdetak lebih kencang
dari biasanya. Tuhan tahu apa yang ada di pikiran Giavanna sekarang dan tahu
perasannya sekarang. Ah, Tuhan begitu baik malam ini padanya. Karena Ia telah
mengirimkan pria tampan yang bisa-bisanya menabrak Giavanna. Pria itu memiliki
warna mata biru cerah. Sangat kontras dengan warna rambut cokelat gelapnya. Ia
luar biasa tampan. Dalam hening, Giavanna membisikan doa semoga pria ini tak
gay.
“Apa aku melukaimu, Nona?” Tanya
pria itu sangat ramah. Giavanna menyesal karena ia telah menghentakkan
tangannya dengan kasar. Giavanna menggeleng. Ia berusaha menelan ludah agar
tenggorokannya licin. Pria ini sangat panas sampai ia berhasil membuat
tenggorokan Giavanna kering. “Biar kubantu berdiri,” ucapnya menarik tangan
Giavanna hingga perempuan itu berdiri. Salahnya, tubuhnya mereka bersentuhan
satu sama lain. Wajahnya mereka begitu dekat. Dapat pria itu rasakan jantung
Giavanna berdetak begitu kencang. Pria itu tersenyum manis lalu menarik
tubuhnya dari Giavanna. Keduanya salah tingkah. Terlebih lagi Giavanna yang
sekarang menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinganya.
“Maafkan aku. Aku tak bermaksud menabrakmu.
Tadi aku berjalan sambil memegang ponsel,” ucap pria itu meminta maaf lebih
dulu. Giavanna berdeham.
“Tidak apa-apa. Tidak ada yang
terluka. Aku juga minta maaf karena tadi berjalan menunduk. Ini bukan salahmu
sepenuhnya,” ucap Giavanna bersikap manis. Ah, memang, keuntungan biasa bagi pria
yang memiliki wajah rupawan. Pria itu tersenyum berterima kasih. Sebelum
Giavanna melanjutkan ucapannya, pria itu sudah menyela.
“Aku Lance, omong-omong. Bisakah kau
menolongku?” Tanya pria bernama Lance itu membuat Giavanna tak jadi mengatakan
apa yang ia ingin katakan. Giavanna mengangguk. “Aku baru di Atlanta. Aku
tersesat dan ingin pulang ke rumah. Tadi aku berjalan-jalan sebentar keluar
tetapi sekarang aku sudah tersesat. Apa kau tahu jalan menuju alamat ini?”
Tanya pria itu memperlihatkan ponselnya. Giavanna melihat alamat rumah pria itu
lalu mengangguk tahu. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman senang.
“Tentu. Itu tidak jauh dari sini,
hanya beberapa blok saja. Kau ingin kuantar?” Tawar Giavanna. Pria itu
mengangguk antusias. Tentu saja! Perempuan di hadapannya begitu ramah dan
sangat baik hati ingin membantunya. Dan nilai tambah yang ia dapat adalah
kecantikan perempuan ini. Lance menunggu Giavanna menunjukkan arah jalan, namun
perempuan itu seperti berpikir sejenak. “Sebelum aku mengantarmu ke alamat itu,
bisakah kita mampir ke supermarket? Ada sesuatu yang ingin kubeli,” ucap
Giavanna.
“Ya, tentu.”
***
Justin menyimpan ponselnya ke atas
meja kecil di samping tempat tidurnya setelah ia mengirim pesan singkat. Justin
memutuskan untuk tidak pulang dari hotel. Seharusnya, ia pulang malam itu juga.
Namun ia sedang tak ingin berdebat dengan Alexander. Kekasihnya termasuk
kekasih posesif. Justin tidak begitu senang jika ia ditanyai secara mendetail
apa yang ia lakukan tiap hari. Ah, baru setengah jam ia ditinggalkan Giavanna,
ia sudah ingin bertemu dengan perempuan itu kembali dan berdebat dengannya. Ia
sangat lucu saat ia berdebat. Kadang ia bodoh, namun ia tidak mengada-ada
kebodohannya. Tetapi sekalinya perempuan itu berpikir, ia akan menjadi
perempuan terlicik yang pernah Justin temui.
Malam itu Justin hanya memakai
kimono putih yang disediakan hotel. Di atas tempat tidur, sambil terduduk di
sisinya, Justin merenung. Eva.
Kebencian Justin terhadap mantan istrinya cukup ekstrim. Mengingat apa yang
pernah Justin lakukan pada Eva… Justin menggeleng kepala. Tidak, Giavanna
berbeda dari Eva. Setidaknya, Giavanna lebih hidup dibanding Eva. Tiba-tiba
rasa penasaran muncul begitu saja saat Justin mengingat bahwa dulu ia beberapa
kali berhubungan badan dengan Eva. Ia ingin tahu bagaimana Giavanna berhubungan
badan. Mengetahui perempuan itu masih perawan membuat Justin merasa beruntung.
Ia bisa mempermalukan perempuan itu. Ya, tentu saja.
Ah, Eva, istri pertama yang
memberikan Justin seorang bayi kebanggaan Justin. Ketika Arthur lahir, Justin
merasa dirinya adalah orang paling bahagia di dunia. Justin menyayangi Arthur
karena ia tahu, Arthur adalah darah dagingnya sendiri. Jika Arthur bukan darah
dagingnya—meski lahir dari kandungan Eva—ia tidak akan bisa menyayangi anak
itu. Lagi pula, siapa yang bisa menyayangi anak yang bukan darah dagingnya
sendiri? Kecuali jika kau tidak bisa hamil atau kau memang penyayang anak
kecil. Justin bertanya-tanya, apa yang Giavanna lakukan sekarang? Bertemu dan
berbicara dengan sahabatnya? Apa Giavanna sudah tidur? Perempuan pasti belum
tidur. Apakah Justin harus menghubungi Giavanna? Justin menggelengkan kepala,
kemudian ia berbaring dengan bantalan empuk di kepala. Tidak seharusnya ia
memikirkan Giavanna.
Lagi pula, besok mereka akan bertemu
kembali.
***
Setibanya di apartermen, Giavanna
menaruh susu formula yang ia beli dengan Lance di atas meja ruang tamu kemudian
berlari cepat-cepat menuju kamar. Hailey yang baru saja dari dapur segera
keluar untuk melihat apa yang terjadi. Tetapi sahabatnya sudah menghilang di
balik pintu kamarnya. Giavanna melompat, ia melempar tubuhnya ke atas tempat
tidur. Diambilnya bantalan kepala lalu menjerit sekeras mungkin di sana. Ia
begitu girang malam ini. Pria bernama Lance itu baru saja memberikan nomor
teleponnya pada Giavanna dan berharap mereka bisa bertemu. Letak apartemen
mereka tidak begitu jauh. Hanya perlu berjalan melewati beberapa blok, Giavanna
bisa mendapatkan apartemen Lance. Pria itu ternyata orang baru di Atlanta. Ia
dipindahkan dari LA ke Atlanta karena masalah pekerjaan. Giavanna melepaskan
bantalan itu dari wajahnya lalu ia menatap langit-langit kamar.
Terima kasih untuk bos Lance yang
mengirimkan Lance ke Atlanta. Senyuman Giavanna memudar begitu saja. Ya Tuhan,
ia lupa menanyakan apakah Lance gay atau tidak. Ia terlalu trauma mendapatkan
pria-pria tampan yang gay. Dan salah satunya adalah pria yang sangat disukai
Giavanna—Alexander. Giavanna tidak boleh terlalu optimis untuk mendapatkan pria
ini. Ia tidak ingin sakit hati jika tiba-tiba ia melihat Lance berciuman dengan
pria di trotoar. Atau bahkan, mungkin jika Giavanna datang ke apartemen Lance,
ia menemukan Lance dalam keadaan telanjang bersama dengan kekasih prianya. Tubuh
Giavanna menggeliat jijik. Well, Giavanna hanya dapat berdoa agar pria itu
tidak gay. Pintu kamarnya terketuk, membuat Giavanna terpaksa berteriak.
“Masuk saja, Hailey,” teriak
Giavanna malas. Ah, bayangan sialan itu benar-benar memberikan efek buruk bagi
suasana hati Giavanna. Pintu kamarnya terbuka, muncullah Hailey dengan perut
yang memang sudah berbentuk. “Ada apa?”
“Mengapa kau berlari-lari seperti
orang kerasukan?” Tanya Hailey. Salah satu alis Giavanna terangkat. Ia bingung.
“Tunggu sebentar,” ucap Giavanna
mengangkat jari telunjuknya. “Pertama, aku tidak pernah tahu kalau orang
kerasukan akan lari-larian seperti aku tadi. Maksudku, di film-film mereka—“
“Jawab saja, Giavanna! Mengapa kau
berlari-lari seperti itu? Apa yang Justin lakukan padamu? Kau tahu, akhir-akhir
ini aku melihatmu seperti orang gila. Apa Justin memberikan pekerjaan-perkejaan
berat padamu?” Tanya Hailey khawatir. Kedua alisnya hampir menyatu, keningnya
mengerut begitu saja. Sekhawatir itukah Hailey? Apa Giavanna sekarang sedang
menangis? Tidak. Jadi, mengapa Hailey bisa begitu khawatir?
“Tidak, aku tidak apa-apa, Hailey.
Aku berlari-lari karena …kesenangan,” ucap Giavannaberhenti sejenak. Kau tahu,
aku bertemu dengan seorang pria bernama Lance. Dia tadi meminta bantuanku untuk
mencari tempat tinggalnya, ia baru di Atlanta. Jadi, aku—sebagai orang
baik—membantu Lance mencari apartemennya. Kemudian, ia memberikanku nomor
teleponnya!” Jerit Giavanna kegirangan. Ia kembali menutupi wajahnya dengan
bantal lalu kakinya menginjak-injak tempat tidur akibat kegirangan.
“Kau serius? Apa kau yang ia pria
baik-baik?” Tanya Hailey melangkah mendekati Giavanna. Tangannya memegang
perut, mengingat mantan pacar Hailey adalah pria bajingan. Giavanna membuang
bantalnya lalu ia mengangguk-angguk percaya diri.
“Ya, kurasa begitu. Karena jika ia
orang jahat, pasti sekarang aku tidak berada di sini bukan? Ayolah,
berbahagialah sedikit untuk sahabatmu. Sebentar lagi sahabatmu ini akan
mendapatkan jodohnya,” ujar Giavanna mencolek lengan Hailey, ia menggoda
sahabatnya. Mau tak mau Hailey ikut tersenyum lalu berbaring di sebelah
Giavanna.
“Sekarang, aku bingung mengapa kau
tidak sama sekali tertarik dengan Justin, atasanmu. Bukankah ia pria yang
tampan? Mengapa kau tidak menggodanya saja?” Tanya Hailey. Terpaksa Giavanna
harus menahan tawanya. Tentu saja ia tidak bisa! Sampai mati pun, Giavanna
tidak akan bisa membuat Justin menyukainya. Pria itu gay! Dan ia milik pria
lain. Jadi peluang untuk mendapatkan Justin; tidak ada.
“Mungkin Tuhan mempunyai rencana
lain.”
***
Sudah sejak jam 8 pagi, Justin
berada di tempatnya. Ia terduduk di atas kursi sambil menatap layar komputer
yang menyala. Suasananya sedang dalam keadaan buruk. Ia bertengkar kembali
dengan Alexander saat Justin baru saja tiba di rumah jam 6 pagi. Bukan salah
Alexander emosi pada Justin. Itu memang kesalahan Justin hingga membuat
Alexander marah. Seharusnya Justin pulang malam itu, tetapi Justin tak kunjung
datang. Bahkan saat Alexander berusaha menghubungi Justin, ponsel Justin sedang
dalam keadaan tak menyala. Bukankah itu sangat menyebalkan? Justin tidak
berdebat dengan Alexander, ia hanya mendengar Alexander berceloteh seperti ibu
yang memarahi anaknya. Kemudian Justin mengantar Arthur ke sekolah tanpa
mengajak Alexander.
Dinding ruangannya transparan,
sangat sengaja agar ia dapat melihat Giavanna yang tak kunjung muncul. Jam
sudah menunjukkan pukul 8.30 pagi, tetapi perempuan itu tak muncul. Apa tadi
malam ia begitu bahagia sampai terbawa mimpi dan sekarang tak dapat bangun?
Justin sudah menelepon Giavanna untuk membawakan kopi paginya. Kepala Justin
menoleh keluar ruangan, tetapi yang muncul adalah Morgan. Sialan. Kemana
Giavanna? Justin sendiri tak tahu mengapa ia ingin sekali Giavanna cepat-cepat
muncul di hadapannya, ia bahkan tidak tahu apa yang harus dibicarakan dengan
perempuan itu. Tetapi tak bertemu dengannya atau tak melihat tingkahnya membuat
Justin merasakan sesuatu yang kurang. Hanya saja, Justin tak tahu apa itu.
Ia menghela nafas panjang. Ponselnya
berdering di atas meja kerjanya. Justin tidak mengangkat panggilan itu, ia
sudah tahu siapa yang menghubunginya. Alexander. Justin sedang tak ingin
berbicara dengan kekasihnya. Ia perlu sesuatu yang dapat dikerjakan. Hari ini
ia akan membuat iklan parfum—lagi—tetapi ia belum menemukan modelnya.
Seharusnya kemarin Giavanna mencari model untuk iklan ini. Yah, permintaan
Arthur membuat segalanya terhambat. Kepala Justin kembali menoleh keluar
ruangannya, kemudian muncullah orang yang sangat ia harapkan. Kelihatan Giavanna
pagi ini sangat bahagia. Di tangannya sudah ada kopi pesanan Justin. Giavanna
melangkah menuju ruangan Justin setelah ia menaruh tas kerjanya di atas meja.
“Kemana saja kau?” Tanya Justin tak
suka ketika Giavanna baru saja masuk ke dalam ruangan. Jari Justin menekan
tombol hingga ruangan itu berubah menjadi buram. Morgan yang berada di luar
menoleh ke dinding ruangan Justin yang buram. Mengapa ruangan itu selalu buram
atau berwarna abu-abu tiap kali mereka berada dalam ruangan itu? Tetapi tidak
ada yang terjadi selain perdebatan yang tidak begitu penting. Giavanna menaruh
kopi Justin di atas meja lalu berusaha untuk tidak tersenyum.
“Sekarang belum jam 9 dan aku telah
menandai absenku. Lagi pula, mengapa kau datang begitu cepat?” Tanya Giavanna
yang seharusnya tidak boleh berkata dengan nada seperti itu pada Justin. Orang
bodoh pun tahu, Justin adalah atasan Giavanna. Justin menarik nafasnya
dalam-dalam. Mengapa di saat dirinya menderita karena Alexander, Giavanna dapat
tersenyum di luar sana dan sekarang perempuan itu memasang topeng biasa saja?
Ini sangat tidak adil. Perempuan itu sedang bahagia, sedangkan Justin tidak.
Apa gerangan terjadi dengan perempuan ini?
“Itu sudah tidak penting,” tukas
Justin. “Sekarang, dimana model untuk iklan parfum-ku?” Tanya Justin tanpa
menatap mata Giavanna. Inilah yang tidak disukai Giavanna dari Justin. Pria itu
tiap kali bertanya atau menyuruhnya tidak pernah menatapnya. Itu membuat
Giavanna cukup risih. “Giavanna, aku bertanya padamu, dimana modelku?”
“B-belum ada,” ucap Giavanna pelan.
Ia memberikan senyum paksa pada Justin.
“Aku tak mau tahu, hari ini kita
harus bisa mengambil gambar,” ucap Justin tegas. Giavanna mengangguk satu kali,
bagaimana pun juga ini adalah pekerjaannya. Sebelum Giavanna beranjak dari tempatnya,
Justin menghentikan perempuan itu. “Aku mau kau yang menjadi modelnya.”
***
Dalam hati Giavanna mengutuki
Justin. Ia tidak bisa menjadi model untuk iklan parfum. Apalagi adegannya harus
menghirup sesuatu yang memabukkan. Giavanna tak bisa berakting! Tololnya Justin
adalah ia bertanya pada para staf dan sutradara apakah Giavanna cocok menjadi
modelnya atau tidak. Dan semua orang di ruangan itu tentu saja menyetujui
Justin! Itu semata karena Justin adalah atasan mereka dan mereka takut dipecat!
Giavanna telah mengganti pakaiannya. Sebuah gaun panjang berwarna ungu telah
menempel di tubuhnya. Jika Hailey melihat iklan ini, bisa-bisa sahabatnya
keguguran. Ia menatap mata cokelatnya di cermin lalu menghela nafas panjang.
Giavanna tak bisa menolak permintaan Justin yang satu ini. Jika Justin
memecatnya—itu kalau Justin berani rahasianya terbongkar—Giavanna tak tahu apa
yang harus ia publikasikan di Internet. Terlebih lagi, foto-foto itu sudah tak
ada di ponselnya.
Giavanna keluar dari ruang ganti. Dilihatnya
Justin berdiri di sebelah sutradara, mereka sedang berbincang-bincang. Entah
apa yang terjadi dengan orang-orang di studio, mereka menatap Giavanna saat
mereka melewati Giavanna. Pipi Giavanna memerah malu. Mengapa Justin
bisa-bisanya mempermalukan Giavanna seperti ini? Justin memutarbalikkan
tubuhnya ketika ia sadar orang-orang di depan Justin menatap seseorang di
belakang Justin. Justin terkejut setengah mati. Tubuhnya mematung, terhipnotis
akan apa yang sedang ia lihat. Giavanna sangat cantik. Rambutnya bergelombang,
hiasan bunga-bungaan berwarna ungu menghiasi kepala Giavanna, dan gaun yang ia
kenakan begitu pas dengan tubuhnya. Justin menggelengkan kepalanya. Entah
sebuah memori muncul di kepala Justin. Tetapi Justin tidak tahu kejadian apa itu.
Ah, ia ingat. Hari pernikahannya.
Eva memakai gaun sangat cantik dan tersenyum pada Justin lalu membisikkan kata cinta pada Justin. Giavanna
mendekati Justin lalu berhenti di depannya. Sama seperti di hari pernikahannya,
Giavanna tersenyum pada Justin. Lalu perempuan itu menjinjit—persis seperti
yang Eva lakukan—lalu ia berbisik.
“Bajingan,” bisik Giavanna di
telinga Justin. Seluruh bayang-bayang Eva saat mereka menikah runtuh sudah. Tidak
ada yang mendengarnya selain mereka berdua. Giavanna berdiri normal kembali, ia
tersenyum pada Justin. “Baiklah, ayo kita mulai pengambilan gambar ini. Ini
harus sangat bagus!” Seru Giavanna bertepuk tangan seperti sutradara. Justin
memerhatikan Giavanna berjalan pergi menjauhinya. Bisikkan Giavanna sangat
berbanding terbalik dengan apa yang dibisik Eva padanya. Model pria milik RCS
Advertisement muncul dari ruang ganti pakaian. Ia tidak mengenakan apa pun
selain celana panjang berwarna hitam. Jadi, pria ini yang akan menjadi pasangan
Giavanna? Tidak! Justin masih bersikap maskulin, ia kemudian melipat kedua
tangannya di depan dada. Lihat apa yang bisa dilakukan oleh seorang Giavanna
Anderson di depan kamera. Sutradara di sebelah Justin berdiri, ia mendekati dua
model itu—yang salah satu diantaranya, tentu saja, Giavanna—lalu memberi
intruksi.
Sesekali Giavanna menatap Justin. Ia
menatap Justin seperti pembunuh berantai. Justin hanya memberikan senyum
miring. Senyum itu yang mengawal pertempuran mereka. Sambil memerhatikan,
Justin berpikir skeanario apa yang dibuat oleh si penulis, ia tak tahu skenario
iklan ini karena Alexander-lah yang memberitahu idenya pada penulis cerita. Pengambilan
gambar dimulai. Semua orang diam. Termasuk Justin yang memerhatikan Giavanna
duduk di atas kursi meja rias. Giavanna memakai gaun ungu itu karena iklan ini
menceritakan sepasang kekasih yang baru saja menikah dan akan berhubungan
badan. Jantung Justin berdetak, ia resah mengapa ada sebuah ranjang di studio.
Model pria itu sudah tertidur di atas tempat tidur sambil menatapi Giavanna. Justin
tidak menatap layar sutradara, tetapi ia fokus pada Giavanna. Giavanna sedang
menyemprotkan parfum itu di lehernya lalu tersenyum di depan cermin. Model pria
itu sedang berada di atas tempat tidur, ia menatap Giavanna dari belakang.
Harus Justin akui, ternyata Giavanna memiliki kemampuan berakting yang baik.
Well, pria ini tidak tahu apa-apa
tentang Giavanna. Perempuan itu berakting selama ia bekerja di RCS
Advertisement. Giavanna bangkit dari kursi meja riasnya lalu tersenyum nakal
pada pria itu. Nafas Justin tercekat, tak percaya Giavanna dapat melakukan hal
itu. Bukankah ia tidak pernah berhubungan badan dengan siapa pun? Mungkinkah
Giavanna berbohong padanya? Jantung Justin semakin berdegup kencang ketika
Giavanna merangkak naik ke atas tempat tidur. Suasana di studio benar-benar
hening. Giavanna mengecup bahu pria itu—kapan lagi ia dapat mencium otot-otot
keras nan seksi ini?—dengan lembut. Mata Justin tak berkedip. Ini bukan mimpi.
Pria itu melakukan sesuai intruksi sutradara, ia tersenyum miring menikmati
tubuh Giavanna lalu ia menghirup aroma wangi dari leher Giavanna. Detik
setelahnya, pria itu berguling sehingga sekarang Giavanna berada di bawah
tubuhnya.
Mata Justin melotot tak suka. Bibir
menipis. Ini seolah-olah Eva berselingkuh darinya! Hatinya begitu panas
sekarang. Apakah Giavanna berbohong tentang keperawanannya itu? Karena
sekarang, Justin melihat soft porn di
pengambilan gambari ini. Justin menggeleng kepala tak terima akan pemandangan
yang ia lihat. Jadi, ini ide Alexander? Sulit dipercaya! Ini bukan yang Justin
harapkan. Seharusnya adegan ini elegan dan menjual, tetapi mengapa yang ia
dapat adalah adegan porno?
“Cut! Hentikan!” Teriak Justin
membuat semua orang di dalam studio menatap Justin. Termasuk Giavanna dan pria
di atas tubuhnya. “Hentikan. Giavanna, ikut aku,” perintah Justin memanggil
Giavanna menggunakan dua jarinya. Giavanna melotot. Apa yang terjadi pada
Justin? Bukan pria itu yang memintanya membintangi iklan ini? Justin bodoh
sekali! Orang-orang di studio pasti menyimpulkan kalau Justin cemburu pada
Giavanna. Mungkinkah? Justin melangkah menuju pintu keluar.
“Apa-apaan!” Bisik Giavanna
mengumpat di telinga model pria yang masih berada di atas tubuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar