Kamis, 26 Juni 2014

Perfect Time Bab 10


            Sudah bermenit-menit Justin dan Giavanna tak mengucapkan sepatah kata pun di ruangan hening itu. Masih dengan gaun ungu yang cantik itu, Giavanna duduk di atas tempat duduk yang berhadapan dengan Justin. Pria itu tidak menatap Giavanna satu kali pun, ia menatap pada jendela yang memperlihatkan betapa indahnya kota Atlanta. Apa yang membuat Justin begitu menyebalkan hari ini? Ini lebih menyebalkan dibanding hari-hari sebelumnya. Padahal Giavanna tadi sangat menikmati adegannya. Pria itu mengingatkan Giavanna pada Lance. Oh, apa yang dilakukan oleh pria itu sekarang? Ingin Giavanna menghubungi pria itu sekarang.
            Tiba-tiba pintu ruangan Justin terbuka. Muncul Morgan dari balik pintu. Ia terdiam sejenak melihat keheningan di ruangan itu. Ternyata tidak ada yang terjadi di antara mereka berdua. Justin dan Giavanna menoleh pada Morgan. Kedua alis Justin terangkat. Apa yang Morgan inginkan? Tidakkah ia lihat Justin sedang tidak berada dalam suasana baik?
            “Karyawan bagian keuangan yang ingin kau temui sudah datang,” ucap Morgan. Justin mengangguk satu kali, memberi kode bagi Morgan untuk mempersilakan karyawan itu masuk ke dalam. Giavanna bangkit dari tempat duduk, ia ingin menyingkir dari tempat itu sekarang juga.
            “Kau. Tetap duduk di sana.” Perintah Justin tegas sekali. Bahkan seperti tak bisa dibantah, Giavanna kembali duduk di tempat. Seorang pria muncul di hadapan Justin. Giavanna tak bisa melihat karena ia memunggungi pintu. Pria itu berjalan menuju tempat duduk di sebelah Giavanna dan ia duduk di sana. Sontak Giavanna menegakkan tubuhnya, ia menoleh ke samping untuk melihat siapa yang ingin Justin temui. Jantungnya berada di mulut sekarang. “Mr.Rimes, kau sangat sopan, harus kuakui,” ucap Justin sarkastis.
            “Terima kasih, Mr.Richardson. Aku senang sekali kau menempatkanku di perusahaan ini. Maksudku, perusahaan periklanan terbaik untukku. Kulihat perusahaan ini semakin berkembang,” ucap pria itu kagum, kepalanya terangguk-angguk. “Dan, perusahaan ini ternyata memiliki banyak wanita cantik. Tetapi harus kukatakan, nona di sebelahku ini yang terbaik,” lanjut pria itu memuji Giavanna. Pipi Giavanna memerah begitu saja. Ah, pria sialan! Mengapa bisa-bisanya ia membuat pipi Giavanna bersemu? Justin memerhatikan pipi Giavanna yang memerah. Jika perempuan ini salah tingkah, ia terlihat seperti anak remaja yang diajak pergi jalan-jalan keluar atau sebuah pesta.
            “Giavanna, perkenalkan ini Lance Rimes. Bagian keuangan perusahaan ini. Aku menukar karyawan dengan perusahaan lain di LA. Dan Lance, ini asistenku, Giavanna Anderson,” ucap Justin memperkenalkan mereka berdua. Sebisa mungkin Justin tersenyum saat memperkenalkan mereka, tetapi tetap saja hatinya panas. Giavanna mengangguk.
            “Ya, aku sudah bertemu dengan Lance tadi malam,” ucap Giavanna sedikit sombong. Kedua alis Justin terangkat. Tertarik ingin mendengar cerita Giavanna yang satu ini.
            “Bagaimana kalian bisa bertemu?” Tanya Justin. Lance terkekeh pelan.
            “Sebenarnya ini sangat konyol, aku—“        
            “Dia tidak tahu jalan menuju apartemennya. Ia baru di Atlanta. Aku berjalan menunduk lalu saat aku mendongak, Lance dan aku saling bertabrakan hingga aku terjatuh. Setelah itu kami saling meminta maaf dan ia bertanya apakah aku tahu dimana alamat apartemennya. Ia memperlihatkan ponselnya dan aku tahu dimana alamat—“
            “Sudah cukup. Aku mengerti,” ucap Justin mengangkat tangannya hingga mulut Giavanna segera tertutup. Justin tak ingin mendengar banyak dari Giavanna. “Baiklah, Mr.Rimes, kurasa kita bisa berbincang-bincang lagi nanti saat makan siang. Jika kau tak keberatan, aku ingin berbicara dengan Giavanna,” ucap Justin tersenyum. Lance mengangguk mengerti. Ia bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan menuju pintu. Sebelum ia mencapai gagang pintu, Giavanna berdiri dari tempat duduk dan berlari secepat mungkin menuju Lance. Ia berbisik sesuatu ke telinga Lance, yang tentunya tak dapat Justin dengar. Mata Lance melotot tak percaya akan apa yang dibisik Giavanna lalu ia menggeleng kepalanya. Beberapa detik setelahnya, Lance didorong keluar dari ruangan Justin. Giavanna menggigit bibir bawahnya. Ya ampun, pria itu sangat manis. Giavanna tak percaya ia berada dalam satu gedung yang sama dengan pria itu. Mereka bisa menghabiskan waktu bersama.
            “Kau tampak sangat senang, Giavanna,” ucap Justin menatap Giavanna dengan tatapan menyelidik. “Apakah ada kejadian lebih dari menunjukkan alamat pada Lance?” Tanya Justin curiga.
            “Pertama, dia pria tampan pertama yang tidak gay. Kedua, dia memiliki pekerjaan mapan. Ketiga, dia ramah dan baik hati, tak sepertimu. Keempat, ia berada dalam satu gedung denganku—“
            “Giavanna, kurasa kau tahu aturan di perusahaan ini. Tidak boleh ada percintaan antar karyawan,” ucap Justin memperingati. Giavanna tahu aturan itu. Lagi pula, ia tidak begitu terburu-buru ingin menjalin hubungan asmara dengan Lance. Siapa tahu saja Lance lebih tertarik pada Morgan? Apa pun bisa terjadi perusahaan ini. Termasuk atasan tampan yang ternyata gay. “Omong-omong, jangan lupa jemput Arthur siang ini,”
            “Kau serius? Kau ingin menjemput anakmu? Kau tak takut jika aku—“
            “Aku akan ikut kalau begitu,” tukas Justin cepat-cepat.
            “Kau yang menyetir,” ujar Giavanna.
            “Kau yang menyetir, kita bertiga bisa makan siang bersama. Aku yang traktir. Bagaimana dengan itu?” Tanya Justin menggoda Giavanna. Perempuan itu mengangguk setuju.

***

            “Kau sengaja ingin membuat kita mati bersama? Percayalah, Giavanna, aku masih mencintai Alexander,” ucap Justin memegang pegangan tangan di atas kepala Justin. Giavanna sengaja membawa mobil cepat sekali, lalu ia memutar kembali dari pintu gerbang masuk menuju sekolah Arthur. Sekolah Arthur berada di dalam perumahan mewah. Baiklah, ini adalah putaran terakhir untuk Justin. Mendengar kalimat; masih mencintai Alexander, cukup membuat Giavanna terharu. Giavanna menginjak pedal gas hingga mobil itu melaju cepat. “Giavanna! Kau tak dengar aku? Aku masih mencintai, Alexander!” Teriak Justin panik. Giavanna perlahan-lahan melambatkan kecepatan mobilnya.
            “Tidak ingin berterima kasih?” Tanya Giavanna.
            “Ya, baiklah, terima kasih, nona Giavanna,” ucap Justin terpaksa. Tangannya yang memegang pada pegangan itu, ia turunkan. “Aku juga tak ingin mati bersamamu. Aku tak ingin bertemu di neraka bersamamu,”
            “Di neraka? Ya Tuhan, Justin. Kau belum percaya Tuhan? Mari kuberitakan Injil untukmu. Pada mulanya Tuhan menciptakan—“
            “Giavanna, hentikan. Aku dulu pernah Sekolah Minggu,” ujar Justin menarik nafas dalam-dalam. Berada dalam satu mobil dengan Giavanna memang menguji kesabaran. Ya, kesabaran untuk tak membunuh perempuan ini. Giavanna hanya menggumam mengejek. Itu memicu Justin menoleh kepalanya, tak suka dengan gumaman Giavanna yang mengejek. “Maaf? Giavanna, mungkin aku gay, tetapi aku percaya Tuhan,”
            “Ya, aku percaya itu,” ucap Giavanna acuh tak acuh. “Omong-omong, aku penasaran dengan kelahiran Arthur. Maksudku, bagaimana Eva bisa meninggal? Apa ia meninggal setelah melahirkan? Apa Arthur pernah bertemu dengan seorang pengasuh perempuan? Kau tahulah, ia tampak bahagia saat bersamaku,” celoteh Giavanna.
            “Dia tak bahagia saat bersamamu. Ia memang anak yang ceria. Bedanya, kau perempuan. Ia anak kecil yang normal. Tentu ia menyukaimu, kau cukup menarik,” ucap Justin. Setengah detik kemudian Justin menyesali apa yang telah ia katakan. “Maaf, tadi aku asal bicara. Jangan anggap terlalu serius,” ucap Justin. Giavanna hanya tersenyum-senyum menjijikan mendengar ucapan Justin yang memujinya itu. Ia tahu benar, Justin tidak tertarik padanya mengingat pria itu adalah seorang gay. Tetapi hidup akan sangat membosankan bila kau tidak menggoda seorang pria tampan.
            “Tidak apa-apa. Aku tahu selama ini aku memang menarik bagimu. Kau memang tak ingin mengakuinya,” goda Giavanna mulai memasuki gerbang masuk sekolah. Ia mencari parkiran yang sudah setengahnya sudah dipenuhi mobil-mobil orangtua murid. Justin hanya dapat memaklumi kegilaan Giavanna. Perempuan itu mudah sekali besar kepala. Jika Justin biarkan, bisa-bisa kepala itu meledak tak tahu waktu. Tidak diladeni Justin, Giavanna juga ikut terdiam. Mobil mereka berhenti setelah Giavana mendapatkan tempat parkir yang bagus. Belum ada dering pulang sekolah terdengar, salah satu di antara mereka tidak ada yang ingin keluar dari mobil. Gaun ungu itu masih dikenakan Giavanna. Itu semua permintaan Justin. Yah, ia masih ingin mempermalukan Giavanna di depan umum meski sepertinya Giavanna tak begitu keberatan. Justin menatap keluar jendela, melihat pintu utama sekolah. Begitu banyak ayah dan ibu di depan halaman sekolah menunggu anak mereka. Seorang guru juga sudah menunggu di depan pintu utama itu, memastikan apakah seluruh muridnya pulang bersama orang yang tepat. Giavanna mengangkat kedua kakinya ke atas kursi, ditekuknya lutut itu lalu ia memeluknya.
            Ia masih tak percaya kalau Lance akan bekerja di gedung yang sama dan pada orang yang sama. Tetap saja Giavanna harus berterima kasih pada Justin. Jika Justin tidak meminta Lance bekerja di RCS Advertisement, ia tak mungkin bertemu dengan Lance tadi malam. Ponsel Justin berdering. Pria itu merogoh kantong bagian dalam jasnya lalu mengeluarkan ponsel yang ia simpan di sana. Saat melihat layar ponselnya, Justin malah mendiamkan ponsel itu. Giavanna menyandarkan pipinya di kedua ujung lututnya sambil kepala menghadap pada Justin. Ponsel itu tak berdering lagi. Tetapi dua detik kemudian kembali berdering. Entah apa yang ada di pikiran Justin, yang jelas apa yang ia perbuat gila. Pria itu membuka kaca jendela mobil lalu ia melempar ponsel itu ke tanah dengan kasar. Untung tak ada anak kecil yang melihat. Giavanna tak begitu mempedulikan ponsel yang dilempar Justin, ia tahu Justin memiliki uang banyak, ponsel seperti itu tak ada artinya bagi Justin. Tetapi, mengapa pria itu begitu marah? Siapa yang menghubunginya? Penagih utang? Tidak mungkin.
            Tak ingin mengikuti campuri urusan Justin, Giavanna menutup mulutnya rapat-rapat. Kepala Justin menoleh padanya lalu tersenyum kecut.
            “Bagaimana kabarmu dengan Alexander? Aku tak melihatnya pagi ini, maksudku, kalian tampaknya tak dekat sejak kita pulang dari labirin,” ucap Giavanna membuka percakapan.
            “Apakah setelah kau mengetahui aku gay, kau berpikir kau harus mengetahui apa pun tentang hubunganku dengan Alexander?” Justin bertanya dengan nada tak suka. Ia sedang tak ingin membuat dirinya merasa bersalah. Nanti malam ia akan menyelesaikan masalah kemarin malam dengan Alexander. Untuk sekarang, ia hanya ingin bertemu anaknya.
            “Bukan begitu, aku hanya bertanya. Kalian pasangan yang manis, harus kuakui,” ucap Giavanna mengangguk yakin. Justin tak mengindahkan pujian Giavanna. Ia mencari-cari topik lain untuk dibicarakan. Namun, apa?
            “Apa kau menyukai Lance?” Tanya Justin, entah mengapa mengangkat topik itu. Giavanna mengedik bahu. Ia baru bertemu kemarin dengan Lance.
            “Aku suka keramahannya, ia baik. Mengapa tiba-tiba kau bertanya seperti itu?” Tanya Giavanna menelan ludah. Justin mengedik bahu juga, ia pun tak tahu mengapa ia memberikan pertanyaan macam itu. “Kurasa kau ingin memberikan pengecualian bagiku dan Lance. Sepertinya aku punya peluang mendapatkannya, kau tahu,”
            “Kau pikir begitu? Bagaimana jika aku memecatnya saja?” Tanya Justin terdengar cemburu. Giavanna terkekeh pelan. Ada apa dengan Justin? Mengapa sejak pagi sampai siang ini ia bersikap begitu aneh? Tadi pagi ia memarahinya lalu memintanya menjadi model iklan parfum. Setelah Giavanna mengikuti permintaannya, ia malah memanggil Giavanna kembali saat pengambilan gambar iklan, apa mau pria ini? Sebelum Giavanna mengatakan sesuatu, bel pulang sekolah terdengar mengejutkan orangtua di depan halaman sekolah. Tanpa mengatakan sesuatu, Justin segera keluar dari mobil. Giavanna memutar bola matanya, tak suka dengan sikap Justin. Ia mematikan mesin mobil lalu keluar.
            Seperti zombie menyerbu kota, anak-anak kecil yang keluar dari pintu utama berlari-lari mencari orangtua mereka. Justin berdiri tak jauh dari pandangan Giavanna. Ia berlari menuju Justin sambil matanya mencari-cari dimana Arthur.
            “Sangat tak sopan meninggalkan perempuan sendirian di mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Itu seperti kau meminta putus secara tak langsung,” ujar Giavanna memegang bahu Justin. Rata-rata orangtua yang sudah bertemu anaknya menatap Giavanna dengan tatapan aneh. Mengapa perempuan itu mengenakan gaun ungu panjang? Apa ia ingin pergi ke malam prom atau sesuatu? Karena tempat ini bukan tempat yang tepat. “Semua karenamu! Orang-orang di sini menatapku seolah-olah aku orang aneh,” ujar Giavanna mendengus.
            “Kau memang aneh, omong-omong,” ucap Justin acuh tak acuh.
            “Apa? Kalau aku aneh, kau itu apa? Oh, ya, aku lupa. Kau gay,” sindir Giavanna menepuk keningnya. Justin lagi-lagi tak meladeni hinaan Giavanna. Tuhan tahu siapa yang memiliki pikiran normal dan gila. Terlihat dari jarak jauh, Arthur berlari-lari kesenangan menuju Justin. Tangannya ia rentangkan, Justin membungkukkan tubuhnya hingga Giavanna hampir terjatuh—karena tangannya tadi bersandar pada bahu Justin—lalu ia menggendong Arthur setibanya anak itu di hadapan Justin.
            “Ya Tuhan, kau sangat berat, Arthur,” ujar Justin bercanda. Guru yang menunggu di depan pintu utama memerhatikan tiga orang itu. Apakah Arthur baru saja mendapatkan ibu baru? Ayah Arthur memang pintar mencari istri dan ibu bagi Arthur. Mereka kelihatan seperti keluarga kecil bahagia. Arthur yang digendong ayahnya itu dapat melihat Arthur menyentuh bunga-bungaan di kepala ibunya. Mereka bertiga tertawa ketika Arthur menarik bunga itu dari kepala ibunya. Sangat manis. Meski guru Arthur cukup bingung mengapa ibu Arthur memakai gaun ungu di hari cerah seperti ini? Guru Arthur melambaikan tangan saat Arthur melambaikan tangan padanya. Keluarga kecil itu kemudian berjalan menuju parkiran. Ah, keluarga yang sangat manis.
            Sayangnya, itu hanya menurut guru Arthur.

***

            Menurut kenyataan, kedua orang dewasa itu saling menjatuhkan. Giavanna menumpu paha kanannya di atas paha kiri, salah satu siku-sikunya ia sandarkan ke atas meja restoran yang mereka datangi. Orang-orang di restoran itu rata-rata menilai Giavanna sebagai orang aneh yang siang bolong memakai gaun ungu ditambah hiasan bunga-bunga di kepala membuatnya semakin kelihatan seperti orang aneh. Justin sangat menikmati pemandangan ini. Orang-orang mengamati Giavanna dan melihatnya jijik. Ia tak malu berjalan dengan Giavanna. Biarkanlah orang-orang di luar sana menganggap Giavanna sebagai kekasihnya karena itulah yang Alexander mau. Justin tersenyum miring saat memerhatikan Giavanna yang merasa risih karena ada sepasang kakek-nenek yang baru saja lewat di belakangnya dan mengomentarinya. Arthur tampak baik-baik saja di sebelah Giavanna, ia sedang menikmati minuman yang baru mereka pesan. Kakinya ia gerak-gerakkan seperti biasannya.
            Awalnya Arthur bingung mengapa Giavanna memakai hiasan bunga dan sebuah gaun. Bukankah gaun hanya dipakai di saat-saat spesial saja? Alexander bilang seperti itu. Apa Giavanna hari ini ulang tahun? Arthur tersenyum-senyum geli, ia mengelus dada. Untunglah tidak ada Alexander, kalau ada, pasti Alexander akan menegurnya karena tak memberikan selamat ulang tahun untuk Giavanna. Tanpa berpikir lagi, Arthur mencolek lengan Giavanna.
            “Gigs,” panggilnya. Giavanna segera menoleh, begitupun Justin. Apa yang Arthur inginkan?
            “Arthur, kita sudah membuat perjanjian. Aku sudah memberikanmu 20 dollar untuk tak memanggilku seperti itu. Kembalikan uangku kalau begitu,” ucap Giavanna bercanda.
            “Oke, baiklah. Aku pasti akan mengembalikannya agar aku bisa memanggilmu Gigs,” gerutu Arthur memutar bola matanya. “Omong-omong, selamat ulang tahun, Gigs,” ucap Arthur tersenyum tulus. Kepala Justin maju ke depan, kedua alisnya hampir bertemu, ia bingung. Ulang tahun? Giavanna? Giavanna dan Justin saling bertatapan. Ada apa dengan Arthur? Apa ia ketularan penyakit gila Giavanna? tanya Justin dalam hati.
            “Sayang, Gigs tidak berulang tahun hari ini. Memangnya kenapa kau bisa berkata seperti itu?” Tanya Justin mengelus punggung anaknya. Arthur menatap ayahnya, ia memasang wajah polosnya.
            “Kata dad Alexander, biasanya orang yang memakai gaun berulang tahun. Jadi, kupikir hari ini Gigs berulang tahun,” ucap Arthur kelewat polos. Giavanna menepuk keningnya. Tidak hanya dianggap sebagai orang aneh, ia ternyata ulang tahun hari ini! Siapa yang menduganya? Mana kuenya? Giavanna berpikir sarkastis. Jika Justin tidak memakaikan Giavanna gaun ini, sudah pasti hari ini akan ia lewati dengan normal. Dan tidak bisa disangkal lagi, Justin memang bajingan. Ia ikut-ikutan memanggil Giavanna dengan panggilan Gigs. Tidakkah itu sangat konyol? Itu menjijikan.
            Tidak ada yang merespon Arthur. Makanan yang mereka pesan telah datang. Arthur berseru girang, akhirnya setelah menunggu lama, ia mendapatkan makanan. Arthur sudah kelaparan. Ia segera mengambil pisau dan garpunya. Justin sudah mengajarkan Arthur cara memotong daging steak yang benar. Maka dari itu, Justin mendiamkan Arthur, meski Giavanna menatap Justin bingung. Tidakkah ia melihat anaknya masih berumur 6 tahun dan sudah memotong steak? Bagaimana jika ia salah memotong? Maksudnya, memotong tangan ayahnya sendiri? Oh, ya, Giavanna berharap begitu.
            “Dad,” panggil Arthur. “Kenapa dad Alexander berteriak-teriak tadi pagi? Apa ia marah karena aku?” Tanya Arthur sambil memotong dagingnya. Diam-diam Giavanna senang. Tanpa perlu ditanya, Arthur sudah memberikan informasi yang sangat diperlukan Giavanna. Justin tak begitu risih lagi di hadapan Giavanna.
            “Dad Alexander tidak marah padamu, Arthur. Mengapa kau berpikir seperti itu? Tadi pagi dad Alexander kegirangan karena hari ini ia akan pergi ke salon. Tidakkah kau ingin pergi ke salon? Mungkin bersama Gigs?”
            “Justin! Hentikan panggilan sialan itu,” ucap Giavanna mengumpat tanpa sadar. Ketika ia sadar mengucapkan kata kotor di depan anak kecil, Giavanna menutup mulutnya. “Maaf. Dan aku tidak ingin pergi ke salon. Aku tak perlu pergi ke salon. Banyak pekerjaan yang harus…” suara Giavanna berangsur-angsur hilang saat ia melihat Arthur memasang wajah murungnya. Anak kecil itu dengan sengaja memotong dagingnya dengan kekuatan lemah. Apa itu serius? Anak kecil itu memasang wajah murungnya agar Giavanna menemaninya ke salon? Sungguh, ayah dan anak sifatnya tak jauh beda. Bedanya, Justin mengancam dengan ucapan. Sungguh menjijikan membayangkan Justin cemberut seperti Arthur sekarang. Lebih menjijikan lagi jika yang menenangkannya seorang pria. Contohnya, Alexander.
            “Giavanna, tidakkah kau mengasihani anak kecil yang menginginkanmu bersama dengannya untuk satu kali ini saja?” Tanya Justin menambah-nambahi. Arthur yang tidak tahu apa-apa hanya mengangguk-angguk setuju dengan ucapan ayahnya. Sulit dipercaya, Justin dengan perbuatan bejatnya. Perpaduan yang sangat sempurna. Ia berhasil membuat Giavanna tersenyum paksa dan menerima ajakan Justin. “Tidakkah kau mengasihaninya?”
            “Baiklah,” ucap Giavanna setuju. Arthur mendongak sambil tersenyum.
            “Benarkah? Kau ingin menemaniku dan dad Alexander di salon? Ah, percaya padaku Gigs, rambutmu akan selembut rambutku,” ucap Arthur membanggakan rambutnya. Giavanna hanya mengangguk kemudian ia menatap Justin. Matanya melotot seperti pembunuh berantai. Seperti tidak melakukan kesalahan apa pun, Justin mengedik bahu.
            “Bukan permintaanku, Arthur mau. Benar bukan, Arthur?” Tanya Justin. Arthur mengangguk-angguk meski ia sedang fokus pada makanannya. “Lihat? Dia ingin kau bersama dengannya di salon. Nah, aku akan mengurusi Lance-mu di kantor. Yah, mungkin aku akan berkata kalau kau perempuan gila, berbahaya, jika rahasiamu diketahuinya kau pasti akan membencinya. Oh, mungkin aku akan memberitahunya kalau kau lesbian,”
            “Kau gila atau apa? Kita berdua tahu, Justin, di sini kau yang tidak normal. Aku perempuan normal. Penyuka lawan jenis. Aku bukan jeruk makan jeruk. Tidak sepertimu, pedang lawan pedang. Tidakkah pedang membutuhkan sarungnya? Kau itu konyol,” hina Giavanna tak tanggung-tanggung. Giavanna berucap seolah-olah ia tahu sekali hubungan asmara Justin. Tetapi percayalah, Justin tidak pernah bercinta dengan Alexander.
            “Kau benar-benar berpikir aku pernah berhubungan badan dengannya eh?” Tanya Justin mengangkat salah satu alisnya. “Sayang sekali, dia belum pernah. Aku juga belum pernah. Aku hanya bercumbu dengannya, tidak lebih. Yang harus dipertanyakan ialah, apakah kau benar-benar perawan? Karena di studio tadi kau tampak sangat lihai menggoda pria di atas ranjang,”
            “Benarkah? Yah, aku hanya mengikuti adegan-adegan panas di film. Itu bukan berarti aku tidak perawan. Dan omong-omong, aku sedang tak ingin mendiskusikan apakah kau bercumbu dengan Alexander atau tidak. Kau membuat nafsu makanku hilang,”
            “Begitukah? Well, yeah, kadang-kadang kami memakai lidah,” ucap Justin memanas-manasi Giavanna. Perut Giavanna terasa penuh.          
            “Ada yang lebih menjijikan dibanding itu? Aku bahkan pertama kali dicium olehmu dan rasanya menjijikan. Apalagi kalian yang memakai lidah,” ujar Giavanna.
            “Rasanya sangat menyenangkan, Giavanna. Kau harus mencobanya,”
            “Kau lucu, Justin. Aku mendengarnya saja sudah jijik, apalagi melakukannya,” ujar  Giavanna mendorong piring makanannya.
            “Berarti kau tidak normal,”
            “Aku tak normal? Kau yang tidak normal di sini, Mr.Richardson,” ucap Giavanna. Ia sudah tak lapar lagi. Sup yang ia pesan seolah-olah memperlihatkan adegan Justin dan Alexander berciuman di permukaannya. Dan itu sangat menjijikan. Mau tak mau Giavanna menggeliat geli di tempat. Pria ini sungguh gila. Sialnya, Giavanna tak membawa ponsel untuk merekam ucapan-ucapan Justin sekarang.          “Giavanna, jahat sekali dirimu. Mengapa kau tidak memakan makanannya? Apa kau tak memikirkan betapa banyak orang Afrika tidak makan hari ini?”
            Giavanna menipiskan bibirnya. “Aku tahu banyak sekali orang di luar sana mencari makan dan tidak makan. Tapi nafsu makanku hilang karena kau. Jadi, ini sepenuhnya bukan kesalahanku,” ucap Giavanna tersenyum. Hati Justin berbunga-bunga melihat senyum itu. Senyum paksa berarti perempuan itu sedang kesal. Bukankah sangat menyenangkan saling menjatuhkan seperti ini?
            “Baiklah jika begitu,” ucap Justin acuh tak acuh. “Namun sepertinya kau sangat senang mendengar kisah cintaku dengan Alexander,”

            “Percaya padaku, Justin, kau pasti tidak ingin membuat wanita-wanita di luar sana bunuh diri karena aku membeberkan ucapanmu di Internet.” Ancaman itu berhasil membuat Justin menutup mulutnya. Kali ini hati Giavanna berbunga-bunga. Adakah hal paling menyenangkan dibanding membuat Justin kesal?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar