Sudah bermenit-menit Justin dan
Giavanna tak mengucapkan sepatah kata pun di ruangan hening itu. Masih dengan
gaun ungu yang cantik itu, Giavanna duduk di atas tempat duduk yang berhadapan
dengan Justin. Pria itu tidak menatap Giavanna satu kali pun, ia menatap pada
jendela yang memperlihatkan betapa indahnya kota Atlanta. Apa yang membuat
Justin begitu menyebalkan hari ini? Ini lebih menyebalkan dibanding hari-hari
sebelumnya. Padahal Giavanna tadi sangat menikmati adegannya. Pria itu
mengingatkan Giavanna pada Lance. Oh, apa yang dilakukan oleh pria itu
sekarang? Ingin Giavanna menghubungi pria itu sekarang.
Tiba-tiba pintu ruangan Justin
terbuka. Muncul Morgan dari balik pintu. Ia terdiam sejenak melihat keheningan
di ruangan itu. Ternyata tidak ada yang terjadi di antara mereka berdua. Justin
dan Giavanna menoleh pada Morgan. Kedua alis Justin terangkat. Apa yang Morgan
inginkan? Tidakkah ia lihat Justin sedang tidak berada dalam suasana baik?
“Karyawan bagian keuangan yang ingin
kau temui sudah datang,” ucap Morgan. Justin mengangguk satu kali, memberi kode
bagi Morgan untuk mempersilakan karyawan itu masuk ke dalam. Giavanna bangkit
dari tempat duduk, ia ingin menyingkir dari tempat itu sekarang juga.
“Kau. Tetap duduk di sana.” Perintah
Justin tegas sekali. Bahkan seperti tak bisa dibantah, Giavanna kembali duduk
di tempat. Seorang pria muncul di hadapan Justin. Giavanna tak bisa melihat
karena ia memunggungi pintu. Pria itu berjalan menuju tempat duduk di sebelah
Giavanna dan ia duduk di sana. Sontak Giavanna menegakkan tubuhnya, ia menoleh
ke samping untuk melihat siapa yang ingin Justin temui. Jantungnya berada di
mulut sekarang. “Mr.Rimes, kau sangat sopan, harus kuakui,” ucap Justin
sarkastis.
“Terima kasih, Mr.Richardson. Aku
senang sekali kau menempatkanku di perusahaan ini. Maksudku, perusahaan
periklanan terbaik untukku. Kulihat perusahaan ini semakin berkembang,” ucap
pria itu kagum, kepalanya terangguk-angguk. “Dan, perusahaan ini ternyata memiliki
banyak wanita cantik. Tetapi harus kukatakan, nona di sebelahku ini yang
terbaik,” lanjut pria itu memuji Giavanna. Pipi Giavanna memerah begitu saja.
Ah, pria sialan! Mengapa bisa-bisanya ia membuat pipi Giavanna bersemu? Justin
memerhatikan pipi Giavanna yang memerah. Jika perempuan ini salah tingkah, ia
terlihat seperti anak remaja yang diajak pergi jalan-jalan keluar atau sebuah
pesta.
“Giavanna, perkenalkan ini Lance
Rimes. Bagian keuangan perusahaan ini. Aku menukar karyawan dengan perusahaan lain
di LA. Dan Lance, ini asistenku, Giavanna Anderson,” ucap Justin memperkenalkan
mereka berdua. Sebisa mungkin Justin tersenyum saat memperkenalkan mereka,
tetapi tetap saja hatinya panas. Giavanna mengangguk.
“Ya, aku sudah bertemu dengan Lance
tadi malam,” ucap Giavanna sedikit sombong. Kedua alis Justin terangkat.
Tertarik ingin mendengar cerita Giavanna yang satu ini.
“Bagaimana kalian bisa bertemu?”
Tanya Justin. Lance terkekeh pelan.
“Sebenarnya ini sangat konyol, aku—“
“Dia tidak tahu jalan menuju
apartemennya. Ia baru di Atlanta. Aku berjalan menunduk lalu saat aku
mendongak, Lance dan aku saling bertabrakan hingga aku terjatuh. Setelah itu
kami saling meminta maaf dan ia bertanya apakah aku tahu dimana alamat
apartemennya. Ia memperlihatkan ponselnya dan aku tahu dimana alamat—“
“Sudah cukup. Aku mengerti,” ucap
Justin mengangkat tangannya hingga mulut Giavanna segera tertutup. Justin tak
ingin mendengar banyak dari Giavanna. “Baiklah, Mr.Rimes, kurasa kita bisa
berbincang-bincang lagi nanti saat makan siang. Jika kau tak keberatan, aku
ingin berbicara dengan Giavanna,” ucap Justin tersenyum. Lance mengangguk
mengerti. Ia bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan menuju pintu. Sebelum
ia mencapai gagang pintu, Giavanna berdiri dari tempat duduk dan berlari
secepat mungkin menuju Lance. Ia berbisik sesuatu ke telinga Lance, yang
tentunya tak dapat Justin dengar. Mata Lance melotot tak percaya akan apa yang
dibisik Giavanna lalu ia menggeleng kepalanya. Beberapa detik setelahnya, Lance
didorong keluar dari ruangan Justin. Giavanna menggigit bibir bawahnya. Ya
ampun, pria itu sangat manis. Giavanna tak percaya ia berada dalam satu gedung
yang sama dengan pria itu. Mereka bisa menghabiskan waktu bersama.
“Kau tampak sangat senang,
Giavanna,” ucap Justin menatap Giavanna dengan tatapan menyelidik. “Apakah ada
kejadian lebih dari menunjukkan alamat pada Lance?” Tanya Justin curiga.
“Pertama, dia pria tampan pertama
yang tidak gay. Kedua, dia memiliki pekerjaan mapan. Ketiga, dia ramah dan baik
hati, tak sepertimu. Keempat, ia berada dalam satu gedung denganku—“
“Giavanna, kurasa kau tahu aturan di
perusahaan ini. Tidak boleh ada percintaan antar karyawan,” ucap Justin
memperingati. Giavanna tahu aturan itu. Lagi pula, ia tidak begitu terburu-buru
ingin menjalin hubungan asmara dengan Lance. Siapa tahu saja Lance lebih
tertarik pada Morgan? Apa pun bisa terjadi perusahaan ini. Termasuk atasan
tampan yang ternyata gay. “Omong-omong, jangan lupa jemput Arthur siang ini,”
“Kau serius? Kau ingin menjemput
anakmu? Kau tak takut jika aku—“
“Aku akan ikut kalau begitu,” tukas
Justin cepat-cepat.
“Kau yang menyetir,” ujar Giavanna.
“Kau yang menyetir, kita bertiga
bisa makan siang bersama. Aku yang traktir. Bagaimana dengan itu?” Tanya Justin
menggoda Giavanna. Perempuan itu mengangguk setuju.
***
“Kau sengaja ingin membuat kita mati
bersama? Percayalah, Giavanna, aku masih mencintai Alexander,” ucap Justin
memegang pegangan tangan di atas kepala Justin. Giavanna sengaja membawa mobil
cepat sekali, lalu ia memutar kembali dari pintu gerbang masuk menuju sekolah
Arthur. Sekolah Arthur berada di dalam perumahan mewah. Baiklah, ini adalah
putaran terakhir untuk Justin. Mendengar kalimat; masih mencintai Alexander, cukup membuat Giavanna terharu. Giavanna
menginjak pedal gas hingga mobil itu melaju cepat. “Giavanna! Kau tak dengar
aku? Aku masih mencintai, Alexander!” Teriak Justin panik. Giavanna
perlahan-lahan melambatkan kecepatan mobilnya.
“Tidak ingin berterima kasih?” Tanya
Giavanna.
“Ya, baiklah, terima kasih, nona
Giavanna,” ucap Justin terpaksa. Tangannya yang memegang pada pegangan itu, ia
turunkan. “Aku juga tak ingin mati bersamamu. Aku tak ingin bertemu di neraka
bersamamu,”
“Di neraka? Ya Tuhan, Justin. Kau
belum percaya Tuhan? Mari kuberitakan Injil untukmu. Pada mulanya Tuhan
menciptakan—“
“Giavanna, hentikan. Aku dulu pernah
Sekolah Minggu,” ujar Justin menarik nafas dalam-dalam. Berada dalam satu mobil
dengan Giavanna memang menguji kesabaran. Ya, kesabaran untuk tak membunuh
perempuan ini. Giavanna hanya menggumam mengejek. Itu memicu Justin menoleh
kepalanya, tak suka dengan gumaman Giavanna yang mengejek. “Maaf? Giavanna,
mungkin aku gay, tetapi aku percaya Tuhan,”
“Ya, aku percaya itu,” ucap Giavanna
acuh tak acuh. “Omong-omong, aku penasaran dengan kelahiran Arthur. Maksudku,
bagaimana Eva bisa meninggal? Apa ia meninggal setelah melahirkan? Apa Arthur
pernah bertemu dengan seorang pengasuh perempuan? Kau tahulah, ia tampak
bahagia saat bersamaku,” celoteh Giavanna.
“Dia tak bahagia saat bersamamu. Ia
memang anak yang ceria. Bedanya, kau perempuan. Ia anak kecil yang normal.
Tentu ia menyukaimu, kau cukup menarik,” ucap Justin. Setengah detik kemudian
Justin menyesali apa yang telah ia katakan. “Maaf, tadi aku asal bicara. Jangan
anggap terlalu serius,” ucap Justin. Giavanna hanya tersenyum-senyum menjijikan
mendengar ucapan Justin yang memujinya itu. Ia tahu benar, Justin tidak
tertarik padanya mengingat pria itu adalah seorang gay. Tetapi hidup akan
sangat membosankan bila kau tidak menggoda seorang pria tampan.
“Tidak apa-apa. Aku tahu selama ini
aku memang menarik bagimu. Kau memang tak ingin mengakuinya,” goda Giavanna
mulai memasuki gerbang masuk sekolah. Ia mencari parkiran yang sudah
setengahnya sudah dipenuhi mobil-mobil orangtua murid. Justin hanya dapat
memaklumi kegilaan Giavanna. Perempuan itu mudah sekali besar kepala. Jika
Justin biarkan, bisa-bisa kepala itu meledak tak tahu waktu. Tidak diladeni
Justin, Giavanna juga ikut terdiam. Mobil mereka berhenti setelah Giavana
mendapatkan tempat parkir yang bagus. Belum ada dering pulang sekolah
terdengar, salah satu di antara mereka tidak ada yang ingin keluar dari mobil. Gaun
ungu itu masih dikenakan Giavanna. Itu semua permintaan Justin. Yah, ia masih
ingin mempermalukan Giavanna di depan umum meski sepertinya Giavanna tak begitu
keberatan. Justin menatap keluar jendela, melihat pintu utama sekolah. Begitu
banyak ayah dan ibu di depan halaman sekolah menunggu anak mereka. Seorang guru
juga sudah menunggu di depan pintu utama itu, memastikan apakah seluruh
muridnya pulang bersama orang yang tepat. Giavanna mengangkat kedua kakinya ke
atas kursi, ditekuknya lutut itu lalu ia memeluknya.
Ia masih tak percaya kalau Lance
akan bekerja di gedung yang sama dan pada orang yang sama. Tetap saja Giavanna
harus berterima kasih pada Justin. Jika Justin tidak meminta Lance bekerja di
RCS Advertisement, ia tak mungkin bertemu dengan Lance tadi malam. Ponsel
Justin berdering. Pria itu merogoh kantong bagian dalam jasnya lalu
mengeluarkan ponsel yang ia simpan di sana. Saat melihat layar ponselnya,
Justin malah mendiamkan ponsel itu. Giavanna menyandarkan pipinya di kedua
ujung lututnya sambil kepala menghadap pada Justin. Ponsel itu tak berdering
lagi. Tetapi dua detik kemudian kembali berdering. Entah apa yang ada di
pikiran Justin, yang jelas apa yang ia perbuat gila. Pria itu membuka kaca
jendela mobil lalu ia melempar ponsel itu ke tanah dengan kasar. Untung tak ada
anak kecil yang melihat. Giavanna tak begitu mempedulikan ponsel yang dilempar
Justin, ia tahu Justin memiliki uang banyak, ponsel seperti itu tak ada artinya
bagi Justin. Tetapi, mengapa pria itu begitu marah? Siapa yang menghubunginya?
Penagih utang? Tidak mungkin.
Tak ingin mengikuti campuri urusan
Justin, Giavanna menutup mulutnya rapat-rapat. Kepala Justin menoleh padanya
lalu tersenyum kecut.
“Bagaimana kabarmu dengan Alexander?
Aku tak melihatnya pagi ini, maksudku, kalian tampaknya tak dekat sejak kita
pulang dari labirin,” ucap Giavanna membuka percakapan.
“Apakah setelah kau mengetahui aku
gay, kau berpikir kau harus mengetahui apa pun tentang hubunganku dengan
Alexander?” Justin bertanya dengan nada tak suka. Ia sedang tak ingin membuat
dirinya merasa bersalah. Nanti malam ia akan menyelesaikan masalah kemarin
malam dengan Alexander. Untuk sekarang, ia hanya ingin bertemu anaknya.
“Bukan begitu, aku hanya bertanya.
Kalian pasangan yang manis, harus kuakui,” ucap Giavanna mengangguk yakin.
Justin tak mengindahkan pujian Giavanna. Ia mencari-cari topik lain untuk
dibicarakan. Namun, apa?
“Apa kau menyukai Lance?” Tanya
Justin, entah mengapa mengangkat topik itu. Giavanna mengedik bahu. Ia baru
bertemu kemarin dengan Lance.
“Aku suka keramahannya, ia baik.
Mengapa tiba-tiba kau bertanya seperti itu?” Tanya Giavanna menelan ludah.
Justin mengedik bahu juga, ia pun tak tahu mengapa ia memberikan pertanyaan
macam itu. “Kurasa kau ingin memberikan pengecualian bagiku dan Lance.
Sepertinya aku punya peluang mendapatkannya, kau tahu,”
“Kau pikir begitu? Bagaimana jika
aku memecatnya saja?” Tanya Justin terdengar cemburu. Giavanna terkekeh pelan.
Ada apa dengan Justin? Mengapa sejak pagi sampai siang ini ia bersikap begitu
aneh? Tadi pagi ia memarahinya lalu memintanya menjadi model iklan parfum.
Setelah Giavanna mengikuti permintaannya, ia malah memanggil Giavanna kembali
saat pengambilan gambar iklan, apa mau pria ini? Sebelum Giavanna mengatakan
sesuatu, bel pulang sekolah terdengar mengejutkan orangtua di depan halaman
sekolah. Tanpa mengatakan sesuatu, Justin segera keluar dari mobil. Giavanna
memutar bola matanya, tak suka dengan sikap Justin. Ia mematikan mesin mobil
lalu keluar.
Seperti zombie menyerbu kota,
anak-anak kecil yang keluar dari pintu utama berlari-lari mencari orangtua
mereka. Justin berdiri tak jauh dari pandangan Giavanna. Ia berlari menuju
Justin sambil matanya mencari-cari dimana Arthur.
“Sangat tak sopan meninggalkan
perempuan sendirian di mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Itu seperti
kau meminta putus secara tak langsung,” ujar Giavanna memegang bahu Justin.
Rata-rata orangtua yang sudah bertemu anaknya menatap Giavanna dengan tatapan
aneh. Mengapa perempuan itu mengenakan gaun ungu panjang? Apa ia ingin pergi ke
malam prom atau sesuatu? Karena tempat ini bukan tempat yang tepat. “Semua
karenamu! Orang-orang di sini menatapku seolah-olah aku orang aneh,” ujar
Giavanna mendengus.
“Kau memang aneh, omong-omong,” ucap
Justin acuh tak acuh.
“Apa? Kalau aku aneh, kau itu apa?
Oh, ya, aku lupa. Kau gay,” sindir Giavanna menepuk keningnya. Justin lagi-lagi
tak meladeni hinaan Giavanna. Tuhan tahu siapa yang memiliki pikiran normal dan
gila. Terlihat dari jarak jauh, Arthur berlari-lari kesenangan menuju Justin.
Tangannya ia rentangkan, Justin membungkukkan tubuhnya hingga Giavanna hampir
terjatuh—karena tangannya tadi bersandar pada bahu Justin—lalu ia menggendong
Arthur setibanya anak itu di hadapan Justin.
“Ya Tuhan, kau sangat berat,
Arthur,” ujar Justin bercanda. Guru yang menunggu di depan pintu utama memerhatikan
tiga orang itu. Apakah Arthur baru saja mendapatkan ibu baru? Ayah Arthur
memang pintar mencari istri dan ibu bagi Arthur. Mereka kelihatan seperti
keluarga kecil bahagia. Arthur yang digendong ayahnya itu dapat melihat Arthur
menyentuh bunga-bungaan di kepala ibunya. Mereka bertiga tertawa ketika Arthur
menarik bunga itu dari kepala ibunya. Sangat manis. Meski guru Arthur cukup
bingung mengapa ibu Arthur memakai gaun ungu di hari cerah seperti ini? Guru
Arthur melambaikan tangan saat Arthur melambaikan tangan padanya. Keluarga
kecil itu kemudian berjalan menuju parkiran. Ah, keluarga yang sangat manis.
Sayangnya, itu hanya menurut guru
Arthur.
***
Menurut kenyataan, kedua orang
dewasa itu saling menjatuhkan. Giavanna menumpu paha kanannya di atas paha
kiri, salah satu siku-sikunya ia sandarkan ke atas meja restoran yang mereka
datangi. Orang-orang di restoran itu rata-rata menilai Giavanna sebagai orang
aneh yang siang bolong memakai gaun ungu ditambah hiasan bunga-bunga di kepala
membuatnya semakin kelihatan seperti orang aneh. Justin sangat menikmati
pemandangan ini. Orang-orang mengamati Giavanna dan melihatnya jijik. Ia tak
malu berjalan dengan Giavanna. Biarkanlah orang-orang di luar sana menganggap
Giavanna sebagai kekasihnya karena itulah yang Alexander mau. Justin tersenyum
miring saat memerhatikan Giavanna yang merasa risih karena ada sepasang
kakek-nenek yang baru saja lewat di belakangnya dan mengomentarinya. Arthur
tampak baik-baik saja di sebelah Giavanna, ia sedang menikmati minuman yang
baru mereka pesan. Kakinya ia gerak-gerakkan seperti biasannya.
Awalnya Arthur bingung mengapa
Giavanna memakai hiasan bunga dan sebuah gaun. Bukankah gaun hanya dipakai di
saat-saat spesial saja? Alexander bilang seperti itu. Apa Giavanna hari ini
ulang tahun? Arthur tersenyum-senyum geli, ia mengelus dada. Untunglah tidak
ada Alexander, kalau ada, pasti Alexander akan menegurnya karena tak memberikan
selamat ulang tahun untuk Giavanna. Tanpa berpikir lagi, Arthur mencolek lengan
Giavanna.
“Gigs,” panggilnya. Giavanna segera
menoleh, begitupun Justin. Apa yang Arthur inginkan?
“Arthur, kita sudah membuat
perjanjian. Aku sudah memberikanmu 20 dollar untuk tak memanggilku seperti itu.
Kembalikan uangku kalau begitu,” ucap Giavanna bercanda.
“Oke, baiklah. Aku pasti akan
mengembalikannya agar aku bisa memanggilmu Gigs,” gerutu Arthur memutar bola
matanya. “Omong-omong, selamat ulang tahun, Gigs,” ucap Arthur tersenyum tulus.
Kepala Justin maju ke depan, kedua alisnya hampir bertemu, ia bingung. Ulang
tahun? Giavanna? Giavanna dan Justin saling bertatapan. Ada apa dengan Arthur? Apa ia ketularan penyakit gila Giavanna?
tanya Justin dalam hati.
“Sayang, Gigs tidak berulang tahun
hari ini. Memangnya kenapa kau bisa berkata seperti itu?” Tanya Justin mengelus
punggung anaknya. Arthur menatap ayahnya, ia memasang wajah polosnya.
“Kata dad Alexander, biasanya orang
yang memakai gaun berulang tahun. Jadi, kupikir hari ini Gigs berulang tahun,”
ucap Arthur kelewat polos. Giavanna menepuk keningnya. Tidak hanya dianggap
sebagai orang aneh, ia ternyata ulang tahun hari ini! Siapa yang menduganya?
Mana kuenya? Giavanna berpikir sarkastis. Jika Justin tidak memakaikan Giavanna
gaun ini, sudah pasti hari ini akan ia lewati dengan normal. Dan tidak bisa disangkal
lagi, Justin memang bajingan. Ia ikut-ikutan memanggil Giavanna dengan
panggilan Gigs. Tidakkah itu sangat konyol? Itu menjijikan.
Tidak ada yang merespon Arthur.
Makanan yang mereka pesan telah datang. Arthur berseru girang, akhirnya setelah
menunggu lama, ia mendapatkan makanan. Arthur sudah kelaparan. Ia segera
mengambil pisau dan garpunya. Justin sudah mengajarkan Arthur cara memotong
daging steak yang benar. Maka dari itu, Justin mendiamkan Arthur, meski
Giavanna menatap Justin bingung. Tidakkah ia melihat anaknya masih berumur 6
tahun dan sudah memotong steak? Bagaimana jika ia salah memotong? Maksudnya,
memotong tangan ayahnya sendiri? Oh, ya, Giavanna berharap begitu.
“Dad,” panggil Arthur. “Kenapa dad
Alexander berteriak-teriak tadi pagi? Apa ia marah karena aku?” Tanya Arthur
sambil memotong dagingnya. Diam-diam Giavanna senang. Tanpa perlu ditanya,
Arthur sudah memberikan informasi yang sangat diperlukan Giavanna. Justin tak
begitu risih lagi di hadapan Giavanna.
“Dad Alexander tidak marah padamu,
Arthur. Mengapa kau berpikir seperti itu? Tadi pagi dad Alexander kegirangan
karena hari ini ia akan pergi ke salon. Tidakkah kau ingin pergi ke salon?
Mungkin bersama Gigs?”
“Justin! Hentikan panggilan sialan
itu,” ucap Giavanna mengumpat tanpa sadar. Ketika ia sadar mengucapkan kata
kotor di depan anak kecil, Giavanna menutup mulutnya. “Maaf. Dan aku tidak
ingin pergi ke salon. Aku tak perlu pergi ke salon. Banyak pekerjaan yang
harus…” suara Giavanna berangsur-angsur hilang saat ia melihat Arthur memasang
wajah murungnya. Anak kecil itu dengan sengaja memotong dagingnya dengan
kekuatan lemah. Apa itu serius? Anak kecil itu memasang wajah murungnya agar
Giavanna menemaninya ke salon? Sungguh, ayah dan anak sifatnya tak jauh beda.
Bedanya, Justin mengancam dengan ucapan. Sungguh menjijikan membayangkan Justin
cemberut seperti Arthur sekarang. Lebih menjijikan lagi jika yang
menenangkannya seorang pria. Contohnya, Alexander.
“Giavanna, tidakkah kau mengasihani
anak kecil yang menginginkanmu bersama dengannya untuk satu kali ini saja?”
Tanya Justin menambah-nambahi. Arthur yang tidak tahu apa-apa hanya
mengangguk-angguk setuju dengan ucapan ayahnya. Sulit dipercaya, Justin dengan
perbuatan bejatnya. Perpaduan yang sangat sempurna. Ia berhasil membuat
Giavanna tersenyum paksa dan menerima ajakan Justin. “Tidakkah kau
mengasihaninya?”
“Baiklah,” ucap Giavanna setuju.
Arthur mendongak sambil tersenyum.
“Benarkah? Kau ingin menemaniku dan
dad Alexander di salon? Ah, percaya padaku Gigs, rambutmu akan selembut
rambutku,” ucap Arthur membanggakan rambutnya. Giavanna hanya mengangguk
kemudian ia menatap Justin. Matanya melotot seperti pembunuh berantai. Seperti
tidak melakukan kesalahan apa pun, Justin mengedik bahu.
“Bukan permintaanku, Arthur mau.
Benar bukan, Arthur?” Tanya Justin. Arthur mengangguk-angguk meski ia sedang
fokus pada makanannya. “Lihat? Dia ingin kau bersama dengannya di salon. Nah,
aku akan mengurusi Lance-mu di kantor. Yah, mungkin aku akan berkata kalau kau
perempuan gila, berbahaya, jika rahasiamu diketahuinya kau pasti akan
membencinya. Oh, mungkin aku akan memberitahunya kalau kau lesbian,”
“Kau gila atau apa? Kita berdua
tahu, Justin, di sini kau yang tidak normal. Aku perempuan normal. Penyuka
lawan jenis. Aku bukan jeruk makan jeruk. Tidak sepertimu, pedang lawan pedang.
Tidakkah pedang membutuhkan sarungnya? Kau itu konyol,” hina Giavanna tak
tanggung-tanggung. Giavanna berucap seolah-olah ia tahu sekali hubungan asmara
Justin. Tetapi percayalah, Justin tidak pernah bercinta dengan Alexander.
“Kau benar-benar berpikir aku pernah
berhubungan badan dengannya eh?” Tanya Justin mengangkat salah satu alisnya.
“Sayang sekali, dia belum pernah. Aku juga belum pernah. Aku hanya bercumbu
dengannya, tidak lebih. Yang harus dipertanyakan ialah, apakah kau benar-benar
perawan? Karena di studio tadi kau tampak sangat lihai menggoda pria di atas
ranjang,”
“Benarkah? Yah, aku hanya mengikuti
adegan-adegan panas di film. Itu bukan berarti aku tidak perawan. Dan
omong-omong, aku sedang tak ingin mendiskusikan apakah kau bercumbu dengan
Alexander atau tidak. Kau membuat nafsu makanku hilang,”
“Begitukah? Well, yeah,
kadang-kadang kami memakai lidah,” ucap Justin memanas-manasi Giavanna. Perut
Giavanna terasa penuh.
“Ada yang lebih menjijikan dibanding
itu? Aku bahkan pertama kali dicium olehmu dan rasanya menjijikan. Apalagi
kalian yang memakai lidah,” ujar Giavanna.
“Rasanya sangat menyenangkan,
Giavanna. Kau harus mencobanya,”
“Kau lucu, Justin. Aku mendengarnya
saja sudah jijik, apalagi melakukannya,” ujar
Giavanna mendorong piring makanannya.
“Berarti kau tidak normal,”
“Aku tak normal? Kau yang tidak
normal di sini, Mr.Richardson,” ucap Giavanna. Ia sudah tak lapar lagi. Sup
yang ia pesan seolah-olah memperlihatkan adegan Justin dan Alexander berciuman
di permukaannya. Dan itu sangat menjijikan. Mau tak mau Giavanna menggeliat
geli di tempat. Pria ini sungguh gila. Sialnya, Giavanna tak membawa ponsel
untuk merekam ucapan-ucapan Justin sekarang. “Giavanna,
jahat sekali dirimu. Mengapa kau tidak memakan makanannya? Apa kau tak
memikirkan betapa banyak orang Afrika tidak makan hari ini?”
Giavanna menipiskan bibirnya. “Aku
tahu banyak sekali orang di luar sana mencari makan dan tidak makan. Tapi nafsu
makanku hilang karena kau. Jadi, ini sepenuhnya bukan kesalahanku,” ucap
Giavanna tersenyum. Hati Justin berbunga-bunga melihat senyum itu. Senyum paksa
berarti perempuan itu sedang kesal. Bukankah sangat menyenangkan saling
menjatuhkan seperti ini?
“Baiklah jika begitu,” ucap Justin
acuh tak acuh. “Namun sepertinya kau sangat senang mendengar kisah cintaku
dengan Alexander,”
“Percaya padaku, Justin, kau pasti
tidak ingin membuat wanita-wanita di luar sana bunuh diri karena aku
membeberkan ucapanmu di Internet.” Ancaman itu berhasil membuat Justin menutup
mulutnya. Kali ini hati Giavanna berbunga-bunga. Adakah hal paling menyenangkan
dibanding membuat Justin kesal?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar