Kamis, 26 Juni 2014

Perfect Time Bab 11


            Giavanna kagum dengan penata rambut di salon ini. Rambut Giavanna yang awalnya kelihatan kusam sekarang terlihat lebih ..cokelat dan tampak sangat lembut. Pantas saja rambut Alexander kelihatan sangat mengilau dari jarak jauh. Giavanna melirik jam tangan yang ia pakai, sudah jam  3 sore dan ia tidak memiliki ponsel di tas kecilnya. Bagaimana bisa Giavanna melupakan benda terpenting dalam pekerjaannya? Siapa tahu Justin akan menghubunginya. Dan, ya, kali ini Justin yang menang. Giavanna tak akan mempunyai bukti jika bertanya-tanya pada Arthur tentang hubungan mereka lagi. Ponselnya tertinggal di kantor dan mungkin, Justin tidak akan mengambilnya jika ia datang menjemput mereka berdua di salon. Setelah melihat dirinya dari pantulan cermin, Giavanna melirik Arthur yang terduduk di atas sofa. Sofa itu untuk menunggu pelanggan lain keluar atau pria yang sedang menunggu kekasihnya. Arthur sekarang sudah tampak lebih tampan. Gadis-gadis di luar sana pasti menyukai Arthur. Rambutnya diberi gel sehingga rambutnya sekarang lebih rapi.
            Arthur tampak murung. Mungkin karena Alexander tak kunjung datang ke salon. Yah, siapa tahu Justin memberitahu Alexander agar tak datang ke salon karena ada Giavanna di sini. Tentu Alexander tak ingin pipinya memerah padam akibat malu yang ia dapatkan. Alexander pria tampan dan kelihatan sangat garang tetapi pergi ke salon? Oh, beri Giavanna waktu berpikir! Itu sangat konyol dan memalukan. Justin juga tak mungkin ingin membuat Alexander malu di depan Giavanna secara langsung. Giavanna duduk di sebelah Arthur lalu mengikuti gaya duduk Arthur. Bibir Arthur mengerucut, kedua tangannya ia lipat di atas dadanya, lalu ia mendengus.
            “Mengapa dad Alex tak datang? Aku sudah menunggunya, dia sudah berjanji padaku, kau tahu,” dengus kesal. Giavanna menghela nafas panjang, seolah-olah ia juga kesal mengapa Alexander tak datang ke salon. “Dan kenapa daddy tak menjemputku sekarang? Aku ingin bermain di rumah,”
            “Ya, aku juga kesal dengan dad Alexander. Kenapa ia tak datang? Andai ia datang, kita pasti akan bercerita-cerita tentang ayahmu atau kau di sekolah,” ucap Giavanna mendecak kesal juga. Arthur hanya menyahut, bibirnya kembali mengerucut kesal. Kepalanya menyandar di lengan Giavanna. Ia sangat bosan jika harus menunggu seperti ini. Jika ini sekolah, ia pasti tidak akan bosan karena di sekolah ada arena permainan. Sedangkan di salon, apa yang bisa Arthur mainkan? Pengering rambut? Konyol.
            “Aku bosan, Gigs,” bisik Arthur memejamkan mata. Lebih baik ia tidur. “Bangunkan aku kalau daddy sudah datang,” ucap Arthur memeluk lengan Giavanna. Pegawai-pegawai salon yang melihat Arthur tersenyum akan kelucuan anak ini. Bahkan beberapa di antara mereka berpikir Giavanna adalah pacar ayah Justin. Giavanna tak seperti Alexander—orang yang sering menemani Arthur—jika di salon. Perempuan itu jarang sekali menjawab pertanyaan orang-orang yang mengurusi rambutnya. Sedangkan Alexander begitu terbuka. Jiwa Giavanna dan Alexander seolah-olah tertukar. Tidak tahu apa yang harus dilakukan, Giavanna ikut memejamkan matanya. Mungkin menunggu seperti orang bodoh sekali-kali tak akan merugikannya.
            Entah mengapa saat Giavanna memejamkan matanya, bayang-bayang wajah Justin muncul. Ia bertanya-tanya apa yang terjadi pada Justin hari ini. Ia tampak begitu kesal bila ada orang lain mendekati Giavanna. Tetapi di saat yang sama, Justin sedang menjatuhkan Giavanna. Sesungguhnya, Giavanna ingin tahu sekali, apa penyakit Justin sebenarnya? Jika ia gay, Giavanna berusaha untuk menghargainya. Tetapi, apakah seorang gay berani mengecup bibir perempuan? Kalau dipikir, mereka bisa mengecup bibir perempuan jika mereka dibayar. Contohnya, pemain film gay harus berani mencium bibir perempuan jika sutradara meminta ia berciuman. Tetapi Justin, dengan alibi yang tak masuk akal, ia mengecup bibir Giavanna. Pria itu sangat membingungkan dan sulit untuk diikuti. Bahkan Giavanna tak pernah berpikir ia akan bertemu dengan pria serumit ini. Mungkin karena masa lalunya yang buruk membuat Justin seperti ini. Ia sebenarnya orang yang sangat baik. Lihat bagaimana cara Justin memperlakukan Alexander, ia tampak sangat menyayangi kekasihnya. Awal pertemuan mereka, Giavanna menyukai Justin. Giavanna harus akui itu, tetapi semuanya berubah ketika pria itu bersikap begitu sombong. Sampai sekarang pun, pria itu masih tetap bersikap sombong.
            Lagi pula, mengapa Giavanna begitu sibuk memikirkan Justin sekarang? Tidak boleh ada asmara di antara mereka! Justin gay, Giavanna tahu itu. Dan selagi Lance berada di gedung yang sama dengannya, Giavanna mempunyai harapan untuk mengubah statusnya menjadi ‘dalam hubungan’ bersama Lance. Pria itu tidak gay. Tadi pagi Giavanna sudah berbisik pada Lance di ruangan Justin, ia menjawab dengan menggelengkan kepala.
            “Hey, apa yang kaulakukan? Ini bukan hotel,” Seseorang mengejutkan Giavanna. Jantung perempuan itu hampir melompat keluar dari tubuh. Mata Giavanna terbuka, ia mendapati Justin membungkuk di hadapannya. Wajah mereka begitu dekat. Pria itu kemudian menegakkan tubuhnya, kemudian ia menggendong Arthur yang sudah terlelap di lengan Giavanna. Sudah berapa lama Justin berada di salon? Sungguh memalukan! Orang yang ada dipikiran Giavanna tiba-tiba muncul dan merusak segalanya. Tanpa mengatakan apa pun, Justin berjalan menuju pintu keluar. Segera saja Giavanna melompat dari sofa dan mengikuti langkah kaki pria itu.
            “Justin,” panggil Giavanna setelah keluar dari salon. Tangannya membuka tas kecil yang ia bawa lalu merogoh isinya. “Kau tahu, aku tidak suka dibayar jika aku tidak mau. Ini uang untuk salon tadi,” ucap Giavanna mengeluarkan uang dari dalam tas. Justin berhenti seketika sebelum ia masuk ke dalam limosin. Tubuhnya berbalik ke belakang, kedua alisnya terangkat. Giavanna menyodorkan uang itu pada Justin, kepalanya terangguk-angguk seolah-olah Justin adalah pengemis yang menolak untuk diberi uang.
            “Ayo, ambillah. Tidak apa-apa,” paksa Giavanna melambai-lambaikan uang itu di depan Justin. Pria itu tertawa sinis. Semiskin itukah Justin hingga Giavanna memberikan uang dari perusahaannya sendiri? Sulit dipercaya, ini sangat lucu.
            “Apa aku terlihat seperti gelandangan bagimu, Giavanna? Uang yang kukeluarkan untuk salon itu bahkan tidak masuk dalam pengeluaran uangku. Jadi simpan saja uangmu,” ucap Justin, sombong. Giavanna mendecak kesal. Ia tak terbiasa dibayarkan jika orang itu belum memberitahu Giavanna sebelumnya. Melihat tingkah Giavanna seperti ini, Justin menghela nafas. “Kau tahu apa? Kau simpan saja uang, sebagai ganti telah membayarmu di salon tadi, aku mau kau ikut aku pergi berjalan kaki setelah kerja. Bagaimana dengan itu?”
            “Kau memang pandai menyulitkan berbagai hal ya?” Tanya Giavanna melipat kedua tangannya di depan dada. Justin mengedik bahu, bibirnya bawahnya menyembul.
            “Aku tak tahu, Giavanna. Kau yang tahu aku. Kau selalu benar.” Ucap Justin berbalik memunggungi Giavanna lalu ia membuka pintu limosin. Seperti Arthur, Giavanna mendengus kesal. Mengapa Justin pintar sekali mengendalikan keadaan? Pria itu mempunya keahlian hebat yang merugikan orang lain. Sebagai contoh, Giavanna.

***
                                                                                                           

            Perempuan berambut pirang itu masuk ke dalam lift. Morgan tahu apa yang Giavanna lakukan selama ini! Perempuan itu memanfaatkan tubuhnya agar Justin memberikan pekerjaan ringan pada perempuan itu dan Morgan mendapatkan bagian-bagian yang sulit, lagi. Mengapa akhir-akhir ini Giavanna tidak kelelahan seperti dulu? Apa ia sudah berani memberikan tubuhnya pada Justin? Bahkan selama jam makan siang sampai jam 4 sore, ia tak kunjung muncul. Setibanya ia di gedung RCS Advertisement, ia bersama Justin. Mata Morgan menatap pintu transparan ruangannya, namun ia tidak mendapat Giavanna duduk di tempatnya. Pintu lift tertutup tepat ketika ia melihat dinding ruangan Justin berubah dari buram menjadi abu-abu di balik pintu transparan itu. Sial! Apa yang mereka berdua lakukan di saat seluruh karyawan di lantai 9.
            Sayangnya, pikiran kotor yang ada di pikiran Morgan tidak mungkin terjadi. Giavanna sedang menunggu Justin yang sedang mengerjakan tugasnya di atas kursi, di depan meja Justin. Pria itu tampan jika ia sedang memfokuskan diri terhadap layar komputer. Pemandangan yang sangat jarang. Andai saja Justin normal dan memiliki sifat yang baik, pasti Giavanna sudah jatuh cinta pada pria di hadapannya ini. Sayangnya, pria itu hanya ada satu di gedung ini. Lance. Pria yang baru saja dikirimi pesan oleh Giavanna agar berhati-hati di jalan saat pulang. Justin masih tak mengizinkan Giavanna mengganti gaun ungu itu. Menurutnya, Giavanna sangat cantik dalam gaun ungu. Malam ini Justin ingin pulang terlambat. Ia ingin menghabiskan waktu malamnya bersama Giavanna. Untungnya, Giavanna menerima permintaan Justin yang satu ini. Lagi pula, sejak kapan Giavanna menolak permintaan Justin? Tidak pernah sepertinya.  Bunyi ponsel Giavanna mengejutkan mereka berdua. Tetapi Justin masih memfokuskan pandangannya pada layar komputer sementara Giavanna melihat layar ponselnya. Balasan dari Lance. Ah ya ampun, Giavanna tak percaya pria itu akan membalas pesannya. Lance membalas kalau ia akan berhati-hati.
            Bolehkah aku menghubungimu malam nanti?, tanya Giavanna mengetik di ponselnya. Justin melirik Giavanna yang menggigit bibir sambil mengetik di ponsel. Beberapa detik kemudian, Giavanna mendongakkan kepalanya. Ia melihat langit-langit ruangan Justin, ia tersenyum-senyum seperti orang gila. Mau tak mau Justin menahan tawanya. Perempuan ini gila atau apa? Justin mematikan komputernya lalu ia memerhatikan Giavanna.
            “Kau sangat bahagia sekali, Giavanna? Apa yang terjadi?” Tanya Justin yang tiba-tiba merusak kebahagiaan Giavanna. Perempuan itu menghela nafas panjang.
            “Bukan urusanmu, Richardson. Sudahlah, ayo kita pergi. Kau bilang kita ingin jalan-jalan? Well, batas waktu sampai jam 9. Aku memiliki rencana lain setelah jam 9,” ucap Giavanna seakan-akan ia perempuan super sibuk di dunia ini. Justin hanya memaklumi perempuan gila ini lalu ia bangkit dari kursinya. Giavanna ikut bangkit dari tempat duduknya. Akhirnya mereka akan pergi juga dari gedung ini. Sekarang sudah jam 7, semua orang di gedung sudah pulang sepertinya. Kecuali bagi mereka yang mengambil waktu lembur. Tangan Justin menarik tangan Giavanna, sontak Giavanna menarik lepas tangannya. “Hey, apa-apaan! Meskipun orang-orang sudah pulang, bukan berarti kau bisa memegang tanganku,”
            “Oh, maaf. Aku sudah terbiasa seperti itu pada Alexander jika tidak ada orang-orang yang kami kenal berada di sekitar,” ucap Justin merasa malu. Ah, mengapa ia melakukan hal itu? Justin mengutuki dirinya sendiri. Seperti pria jantan lain lakukan, Justin membukakan pintu ruangannya untuk Giavanna. Perempuan itu melangkah keluar dari ruangan, begitu juga Justin.
            “Apa kau yakin barang-barangku sampai di apartemen dengan selamat?” Tanya Giavanna melirik meja kerjanya yang sudah bersih dari barang-barangnya. Justin mengangguk yakin. Kemudian pria itu kembali memegang tangan Giavanna dan menarik perempuan itu keluar dari ruangan asistennya. Kali ini Giavanna mendiamkan tangan Justin yang menggenggam tangannya, mungkin memang sudah kebiasaan Justin memegang tangan orang yang sudah mengenalnya. “Kemana kita akan pergi?”
            “Apa mulutmu memang tak pernah bisa ditutup, Giavanna Anderson?”
            “Aku tak tahu, Mr.Richardson! Menurutmu bagaimana?” Justin hanya mendesah pasrah.
           
***

            Untuk yang pertama kalinya, Justin dan Giavanna tak banyak berdebat. Mereka berdua sedang menikmati es krim yang Justin beli di salah satu penjual es krim di pinggir jalan. Orang-orang yang tak mengenal mereka pasti berpikir mereka adalah sepasang kekasih. Angin malam menerpa tubuh Giavanna, membuat gaun yang ia pakai melambai-lambai mengikuti arah angin. Justin hanya ingin malam ini menjadi malam paling tenang dalam hidupnya. Tak tahu mengapa Justin memilih Giavanna menjadi pasangannya malam ini, tetapi perempuan ini tampak jinak. Biasanya ia banyak bicara, kali ini ia lebih memilih untuk menikmati es krim yang ada di tangannya. Justin melihat jalanan, kendaraan beroda berlalu lalang selama mereka melewati trotoar. Sama seperti malam-malam sebelumnya.
            Justin merasakan déjà vu. Lampu-lampu jalanan menyinari jalan raya dan mereka berdua. Posisi Giavanna di sebelahnya. Saat itu ia merasa pernah melakukan hal ini, tetapi ia tak pernah. Giavanna mengemut es krimnya lalu ia mendongak melihat Justin yang dari tadi diam. Entah sampai kapan mereka akan diam seperti ini terus, jika sampai 10 menit ke depan mereka tak bicara, Giavanna terpaksa harus pulang dan menelepon Lance. Seperti membaca pikiran Giavanna, Justin tiba-tiba membuka mulutnya.
            “Giavanna, hari ini harus kuakui kau sangat cantik dalam gaun ungu itu,” ucap Justin memuji. Tidak ada nada cela atau mengejek, pria itu benar-benar memuji Giavanna. Well, ini bukan yang Giavanna harapkan, tetapi terserahlah, mungkin kepala Justin terbentur sesuatu.
            “Terima kasih,” bisik Giavanna tak ingin berdebat. “Apa sekarang aku terlihat seperti Eva?”
            “Ya, kau terlihat sangat mirip dengan Eva,” balas Justin kemudian duduk di pinggiran tembok berpagar yang menyisakan tempat bokong Justin beristirahat. Mereka duduk di depan rumah orang. Sekaya apa pun Justin, ternyata ia masih memiliki sifat rendah hati. Mengapa sikap Justin tak menunjukkan sikapnya yang satu ini dari dulu saja? Itu akan membuat Giavanna lebih mudah menerima Justin. “Kau memakai gaun yang hampir sama saat aku menikah dengan Eva,”
            “Begitukah? Baiklah, dimana cincinnya? Aku siap,” canda Giavanna. Justin menundukkan kepalanya sambil terkekeh pelan. Betapa manisnya pemandangan itu. Ketika Giavanna melihat Justin tersenyum manis seperti itu, ia tampak sangat normal dan seolah-olah tak ada masalah yang membebaninya. Bibir Giavanna ikut tersenyum melihat pria itu terkekeh, sangat jarang Justin tersenyum di hadapannya. Kalaupun Justin tersenyum, ia tersenyum paksa. Kali ini ia benar-benar tersenyum. Senyum Justin mungkin senyum terbaik sejauh ini. Dibalik sikap dinginnya di kantor, ia ternyata memiliki senyum hangat. Ah, Giavanna tak pernah berpikir ia memiliki hubungan sejauh ini dengan Justin. Beberapa saat kemudian Justin mengembus nafas panjang.
            “Giavanna, mengapa kau lakukan ini padaku?” Tanya Justin menggeleng kepala. Ia merasa sangat frustrasi tetapi wajahnya menunjukkan kekaguman. Giavanna tak menjawab, ia tak mengerti. Justin menatap matanya. Mata cokelat itu tampak terang saat remang-remang seperti ini.
            “Maksudmu bagaimana?”
            “Kau melakukan hal ini padaku. Mengancamku dengan foto-foto sialan itu. Hingga akhir-akhir ini aku lebih banyak menghabiskan waktu bersamamu. Apa kau tak sadar?” Justin bertanya seolah-olah ia sedang melantur. Apa Justin mabuk karena es krim yang ia makan? Apa yang terjadi padanya?, pikir Giavanna.  Justin memasukkan satu sendok es krim ke mulutnya lalu matanya terpejam. Namun telinga Justin tak mendengar jawaban apa pun dari Giavanna. Mereka diam dengan pikiran mereka sendiri sangat kontras dengan keributan kendaraan yang berlalu lalang. Orang-orang di luar sana pasti berpikir apa yang dilakukan Justin adalah tindakan gila. Tentu saja, bagaimana tidak? Justin berniat ingin berteman dengan musuhnya sendiri. Orang gila yang sering mengganggunya tiap hari. Harus Justin akui, akhir-akhir ini hidupnya terasa lebih hidup. Mungkin setelah meninggal ayahnya, tidak ada orang-orang di sekitarnya yang berani memerintahnya lagi atau mengancamnya. Tetapi di sinilah Justin sekarang bersama orang gila yang berani mengancamnya.
            “Apa yang kau suka, Giavanna? Selama ini aku tidak pernah tahu apa yang kau sukai, padahal kita selalu menghabiskan waktu bersama,”
            “Tunggu sebentar, Justin. Selama ini kita menghabiskan waktu bersama? Yang benar saja     ! Selama ini kau menghabiskan waktuku hanya untuk mengikuti perintahmu yang kadang tak masuk akal. Dan aku bingung denganmu sekarang. Kau sedang merayuku?”
            “Merayumu, Giavanna? Tentu tidak. Aku hanya ingin kita berteman. Bukankah kau yang bilang sendiri? Kita lebih baik berteman agar kita bisa bersantai,” ucap Justin tulus. Giavanna masih meragukan sikap Justin sekarang. Mengapa tiba-tiba ia berubah? Tak perlu waktu lama, Giavanna mengambil es krim yang Justin pegang lalu memasukkan sendoknya ke sana agar ia mendapatkan satu sendok es krim milik Justin. Ia kemudian merasakan es krim itu di dalam mulutnya. Tidak ada yang terjadi. Giavanna tidak tiba-tiba baik pada Justin. Oh, Giavanna sangat bingung. Permainan apa yang sedang Justin mainkan dengan Giavanna? Mengapa hati pria dingin ini melunak begitu saja? Apa Alexander hari ini menciumnya? Atau bercumbu dengannya? Justin melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Giavanna lalu tersenyum.
            “Kau pasti berpikir aku gila ya ingin berteman denganmu? Tapi, serius Giavanna, apa yang kau sukai? Sekedar ingin tahu. Dan siapa sangka nanti jika kau berulang tahun, aku tahu apa yang harus kubelikan untukmu,”
            “Baiklah, jika kau benar-benar ingin berteman denganku. Hal yang kusukai…” Giavanna berpikir sejenak, matanya melihat ke atas, bibirnya mengerucut ke samping. “Aku tak tahu, Justin. Aku menyukai banyak hal. Aku senang menemani orang lain, mendengarkan orang lain,”
            “Seperti sekarang? Kau tahu, Giavanna, kau wanita yang sangat menarik. Mengapa tidak ada pria yang menarik perhatianmu? Maksudku, mengapa kau tidak berpacaran? Kau bahkan masih perawan,” ucap Justin sedikit dengan nada kagum. Namun sikap sombongnya tidak pernah berpisah dari Justin. Giavanna tak ingin percakapan ini terlalu emosional. Ia tidak ingin jatuh cinta dengan pria yang tidak mungkin bisa ia miliki. Terlebih lagi, Justin seorang gay. Giavanna tersenyum menghargai pujian Justin yang tulus. Ini pertama kalinya Justin memuji Giavanna, pujian yang pernah diberikan pada Giavanna sebelumnya hanya untuk mengganggu Giavanna.
            “Hidupku ini bukan hanya untuk mencari pasangan hidup. Aku ingin menikmati hidup. Menikah itu perintah Tuhan, kau tahu itu bukan? Dan orang-orang pasti ingin menikah, mereka ingin memiliki keturunan. Atau hanya melakukan seks saja. Aku tak tahu. Aku masih muda, Justin. Masih banyak hal-hal yang bisa kulakukan di luar sana. Perusahaanmu sebagai awalan,”
            “Beritahu aku, Giavanna, kau ingin pergi kemana? Kita bisa melakukan hal-hal bersama-sama. Misalnya, seperti sekarang. Selama aku pergi denganmu, aku tidak pernah tidak diam. Kau selalu membuatku berbicara. Asisten-asistenku sebelumnya, termasuk Morgan, tidak berbicara denganku di mobil. Kita hanya membahas urusan pekerjaan. Tetapi denganmu, kau berbeda,”
            “Aku tak ingin menjadi salah satu diantara asisten-asistenmu itu. Mereka terlalu takut padamu, Justin. Mungkin itu karena aku mengancammu, makanya aku berani menjadi diriku sendiri di depanmu,” ucap Giavanna tersenyum malu. Justin menggeleng.
            “Tidak, bukan karena kau mengancamku. Sejak awal kau masuk ke ruanganku, jawabanmu yang sederhana membuatku yakin kau berbeda dari yang lain. Orang-orang menyukaimu karena kau menjadi diri sendiri, termasuk aku. Dan maafkan aku. Selama ini aku selalu membuatmu sibuk, bahkan kau sempat sakit karena salahku. Kau pekerja keras, hanya saja, mulutmu harus ditutup jika itu sudah waktunya. Kau wanita pertama yang membuatku kagum,”
            “Ya, aku mengerti. Selama ini hanya pria yang membuatmu kagum, bukan? Jadi yah, aku memakluminya,” ucap Giavanna memakan es krimnya. Justin terkekeh, kepalanya tergeleng tak habis pikir mengapa perempuan di hadapannya begitu percaya diri. Tetapi apa yang Giavanna katakan sangat benar. Selama ini Justin hanya terkagum akan pria, tidak dengan wanita.
            “Bisa kau bayangkan jika semua asistenku seperti Morgan? Wanita kaku yang selalu menuruti perintahku. Oh, pasti hidupku akan terasa biasa-biasa saja,”
            “Semua orang unik, Justin. Kau tahu itu, bukan? Hanya saja, mereka akan memiliki sikap yang berbeda pada tiap orang namun masih menunjukkan sifat mereka. Aku bersikap menyebalkan di depanmu tetapi tidak pada Hailey, namun aku masih menunjukkan sifat asliku. Maksudku, mengapa menjadi orang lain sementara menjadi dirimu menyenangkan?”
            “Keseimbangan,” bisik Justin menundukkan kepala. “Aku senang kau masuk ke dalam perusahaanku, Giavanna,” ucap Justin. Dalam hati Justin menarik pengakuan-pengakuannya dulu kalau ia tidak menyukai Giavanna masuk ke perusahaannya karena ia mirip dengan Eva, mantan istrinya.
            “Aku tidak, Justin,” bisik Giavanna dengan nada serius. Justin mendongak terkejut.
            “Benarkah? Mengapa?” Jantung Justin berdetak kencang. Ini salahnya! Ia yang membuat Giavanna tak betah berada di perusahaannya, padahal Giavanna termasuk orang pekerja keras.
            “Kau membuatku kewalahan tiap harinya. Aku ingin berhenti,” ucap Giavanna kali ini membuat jantung Justin yang berdegup kencang itu berada di mulutnya. Kepala Justin tiba-tiba pening. Mulutnya terbuka tak percaya. Justin tak tahu apa yang harus ia katakan lagi pada Giavanna. Ekspresi Justin begitu lucu. Terpaksa Giavanna harus menahan tawanya. “Yah, maafkan aku Justin, aku harus bilang seperti itu,” lanjut Giavanna mengembus nafas panjang.
            “Tapi aku baru saja ingin berteman denganmu. Kau baru kepikiran ingin berhenti atau memang selama ini kau ingin berhenti?” Tanya Justin mendesak ingin dijawab. Giavanna menelan ludahnya.
            “Oh ayolah, Justin, kita berdua tahu di sini aku yang menderita. Meski akhir-akhir ini aku senang kau menderita karena ancamanku. Memang apa yang terjadi jika aku berhenti?”
            “Aku bahkan tak ingin membayangkannya,” desah Justin memejamkan mata, kedua alisnya saling bertautan. Seperti sudah bersahabat sejak mereka kecil, Giavanna menepuk-nepuk belakang kepala Justin dengan pelan. Giavanna tak mungkin berhenti dari pekerjaannya. Pekerjaan impian orang-orang di luar sana. Sekalipun Giavanna berhenti dari pekerjaannya ini itu karena orang-orang yang Giavanna kasihi menyakiti hatinya. Seperi anak kecil, Giavanna menyenggol tubuh Justin.
            “Sudahlah, aku tak mungkin berhenti dari perusahaanmu,” goda Giavanna. Mendengar ucapan itu, senyum Justin mengembang tak dapat ditahan lagi. Entah dapat dorongan dari mana, Justin balas menyenggol tubuh Giavanna hingga es krim meleleh di dalam mangkuk Giavanna tumpah ke trotoar. “Kau membuat es krimku tumpah! Demi Tuhan, itu adalah perbuatan paling keji Justin,”
            Justin tertawa. “Ya sudah, ambil saja punyaku. Kau sangat berlebihan,” ucap Justin menyodorkan mangkuk es krimnya pada Giavanna. Perempuan itu menaruh mangkuk miliknya di sebelah bokongnya lalu mengambil es krim Justin. Justin mengembus nafas panjang lagi sambil matanya memerhatikan Giavanna yang sekarang memakan es krimnya.
            “Ternyata kau orang yang menyenangkan, Justin. Senang akhirnya bisa melihatmu santai seperti ini,” ucap Giavanna tersenyum senang.

            “Itu karena kau, Giavanna.” Justin tersenyum sampai menyentuh matanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar