Giavanna
kagum dengan penata rambut di salon ini. Rambut Giavanna yang awalnya kelihatan
kusam sekarang terlihat lebih ..cokelat dan tampak sangat lembut. Pantas saja
rambut Alexander kelihatan sangat mengilau dari jarak jauh. Giavanna melirik
jam tangan yang ia pakai, sudah jam 3
sore dan ia tidak memiliki ponsel di tas kecilnya. Bagaimana bisa Giavanna
melupakan benda terpenting dalam pekerjaannya? Siapa tahu Justin akan
menghubunginya. Dan, ya, kali ini Justin yang menang. Giavanna tak akan
mempunyai bukti jika bertanya-tanya pada Arthur tentang hubungan mereka lagi.
Ponselnya tertinggal di kantor dan mungkin, Justin tidak akan mengambilnya jika
ia datang menjemput mereka berdua di salon. Setelah melihat dirinya dari
pantulan cermin, Giavanna melirik Arthur yang terduduk di atas sofa. Sofa itu
untuk menunggu pelanggan lain keluar atau pria yang sedang menunggu kekasihnya.
Arthur sekarang sudah tampak lebih tampan. Gadis-gadis di luar sana pasti
menyukai Arthur. Rambutnya diberi gel sehingga rambutnya sekarang lebih rapi.
Arthur tampak murung. Mungkin karena
Alexander tak kunjung datang ke salon. Yah, siapa tahu Justin memberitahu
Alexander agar tak datang ke salon karena ada Giavanna di sini. Tentu Alexander
tak ingin pipinya memerah padam akibat malu yang ia dapatkan. Alexander pria
tampan dan kelihatan sangat garang tetapi pergi ke salon? Oh, beri Giavanna
waktu berpikir! Itu sangat konyol dan memalukan. Justin juga tak mungkin ingin
membuat Alexander malu di depan Giavanna secara langsung. Giavanna duduk di
sebelah Arthur lalu mengikuti gaya duduk Arthur. Bibir Arthur mengerucut, kedua
tangannya ia lipat di atas dadanya, lalu ia mendengus.
“Mengapa dad Alex tak datang? Aku
sudah menunggunya, dia sudah berjanji padaku, kau tahu,” dengus kesal. Giavanna
menghela nafas panjang, seolah-olah ia juga kesal mengapa Alexander tak datang
ke salon. “Dan kenapa daddy tak menjemputku sekarang? Aku ingin bermain di
rumah,”
“Ya, aku juga kesal dengan dad
Alexander. Kenapa ia tak datang? Andai ia datang, kita pasti akan
bercerita-cerita tentang ayahmu atau kau di sekolah,” ucap Giavanna mendecak
kesal juga. Arthur hanya menyahut, bibirnya kembali mengerucut kesal. Kepalanya
menyandar di lengan Giavanna. Ia sangat bosan jika harus menunggu seperti ini.
Jika ini sekolah, ia pasti tidak akan bosan karena di sekolah ada arena
permainan. Sedangkan di salon, apa yang bisa Arthur mainkan? Pengering rambut?
Konyol.
“Aku bosan, Gigs,” bisik Arthur
memejamkan mata. Lebih baik ia tidur. “Bangunkan aku kalau daddy sudah datang,”
ucap Arthur memeluk lengan Giavanna. Pegawai-pegawai salon yang melihat Arthur
tersenyum akan kelucuan anak ini. Bahkan beberapa di antara mereka berpikir
Giavanna adalah pacar ayah Justin. Giavanna tak seperti Alexander—orang yang
sering menemani Arthur—jika di salon. Perempuan itu jarang sekali menjawab
pertanyaan orang-orang yang mengurusi rambutnya. Sedangkan Alexander begitu
terbuka. Jiwa Giavanna dan Alexander seolah-olah tertukar. Tidak tahu apa yang
harus dilakukan, Giavanna ikut memejamkan matanya. Mungkin menunggu seperti
orang bodoh sekali-kali tak akan merugikannya.
Entah mengapa saat Giavanna
memejamkan matanya, bayang-bayang wajah Justin muncul. Ia bertanya-tanya apa
yang terjadi pada Justin hari ini. Ia tampak begitu kesal bila ada orang lain
mendekati Giavanna. Tetapi di saat yang sama, Justin sedang menjatuhkan
Giavanna. Sesungguhnya, Giavanna ingin tahu sekali, apa penyakit Justin
sebenarnya? Jika ia gay, Giavanna berusaha untuk menghargainya. Tetapi, apakah
seorang gay berani mengecup bibir perempuan? Kalau dipikir, mereka bisa
mengecup bibir perempuan jika mereka dibayar. Contohnya, pemain film gay harus
berani mencium bibir perempuan jika sutradara meminta ia berciuman. Tetapi
Justin, dengan alibi yang tak masuk akal, ia mengecup bibir Giavanna. Pria itu
sangat membingungkan dan sulit untuk diikuti. Bahkan Giavanna tak pernah
berpikir ia akan bertemu dengan pria serumit ini. Mungkin karena masa lalunya
yang buruk membuat Justin seperti ini. Ia sebenarnya orang yang sangat baik.
Lihat bagaimana cara Justin memperlakukan Alexander, ia tampak sangat
menyayangi kekasihnya. Awal pertemuan mereka, Giavanna menyukai Justin.
Giavanna harus akui itu, tetapi semuanya berubah ketika pria itu bersikap
begitu sombong. Sampai sekarang pun, pria itu masih tetap bersikap sombong.
Lagi pula, mengapa Giavanna begitu
sibuk memikirkan Justin sekarang? Tidak boleh ada asmara di antara mereka!
Justin gay, Giavanna tahu itu. Dan selagi Lance berada di gedung yang sama
dengannya, Giavanna mempunyai harapan untuk mengubah statusnya menjadi ‘dalam
hubungan’ bersama Lance. Pria itu tidak gay. Tadi pagi Giavanna sudah berbisik
pada Lance di ruangan Justin, ia menjawab dengan menggelengkan kepala.
“Hey, apa yang kaulakukan? Ini bukan
hotel,” Seseorang mengejutkan Giavanna. Jantung perempuan itu hampir melompat
keluar dari tubuh. Mata Giavanna terbuka, ia mendapati Justin membungkuk di
hadapannya. Wajah mereka begitu dekat. Pria itu kemudian menegakkan tubuhnya,
kemudian ia menggendong Arthur yang sudah terlelap di lengan Giavanna. Sudah
berapa lama Justin berada di salon? Sungguh memalukan! Orang yang ada dipikiran
Giavanna tiba-tiba muncul dan merusak segalanya. Tanpa mengatakan apa pun,
Justin berjalan menuju pintu keluar. Segera saja Giavanna melompat dari sofa
dan mengikuti langkah kaki pria itu.
“Justin,” panggil Giavanna setelah
keluar dari salon. Tangannya membuka tas kecil yang ia bawa lalu merogoh
isinya. “Kau tahu, aku tidak suka dibayar jika aku tidak mau. Ini uang untuk
salon tadi,” ucap Giavanna mengeluarkan uang dari dalam tas. Justin berhenti
seketika sebelum ia masuk ke dalam limosin. Tubuhnya berbalik ke belakang,
kedua alisnya terangkat. Giavanna menyodorkan uang itu pada Justin, kepalanya
terangguk-angguk seolah-olah Justin adalah pengemis yang menolak untuk diberi
uang.
“Ayo, ambillah. Tidak apa-apa,”
paksa Giavanna melambai-lambaikan uang itu di depan Justin. Pria itu tertawa
sinis. Semiskin itukah Justin hingga Giavanna memberikan uang dari
perusahaannya sendiri? Sulit dipercaya, ini sangat lucu.
“Apa aku terlihat seperti
gelandangan bagimu, Giavanna? Uang yang kukeluarkan untuk salon itu bahkan
tidak masuk dalam pengeluaran uangku. Jadi simpan saja uangmu,” ucap Justin,
sombong. Giavanna mendecak kesal. Ia tak terbiasa dibayarkan jika orang itu
belum memberitahu Giavanna sebelumnya. Melihat tingkah Giavanna seperti ini,
Justin menghela nafas. “Kau tahu apa? Kau simpan saja uang, sebagai ganti telah
membayarmu di salon tadi, aku mau kau ikut aku pergi berjalan kaki setelah
kerja. Bagaimana dengan itu?”
“Kau memang pandai menyulitkan
berbagai hal ya?” Tanya Giavanna melipat kedua tangannya di depan dada. Justin
mengedik bahu, bibirnya bawahnya menyembul.
“Aku tak tahu, Giavanna. Kau yang
tahu aku. Kau selalu benar.” Ucap Justin berbalik memunggungi Giavanna lalu ia
membuka pintu limosin. Seperti Arthur, Giavanna mendengus kesal. Mengapa Justin
pintar sekali mengendalikan keadaan? Pria itu mempunya keahlian hebat yang
merugikan orang lain. Sebagai contoh, Giavanna.
***
Perempuan berambut pirang itu masuk
ke dalam lift. Morgan tahu apa yang Giavanna lakukan selama ini! Perempuan itu
memanfaatkan tubuhnya agar Justin memberikan pekerjaan ringan pada perempuan
itu dan Morgan mendapatkan bagian-bagian yang sulit, lagi. Mengapa akhir-akhir
ini Giavanna tidak kelelahan seperti dulu? Apa ia sudah berani memberikan
tubuhnya pada Justin? Bahkan selama jam makan siang sampai jam 4 sore, ia tak
kunjung muncul. Setibanya ia di gedung RCS Advertisement, ia bersama Justin.
Mata Morgan menatap pintu transparan ruangannya, namun ia tidak mendapat
Giavanna duduk di tempatnya. Pintu lift tertutup tepat ketika ia melihat
dinding ruangan Justin berubah dari buram menjadi abu-abu di balik pintu
transparan itu. Sial! Apa yang mereka berdua lakukan di saat seluruh karyawan
di lantai 9.
Sayangnya, pikiran kotor yang ada di
pikiran Morgan tidak mungkin terjadi. Giavanna sedang menunggu Justin yang
sedang mengerjakan tugasnya di atas kursi, di depan meja Justin. Pria itu
tampan jika ia sedang memfokuskan diri terhadap layar komputer. Pemandangan
yang sangat jarang. Andai saja Justin normal dan memiliki sifat yang baik,
pasti Giavanna sudah jatuh cinta pada pria di hadapannya ini. Sayangnya, pria
itu hanya ada satu di gedung ini. Lance. Pria yang baru saja dikirimi pesan
oleh Giavanna agar berhati-hati di jalan saat pulang. Justin masih tak
mengizinkan Giavanna mengganti gaun ungu itu. Menurutnya, Giavanna sangat
cantik dalam gaun ungu. Malam ini Justin ingin pulang terlambat. Ia ingin
menghabiskan waktu malamnya bersama Giavanna. Untungnya, Giavanna menerima
permintaan Justin yang satu ini. Lagi pula, sejak kapan Giavanna menolak
permintaan Justin? Tidak pernah sepertinya. Bunyi ponsel Giavanna mengejutkan mereka
berdua. Tetapi Justin masih memfokuskan pandangannya pada layar komputer
sementara Giavanna melihat layar ponselnya. Balasan dari Lance. Ah ya ampun,
Giavanna tak percaya pria itu akan membalas pesannya. Lance membalas kalau ia
akan berhati-hati.
Bolehkah
aku menghubungimu malam nanti?, tanya Giavanna mengetik di ponselnya.
Justin melirik Giavanna yang menggigit bibir sambil mengetik di ponsel.
Beberapa detik kemudian, Giavanna mendongakkan kepalanya. Ia melihat
langit-langit ruangan Justin, ia tersenyum-senyum seperti orang gila. Mau tak
mau Justin menahan tawanya. Perempuan ini gila atau apa? Justin mematikan
komputernya lalu ia memerhatikan Giavanna.
“Kau sangat bahagia sekali,
Giavanna? Apa yang terjadi?” Tanya Justin yang tiba-tiba merusak kebahagiaan
Giavanna. Perempuan itu menghela nafas panjang.
“Bukan urusanmu, Richardson.
Sudahlah, ayo kita pergi. Kau bilang kita ingin jalan-jalan? Well, batas waktu
sampai jam 9. Aku memiliki rencana lain setelah jam 9,” ucap Giavanna
seakan-akan ia perempuan super sibuk di dunia ini. Justin hanya memaklumi
perempuan gila ini lalu ia bangkit dari kursinya. Giavanna ikut bangkit dari
tempat duduknya. Akhirnya mereka akan pergi juga dari gedung ini. Sekarang
sudah jam 7, semua orang di gedung sudah pulang sepertinya. Kecuali bagi mereka
yang mengambil waktu lembur. Tangan Justin menarik tangan Giavanna, sontak
Giavanna menarik lepas tangannya. “Hey, apa-apaan! Meskipun orang-orang sudah
pulang, bukan berarti kau bisa memegang tanganku,”
“Oh, maaf. Aku sudah terbiasa
seperti itu pada Alexander jika tidak ada orang-orang yang kami kenal berada di
sekitar,” ucap Justin merasa malu. Ah, mengapa ia melakukan hal itu? Justin
mengutuki dirinya sendiri. Seperti pria jantan lain lakukan, Justin membukakan
pintu ruangannya untuk Giavanna. Perempuan itu melangkah keluar dari ruangan,
begitu juga Justin.
“Apa kau yakin barang-barangku
sampai di apartemen dengan selamat?” Tanya Giavanna melirik meja kerjanya yang
sudah bersih dari barang-barangnya. Justin mengangguk yakin. Kemudian pria itu
kembali memegang tangan Giavanna dan menarik perempuan itu keluar dari ruangan
asistennya. Kali ini Giavanna mendiamkan tangan Justin yang menggenggam
tangannya, mungkin memang sudah kebiasaan Justin memegang tangan orang yang
sudah mengenalnya. “Kemana kita akan pergi?”
“Apa mulutmu memang tak pernah bisa
ditutup, Giavanna Anderson?”
“Aku tak tahu, Mr.Richardson!
Menurutmu bagaimana?” Justin hanya mendesah pasrah.
***
Untuk yang pertama kalinya, Justin
dan Giavanna tak banyak berdebat. Mereka berdua sedang menikmati es krim yang
Justin beli di salah satu penjual es krim di pinggir jalan. Orang-orang yang
tak mengenal mereka pasti berpikir mereka adalah sepasang kekasih. Angin malam
menerpa tubuh Giavanna, membuat gaun yang ia pakai melambai-lambai mengikuti
arah angin. Justin hanya ingin malam ini menjadi malam paling tenang dalam
hidupnya. Tak tahu mengapa Justin memilih Giavanna menjadi pasangannya malam
ini, tetapi perempuan ini tampak jinak. Biasanya ia banyak bicara, kali ini ia
lebih memilih untuk menikmati es krim yang ada di tangannya. Justin melihat
jalanan, kendaraan beroda berlalu lalang selama mereka melewati trotoar. Sama
seperti malam-malam sebelumnya.
Justin merasakan déjà vu.
Lampu-lampu jalanan menyinari jalan raya dan mereka berdua. Posisi Giavanna di
sebelahnya. Saat itu ia merasa pernah melakukan hal ini, tetapi ia tak pernah.
Giavanna mengemut es krimnya lalu ia mendongak melihat Justin yang dari tadi
diam. Entah sampai kapan mereka akan diam seperti ini terus, jika sampai 10
menit ke depan mereka tak bicara, Giavanna terpaksa harus pulang dan menelepon
Lance. Seperti membaca pikiran Giavanna, Justin tiba-tiba membuka mulutnya.
“Giavanna, hari ini harus kuakui kau
sangat cantik dalam gaun ungu itu,” ucap Justin memuji. Tidak ada nada cela
atau mengejek, pria itu benar-benar memuji Giavanna. Well, ini bukan yang
Giavanna harapkan, tetapi terserahlah, mungkin kepala Justin terbentur sesuatu.
“Terima kasih,” bisik Giavanna tak
ingin berdebat. “Apa sekarang aku terlihat seperti Eva?”
“Ya, kau terlihat sangat mirip
dengan Eva,” balas Justin kemudian duduk di pinggiran tembok berpagar yang
menyisakan tempat bokong Justin beristirahat. Mereka duduk di depan rumah
orang. Sekaya apa pun Justin, ternyata ia masih memiliki sifat rendah hati. Mengapa
sikap Justin tak menunjukkan sikapnya yang satu ini dari dulu saja? Itu akan
membuat Giavanna lebih mudah menerima Justin. “Kau memakai gaun yang hampir
sama saat aku menikah dengan Eva,”
“Begitukah? Baiklah, dimana
cincinnya? Aku siap,” canda Giavanna. Justin menundukkan kepalanya sambil
terkekeh pelan. Betapa manisnya pemandangan itu. Ketika Giavanna melihat Justin
tersenyum manis seperti itu, ia tampak sangat normal dan seolah-olah tak ada
masalah yang membebaninya. Bibir Giavanna ikut tersenyum melihat pria itu
terkekeh, sangat jarang Justin tersenyum di hadapannya. Kalaupun Justin
tersenyum, ia tersenyum paksa. Kali ini ia benar-benar tersenyum. Senyum Justin
mungkin senyum terbaik sejauh ini. Dibalik sikap dinginnya di kantor, ia
ternyata memiliki senyum hangat. Ah, Giavanna tak pernah berpikir ia memiliki
hubungan sejauh ini dengan Justin. Beberapa saat kemudian Justin mengembus
nafas panjang.
“Giavanna, mengapa kau lakukan ini
padaku?” Tanya Justin menggeleng kepala. Ia merasa sangat frustrasi tetapi
wajahnya menunjukkan kekaguman. Giavanna tak menjawab, ia tak mengerti. Justin
menatap matanya. Mata cokelat itu tampak terang saat remang-remang seperti ini.
“Maksudmu bagaimana?”
“Kau melakukan hal ini padaku.
Mengancamku dengan foto-foto sialan itu. Hingga akhir-akhir ini aku lebih
banyak menghabiskan waktu bersamamu. Apa kau tak sadar?” Justin bertanya
seolah-olah ia sedang melantur. Apa
Justin mabuk karena es krim yang ia makan? Apa yang terjadi padanya?, pikir
Giavanna. Justin memasukkan satu sendok
es krim ke mulutnya lalu matanya terpejam. Namun telinga Justin tak mendengar
jawaban apa pun dari Giavanna. Mereka diam dengan pikiran mereka sendiri sangat
kontras dengan keributan kendaraan yang berlalu lalang. Orang-orang di luar
sana pasti berpikir apa yang dilakukan Justin adalah tindakan gila. Tentu saja,
bagaimana tidak? Justin berniat ingin berteman dengan musuhnya sendiri. Orang
gila yang sering mengganggunya tiap hari. Harus Justin akui, akhir-akhir ini
hidupnya terasa lebih hidup. Mungkin setelah meninggal ayahnya, tidak ada
orang-orang di sekitarnya yang berani memerintahnya lagi atau mengancamnya.
Tetapi di sinilah Justin sekarang bersama orang gila yang berani mengancamnya.
“Apa yang kau suka, Giavanna? Selama
ini aku tidak pernah tahu apa yang kau sukai, padahal kita selalu menghabiskan
waktu bersama,”
“Tunggu sebentar, Justin. Selama ini
kita menghabiskan waktu bersama? Yang benar saja ! Selama ini kau menghabiskan waktuku hanya untuk mengikuti
perintahmu yang kadang tak masuk akal. Dan aku bingung denganmu sekarang. Kau
sedang merayuku?”
“Merayumu, Giavanna? Tentu tidak.
Aku hanya ingin kita berteman. Bukankah kau yang bilang sendiri? Kita lebih
baik berteman agar kita bisa bersantai,” ucap Justin tulus. Giavanna masih
meragukan sikap Justin sekarang. Mengapa tiba-tiba ia berubah? Tak perlu waktu
lama, Giavanna mengambil es krim yang Justin pegang lalu memasukkan sendoknya
ke sana agar ia mendapatkan satu sendok es krim milik Justin. Ia kemudian
merasakan es krim itu di dalam mulutnya. Tidak ada yang terjadi. Giavanna tidak
tiba-tiba baik pada Justin. Oh, Giavanna sangat bingung. Permainan apa yang
sedang Justin mainkan dengan Giavanna? Mengapa hati pria dingin ini melunak
begitu saja? Apa Alexander hari ini menciumnya? Atau bercumbu dengannya? Justin
melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Giavanna lalu tersenyum.
“Kau pasti berpikir aku gila ya
ingin berteman denganmu? Tapi, serius Giavanna, apa yang kau sukai? Sekedar
ingin tahu. Dan siapa sangka nanti jika kau berulang tahun, aku tahu apa yang
harus kubelikan untukmu,”
“Baiklah, jika kau benar-benar ingin
berteman denganku. Hal yang kusukai…” Giavanna berpikir sejenak, matanya
melihat ke atas, bibirnya mengerucut ke samping. “Aku tak tahu, Justin. Aku
menyukai banyak hal. Aku senang menemani orang lain, mendengarkan orang lain,”
“Seperti sekarang? Kau tahu,
Giavanna, kau wanita yang sangat menarik. Mengapa tidak ada pria yang menarik perhatianmu?
Maksudku, mengapa kau tidak berpacaran? Kau bahkan masih perawan,” ucap Justin
sedikit dengan nada kagum. Namun sikap sombongnya tidak pernah berpisah dari
Justin. Giavanna tak ingin percakapan ini terlalu emosional. Ia tidak ingin
jatuh cinta dengan pria yang tidak mungkin bisa ia miliki. Terlebih lagi,
Justin seorang gay. Giavanna tersenyum menghargai pujian Justin yang tulus. Ini
pertama kalinya Justin memuji Giavanna, pujian yang pernah diberikan pada
Giavanna sebelumnya hanya untuk mengganggu Giavanna.
“Hidupku ini bukan hanya untuk
mencari pasangan hidup. Aku ingin menikmati hidup. Menikah itu perintah Tuhan,
kau tahu itu bukan? Dan orang-orang pasti ingin menikah, mereka ingin memiliki
keturunan. Atau hanya melakukan seks saja. Aku tak tahu. Aku masih muda,
Justin. Masih banyak hal-hal yang bisa kulakukan di luar sana. Perusahaanmu
sebagai awalan,”
“Beritahu aku, Giavanna, kau ingin
pergi kemana? Kita bisa melakukan hal-hal bersama-sama. Misalnya, seperti
sekarang. Selama aku pergi denganmu, aku tidak pernah tidak diam. Kau selalu
membuatku berbicara. Asisten-asistenku sebelumnya, termasuk Morgan, tidak
berbicara denganku di mobil. Kita hanya membahas urusan pekerjaan. Tetapi
denganmu, kau berbeda,”
“Aku tak ingin menjadi salah satu
diantara asisten-asistenmu itu. Mereka terlalu takut padamu, Justin. Mungkin
itu karena aku mengancammu, makanya aku berani menjadi diriku sendiri di
depanmu,” ucap Giavanna tersenyum malu. Justin menggeleng.
“Tidak, bukan karena kau
mengancamku. Sejak awal kau masuk ke ruanganku, jawabanmu yang sederhana
membuatku yakin kau berbeda dari yang lain. Orang-orang menyukaimu karena kau
menjadi diri sendiri, termasuk aku. Dan maafkan aku. Selama ini aku selalu
membuatmu sibuk, bahkan kau sempat sakit karena salahku. Kau pekerja keras,
hanya saja, mulutmu harus ditutup jika itu sudah waktunya. Kau wanita pertama
yang membuatku kagum,”
“Ya, aku mengerti. Selama ini hanya
pria yang membuatmu kagum, bukan? Jadi yah, aku memakluminya,” ucap Giavanna
memakan es krimnya. Justin terkekeh, kepalanya tergeleng tak habis pikir
mengapa perempuan di hadapannya begitu percaya diri. Tetapi apa yang Giavanna
katakan sangat benar. Selama ini Justin hanya terkagum akan pria, tidak dengan
wanita.
“Bisa kau bayangkan jika semua asistenku
seperti Morgan? Wanita kaku yang selalu menuruti perintahku. Oh, pasti hidupku
akan terasa biasa-biasa saja,”
“Semua orang unik, Justin. Kau tahu
itu, bukan? Hanya saja, mereka akan memiliki sikap yang berbeda pada tiap orang
namun masih menunjukkan sifat mereka. Aku bersikap menyebalkan di depanmu
tetapi tidak pada Hailey, namun aku masih menunjukkan sifat asliku. Maksudku,
mengapa menjadi orang lain sementara menjadi dirimu menyenangkan?”
“Keseimbangan,” bisik Justin
menundukkan kepala. “Aku senang kau masuk ke dalam perusahaanku, Giavanna,”
ucap Justin. Dalam hati Justin menarik pengakuan-pengakuannya dulu kalau ia
tidak menyukai Giavanna masuk ke perusahaannya karena ia mirip dengan Eva,
mantan istrinya.
“Aku tidak, Justin,” bisik Giavanna
dengan nada serius. Justin mendongak terkejut.
“Benarkah? Mengapa?” Jantung Justin
berdetak kencang. Ini salahnya! Ia yang membuat Giavanna tak betah berada di
perusahaannya, padahal Giavanna termasuk orang pekerja keras.
“Kau membuatku kewalahan tiap
harinya. Aku ingin berhenti,” ucap Giavanna kali ini membuat jantung Justin
yang berdegup kencang itu berada di mulutnya. Kepala Justin tiba-tiba pening.
Mulutnya terbuka tak percaya. Justin tak tahu apa yang harus ia katakan lagi
pada Giavanna. Ekspresi Justin begitu lucu. Terpaksa Giavanna harus menahan
tawanya. “Yah, maafkan aku Justin, aku harus bilang seperti itu,” lanjut
Giavanna mengembus nafas panjang.
“Tapi aku baru saja ingin berteman
denganmu. Kau baru kepikiran ingin berhenti atau memang selama ini kau ingin
berhenti?” Tanya Justin mendesak ingin dijawab. Giavanna menelan ludahnya.
“Oh ayolah, Justin, kita berdua tahu
di sini aku yang menderita. Meski akhir-akhir ini aku senang kau menderita
karena ancamanku. Memang apa yang terjadi jika aku berhenti?”
“Aku bahkan tak ingin
membayangkannya,” desah Justin memejamkan mata, kedua alisnya saling bertautan.
Seperti sudah bersahabat sejak mereka kecil, Giavanna menepuk-nepuk belakang
kepala Justin dengan pelan. Giavanna tak mungkin berhenti dari pekerjaannya.
Pekerjaan impian orang-orang di luar sana. Sekalipun Giavanna berhenti dari
pekerjaannya ini itu karena orang-orang yang Giavanna kasihi menyakiti hatinya.
Seperi anak kecil, Giavanna menyenggol tubuh Justin.
“Sudahlah, aku tak mungkin berhenti
dari perusahaanmu,” goda Giavanna. Mendengar ucapan itu, senyum Justin
mengembang tak dapat ditahan lagi. Entah dapat dorongan dari mana, Justin balas
menyenggol tubuh Giavanna hingga es krim meleleh di dalam mangkuk Giavanna
tumpah ke trotoar. “Kau membuat es krimku tumpah! Demi Tuhan, itu adalah
perbuatan paling keji Justin,”
Justin tertawa. “Ya sudah, ambil
saja punyaku. Kau sangat berlebihan,” ucap Justin menyodorkan mangkuk es
krimnya pada Giavanna. Perempuan itu menaruh mangkuk miliknya di sebelah
bokongnya lalu mengambil es krim Justin. Justin mengembus nafas panjang lagi
sambil matanya memerhatikan Giavanna yang sekarang memakan es krimnya.
“Ternyata kau orang yang
menyenangkan, Justin. Senang akhirnya bisa melihatmu santai seperti ini,” ucap
Giavanna tersenyum senang.
“Itu karena kau, Giavanna.” Justin
tersenyum sampai menyentuh matanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar