Kendaraan lalu lintas mulai
berkurang. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Saatnya anak-anak tidur sebelum
menikmati akhir pekan. Jumat malam kali ini terasa lebih menyenangkan dari apa
yang Giavanna harapkan. Ia tidak pernah memiliki teman Jumat malam sebelumnya.
Maksudnya, hanya satu orang teman saja, seperti Justin. Dulu sebelum Giavanna
lulus dari kuliahnya, ia sering menghabiskan waktu bersama saat Jumat malam
bersama teman-teman lelakinya, dan tentunya bersama Hailey. Tetapi
teman-temannya pergi menjalani hidup mereka dengan cara masing-masing. Termasuk
Giavanna yang memilih menjadi asisten dari seorang pria yang awalnya kelihatan
begitu dingin dan somong. Namun, malam ini ia tidak mendapati Justin bersikap
dingin padanya, meski sesekali Justin menyombong diri.
Selama berjalan di trotoar menuju
apartemen Giavanna, mereka berdua saling bercanda. Para karyawan Justin pasti
tak akan percaya jika Giavanna bercerita pada mereka kalau Justin sebenarnya
bisa tertawa. Yeah, Justin termasuk orang yang pelit tertawa. Di kantor ia
menganggap segalanya serius, bahkan iklan terlucu sekalipun. Dan di sinilah dia
bersama Giavanna. Saling menyenggol satu sama lain, sesekali Justin hampir
tertabrak mobil karena ia berada di sisi luar trotoar. Tinggal dua blok lagi
mereka akan sampai di apartemen Giavanna. Ah, perjalanan mereka terasa begitu
lambat namun menyenangkan. Mereka menghabiskan kira-kira dua jam di pagar
tempat mereka duduk tadi dan satu kali mengangkat bokong mereka untuk membeli
makanan.
Justin tidak pernah bersikap sebaik
ini pada Giavanna—sikapnya berhasil membuat Giavanna terkejut. Giavanna banyak
menceritakan tentang dirinya pada Justin karena pria itu selalu bertanya-tanya
tentang masa lalunya. Dan tidak sekalipun Giavanna berpikir kalau Justin akan
menjatuhkan Giavanna jika ia menceritakan masa lalunya. Justin
mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar Giavanna menceritakan betapa sulit ia
hidup bersama ibunya yang—sampai meninggal—masih belum bisa menghilangkan rasa
cintanya pada ayah Giavanna. Sangat menyedihkan. Justin tak menduga kehidupan
Giavanna lebih sulit dibanding dirinya. Dan hebatnya, Giavanna cerdas bagaimana
ia menyikapi hidupnya. Justin mendongak setelah ia terus menatap trotoar lalu
menatap lurus mata cokelat Giavanna.
“Dan kau anak satu-satunya. Aku
sungguh menyesal mendengar atas kepergian ibumu,”
“Tidak perlu,” ucap Giavanna. “Ia
meninggal sudah lama,” lanjut Giavanna berusaha menutupi kesedihan serta
kerinduannya pada ibunya.
“Mendengar kisahmu, aku berpikir
mungkin Arthur harus mempunyai adik agar ia tak kesepian jika aku meninggal
atau Alexander meninggal,” ucap Justin cukup berhasil membuat Giavanna ingin
mengeluarkan segala makanan yang telah ia makan tadi. Justin ingin menikahi
Alexander? Oh, yang benar saja! Itu sangat lucu namun juga membingungkan.
Kening Giavanna mengerut.
“Jadi, kau ingin menikahi
Alexander?”
“Aku belum begitu yakin dengan hal
itu. Kemungkinannya besar, aku bisa kapan saja menikahi Alexander jika aku
mau,” ucap Justin santai sementara Giavanna sulit untuk menyikapi apa yang
Justin baru saja Justin katakan. Kemungkinannya besar? Jantung Giavanna
berdebar kencang.
“Kau yakin kau pernah mendengar
berita Injil, Justin?” Tanya Giavanna berusaha tak bertanya dengan nada
mengejek. Tetapi Justin kelihatan tersinggung.
“Demi Tuhan, Giavanna, aku pergi
Sekolah Minggu! Mengapa kau masih tak percaya padaku?” Erang Justin menggeleng
kepala. Reaksi Giavanna hanya terkekeh pelan. Ia hanya bercanda, ia tak pernah
serius jika ia mengejek Justin. Mereka melangkah berbelok ke kanan, tinggal
beberapa langkah lagi mereka sampai di apartemen Giavanna. Mulut Justin
tertutup rapat, lalu ia mendongakkan kepalanya. “Tetapi aku serius dengan apa
yang kukatakan. Aku ingin Arthur memiliki adik agar ia tak kesepian seperti
kita berdua,”
Giavanna diam tak merespon ucapan
Justin. Ia tak tahu apa yang harus ia katakan. Tidak mungkin ia meminta Justin
agar ia tidak menikahi Alexander. Jika Justin benar-benar menikahi Alexander,
Giavanna tak tahu apa yang harus ia perbuat pada Justin. Pria itu sudah menjadi
milik Alexander sepenuhnya. Tentunya, rahasia mereka berdua telah terbongkar.
Tidak ada yang perlu Justin tutup-tutupi lagi. Dan ia akan menjadi gay dan
bangga akan hal itu. Kaki mereka berhenti di depan tangga menuju tangga masuk
gedung apartemen. Giavanna menggigit-gigit pipi bagian dalamnya lalu mendongak.
Terima kasih pada Justin karena ia telah memilih hari ini diantara hari-hari
lain sebagai hari yang menyenangkan bagi Giavanna. Penutupan kali ini akan
diakhiri dengan kecupan pipi. Bibir Giavanna mengecup lembut pipi Justin yang
dimana pria itu sekarang menegang di tempatnya. Oh, ya ampun, sentuhan itu
membakar sekujur tubuh Justin! Tetapi rasanya Justin ingin perempuan itu
melakukannya pada bibir Justin.
“Terima kasih untuk malam ini,
Justin. Kau tak seburuk yang kukira,” ucap Giavanna tersenyum tipis. Justin
mengangguk satu kali, kedua tangannya berada di dalam kantong celana agar ia
tetap kelihatan biasa saja. Padahal jantung Justin sekarang berdegup kencang.
“Ada satu hal yang ingin kuberitahu
padamu, Giavanna, sebelum kau naik ke atas,”
“Apa itu?” Tanya Giavanna mengangkat
kedua alisnya, tanda tertarik. Justin menarik nafas tajam lalu mengembuskan
dengan perlahan. Ah, ini dia yang akan ia beritahu pada Giavanna. Apakah
Giavanna akan lari atau malah akan memeluknya? Justin lebih memilih untuk tak
memberitahu gadis itu. Sialan. Rasanya begitu susah memberitahu hal yang satu
ini. Karena adalah satu-satunya rahasia yang tidak pernah diketahui oleh siapa
pun selain dirinya. Dan dengan bodohnya, Justin memilih Giavanna sebagai orang
pertama yang tahu. Seseorang yang mengancamnya akan membongkar rahasia bahwa ia
gay. Kemudian Justin menggeleng kepalanya.
“Kita berdua tahu besok kita
memiliki waktu luang. Jika kau tak keberatan, besok aku ingin mengajakmu lari
pagi bersama Arthur, maukah kau? Itu kebiasaan rutin kami tiap hari Sabtu. Dan
sepertinya, menyenangkan jika kau mau bergabung dengan kami,” ucap Justin yang
ternyata hanya menawarkan kesenangan esok hari. Giavanna mengangguk setuju.
Setidaknya, Justin tidak memilih waktu malam. Giavanna berjaga-jaga, siapa tahu
saja Lance mengajaknya pergi kencan besok malam. Tetapi kemungkinannya begitu
kecil.
“Tentu saja aku mau. Di taman tengah
kota? Jam berapa?”
“7 pagi. Aku dan Arthur akan memakai
pakaian berwarna abu-abu,”
“Well, aku akan memakai pakaian berwarna
merah muda—karena hanya itu satu-satunya pakaian olahraga yang kupunya.”
“Tentu.” Bisik Justin. “Semoga acara
teleponmu dengan Lance berhasil. Aku pulang, Arthur pasti sudah mencariku.”
“Ya, kau lakukan itu.”
“Sampai jumpa.” Ucap Justin melambaikan
tangannya ketika Giavanna melangkah menuju pintu gedung apartemennya.
“Sampai jumpa, Justin.” Lidah
Giavanna membelai nama Justin begitu baik sampai tubuh Justin merinding.
Giavanna berbalik tersenyum pada Justin sebelum ia masuk ke dalam gedung. Tanpa
Justin sadari, senyum manisnya juga muncul membalas Giavanna. Perempuan itu
menghilang di balik pintu besar itu. Alih-alih Justin merasa kehilangan.
***
Perempuan bermata cokelat itu
mengerling seperti anak sekolahan yang menelepon kekasihnya. Ia seperti
perempuan lainnya, melilitkan rambutnya pada jari telunjuk sambil sesekali
menggigit bibir agar dapat menahan perasaan girangnya. Bagaimana bisa seorang yang
baru saja ia temui dua hari yang lalu dapat membuatnya kegirangan seperti ini? Oh, Lance, betapa seksinya suaramu. Giavanna
sedang keasyikan berbicara dengan Lance di telepon, untungnya Justin
mengingatkan Giavanna sebelum mereka berpisah tadi, sehingga sekarang ia dapat
mendengar suara Lance yang terdengar begitu seksi melalui telepon. Dan benar
saja dugaan Giavanna, pria itu mengajaknya jalan-jalan hari Minggu nanti untuk
makan malam. Itu berarti ia harus meminta Hailey mendandaninya.
Pria itu kemudian memutuskan telepon
mereka. Meninggalkan Giavanna yang masih tersenyum-senyum sendiri tanpa
menyahut ketika pria itu mengucapkan selamat malam yang manis. Oh, andai saja
sudah sejak dulu Giavanna diperlakukan manis seperti ini. Pasti lika-liku
kehidupan Giavanna akan lebih berwarna. Sayangnya, Tuhan lebih setuju jika
Giavanna mendapatkan satu-satunya
diumurnya yang kedua puluh tiga. Mereka berdua telah berbicara selama kira-kira
dua jam setelah Giavanna menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ponsel Giavanna
berdering satu kali, tanda pesan masuk. Segera Giavanna mengecek dengan senyum
yang masih menghiasi bibirnya.
Jika kau punya waktu kosong besok malam, aku ingin
mengajakmu makan malam berdua. -Justin
Jantung Giavanna semakin
berdegup kencang. Pesan itu ternyata bukan dari Lance, melainkan pria yang baru
saja menghabiskan waktu bersama dengannya. Bagaimana Justin bisa mengirim pesan
pada Giavanna sementara ponselnya telah ia buang tadi siang di parkiran sekolah
Arthur? Dan bagaimana bisa Justin mendapat nomor telepon Giavanna? Apa ia
mengingatnya? Tak ingin memperdalam pikirannya, Giavanna segera membalas pesan
Justin.
Bagaimana bisa aku yakin kalau kau adalah Justin?
Giavanna menekan tombol kirim lalu
menunggu balasan dari Justin. Nada dering di ponselnya berbeda. Kali ini
seseorang yang meneleponnya. Segera Giavanna mengangkat telepon itu lalu
mendekatkan ponselnya ke telinga.
“Jadi, apa kau punya waktu kosong
besok? Aku ingin makan malam denganmu,” suara maskulin Justin terdengar
memenuhi telinga Giavanna. Senyum Giavanna kali ini lebih lebar dibanding ia
menelepon dengan Lance tadi. Dua pria telah menawari Giavanna makan malam
bersama. Meski salah satunya adalah pria gay, tetapi untuk apa Giavanna peduli
dengan kelainan Justin itu? Makan gratis ditambah pemandangan itu termasuk
anugerah dari Tuhan. Giavanna bercanda pada diri sendiri.
“Baiklah. Aku tak ingin bertanya
mengapa kau bisa mendapat ponsel secepat ini.”
“Aku punya banyak ponsel, Giavanna,
kau tak perlu khawatir. Aku pasti bisa menghubungimu kapan pun yang kumau.
Kujemput kau jam setengah 7 di depan apartemenmu. Berdandanlah yang cantik.”
Dengan ketidaksopanan, Justin menutup teleponnya. Jadi, itu adalah percakapan
terakhirnya dengan Justin malam ini? Giavanna mengedik bahu. Setidaknya besok
ia akan memiliki waktu bersama lagi dengan Justin. Pria yang awalnya dingin itu
akhirnya melunak di tangan Giavanna. Pria yang sekarang dapat tersenyum manis
pada Giavanna. Dan senyum itu tulus.
Atau bisa disebut; anugerah Tuhan
paling indah.
***
Tak bisa dipungkiri lagi, Giavanna
tampak sangat seksi dengan pakaian olahraga yang ia pakai pagi itu. Justin
terkejut dengan kecantikannya. Seorang wanita yang mengikat rambutnya ekor
kuda, celana yoga berwarna hitam dan jaket berwarna merah muda di bagian
atasnya? Perpaduan yang sangat pas untuk seorang Giavanna. Taman tengah kota
Atlanta dipenuhi oleh orang-orang yang berniat mengubah bentuk tubuhnya atau
hanya sekedar menyehatkan tubuh. Beberapa diantaranya membawa anjing. Janji
Justin yang akan membawa Arthur ternyata hanya bualan semata. Anak kecil yang
menggemaskan itu tidak bersama Justin sekarang. Anak kecil itu lebih memilih
memejamkan matanya lebih lama lagi di akhir pekan.
Kepala Giavanna menggeleng tak habis
pikir pada Justin, lalu mendesah. “Kau benar-benar sialan, Justin. Kau tahu,
aku tak akan menolakmu meski kau tidak mengajak Arthur,” ucap Giavanna ketika
ia dan Justin mulai berlari di sekitar jalanan taman. Untung saja Giavanna
memakai jaket dan tidak memakai baju ketat yang seksi. Jika ya, pemandangan
gratis bagi para pria mesum di luar sana akan terekspos secara bebas. Justin
tidak ingin itu terjadi—yang akan membuat hatinya panas.
“Aku tak berbohong padamu, Giavanna.
Kemarin malam ia bilang ia ingin lari pagi denganmu jadi aku menawarimu.
Paginya ia merengek untuk tak dibangunkan. Jadi, sebagai ayah yang tak tegaan,
aku tidak membangunkan Arthur,”
“Alasan klasik. Tapi terserahlah,
setidaknya aku memakai pakaian yang benar,” ucap Giavanna tanpa menatap Justin.
Pria itu memakai celana pendek berwarna hitam dengan atasan kaos berwarna
abu-abu dan bandana abu-abu melingkar di keningnya. Sama sekali tidak kelihatan
gay.
“Ya, terima kasih Tuhan akan hal
itu. Aku tak ingin mereka semua muntah melihat kulitmu terbuka di tempat umum,”
“Ha. Terima kasih pujiannya,
Mr.Richardson. Kau juga tampak sangat tampan dengan pakaian itu. Terutama di
bagian tengah celana hitammu. Sungguh terbentuk. Kau sedang berusaha
membangkitkan gairah para pria di sini?” Balas Giavanna mengejek.
“Ah, kau sangat lucu, Ms. Anderson.
Bilang saja kau tertarik dengan bagian bawahku ini. Gadis-gadis yang dulu
bersamaku pernah menyentuh ini. Kau
tidak ingin menjadi salah satu diantaranya?”
“Aku yakin kau pernah disentuh di
bagian itu-mu Justin. Tetapi tidak
terima kasih, Justin. Aku tak ingin terkena sakit kusta hanya karena kontak
kulit denganmu,” hinaan Giavanna semakin parah dan cukup menyinggung Justin
yang sungguh bersih.
“Perlu kau tahu, Giavanna, aku
termasuk pria yang suka kebersihan. Dan aku yakin, kau pasti ingin terus
memegang bagian bawahku. Satu kali, Eva pernah memberikanku servis terbaiknya.
Aku tak percaya ia bisa memberikan hal itu padaku, tetapi ia satu-satunya
perempuan yang melakukannya. Kau tak tertarik menjadi yang kedua?”
“Servis terbaik? Tertarik menjadi
yang kedua? Pertama-tama Justin, aku masih tak yakin bagian bawahmu tak pernah disentuh
oleh laki-laki. Kedua, sungguh Justin, banyak model di luar sana ingin memberi
servis padamu, tetapi aku sungguh yakin mereka akan muntah setelah mereka tahu
kalau ternyata kau gay,”
“Whoop, hati-hati. Ini tempat umum,”
ucap Justin melihat ke sekeliling. “Dan oh ternyata aku lupa. Kau masih
perawan. Tentu kau tidak tahu bagaimana cara memuaskan pria. Setidaknya,
Giavanna, meski aku seorang gay, aku pernah berhubungan seks dengan lawan
jenis,”
“Itu karena kau menikah dengan
perempuan! Bagaimana jika kau dibiarkan menjadi gay? Aku yakin pasti …” suara
Giavanna menghilang. “Lubang yang kau punya pasti pernah diterobos sesuatu.”
Kata-kata yang Giavanna pilih benar-benar berhasil membuat Justin tertawa
terbahak-bahak. Bahkan berhenti berlari. Sungguh, Justin sangat terhibur.
“Lubang, ya Tuhan, lubang. Bagaimana
denganmu? Apa punyamu pernah diterobos masuk?”
“Apa percakapan mesum ini akan
segera berakhir?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar