Sabtu, 28 Juni 2014

Perfect Time Bab 12


            Kendaraan lalu lintas mulai berkurang. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Saatnya anak-anak tidur sebelum menikmati akhir pekan. Jumat malam kali ini terasa lebih menyenangkan dari apa yang Giavanna harapkan. Ia tidak pernah memiliki teman Jumat malam sebelumnya. Maksudnya, hanya satu orang teman saja, seperti Justin. Dulu sebelum Giavanna lulus dari kuliahnya, ia sering menghabiskan waktu bersama saat Jumat malam bersama teman-teman lelakinya, dan tentunya bersama Hailey. Tetapi teman-temannya pergi menjalani hidup mereka dengan cara masing-masing. Termasuk Giavanna yang memilih menjadi asisten dari seorang pria yang awalnya kelihatan begitu dingin dan somong. Namun, malam ini ia tidak mendapati Justin bersikap dingin padanya, meski sesekali Justin menyombong diri.
            Selama berjalan di trotoar menuju apartemen Giavanna, mereka berdua saling bercanda. Para karyawan Justin pasti tak akan percaya jika Giavanna bercerita pada mereka kalau Justin sebenarnya bisa tertawa. Yeah, Justin termasuk orang yang pelit tertawa. Di kantor ia menganggap segalanya serius, bahkan iklan terlucu sekalipun. Dan di sinilah dia bersama Giavanna. Saling menyenggol satu sama lain, sesekali Justin hampir tertabrak mobil karena ia berada di sisi luar trotoar. Tinggal dua blok lagi mereka akan sampai di apartemen Giavanna. Ah, perjalanan mereka terasa begitu lambat namun menyenangkan. Mereka menghabiskan kira-kira dua jam di pagar tempat mereka duduk tadi dan satu kali mengangkat bokong mereka untuk membeli makanan.
            Justin tidak pernah bersikap sebaik ini pada Giavanna—sikapnya berhasil membuat Giavanna terkejut. Giavanna banyak menceritakan tentang dirinya pada Justin karena pria itu selalu bertanya-tanya tentang masa lalunya. Dan tidak sekalipun Giavanna berpikir kalau Justin akan menjatuhkan Giavanna jika ia menceritakan masa lalunya. Justin mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar Giavanna menceritakan betapa sulit ia hidup bersama ibunya yang—sampai meninggal—masih belum bisa menghilangkan rasa cintanya pada ayah Giavanna. Sangat menyedihkan. Justin tak menduga kehidupan Giavanna lebih sulit dibanding dirinya. Dan hebatnya, Giavanna cerdas bagaimana ia menyikapi hidupnya. Justin mendongak setelah ia terus menatap trotoar lalu menatap lurus mata cokelat Giavanna.
            “Dan kau anak satu-satunya. Aku sungguh menyesal mendengar atas kepergian ibumu,”
            “Tidak perlu,” ucap Giavanna. “Ia meninggal sudah lama,” lanjut Giavanna berusaha menutupi kesedihan serta kerinduannya pada ibunya.
            “Mendengar kisahmu, aku berpikir mungkin Arthur harus mempunyai adik agar ia tak kesepian jika aku meninggal atau Alexander meninggal,” ucap Justin cukup berhasil membuat Giavanna ingin mengeluarkan segala makanan yang telah ia makan tadi. Justin ingin menikahi Alexander? Oh, yang benar saja! Itu sangat lucu namun juga membingungkan. Kening Giavanna mengerut.
            “Jadi, kau ingin menikahi Alexander?”
            “Aku belum begitu yakin dengan hal itu. Kemungkinannya besar, aku bisa kapan saja menikahi Alexander jika aku mau,” ucap Justin santai sementara Giavanna sulit untuk menyikapi apa yang Justin baru saja Justin katakan. Kemungkinannya besar? Jantung Giavanna berdebar kencang.
            “Kau yakin kau pernah mendengar berita Injil, Justin?” Tanya Giavanna berusaha tak bertanya dengan nada mengejek. Tetapi Justin kelihatan tersinggung.
            “Demi Tuhan, Giavanna, aku pergi Sekolah Minggu! Mengapa kau masih tak percaya padaku?” Erang Justin menggeleng kepala. Reaksi Giavanna hanya terkekeh pelan. Ia hanya bercanda, ia tak pernah serius jika ia mengejek Justin. Mereka melangkah berbelok ke kanan, tinggal beberapa langkah lagi mereka sampai di apartemen Giavanna. Mulut Justin tertutup rapat, lalu ia mendongakkan kepalanya. “Tetapi aku serius dengan apa yang kukatakan. Aku ingin Arthur memiliki adik agar ia tak kesepian seperti kita berdua,”
            Giavanna diam tak merespon ucapan Justin. Ia tak tahu apa yang harus ia katakan. Tidak mungkin ia meminta Justin agar ia tidak menikahi Alexander. Jika Justin benar-benar menikahi Alexander, Giavanna tak tahu apa yang harus ia perbuat pada Justin. Pria itu sudah menjadi milik Alexander sepenuhnya. Tentunya, rahasia mereka berdua telah terbongkar. Tidak ada yang perlu Justin tutup-tutupi lagi. Dan ia akan menjadi gay dan bangga akan hal itu. Kaki mereka berhenti di depan tangga menuju tangga masuk gedung apartemen. Giavanna menggigit-gigit pipi bagian dalamnya lalu mendongak. Terima kasih pada Justin karena ia telah memilih hari ini diantara hari-hari lain sebagai hari yang menyenangkan bagi Giavanna. Penutupan kali ini akan diakhiri dengan kecupan pipi. Bibir Giavanna mengecup lembut pipi Justin yang dimana pria itu sekarang menegang di tempatnya. Oh, ya ampun, sentuhan itu membakar sekujur tubuh Justin! Tetapi rasanya Justin ingin perempuan itu melakukannya pada bibir Justin.
            “Terima kasih untuk malam ini, Justin. Kau tak seburuk yang kukira,” ucap Giavanna tersenyum tipis. Justin mengangguk satu kali, kedua tangannya berada di dalam kantong celana agar ia tetap kelihatan biasa saja. Padahal jantung Justin sekarang berdegup kencang.
            “Ada satu hal yang ingin kuberitahu padamu, Giavanna, sebelum kau naik ke atas,”
            “Apa itu?” Tanya Giavanna mengangkat kedua alisnya, tanda tertarik. Justin menarik nafas tajam lalu mengembuskan dengan perlahan. Ah, ini dia yang akan ia beritahu pada Giavanna. Apakah Giavanna akan lari atau malah akan memeluknya? Justin lebih memilih untuk tak memberitahu gadis itu. Sialan. Rasanya begitu susah memberitahu hal yang satu ini. Karena adalah satu-satunya rahasia yang tidak pernah diketahui oleh siapa pun selain dirinya. Dan dengan bodohnya, Justin memilih Giavanna sebagai orang pertama yang tahu. Seseorang yang mengancamnya akan membongkar rahasia bahwa ia gay. Kemudian Justin menggeleng kepalanya.
            “Kita berdua tahu besok kita memiliki waktu luang. Jika kau tak keberatan, besok aku ingin mengajakmu lari pagi bersama Arthur, maukah kau? Itu kebiasaan rutin kami tiap hari Sabtu. Dan sepertinya, menyenangkan jika kau mau bergabung dengan kami,” ucap Justin yang ternyata hanya menawarkan kesenangan esok hari. Giavanna mengangguk setuju. Setidaknya, Justin tidak memilih waktu malam. Giavanna berjaga-jaga, siapa tahu saja Lance mengajaknya pergi kencan besok malam. Tetapi kemungkinannya begitu kecil.
            “Tentu saja aku mau. Di taman tengah kota? Jam berapa?”
            “7 pagi. Aku dan Arthur akan memakai pakaian berwarna abu-abu,”
            “Well, aku akan memakai pakaian berwarna merah muda—karena hanya itu satu-satunya pakaian olahraga yang kupunya.”
            “Tentu.” Bisik Justin. “Semoga acara teleponmu dengan Lance berhasil. Aku pulang, Arthur pasti sudah mencariku.”
            “Ya, kau lakukan itu.”
            “Sampai jumpa.” Ucap Justin melambaikan tangannya ketika Giavanna melangkah menuju pintu gedung apartemennya.
            “Sampai jumpa, Justin.” Lidah Giavanna membelai nama Justin begitu baik sampai tubuh Justin merinding. Giavanna berbalik tersenyum pada Justin sebelum ia masuk ke dalam gedung. Tanpa Justin sadari, senyum manisnya juga muncul membalas Giavanna. Perempuan itu menghilang di balik pintu besar itu. Alih-alih Justin merasa kehilangan.

***

            Perempuan bermata cokelat itu mengerling seperti anak sekolahan yang menelepon kekasihnya. Ia seperti perempuan lainnya, melilitkan rambutnya pada jari telunjuk sambil sesekali menggigit bibir agar dapat menahan perasaan girangnya. Bagaimana bisa seorang yang baru saja ia temui dua hari yang lalu dapat membuatnya kegirangan seperti ini? Oh, Lance, betapa seksinya suaramu. Giavanna sedang keasyikan berbicara dengan Lance di telepon, untungnya Justin mengingatkan Giavanna sebelum mereka berpisah tadi, sehingga sekarang ia dapat mendengar suara Lance yang terdengar begitu seksi melalui telepon. Dan benar saja dugaan Giavanna, pria itu mengajaknya jalan-jalan hari Minggu nanti untuk makan malam. Itu berarti ia harus meminta Hailey mendandaninya.
            Pria itu kemudian memutuskan telepon mereka. Meninggalkan Giavanna yang masih tersenyum-senyum sendiri tanpa menyahut ketika pria itu mengucapkan selamat malam yang manis. Oh, andai saja sudah sejak dulu Giavanna diperlakukan manis seperti ini. Pasti lika-liku kehidupan Giavanna akan lebih berwarna. Sayangnya, Tuhan lebih setuju jika Giavanna mendapatkan satu-satunya diumurnya yang kedua puluh tiga. Mereka berdua telah berbicara selama kira-kira dua jam setelah Giavanna menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ponsel Giavanna berdering satu kali, tanda pesan masuk. Segera Giavanna mengecek dengan senyum yang masih menghiasi bibirnya.
            Jika kau punya waktu kosong besok malam, aku ingin mengajakmu makan malam berdua. -Justin
            Jantung Giavanna semakin berdegup kencang. Pesan itu ternyata bukan dari Lance, melainkan pria yang baru saja menghabiskan waktu bersama dengannya. Bagaimana Justin bisa mengirim pesan pada Giavanna sementara ponselnya telah ia buang tadi siang di parkiran sekolah Arthur? Dan bagaimana bisa Justin mendapat nomor telepon Giavanna? Apa ia mengingatnya? Tak ingin memperdalam pikirannya, Giavanna segera membalas pesan Justin.
            Bagaimana bisa aku yakin kalau kau adalah Justin?
            Giavanna menekan tombol kirim lalu menunggu balasan dari Justin. Nada dering di ponselnya berbeda. Kali ini seseorang yang meneleponnya. Segera Giavanna mengangkat telepon itu lalu mendekatkan ponselnya ke telinga.
            “Jadi, apa kau punya waktu kosong besok? Aku ingin makan malam denganmu,” suara maskulin Justin terdengar memenuhi telinga Giavanna. Senyum Giavanna kali ini lebih lebar dibanding ia menelepon dengan Lance tadi. Dua pria telah menawari Giavanna makan malam bersama. Meski salah satunya adalah pria gay, tetapi untuk apa Giavanna peduli dengan kelainan Justin itu? Makan gratis ditambah pemandangan itu termasuk anugerah dari Tuhan. Giavanna bercanda pada diri sendiri.
            “Baiklah. Aku tak ingin bertanya mengapa kau bisa mendapat ponsel secepat ini.”
            “Aku punya banyak ponsel, Giavanna, kau tak perlu khawatir. Aku pasti bisa menghubungimu kapan pun yang kumau. Kujemput kau jam setengah 7 di depan apartemenmu. Berdandanlah yang cantik.” Dengan ketidaksopanan, Justin menutup teleponnya. Jadi, itu adalah percakapan terakhirnya dengan Justin malam ini? Giavanna mengedik bahu. Setidaknya besok ia akan memiliki waktu bersama lagi dengan Justin. Pria yang awalnya dingin itu akhirnya melunak di tangan Giavanna. Pria yang sekarang dapat tersenyum manis pada Giavanna. Dan senyum itu tulus.
            Atau bisa disebut; anugerah Tuhan paling indah.
             
***

            Tak bisa dipungkiri lagi, Giavanna tampak sangat seksi dengan pakaian olahraga yang ia pakai pagi itu. Justin terkejut dengan kecantikannya. Seorang wanita yang mengikat rambutnya ekor kuda, celana yoga berwarna hitam dan jaket berwarna merah muda di bagian atasnya? Perpaduan yang sangat pas untuk seorang Giavanna. Taman tengah kota Atlanta dipenuhi oleh orang-orang yang berniat mengubah bentuk tubuhnya atau hanya sekedar menyehatkan tubuh. Beberapa diantaranya membawa anjing. Janji Justin yang akan membawa Arthur ternyata hanya bualan semata. Anak kecil yang menggemaskan itu tidak bersama Justin sekarang. Anak kecil itu lebih memilih memejamkan matanya lebih lama lagi di akhir pekan.
            Kepala Giavanna menggeleng tak habis pikir pada Justin, lalu mendesah. “Kau benar-benar sialan, Justin. Kau tahu, aku tak akan menolakmu meski kau tidak mengajak Arthur,” ucap Giavanna ketika ia dan Justin mulai berlari di sekitar jalanan taman. Untung saja Giavanna memakai jaket dan tidak memakai baju ketat yang seksi. Jika ya, pemandangan gratis bagi para pria mesum di luar sana akan terekspos secara bebas. Justin tidak ingin itu terjadi—yang akan membuat hatinya panas.
            “Aku tak berbohong padamu, Giavanna. Kemarin malam ia bilang ia ingin lari pagi denganmu jadi aku menawarimu. Paginya ia merengek untuk tak dibangunkan. Jadi, sebagai ayah yang tak tegaan, aku tidak membangunkan Arthur,”
            “Alasan klasik. Tapi terserahlah, setidaknya aku memakai pakaian yang benar,” ucap Giavanna tanpa menatap Justin. Pria itu memakai celana pendek berwarna hitam dengan atasan kaos berwarna abu-abu dan bandana abu-abu melingkar di keningnya. Sama sekali tidak kelihatan gay.
            “Ya, terima kasih Tuhan akan hal itu. Aku tak ingin mereka semua muntah melihat kulitmu terbuka di tempat umum,”
            “Ha. Terima kasih pujiannya, Mr.Richardson. Kau juga tampak sangat tampan dengan pakaian itu. Terutama di bagian tengah celana hitammu. Sungguh terbentuk. Kau sedang berusaha membangkitkan gairah para pria di sini?” Balas Giavanna mengejek.
            “Ah, kau sangat lucu, Ms. Anderson. Bilang saja kau tertarik dengan bagian bawahku ini. Gadis-gadis yang dulu bersamaku pernah menyentuh ini. Kau tidak ingin menjadi salah satu diantaranya?”
            “Aku yakin kau pernah disentuh di bagian itu-mu Justin. Tetapi tidak terima kasih, Justin. Aku tak ingin terkena sakit kusta hanya karena kontak kulit denganmu,” hinaan Giavanna semakin parah dan cukup menyinggung Justin yang sungguh bersih.
            “Perlu kau tahu, Giavanna, aku termasuk pria yang suka kebersihan. Dan aku yakin, kau pasti ingin terus memegang bagian bawahku. Satu kali, Eva pernah memberikanku servis terbaiknya. Aku tak percaya ia bisa memberikan hal itu padaku, tetapi ia satu-satunya perempuan yang melakukannya. Kau tak tertarik menjadi yang kedua?”
            “Servis terbaik? Tertarik menjadi yang kedua? Pertama-tama Justin, aku masih tak yakin bagian bawahmu tak pernah disentuh oleh laki-laki. Kedua, sungguh Justin, banyak model di luar sana ingin memberi servis padamu, tetapi aku sungguh yakin mereka akan muntah setelah mereka tahu kalau ternyata kau gay,”
            “Whoop, hati-hati. Ini tempat umum,” ucap Justin melihat ke sekeliling. “Dan oh ternyata aku lupa. Kau masih perawan. Tentu kau tidak tahu bagaimana cara memuaskan pria. Setidaknya, Giavanna, meski aku seorang gay, aku pernah berhubungan seks dengan lawan jenis,”
            “Itu karena kau menikah dengan perempuan! Bagaimana jika kau dibiarkan menjadi gay? Aku yakin pasti …” suara Giavanna menghilang. “Lubang yang kau punya pasti pernah diterobos sesuatu.” Kata-kata yang Giavanna pilih benar-benar berhasil membuat Justin tertawa terbahak-bahak. Bahkan berhenti berlari. Sungguh, Justin sangat terhibur.
            “Lubang, ya Tuhan, lubang. Bagaimana denganmu? Apa punyamu pernah diterobos masuk?”

            “Apa percakapan mesum ini akan segera berakhir?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar