Sabtu, 28 Juni 2014

Perfect Time Bab 13


            Tumit Giavanna menghentak-hentak cepat di atas lantai kamar tidurnya. Jam masih menunjukkan pukul setengah 6 sore, tetapi kegugupannya sudah datang lebih dulu. Nanti malam ia akan makan bersama dengan Justin, menghabiskan waktu bersama—hanya berdua—untuk yang kedua kalinya. Sebelumnya Giavanna tidak memikirkan konsekuensinya. Apa yang akan dilakukan Alexander padanya jika Alexander tahu bahwa pacarnya mengajak orang lain makan malam bersam tanpa sepengetahuannya? Lutut Giavanna naik-turun tiap kali tumitnya menghentak lantai. Ia tak pernah segugup ini seumur hidupnya. Apa Giavanna terlalu mendalami perasaannya ketika bersama Justin kemarin? Giavanna menggeleng kepala. Tidak, tidak, tidak. Tidak mungkin ia gugup karena seorang Justin Richardson. Pria itu bukanlah orang pertama yang mengajak Giavanna makan malam bersama. Well, Lance-lah yang orang pertama yang mengajak Giavanna makan malam bersama sebelum Justin.
            Giavannya bertanya-tanya, topik pembicaraan ringan apa yang cocok untuk dibicarakan selama mereka di restoran dan selama perjalanan pulang? Bagaimana caranya agar pipi Giavanna tak bersemu merah tiap kali Justin mengutarakan pujian padanya? Bagaimana caranya agar Giavanna tak menggigit pipi bagian dalamnya tiap kali ia tak sadar bahwa ia sedang gugup? Sialan. Giavanna tak pernah segugup ini sebelumnya. Ia tersentak hampir jatuh dari kursi meja riasnya ketika pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Hailey muncul bersama dengan tas kecil berisikan alat-alat rias wajah untuk Giavanna. Setelah satu minggu lebih ditinggal Liam—mantan pacar brengseknya—baru sore ini ia melihat Hailey tersenyum sumringah. Melihat Hailey tersenyum membuat Giavanna teringat akan lukisan-lukisan Hailey yang indah di ruang tamu. Baru-baru ini Hailey melukis perasaan hatinya dan dengan menakjubkan, lukisan-lukisannya itu laku dalam waktu tiga hari. Itu membuat Hailey dapat membeli pakaian-pakaian baru khusus ibu hamil. Seperti pakaian panjang yang ia pakai sekarang, ia sudah tampak lebih dewasa jika seperti ini.
            “Sudah kubilang padamu, Giavanna, kau akan tertarik pada Justin. Dan lihatlah sekarang, kau memintaku untuk merias wajahmu untuk membuat Justin tergila-gila padamu. Apa ia pernah memintamu untuk berhubungan badan?” Tanya Hailey yang sedang mengeluarkan alat-alat rias itu dari tasnya dan merapikannya di atas meja rias Giavanna. Andai Hailey tahu kelainan Justin, sudah pasti Hailey takkan percaya jika Justin mengajaknya pergi makan malam berdua. Giavanna belum menjawab ketika ia mengangkat bokongnya dari atas kursi meja rias menuju tempat tidur.
            “Ini hanya sekedar ajakan makan malam biasa, Hailey. Tidak ada yang spesial. Lagi pula, Justin tidak mungkin tergila-gila padaku. Aku hanya ingin bersikap formal. Ia yang menekankan bahwa tidak boleh ada hubungan asmara antar karyawan,”
            “Pertama, dia bukan karyawan. Dia atasanmu, bosmu. Jadi terserah dia apa ia ingin mengajakmu kencan atau tidak. Bangun, Giavanna,”—Hailey menjentikkan jarinya—“ini dunia nyata. Sudah banyak kasus bos dan asisten bersetubuh di kantor. Dan makan malam adalah awal dari hubunganmu dengannya. Dan lagi, ia masih lajang. Untuk apa kau buang-buang waktu mencari pria lain di luar sana? Ikuti saja alur Justin, maka kau tahu dimana kau akan berada kelak,” jelas Hailey sambil masih merapikan alat-alat riasnya lalu kemudian ia menarik kursi meja rias Giavanna agar lebih dekat dengan Giavanna kemudian mengambil foundation untuk wajah temannya. Giavanna memejamkan mata.
            “Entahlah, Hailey. Untuk sekarang, aku hanya menganggap makan malam sebagai makan malam biasa. Aku ingin memulai hubungan pertamaku dengan Lance.” ucap Giavanna mengedik bahu. Alasan itu bukanlah alasan utama mengapa Giavanna tak ingin menjalani hubungan asmara dengan Justin. Hailey tidak tahu apa yang ia bicarakan. Sahabatnya tak tahu jenis kelamin yang dapat membuat Justin tertarik. Sulit membuat Justin tertarik pada Giavanna jika mengingat apa yang telah mereka berdua lalui bersama—berpelukan di lift, menggoda Giavanna di labirin, kecupan di bibir saat di hotel, meminta Giavanna menjadi model untuk iklan dan berakhir dengan cara memalukan, memintanya jalan-jalan bersama di Jumat malam dan terakhir mengajak Giavanna makan malam bersama. Apa yang dapat Giavanna lakukan agar Justin dapat jatuh cinta padanya? Tidak ada. Dan untuk apa Giavanna membuat Justin jatuh cinta? Dan sialnya, mengapa Giavanna memikirkan hal-hal manis bersama Justin? Ini bukan Giavanna!
            Matanya terbuka setelah Hailey selesai memakaikannya foundation. Melihat tangan Hailey yang mulai mengambil pewarna kelopak mata berwarna biru, Giavanna langsung menahn tangan sahabatnya.
            “Aku ingin tetap terlihat natural,” ucapnya pelan.
            “Baiklah, jika kau meminta,” ujar Hailey mengambil peralatan yang lain. “Oh ya, Anna, aku lupa memberitahumu sesuatu,” ucap Hailey teringat sesuatu. Seharusnya sudah sejak tadi siang ia memberitahu hal ini pada Giavanna, tetapi ia selalu lupa.
            “Apa itu?” Nada penasaran Giavanna membuat dirinya sendiri terkejut. Ah, sepenasaran itukah aku? Hailey menatap Giavanna dengan tatapan meminta maaf.
            “Aku mengangkat teleponmu sewaktu kau lari pagi. Dan ternyata, pria yang kau suka itu menghubungimu dan memberi pesan padamu kalau ia tidak dapat pergi bersamamu besok,” ucap Hailey menyesal. Kepala Giavanna tertarik ke belakang, bingung mengapa Lance melakukan hal itu pada Giavanna. Apa yang membuat Lance membatalkan perjanjian mereka? Melihat raut wajah kecewa Giavanna membuat Hailey menyesal telah memberitahu kabar tak gembira itu. Giavanna hanya mengangukkan kepalanya satu kali, memberi tanda pada Hailey agar terus melakukan pekerjaannya merias wajah Giavanna. Mengapa Lance berani melakukan hal itu pada Giavanna? Mengingat apa yang mereka bicarakan kemarin sebelum tidur sudah membawa Giavanna terbang langit ke sembilan. Dan dengan mudahnya Lance membatalkan perjanjian itu—yang berarti menjatuhkan Giavanna kembali ke tanah? Kekecewaan Giavanna terhadap hidupnya semakin besar. Dan Lance adalah salah satu kekecewaan yang ia pernah ia lalui. Perasaan gembira yang menggebu-gebu itu menghilang setelah Hailey memberitahu pembatalan makan malam Giavanna bersama Lance.
            Diam-diam Giavanna berpikir, apakah Justin adalah hubungannya dengan Lance? Apa Justin yang meminta Lance agar tak mendekati Giavanna? Giavanna menggelengkan kepala—jerit Hailey terdengar membuat Giavanna sadar kalau ia sedang dirias. Ah, sialan!
            “Giavanna!” Tegur Hailey kemudian menghapus coretan di kelopak mata sahabatnya. Giavanna hanya menggumamkan kata maaf lalu ia mengembus nafas panjang. “Apa kau sudah mencukur bulu apa pun yang ada di tubuhmu?”
            “Ya,” bisik Giavanna berusaha agar suara sedihnya tak begitu kentara. “Omong-omong, mengapa aku harus melakukan itu? Aku dan Justin tidak akan berhubungan badan, omong-omong,” ketus Giavanna tiap kali ia sadar bahwa Justin seorang gay.
            “Yah, untuk berjaga-jaga siapa tahu ia akan membuatmu lupa diri di atas tempat tidur,” goda Hailey membuat Giavanna tertawa dalam hati. Ah, Giavanna juga harus begitu. Sayangnya, kelainan Justin menghambat segalanya. Kembali Giavanna menggeleng kepalanya. Ah, sialan, mengapa aku berpikir seperti itu pada atasanku sendiri? Giavanna mengutuk dirinya sendiri.
            “Ya, ya, ya. Terserah kau, Hailey.” Tanpa Giavanna sadari, ia telah melupakan kesedihannya. Apa itu karena Hailey mengangkat topik mengenai Justin? Anehnya, Giavanna berpikir begitu.

***

            Seperti Romeo yang menunggu Juliet, Justin memakai pakaian terbaiknya malam ini. Ia terlihat begitu tampan. Memakai setelan berwarna hitam tanpa dasi. Sepatu hitamnya tampak begitu mengilap di bawah pencahayaan lampu jalanan. Pria itu Romeo versi modern yang kaya. Sesekali Justin melirik jam tangan yang ia pakai. Dan menyadari bahwa ia cepat 5 menit. Ah, rasanya tak sabar melihat Giavanna yang sebentar lagi akan keluar dari gedung apartemennya. Sesekali para wanita yang sedang berjalan melewatinya menatap Justin dengan tatapan kagum. Bahkan wanita yang sedang berjalan dengan kekasihnya masih dapat melirik Justin dengan tatapan genit. Sangat disayangkan, Justin tidak tertarik padanya. Mobil limosin Justin diparkirkan di seberang jalan.
            Kembali Justin melirik jam tangannya, sudah jam setengah 7, namun Giavanna tak kunjung muncul. Ah, kemana gadis itu? Justin tak sabar. Sepanjang hari ia memikirkan Giavanna tanpa sebab. Bahkan malam ini ia cukup gugup menghadapi Giavanna. Sadar akan perbuatannya yang tidak profesional terhadap asistennya. Dari seluruh asisten yang ia miliki, Giavanna asisten pertama yang ia ajak pergi berjalan-jalan. Dan sampai sekarang, Justin masih mencari tahu kata-kata apa yang tepat saat ia memberikan hadiah pada Giavanna nanti—ya, ia memiliki hadiah untuk Giavanna di dalam limosin. Kepala Justin mendongak setelah ia mengecek sepatu mengilapnya, lalu terpana akan pemandangan yang ia lihat.
            Seorang wanita berwajah cantik—namun kurus—menggerai rambut gelombangnya ke samping salah satu bahunya, riasan wajah yang tak berlebihan, sepatu cantik yang menghias kakinya. Dan bagian terbaiknya adalah bibir itu tampak sangat menggiurkan dari jarak jauh. Gaun merah yang Giavanna tak begitu mengesankan, tetapi terlihat berkelas. Sebuah dompet kecil yang memiliki warna senada dengan gaunnya berada di tangan kirinya. Giavanna turun dari tangga seperti Juliet. Tangan Justin terjulur padanya lalu segera Giavanna memegang tangan Justin.
            “Kau sangat menakjubkan malam ini, Giavanna,” puji Justin serius.
            “Pujian klasik, tetapi terima kasih. Begitu pun kau, Justin. Dan aku tak tahu kalau kita akan pergi ke pesta dansa kerajaan seberang,” ucap Giavanna bercanda. Justin hanya terdiam dan tersipu akan ucapan Giavanna lalu menyeberangi jalan. Sopir Justin yang sudah keluar dari limosin membukakan pintu bagi mereka berdua ketika keduanya sudah berada di depan pintu. Segera Giavanna masuk ke dalam limosin yang disusul Justin. Sopir Justin menutup pintu itu kemudian mengelilingi limosin dan membuka pintu pengemudi. Tanpa basa-basi lagi, Justin menekan sebuah tombol yang membuat penutup perbatasan antara pengemudi dan penumpang.
            “Ingin minum sesuatu?” Tanya Justin bersikap berbeda. Giavanna menjaga jarak antara dirinya dan Justin. Hatinya masih terpecah belah karena Lance membatalkan perjanjian mereka. Giavanna tak menghubungi atau mengirim pesan pada Lance. Giavanna tak dapat menyadari bahwa jantung Justin berdetak kencang bahkan kulit dadanya seperti ditendang-tendang. Sangat kontras dengan jantung Giavanna yang tampaknya biasa-biasa saja. Hanya saja nafas Giavanna memburu, ia berusaha untuk menahan tangisnya. Matanya mengerjap-kerjap agar air matanya tak mengalir.
            Justin menatap bingung Giavanna. Apa yang terjadi pada wanita cantik jelita di hadapannya? Bukankah malam ini seharusnya ia berbahagia karena atasan tampan seperti Justin mau mengajak Giavanna pergi makan malam? Tak dijawab oleh Giavanna, Justin menyandar ke kursi penumpang lalu mendesah.
            “Apa seseorang telah menyakitimu? Katakan saja padaku,” ucap Justin kembali dengan sikap dinginnya. Giavanna menggeleng kepalanya, tipikal wanita pada umumnya. “Giavanna, aku tak akan meminta sopirku berhenti ke restoran sebelum kau memberitahuku apa yang terjadi padamu,” Justin bersikeras.
            Giavanna mendesah lalu menoleh pada Justin. “Lance tiba-tiba membatalkan makan malamnya denganku besok. Aku tak tahu mengapa ia melakukan itu padaku, yang jelas aku cukup kecewa,” balas Giavanna menundukkan kepala. Tanpa Justin sadari, ia menggeram kesal. Ah, mengapa hanya karena Lance membatalkan makan malam sialan itu dapat mempengaruhi malam Justin? Jari telunjuk Justin yang panjang itu menarik angkat dagu Giavanna sehingga wanita itu mendongak.
            “Aku akan meminta bajingan itu untuk mengajakmu kembali, okay?” Suara Justin begitu lembut namun matanya menyirat kekesalan. Giavanna melihat mata cokelat madu itu menatapnya berapi-api. Kepala wanita itu tergeleng, ia merasa tak enak jika Justin harus melakukan itu. Ia menarik tangan Justin dari dagunya lalu tersenyum.
            “Terima kasih, tetapi tidak perlu, Justin. Itu sudah menjadi keputusannya. Lagi pula, aku sudah bisa makan malam bersamamu. Jadi ya, sudah cukup bagiku menghabiskan akhir pekan bersamamu,” ucap Giavanna berusaha tersenyum manis. Nafas Giavanna tercekat saat ia melihat pria itu mengeluarkan lidahnya dan menjilat sekitar bibirnya. Oh, sangat eksotis dan—sulit dipercaya—berhasil membuat  jantung Giavanna berdegup kencang. Apa ini senjata Justin sebagai rangsangan seksual? Jika ya, pria itu berhasil merangsangnya. Desahan Justin membuat Giavanna keluar dari lamunannya.
            “Aku ingin kau tersenyum, Giavanna. Aku tak suka melihatmu lesu seperti ini. Jika ia menyakitimu, beritahu aku. Mengerti?”
            “Pasti, tetapi aku ragu ia menyakitiku,” ucap Giavanna naïf. Justin tergelak satu kali, memberi tawa sarkastik atas ucapan Giavanna.
            “Kau baru saja mengeluh padaku tentangnya. Sudahlah, jangan pikirkan dia sekarang. Malam ini kau dan aku harus bersenang-senang, titik. Aku tak mau tahu.”
            “Ya, akan kulakukan demi kau.” ucap Giavanna tertawa pelan lalu tersenyum. Tanpa mereka sadari, mereka telah saling memeluk tubuh satu sama lain. Bahkan Justin menekankan pipinya ke atas kepala Giavanna, sementara Giavanna bersandar di dada Justin. Tak akan ada yang percaya jika ada seseorang yang memberitahu bahwa mereka bukanlah sepasang kekasih.

***

            Pria itu sadar betul bahwa ia tak pernah tersenyum sesering ini. Bahkan tersenyum bersama orang yang awalnya sangat ia benci. Ia mendongak dari ponselnya lalu mendengar ucapan wanita di hadapannya. Mereka berdua sedang bermain permainan teraneh buatan Giavanna. Nama permainan itu ‘Godai Aku’, judulnya begitu menjijikan bahkan Justin rasanya tak ingin bermain permainan itu. Namun wanita di depannya memaksa. Cara bermainnya cukup memalukan. Mereka akan saling bergantian menjatuhkan harga diri mereka sendiri dengan cara berucap meminta belaian sampai lawan mainnya tertawa setelah itu mereka akan bergantian. Misalkan, Giavanna melihat seorang pria tampan baru masuk ke dalam restoran, setelah itu, sambil Giavanna menatap pria itu, Giavanna harus mengucapkan kata-kata permintaan untuk dibelai atau meminta untuk digodai.
            Permainan itu dibuat sambil menunggu pesanan makanan mereka. Justin menegakkan tubuhnya di kursi sambil memerhatikan Giavanna yang mencari mangsa pertamanya. Mata Giavanna kemudian mendapati seorang pria tampan yang sedang duduk berhadapan dengan rekan kerjanya—sepertinya. Belum apa-apa, Justin sudah menahan tawanya ketika Giavanna menyipitkan matanya seperti tergoda akan pria itu. Tubuh Justin menegang ketika Giavanna dengan sengaja menggigit bibir bawahnya.
            “Oh, Mr.Perfection, kau sangat tampan. Belailah aku, cintai aku, kecupilah sekujur tubuhku dengan bibirmu yang menggiurkan. Tubuhmu sangat menggiurku, tanganmu membuat tubuhku memohon akan belaian kasarmu. Aku rela dibayar berapa pun hanya untuk disen—“
            “Sialan kau, Giavanna,” geram Justin tertawa pecah di tempatnya. Kepala terdongak ke belakang namun tak ada orang yang memerhatikan mereka. Tawaan Justin menular padanya sehingga Giavanna tertawa. Pipi wanita itu memerah mengingat apa yang baru saja ia katakan pada pria yang tak tahu apa-apa itu. Justin harus mengucek matanya yang berair karena tawa yang hampir membunuhnya. Beberapa saat kemudian Justin berhenti tertawa namun wajahnya sudah memerah seperti memakan cabai terpedas di dunia.
            “Baiklah, sekarang giliranmu,” tuntut Giavanna melipat kedua tangannya di atas meja makan. Justin mengangguk. Oh, ini pasti sangat memalukan. Justin mencari-cari pria tertampan di restoran. Melihat ke belakang kursi Giavanna lalu ia menemukan seorang pria yang bisa dibilang manis sedang menelepon dengan raut wajah marah. Giavanna mengikuti tatapan Justin lalu menggigit bibirnya. Baru melihat mangsa Justin saja sudah membuat Giavanna hampir tertawa. Kemudian Giavanna kembali menatap Justin. Pria itu mengikuti apa yang Giavanna lakukan tadi—menggigit bibir dan menyipitkan mata menggoda.
            “Mr. Right, amarahmu membuat diriku terbakar nafsu. Seluruh tubuhku memuja belaianmu. Kumohon datangilah aku, sentuhlah aku, buat diriku puas akan kekasaranmu. Aku siap kapan pun untukmu, Mr.Right. Siang dan malam akan kulayani hanya demi membuatmu mengerang di atas tubuhku. Kau bayar berapa pun akan kuterima asalkan tanganmu yang memegang ponsel itu menyentuh tubuhku sampai aku mendapatkan kepuasanku. Yang terpenting sekarang ialah waktu, Mr.Right… datangilah aku, buatlah aku mengingin—“ Suara tawa Giavanna menggelegar di telinga Justin. Wanita itu tertawa sampai keningnya mencium sisi meja makan. Kedua tangan wanita itu memegang perutnya sambil tertawa. Kedua bahunya bergoyang-goyang seolah-olah ia sedang menangis. Beberapa orang di samping meja mereka menoleh pada Giavanna yang memukul meja makan.
            “Giavanna, kau berlebihan,” bisik Justin berusaha agar tetap terlihat maskulin di hadapan orang-orang asing. Mereka yang melihat Giavanna kembali mengurusi urusan mereka masing-masing. Kepala Giavanna terangkat setelah ia selesai tertawa. Wajahnya seperti tomat merah—sama seperti Justin tadi—lalu ia mengambil gelas berisi air dan meminumnya. Bersamaan dengan itu, pelayan datang membawa pesanan mereka. Giavanna menegakkan tubuh lalu tersenyum genit pada Justin.
            “Kau sangat pintar menggoda, Justin,” puji Giavanna membuat pelayan yang menaruh piring mereka berusaha untuk mengabaikan percakapan mereka. Beberapa saat kemudian, pelayan itu pergi dari hadapan mereka. “Terutama pada pria.”
            “Ya, terima kasih. Sebenarnya, aku ingin menggodamu tetapi kau bilang harus pada pria asing. Jadi yah, terdengarnya menjijikan,”
            “Dan menghibur,” tambah Giavanna sambil mengambil garpu dan pisau untuk memotong makanan pesanannya, daging sapi. Giavanna tak pernah memiliki niatan untuk diet—yang membuatnya bingung, sebanyak apa pun ia makan, berat badannya tidak akan pernah naik.
            “Kau orang pertama yang membuatku tersenyum terus, Giavanna. Aku berterima kasih akan hal itu,” ucap Justin dengan tulus. Pipi itu kembali memerah. Ah, Justin sialan! Mengapa ia harus membuat pipi Giavanna kembali memerah? Pasti Justin merasa sangat percaya diri.
            “Well, aku senang membuatku tersenyum. Lagi pula, orang yang sering tersenyum dan tertawa akan awet muda,” ucap Giavanna. “Dan nilai tambahmu adalah senyummu itu menawan. Jadi sia-sia saja Tuhan memberimu bibir tetapi kau tidak sering tersenyum,”
            “Baiklah, untukmu, aku akan sering tersenyum,” ucap Justin memakan makanannya juga. Giavanna menggeleng, setelah menelan makanannya, ia berucap.
            “Tidak, buatlah orang tersenyum kau akan ikut tersenyum. Malah kau akan merasa lebih bahagia. Kau tahu, aku tidak pernah berpikir membuat permainan semenjijikan tadi. Kupikir permainan itu akan berakhir tak lucu, tetapi kulihat kau sangat menikmatinya. Apa itu karena yang kau goda…” suara Giavanna sengaja menghilang sambil mata Giavanna melirik-lirik pria yang Justin goda tadi—pria itu masih menelepon. Justin menggelengkan kepalanya.
            “Akhir-akhir ini aku tidak begitu tertarik dengan pria seperti itu,” ucap Justin tanpa menatap Giavanna. Kedua alis Giavanna terangkat.
            “Begitukah?”
            “Ya, aku tidak bisa berselingkuh dengan pria lain. Aku mencintai Alexander. Asal aku tahu saja, Alexander sering memintaku untuk mendekati wanita-wanita di luar sana agar imej-ku sebagai seorang pemilik perusahaan iklan terkenal tetap terjaga. Ia ingin aku terlihat baik di luar orang-orang dan dapat diterima oleh lingkungan sementara ia harus menahan rasa cemburunya jika aku harus pergi bersama seorang wanita,” ucap Justin membuat segalanya lebih masuk akal. Pantas saja tadi pagi Justin menyebutkan gadis-gadis dulu yang bersamanya. Giavanna kagum dengan pengorbanan Alexander, namun beberapa saat kemudian ia menyadari sesuatu.
            “Apa seperti ini juga akan menyakiti hatinya?” tanya Giavanna berhati-hati.
            “Tidak, tentu tidak.” Justin menggeleng kepalanya cepat kemudian ia meminum air. “Ia menyukaimu, Giavanna. Katanya kau wanita yang menyenangkan dan aku setuju.” Ucap Justin tersenyum. Ah, sialan sekali! Mengapa pipi Giavanna tak bisa tak memerah tiap kali Justin memujinya? Giavanna hanya tersenyum untuk menghargai pujiannya lalu kembali melanjutkan makananya.
            “Bahkan aku berpikir, kau itu anugerah Tuhan yang diberikan untukku.” Ucapan itu keluar dari seorang pria gay di hadapannya, membuat Giavanna terbang ke langit ke-9. “Aku senang kau menjadi temanku.” Tambah Justin membuat angan-angan Giavanna runtuh.

***

            Pria itu menarik nafas dalam-dalam dengan perasaan gugup. Angin malam menerpa tubuhnya yang tak memakai jaket. Ia memakai celana jins panjang berwarna hitam dengan pakaian yang cukup mencetak otot-otot tubuhnya. Kakinya melangkah ragu-ragu menuju tempat tujuannya. Apakah wanita itu akan menamparnya setelah ini atau memberinya satu kesempatan lagi? Saat ia hampir sampai di tempat tujuannya, matanya melihat pada sebuah limosin yang berhenti di depan gedung apartemen. Pintu pengemudi terbuka kemudian melangkah mengitari mobil dan membukakan pintu penumpang. Keluarlah seorang gadis cantik dari sana, seseorang yang ia ingin temui. Kemudian pengemudi itu kembali masuk  ke dalam limosin dan membawa limosin itu berbalik arah.
            Segera pria itu berlari menuju wanita cantik malam itu. “Giavanna!” teriaknya. Wanita yang baru saja menaiki satu anak tangga langsung menoleh pada pemilik suara itu.
            “Lance, apa yang kaulakukan malam-malam seperti ini memakai pakaian ketat seperti itu?” Tanya Giavanna kebingungan, bukan malah menyapa balik. Kedua alis Giavanna hampir menyatu, mengingat keputusan Lance mengenai makan malam mereka.
            “Giavanna, aku minta maaf,” bisik Lance berdiri di bawah Giavanna sehingga sekarang tinggi mereka. “Aku tak bermaksud membatalkan makan malam besok. Jika kau memberiku kesempatan kedua, kumohon terimalah ajakanku kembali untuk makan malam besok.” Lanjut Lance. Otak Giavana menimbang-nimbang. Pria itu telah mengambil keputusan yang membuat Giavanna sakit hati. Kepala Giavanna melihat ke sekitar mereka. Kendaraan tidak begitu banyak malam ini. Angin malam begitu dingin dan pria itu tampaknya baru berlari dari gedung apartemennya untuk datang mengajak kembali Giavanna apakah ia ingin makan malam bersama Lance. Sebanding.
            “Baiklah.” Ucap Giavanna tersenyum. Mata Lance melebar tak percaya. Kemudian ia tersenyum.
            “Baiklah, besok akan kujemput kau. Selamat malam.” Ucap Lance melangkah mundur lalu memberi kecup jauh pada Giavanna. Pria itu segera berbalik dan berlari lalu melompat bersorak bahagia. “Yeah!” Soraknya bahagia. Giavanna melihat pria itu begitu bahagia. Ah, sangat manis.
            Rasanya, malam ini terasa sangat sempurna.

***

            Malam berikutnya, Giavanna menunggu Lance. Pria itu meminta Giavanna memakai pakaian kasual. Celana jins atau kemeja. Karena mereka tidak akan makan malam di tempat mewah seperti restoran yang kemarin Justin dan Giavanna datangi. Giavanna merasa begitu percaya diri, ia tidak memakai riasan wajah berlebihan seperti kemarin, dan hari ini Giavanna merasa tidak akan ada masalah yang akan menimpanya. Hari ini ia sudah pergi ke gereja, merapikan rumah dan membantu Hailey memasak. Semuanya berjalan lancar. Tidak ada beban di punggung Giavanna lagi. Setidaknya, untuk sekarang ini.
            Seseorang yang mengendarai motor tiba-tiba saja berhenti di depan Giavanna. Motor Vespa tua berwarna biru muda itu tampak sangat lucu dikendarai oleh pria bertubuh besar seperti Lance. Ya Tuhan, Giavanna tak habis pikir ia akan diajak pergi makan malam bersama diantar dengan motor.
            “Apa aku kelihatan masih tampan dengan motor ini?” Tanya Lance yang sama percaya dirinya dengan Justin. Pria itu menyodorkan sebuah helm untuk Giavanna pakai lalu kemudian wanita itu menaiki kursi bagian belakang dan memegang pundak Lance. “Saatnya kita berangkat.” Seru Lance mulai melajukan motornya. Angin malam mulai menerpa tubuh Lance, melindungi tubuh Giavanna di belakangnya. Untungnya Lance memakai jaket berwarna abu-abu, jadi ia tak perlu khawatir, ia takkan terkena sakit. Giavanna tak tahu kalau Lance akan secepat ini menghafal jalan di Atlanta. Motor itu membawa mereka ke sebuah truk restoran yang biasa berhenti di depan taman luas—tempat yang biasanya orang pakai untuk menonton layar tancap bersama. Tetapi Lance tidak akan mengajak Giavanna menonton film layar tancap. Mereka hanya akan saling mengetahui satu sama lain. Motor itu berhenti di tempat parkiran lalu Giavanna turun.
            “Jangan pernah lepas tanganku. Aku tak ingin kita berpisah selama kita makan malam di sini,” ucap Lance memperingati. Giavanna mengangguk patuh. Ia melihat ke taman yang dipenuhi oleh orang-orang yang sedang menonton layar tancap. Beberapa truk makanan sudah berada di sana, menyiapkan makanan untuk mereka para penonton. Lance kemudian memegang tangan Giavanna, menarik tangan itu menuju salah satu truk penjual taco. Mereka berhenti di depan truk itu, kemudian dilayani oleh sang pemilik truk.
            “Kau mau apa?” Tanya Lance melihat menu di atas mereka.
            “Aku menyukai makanan apa saja. Jadi, terserah kau.” ucap Giavanna. Lance mengangguk satu kali kemudian memesan taco pada pemilik truk itu. Giavanna membalikkan tubuhnya, melihat orang-orang yang berbaring itu sedang menonton film romantis. Tubuh Giavanna menggeliat saat ia menyadari bahwa beberapa penonton di belakang lebih memilih bercumbu dibanding menikmati tontonannya.
            “Yeah, menjijikan.” Lance menyeletuk saat ia juga melihat apa yang Giavanna. Diajaknya Giavanna duduk di atas kursi di depan truk itu. “Aku tidak pernah menonton layar tancap sebelumnya.”
            “Ya, aku juga,” Giavanna mengangguk. “Omong-omong, kau tahu tempat ini dari mana?”
            “Oh, temanku. Ia menyarankan tempat ini saat aku memberitahunya kalau aku akan mengajak kencan seorang wanita cantik. Katanya taco truk ini adalah yang terbaik di Atlanta,” ucap Lance seperti berpengalaman. Giavanna terkekeh.
            “Aku tak tahu itu. Sayang sekali, padahal aku lebih lama tinggal di sini daripada kau.” Bibir Giavanna mengerucut ke samping, merasa kalah karena telah disaingi oleh teman Lance. Mata Lance melihat ke belakang-atas Giavanna, ia menelan ludah. “Apa? Ada apa?” Giavanna menolehkan kepalanya ke belakang lalu hidungnya bersentuhan dengan sebuah celana kain berwarna hitam—lebih tepatnya di tengah-tengah celana itu. Pria pemilik celana itu mundur satu langkah.
            “Apa yang kalian lakukan di sini?” Suara tidak suka pria itu terdengar. Giavanna mendongak, tak percaya kalau Justin akan ada di sini. “Kupikir kalian berdua tak jadi makan malam bersama.”
            “Just—Mr.Richardson. Aku tak tahu kau ada di sini. Kami hanya …hanya makan malam bersama, tak lebih.” Lance bangkit dari kursinya yang diikuti Giavanna juga. Tanpa mengatakan apa-apa, Justin menarik tangan Giavanna untuk pergi dari meja itu. Giavanna sempat memberontak namun kemudian ia sadar kalau perbuatannya akan sia-sia. Mereka berhenti di belakang truk-truk makanan itu, kemudian Justin melepaskan tangan Giavanna. Tangan Giavanna tiba-tiba menampar pipi Justin. Mata Jutsin melebar terkejut.
            “Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Justin berusaha untuk mengabaikan tamparan itu.
            “Aku hanya makan malam dengannya. Apa yang kau lakukan di sini?” Nada suara Giavanna meninggi. Ia tak senang Justin merusak suasana-suasana tenang yang telah Giavanna dan Lance ciptakan.
            “A-aku sedang menonton layar tancap dengan Alexander,” ucap Justin sedikit malu. “Mengapa kau makan malam dengannya? Kupikir ia membatalkannya.” Ujar Justin jelas-jelas terdengar tak suka.
            “Kau kurang ajar! Kupikir kau akan mendukungku dengan Lance! Mengapa kau tiba-tiba menarik tanganku seperti orang tak tahu sopan santun? Kami baru saja sampai di sini dan kau sudah merusak acara makan malamku dengannya. Apa masalahmu?” Bentak Giavanna tak suka.
            “Ini bukan hanya masalahku! Kau sudah melanggar peraturan perusahaan.” Ucap Justin berusaha untuk tak membentak Giavanna.
            “Sulit dipercaya Justin, kemarin kita baru saja menghabiskan waktu menyenangkan. Dan kau tiba-tiba datang, menghancurkan segalanya. Kau merusak semuanya.” Giavanna menggeleng-gelengkan kepalanya. Justin sudah tak tahan lagi, ia berucap.
            “Aku tak suka kau berjalan dengan Lance!”
            “Well, aku tak suka kau berjalan dengan Alexander!” Balas Giavanna berteriak. Nafas mereka berdua memburu. Giavanna membuang wajah dari Justin kemudian menggeleng kepalanya. Apa yang baru saja ia ucapkan? Bodoh sekali. “Kau tahu apa? Lupakan apa yang kukatakan. Kupikir kau ingin melihatku tersenyum. Tetapi baru beberapa saat aku menikmati waktuku dengan Lance, kau sudah merusaknya. Tak bisa dipercaya.”
            “Baiklah, terserah kau. Itu keputusanmu. Kau yang meminta. Lance sudah tak bekerja lagi di RCS Advertisement.” Ujar Justin yang memiliki kekuasaan itu. Giavanna tergelak satu kali, air matanya telah terkumpul. Giavanna pikir Justin akan mendukung hubungannya dengan Lance, tetapi sekarang Justin malah memecat Lance hanya karena mereka makan malam bersama di truk restoran sederhana. Giavanna menatap Justin dengan mata berkaca-kaca.
            “Kau tahu apa, terserah kau! Aku pulang. Sampai ketemu di neraka.” Ucap Giavanna beranjak dari tempatnya berdiri. Ia menghapus air matanya yang sudah terjatuh kemudian muncul di hadapan Lance yang wajahnya sudah memucat. “Lance, kita pulang.”
            “Giavanna, kau tidak apa-apa?” Tanya Lance khawatir, ia menghampiri Giavanna lalu menyentuh kedua bahu wanita itu. “Hey, mengapa kau menangis?”
            “Tidak apa-apa. Aku hanya tak suka akan sikap Justin. Ayo kita pulang.” Ajak Giavanna menarik tangan Lance untuk pergi dari truk makanan itu. Justin muncul ketika mereka sudah melangkah menuju parkiran. Mata Justin terpejam, ia menarik nafas dalam-dalam. Apa yang ia telah perbuat sungguh salah. Ini memang salahnya. Seharusnya Justin tidak merusak malam indah Giavanna dan menikmati malamnya sendiri bersama Alexander.
            Ucapan Giavanna tentang ia tak suka jika Justin bersama Alexander benar-benar menyentuh hati Justin hingga Justin tak dapat berpikir selama beberapa saat. Apa Giavanna memiliki perasaan terhadap Justin? Justin telah membuat Giavanna menangis karena sakit hati, untuk yang pertama kalinya. Dan itu benar-benar meninju hulu hati Justin.  “Sial.” Umpat Justin.
            “Hey, Sir. Apa kau melihat dua orang pasangan yang duduk di sana tadi?” Tanya seorang pemilik truk yang memegang dua taco di tangannya. Justin menghampirinya lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya. Ia mengambil taco itu dari tangan pemilik truk makanan itu.
            “Mereka bukan pasangan.” Ucap Justin tak suka.
            “Oh ya, maaf, Sir. Terima kasih.” Pemilik truk makanan itu masuk kembali ke dalam truknya, tidak begitu mempedulikan wajah Justin yang memerah. Dari jarak jauh, Justin dapat melihat Giavanna menaiki motor Lance lalu memeluk pinggang pria itu dengan erat. Taco yang kelihatan lezat tiba-tiba sudah melebur di tangannya yang ia kepalkan. Sungguh sialan.

            Hati Justin hancur berkeping-keping. Seperti inikah rasanya sakit hati?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar