Tumit Giavanna menghentak-hentak
cepat di atas lantai kamar tidurnya. Jam masih menunjukkan pukul setengah 6
sore, tetapi kegugupannya sudah datang lebih dulu. Nanti malam ia akan makan
bersama dengan Justin, menghabiskan waktu bersama—hanya berdua—untuk yang kedua
kalinya. Sebelumnya Giavanna tidak memikirkan konsekuensinya. Apa yang akan
dilakukan Alexander padanya jika Alexander tahu bahwa pacarnya mengajak orang
lain makan malam bersam tanpa sepengetahuannya? Lutut Giavanna naik-turun tiap
kali tumitnya menghentak lantai. Ia tak pernah segugup ini seumur hidupnya. Apa
Giavanna terlalu mendalami perasaannya ketika bersama Justin kemarin? Giavanna
menggeleng kepala. Tidak, tidak, tidak. Tidak mungkin ia gugup karena seorang
Justin Richardson. Pria itu bukanlah orang pertama yang mengajak Giavanna makan
malam bersama. Well, Lance-lah yang orang pertama yang mengajak Giavanna makan
malam bersama sebelum Justin.
Giavannya bertanya-tanya, topik
pembicaraan ringan apa yang cocok untuk dibicarakan selama mereka di restoran
dan selama perjalanan pulang? Bagaimana caranya agar pipi Giavanna tak bersemu
merah tiap kali Justin mengutarakan pujian padanya? Bagaimana caranya agar
Giavanna tak menggigit pipi bagian dalamnya tiap kali ia tak sadar bahwa ia
sedang gugup? Sialan. Giavanna tak pernah segugup ini sebelumnya. Ia tersentak
hampir jatuh dari kursi meja riasnya ketika pintu kamarnya tiba-tiba terbuka.
Hailey muncul bersama dengan tas kecil berisikan alat-alat rias wajah untuk
Giavanna. Setelah satu minggu lebih ditinggal Liam—mantan pacar
brengseknya—baru sore ini ia melihat Hailey tersenyum sumringah. Melihat Hailey
tersenyum membuat Giavanna teringat akan lukisan-lukisan Hailey yang indah di
ruang tamu. Baru-baru ini Hailey melukis perasaan hatinya dan dengan
menakjubkan, lukisan-lukisannya itu laku dalam waktu tiga hari. Itu membuat
Hailey dapat membeli pakaian-pakaian baru khusus ibu hamil. Seperti pakaian
panjang yang ia pakai sekarang, ia sudah tampak lebih dewasa jika seperti ini.
“Sudah kubilang padamu, Giavanna,
kau akan tertarik pada Justin. Dan lihatlah sekarang, kau memintaku untuk
merias wajahmu untuk membuat Justin tergila-gila padamu. Apa ia pernah memintamu
untuk berhubungan badan?” Tanya Hailey yang sedang mengeluarkan alat-alat rias
itu dari tasnya dan merapikannya di atas meja rias Giavanna. Andai Hailey tahu
kelainan Justin, sudah pasti Hailey takkan percaya jika Justin mengajaknya
pergi makan malam berdua. Giavanna belum menjawab ketika ia mengangkat
bokongnya dari atas kursi meja rias menuju tempat tidur.
“Ini hanya sekedar ajakan makan
malam biasa, Hailey. Tidak ada yang spesial. Lagi pula, Justin tidak mungkin
tergila-gila padaku. Aku hanya ingin bersikap formal. Ia yang menekankan bahwa
tidak boleh ada hubungan asmara antar karyawan,”
“Pertama, dia bukan karyawan. Dia
atasanmu, bosmu. Jadi terserah dia apa ia ingin mengajakmu kencan atau tidak.
Bangun, Giavanna,”—Hailey menjentikkan jarinya—“ini dunia nyata. Sudah banyak
kasus bos dan asisten bersetubuh di kantor. Dan makan malam adalah awal dari
hubunganmu dengannya. Dan lagi, ia masih lajang. Untuk apa kau buang-buang
waktu mencari pria lain di luar sana? Ikuti saja alur Justin, maka kau tahu dimana
kau akan berada kelak,” jelas Hailey sambil masih merapikan alat-alat riasnya
lalu kemudian ia menarik kursi meja rias Giavanna agar lebih dekat dengan
Giavanna kemudian mengambil foundation
untuk wajah temannya. Giavanna memejamkan mata.
“Entahlah, Hailey. Untuk sekarang,
aku hanya menganggap makan malam sebagai makan malam biasa. Aku ingin memulai
hubungan pertamaku dengan Lance.” ucap Giavanna mengedik bahu. Alasan itu
bukanlah alasan utama mengapa Giavanna tak ingin menjalani hubungan asmara dengan
Justin. Hailey tidak tahu apa yang ia bicarakan. Sahabatnya tak tahu jenis
kelamin yang dapat membuat Justin tertarik. Sulit membuat Justin tertarik pada
Giavanna jika mengingat apa yang telah mereka berdua lalui bersama—berpelukan di
lift, menggoda Giavanna di labirin, kecupan di bibir saat di hotel, meminta
Giavanna menjadi model untuk iklan dan berakhir dengan cara memalukan,
memintanya jalan-jalan bersama di Jumat malam dan terakhir mengajak Giavanna
makan malam bersama. Apa yang dapat Giavanna lakukan agar Justin dapat jatuh
cinta padanya? Tidak ada. Dan untuk apa Giavanna membuat Justin jatuh cinta?
Dan sialnya, mengapa Giavanna memikirkan hal-hal manis bersama Justin? Ini
bukan Giavanna!
Matanya terbuka setelah Hailey
selesai memakaikannya foundation.
Melihat tangan Hailey yang mulai mengambil pewarna kelopak mata berwarna biru,
Giavanna langsung menahn tangan sahabatnya.
“Aku ingin tetap terlihat natural,”
ucapnya pelan.
“Baiklah, jika kau meminta,” ujar
Hailey mengambil peralatan yang lain. “Oh ya, Anna, aku lupa memberitahumu
sesuatu,” ucap Hailey teringat sesuatu. Seharusnya sudah sejak tadi siang ia
memberitahu hal ini pada Giavanna, tetapi ia selalu lupa.
“Apa itu?” Nada penasaran Giavanna
membuat dirinya sendiri terkejut. Ah,
sepenasaran itukah aku? Hailey menatap Giavanna dengan tatapan meminta
maaf.
“Aku mengangkat teleponmu sewaktu
kau lari pagi. Dan ternyata, pria yang kau suka itu menghubungimu dan memberi
pesan padamu kalau ia tidak dapat pergi bersamamu besok,” ucap Hailey menyesal.
Kepala Giavanna tertarik ke belakang, bingung mengapa Lance melakukan hal itu
pada Giavanna. Apa yang membuat Lance membatalkan perjanjian mereka? Melihat
raut wajah kecewa Giavanna membuat Hailey menyesal telah memberitahu kabar tak
gembira itu. Giavanna hanya mengangukkan kepalanya satu kali, memberi tanda
pada Hailey agar terus melakukan pekerjaannya merias wajah Giavanna. Mengapa
Lance berani melakukan hal itu pada Giavanna? Mengingat apa yang mereka
bicarakan kemarin sebelum tidur sudah membawa Giavanna terbang langit ke
sembilan. Dan dengan mudahnya Lance membatalkan perjanjian itu—yang berarti
menjatuhkan Giavanna kembali ke tanah? Kekecewaan Giavanna terhadap hidupnya
semakin besar. Dan Lance adalah salah satu kekecewaan yang ia pernah ia lalui.
Perasaan gembira yang menggebu-gebu itu menghilang setelah Hailey memberitahu
pembatalan makan malam Giavanna bersama Lance.
Diam-diam Giavanna berpikir, apakah
Justin adalah hubungannya dengan Lance? Apa Justin yang meminta Lance agar tak
mendekati Giavanna? Giavanna menggelengkan kepala—jerit Hailey terdengar
membuat Giavanna sadar kalau ia sedang dirias. Ah, sialan!
“Giavanna!” Tegur Hailey kemudian
menghapus coretan di kelopak mata sahabatnya. Giavanna hanya menggumamkan kata
maaf lalu ia mengembus nafas panjang. “Apa kau sudah mencukur bulu apa pun yang
ada di tubuhmu?”
“Ya,” bisik Giavanna berusaha agar
suara sedihnya tak begitu kentara. “Omong-omong, mengapa aku harus melakukan
itu? Aku dan Justin tidak akan berhubungan badan, omong-omong,” ketus Giavanna
tiap kali ia sadar bahwa Justin seorang gay.
“Yah, untuk berjaga-jaga siapa tahu
ia akan membuatmu lupa diri di atas tempat tidur,” goda Hailey membuat Giavanna
tertawa dalam hati. Ah, Giavanna juga harus begitu. Sayangnya, kelainan Justin
menghambat segalanya. Kembali Giavanna menggeleng kepalanya. Ah, sialan, mengapa aku berpikir seperti itu
pada atasanku sendiri? Giavanna mengutuk dirinya sendiri.
“Ya, ya, ya. Terserah kau, Hailey.”
Tanpa Giavanna sadari, ia telah melupakan kesedihannya. Apa itu karena Hailey
mengangkat topik mengenai Justin? Anehnya, Giavanna berpikir begitu.
***
Seperti Romeo yang menunggu Juliet,
Justin memakai pakaian terbaiknya malam ini. Ia terlihat begitu tampan. Memakai
setelan berwarna hitam tanpa dasi. Sepatu hitamnya tampak begitu mengilap di
bawah pencahayaan lampu jalanan. Pria itu Romeo versi modern yang kaya.
Sesekali Justin melirik jam tangan yang ia pakai. Dan menyadari bahwa ia cepat
5 menit. Ah, rasanya tak sabar melihat Giavanna yang sebentar lagi akan keluar
dari gedung apartemennya. Sesekali para wanita yang sedang berjalan melewatinya
menatap Justin dengan tatapan kagum. Bahkan wanita yang sedang berjalan dengan
kekasihnya masih dapat melirik Justin dengan tatapan genit. Sangat disayangkan,
Justin tidak tertarik padanya. Mobil limosin Justin diparkirkan di seberang
jalan.
Kembali Justin melirik jam tangannya,
sudah jam setengah 7, namun Giavanna tak kunjung muncul. Ah, kemana gadis itu?
Justin tak sabar. Sepanjang hari ia memikirkan Giavanna tanpa sebab. Bahkan
malam ini ia cukup gugup menghadapi Giavanna. Sadar akan perbuatannya yang
tidak profesional terhadap asistennya. Dari seluruh asisten yang ia miliki,
Giavanna asisten pertama yang ia ajak pergi berjalan-jalan. Dan sampai
sekarang, Justin masih mencari tahu kata-kata apa yang tepat saat ia memberikan
hadiah pada Giavanna nanti—ya, ia memiliki hadiah untuk Giavanna di dalam
limosin. Kepala Justin mendongak setelah ia mengecek sepatu mengilapnya, lalu
terpana akan pemandangan yang ia lihat.
Seorang wanita berwajah cantik—namun
kurus—menggerai rambut gelombangnya ke samping salah satu bahunya, riasan wajah
yang tak berlebihan, sepatu cantik yang menghias kakinya. Dan bagian terbaiknya
adalah bibir itu tampak sangat menggiurkan dari jarak jauh. Gaun merah yang
Giavanna tak begitu mengesankan, tetapi terlihat berkelas. Sebuah dompet kecil
yang memiliki warna senada dengan gaunnya berada di tangan kirinya. Giavanna
turun dari tangga seperti Juliet. Tangan Justin terjulur padanya lalu segera
Giavanna memegang tangan Justin.
“Kau sangat menakjubkan malam ini,
Giavanna,” puji Justin serius.
“Pujian klasik, tetapi terima kasih.
Begitu pun kau, Justin. Dan aku tak tahu kalau kita akan pergi ke pesta dansa
kerajaan seberang,” ucap Giavanna bercanda. Justin hanya terdiam dan tersipu
akan ucapan Giavanna lalu menyeberangi jalan. Sopir Justin yang sudah keluar
dari limosin membukakan pintu bagi mereka berdua ketika keduanya sudah berada
di depan pintu. Segera Giavanna masuk ke dalam limosin yang disusul Justin.
Sopir Justin menutup pintu itu kemudian mengelilingi limosin dan membuka pintu
pengemudi. Tanpa basa-basi lagi, Justin menekan sebuah tombol yang membuat
penutup perbatasan antara pengemudi dan penumpang.
“Ingin minum sesuatu?” Tanya Justin
bersikap berbeda. Giavanna menjaga jarak antara dirinya dan Justin. Hatinya
masih terpecah belah karena Lance membatalkan perjanjian mereka. Giavanna tak
menghubungi atau mengirim pesan pada Lance. Giavanna tak dapat menyadari bahwa
jantung Justin berdetak kencang bahkan kulit dadanya seperti ditendang-tendang.
Sangat kontras dengan jantung Giavanna yang tampaknya biasa-biasa saja. Hanya
saja nafas Giavanna memburu, ia berusaha untuk menahan tangisnya. Matanya
mengerjap-kerjap agar air matanya tak mengalir.
Justin menatap bingung Giavanna. Apa
yang terjadi pada wanita cantik jelita di hadapannya? Bukankah malam ini
seharusnya ia berbahagia karena atasan tampan seperti Justin mau mengajak Giavanna
pergi makan malam? Tak dijawab oleh Giavanna, Justin menyandar ke kursi
penumpang lalu mendesah.
“Apa seseorang telah menyakitimu?
Katakan saja padaku,” ucap Justin kembali dengan sikap dinginnya. Giavanna
menggeleng kepalanya, tipikal wanita pada umumnya. “Giavanna, aku tak akan
meminta sopirku berhenti ke restoran sebelum kau memberitahuku apa yang terjadi
padamu,” Justin bersikeras.
Giavanna mendesah lalu menoleh pada
Justin. “Lance tiba-tiba membatalkan makan malamnya denganku besok. Aku tak
tahu mengapa ia melakukan itu padaku, yang jelas aku cukup kecewa,” balas
Giavanna menundukkan kepala. Tanpa Justin sadari, ia menggeram kesal. Ah,
mengapa hanya karena Lance membatalkan makan malam sialan itu dapat
mempengaruhi malam Justin? Jari telunjuk Justin yang panjang itu menarik angkat
dagu Giavanna sehingga wanita itu mendongak.
“Aku akan meminta bajingan itu untuk
mengajakmu kembali, okay?” Suara Justin begitu lembut namun matanya menyirat
kekesalan. Giavanna melihat mata cokelat madu itu menatapnya berapi-api. Kepala
wanita itu tergeleng, ia merasa tak enak jika Justin harus melakukan itu. Ia
menarik tangan Justin dari dagunya lalu tersenyum.
“Terima kasih, tetapi tidak perlu,
Justin. Itu sudah menjadi keputusannya. Lagi pula, aku sudah bisa makan malam
bersamamu. Jadi ya, sudah cukup bagiku menghabiskan akhir pekan bersamamu,”
ucap Giavanna berusaha tersenyum manis. Nafas Giavanna tercekat saat ia melihat
pria itu mengeluarkan lidahnya dan menjilat sekitar bibirnya. Oh, sangat
eksotis dan—sulit dipercaya—berhasil membuat
jantung Giavanna berdegup kencang. Apa ini senjata Justin sebagai
rangsangan seksual? Jika ya, pria itu berhasil merangsangnya. Desahan Justin
membuat Giavanna keluar dari lamunannya.
“Aku ingin kau tersenyum, Giavanna. Aku
tak suka melihatmu lesu seperti ini. Jika ia menyakitimu, beritahu aku.
Mengerti?”
“Pasti, tetapi aku ragu ia
menyakitiku,” ucap Giavanna naïf. Justin tergelak satu kali, memberi tawa
sarkastik atas ucapan Giavanna.
“Kau baru saja mengeluh padaku
tentangnya. Sudahlah, jangan pikirkan dia sekarang. Malam ini kau dan aku harus
bersenang-senang, titik. Aku tak mau tahu.”
“Ya, akan kulakukan demi kau.” ucap
Giavanna tertawa pelan lalu tersenyum. Tanpa mereka sadari, mereka telah saling
memeluk tubuh satu sama lain. Bahkan Justin menekankan pipinya ke atas kepala
Giavanna, sementara Giavanna bersandar di dada Justin. Tak akan ada yang
percaya jika ada seseorang yang memberitahu bahwa mereka bukanlah sepasang
kekasih.
***
Pria itu sadar betul bahwa ia tak
pernah tersenyum sesering ini. Bahkan tersenyum bersama orang yang awalnya
sangat ia benci. Ia mendongak dari ponselnya lalu mendengar ucapan wanita di
hadapannya. Mereka berdua sedang bermain permainan teraneh buatan Giavanna.
Nama permainan itu ‘Godai Aku’, judulnya begitu menjijikan bahkan Justin
rasanya tak ingin bermain permainan itu. Namun wanita di depannya memaksa. Cara
bermainnya cukup memalukan. Mereka akan saling bergantian menjatuhkan harga
diri mereka sendiri dengan cara berucap meminta belaian sampai lawan mainnya
tertawa setelah itu mereka akan bergantian. Misalkan, Giavanna melihat seorang
pria tampan baru masuk ke dalam restoran, setelah itu, sambil Giavanna menatap
pria itu, Giavanna harus mengucapkan kata-kata permintaan untuk dibelai atau
meminta untuk digodai.
Permainan itu dibuat sambil menunggu
pesanan makanan mereka. Justin menegakkan tubuhnya di kursi sambil memerhatikan
Giavanna yang mencari mangsa pertamanya. Mata Giavanna kemudian mendapati
seorang pria tampan yang sedang duduk berhadapan dengan rekan
kerjanya—sepertinya. Belum apa-apa, Justin sudah menahan tawanya ketika
Giavanna menyipitkan matanya seperti tergoda akan pria itu. Tubuh Justin
menegang ketika Giavanna dengan sengaja menggigit bibir bawahnya.
“Oh, Mr.Perfection, kau sangat
tampan. Belailah aku, cintai aku, kecupilah sekujur tubuhku dengan bibirmu yang
menggiurkan. Tubuhmu sangat menggiurku, tanganmu membuat tubuhku memohon akan
belaian kasarmu. Aku rela dibayar berapa pun hanya untuk disen—“
“Sialan kau, Giavanna,” geram Justin
tertawa pecah di tempatnya. Kepala terdongak ke belakang namun tak ada orang
yang memerhatikan mereka. Tawaan Justin menular padanya sehingga Giavanna
tertawa. Pipi wanita itu memerah mengingat apa yang baru saja ia katakan pada
pria yang tak tahu apa-apa itu. Justin harus mengucek matanya yang berair
karena tawa yang hampir membunuhnya. Beberapa saat kemudian Justin berhenti
tertawa namun wajahnya sudah memerah seperti memakan cabai terpedas di dunia.
“Baiklah, sekarang giliranmu,”
tuntut Giavanna melipat kedua tangannya di atas meja makan. Justin mengangguk.
Oh, ini pasti sangat memalukan. Justin mencari-cari pria tertampan di restoran.
Melihat ke belakang kursi Giavanna lalu ia menemukan seorang pria yang bisa
dibilang manis sedang menelepon dengan raut wajah marah. Giavanna mengikuti
tatapan Justin lalu menggigit bibirnya. Baru melihat mangsa Justin saja sudah
membuat Giavanna hampir tertawa. Kemudian Giavanna kembali menatap Justin. Pria
itu mengikuti apa yang Giavanna lakukan tadi—menggigit bibir dan menyipitkan
mata menggoda.
“Mr. Right, amarahmu membuat diriku
terbakar nafsu. Seluruh tubuhku memuja belaianmu. Kumohon datangilah aku,
sentuhlah aku, buat diriku puas akan kekasaranmu. Aku siap kapan pun untukmu,
Mr.Right. Siang dan malam akan kulayani hanya demi membuatmu mengerang di atas
tubuhku. Kau bayar berapa pun akan kuterima asalkan tanganmu yang memegang
ponsel itu menyentuh tubuhku sampai aku mendapatkan kepuasanku. Yang terpenting
sekarang ialah waktu, Mr.Right… datangilah aku, buatlah aku mengingin—“ Suara
tawa Giavanna menggelegar di telinga Justin. Wanita itu tertawa sampai keningnya
mencium sisi meja makan. Kedua tangan wanita itu memegang perutnya sambil
tertawa. Kedua bahunya bergoyang-goyang seolah-olah ia sedang menangis. Beberapa
orang di samping meja mereka menoleh pada Giavanna yang memukul meja makan.
“Giavanna, kau berlebihan,” bisik
Justin berusaha agar tetap terlihat maskulin di hadapan orang-orang asing.
Mereka yang melihat Giavanna kembali mengurusi urusan mereka masing-masing.
Kepala Giavanna terangkat setelah ia selesai tertawa. Wajahnya seperti tomat
merah—sama seperti Justin tadi—lalu ia mengambil gelas berisi air dan
meminumnya. Bersamaan dengan itu, pelayan datang membawa pesanan mereka.
Giavanna menegakkan tubuh lalu tersenyum genit pada Justin.
“Kau sangat pintar menggoda,
Justin,” puji Giavanna membuat pelayan yang menaruh piring mereka berusaha
untuk mengabaikan percakapan mereka. Beberapa saat kemudian, pelayan itu pergi
dari hadapan mereka. “Terutama pada pria.”
“Ya, terima kasih. Sebenarnya, aku
ingin menggodamu tetapi kau bilang harus pada pria asing. Jadi yah,
terdengarnya menjijikan,”
“Dan menghibur,” tambah Giavanna
sambil mengambil garpu dan pisau untuk memotong makanan pesanannya, daging
sapi. Giavanna tak pernah memiliki niatan untuk diet—yang membuatnya bingung,
sebanyak apa pun ia makan, berat badannya tidak akan pernah naik.
“Kau orang pertama yang membuatku
tersenyum terus, Giavanna. Aku berterima kasih akan hal itu,” ucap Justin
dengan tulus. Pipi itu kembali memerah. Ah, Justin sialan! Mengapa ia harus
membuat pipi Giavanna kembali memerah? Pasti Justin merasa sangat percaya diri.
“Well, aku senang membuatku
tersenyum. Lagi pula, orang yang sering tersenyum dan tertawa akan awet muda,”
ucap Giavanna. “Dan nilai tambahmu adalah senyummu itu menawan. Jadi sia-sia
saja Tuhan memberimu bibir tetapi kau tidak sering tersenyum,”
“Baiklah, untukmu, aku akan sering
tersenyum,” ucap Justin memakan makanannya juga. Giavanna menggeleng, setelah
menelan makanannya, ia berucap.
“Tidak, buatlah orang tersenyum kau
akan ikut tersenyum. Malah kau akan merasa lebih bahagia. Kau tahu, aku tidak
pernah berpikir membuat permainan semenjijikan tadi. Kupikir permainan itu akan
berakhir tak lucu, tetapi kulihat kau sangat menikmatinya. Apa itu karena yang
kau goda…” suara Giavanna sengaja menghilang sambil mata Giavanna melirik-lirik
pria yang Justin goda tadi—pria itu masih menelepon. Justin menggelengkan
kepalanya.
“Akhir-akhir ini aku tidak begitu
tertarik dengan pria seperti itu,” ucap Justin tanpa menatap Giavanna. Kedua
alis Giavanna terangkat.
“Begitukah?”
“Ya, aku tidak bisa berselingkuh
dengan pria lain. Aku mencintai Alexander. Asal aku tahu saja, Alexander sering
memintaku untuk mendekati wanita-wanita di luar sana agar imej-ku sebagai
seorang pemilik perusahaan iklan terkenal tetap terjaga. Ia ingin aku terlihat
baik di luar orang-orang dan dapat diterima oleh lingkungan sementara ia harus
menahan rasa cemburunya jika aku harus pergi bersama seorang wanita,” ucap
Justin membuat segalanya lebih masuk akal. Pantas saja tadi pagi Justin
menyebutkan gadis-gadis dulu yang
bersamanya. Giavanna kagum dengan pengorbanan Alexander, namun beberapa
saat kemudian ia menyadari sesuatu.
“Apa seperti ini juga akan menyakiti
hatinya?” tanya Giavanna berhati-hati.
“Tidak, tentu tidak.” Justin
menggeleng kepalanya cepat kemudian ia meminum air. “Ia menyukaimu, Giavanna.
Katanya kau wanita yang menyenangkan dan aku setuju.” Ucap Justin tersenyum.
Ah, sialan sekali! Mengapa pipi Giavanna tak bisa tak memerah tiap kali Justin
memujinya? Giavanna hanya tersenyum untuk menghargai pujiannya lalu kembali
melanjutkan makananya.
“Bahkan aku berpikir, kau itu
anugerah Tuhan yang diberikan untukku.” Ucapan itu keluar dari seorang pria gay
di hadapannya, membuat Giavanna terbang ke langit ke-9. “Aku senang kau menjadi
temanku.” Tambah Justin membuat angan-angan Giavanna runtuh.
***
Pria itu menarik nafas dalam-dalam
dengan perasaan gugup. Angin malam menerpa tubuhnya yang tak memakai jaket. Ia
memakai celana jins panjang berwarna hitam dengan pakaian yang cukup mencetak
otot-otot tubuhnya. Kakinya melangkah ragu-ragu menuju tempat tujuannya. Apakah
wanita itu akan menamparnya setelah ini atau memberinya satu kesempatan lagi?
Saat ia hampir sampai di tempat tujuannya, matanya melihat pada sebuah limosin
yang berhenti di depan gedung apartemen. Pintu pengemudi terbuka kemudian
melangkah mengitari mobil dan membukakan pintu penumpang. Keluarlah seorang
gadis cantik dari sana, seseorang yang ia ingin temui. Kemudian pengemudi itu kembali
masuk ke dalam limosin dan membawa
limosin itu berbalik arah.
Segera pria itu berlari menuju
wanita cantik malam itu. “Giavanna!” teriaknya. Wanita yang baru saja menaiki
satu anak tangga langsung menoleh pada pemilik suara itu.
“Lance, apa yang kaulakukan
malam-malam seperti ini memakai pakaian ketat seperti itu?” Tanya Giavanna
kebingungan, bukan malah menyapa balik. Kedua alis Giavanna hampir menyatu,
mengingat keputusan Lance mengenai makan malam mereka.
“Giavanna, aku minta maaf,” bisik Lance
berdiri di bawah Giavanna sehingga sekarang tinggi mereka. “Aku tak bermaksud
membatalkan makan malam besok. Jika kau memberiku kesempatan kedua, kumohon
terimalah ajakanku kembali untuk makan malam besok.” Lanjut Lance. Otak Giavana
menimbang-nimbang. Pria itu telah mengambil keputusan yang membuat Giavanna
sakit hati. Kepala Giavanna melihat ke sekitar mereka. Kendaraan tidak begitu
banyak malam ini. Angin malam begitu dingin dan pria itu tampaknya baru berlari
dari gedung apartemennya untuk datang mengajak kembali Giavanna apakah ia ingin
makan malam bersama Lance. Sebanding.
“Baiklah.” Ucap Giavanna tersenyum.
Mata Lance melebar tak percaya. Kemudian ia tersenyum.
“Baiklah, besok akan kujemput kau.
Selamat malam.” Ucap Lance melangkah mundur lalu memberi kecup jauh pada
Giavanna. Pria itu segera berbalik dan berlari lalu melompat bersorak bahagia.
“Yeah!” Soraknya bahagia. Giavanna melihat pria itu begitu bahagia. Ah, sangat
manis.
Rasanya, malam ini terasa sangat
sempurna.
***
Malam berikutnya, Giavanna menunggu
Lance. Pria itu meminta Giavanna memakai pakaian kasual. Celana jins atau
kemeja. Karena mereka tidak akan makan malam di tempat mewah seperti restoran
yang kemarin Justin dan Giavanna datangi. Giavanna merasa begitu percaya diri,
ia tidak memakai riasan wajah berlebihan seperti kemarin, dan hari ini Giavanna
merasa tidak akan ada masalah yang akan menimpanya. Hari ini ia sudah pergi ke
gereja, merapikan rumah dan membantu Hailey memasak. Semuanya berjalan lancar.
Tidak ada beban di punggung Giavanna lagi. Setidaknya, untuk sekarang ini.
Seseorang yang mengendarai motor
tiba-tiba saja berhenti di depan Giavanna. Motor Vespa tua berwarna biru muda
itu tampak sangat lucu dikendarai oleh pria bertubuh besar seperti Lance. Ya
Tuhan, Giavanna tak habis pikir ia akan diajak pergi makan malam bersama
diantar dengan motor.
“Apa aku kelihatan masih tampan
dengan motor ini?” Tanya Lance yang sama percaya dirinya dengan Justin. Pria
itu menyodorkan sebuah helm untuk Giavanna pakai lalu kemudian wanita itu
menaiki kursi bagian belakang dan memegang pundak Lance. “Saatnya kita
berangkat.” Seru Lance mulai melajukan motornya. Angin malam mulai menerpa
tubuh Lance, melindungi tubuh Giavanna di belakangnya. Untungnya Lance memakai
jaket berwarna abu-abu, jadi ia tak perlu khawatir, ia takkan terkena sakit.
Giavanna tak tahu kalau Lance akan secepat ini menghafal jalan di Atlanta.
Motor itu membawa mereka ke sebuah truk restoran yang biasa berhenti di depan
taman luas—tempat yang biasanya orang pakai untuk menonton layar tancap
bersama. Tetapi Lance tidak akan mengajak Giavanna menonton film layar tancap.
Mereka hanya akan saling mengetahui satu sama lain. Motor itu berhenti di
tempat parkiran lalu Giavanna turun.
“Jangan pernah lepas tanganku. Aku
tak ingin kita berpisah selama kita makan malam di sini,” ucap Lance
memperingati. Giavanna mengangguk patuh. Ia melihat ke taman yang dipenuhi oleh
orang-orang yang sedang menonton layar tancap. Beberapa truk makanan sudah
berada di sana, menyiapkan makanan untuk mereka para penonton. Lance kemudian
memegang tangan Giavanna, menarik tangan itu menuju salah satu truk penjual
taco. Mereka berhenti di depan truk itu, kemudian dilayani oleh sang pemilik
truk.
“Kau mau apa?” Tanya Lance melihat
menu di atas mereka.
“Aku menyukai makanan apa saja.
Jadi, terserah kau.” ucap Giavanna. Lance mengangguk satu kali kemudian memesan
taco pada pemilik truk itu. Giavanna membalikkan tubuhnya, melihat orang-orang
yang berbaring itu sedang menonton film romantis. Tubuh Giavanna menggeliat
saat ia menyadari bahwa beberapa penonton di belakang lebih memilih bercumbu
dibanding menikmati tontonannya.
“Yeah, menjijikan.” Lance menyeletuk
saat ia juga melihat apa yang Giavanna. Diajaknya Giavanna duduk di atas kursi
di depan truk itu. “Aku tidak pernah menonton layar tancap sebelumnya.”
“Ya, aku juga,” Giavanna mengangguk.
“Omong-omong, kau tahu tempat ini dari mana?”
“Oh, temanku. Ia menyarankan tempat
ini saat aku memberitahunya kalau aku akan mengajak kencan seorang wanita
cantik. Katanya taco truk ini adalah yang terbaik di Atlanta,” ucap Lance
seperti berpengalaman. Giavanna terkekeh.
“Aku tak tahu itu. Sayang sekali,
padahal aku lebih lama tinggal di sini daripada kau.” Bibir Giavanna mengerucut
ke samping, merasa kalah karena telah disaingi oleh teman Lance. Mata Lance
melihat ke belakang-atas Giavanna, ia menelan ludah. “Apa? Ada apa?” Giavanna menolehkan
kepalanya ke belakang lalu hidungnya bersentuhan dengan sebuah celana kain
berwarna hitam—lebih tepatnya di tengah-tengah celana itu. Pria pemilik celana
itu mundur satu langkah.
“Apa yang kalian lakukan di sini?”
Suara tidak suka pria itu terdengar. Giavanna mendongak, tak percaya kalau
Justin akan ada di sini. “Kupikir kalian berdua tak jadi makan malam bersama.”
“Just—Mr.Richardson. Aku tak tahu
kau ada di sini. Kami hanya …hanya makan malam bersama, tak lebih.” Lance
bangkit dari kursinya yang diikuti Giavanna juga. Tanpa mengatakan apa-apa,
Justin menarik tangan Giavanna untuk pergi dari meja itu. Giavanna sempat
memberontak namun kemudian ia sadar kalau perbuatannya akan sia-sia. Mereka
berhenti di belakang truk-truk makanan itu, kemudian Justin melepaskan tangan
Giavanna. Tangan Giavanna tiba-tiba menampar pipi Justin. Mata Jutsin melebar
terkejut.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Tanya Justin berusaha untuk mengabaikan tamparan itu.
“Aku hanya makan malam dengannya.
Apa yang kau lakukan di sini?” Nada suara Giavanna meninggi. Ia tak senang
Justin merusak suasana-suasana tenang yang telah Giavanna dan Lance ciptakan.
“A-aku sedang menonton layar tancap
dengan Alexander,” ucap Justin sedikit malu. “Mengapa kau makan malam
dengannya? Kupikir ia membatalkannya.” Ujar Justin jelas-jelas terdengar tak
suka.
“Kau kurang ajar! Kupikir kau akan
mendukungku dengan Lance! Mengapa kau tiba-tiba menarik tanganku seperti orang
tak tahu sopan santun? Kami baru saja sampai di sini dan kau sudah merusak acara
makan malamku dengannya. Apa masalahmu?” Bentak Giavanna tak suka.
“Ini bukan hanya masalahku! Kau
sudah melanggar peraturan perusahaan.” Ucap Justin berusaha untuk tak membentak
Giavanna.
“Sulit dipercaya Justin, kemarin
kita baru saja menghabiskan waktu menyenangkan. Dan kau tiba-tiba datang,
menghancurkan segalanya. Kau merusak semuanya.” Giavanna menggeleng-gelengkan
kepalanya. Justin sudah tak tahan lagi, ia berucap.
“Aku tak suka kau berjalan dengan
Lance!”
“Well, aku tak suka kau berjalan
dengan Alexander!” Balas Giavanna berteriak. Nafas mereka berdua memburu.
Giavanna membuang wajah dari Justin kemudian menggeleng kepalanya. Apa yang
baru saja ia ucapkan? Bodoh sekali. “Kau tahu apa? Lupakan apa yang kukatakan.
Kupikir kau ingin melihatku tersenyum. Tetapi baru beberapa saat aku menikmati
waktuku dengan Lance, kau sudah merusaknya. Tak bisa dipercaya.”
“Baiklah, terserah kau. Itu
keputusanmu. Kau yang meminta. Lance sudah tak bekerja lagi di RCS Advertisement.”
Ujar Justin yang memiliki kekuasaan itu. Giavanna tergelak satu kali, air
matanya telah terkumpul. Giavanna pikir Justin akan mendukung hubungannya
dengan Lance, tetapi sekarang Justin malah memecat Lance hanya karena mereka
makan malam bersama di truk restoran sederhana. Giavanna menatap Justin dengan
mata berkaca-kaca.
“Kau tahu apa, terserah kau! Aku
pulang. Sampai ketemu di neraka.” Ucap Giavanna beranjak dari tempatnya
berdiri. Ia menghapus air matanya yang sudah terjatuh kemudian muncul di hadapan
Lance yang wajahnya sudah memucat. “Lance, kita pulang.”
“Giavanna, kau tidak apa-apa?” Tanya
Lance khawatir, ia menghampiri Giavanna lalu menyentuh kedua bahu wanita itu.
“Hey, mengapa kau menangis?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya tak suka
akan sikap Justin. Ayo kita pulang.” Ajak Giavanna menarik tangan Lance untuk
pergi dari truk makanan itu. Justin muncul ketika mereka sudah melangkah menuju
parkiran. Mata Justin terpejam, ia menarik nafas dalam-dalam. Apa yang ia telah
perbuat sungguh salah. Ini memang salahnya. Seharusnya Justin tidak merusak
malam indah Giavanna dan menikmati malamnya sendiri bersama Alexander.
Ucapan Giavanna tentang ia tak suka
jika Justin bersama Alexander benar-benar menyentuh hati Justin hingga Justin
tak dapat berpikir selama beberapa saat. Apa Giavanna memiliki perasaan
terhadap Justin? Justin telah membuat Giavanna menangis karena sakit hati,
untuk yang pertama kalinya. Dan itu benar-benar meninju hulu hati Justin. “Sial.” Umpat Justin.
“Hey, Sir. Apa kau melihat dua orang
pasangan yang duduk di sana tadi?” Tanya seorang pemilik truk yang memegang dua
taco di tangannya. Justin menghampirinya lalu mengeluarkan beberapa lembar uang
dari dompetnya. Ia mengambil taco itu dari tangan pemilik truk makanan itu.
“Mereka bukan pasangan.” Ucap Justin
tak suka.
“Oh ya, maaf, Sir. Terima kasih.”
Pemilik truk makanan itu masuk kembali ke dalam truknya, tidak begitu
mempedulikan wajah Justin yang memerah. Dari jarak jauh, Justin dapat melihat
Giavanna menaiki motor Lance lalu memeluk pinggang pria itu dengan erat. Taco
yang kelihatan lezat tiba-tiba sudah melebur di tangannya yang ia kepalkan.
Sungguh sialan.
Hati Justin hancur berkeping-keping.
Seperti inikah rasanya sakit hati?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar