Perasaan ini terasa begitu janggal
setelah bertahun-tahun ia tak pernah merasakan hal seperti ini. Pria itu
menggeleng kepala, sudah dua jam ia berpikir bahwa perasaan ini memang tidak
benar. Ia tidak seharusnya marah saat ia melihat perempuan itu berjalan bersama
dengan pria lain. Lagi pula, apa masalahnya? Ia sudah memiliki kekasih yang ia
cintai, mengapa ia harus menyukai perempuan itu? Oh, yang benar saja! Itu
adalah pemikiran bodoh. Apakah ini salahnya karena tetap mempertahankan
perempuan itu di perusahaannya? Mengapa jika ia mencintai kekasihnya, ia harus
menyembunyikan kekasihnya dari depan publik? Mengapa ia tak membiarkan
perempuan itu menyebarkan berita bahwa ia adalah seorang gay dan melepaskan
perempuan itu dari perusahaannya? Sayangnya, semua telah terjadi dan tak ada
yang bisa mengembalikannya seperti semula. Seperti ketika ia masih bisa menjadi
dictator yang ditakuti karyawannya.
Justin menarik nafas tajam, lalu
matanya terpejam. Bayang-bayang Giavanna yang pergi bersama Lance membuat
dirinya tak bisa menahan diri untuk tak marah. Bukankah selama ini Giavanna
menyukai Justin? Atau selama ini, Justin-lah yang menyukai Giavanna? Mengapa
Justin tidak bisa menjawab pertanyaan sesederhana itu? Ya, ia terlalu takut
mengetahui kenyataan bahwa ia mulai menyukai manusia berjenis kelamin
perempuan. Bagaimana dengan Alexander jika ia tahu bahwa Justin kembali lagi
normal? Di atas balkon kamarnya, Justin membuka mata lalu melihat
bintang-bintang di atasnya. Apa yang dilakukan Giavanna sekarang? Apa ia masih
bersama pria itu? Sesegera mungkin Justin mengeluarkan ponsel di dalam kantong
pakaian tidurnya. Hanya nomor Giavanna yang ia punya di dalam ponsel itu. Ia
tak perlu sibuk-sibuk lagi mencari nomor perempuan itu. Ibu jarinya menekan
nomor kontak Giavanna lalu menghubungi perempuan itu. Ia berbalik sebentar
melihat ke dalam kamarnya, apakah Alexander telah benar-benar tidur atau tidak.
Butuh beberapa waktu menunggu jawaban dari Giavanna sampai akhirnya Giavanna
mengangkat telepon darinya. Justin dapat mendengar suara nafas Giavanna memburu
lalu ia tertawa geli.
“Siapa ini?” Tanya Giavanna dengan
nada suara kesal. Kedua alis Justin terangkat, bibirnya sedikit mengerucut.
Justin tak tahan melihat tingkah Giavanna hari ini. Jika Giavanna hanya seorang
asisten biasa, sudah pasti Justin akan memecatnya. Pikiran Justin terbang
kemana-mana saat ia mendengar nafas Giavanan yang memburu, apa yang dilakukan
Lance dengannya? Bukankah seharusnya Giavanna menjauhi Lance? Sialan.
“Giavanna, apa yang kaulakukan?”
Tanya Justin. Didengarnya suara terkejut dari Giavanna kemudian nafas orang
lain yang memburu itu semakin lama semakin menghilang dan diganti dengan deru
suara kendaraan lalu lintas. “Apa kau masih bersama pria itu?”
“Apa itu urusanmu, Justin? Kau bukan
ayahku. Apa maumu? Ini hari Minggu, bukan jam kerja.” Ujar Giavanna terdengar
begitu kesal. Suara itu membuat kesabaran Justin menipis. Tidakkah Giavanna
sadar bahwa pria ini hatinya tercabik-cabik ketika Giavanna berbicara seperti
itu padanya? Tidakkah Giavanna bahwa akhir-akhir ini Justin berusaha mencari
perhatian darinya? Justin benar-benar hancur sekarang.
“Apa yang kaulakukan dengan Lance?”
Tanya Justin dingin, sedingin es. Bibir Justin menipis saat ia mendengar suara
pria itu memanggil Giavanna. Dimana mereka sekarang dan apa yang sekarang
mereka lakukan? Justin benar-benar sekarat ingin mengetahuinya. Giavanna
merengek, seperti memohon pada Justin. Suara itu semakin membuat Justin bingung
apa yang terjadi pada Giavanna.
“Kumohon, Justin. Ini bukan urusanmu.
Apa yang kaubutuhkan?” Tanya Giavanna terdengar seperti menangis. Bahkan Justin
bisa mendengar perempuan itu menelan ludahnya. “Hey, siapa yang menghubungimu?”
suara pria lembut di seberang sana membuat Justin tak tahan lagi. Amarahnya
sudah melewati batas kepala bahkan rasanya ia ingin meninju sesuatu. Kaki
Justin membawa tubuhnya ke dekat tembok luar kamarnya, lalu ia bersandar di
sana. Ia menghitung dari satu sampai sepuluh agar amarahnya tak meledak begitu
saja. Ia tak ingin menyakiti perempuan ini satu kali lagi. Sudah cukup ia
membuat Giavanna merana. Ia hanya membuat perempuan itu tersenyum …karenanya.
Begitu sesak ketika ia harus menerima kenyataan bahwa Giavanna pasti sedang
bercumbu dengan Lance sementara dirinya diliputi oleh rasa bersalah.
“Dengar,” bisik Justin. “Aku hanya
ingin meminta maaf atas apa yang kuperbuat padamu tadi. Apa kita baik
sekarang?” Tanya Justin terdengar seperti bajingan. Giavanna yang berada di
balkon apartemennya menelan ludahnya lagi, tak habis pikir bahwa pria ini dengan
mudahnya meminta maaf dan berkata apa mereka baik sekarang? Oh, ia harus diberi
nilai sempurna dalam pelajaran menjadi seorang brengsek. Justin baru saja
memecat Lance! Teman kencan barunya yang sangat ia sukai!
“Tidak, kita tidak baik-baik saja,”
ucap Giavanna tegas. “Sampai bertemu besok, Justin.” Kemudian telepon itu mati
seketika. Justin menggigit bibirnya saat mendengar sikap Giavanna yang begitu
lancang! Menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya, Justin merasa ia perlu
menenangkan diri sejenak. Perempuan itu pasti akan memaafkannya besok. Yang
perlu ia lakukan sekarang hanyalah menghubungi seseorang. Ia harus mengirim
pesan pada seseorang, sialnya, ia lupa nomor telepon orang itu! Sungguh, hari
ini benar-benar hari terburuk yang pernah terjadi di kehidupan Justin. Pria itu
membalikkan tubuhnya lalu meninju pintu di sebelah tubuhnya—yang berupa
kaca—hingga terpecah belah. Alexander yang terlelap itu seketika bangun dan
panik. Apa-apaan yang kekasihnya lakukan? Didengarnya Justin terisak. Segera ia
bangkit dari tempat tidur lalu mendekati Justin.
Kaca yang berserakan di lantai tidak
akan menyakiti telapak kakinya karena ia memakai sandal yang selalu ia pakai
tiap berada di rumah. Justin menyandarkan keningnya pada tembok dengan kedua
bahunya naik-turun dengan cepat, sesekali pria itu terisak. Apa-apaa yang
terjadi? Mengapa Justin begitu marah? Alexander menyentuh bahu Justin lalu
berucap dengan lembut.
“Hey, apa yang terjadi?” Tanya
Alexander, berusaha menenangkan kekasihnya. Telapak tangannya mengelus-elus
bahu Justin. Tetapi respon yang Alexander harapkan tidak terjadi. Justru Justin
menyentakkan bahunya dari Alexander.
“Jangan sentuh aku!” Bentak Justin
kencang sampai Alexander melompat kecil ke belakang. “Ini semua salahmu! Ini
semua salahmu, Alexander! Dia bersama orang lain sementara aku harus berada di
sini, bersamamu, dengan perasaan bersalah padanya! Mengapa kau memaksaku untuk
mendekatinya? Kau yang mengubahku menjadi seperti ini.” Justin melipat bibirnya
ke dalam, kepalanya mendongak ke belakang agar air matanya tak mengalir jatuh. Nafas
Alexander tertahan. Dia? Perempuan itu? Pria itu terdiam sebentar sambil
matanya terus memerhatikan pria yang sangat ia cintai di hadapannya. Otaknya
masih belum bisa menyerap kata-kata yang baru dikeluarkan oleh pria itu. Apa
maksudnya? Apa salahnya sehingga pria itu menangis seperti ini? Sebisa mungkin
Alexander menolah pikiran bahwa Justin sudah tak mencintainya lagi. Jadi, ia
lebih memilih bertanya dibanding ia harus menerka-nerka hal yang tak benar.
“Justin, sayang, beritahu apa yang
terjadi. Aku masih tak mengerti.” Ucap Alexander lembut. Namun ia juga tak
berusaha untuk menyentuh Justin. Ia tahu apa yang akan Justin lakukan tiap kali
Justin marah. Pria di hadapannya tak berani menatap mata Alexander. Ia terlalu
takut, ia terlalu merasa bersalah, dan ia takut bila hari ini ia harus
menyakiti dua hati sekaligus. Tetapi sayangnya, ia baru saja melakukan hal itu.
Justin masih mendongak, matanya mengedip cepat lalu ia menarik nafas tajam
lagi. Matanya kemudian tertutup, bayang-bayang senyum Giavanna kemarin masuk
dalam otaknya. Membuat hatinya terus meleleh tiap kali ia melihat senyum itu.
Mengapa ia harus jatuh cinta pada perempuan itu? Mengapa ia tidak tetap pada
pendiriannya? Mengapa ia terus membohongi dirinya sendiri bahwa ia memang
mencintai Giavanna selama ini?
Bagaimana dengan perasaannya terhadap Alexander? Ia tak pernah merasakan
percikan aneh tiap kali Alexander mengecupnya atau memeluknya.
Apakah hubungan antara mereka hanya
karena Justin merasa kasihan pada Alexander? Jika begitu, mengapa Justin tak
berani menatap Alexander sekarang? Ia bahkan baru saja membentak pria yang
telah menyelamatkannya dua tahun lalu! Betapa bajingannya Justin sekarang.
“Kau tahu kau bisa menceritakan apa
pun padaku, Justin. Jadi, ceritakanlah. Apa yang terjadi padamu dengan
Giavanna? Apa kau menghamilinya?” Tanya Alexander membuat Justin membuka
matanya.
“Tidak!” Bantah Justin secepat
mungkin. “Tidak, aku tidak menghamili Giavanna. Ini hanya…” suara Justin melemah.
Ia membuang wajah dari Alexander lalu menempatkan kedua telapak tangannya ke
belakang leher.
“Lalu apa? Beritahu aku, Justin.”
Kali ini Alexander memaksa. Pria itu melangkah satu kali ke arah Justin berniat
ingin menyentuh tangan Justin. Namun entah dari mana datangnya, Justin mundur
ke belakang hingga punggungnya bersentuhan dengan tembok. Kembali nafas
Alexander tercekat. Justin membungkukkan tubuhnya, bersiap-siap ingin
memberitahu Alexander apa yang sebenarnya terjadi. Sungguh, Justin tak menyakiti
hati pria itu, namun jika kebohongan ini terus berlangsung, maka Justin tidak
akan pernah menjadi orang yang dapat merasakan cinta sesungguhnya. Dan sampai
kapan pun, ia takkan pernah bisa. Ia hanya ingin dicintai oleh gadis itu. Perempuan yang sedang berada di
apartemen itu. Sayangnya, perempuan itu sedang bersama pria lain.
Suara nafas memburu dari Giavanna
memekakan telinga Justin. Tangan Justin yang berada di leher langsung meremas
lehernya begitu saja. Ia merasa begitu sakit hati. Ia tak bisa menerima
kenyataan bahwa perempuan itu bukan miliknya! Giavanna bukan miliknya—tidak
akan pernah. Alexander masih dengan sabar menunggu kekasihnya menjawab. Jika
bukan menghamili Giavanna, mengapa Justin tampak begitu resah dan marah? Mata
Alexander jatuh pada pecahan kaca yang berserakan di dalam kamar. Mata biru
Alexander beralih pada ponsel yang berada di belakang leher Justin. Apa ia baru
saja menghubungi Giavanna? Sebenarnya, ada rahasia antara Justin dan Giavanna?
Secara tiba-tiba, Justin menegakkan tubuhnya kembali kali ini air mata Justin
mengalir, matanya memerah seperti tak kuat menahan perasaan yang benar-benar
membuat Justin resah. Oh, apa yang terjadi dengan malaikat hidupnya? Alexander
melipat bibir ke dalam. Lalu satu kalimat itu muncul dari mulut Justin.
“Alexander, kurasa aku mencintai
Giavanna.” ucap Justin mantap, pria itu menatapnya dengan tatapan bersalah.
Alexander mundur beberapa langkah lalu diam mematung di tempatnya. Matanya
berkedip cepat ketika Justin mengucapkan kalimat yang tak pernah Alexander
duga. Ini sulit diterima olehnya. Tanpa diminta, air mata Alexander menetes
begitu saja membasahi pipinya. Ia pikir selama ini Justin adalah belahan
jiwanya. Ia pikir selama ini Justin benar-benar mencintainya. Ia bahkan
berpikir …Justin akan melemarnya secepat mungkin. Dan hal paling gila yang
pernah Alexander pikirkan adalah …Justin akan memperkenalkannya ke depan publik
bahwa ia adalah kekasih yang Justin cintai. Namun, sulit diduga dan dipercaya,
kata-kata Justin berhasil membuat hati Alexander hancur lebur tak dapat
disatukan kembali.
“Alexander, maafkan aku,” bisik
Justin melangkah maju mendekati Alexander. Pria berambut panjang itu segera
mundur, menjaga jarak dengan Justin.
“Jangan sentuh aku.” Memejamkan
matanya lalu air matanya kembali mengalir. “Kuberikan segalanya untukmu,
Richardson! Aku rela mengorbankan perasaanku hanya agar dirimu dikenal baik
oleh publik. Tapi lihat sekarang apa yang kaulakukan padaku. Kau menghancurkan
hatiku seperti aku adalah Eva. Seharusnya aku sudah menduga sejak awal bahwa
dirimu takkan pernah berubah. Kau takkan pernah menjadi milikku, Justin. Aku
terlalu naïf dan yakin bahwa kau akan menjadi pria yang mudah menerima cinta.
Tetapi bodohnya aku membiarkanmu bersama perempuan lain demi kejayaanmu. Kau memang
brengsek Justin.
“Aku ingin kau mendekati Giavanna
karena menurutku dia tak tertarik padamu dan kau tak menyukainya karena ia
mirip dengan Eva. Tapi, argh ya Tuhan, aku bodoh sekali. Aku terlalu jatuh
cinta padamu sampai aku buta melihat kekuranganmu. Sial, sial, sial.” Erang
Alexander meremas lehernya, kepalanya mendongak ke belakang.
“Alex, aku pikir juga seperti itu. Kupikir aku tidak
menyukainya. Tetapi demi Tuhan, Alexander …aku tak bermaksud menyakiti hatimu.
Aku hanya mengatakan yang sejujurnya,”
“Jika kau sekarang mengatakan yang
sejujurnya, lalu kebohongan apa lagi yang belum terungkap?” Tanya Alexander,
kali ini dagunya terangkat terlihat menantang. Justin tidak tega melihat
Alexander menangis seperti ini, tetapi waktunya semakin menipis untuk
menghentikan kehancuran ini.
“Giavanna tahu kita berdua sepasang
kekasih,”
“Well, beruntungnya dia, kita bukan
sepasang kekasih lagi.” tukas Alexander dengan bibir menipis. Matanya juga
memerah seperti Justin, dan beberapa kali ia mengerjap mata cepat agar air
matanya tak mengalir lagi. Kemudian Alexander mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tanpa mengatakan apa pun lagi, Alexander berlari pergi dari hadapan Justin. Ia
melewati pecahan beling lalu keluar dari kamar—dengan membanting pintu. Namun
Justin tak mengejarnya. Ia tak mengejar pria yang mencintainya itu. Justin
berteriak, lalu meninju tembok di belakangnya.
“Persetan!” Ia harus mengirim pesan
pada seseorang agar segalanya berhenti sekarang juga sebelum Justin menyakiti
orang lain. Lagi.
***
Tubuh perempuan itu sudah setengah
telanjang. Hanya bra dan celana jins yang sekarang menempel pada tubuhnya
sementara pria di atas tubuhnya hanya memakai celana boxer yang berarti pria
itu telanjang dada. Bukan hanya wajahnya saja yang tampan, ternyata pria itu
memiliki abs yang bisa dibilang benar-benar indah. Giavanna tak pernah berpikir
bahwa malam dimana ia akan diperawani akan ia lakukan bersama seorang pria
gagah, tampan dan perkasa. Setelah diganggu oleh setan di luar sana, mereka
berdua ingin menyatu diri bersama. Melebur diri mereka di atas ranjang. Lance
mengecup-kecup leher Giavanna sementara di bawah tubuhnya, Giavanna
melenguh-lenguh tak tahan karena geli bercampurkan nikmat. Bagaimana bisa
Giavanna terbuai senikmat ini? Oh, jika ia tahu rasanya akan senyaman dan
senikmat ini, sudah pasti Giavanna melakukan sejak dulu.
Bibir mereka kembali menyatu. Bunyi
cepakan antara bibir mereka menjadi latar suara suasana. Tubuh Giavanna
bergetar di bawah sentuhan Lance. Tangan Giavanna memeluk leher Lance. Oh,
betapa manisnya bibir Lance. Dapat Giavanna rasakan di perutnya, sesuatu yang
menonjol menekan-nekan. Kemudian bibir mereka terlepas satu sama lain.
“Apa ini pertama kali bagimu?” Tanya
Lance hati-hati. Giavanna memainkan jemarinya di sela-sela rambut Lance, lalu
mengangguk sambil tersenyum. Entah mengapa ada perasaan bersalah ketika
Giavanna mengangguk. Ia memikirkan Justin.
“Ya. Aku harap kau melakukannya
pelan, aku masih amatir.” Bisik Giavanna tertawa geli ketika Lance dengan
sengaja menggerak-gerakkan pinggulnya di atas tubuh Giavanna. “Oh, apa kau
punya pengaman? Maksudku, meski aku belum pernah melakukannya, pengaman
betul-betul dibutuhkan bukan?” Tanya Giavanna kembali tersenyum. Perempuan di
bawah tubuh Lance benar-benar berbeda dengan perempuan yang berbicara di
telepon tadi. Giavanna seperti putus asa dan ingin pingsan saat ia sedang
ditelepon. Namun sekarang, hanya dengan sedikit rayuan, Giavanna sudah berada
di atas tempat tidur. Sadar akan lamunannya, Lance mengangguk. Ia kemudian mengecup
bibir Giavanna kembali. Diam-diam Giavanna ragu dengan apa yang akan mereka
lakukan. Apakah Justin akan memarahinya jika mereka berhubungan badan? Oh,
mengapa ia perlu memikirkan perasaan Justin? Tidak, Justin tak ada hubungannya
dengan ini.
“Kau tahu, aku merasa beruntung
menjadi pria pertama. Maksudku, apakah ini tanda kita bisa melanjutkan hubungan
ke tingkat selanjutnya?”
“Well, aku tak tahu.” Giavanna
berbicara seperti anak sekolahan. Kali ini Giavanna yang mengecup bibir Lance
lalu mereka kembali tenggelam dalam ciuman panas mereka. Lidah mereka sesekali
bermain dengan lembut. Entah mendapat keahlian dari mana, tetapi Giavanna
berhasil mengimbangi ciuman Lance yang panas. Sesekali Lance mengemut bibir
bawahnya lalu menjilat bibirnya—yang mana benar-benar merangsangnya. Sedang
mabuk dalam ciuman mereka, suara ponsel berdering memekakan telinga mereka.
Bibir mereka segera terpisah. Kemudian Lance mengumpat.
“Apa aku harus mengangkatnya?” Tanya
Lance.
“Mungkin penting,” bisik Giavanna
tersenyum. Lance mengerang pelan, lalu ia memutar matanya tak senang diganggu
seperti ini. Hal itu membuat Giavanna tertawa kecil lalu mendorong Lance agar
turun dari tubuhnya. “Sudah, cepat angkat telepon itu.” Dorong Giavanna hingga
Lance jatuh ke atas tempat tidur.
“Giavanna!” Tegur Lance tertawa.
Pria itu kemudian merangkak menuju celana jinsnya yang berserakan di atas
lantai. Lalu mengambil dan merogoh kantongnya. Ketika ia melihat siapa yang
menghubunginya, Lance menolak panggilan itu. Ia menekan tombol merah di layar
ponselnya lalu menaruh ponselnya ke atas lemari di samping tempat tidur
Giavanna.
“Siapa?” Tanya Giavanna yang
bersandar di siku-sikunya.
“Bukan siapa-siapa. Aku tak suka
mengangkat telepon yang nomornya tak kukenal.” Ujar Lance kembali merangkak
naik ke atas tempat tidur. Lance memang tidak senang mengangkat telepon yang
dari orang yang tidak ia kenal. “Mari kita lanjutkan lagi.” bisik Lance
mengecup bibir Giavanna. Baru mengecup satu kali, ponselnya kembali berdering.
Segera Lance menekan tombol warna merah lagi lalu mengumpat.
“Tidakkah menurutmu itu seseorang
yang penting? Maksudku, ia menghubungimu dua kali,” ucap Giavanna mengedik
bahu. “Tapi terserah kau.” lanjut Giavanna cepat-cepat. Sebenarnya, Giavanna
juga kesal pada penelepon itu karena gairah Giavanna menurun begitu cepat saat
orang itu menghubungi Lance. Tidak dijawab oleh Lance, Giavanna memagut bibir
Lance. Dan ponsel sialan itu kembali berdering. Segera Giavanna mengambil
ponsel Lance lalu mengangkat telepon itu.
“Lance, aku perlu kau berhenti
melakukan apa pun yang kaulakukan sekarang. Aku tahu kau bersamanya, Lance.
Tetapi kau harus berhenti melakukan apa pun dengannya. Ini perintah.” Suara
familiar terdengar di telinga Giavanna, ia bahkan belum mengatakan apa pun
tetapi pria ini sudah menyembur begitu saja. “Lance, kau sialan! Jangan
mengabaikanku! Dengar, akan kubayar kau malam ini jika kau sekarang datang ke
rumahku.” Bibir bawah Giavanna tersembunyi dibalik giginya lalu menyembul
kembali ketika giginya melepaskan bibir itu. Jari Giavanna menekan tombol merah
untuk mengakhiri telepon itu lalu ia menghempaskan kepalanya ke atas bantal.
Matanya terpejam.
“Giavanna, siapa itu?” Tanya Lance
khawatir. Tanpa mengatakan apa pun, Giavanna kembali membuka matanya lalu
mengecek pesan-pesan di ponsel Lance. Ketika jarinya berhenti di salah satu
pesan dari Justin, hati Giavanna hancur berkeping-keping. Ia melihat percakapan
mereka berdua di dalam ponsel itu dari atas sampai bawah. Jantungnya sekarang
berada di mulut, dan Giavanna merasa mual membaca percakapan mereka. Digigitnya
bibir bawah itu kembali lalu ia menggeleng kepala tak percaya. Ketika Lance
melihat Giavanna terdiam dan air membendung di kelopak matanya, Lance tahu
siapa yang baru saja menghubunginya. Justin Sialan Richardson. Setelah selesai
membaca percakapan mereka, Giavanna mengembalikan ponsel itu pada Lance lalu
mendorong dada pria itu hingga Lance terduduk di sampingnya. “Anna—“
“Ssh,” desis Giavanna. “Tidak,
jangan bicara bahas apa pun denganku. Aku hanya ingin kau mengambil
barang-barangmu dan keluar dari apartemenku. Sekarang.”
“Giavanna, aku bisa menjelaskannya.”
Lance menyentuh lengan Giavanna. Mata cokelat Giavanna yang basah itu menatap
jari-jari Lance yang sudah berada di lengannya. Lalu dengan pelan, ia menyingkirkn
tangan itu. Sebisa mungkin Giavanna menahan tangisnya agar ia kelihatan kuat
namun kenyataan berkata lain; ia begitu rapuh sampai jika seseorang
menjentikkan jari mereka, Giavanna akan hancur seketika. Dengan suara lemah,
Giavanna berbicara.
“Aku hanya perlu kau keluar dari
apartemenku sekarang, Lance. Apakah itu sesuatu yang sulit untuk dilakukan?”
Tanya Giavanna merengut. Ia tak pernah berpikir bahwa pria akan sesulit ini.
Lance menghela nafas panjang lalu beranjak dari tempat tidur Giavanna. Ponsel
Lance berdering namun pria itu tak mengangkat ponselnya. “Mengapa kau tak
mengangkatnya?”
“Aku lebih memilih bertemu dengannya
langsung.” Ujar Lance menatap kasihan pada Giavanna.
“Mengapa?”
“Karena aku ingin meninju wajahnya,
Giavanna.” Giavanna tergelak satu kali, lalu kepalanya menggeleng tak percaya.
Senjata makan tuan. Tidak mengatakan apa-apa, Giavanna hanya mengambil nafas
dalam-dalam berusaha untuk menenangkan diri. Ternyata tidak dari antara mereka
dapat dipercayai. Terutama Justin. Merasa tak direspon oleh Giavanna, Lance
segera memakai celana jins dan bajunya. Ia sungguh merasa bersalah pada
Giavanna yang sekarang memejamkan mata. Dapat dilihat air matanya itu menetes
membasahi pipinya lalu jatuh ke atas tempat tidur. Lance akan melakukan apa pun
agar perempuan di hadapannya tak menangis lagi. Ia terlalu …peduli dengan
Giavanna.
“Aku sungguh menyesal dengan segala
yang kautahu sekarang, Giavanna.” bisik Lance melangkah keluar dari kamar
Giavanna. Ketika didengar pintu kamarnya tertutup, Giavanna berteriak sekencang
mungkin. Ia menangis histeris bahkan ia merasa tak pernah menangis sesedih ini.
Tubuhnya membungkuk ke depan sampai wajahnya mencium tempat tidur. Kemudian ia
kembali berteriak di sana. Ia menangis terisak bahkan rasanya ia tak sanggup
untuk menahan rasa sakit ini. Giavanna mendengar suara bentakan Hailey kemudian
pintu apartemen terbanting. Tak perlu waktu lama, pintu kamarnya terbuka.
“Giavanna, sayang,” Hailey berlari
mendekati Giavanna lalu menarik tubuh perempuan itu hingga duduk tegak dan
memeluknya. “Semuanya akan baik-baik saja.”
“Mereka membohongiku, Hailey. Mereka
berbohong padaku.” Isak Giavanna dengan dagu berada di atas bahu Hailey. Tangan
kecil Hailey mengelus-elus punggung Giavanna dan lembut lalu mengucapkan kata-kata
lembut yang menenangkan. “Mereka berbohong padaku.” Tangis Giavanna, tak dapat
berhenti. Bahkan wajah Giavanna memerah.
“Aku tahu, aku tahu.” Hanya itu yang
dapat Hailey katakan untuk menenangkan sahabatnya. Mereka memang bajingan kelas
kakap. Dan Hailey tak pernah melihat sahabatnya menangis sehisteris ini, bahkan
wajahnya begitu sedih. Dapat ia rasakan, hati Giavanna dihancurkan dengan
mudah. Ternyata, pernyataan betapa kuatnya Giavanna tak berlaku sekarang.
Giavanna tak sekuat itu. Bagaimana
pun, Giavanna tetap manusia dan ia seorang wanita. Ia juga bisa menangis.
***
Tetapi Giavanna seorang wanita yang
tangguh. Ia berani datang ke kantor dengan hanya mengenakan celana jins panjang
serta kaos tipis berwarna putih dengan tulisan FVCK serta gambar jari telunjuk
mengarah pada orang yang melihat pakaian itu. Awalnya penjaga di luar kantor
tak percaya Giavanna bekerja di RCS Advertisement, tetapi Giavanna segera
berlari secepat mungkin—ia tak membawa tanda pengenalnya—menuju lift yang ingin
tertutup dan berhasil lolos dari para penjaga. Wanita itu berjalan cepat menuju
ruangannya, nafasnya terengah-engah dan ia berkeringat. Ketika ia memasuki
ruangannya, Morgan sudah ada di sana sedang berbicara dengan seorang pria
baru—yang jelas bukan Lance. Ketika Morgan melihat pakaian yang Giavanna
kenakan, ia terkesiap tak percaya.
“Apa-apaan yang kau pakai,Giavanna,”
tegurnya berdiri di belakang meja kerjanya.
“Bukan urusanmu, Jalang.” Ujar
Giavanna tanpa menatap Morgan. Perempuan itu tersinggung dengan ucapan Giavanna,
bahkan pria yang berada di meja kerjanya itu berusaha untuk menahan tawanya
saat Giavanna berkata seperti itu. Didorongnya pintu kantor Justin lalu
menutupnya kembali dan menguncinya. Justin yang sedang menelepon di balik meja
kerjanya terkesiap melihat siapa yang muncul. Segera ia mengubah warna
dindingnya yang awalnya buram menjadi abu-abu. Tanpa berkata apa-apa, Giavanna
mendekati Justin lalu menarik kerah kemeja Justin hingga Justin berdiri.
“Kau bajingan brengsek! Beraninya
kau membohongiku dan menjebakku!” Wajah Giavanna terlalu dekat dengan wajah
Justin sampai pria itu dapat mencium wangi mint dari mulut Giavanna. Sungguh
merangsangnya.
“Giavanna, itu semua terjadi—“
“Kau memerintahnya untuk meniduriku
agar aku kehilangan keperawananku dan menunjukkannya pada publik agar aku malu!
Kau tidak pernah tahu, Justin, kau tidak pernah tahu. Aku peduli padamu! Dan
ini yang kauberikan padamu? Meminta Lance mendekatiku agar kau bisa mendapatkan
foto-foto porno dariku? Pft, sayangnya, jika kau lihat baik-baik tubuhku tak
begitu cocok untuk menjadi bintang porno. Kau memang suka melihat orang
menderita atau apa? Aku tak pernah mengerti dirimu, Justin. Kau pria yang
begitu sulit.
“Pantas Eva meninggal. Kuduga ia
serangan jantung karena harus mengurus dirimu. Kau membuatku muak. Aku pikir
kita berteman. Tetapi kau sendiri yang menjebakku, bahkan hal yang paling
mengejutkan adalah kau ingin mempermalukanku di depan publik! Jika memang aku
tidur dengan Lance, apa kau akan mengedit fotoku bersama dengan bintang porno
agar kelihatan lebih meyakinkan? Oh, betapa menyedihkannya menjadi diriku,
Justin.”
“Kau egois, Giavanna. Sekarang
terserah kau ingin mempublikasikan foto-foto sialan itu. Aku sudah tak peduli,”
ujar Justin menatap Giavanna. Kedua mata cokelat itu membakar diri satu sama
lain. Ruangan dingin itu terasa panas bagi mereka. Terlebih lagi dengan jarak
wajah mereka yang begitu dekat.
“Oh, lihatlah siapa yang bersikeras
foto-fotonya ingin dipublikasikan. Sayangnya, Justin, hari dimana kau menghapus
foto itu mereka semua sudah hilang. Aku tak punya bukti selain rekaman anakmu.
Dan sayangnya, aku terlalu baik untuk tak mempublikasikannya karena aku terlalu
peduli padamu. Yang kuinginkan hanyalah keluar dari perusahaan ini. Aku akan
membuat surat pengunduran diri yang perlu kautanda tangani.”
“Giavanna, biar kujelaskan padamu.
Aku hanya perlu kau mendengarkan,” ucap Justin menarik tangan Giavanna yang
masih meremas kerah bajunya. Perempuan itu menurut meski matanya masih menatap
tajam Justin. Justin menarik tangan itu sambil berjalan menuju sofa, seketika
itu juga Giavanna menyentakkan tangannya dari sentuhan Justin. Hatinya yang
hancur tak bisa disatukan kembali dengan cara apa pun. Mereka duduk saling
berseberangan, namun Giavanna tak melihat pada Justin. Ia menoleh keluar
jendela, mleihat pemandangan kota Atlanta.
“Sedihnya, Justin, kupikir aku
mencintaimu.” Bisik Giavanna membuat hati Justin berdebar-debar akan ungkapan
itu. Giavanna pikir ia mencintai Justin? Bagaimana bisa? Well, perempuan itu
merasa bersalah dan merasa ragu ketika Lance berniat menyetubuhinya dan
pikirannya terus terarah pada Justin. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya
lagi, ia menahan tangis. “Lupakan apa yang baru saja kukatakan. Jelaskan.”
Tukas Giavanna. Justin menarik nafas tajam.
“Kupikir ini semua kehancuran ini
terjadi karena kebencianku karena tak dapat menerima kenyataan. Aku tak pernah
mengakui pada diri sendiri bahwa aku menyukaimu sejak kau masuk ke dalam
kantorku. Kau begitu menarik perhatianku di hari pertama kau bekerja, namun aku
berusaha untuk menutupi semuanya dengan wajah datarku. Saat itu aku menganggap
bahwa perasaanku hanyalah kebencian semata karena kau mirip dengan Eva.
Perempuan yang pernah menjadi istriku, perempuan yang pertama kali kupukul dan
kubunuh secara mental,”
“Sudah kuduga,” bisik Giavanna.
“Dia masuk rumah sakit jiwa setelah
ia melahirkan Arthur dan meninggal di sana karena perlakuanku yang kasar. Aku
tahu ini perbuatan yang sangat kejam karena telah menyiksa seorang perempuan
yang sangat mencintaiku. Aku tak pernah bersyukur dengan orang yang
mencintaiku, aku hanya merasa taka man. Aku juga meminta pembunuh bayaran untuk
membunuh ayahku agar perusahaan ini menjadi milikku sekaligus dendamku
terbalaskan. Aku tak pernah menyukaiku ayahku sampai kau datang ke dalam
hidupku. Kau mengubah segalanya.
“Kau cerewet, menyenangkan, namun
sabar. Dan aku tak pernah memperlakukanmu dengan layak selayaknya wanita.
Melihat wajahmu yang mirip Eva membuatku kesal tiap saat. Emosiku tak bisa
tertahankan mengingat Eva yang lemah dan kau muncul di hadapanku dengan segala
kemiripannya. Aku tak benar-benar membencimu. Dan kemudian kau datang
mengancamku dengan foto-foto sialan itu. Tidakkah kau berpikir betapa aku tak
merasa aman saat itu? Aku takut jika Alexander tahu bahwa ternyata hubungan
kita diketahui orang lain. Ia sebisa mungkin menutupi hubungan kami dari apa
pun. Jadi aku meminta seseorang untuk membalas dendamku. Dari apa yang
kupelajari, kau menyukai pria tampan sejenis Alexander maka kukirimkan Lance
untukmu. Agar kau bisa tidur dengannya dan memiliki foto-foto dirimu telanjang
sehingga aku bisa mengancammu.
“Lance tak bisa datang secepat yang
kumau karena neneknya baru saja meninggal. Jadi, jarak waktunya cukup panjang
yang membuatku harus menghabiskan waktu bersamamu. Seiring berjalannya waktu,
aku seharusnya menghentikan Lance. Semua ini hanyalah kesalahpahaman, Giavanna.
Setelah apa yang terjadi antara kau dan aku, aku tak ingin Lance menidurimu dan
menjebakmu. Namun terlambat. Kau telah mengetahuinya.”
“Untungnya, aku bukan salah satu
korban dari pembunuhanmu. Tenang takkah kuberitahu siapa pun tentang itu. Omong-omong, kau memanggilku ‘jalang’ dan
‘anak jalang’ di sana. Kau pikir aku akan menerima itu dengan mudahnya? Terima
kasih, Justin.Oh, hampir lupa, kau juga memanggilku wanita murahan. Bukankah
aku pernah memberitahu padamu kalau kau pria pertama yang mencium bibirku?”
“Ya, aku tahu. Aku sungguh menyesal
telah memanggilmu dengan panggilan itu. Aku benar-benar diliputi oleh
kemarahan. Kau seharusnya tahu Giavanna, aku juga peduli padamu,” ucap Justin.
Giavanna menggeleng kepala, ia mengeraskan hatinya agar tak mudah luluh dengan
perminta maafan Justin. Perempuan itu bangkit dari sofa lalu mengembus nafas
panjang. Dengan sigap Justin ikut berdiri, seolah-olah ia tak akan membiarkan
Giavanna pergi dari hadapannya.
“Kurasa, aku bisa pergi sekarang.
Kuharap kau mau menanda tangani surat pengunduran diri dariku. Permisi,
Mr.Richardson,” ucap Giavanna melangkah meninggalkan Justin. Mata Justin
memerhatikan perempuan itu berjalan menuju pintu, kemudian didengarnya
perempuan itu terisak. Tanpa pikir panjang lagi, Justin menarik nafasnya.
“Aku mencintaimu, Giavanna!” Teriak
Justin hingga perempuan yang baru saja ingin menyentuh gagang pintu berhenti di
tempat. Tangisan Giavanna memecah. Mengapa Justin melakukan hal ini padanya?
Mengapa ia menyatakan cinta padanya saat semuanya telah hancur? Hati Giavanna
hancur berkeping-keping karena kebohongan Justin yang begitu besar. Bahkan yang
tak pernah Giavanna duga ialah ia ingin menjebak Giavanna melalui Lance, mantan
kencannya kemarin malam—yang ternyata juga berhasil membuat Giavanna kecewa. Dan
sekarang Justin menyatakan cinta padanya? Betapa berani sekaligus bajingannya
Justin!
“Jika kau mencintaiku, kumohon
berbaliklah,” bisik Justin dengan nada penuh permohonan. Giavanna terisak
kembali lalu ia membalikkan wajahnya. Mata Giavanna memerah basah, bibirnya
bergetar seolah-olah ia takut pada Justin. Dan Justin tahu betul bahwa
perempuan ini memiliki perasaan yang sama dengannya. Senyum Justin muncul,
namun senyuman itu ternyata semakin menyakiti hati Giavanna. Perempuan itu
segera menarik gagang pintu dan keluar dari ruangan Justin secepat yang ia
bisa. Morgan yang berada di luar itu menatap bingung ketika Giavanna keluar dan
berjalan cepat sambil terisak. Apa yang baru saja terjadi? Justin tak ingin
menidurinya? Atau Justin sudah bosan memakai tubuhnya? Morgan mengedik bahu tak
peduli.
Di dalam ruangan, Justin kembali
melakukan apa yang ia perbuat kemarin malam. Ia meninju meja kaca di depannya.
Kemudian mengumpat hingga wajah memerah. Matanya berair dan hatinya begitu
sesak mengetahui bahwa Giavanna akan meninggalkannya. Kemana Giavanna akan
pergi?
“Sialan, kau Giavanna! Kau
benar-benar menghancurkanku.” Ujar Justin dengan kedua tangan di belakang
tengkuknya lalu meremasnya sekencang yang ia bisa. Ia melangkah menuju sisi
jendela lalu menunduk ke bawah agar ia dapat melihat Giavanna keluar. Mengapa
Justin tak mengejar Giavanna? Apa ia takut ia akan menyakiti hati Giavanna
lebih dalam lagi? Justin tak tahu. Ia sendiri merasa dirinya begitu bodoh
sekarang. Seluruh orang yang mencintainya meninggalkannya karena sikap egois
sialan itu. Jika Giavanna mau memberitahu bagaimana cara memperbaiki keadaan
ini, Justin pasti akan melakukannya sekuat apa pun.
Sayangnya, Giavanna sekarang telah
masuk ke dalam taksi kuning dan menghilang dari pandangan Justin. Mungkinkah
mereka akan bertemu kembali?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar