Sabtu, 28 Juni 2014

Perfect Time Bab 14



            Perasaan ini terasa begitu janggal setelah bertahun-tahun ia tak pernah merasakan hal seperti ini. Pria itu menggeleng kepala, sudah dua jam ia berpikir bahwa perasaan ini memang tidak benar. Ia tidak seharusnya marah saat ia melihat perempuan itu berjalan bersama dengan pria lain. Lagi pula, apa masalahnya? Ia sudah memiliki kekasih yang ia cintai, mengapa ia harus menyukai perempuan itu? Oh, yang benar saja! Itu adalah pemikiran bodoh. Apakah ini salahnya karena tetap mempertahankan perempuan itu di perusahaannya? Mengapa jika ia mencintai kekasihnya, ia harus menyembunyikan kekasihnya dari depan publik? Mengapa ia tak membiarkan perempuan itu menyebarkan berita bahwa ia adalah seorang gay dan melepaskan perempuan itu dari perusahaannya? Sayangnya, semua telah terjadi dan tak ada yang bisa mengembalikannya seperti semula. Seperti ketika ia masih bisa menjadi dictator yang ditakuti karyawannya.
            Justin menarik nafas tajam, lalu matanya terpejam. Bayang-bayang Giavanna yang pergi bersama Lance membuat dirinya tak bisa menahan diri untuk tak marah. Bukankah selama ini Giavanna menyukai Justin? Atau selama ini, Justin-lah yang menyukai Giavanna? Mengapa Justin tidak bisa menjawab pertanyaan sesederhana itu? Ya, ia terlalu takut mengetahui kenyataan bahwa ia mulai menyukai manusia berjenis kelamin perempuan. Bagaimana dengan Alexander jika ia tahu bahwa Justin kembali lagi normal? Di atas balkon kamarnya, Justin membuka mata lalu melihat bintang-bintang di atasnya. Apa yang dilakukan Giavanna sekarang? Apa ia masih bersama pria itu? Sesegera mungkin Justin mengeluarkan ponsel di dalam kantong pakaian tidurnya. Hanya nomor Giavanna yang ia punya di dalam ponsel itu. Ia tak perlu sibuk-sibuk lagi mencari nomor perempuan itu. Ibu jarinya menekan nomor kontak Giavanna lalu menghubungi perempuan itu. Ia berbalik sebentar melihat ke dalam kamarnya, apakah Alexander telah benar-benar tidur atau tidak. Butuh beberapa waktu menunggu jawaban dari Giavanna sampai akhirnya Giavanna mengangkat telepon darinya. Justin dapat mendengar suara nafas Giavanna memburu lalu ia tertawa geli.
            “Siapa ini?” Tanya Giavanna dengan nada suara kesal. Kedua alis Justin terangkat, bibirnya sedikit mengerucut. Justin tak tahan melihat tingkah Giavanna hari ini. Jika Giavanna hanya seorang asisten biasa, sudah pasti Justin akan memecatnya. Pikiran Justin terbang kemana-mana saat ia mendengar nafas Giavanan yang memburu, apa yang dilakukan Lance dengannya? Bukankah seharusnya Giavanna menjauhi Lance? Sialan.
            “Giavanna, apa yang kaulakukan?” Tanya Justin. Didengarnya suara terkejut dari Giavanna kemudian nafas orang lain yang memburu itu semakin lama semakin menghilang dan diganti dengan deru suara kendaraan lalu lintas. “Apa kau masih bersama pria itu?”
            “Apa itu urusanmu, Justin? Kau bukan ayahku. Apa maumu? Ini hari Minggu, bukan jam kerja.” Ujar Giavanna terdengar begitu kesal. Suara itu membuat kesabaran Justin menipis. Tidakkah Giavanna sadar bahwa pria ini hatinya tercabik-cabik ketika Giavanna berbicara seperti itu padanya? Tidakkah Giavanna bahwa akhir-akhir ini Justin berusaha mencari perhatian darinya? Justin benar-benar hancur sekarang.
            “Apa yang kaulakukan dengan Lance?” Tanya Justin dingin, sedingin es. Bibir Justin menipis saat ia mendengar suara pria itu memanggil Giavanna. Dimana mereka sekarang dan apa yang sekarang mereka lakukan? Justin benar-benar sekarat ingin mengetahuinya. Giavanna merengek, seperti memohon pada Justin. Suara itu semakin membuat Justin bingung apa yang terjadi pada Giavanna.
            “Kumohon, Justin. Ini bukan urusanmu. Apa yang kaubutuhkan?” Tanya Giavanna terdengar seperti menangis. Bahkan Justin bisa mendengar perempuan itu menelan ludahnya. “Hey, siapa yang menghubungimu?” suara pria lembut di seberang sana membuat Justin tak tahan lagi. Amarahnya sudah melewati batas kepala bahkan rasanya ia ingin meninju sesuatu. Kaki Justin membawa tubuhnya ke dekat tembok luar kamarnya, lalu ia bersandar di sana. Ia menghitung dari satu sampai sepuluh agar amarahnya tak meledak begitu saja. Ia tak ingin menyakiti perempuan ini satu kali lagi. Sudah cukup ia membuat Giavanna merana. Ia hanya membuat perempuan itu tersenyum …karenanya. Begitu sesak ketika ia harus menerima kenyataan bahwa Giavanna pasti sedang bercumbu dengan Lance sementara dirinya diliputi oleh rasa bersalah.
            “Dengar,” bisik Justin. “Aku hanya ingin meminta maaf atas apa yang kuperbuat padamu tadi. Apa kita baik sekarang?” Tanya Justin terdengar seperti bajingan. Giavanna yang berada di balkon apartemennya menelan ludahnya lagi, tak habis pikir bahwa pria ini dengan mudahnya meminta maaf dan berkata apa mereka baik sekarang? Oh, ia harus diberi nilai sempurna dalam pelajaran menjadi seorang brengsek. Justin baru saja memecat Lance! Teman kencan barunya yang sangat ia sukai!
            “Tidak, kita tidak baik-baik saja,” ucap Giavanna tegas. “Sampai bertemu besok, Justin.” Kemudian telepon itu mati seketika. Justin menggigit bibirnya saat mendengar sikap Giavanna yang begitu lancang! Menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya, Justin merasa ia perlu menenangkan diri sejenak. Perempuan itu pasti akan memaafkannya besok. Yang perlu ia lakukan sekarang hanyalah menghubungi seseorang. Ia harus mengirim pesan pada seseorang, sialnya, ia lupa nomor telepon orang itu! Sungguh, hari ini benar-benar hari terburuk yang pernah terjadi di kehidupan Justin. Pria itu membalikkan tubuhnya lalu meninju pintu di sebelah tubuhnya—yang berupa kaca—hingga terpecah belah. Alexander yang terlelap itu seketika bangun dan panik. Apa-apaan yang kekasihnya lakukan? Didengarnya Justin terisak. Segera ia bangkit dari tempat tidur lalu mendekati Justin.
            Kaca yang berserakan di lantai tidak akan menyakiti telapak kakinya karena ia memakai sandal yang selalu ia pakai tiap berada di rumah. Justin menyandarkan keningnya pada tembok dengan kedua bahunya naik-turun dengan cepat, sesekali pria itu terisak. Apa-apaa yang terjadi? Mengapa Justin begitu marah? Alexander menyentuh bahu Justin lalu berucap dengan lembut.
            “Hey, apa yang terjadi?” Tanya Alexander, berusaha menenangkan kekasihnya. Telapak tangannya mengelus-elus bahu Justin. Tetapi respon yang Alexander harapkan tidak terjadi. Justru Justin menyentakkan bahunya dari Alexander.
            “Jangan sentuh aku!” Bentak Justin kencang sampai Alexander melompat kecil ke belakang. “Ini semua salahmu! Ini semua salahmu, Alexander! Dia bersama orang lain sementara aku harus berada di sini, bersamamu, dengan perasaan bersalah padanya! Mengapa kau memaksaku untuk mendekatinya? Kau yang mengubahku menjadi seperti ini.” Justin melipat bibirnya ke dalam, kepalanya mendongak ke belakang agar air matanya tak mengalir jatuh. Nafas Alexander tertahan. Dia? Perempuan itu? Pria itu terdiam sebentar sambil matanya terus memerhatikan pria yang sangat ia cintai di hadapannya. Otaknya masih belum bisa menyerap kata-kata yang baru dikeluarkan oleh pria itu. Apa maksudnya? Apa salahnya sehingga pria itu menangis seperti ini? Sebisa mungkin Alexander menolah pikiran bahwa Justin sudah tak mencintainya lagi. Jadi, ia lebih memilih bertanya dibanding ia harus menerka-nerka hal yang tak benar.
            “Justin, sayang, beritahu apa yang terjadi. Aku masih tak mengerti.” Ucap Alexander lembut. Namun ia juga tak berusaha untuk menyentuh Justin. Ia tahu apa yang akan Justin lakukan tiap kali Justin marah. Pria di hadapannya tak berani menatap mata Alexander. Ia terlalu takut, ia terlalu merasa bersalah, dan ia takut bila hari ini ia harus menyakiti dua hati sekaligus. Tetapi sayangnya, ia baru saja melakukan hal itu. Justin masih mendongak, matanya mengedip cepat lalu ia menarik nafas tajam lagi. Matanya kemudian tertutup, bayang-bayang senyum Giavanna kemarin masuk dalam otaknya. Membuat hatinya terus meleleh tiap kali ia melihat senyum itu. Mengapa ia harus jatuh cinta pada perempuan itu? Mengapa ia tidak tetap pada pendiriannya? Mengapa ia terus membohongi dirinya sendiri bahwa ia memang mencintai Giavanna selama ini? Bagaimana dengan perasaannya terhadap Alexander? Ia tak pernah merasakan percikan aneh tiap kali Alexander mengecupnya atau memeluknya.
            Apakah hubungan antara mereka hanya karena Justin merasa kasihan pada Alexander? Jika begitu, mengapa Justin tak berani menatap Alexander sekarang? Ia bahkan baru saja membentak pria yang telah menyelamatkannya dua tahun lalu! Betapa bajingannya Justin sekarang.
            “Kau tahu kau bisa menceritakan apa pun padaku, Justin. Jadi, ceritakanlah. Apa yang terjadi padamu dengan Giavanna? Apa kau menghamilinya?” Tanya Alexander membuat Justin membuka matanya.
            “Tidak!” Bantah Justin secepat mungkin. “Tidak, aku tidak menghamili Giavanna. Ini hanya…” suara Justin melemah. Ia membuang wajah dari Alexander lalu menempatkan kedua telapak tangannya ke belakang leher.
            “Lalu apa? Beritahu aku, Justin.” Kali ini Alexander memaksa. Pria itu melangkah satu kali ke arah Justin berniat ingin menyentuh tangan Justin. Namun entah dari mana datangnya, Justin mundur ke belakang hingga punggungnya bersentuhan dengan tembok. Kembali nafas Alexander tercekat. Justin membungkukkan tubuhnya, bersiap-siap ingin memberitahu Alexander apa yang sebenarnya terjadi. Sungguh, Justin tak menyakiti hati pria itu, namun jika kebohongan ini terus berlangsung, maka Justin tidak akan pernah menjadi orang yang dapat merasakan cinta sesungguhnya. Dan sampai kapan pun, ia takkan pernah bisa. Ia hanya ingin dicintai oleh gadis itu. Perempuan yang sedang berada di apartemen itu. Sayangnya, perempuan itu sedang bersama pria lain.
            Suara nafas memburu dari Giavanna memekakan telinga Justin. Tangan Justin yang berada di leher langsung meremas lehernya begitu saja. Ia merasa begitu sakit hati. Ia tak bisa menerima kenyataan bahwa perempuan itu bukan miliknya! Giavanna bukan miliknya—tidak akan pernah. Alexander masih dengan sabar menunggu kekasihnya menjawab. Jika bukan menghamili Giavanna, mengapa Justin tampak begitu resah dan marah? Mata Alexander jatuh pada pecahan kaca yang berserakan di dalam kamar. Mata biru Alexander beralih pada ponsel yang berada di belakang leher Justin. Apa ia baru saja menghubungi Giavanna? Sebenarnya, ada rahasia antara Justin dan Giavanna? Secara tiba-tiba, Justin menegakkan tubuhnya kembali kali ini air mata Justin mengalir, matanya memerah seperti tak kuat menahan perasaan yang benar-benar membuat Justin resah. Oh, apa yang terjadi dengan malaikat hidupnya? Alexander melipat bibir ke dalam. Lalu satu kalimat itu muncul dari mulut Justin.
            “Alexander, kurasa aku mencintai Giavanna.” ucap Justin mantap, pria itu menatapnya dengan tatapan bersalah. Alexander mundur beberapa langkah lalu diam mematung di tempatnya. Matanya berkedip cepat ketika Justin mengucapkan kalimat yang tak pernah Alexander duga. Ini sulit diterima olehnya. Tanpa diminta, air mata Alexander menetes begitu saja membasahi pipinya. Ia pikir selama ini Justin adalah belahan jiwanya. Ia pikir selama ini Justin benar-benar mencintainya. Ia bahkan berpikir …Justin akan melemarnya secepat mungkin. Dan hal paling gila yang pernah Alexander pikirkan adalah …Justin akan memperkenalkannya ke depan publik bahwa ia adalah kekasih yang Justin cintai. Namun, sulit diduga dan dipercaya, kata-kata Justin berhasil membuat hati Alexander hancur lebur tak dapat disatukan kembali.
            “Alexander, maafkan aku,” bisik Justin melangkah maju mendekati Alexander. Pria berambut panjang itu segera mundur, menjaga jarak dengan Justin.
            “Jangan sentuh aku.” Memejamkan matanya lalu air matanya kembali mengalir. “Kuberikan segalanya untukmu, Richardson! Aku rela mengorbankan perasaanku hanya agar dirimu dikenal baik oleh publik. Tapi lihat sekarang apa yang kaulakukan padaku. Kau menghancurkan hatiku seperti aku adalah Eva. Seharusnya aku sudah menduga sejak awal bahwa dirimu takkan pernah berubah. Kau takkan pernah menjadi milikku, Justin. Aku terlalu naïf dan yakin bahwa kau akan menjadi pria yang mudah menerima cinta. Tetapi bodohnya aku membiarkanmu bersama perempuan lain demi kejayaanmu. Kau memang brengsek Justin.
            “Aku ingin kau mendekati Giavanna karena menurutku dia tak tertarik padamu dan kau tak menyukainya karena ia mirip dengan Eva. Tapi, argh ya Tuhan, aku bodoh sekali. Aku terlalu jatuh cinta padamu sampai aku buta melihat kekuranganmu. Sial, sial, sial.” Erang Alexander meremas lehernya, kepalanya mendongak ke belakang.
            “Alex, aku pikir  juga seperti itu. Kupikir aku tidak menyukainya. Tetapi demi Tuhan, Alexander …aku tak bermaksud menyakiti hatimu. Aku hanya mengatakan yang sejujurnya,”
            “Jika kau sekarang mengatakan yang sejujurnya, lalu kebohongan apa lagi yang belum terungkap?” Tanya Alexander, kali ini dagunya terangkat terlihat menantang. Justin tidak tega melihat Alexander menangis seperti ini, tetapi waktunya semakin menipis untuk menghentikan kehancuran ini.
            “Giavanna tahu kita berdua sepasang kekasih,”
            “Well, beruntungnya dia, kita bukan sepasang kekasih lagi.” tukas Alexander dengan bibir menipis. Matanya juga memerah seperti Justin, dan beberapa kali ia mengerjap mata cepat agar air matanya tak mengalir lagi. Kemudian Alexander mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa mengatakan apa pun lagi, Alexander berlari pergi dari hadapan Justin. Ia melewati pecahan beling lalu keluar dari kamar—dengan membanting pintu. Namun Justin tak mengejarnya. Ia tak mengejar pria yang mencintainya itu. Justin berteriak, lalu meninju tembok di belakangnya.
            “Persetan!” Ia harus mengirim pesan pada seseorang agar segalanya berhenti sekarang juga sebelum Justin menyakiti orang lain. Lagi.

***

            Tubuh perempuan itu sudah setengah telanjang. Hanya bra dan celana jins yang sekarang menempel pada tubuhnya sementara pria di atas tubuhnya hanya memakai celana boxer yang berarti pria itu telanjang dada. Bukan hanya wajahnya saja yang tampan, ternyata pria itu memiliki abs yang bisa dibilang benar-benar indah. Giavanna tak pernah berpikir bahwa malam dimana ia akan diperawani akan ia lakukan bersama seorang pria gagah, tampan dan perkasa. Setelah diganggu oleh setan di luar sana, mereka berdua ingin menyatu diri bersama. Melebur diri mereka di atas ranjang. Lance mengecup-kecup leher Giavanna sementara di bawah tubuhnya, Giavanna melenguh-lenguh tak tahan karena geli bercampurkan nikmat. Bagaimana bisa Giavanna terbuai senikmat ini? Oh, jika ia tahu rasanya akan senyaman dan senikmat ini, sudah pasti Giavanna melakukan sejak dulu.
            Bibir mereka kembali menyatu. Bunyi cepakan antara bibir mereka menjadi latar suara suasana. Tubuh Giavanna bergetar di bawah sentuhan Lance. Tangan Giavanna memeluk leher Lance. Oh, betapa manisnya bibir Lance. Dapat Giavanna rasakan di perutnya, sesuatu yang menonjol menekan-nekan. Kemudian bibir mereka terlepas satu sama lain.
            “Apa ini pertama kali bagimu?” Tanya Lance hati-hati. Giavanna memainkan jemarinya di sela-sela rambut Lance, lalu mengangguk sambil tersenyum. Entah mengapa ada perasaan bersalah ketika Giavanna mengangguk. Ia memikirkan Justin.
            “Ya. Aku harap kau melakukannya pelan, aku masih amatir.” Bisik Giavanna tertawa geli ketika Lance dengan sengaja menggerak-gerakkan pinggulnya di atas tubuh Giavanna. “Oh, apa kau punya pengaman? Maksudku, meski aku belum pernah melakukannya, pengaman betul-betul dibutuhkan bukan?” Tanya Giavanna kembali tersenyum. Perempuan di bawah tubuh Lance benar-benar berbeda dengan perempuan yang berbicara di telepon tadi. Giavanna seperti putus asa dan ingin pingsan saat ia sedang ditelepon. Namun sekarang, hanya dengan sedikit rayuan, Giavanna sudah berada di atas tempat tidur. Sadar akan lamunannya, Lance mengangguk. Ia kemudian mengecup bibir Giavanna kembali. Diam-diam Giavanna ragu dengan apa yang akan mereka lakukan. Apakah Justin akan memarahinya jika mereka berhubungan badan? Oh, mengapa ia perlu memikirkan perasaan Justin? Tidak, Justin tak ada hubungannya dengan ini.
            “Kau tahu, aku merasa beruntung menjadi pria pertama. Maksudku, apakah ini tanda kita bisa melanjutkan hubungan ke tingkat selanjutnya?”
            “Well, aku tak tahu.” Giavanna berbicara seperti anak sekolahan. Kali ini Giavanna yang mengecup bibir Lance lalu mereka kembali tenggelam dalam ciuman panas mereka. Lidah mereka sesekali bermain dengan lembut. Entah mendapat keahlian dari mana, tetapi Giavanna berhasil mengimbangi ciuman Lance yang panas. Sesekali Lance mengemut bibir bawahnya lalu menjilat bibirnya—yang mana benar-benar merangsangnya. Sedang mabuk dalam ciuman mereka, suara ponsel berdering memekakan telinga mereka. Bibir mereka segera terpisah. Kemudian Lance mengumpat.
            “Apa aku harus mengangkatnya?” Tanya Lance.
            “Mungkin penting,” bisik Giavanna tersenyum. Lance mengerang pelan, lalu ia memutar matanya tak senang diganggu seperti ini. Hal itu membuat Giavanna tertawa kecil lalu mendorong Lance agar turun dari tubuhnya. “Sudah, cepat angkat telepon itu.” Dorong Giavanna hingga Lance jatuh ke atas tempat tidur.
            “Giavanna!” Tegur Lance tertawa. Pria itu kemudian merangkak menuju celana jinsnya yang berserakan di atas lantai. Lalu mengambil dan merogoh kantongnya. Ketika ia melihat siapa yang menghubunginya, Lance menolak panggilan itu. Ia menekan tombol merah di layar ponselnya lalu menaruh ponselnya ke atas lemari di samping tempat tidur Giavanna.
            “Siapa?” Tanya Giavanna yang bersandar di siku-sikunya.
            “Bukan siapa-siapa. Aku tak suka mengangkat telepon yang nomornya tak kukenal.” Ujar Lance kembali merangkak naik ke atas tempat tidur. Lance memang tidak senang mengangkat telepon yang dari orang yang tidak ia kenal. “Mari kita lanjutkan lagi.” bisik Lance mengecup bibir Giavanna. Baru mengecup satu kali, ponselnya kembali berdering. Segera Lance menekan tombol warna merah lagi lalu mengumpat.
            “Tidakkah menurutmu itu seseorang yang penting? Maksudku, ia menghubungimu dua kali,” ucap Giavanna mengedik bahu. “Tapi terserah kau.” lanjut Giavanna cepat-cepat. Sebenarnya, Giavanna juga kesal pada penelepon itu karena gairah Giavanna menurun begitu cepat saat orang itu menghubungi Lance. Tidak dijawab oleh Lance, Giavanna memagut bibir Lance. Dan ponsel sialan itu kembali berdering. Segera Giavanna mengambil ponsel Lance lalu mengangkat telepon itu.
            “Lance, aku perlu kau berhenti melakukan apa pun yang kaulakukan sekarang. Aku tahu kau bersamanya, Lance. Tetapi kau harus berhenti melakukan apa pun dengannya. Ini perintah.” Suara familiar terdengar di telinga Giavanna, ia bahkan belum mengatakan apa pun tetapi pria ini sudah menyembur begitu saja. “Lance, kau sialan! Jangan mengabaikanku! Dengar, akan kubayar kau malam ini jika kau sekarang datang ke rumahku.” Bibir bawah Giavanna tersembunyi dibalik giginya lalu menyembul kembali ketika giginya melepaskan bibir itu. Jari Giavanna menekan tombol merah untuk mengakhiri telepon itu lalu ia menghempaskan kepalanya ke atas bantal. Matanya terpejam.
            “Giavanna, siapa itu?” Tanya Lance khawatir. Tanpa mengatakan apa pun, Giavanna kembali membuka matanya lalu mengecek pesan-pesan di ponsel Lance. Ketika jarinya berhenti di salah satu pesan dari Justin, hati Giavanna hancur berkeping-keping. Ia melihat percakapan mereka berdua di dalam ponsel itu dari atas sampai bawah. Jantungnya sekarang berada di mulut, dan Giavanna merasa mual membaca percakapan mereka. Digigitnya bibir bawah itu kembali lalu ia menggeleng kepala tak percaya. Ketika Lance melihat Giavanna terdiam dan air membendung di kelopak matanya, Lance tahu siapa yang baru saja menghubunginya. Justin Sialan Richardson. Setelah selesai membaca percakapan mereka, Giavanna mengembalikan ponsel itu pada Lance lalu mendorong dada pria itu hingga Lance terduduk di sampingnya. “Anna—“
            “Ssh,” desis Giavanna. “Tidak, jangan bicara bahas apa pun denganku. Aku hanya ingin kau mengambil barang-barangmu dan keluar dari apartemenku. Sekarang.”
            “Giavanna, aku bisa menjelaskannya.” Lance menyentuh lengan Giavanna. Mata cokelat Giavanna yang basah itu menatap jari-jari Lance yang sudah berada di lengannya. Lalu dengan pelan, ia menyingkirkn tangan itu. Sebisa mungkin Giavanna menahan tangisnya agar ia kelihatan kuat namun kenyataan berkata lain; ia begitu rapuh sampai jika seseorang menjentikkan jari mereka, Giavanna akan hancur seketika. Dengan suara lemah, Giavanna berbicara.
            “Aku hanya perlu kau keluar dari apartemenku sekarang, Lance. Apakah itu sesuatu yang sulit untuk dilakukan?” Tanya Giavanna merengut. Ia tak pernah berpikir bahwa pria akan sesulit ini. Lance menghela nafas panjang lalu beranjak dari tempat tidur Giavanna. Ponsel Lance berdering namun pria itu tak mengangkat ponselnya. “Mengapa kau tak mengangkatnya?”
            “Aku lebih memilih bertemu dengannya langsung.” Ujar Lance menatap kasihan pada Giavanna.
            “Mengapa?”
            “Karena aku ingin meninju wajahnya, Giavanna.” Giavanna tergelak satu kali, lalu kepalanya menggeleng tak percaya. Senjata makan tuan. Tidak mengatakan apa-apa, Giavanna hanya mengambil nafas dalam-dalam berusaha untuk menenangkan diri. Ternyata tidak dari antara mereka dapat dipercayai. Terutama Justin. Merasa tak direspon oleh Giavanna, Lance segera memakai celana jins dan bajunya. Ia sungguh merasa bersalah pada Giavanna yang sekarang memejamkan mata. Dapat dilihat air matanya itu menetes membasahi pipinya lalu jatuh ke atas tempat tidur. Lance akan melakukan apa pun agar perempuan di hadapannya tak menangis lagi. Ia terlalu …peduli dengan Giavanna.
            “Aku sungguh menyesal dengan segala yang kautahu sekarang, Giavanna.” bisik Lance melangkah keluar dari kamar Giavanna. Ketika didengar pintu kamarnya tertutup, Giavanna berteriak sekencang mungkin. Ia menangis histeris bahkan ia merasa tak pernah menangis sesedih ini. Tubuhnya membungkuk ke depan sampai wajahnya mencium tempat tidur. Kemudian ia kembali berteriak di sana. Ia menangis terisak bahkan rasanya ia tak sanggup untuk menahan rasa sakit ini. Giavanna mendengar suara bentakan Hailey kemudian pintu apartemen terbanting. Tak perlu waktu lama, pintu kamarnya terbuka.
            “Giavanna, sayang,” Hailey berlari mendekati Giavanna lalu menarik tubuh perempuan itu hingga duduk tegak dan memeluknya. “Semuanya akan baik-baik saja.”
            “Mereka membohongiku, Hailey. Mereka berbohong padaku.” Isak Giavanna dengan dagu berada di atas bahu Hailey. Tangan kecil Hailey mengelus-elus punggung Giavanna dan lembut lalu mengucapkan kata-kata lembut yang menenangkan. “Mereka berbohong padaku.” Tangis Giavanna, tak dapat berhenti. Bahkan wajah Giavanna memerah.
            “Aku tahu, aku tahu.” Hanya itu yang dapat Hailey katakan untuk menenangkan sahabatnya. Mereka memang bajingan kelas kakap. Dan Hailey tak pernah melihat sahabatnya menangis sehisteris ini, bahkan wajahnya begitu sedih. Dapat ia rasakan, hati Giavanna dihancurkan dengan mudah. Ternyata, pernyataan betapa kuatnya Giavanna tak berlaku sekarang. Giavanna tak sekuat itu. Bagaimana pun, Giavanna tetap manusia dan ia seorang wanita. Ia juga bisa menangis.

***

            Tetapi Giavanna seorang wanita yang tangguh. Ia berani datang ke kantor dengan hanya mengenakan celana jins panjang serta kaos tipis berwarna putih dengan tulisan FVCK serta gambar jari telunjuk mengarah pada orang yang melihat pakaian itu. Awalnya penjaga di luar kantor tak percaya Giavanna bekerja di RCS Advertisement, tetapi Giavanna segera berlari secepat mungkin—ia tak membawa tanda pengenalnya—menuju lift yang ingin tertutup dan berhasil lolos dari para penjaga. Wanita itu berjalan cepat menuju ruangannya, nafasnya terengah-engah dan ia berkeringat. Ketika ia memasuki ruangannya, Morgan sudah ada di sana sedang berbicara dengan seorang pria baru—yang jelas bukan Lance. Ketika Morgan melihat pakaian yang Giavanna kenakan, ia terkesiap tak percaya.
            “Apa-apaan yang kau pakai,Giavanna,” tegurnya berdiri di belakang meja kerjanya.
            “Bukan urusanmu, Jalang.” Ujar Giavanna tanpa menatap Morgan. Perempuan itu tersinggung dengan ucapan Giavanna, bahkan pria yang berada di meja kerjanya itu berusaha untuk menahan tawanya saat Giavanna berkata seperti itu. Didorongnya pintu kantor Justin lalu menutupnya kembali dan menguncinya. Justin yang sedang menelepon di balik meja kerjanya terkesiap melihat siapa yang muncul. Segera ia mengubah warna dindingnya yang awalnya buram menjadi abu-abu. Tanpa berkata apa-apa, Giavanna mendekati Justin lalu menarik kerah kemeja Justin hingga Justin berdiri.
            “Kau bajingan brengsek! Beraninya kau membohongiku dan menjebakku!” Wajah Giavanna terlalu dekat dengan wajah Justin sampai pria itu dapat mencium wangi mint dari mulut Giavanna. Sungguh merangsangnya.
            “Giavanna, itu semua terjadi—“
            “Kau memerintahnya untuk meniduriku agar aku kehilangan keperawananku dan menunjukkannya pada publik agar aku malu! Kau tidak pernah tahu, Justin, kau tidak pernah tahu. Aku peduli padamu! Dan ini yang kauberikan padamu? Meminta Lance mendekatiku agar kau bisa mendapatkan foto-foto porno dariku? Pft, sayangnya, jika kau lihat baik-baik tubuhku tak begitu cocok untuk menjadi bintang porno. Kau memang suka melihat orang menderita atau apa? Aku tak pernah mengerti dirimu, Justin. Kau pria yang begitu sulit.
            “Pantas Eva meninggal. Kuduga ia serangan jantung karena harus mengurus dirimu. Kau membuatku muak. Aku pikir kita berteman. Tetapi kau sendiri yang menjebakku, bahkan hal yang paling mengejutkan adalah kau ingin mempermalukanku di depan publik! Jika memang aku tidur dengan Lance, apa kau akan mengedit fotoku bersama dengan bintang porno agar kelihatan lebih meyakinkan? Oh, betapa menyedihkannya menjadi diriku, Justin.”
            “Kau egois, Giavanna. Sekarang terserah kau ingin mempublikasikan foto-foto sialan itu. Aku sudah tak peduli,” ujar Justin menatap Giavanna. Kedua mata cokelat itu membakar diri satu sama lain. Ruangan dingin itu terasa panas bagi mereka. Terlebih lagi dengan jarak wajah mereka yang begitu dekat.
            “Oh, lihatlah siapa yang bersikeras foto-fotonya ingin dipublikasikan. Sayangnya, Justin, hari dimana kau menghapus foto itu mereka semua sudah hilang. Aku tak punya bukti selain rekaman anakmu. Dan sayangnya, aku terlalu baik untuk tak mempublikasikannya karena aku terlalu peduli padamu. Yang kuinginkan hanyalah keluar dari perusahaan ini. Aku akan membuat surat pengunduran diri yang perlu kautanda tangani.”
            “Giavanna, biar kujelaskan padamu. Aku hanya perlu kau mendengarkan,” ucap Justin menarik tangan Giavanna yang masih meremas kerah bajunya. Perempuan itu menurut meski matanya masih menatap tajam Justin. Justin menarik tangan itu sambil berjalan menuju sofa, seketika itu juga Giavanna menyentakkan tangannya dari sentuhan Justin. Hatinya yang hancur tak bisa disatukan kembali dengan cara apa pun. Mereka duduk saling berseberangan, namun Giavanna tak melihat pada Justin. Ia menoleh keluar jendela, mleihat pemandangan kota Atlanta.
            “Sedihnya, Justin, kupikir aku mencintaimu.” Bisik Giavanna membuat hati Justin berdebar-debar akan ungkapan itu. Giavanna pikir ia mencintai Justin? Bagaimana bisa? Well, perempuan itu merasa bersalah dan merasa ragu ketika Lance berniat menyetubuhinya dan pikirannya terus terarah pada Justin. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya lagi, ia menahan tangis. “Lupakan apa yang baru saja kukatakan. Jelaskan.” Tukas Giavanna. Justin menarik nafas tajam.
            “Kupikir ini semua kehancuran ini terjadi karena kebencianku karena tak dapat menerima kenyataan. Aku tak pernah mengakui pada diri sendiri bahwa aku menyukaimu sejak kau masuk ke dalam kantorku. Kau begitu menarik perhatianku di hari pertama kau bekerja, namun aku berusaha untuk menutupi semuanya dengan wajah datarku. Saat itu aku menganggap bahwa perasaanku hanyalah kebencian semata karena kau mirip dengan Eva. Perempuan yang pernah menjadi istriku, perempuan yang pertama kali kupukul dan kubunuh secara mental,”
            “Sudah kuduga,” bisik Giavanna.
            “Dia masuk rumah sakit jiwa setelah ia melahirkan Arthur dan meninggal di sana karena perlakuanku yang kasar. Aku tahu ini perbuatan yang sangat kejam karena telah menyiksa seorang perempuan yang sangat mencintaiku. Aku tak pernah bersyukur dengan orang yang mencintaiku, aku hanya merasa taka man. Aku juga meminta pembunuh bayaran untuk membunuh ayahku agar perusahaan ini menjadi milikku sekaligus dendamku terbalaskan. Aku tak pernah menyukaiku ayahku sampai kau datang ke dalam hidupku. Kau mengubah segalanya.
            “Kau cerewet, menyenangkan, namun sabar. Dan aku tak pernah memperlakukanmu dengan layak selayaknya wanita. Melihat wajahmu yang mirip Eva membuatku kesal tiap saat. Emosiku tak bisa tertahankan mengingat Eva yang lemah dan kau muncul di hadapanku dengan segala kemiripannya. Aku tak benar-benar membencimu. Dan kemudian kau datang mengancamku dengan foto-foto sialan itu. Tidakkah kau berpikir betapa aku tak merasa aman saat itu? Aku takut jika Alexander tahu bahwa ternyata hubungan kita diketahui orang lain. Ia sebisa mungkin menutupi hubungan kami dari apa pun. Jadi aku meminta seseorang untuk membalas dendamku. Dari apa yang kupelajari, kau menyukai pria tampan sejenis Alexander maka kukirimkan Lance untukmu. Agar kau bisa tidur dengannya dan memiliki foto-foto dirimu telanjang sehingga aku bisa mengancammu.
            “Lance tak bisa datang secepat yang kumau karena neneknya baru saja meninggal. Jadi, jarak waktunya cukup panjang yang membuatku harus menghabiskan waktu bersamamu. Seiring berjalannya waktu, aku seharusnya menghentikan Lance. Semua ini hanyalah kesalahpahaman, Giavanna. Setelah apa yang terjadi antara kau dan aku, aku tak ingin Lance menidurimu dan menjebakmu. Namun terlambat. Kau telah mengetahuinya.”
            “Untungnya, aku bukan salah satu korban dari pembunuhanmu. Tenang takkah kuberitahu siapa pun tentang itu.  Omong-omong, kau memanggilku ‘jalang’ dan ‘anak jalang’ di sana. Kau pikir aku akan menerima itu dengan mudahnya? Terima kasih, Justin.Oh, hampir lupa, kau juga memanggilku wanita murahan. Bukankah aku pernah memberitahu padamu kalau kau pria pertama yang mencium bibirku?”
            “Ya, aku tahu. Aku sungguh menyesal telah memanggilmu dengan panggilan itu. Aku benar-benar diliputi oleh kemarahan. Kau seharusnya tahu Giavanna, aku juga peduli padamu,” ucap Justin. Giavanna menggeleng kepala, ia mengeraskan hatinya agar tak mudah luluh dengan perminta maafan Justin. Perempuan itu bangkit dari sofa lalu mengembus nafas panjang. Dengan sigap Justin ikut berdiri, seolah-olah ia tak akan membiarkan Giavanna pergi dari hadapannya.
            “Kurasa, aku bisa pergi sekarang. Kuharap kau mau menanda tangani surat pengunduran diri dariku. Permisi, Mr.Richardson,” ucap Giavanna melangkah meninggalkan Justin. Mata Justin memerhatikan perempuan itu berjalan menuju pintu, kemudian didengarnya perempuan itu terisak. Tanpa pikir panjang lagi, Justin menarik nafasnya.
            “Aku mencintaimu, Giavanna!” Teriak Justin hingga perempuan yang baru saja ingin menyentuh gagang pintu berhenti di tempat. Tangisan Giavanna memecah. Mengapa Justin melakukan hal ini padanya? Mengapa ia menyatakan cinta padanya saat semuanya telah hancur? Hati Giavanna hancur berkeping-keping karena kebohongan Justin yang begitu besar. Bahkan yang tak pernah Giavanna duga ialah ia ingin menjebak Giavanna melalui Lance, mantan kencannya kemarin malam—yang ternyata juga berhasil membuat Giavanna kecewa. Dan sekarang Justin menyatakan cinta padanya? Betapa berani sekaligus bajingannya Justin!
            “Jika kau mencintaiku, kumohon berbaliklah,” bisik Justin dengan nada penuh permohonan. Giavanna terisak kembali lalu ia membalikkan wajahnya. Mata Giavanna memerah basah, bibirnya bergetar seolah-olah ia takut pada Justin. Dan Justin tahu betul bahwa perempuan ini memiliki perasaan yang sama dengannya. Senyum Justin muncul, namun senyuman itu ternyata semakin menyakiti hati Giavanna. Perempuan itu segera menarik gagang pintu dan keluar dari ruangan Justin secepat yang ia bisa. Morgan yang berada di luar itu menatap bingung ketika Giavanna keluar dan berjalan cepat sambil terisak. Apa yang baru saja terjadi? Justin tak ingin menidurinya? Atau Justin sudah bosan memakai tubuhnya? Morgan mengedik bahu tak peduli.
            Di dalam ruangan, Justin kembali melakukan apa yang ia perbuat kemarin malam. Ia meninju meja kaca di depannya. Kemudian mengumpat hingga wajah memerah. Matanya berair dan hatinya begitu sesak mengetahui bahwa Giavanna akan meninggalkannya. Kemana Giavanna akan pergi?
            “Sialan, kau Giavanna! Kau benar-benar menghancurkanku.” Ujar Justin dengan kedua tangan di belakang tengkuknya lalu meremasnya sekencang yang ia bisa. Ia melangkah menuju sisi jendela lalu menunduk ke bawah agar ia dapat melihat Giavanna keluar. Mengapa Justin tak mengejar Giavanna? Apa ia takut ia akan menyakiti hati Giavanna lebih dalam lagi? Justin tak tahu. Ia sendiri merasa dirinya begitu bodoh sekarang. Seluruh orang yang mencintainya meninggalkannya karena sikap egois sialan itu. Jika Giavanna mau memberitahu bagaimana cara memperbaiki keadaan ini, Justin pasti akan melakukannya sekuat apa pun.

            Sayangnya, Giavanna sekarang telah masuk ke dalam taksi kuning dan menghilang dari pandangan Justin. Mungkinkah mereka akan bertemu kembali?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar