“Mustahil.” Ucap Hailey tak percaya
dengan apa yang Giavanna katakan. Bagaimana bisa seorang Justin Richardson
memerintah Lance—pria yang ditemuinya tadi—untuk meniduri Giavanna? Meski tadi
malam Hailey dapat melihat bahwa Lance benar-benar menyesal akan sesuatu,
tetapi ia memang kesal dengan siapa pun yang pernah menyakiti Giavanna. Tetapi
secara keseluruhan, Lance hanyalah kaki-tangan Justin yang tidak tahu menahu
tentang Giavanna. Pantas selama ini Giavanna selalu bertanya-tanya mengapa
Lance mudah sekali mengingat jalanan di Atlanta. Sudah jelas sekali Lance bukan
pindahan dari kota lain. Ia memang dari Atlanta, hanya saja, ia memang tak
mengenal Giavanna.
Giavanna hanya tersenyum miris
melihat hidupnya beberapa bulan terakhir ini. Uang yang ia kumpulkan untuk
pindah ke Washington D.C sudah cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Terlebih
lagi, teman semasa kuliah mereka ingin sekali Giavanna tinggal satu atap
dengannya. Dia seorang pria, tetapi ia bukan pria brengsek seperti Justin atau
Lance, atau pria brengsek mana pun.
Sudah dua hari ini, Giavanna tidak
menyalakan ponselnya. Ia sedang tak ingin terhubung dengan siapa pun. Terlebih
lagi Justin. Setelah kemarin memesan tiket pesawat untuknya besok subuh,
Giavanna sedang merapikan pakaiannya ke dalam koper untuk ia bawa. Tidak banyak
barang yang ia bawa—teman prianya itu tidak mengizinkan Giavanna membawa
barang-barang seperti tempat tidur atau sofa. Ia tidak ingin Giavanna kerepotan
membawa semua itu jauh-jauh dari Atlanta ke Washington. Sesungguhnya Hailey
sudah memohon-mohon pada Giavanna agar tak meninggalkannya—meski Giavanna akan
mengirim uang untuk Hailey mengingat Hailey sedang hamil dan pekerjaannya tak
menentu. Justru teman pria mereka itu meminta Hailey tinggal bersama-sama di
sana, tetapi Hailey menolak dengan halus. Ia masih menyukai kota Atlanta. Ia
akan lahir dan mati di Atlanta.
Di atas tempat tidur Giavanna yang
empuk, mereka dikejutkan oleh ketukan pintu. Giavanna menarik nafas tajam.
Akhir-akhir ini ia terlalu paranoid jika Justin atau siapa pun dari kantornya
datang mengunjunginya. Hailey segera bangkit dari tempat tidur Giavanna lalu
keluar dari kamarnya. Kepala Giavanna tergeleng, ia harus fokus mengemas
pakaian-pakaiannya—yang ternyata memerlukan dua koper besar. Telinga Giavanna
mendengar suara Hailey berterima kasih pada seseorang kemudian pintu utama
tertutup. Punggung Giavanna menegak, kepalanya menoleh ke pintu kamarnya.
Seorang perempuan berperut buncit itu muncul begitu saja dengan sebuah kotak
hadiah berada di tangannya. Oh, hadiah untuknya? Betapa manisnya orang itu.
“Untukmu,” ucap Hailey memeriksa
sebuah kartu di atas kotak hadiah itu. “Um, kurasa lebih baik kau sendiri yang
membukanya. Kau tahu aku tak suka membuka hadiah orang lain,”
“Kau baru saja membaca kartunya,
Hailey,” ujar Giavanna berusaha terdengar gembira, tetapi hatinya masih terlalu
sensitif. Hailey hanya tertawa, lalu ia menaruh kotak hadiah itu ke atas kasur
di sebelah pinggang Giavanna. Sebelum ia membuka kotak hadiah itu, Giavanna
melihat kartu yang berada di atasnya lalu menduga bahwa hadiah itu dari Justin.
Ia memejamkan mata tak percaya. Setelah apa yang ia lakukan, ia ingin menyogok
Giavanna dengan sebuah hadiah? Pft, perlakuan untuk wanita murahan. Di kartu
itu tertulis;
Aku
sungguh menyesal dengan semuanya, Giavanna.
Hadiah
ini seharusnya kuberikan untukmu saat makan malam terakhir kita. Kuharap kau
menyukainya.
Justin
Richardson
Justin Richardson. Lucu sekali. Hailey
menunggu Giavanna membuka hadiahnya, tetapi sahabatnya begitu lama membaca
kartu sialan itu. Namun senyum semangat Hailey muncul ketika Giavanna segera
membuka kotak hadiah yang berukuran. Ketika ia membuka kotak itu, Giavanna
melihat sebuah kaset yang di bawahnya terdapat sebuah album foto. Oh, apa
isinya? Video porno antara Giavanna dan Lance? Giavanna berpikir begitu
sarkastik. Giavanna mengeluarkan kaset itu dari dalam kotak, lalu jari-jarinya
menyentuh album foto itu. Dikeluarkannya album foto itu, dan lalu Giavanna menyingkirkan
kotak hadiah itu ke lantai.
“Oh, apa itu Giavanna?” Tanya Hailey
mencondongkan tubuhnya. “Album foto! Ayo buka, cepatlah.” Pinta Hailey semakin
bersemangat. Baiklah, jika itu yang diminta Hailey, maka Giavanna akan
membukanya. Giavanna tercekat dengan apa yang ia lihat. Matanya terbakar saat
ia melihat foto-foto yang muncul. Foto Arthur yang sedang terlelap. Anak kecil
itu tengkurap sambil memeluk bantalnya yang lain, dan mulutnya terbuka dengan
imutnya. Judul di samping tertulis; Ia Membutuhkan Seorang Ibu Untuk Ia Peluk.
Di bawah foto itu, terdapat foto Arthur lagi sedang duduk di atas kursi meja
sarapan sedang memakan serealnya. Ia sudah rapi untuk pergi ke sekolah, namun
wajah tampak lesu. Bibirnya merah bawahnya menyembul, seperti kesal akan
sesuatu. Judul di sampingnya tertulis; Ayah Mengacaukan Segalanya, Butuh
Giavanna.
Membaca judul itu membuat Giavanna
menggigit bibir. Haruskah Justin menulis seperti itu? Ia membuka halaman yang
lain. Kali ini terdapat foto Justin dan Arthur sedang telanjang dada di
belakang taman rumah mereka. Apa-apaan yang mereka lakukan? Melihat wajah
Justin membuat Giavanna muak. Segera ia menutup album foto itu dan menyimpannya
ke atas lemari kecil di samping. Hailey tak mengatakan apa-apa. Ia merasa bodoh
karena telah memaksa Giavanna membuka album foto itu. Giavanna menarik nafas
panjang lalu menghelanya melalui mulut. Sahabatnya mendongak lalu tersenyum
manis. Betapa beraninya Giavanna tersenyum saat hatinya sedang sakit! Hailey
benar-benar tak habis pikir mengapa Giavanna bisa tersenyum di sela-sela
kesakitan hatinya.
“Aku tak suka memaksa senyum
seperti. Seharusnya kau memang tak bekerja di sana. Mereka memang pembohong.
Sama seperti pekerjaan mereka, membuat iklan yang penuh kebohongan. Apa kau
yakin kau akan baik-baik saja di Washington nanti? Jika ya, kau akan bekerja
dimana?”
“Aku pasti akan baik-baik saja,
Hailey. Tak perlu khawatir. Yang jelas pekerjaan yang lebih hebat dibanding
menjadi asisten seorang Richardson.” Ucap Giavanna penuh sarkastik di akhir
kalimat. Ia mencondongkan tubuhnya pada Hailey lalu memeluk sahabatnya dengan
erat. “Aku ingin kau baik-baik saja di sini. Maaf aku terlalu egois untuk
meninggalkanmu, tetapi aku memang harus pergi dari Atlanta dan memulai hidup
baru. Jika kau akan melahirkan, pastikan aku tahu. Aku tidak ingin menjadi
orang kedua yang melihat keponakanku lahir.”
“Tidak akan kubiarkan.” Ucap Hailey
tersenyum, mereka semakin mengeratkan pelukan mereka.
“Aku
senang karena kau tidak jadi diperawani,” lanjut Hailey membuat Giavanna
tergelak.
“Hailey!”
“Omong-omong, Lance itu tampan, kau
tahu,”
“Hailey, apa kau serius?” Tanya
Giavanna melepaskan pelukan mereka sambil masih tersenyum. Berani-beraninya
Hailey memuji pria yang hampir membuat harga diri Giavanna hilang! Tetapi
Giavanna tahu, Hailey hanya bercanda.
“Ya. Aku serius.” tawa Hailey
mengejek Giavanna. Mereka berdua hanya terus tertawa, menertawakan kesedihan
mereka yang begitu payah. Setidaknya, Giavanna tak begitu larut akan
kesedihannya.
***
Malam itu Justin lebih memilih untuk
menenangkan diri di kelab Alexander. Awalnya ia berniat untuk menemui mantan
kekasihnya itu, namun ia tak menemukan Alexander dimana pun. Bahkan di
apartemen Alexander. Mantan kekasihnya tak dapat dihubungi, ponselnya tak aktif
dan Justin sudah kalang kabut. Ia khawatir jika ada sesuatu yang terjadi pada
Alexander, kadang pra itu bertindak gila. Bisa saja Alexander bunuh diri karena
putusnya hubungan mereka. Kira-kira tiga botol anggur sudah Justin teguk sampai
habis. Ia sering berkata-kata tak jelas, kadang ia menangis seperti anak kecil.
Ia benar-benar mabuk tak terkendali. Sesekali ia berteriak, meneriaki nama
Giavanna seperti orang gila. Para penjaga di dalam sana tahu, Justin adalah
donatur dari pembangunan kelab ini dan ia sahabat dari Alexander. Tetapi
bagaimana pun, Justin mengganggu kenyamanan orang lain.
Justin tak mengenakan jas hitam. Ia
hanya mengenakan kemeja berwarna biru muda yang dua kancing dari atas terbuka
sehingga dirinya sekarang semakin menarik. Betapa indahnya pria ini. Bagaimana
bisa Tuhan membuat seorang begitu sempurna seperti ini? Justin meneguk
anggurnya yang ke empat. Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya, menikmati
musik kelab yang sebelumnya tidak pernah ia sukai. Pikirannya benar-benar kacau
semenjak Giavanna tak muncul selama dua hari di kantornya. Ia sudah berusaha
mengunjungi Giavanna ke apartemen, tetapi ketika ia baru ingin sampai ke depan
pintu apartemennya, seorang perempuan muncul—Justin menduga itu adalah sahabat
Giavanna karena perutnya buncit karena hamil.
Sahabatnya memukul Justin di bahu,
perut dan dada agar Justin tak pernah sekalipun masuk ke dalam apartemennya.
Tentu Justin tak ingin menyerang seorang wanita hamil seperti sahabat Giavanna.
Ia tak ingin membuat Giavanna semakin membencinya jika ia tahu kalau Justin
berhasil menggugurkan kandungan sahabatnya. Maka dari itu Justin teringat akan
hadiahnya yang belum sempat ia berikan pada Giavanna. Ia mengirimnya siang tadi
untuk wanita itu. Justin harap perempuan datang lagi ke dalam pelukannya.
Justin hanya memerlukan Giavanna sekarang.
Tetapi Justin segera tenang ketika
seorang pelacur mendekatinya mengenakan pakaian seksi. Ia melihat perempuan ini
seolah-olah ia adalah Giavanna. Pelacur itu mengangkangi Justin yang berada di
ruang VIP. Justin mengerjap-kerjapkan matanya agar ia yakin, wanita yang muncul
di depannya adalah Giavanna. Dan memang benar, menurut penglihatannya itu
Giavanna—yang biar orang buta pun melihat bahwa wanita di depan Justin berambut
pirang, bukan cokelat. Justin mengelus punggung pelacur itu lalu menciumi
lehernya. Pasti Giavanna telah menerima hadiahnya dan merubah pikiran untuk
kembal lagi pada Justin. Sayangnya, itu hanya halusinasi saja.
“Oh, ya ampun, Giavanna. Kupikir kau
sudah pergi dari Atlanta. Aku tahu sebenarnya kau datang lagi untukku. Aku tahu
itu,” ceracau Justin tak jelas. Pelacur itu hanya menikmati godaannya pada
Justin, ia mendekatkan buah dadanya yang hanya tertutup dengan sebuah bikini.
Saat berada di antara buah dada itu, Justin merasa berada di langit-langit.
“Aw, lihatlah, kau mulai nakal, Giavanna.”
“Yeah. Kau menyukainya?” Tanya
pelacur itu menekan-nekan kepala Justin di antara belahan dadanya. Justin
mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“Aku tak tahu kalau kau akan senakal
ini padaku, Giavanna,” erang Justin kenikmatan. “Oh, hati-hati dengan tanganmu,
Giavanna.” tawa Justin ketika ia merasakan kejantanannya yang berada di balik
celana itu disentuh. Pelacur itu mengelus-elus tonjolan itu dengan lembut,
sementara Justin terus menciumi leher pelacur itu.
“Kau menyukainya, huh? Kau
menyukainya?” Tanya pelacur itu begitu genit. Justin mengangguk-angguk lalu ia
menyandarkan tubuhnya di sofa sambil memandangi pelacur yang ia anggap Giavanna
Anderson. Mengapa Giavanna mau memakai bikini di tempat umum seperti kelab ini?
Tetapi apa peduli Justin? Ya jelas ia telah memiliki Giavanna. Ia sudah tahu
sejak awal bahwa wanita ini akan kembali padanya. Sudah pasti Giavanna takkan
tega meninggalkan Justin begitu saja. Ia melihat Giavanna menari-nari erotis sambil
tangannya mengelus-elus pinggang ramping Giavanna. Pelacur itu memang mahir
dalam hal ini.
“Oh, Giavanna, kau benar-benar
nakal!” Tawa Justin seperti orang gila. “Lihat lekukan tubuhmu. Setelah dua
hari tak melihatmu, aku benar-benar merindukanmu. Dan sekarang kau datang
dengan …tarian erotismu. Yeah, sayang, lakukan itu padaku,” desah Justin
menengadahkan kepalanya dengan mata terpejam nikmat. Pelacur itu
menggoyang-goyangkan bokongnya di atas kejantanan Justin yang masih tertutup
celananya.
“Oh, sialan Giavanna! Kau sangat
panas!” Erang Justin menegang. Ia tak pernah bergairah seperti ini. Tidak pada
siapa pun, bahkan Eva sekalipun. Sampai Giavanna muncul dan mengubah segalanya.
“Mmh,” pelacur itu ikut memejamkan
matanya. Kapan lagi ia dapat menggoda pria tampan yang sedang mabuk seperti
Justin? Lebih lagi, ia tahu siapa pria ini. Ia orang kaya yang masuk majalah
bulan lalu. Dan sekarang, dengan mengejutkannya, pria ini datang dan terus
menyebutkan nama yang bukan namanya. Tetapi apa peduli pelacur itu? Ia ingin
uang pria ini di tangannya sekarang demi kehidupannya. Kejantanan Justin
semakin membesar di balik celananya. Mata Justin terbeliak kenikmatan saat
perempuan itu membungkukkan tubuhnya sehingga buah dada itu kembali menutupi
wajahnya sementara bokong itu masih terus berputar di atas celananya. Sungguh
benar-benar nikmat. Namun tangan pelacur itu akhirnya menuju pada celana jins
dan menarik turun retsletingnya.
“Kau bohong padaku, Giavanna! Kau
bilang kau masih perawan. Tetapi lihatlah, kau begitu nakal dan panas. Dimana
kau mempelajarinya sayang?” Tanya Justin mengelus rambut pelacur itu dengan
lembut. (Dan penulis tak percaya kalau dia akan menulis adegan ini.)
“Ini keahlianku,” bisik pelacur itu
kemudian mendesah di telinga Justin. Tangan pelacur itu melesak masuk ketika
retsleting Justin telah terbuka lalu meremas-remas lembut kejantanan Justin
yang berada di balik boxer itu. Pelacur itu bahkan tak mengira bahwa pria
setampan ini mempunyai barang berharga yang bisa dikatakan besar. Jackpot.
“Tidak, Giavanna, tidak di sini,”
ucap Justin menahan tangan pelacur itu dengan lembut, seperti ia sedang
memperlakukan Giavanna. Tiga botol anggur memang berhasil membuat Justin buta.
“Ssh, biar kurawat dirimu baik-baik,
sayang,” desah pelacur itu seksi. Justin hanya mengangguk-angguk menurut, apa
pun untuk Giavanna. “Berapa kau akan membayarku?” tanya pelacur itu membuat
Justin membuka matanya. Ia memerhatikan baik-baik perempuan yang ada di
hadapannya. Kepalanya mundur ke belakang. Oh, sial! Ini jelas-jelas bukan
Giavanna, wanita yang ia inginkan! Ini pelacur murahan yang baru saja Justin
belai dengan lembut. Sialan, sungguh sial. Watak asli Justin muncul.
“Minggir,” perintah Justin mendorong
perempuan itu ke samping. Kemudian ia menarik retsleting celananya ke atas.
Justin terus mengumpat dalam hati, ia telah digoda oleh pelacur sialan yang ia
anggap Giavanna. Betapa bodohnya Justin berpikir Giavanna akan kembali padanya
dan akan menggoda Justin seperti pelacur tadi.
“Apa yang salah?” Tanya pelacur itu
bingung. Justin segera mengambil dompetnya di kantong celananya lalu
mengeluarkan beberapa lembar uang dengan nominal besar untuk pelacur itu agar
ia cepat lenyap dari hadapan Justin. Dan memang, pelacur itu pergi tanpa
mengatakan apa-apa. Sial, ia harus pulang. Diliriknya jam tangan yang ia
pakai—ia teringat akan Giavanna yang selalu memakai jam tangan kecil di tangan
kirinya—lalu melihat dengan samar jarum pendek di sana. Ia mengumpat untuk yang
kesekian kalinya, sudah jam 2 subuh dan ia belum pulang. Ayah macam apa Justin?
Pulang mabuk dan esok pagi ia akan bertemu anaknya? Justin mengeluarkan
beberapa lembar uang lagi dan menaruhnya ke atas meja kemudian mengambil jas
yang tadi ia lepas dan lalu bangkit dari sofanya.
Baru beberapa detik ia berdiri, ia
hampir terjatuh kembali ke sofa. Kepalanya benar-benar pusing. Tiba-tiba
seorang pelayan perempuan menghampiri Justin, membantu pria itu berdiri. Kali
ini perempuan ini berambut cokelat. Kepala Justin tertarik ke belakang, tak
percaya akan apa yang ia lihat. Giavanna? Apa yang ia lakukan di sini?
Halusinasi itu kembali terjadi. Ia tertawa seperti orang mabuk pada umumnya.
Kepalanya terdongak ke belakang lalu ia tertawa, kali ini lebih keras.
“Kau bohong padaku! Tadi kau
memintaku uang, dan sekarang kau muncul lagi dengan pakaian lebih sopan?”
“Sir, biar kubantu,” ucap pelayan
itu seramah mungkin. Perempuan itu sudah memperhatikan Justin sejak dua jam
yang lalu, ia melihat betapa menyedihkannya melihat pria tampan itu tertawa
lalu sedih lalu tertawa kembali. Dan sekarang ia ingin pulang. Berdiri saja
tidak bisa, bagaimana bisa ia mencapai rumahnya dengan selamat? Untungnya para
penjaga sudah mengenal siapa pria ini—termasuk dirinya. Jari telunjuk Justin
menyentuh sudut bibirnya lalu terkekeh.
“Aku tak tahu kau memakai pewarna
bibir semanis ini. Kau sangat cantik, Giavanna,” puji Justin yang mundur
beberapa langkah ke belakang, hampir jatuh. Namun dengan sigap, pelayan itu
menolong Justin berdiri dengan tegap. “Ayo kita pulang dan menyelesaikan apa yang
kautinggalkan tadi,”
“Sir, aku hanya akan mengantarmu
sampai depan kelab,”
“Mengapa? Mengapa tiba-tiba kau
berubah Giavanna?” Justin bertanya, kesal. “Kau baru saja menggodaku dan
menyentuhku di sini. Ya, di sini,” ucap Justin menarik tangan pelayan itu
menuju kejantanannya. Pipi pelayan itu memerah. Apa-apaan yang pria ini
lakukan?! Pelayan itu segera menarik tangannya.
“Baiklah, ayo sir, biar kuantar
sampai rumahmu,” ucap pelayan itu, tentu saja berbohong. Justin berseru senang
lalu menarik pipi perempuan itu dan mengecup bibir itu dengan lembut. Segera
pelayan itu membuang wajahnya. “Tidak di sini, sir,”
“Kau lucu sekali, Giavanna. Tadi kau
memaksaku untuk melakukannya di sini, tetapi sekarang kau memintaku untuk
melakukannya di rumah. Baiklah, ayo cantik, kita pulang.” Ucap Justin
menegakkan tubuhnya sehingga ia bisa berjalan cukup baik, meski sesekali ia
hampir jatuh. Saat berada di mulut pintu kelab, pelayan itu segera memberikan
Justin pada penjaga itu. Saat pelayan itu baru ingin meninggalkan Justin,
tangan Justin memegang tangannya dengan erat.
“Apa-apaan yang kaulakukan Giavanna?
Kupikir kita berdua akan pulang bersama,” ucap Justin kesal. Justin berada
dalam pelukan penjaga bertubuh kekar, ia terlihat begitu lemah. Pelayan itu
tersenyum manis pada Justin kemudian menatap pada penjaga itu, memberi kode
untuk memukul pundak Justin agar pria itu cepat pingsan dan dapat pulang ke
rumah secepat mungkin. Tetapi penjaga itu tentu tidak berani melakukannya.
“Sir, aku akan menyusul,”
“Eh, hey, hey, hey! Apa yang
kaulakukan? Kau bermain mata pada pria ini? Lepaskan aku!” Berontak Justin. Tak
punya pilihan lain, penjaga itu segera memukul pundak Justin hingga pria
sekarat itu pingsan dalam gendongannya. Selemah inikah Justin ketika ia
kehilangan wanita yang benar-benar ia cintai? Sayangnya, benar.
***
Hari pertama di Washington D.C
benar-benar berbeda dari Atlanta. Pagi itu Giavanna tak perlu terburu-buru
bangun pagi dan membelikan kopi pagi untuk siapa pun. Justru pagi itu ia
dilayani oleh temannya, Evan Burden, dengan secangkir teh hangat dan biskuit.
Evan meminta izin pada pihak kantornya untuk libur satu hari agar ia dapat
menyambut dan memperlihatkan Washington pada Giavanna. Evan termasuk pria yang
manis, sungguh disayangkan, ia belum memiliki kekasih. Giavanna meneguk teh
paginya di bar sarapan sambil memerhatikan Evan yang terampil memasak.
Dibalik ketampanan Evan, ia juga
pintar memasak. Pagi itu ia memasak sarapan pagi orang Amerika pada umumnya.
Sosis, telur, bacon dan jus jeruk segar untuk mengawali pagi. Sebuah handuk
putih berada di pundaknya agar ia dapat mengelap keringat. Giavanna belum
merapikan pakaiannya di lemari. Ia begitu lelah dan butuh waktu untuk
beristirahat lebih banyak lama lagi. Setelah itu, ia akan mencari pekerjaan.
Mungkin di sini ia bisa menjadi bagian administrasi di sebuah bank atau suatu
perusahaan. Ia masih tak tahu.
Tetapi baiknya Evan, ia sudah
melingkari kolom-kolom bagi orang yang mencari pekerjaan di koran sehingga
Giavanna bisa dengan mudah memberikan berkas-berkasnya. Evan yang sedang
memunggunginya itu segera berbalik lalu tersenyum pada temannya, Giavanna.
“Jadi, bagaimana hari pertamamu di
sini? Apa aku melayanimu dengan baik?” Tanya Evan menyandarkan tangannya di
atas bar sarapan. Otot tangannya begitu terbentuk di balik kaos abu-abu
ketatnya. Giavanna semakin bingung, mengapa tidak ada wanita yang tertarik
padanya? Atau mungkinkah, Evan ternyata seorang… pft, tidak mungkin. Evan
pernah berpacaran dengan perempuan sewaktu mereka kuliah. Giavanna terkekeh
pelan mendengar pertanyaan konyol itu keluar dari mulut temannya.
“Mengapa kau terdengar seperti
gigolo? Oh, yeah, Mr.Burden, kau benar-benar perkasa tadi malam. Aku ingin
melakukannya lagi sekarang.” Goda Giavanna dengan suara imut yang dibuat-buat.
Evan tertawa terbahak bahkan kepalanya sampai terdongak ke belakang. Selucu
itukah Giavanna? Evan mendekati Giavanna lalu membungkuk tepat di depan wajah
Giavanna. Wajah mereka hanya terpisah beberapa inchi, kemudian aroma wangi dari
mulut Evan tercium.
“Kau ingin aku melakukannya di atas
meja ini? Atau kau akan menungging di sini sambil memegang sisi bar sarapan?”
Tanya Evan begitu intens. Apa-apaan yang Evan lakukan?! Apa ia sudah sering
meniduri perempuan? Well, jika begitu, Giavanna akan sangat mewajarinya jika ia
melihat tubuh Evan yang begitu atletis. Evan begitu berubah. Dulu ia pria biasa
yang tidak pernah dilirik oleh perempuan karena terlalu sering bergaul dengan
Giavanna yang terdengar sangar. Tetapi sekarang, lihatlah Evan, dengan segala
yang ia miliki.
“Aku lebih memilih kau fokus kembali
pada masakanmu karena aku tak mau sosismu
gosong begitu dan tak bisa dimakan,” ucap Giavanna tersenyum. Evan menarik
tubuhnya dari Giavanna lalu kembali ke kompornya.
“Kau tahu Giavanna, sosisku tidak akan pernah gosong dan
selalu enak dimakan. Bahkan mau kau makan berkali-kali pun, sosisku tidak akan ada habisnya.
Legalnya, sosisku dimakan dengan cara
dijilat dan diisap.” Goda Evan semakin menjadi-jadi.
“Hentikan, sialan!” Giavanna
melempar satu keping biskuit pada Evan lalu tertawa. Setidaknya, kehidupan di
Washington pasti akan lebih sering membuat Giavanna tersenyum, dibanding ia
harus berbalik ke belakang dan kehilangan senyum di wajahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar