Rabu, 02 Juli 2014

Perfect Time Bab 15


            “Mustahil.” Ucap Hailey tak percaya dengan apa yang Giavanna katakan. Bagaimana bisa seorang Justin Richardson memerintah Lance—pria yang ditemuinya tadi—untuk meniduri Giavanna? Meski tadi malam Hailey dapat melihat bahwa Lance benar-benar menyesal akan sesuatu, tetapi ia memang kesal dengan siapa pun yang pernah menyakiti Giavanna. Tetapi secara keseluruhan, Lance hanyalah kaki-tangan Justin yang tidak tahu menahu tentang Giavanna. Pantas selama ini Giavanna selalu bertanya-tanya mengapa Lance mudah sekali mengingat jalanan di Atlanta. Sudah jelas sekali Lance bukan pindahan dari kota lain. Ia memang dari Atlanta, hanya saja, ia memang tak mengenal Giavanna.
            Giavanna hanya tersenyum miris melihat hidupnya beberapa bulan terakhir ini. Uang yang ia kumpulkan untuk pindah ke Washington D.C sudah cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Terlebih lagi, teman semasa kuliah mereka ingin sekali Giavanna tinggal satu atap dengannya. Dia seorang pria, tetapi ia bukan pria brengsek seperti Justin atau Lance, atau pria brengsek mana pun.
            Sudah dua hari ini, Giavanna tidak menyalakan ponselnya. Ia sedang tak ingin terhubung dengan siapa pun. Terlebih lagi Justin. Setelah kemarin memesan tiket pesawat untuknya besok subuh, Giavanna sedang merapikan pakaiannya ke dalam koper untuk ia bawa. Tidak banyak barang yang ia bawa—teman prianya itu tidak mengizinkan Giavanna membawa barang-barang seperti tempat tidur atau sofa. Ia tidak ingin Giavanna kerepotan membawa semua itu jauh-jauh dari Atlanta ke Washington. Sesungguhnya Hailey sudah memohon-mohon pada Giavanna agar tak meninggalkannya—meski Giavanna akan mengirim uang untuk Hailey mengingat Hailey sedang hamil dan pekerjaannya tak menentu. Justru teman pria mereka itu meminta Hailey tinggal bersama-sama di sana, tetapi Hailey menolak dengan halus. Ia masih menyukai kota Atlanta. Ia akan lahir dan mati di Atlanta.
            Di atas tempat tidur Giavanna yang empuk, mereka dikejutkan oleh ketukan pintu. Giavanna menarik nafas tajam. Akhir-akhir ini ia terlalu paranoid jika Justin atau siapa pun dari kantornya datang mengunjunginya. Hailey segera bangkit dari tempat tidur Giavanna lalu keluar dari kamarnya. Kepala Giavanna tergeleng, ia harus fokus mengemas pakaian-pakaiannya—yang ternyata memerlukan dua koper besar. Telinga Giavanna mendengar suara Hailey berterima kasih pada seseorang kemudian pintu utama tertutup. Punggung Giavanna menegak, kepalanya menoleh ke pintu kamarnya. Seorang perempuan berperut buncit itu muncul begitu saja dengan sebuah kotak hadiah berada di tangannya. Oh, hadiah untuknya? Betapa manisnya orang itu.
            “Untukmu,” ucap Hailey memeriksa sebuah kartu di atas kotak hadiah itu. “Um, kurasa lebih baik kau sendiri yang membukanya. Kau tahu aku tak suka membuka hadiah orang lain,”
            “Kau baru saja membaca kartunya, Hailey,” ujar Giavanna berusaha terdengar gembira, tetapi hatinya masih terlalu sensitif. Hailey hanya tertawa, lalu ia menaruh kotak hadiah itu ke atas kasur di sebelah pinggang Giavanna. Sebelum ia membuka kotak hadiah itu, Giavanna melihat kartu yang berada di atasnya lalu menduga bahwa hadiah itu dari Justin. Ia memejamkan mata tak percaya. Setelah apa yang ia lakukan, ia ingin menyogok Giavanna dengan sebuah hadiah? Pft, perlakuan untuk wanita murahan. Di kartu itu tertulis;
Aku sungguh menyesal dengan semuanya, Giavanna.
Hadiah ini seharusnya kuberikan untukmu saat makan malam terakhir kita. Kuharap kau menyukainya.
Justin Richardson
            Justin Richardson. Lucu sekali. Hailey menunggu Giavanna membuka hadiahnya, tetapi sahabatnya begitu lama membaca kartu sialan itu. Namun senyum semangat Hailey muncul ketika Giavanna segera membuka kotak hadiah yang berukuran. Ketika ia membuka kotak itu, Giavanna melihat sebuah kaset yang di bawahnya terdapat sebuah album foto. Oh, apa isinya? Video porno antara Giavanna dan Lance? Giavanna berpikir begitu sarkastik. Giavanna mengeluarkan kaset itu dari dalam kotak, lalu jari-jarinya menyentuh album foto itu. Dikeluarkannya album foto itu, dan lalu Giavanna menyingkirkan kotak hadiah itu ke lantai.
            “Oh, apa itu Giavanna?” Tanya Hailey mencondongkan tubuhnya. “Album foto! Ayo buka, cepatlah.” Pinta Hailey semakin bersemangat. Baiklah, jika itu yang diminta Hailey, maka Giavanna akan membukanya. Giavanna tercekat dengan apa yang ia lihat. Matanya terbakar saat ia melihat foto-foto yang muncul. Foto Arthur yang sedang terlelap. Anak kecil itu tengkurap sambil memeluk bantalnya yang lain, dan mulutnya terbuka dengan imutnya. Judul di samping tertulis; Ia Membutuhkan Seorang Ibu Untuk Ia Peluk. Di bawah foto itu, terdapat foto Arthur lagi sedang duduk di atas kursi meja sarapan sedang memakan serealnya. Ia sudah rapi untuk pergi ke sekolah, namun wajah tampak lesu. Bibirnya merah bawahnya menyembul, seperti kesal akan sesuatu. Judul di sampingnya tertulis; Ayah Mengacaukan Segalanya, Butuh Giavanna.
            Membaca judul itu membuat Giavanna menggigit bibir. Haruskah Justin menulis seperti itu? Ia membuka halaman yang lain. Kali ini terdapat foto Justin dan Arthur sedang telanjang dada di belakang taman rumah mereka. Apa-apaan yang mereka lakukan? Melihat wajah Justin membuat Giavanna muak. Segera ia menutup album foto itu dan menyimpannya ke atas lemari kecil di samping. Hailey tak mengatakan apa-apa. Ia merasa bodoh karena telah memaksa Giavanna membuka album foto itu. Giavanna menarik nafas panjang lalu menghelanya melalui mulut. Sahabatnya mendongak lalu tersenyum manis. Betapa beraninya Giavanna tersenyum saat hatinya sedang sakit! Hailey benar-benar tak habis pikir mengapa Giavanna bisa tersenyum di sela-sela kesakitan hatinya.
            “Aku tak suka memaksa senyum seperti. Seharusnya kau memang tak bekerja di sana. Mereka memang pembohong. Sama seperti pekerjaan mereka, membuat iklan yang penuh kebohongan. Apa kau yakin kau akan baik-baik saja di Washington nanti? Jika ya, kau akan bekerja dimana?”
            “Aku pasti akan baik-baik saja, Hailey. Tak perlu khawatir. Yang jelas pekerjaan yang lebih hebat dibanding menjadi asisten seorang Richardson.” Ucap Giavanna penuh sarkastik di akhir kalimat. Ia mencondongkan tubuhnya pada Hailey lalu memeluk sahabatnya dengan erat. “Aku ingin kau baik-baik saja di sini. Maaf aku terlalu egois untuk meninggalkanmu, tetapi aku memang harus pergi dari Atlanta dan memulai hidup baru. Jika kau akan melahirkan, pastikan aku tahu. Aku tidak ingin menjadi orang kedua yang melihat keponakanku lahir.”
            “Tidak akan kubiarkan.” Ucap Hailey tersenyum, mereka semakin mengeratkan pelukan mereka.
“Aku senang karena kau tidak jadi diperawani,” lanjut Hailey membuat Giavanna tergelak.
            “Hailey!”
            “Omong-omong, Lance itu tampan, kau tahu,”                                                                       
            “Hailey, apa kau serius?” Tanya Giavanna melepaskan pelukan mereka sambil masih tersenyum. Berani-beraninya Hailey memuji pria yang hampir membuat harga diri Giavanna hilang! Tetapi Giavanna tahu, Hailey hanya bercanda.
            “Ya. Aku serius.” tawa Hailey mengejek Giavanna. Mereka berdua hanya terus tertawa, menertawakan kesedihan mereka yang begitu payah. Setidaknya, Giavanna tak begitu larut akan kesedihannya.

***

            Malam itu Justin lebih memilih untuk menenangkan diri di kelab Alexander. Awalnya ia berniat untuk menemui mantan kekasihnya itu, namun ia tak menemukan Alexander dimana pun. Bahkan di apartemen Alexander. Mantan kekasihnya tak dapat dihubungi, ponselnya tak aktif dan Justin sudah kalang kabut. Ia khawatir jika ada sesuatu yang terjadi pada Alexander, kadang pra itu bertindak gila. Bisa saja Alexander bunuh diri karena putusnya hubungan mereka. Kira-kira tiga botol anggur sudah Justin teguk sampai habis. Ia sering berkata-kata tak jelas, kadang ia menangis seperti anak kecil. Ia benar-benar mabuk tak terkendali. Sesekali ia berteriak, meneriaki nama Giavanna seperti orang gila. Para penjaga di dalam sana tahu, Justin adalah donatur dari pembangunan kelab ini dan ia sahabat dari Alexander. Tetapi bagaimana pun, Justin mengganggu kenyamanan orang lain.
            Justin tak mengenakan jas hitam. Ia hanya mengenakan kemeja berwarna biru muda yang dua kancing dari atas terbuka sehingga dirinya sekarang semakin menarik. Betapa indahnya pria ini. Bagaimana bisa Tuhan membuat seorang begitu sempurna seperti ini? Justin meneguk anggurnya yang ke empat. Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya, menikmati musik kelab yang sebelumnya tidak pernah ia sukai. Pikirannya benar-benar kacau semenjak Giavanna tak muncul selama dua hari di kantornya. Ia sudah berusaha mengunjungi Giavanna ke apartemen, tetapi ketika ia baru ingin sampai ke depan pintu apartemennya, seorang perempuan muncul—Justin menduga itu adalah sahabat Giavanna karena perutnya buncit karena hamil.
            Sahabatnya memukul Justin di bahu, perut dan dada agar Justin tak pernah sekalipun masuk ke dalam apartemennya. Tentu Justin tak ingin menyerang seorang wanita hamil seperti sahabat Giavanna. Ia tak ingin membuat Giavanna semakin membencinya jika ia tahu kalau Justin berhasil menggugurkan kandungan sahabatnya. Maka dari itu Justin teringat akan hadiahnya yang belum sempat ia berikan pada Giavanna. Ia mengirimnya siang tadi untuk wanita itu. Justin harap perempuan datang lagi ke dalam pelukannya. Justin hanya memerlukan Giavanna sekarang.
            Tetapi Justin segera tenang ketika seorang pelacur mendekatinya mengenakan pakaian seksi. Ia melihat perempuan ini seolah-olah ia adalah Giavanna. Pelacur itu mengangkangi Justin yang berada di ruang VIP. Justin mengerjap-kerjapkan matanya agar ia yakin, wanita yang muncul di depannya adalah Giavanna. Dan memang benar, menurut penglihatannya itu Giavanna—yang biar orang buta pun melihat bahwa wanita di depan Justin berambut pirang, bukan cokelat. Justin mengelus punggung pelacur itu lalu menciumi lehernya. Pasti Giavanna telah menerima hadiahnya dan merubah pikiran untuk kembal lagi pada Justin. Sayangnya, itu hanya halusinasi saja.
            “Oh, ya ampun, Giavanna. Kupikir kau sudah pergi dari Atlanta. Aku tahu sebenarnya kau datang lagi untukku. Aku tahu itu,” ceracau Justin tak jelas. Pelacur itu hanya menikmati godaannya pada Justin, ia mendekatkan buah dadanya yang hanya tertutup dengan sebuah bikini. Saat berada di antara buah dada itu, Justin merasa berada di langit-langit. “Aw, lihatlah, kau mulai nakal, Giavanna.”
            “Yeah. Kau menyukainya?” Tanya pelacur itu menekan-nekan kepala Justin di antara belahan dadanya. Justin mengangguk-angguk sambil tersenyum.
            “Aku tak tahu kalau kau akan senakal ini padaku, Giavanna,” erang Justin kenikmatan. “Oh, hati-hati dengan tanganmu, Giavanna.” tawa Justin ketika ia merasakan kejantanannya yang berada di balik celana itu disentuh. Pelacur itu mengelus-elus tonjolan itu dengan lembut, sementara Justin terus menciumi leher pelacur itu.
            “Kau menyukainya, huh? Kau menyukainya?” Tanya pelacur itu begitu genit. Justin mengangguk-angguk lalu ia menyandarkan tubuhnya di sofa sambil memandangi pelacur yang ia anggap Giavanna Anderson. Mengapa Giavanna mau memakai bikini di tempat umum seperti kelab ini? Tetapi apa peduli Justin? Ya jelas ia telah memiliki Giavanna. Ia sudah tahu sejak awal bahwa wanita ini akan kembali padanya. Sudah pasti Giavanna takkan tega meninggalkan Justin begitu saja. Ia melihat Giavanna menari-nari erotis sambil tangannya mengelus-elus pinggang ramping Giavanna. Pelacur itu memang mahir dalam hal ini.
            “Oh, Giavanna, kau benar-benar nakal!” Tawa Justin seperti orang gila. “Lihat lekukan tubuhmu. Setelah dua hari tak melihatmu, aku benar-benar merindukanmu. Dan sekarang kau datang dengan …tarian erotismu. Yeah, sayang, lakukan itu padaku,” desah Justin menengadahkan kepalanya dengan mata terpejam nikmat. Pelacur itu menggoyang-goyangkan bokongnya di atas kejantanan Justin yang masih tertutup celananya.
            “Oh, sialan Giavanna! Kau sangat panas!” Erang Justin menegang. Ia tak pernah bergairah seperti ini. Tidak pada siapa pun, bahkan Eva sekalipun. Sampai Giavanna muncul dan mengubah segalanya.
            “Mmh,” pelacur itu ikut memejamkan matanya. Kapan lagi ia dapat menggoda pria tampan yang sedang mabuk seperti Justin? Lebih lagi, ia tahu siapa pria ini. Ia orang kaya yang masuk majalah bulan lalu. Dan sekarang, dengan mengejutkannya, pria ini datang dan terus menyebutkan nama yang bukan namanya. Tetapi apa peduli pelacur itu? Ia ingin uang pria ini di tangannya sekarang demi kehidupannya. Kejantanan Justin semakin membesar di balik celananya. Mata Justin terbeliak kenikmatan saat perempuan itu membungkukkan tubuhnya sehingga buah dada itu kembali menutupi wajahnya sementara bokong itu masih terus berputar di atas celananya. Sungguh benar-benar nikmat. Namun tangan pelacur itu akhirnya menuju pada celana jins dan menarik turun retsletingnya.
            “Kau bohong padaku, Giavanna! Kau bilang kau masih perawan. Tetapi lihatlah, kau begitu nakal dan panas. Dimana kau mempelajarinya sayang?” Tanya Justin mengelus rambut pelacur itu dengan lembut. (Dan penulis tak percaya kalau dia akan menulis adegan ini.)
            “Ini keahlianku,” bisik pelacur itu kemudian mendesah di telinga Justin. Tangan pelacur itu melesak masuk ketika retsleting Justin telah terbuka lalu meremas-remas lembut kejantanan Justin yang berada di balik boxer itu. Pelacur itu bahkan tak mengira bahwa pria setampan ini mempunyai barang berharga yang bisa dikatakan besar. Jackpot.
            “Tidak, Giavanna, tidak di sini,” ucap Justin menahan tangan pelacur itu dengan lembut, seperti ia sedang memperlakukan Giavanna. Tiga botol anggur memang berhasil membuat Justin buta.
            “Ssh, biar kurawat dirimu baik-baik, sayang,” desah pelacur itu seksi. Justin hanya mengangguk-angguk menurut, apa pun untuk Giavanna. “Berapa kau akan membayarku?” tanya pelacur itu membuat Justin membuka matanya. Ia memerhatikan baik-baik perempuan yang ada di hadapannya. Kepalanya mundur ke belakang. Oh, sial! Ini jelas-jelas bukan Giavanna, wanita yang ia inginkan! Ini pelacur murahan yang baru saja Justin belai dengan lembut. Sialan, sungguh sial. Watak asli Justin muncul.
            “Minggir,” perintah Justin mendorong perempuan itu ke samping. Kemudian ia menarik retsleting celananya ke atas. Justin terus mengumpat dalam hati, ia telah digoda oleh pelacur sialan yang ia anggap Giavanna. Betapa bodohnya Justin berpikir Giavanna akan kembali padanya dan akan menggoda Justin seperti pelacur tadi.
            “Apa yang salah?” Tanya pelacur itu bingung. Justin segera mengambil dompetnya di kantong celananya lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dengan nominal besar untuk pelacur itu agar ia cepat lenyap dari hadapan Justin. Dan memang, pelacur itu pergi tanpa mengatakan apa-apa. Sial, ia harus pulang. Diliriknya jam tangan yang ia pakai—ia teringat akan Giavanna yang selalu memakai jam tangan kecil di tangan kirinya—lalu melihat dengan samar jarum pendek di sana. Ia mengumpat untuk yang kesekian kalinya, sudah jam 2 subuh dan ia belum pulang. Ayah macam apa Justin? Pulang mabuk dan esok pagi ia akan bertemu anaknya? Justin mengeluarkan beberapa lembar uang lagi dan menaruhnya ke atas meja kemudian mengambil jas yang tadi ia lepas dan lalu bangkit dari sofanya.
            Baru beberapa detik ia berdiri, ia hampir terjatuh kembali ke sofa. Kepalanya benar-benar pusing. Tiba-tiba seorang pelayan perempuan menghampiri Justin, membantu pria itu berdiri. Kali ini perempuan ini berambut cokelat. Kepala Justin tertarik ke belakang, tak percaya akan apa yang ia lihat. Giavanna? Apa yang ia lakukan di sini? Halusinasi itu kembali terjadi. Ia tertawa seperti orang mabuk pada umumnya. Kepalanya terdongak ke belakang lalu ia tertawa, kali ini lebih keras.
            “Kau bohong padaku! Tadi kau memintaku uang, dan sekarang kau muncul lagi dengan pakaian lebih sopan?”
            “Sir, biar kubantu,” ucap pelayan itu seramah mungkin. Perempuan itu sudah memperhatikan Justin sejak dua jam yang lalu, ia melihat betapa menyedihkannya melihat pria tampan itu tertawa lalu sedih lalu tertawa kembali. Dan sekarang ia ingin pulang. Berdiri saja tidak bisa, bagaimana bisa ia mencapai rumahnya dengan selamat? Untungnya para penjaga sudah mengenal siapa pria ini—termasuk dirinya. Jari telunjuk Justin menyentuh sudut bibirnya lalu terkekeh.
            “Aku tak tahu kau memakai pewarna bibir semanis ini. Kau sangat cantik, Giavanna,” puji Justin yang mundur beberapa langkah ke belakang, hampir jatuh. Namun dengan sigap, pelayan itu menolong Justin berdiri dengan tegap. “Ayo kita pulang dan menyelesaikan apa yang kautinggalkan tadi,”
            “Sir, aku hanya akan mengantarmu sampai depan kelab,”
            “Mengapa? Mengapa tiba-tiba kau berubah Giavanna?” Justin bertanya, kesal. “Kau baru saja menggodaku dan menyentuhku di sini. Ya, di sini,” ucap Justin menarik tangan pelayan itu menuju kejantanannya. Pipi pelayan itu memerah. Apa-apaan yang pria ini lakukan?! Pelayan itu segera menarik tangannya.
            “Baiklah, ayo sir, biar kuantar sampai rumahmu,” ucap pelayan itu, tentu saja berbohong. Justin berseru senang lalu menarik pipi perempuan itu dan mengecup bibir itu dengan lembut. Segera pelayan itu membuang wajahnya. “Tidak di sini, sir,”
            “Kau lucu sekali, Giavanna. Tadi kau memaksaku untuk melakukannya di sini, tetapi sekarang kau memintaku untuk melakukannya di rumah. Baiklah, ayo cantik, kita pulang.” Ucap Justin menegakkan tubuhnya sehingga ia bisa berjalan cukup baik, meski sesekali ia hampir jatuh. Saat berada di mulut pintu kelab, pelayan itu segera memberikan Justin pada penjaga itu. Saat pelayan itu baru ingin meninggalkan Justin, tangan Justin memegang tangannya dengan erat.
            “Apa-apaan yang kaulakukan Giavanna? Kupikir kita berdua akan pulang bersama,” ucap Justin kesal. Justin berada dalam pelukan penjaga bertubuh kekar, ia terlihat begitu lemah. Pelayan itu tersenyum manis pada Justin kemudian menatap pada penjaga itu, memberi kode untuk memukul pundak Justin agar pria itu cepat pingsan dan dapat pulang ke rumah secepat mungkin. Tetapi penjaga itu tentu tidak berani melakukannya.
            “Sir, aku akan menyusul,”
            “Eh, hey, hey, hey! Apa yang kaulakukan? Kau bermain mata pada pria ini? Lepaskan aku!” Berontak Justin. Tak punya pilihan lain, penjaga itu segera memukul pundak Justin hingga pria sekarat itu pingsan dalam gendongannya. Selemah inikah Justin ketika ia kehilangan wanita yang benar-benar ia cintai? Sayangnya, benar.

***

            Hari pertama di Washington D.C benar-benar berbeda dari Atlanta. Pagi itu Giavanna tak perlu terburu-buru bangun pagi dan membelikan kopi pagi untuk siapa pun. Justru pagi itu ia dilayani oleh temannya, Evan Burden, dengan secangkir teh hangat dan biskuit. Evan meminta izin pada pihak kantornya untuk libur satu hari agar ia dapat menyambut dan memperlihatkan Washington pada Giavanna. Evan termasuk pria yang manis, sungguh disayangkan, ia belum memiliki kekasih. Giavanna meneguk teh paginya di bar sarapan sambil memerhatikan Evan yang terampil memasak.
            Dibalik ketampanan Evan, ia juga pintar memasak. Pagi itu ia memasak sarapan pagi orang Amerika pada umumnya. Sosis, telur, bacon dan jus jeruk segar untuk mengawali pagi. Sebuah handuk putih berada di pundaknya agar ia dapat mengelap keringat. Giavanna belum merapikan pakaiannya di lemari. Ia begitu lelah dan butuh waktu untuk beristirahat lebih banyak lama lagi. Setelah itu, ia akan mencari pekerjaan. Mungkin di sini ia bisa menjadi bagian administrasi di sebuah bank atau suatu perusahaan. Ia masih tak tahu.
            Tetapi baiknya Evan, ia sudah melingkari kolom-kolom bagi orang yang mencari pekerjaan di koran sehingga Giavanna bisa dengan mudah memberikan berkas-berkasnya. Evan yang sedang memunggunginya itu segera berbalik lalu tersenyum pada temannya, Giavanna.
            “Jadi, bagaimana hari pertamamu di sini? Apa aku melayanimu dengan baik?” Tanya Evan menyandarkan tangannya di atas bar sarapan. Otot tangannya begitu terbentuk di balik kaos abu-abu ketatnya. Giavanna semakin bingung, mengapa tidak ada wanita yang tertarik padanya? Atau mungkinkah, Evan ternyata seorang… pft, tidak mungkin. Evan pernah berpacaran dengan perempuan sewaktu mereka kuliah. Giavanna terkekeh pelan mendengar pertanyaan konyol itu keluar dari mulut temannya.
            “Mengapa kau terdengar seperti gigolo? Oh, yeah, Mr.Burden, kau benar-benar perkasa tadi malam. Aku ingin melakukannya lagi sekarang.” Goda Giavanna dengan suara imut yang dibuat-buat. Evan tertawa terbahak bahkan kepalanya sampai terdongak ke belakang. Selucu itukah Giavanna? Evan mendekati Giavanna lalu membungkuk tepat di depan wajah Giavanna. Wajah mereka hanya terpisah beberapa inchi, kemudian aroma wangi dari mulut Evan tercium.
            “Kau ingin aku melakukannya di atas meja ini? Atau kau akan menungging di sini sambil memegang sisi bar sarapan?” Tanya Evan begitu intens. Apa-apaan yang Evan lakukan?! Apa ia sudah sering meniduri perempuan? Well, jika begitu, Giavanna akan sangat mewajarinya jika ia melihat tubuh Evan yang begitu atletis. Evan begitu berubah. Dulu ia pria biasa yang tidak pernah dilirik oleh perempuan karena terlalu sering bergaul dengan Giavanna yang terdengar sangar. Tetapi sekarang, lihatlah Evan, dengan segala yang ia miliki.
            “Aku lebih memilih kau fokus kembali pada masakanmu karena aku tak mau sosismu gosong begitu dan tak bisa dimakan,” ucap Giavanna tersenyum. Evan menarik tubuhnya dari Giavanna lalu kembali ke kompornya.
            “Kau tahu Giavanna, sosisku tidak akan pernah gosong dan selalu enak dimakan. Bahkan mau kau makan berkali-kali pun, sosisku tidak akan ada habisnya. Legalnya, sosisku dimakan dengan cara dijilat dan diisap.” Goda Evan semakin menjadi-jadi.
            “Hentikan, sialan!” Giavanna melempar satu keping biskuit pada Evan lalu tertawa. Setidaknya, kehidupan di Washington pasti akan lebih sering membuat Giavanna tersenyum, dibanding ia harus berbalik ke belakang dan kehilangan senyum di wajahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar