***
Wanita berambut cokelat panjang itu
berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Nafasnya naik-turun seperti sedang
berlari marathon. Dua suster sedang mendorong tempat tidur wanita itu menuju
ruang persalinan. Sementara wanita lain ikut berlari di samping tempat tidurnya
dengan tangannya yang dipegang erat oleh wanita yang berbaring di atas tempat
tidur itu. Wanita berambut cokelat panjang itu menangis tak tahan, ia
menggeleng-gelengkan kepalanya dan terus menggumamkan nama seorang pria. Bayi
yang ada dalam perut itu sepertinya sudah tak ingin berlama-lama lagi berada di
dalam sana.
“Lance,” tangis wanita yang
terbaring itu. “Lance,”
Ketika ingin memasuki ruang persalinan, wanita
yang ikut berlari itu ditahan oleh salah satu suster agar tetap berada di luar.
Ia hanya dapat mengangguk pasrah menerima permintaan suster itu. Kemudian pintu
ruang persalinan di tutup. Giavanna berjalan menuju kursi yang tersedia di
dekat pintu ruang bersalin lalu duduk di sana. Bahunya melemas begitu saja. Apa
pun yang terjadi di dalam sana, ia harus menjadi orang pertama yang melihat
bayi itu. Hailey sudah berjanji padanya sebelum Giavanna meninggalkan Atlanta.
Giavanna bertanya-tanya, ada hubungan apa antara Hailey dan Lance? Hailey
meminta Giavanna untuk kembali ke Atlanta karena sebentar lagi ia akan
melahirkan. Ia baru saja tiba di Atlanta bersama Evan kira-kira 3 jam yang lalu. Mereka tiba siang di
Atlanta. Dan ketika ia ingin beristirahat sebentar, Hailey sudah mengerang
kesakitan.
Sialnya, Evan tidak sedang berada di
apartemen. Ia lebih memilih untuk berkeliling kota Atlanta tanpa takut
tersesat. Dan di sinilah Giavanna berada. Di depan ruang persalinan. Sendirian.
Dan terus bertanya pada diri sendiri, meski ia tidak tahu jawaban apa yang
tepat. Terutama tentang hubungan Hailey dan Lance. Mengapa selama perjalanan
menuju rumah sakit dan ruang persalinan, Hailey terus menyebut nama Lance dan
meminta Giavanna untuk menghubungi Lance.
Jika Giavanna tahu nomor ponsel
Lance, sudah pasti ia akan menghubungi Lance agar datang ke rumah sakit
sekarang juga. Tetapi, sudah 6 bulan lebih ia tinggal di Washington dan sudah
pasti Lance tidak memakai nomor teleponnya yang dulu. Lagi pula, Giavanna juga
sudah tidak menyimpan nomor ponsel Lance. Saat Giavanna membungkukkan tubuhnya,
pintu ruang bersalin terbuka.
“Ms. Anderson? Bisa kau menemani Ms.
Hailey ingin bertemu denganmu,” ucap suster yang lain. Giavanna bangkit dari
kursi lalu berjalan patuh menuju ruang bersalin. Ketika ia masuk dalam ruang
bersalin, ia melihat Hailey sudah setengah berbaring di atas tempat tidur
dengan kedua kaki bertumpu pada sesuatu sehingga kedua pahanya terbuka lebar.
Giavanna tidak ingin melihat daerah sana.
Ia melihat Hailey kelihatan lebih tenang, namun keringatnya masih membasahi
wajah, perempuan itu sedang memejamkan mata. Ia berdiri di samping Hailey lalu menyentuh
tangannya.
“Hey, kau baik-baik saja?” Tanya
Giavanna pelan. Hailey membuka matanya, ia menoleh melihat Giavanna lalu
menggeleng kepalanya.
“Tidak,” bisiknya. “Aku akan segera
melahirkan. Apa kau pikir aku akan baik-baik saja setelah melahirkan?” Tanya
Hailey mengerut kening. Giavanna mengangguk yakin.
“Mengapa tidak? Kau pasti bisa
melewatinya,” Giavanna memberi semangat. Hailey mengangguk setuju, ia tersenyum
sebentar lalu ia mengerang kembali. Tepat saat itu, seorang bidan masuk ke
dalam ruang persalinan dengan keadaan sudah siap. “Kau bisa melakukannya.”
Bidan itu mengambil sarung tangan
karet. Sambil memasang sarung tangan karetnya, ia berbicara dengan nada
bersahabat. “Halo, Hailey. Bagaimana perasaanmu sekarang, sayang?”
“Tidak begitu bagus,” erang Hailey
meremas tangan Giavanna yang ia pegang. Giavanna berteriak tanpa suara. Ia tak
menyangka, Hailey, sahabatnya yang bertubuh mungil ini bisa meremas tangannya
sekuat itu. Bidan hanya tersenyum ramah setelah ia memasang sarung tangan
karetnya. Lalu ia menyentuh kedua ujung lutut Hailey. Apa-apaan yang sedang
Giavanna lihat? Diam-diam ia ingin mual di tempat. Salah satu suster berada di
sisi lain tempat tidur lalu ia mengelap keringat yang bercucuran di sekitar
kening Hailey.
“Dari skala 1-10, seberapa sakit?”
“Delapan,” teriak Hailey, tangisnya
memecah begitu saja. Ketika bidan berbicara, Giavanna tak mendengar apa-apa.
Ruangan ini terasa begitu panas dan memusingkan. Teriakan Hailey memekakan
telinga, suara lembut dari bidan membuat Giavanna ingin jatuh di tempatnya. Ia
tak tahan. Apa yang sedang bidan lihat? Apa ia melihat kepala bayi di sana?
Giavanna berbisik dalam hati dan ia mengutuk dirinya karena ingin menjadi orang
pertama yang melihat bayi Hailey. Ia memang ingin menjadi yang pertama yang
melihat bayi Hailey, tetapi ia juga tidak ingin melihat proses persalinannya.
Aroma-aroma ruang persalinan ini membuat Hailey mual.
Mata Giavanna memerhatikan bidan
yang terus memberi semangat pada Hailey. Tangannya yang diremas oleh Hailey
sudah mati rasa. Ketika ia sadar bahwa semuanya terasa begitu nyata, Giavanna
bertanya-tanya, siapa yang akan menjadi ayah dari anak Hailey? Satu nama yang
terlintas dipikirkan Giavanna adalah Lance. Nama pria itu terus disebut oleh
Hailey! Sudah pasti Hailey memiliki suatu hubungan yang selama ini Hailey
rahasiakan dari Giavanna. Mengingat terakhir kali Hailey membuat candaan
tentang Lance bahwa pria itu tampan. Mungkin saja Hailey benar-benar serius,
tidak bercanda sama sekali. Jika begitu, mengapa Hailey tidak sama sekali
memberitahu Giavanna? Ia tidak akan melarang Hailey berhubungan dengan Lance,
tetapi Lance harus tetap berhati-hati dengan Hailey. Jangan sampai Lance
berakhir seperti Liam.
Sialan. Mengapa ia tiba-tiba
mengingat Justin? Ia orang yang menyuruh orang kulit hitam itu untuk memukul
Liam. Semua itu atas pertolongan Justin. Ia menggeleng kepalanya, menyingkirkan
pikirannya tentang Justin. Saat semuanya mulai terdengar kembali, ia dapat
mendengar suara tangisan bayi yang memekakan telinga. Ia menoleh melihat bidan
yang sekarang menggendong bayi mungil. Anak laki-laki. Ketika Giavanna melihat
darah yang berlumuran di sekitar tubuh bayi itu, kepala Giavanna pening.
Tangannya terlepas dari genggaman Hailey, lalu mundur beberapa langkah. Ia
kehilangan keseimbangan.
“Giavanna, apa kau baik-baik saja?”
Tanya Hailey dengan suara lemah. “Lihat, keponakan pertamamu. Laki-laki,
tidakkah kau senang?” Tanya Hailey tersenyum lemah. Saat bayi itu sudah
terlapisi oleh handuk kecil, Hailey menggendongnya lalu mengecup kening bayi
itu. Ia tersenyum bahagia, bahkan air matanya menetes. Bayi yang awalnya
menangis itu tiba-tiba berhenti menangis saat ia sudah berada gendongan ibunya.
Giavanna kagum atas apa yang ia lihat. Sungguh manis. Tetapi tetap, ia pikir ia
tidak akan sepusing ini. Tetapi melihat bayi yang berlumuran darah membuat
kepala Giavanna pening.
Ketika bayi itu diberikan pada
suster, bayi itu kembali menangis. Kedua alis Giavanna terangkat. Tetapi
perhatiannya teralihkan oleh Hailey yang memanggilnya.
“Giavanna,” panggilnya. “Ada sesuatu
yang ingin kuberitahu padamu,” bisiknya lemah. Perempuan itu bahkan kelihatan
sudah tak kuat membuka kelopak matanya. Ia terlihat begitu lelah melewati
perjuangannya tadi—meski pikiran Giavanna melayang kemana-mana agar ia tidak
jatuh pingsan di tempat. Giavanna melangkah mendekati sahabatnya lalu
mengangguk agar sahabatnya melanjutkan ucapannya.
“Aku akan menikah dengan Lance 1
minggu lagi.” Bunyi bom di telinganya terdengar. Setelahnya, mata Hailey
tertutup. Giavanna mengutuk dalam hati. Apa-apaan?
***
Pria di hadapan Giavanna
mengetuk-ketuk ujung sepatunya. Giavanna melipat kedua tangannya di depan lalu
memerhatikan pria itu dengan seksama. Masih sama seperti dulu. Mungkin sekarang
lebih kelihatan cerah. Salah satu alis Giavanna terangkat lalu ia mendecak. Ia
memutar tubuhnya menuju tempat tidur Hailey. Sahabatnya mengangkat kedua
alisnya, memberi Giavanna wajah ‘jadi bagaimana?’. Giavanna mengedik bahu lalu
ia mendesah. Ia duduk di atas kursi di sebelah tempat tidur Hailey lalu
membenamkan wajah di kasur. Lance benar-benar akan menikah dengan Hailey?
Mereka sudah mengirim undangan pernikahan mereka ke seluruh teman mereka
kecuali Giavanna? Bagus sekali tindakan yang mereka ambil. Mengapa tidak
sekalian Giavanna tidak diminta pergi ke Atlanta agar Giavanna tak tahu menahu
sama sekali tentang apa pun? Ini benar-benar berita mengejutkan.
Sialnya, Hailey telah membelikan
gaun untuk pesta pernikahan Hailey nanti. Bukan Giavanna tak ingin memakai gaun
itu, tetapi Giavanna merasa tidak enak bila Hailey yang membelikan gaun
untuknya. Meski Giavanna belum melihat gaunnya, ia masih tetap merasa tidak
enak. Giavanna curiga kalau selama ini Hailey tidak memakai uang yang Giavanna
kirimkan tiap bulan untuknya. Dan selama ini pasti Lance-lah yang menemani
Hailey di Atlanta. Giavanna mengangkat kepalanya lalu melihat Lance saat
sesuatu menyadarkannya.
“Ap-apa kalian mengundang Justin
Richardson?” Tanya Giavanna dengan nada suara setengah panik. Lance menarik
nafas tajam, ia malah menatap Hailey. Giavanna juga melihat Hailey namun ia
tidak menjawab apa pun. Berarti Justin diundang ke pernikahan mereka. Giavanna
tak bisa melakukan apa pun karena ini bukan pernikahannya. Ia tidak punya hak
untuk melarang mereka mengundang Justin.
“Maaf,” bisik Hailey pelan. “Ak—“
“Tidak. Tidak apa-apa, Hailey,”
tukas Giavanna mengangkat tangannya agar Hailey tak melanjutkan ucapannya.
Giavanna tahu apa yang harus ia lakukan nanti saat mereka menikah. Ia hanya
perlu berusaha terlihat telah sembuh dari sakit hatinya dan memiliki kekasih
baru, yaitu Evan. Ya, mungkin itu ide yang bagus. Evan bisa menjadi pacar
palsunya. Oh, maafkan aku, Evan. Kau
harus ikut masuk ke dalam masalahku. Giavanna mendesah.
“Aku bisa membuatnya tak datang ke
pernikahan kami,” Lance angkat suara. Giavanna menggeleng kepala. Tidak perlu
Lance melakukan itu. Ia tak ingin merusak acara pernikahan mereka. Keheningan
membuat keadaan menjadi canggung. Hailey menggigit-gigit bibir bawahnya lalu
menatap Lance, calon suaminya.
“Aku hanya ingin mendengar bagaimana
kalian bisa menjalin hubungan,” ucap Giavanna menyandarkan kepalanya di sisi
tempat tidur Hailey. Lance dan Hailey saling bertatapan lalu akhirnya Lance-lah
yang menceritakan bagaimana ia dan Hailey berpacaran—bahkan menikah. Hailey
tidak sengaja bertemu dengan Lance di supermarket dekat apartemennya untuk
membeli susu hamilnya. Lance menanyakan bagaimana keadaannya dan Giavanna.
Mulai dari sana, mereka saling dekat. Bahkan Hailey tak menyangka ternyata
Lance tidak sejahat itu. Tiap hari
Lance datang ke apartemen Hailey untuk memastikan keadaannya. Ketika mereka
mulai berpacaran, Hailey ragu untuk memberithu kedekatannya dengan Giavanna. Ia
tak ingin membuat Giavanna mengingat masalahnya lagi dengan Lance dan Justin.
Tetapi ia tahu, cepat atau lambat Giavanna akan tahu hubungan mereka.
Sampai akhirnya Lance melamar Hailey
satu bulan yang lalu. Tentu saja Hailey menerima Lance! Bagaimana tidak? Lance
mau menerima segala kekurangan yang Hailey miliki—hamil di luar nikah, tidak
memiliki pekerjaan tetap, dan ia mungil. Ia pria yang manis dan romantis,
terlebih lagi, ia bertanggungjawab atas apa pun. Termasuk pernikahan ini. Lance
membuat Hailey lebih bahagia dari sebelumnya. Bahkan selama mereka berpacaran,
Lance tidak pernah absen menemani Hailey untuk latihan mengatur nafas. Mereka
selalu bersama hampir setiap saat. Dan di sinilah mereka. Di salah satu kamar
rumah sakit, mendengar cerita Lance. Giavanna mengangguk-angguk mengerti. Ia
kemudian berdiri dari kursinya lalu berjalan menuju Lance.
Ia memeluk pria itu, lalu berterima
kasih. “Hailey membutuhkan pria sepertimu. Terima kasih sudah menjaganya selama
aku tak berada di sisinya,” ucap Giavanna menepuk-nepuk punggung Lance dengan
kencang. Lance mengedipkan salah satu matanya pada Hailey lalu memberikan acungan
jempol.
“Hey, hey, hey,” suara Hailey
membuat mereka melepas pelukan. “Kalian tahu aku di sini,” ujar Hailey berucap
dengan nada kesal. Tetapi raut wajahnya tak bisa menipu kalau ia sedang
bercanda. Pintu ruang rawat Hailey terbuka, muncullah Evan membawa sebuah
boneka beruang biru dan seikat bunga mawar merah.
“Apa aku melewatkan sesuatu?”
***
Pria itu kembali menunduk untuk
melihat undangan pernikahan yang ia dapatkan kira-kira 1 minggu yang lalu. Ia
masih tidak percaya kalau mantan bawahannya akan menikahi sahabat dari wanita
yang ia cintai. Haruskah ia datang ke pernikahan Lance besok? Apa ada
kemungkinan kalau Giavanna akan berada di sana? Pria itu memejamkan matanya.
Mengingat pertemuan terakhirnya dengan Giavanna. Mata penuh kekecewaan, air
mata yang menetes dan kepergiannya. Ia bahkan masih bisa mencium aroma harum
dari tubuh Giavanna. Bagaimana keadaan perempuan itu sekarang? Tiap hari ia
berusaha untuk mendapatkan informasi apa pun dari Giavanna—yang tentunya ia
minta dari Hailey—tetapi ia tetap tidak pernah mengetahui kabar perempuan itu.
Dua bulan setelah kepergian
Giavanna, Justin memutuskan untuk berhenti mencari tahu keadaan perempuan itu.
Ia memutuskan untuk tidak mengganggu perempuan itu lagi. Ia tidak ingin
Giavanna semakin membencinya. Ia berusaha untuk melupakan Giavanna dengan cara
bermain dengan wanita. Alexander, mantan pacarnya, sudah tak pernah
menghubunginya lagi. Entah pria itu menghilang kemana, Justin tidak begitu
mempedulikan pria itu. Ia hanya membutuhkan seseorang yang serupa dengan
Giavanna. Terutama kepribadiannya. Dari balkon, Justin mendongak melihat
langit-langit. Malam itu langit tak bertabur bintang. Ia hanya melihat bulan
yang sendirian, sama sepertinya. Giavanna
pasti ada di pernikahan itu besok. Justin meyakinkan dirinya.
“Justin,” panggil suara perempuan
dari belakang. Segera Justin membalikkan tubuhnya dan melihat seorang wanita
sebayanya yang hanya memakai lingerie berwarna hitam di mulut pintu menuju
balkon. “Kau ingin tidur? Sudah jam 9, sayang,”
“5 menit lagi,” ucap Justin
membalikkan tubuhnya lagi. Kepalanya mendongak kembali, menatap langit-langit lalu
mendesah nafas panjang. Besok akan menjadi hari yang melelahkan. Jika memang
Tuhan mengizinkan Justin bertemu dengan Giavanna untuk yang kedua kalinya,
biarkanlah itu terjadi dengan sempurna.
Justin tak ingin merusak kesempatan
keduanya.
***
Acara pernikahan Lance dan Hailey
berjalan begitu sempurna. Pemberkatan di gereja sudah selesai kira-kira 30
menit yang lalu. Mereka menikah di sebuah perkebunan yang luas, di pinggiran
kota. Edward—bayi Hailey—terus berada dalam gendongan Giavanna selama pernikahan
berlangsung. Orang-orang mengira Edward adalah anak Giavanna. Malam itu,
Giavanna memakai gaun panjang berwarna putih yang tidak begitu meriah, namun
terlihat cantik saat Giavanna memakainya. Baru kali ini Giavanna memakai gaun
tanpa lengan atau tali di pundaknya. Yang agak membuat Giavanna takut jika gaun
itu tiba-tiba merosot dari tubuhnya. Malam itu angin musim semi cukup
menyejukkan, maka dari itu Edward digendong dengan beberapa lapis selimut di
tubuhnya agar ia tetap hangat.
Meski begitu, Giavanna tetap
kerepotan menggendong bayi kecil ini. Terlebih lagi jika ada seseorang yang
mendekatinya dan bertanya-tanya tentang Edward atau malah mencubitnya.
Lagi-lagi Giavanna harus menyesal dalam hati karena ia bersikap kasar pada
siapa pun yang berusaha mencubit pipi Edward. Ia hanya tidak ingin keponakan
pertamanya sakit karena bakteri dari tangan-tangan orang asing. Sejauh ini,
Giavanna tidak melihat tanda-tanda dari Justin. Ia cukup lega akan hal itu.
Orang-orang diminta untuk duduk di kursi karena sebentar lagi acara selanjutnya
Giavanna dan beberapa teman Hailey dan Lance harus berpidato di depan podium.
Tenda putih itu sungguh besar, kira-kira 150 orang ada di dalam sana. Giavanna
yang berdiri di belakang kursi meja makannya mencari-cari dimana Hailey.
Mengapa ia belum sampai ke sini? Tempat pemberkatan dan tenda tidak begitu
jauh! Ia melihat ke mulut pintu tenda, berharap Hailey muncul.
Orangtua Lance sudah duduk satu meja
dengan Giavanna—orangtua Hailey sudah tak ada sejak Hailey lulus dari kuliah. Evan
dari belakang tiba-tiba muncul mengejutkan Giavanna. Pria itu memakai setelan
berwarna hitam dengan tanpa dasi. Jas hitam yang ia pakai terkancing. Pria itu
tampak sempurna dalam setelan itu. Dengan keberadaan Evan di sampingnya, mereka
berdua kelihatan seperti keluarga kecil yang baru memiliki anak bayi.
“Dimana Hailey dan Lance? Mengapa
mereka begitu lama?” Tanya Giavanna tanpa melepaskan pandangannya dari pintu
tenda. Evan yang baru saja ingin mencubit pipi Edward langsung dipelototi oleh
Giavanna. “Jangan berani-berani mencubit pipi keponakanku, itu perintah.”
“Well, baiklah, Komandan. Apa pun
yang kaukatakan,” ucap Evan mengangkat kedua tangannya. “Hailey sedang
mengganti gaun perngantinnya. Ia bilang, ia tidak ingin repot-repot
menarik-narik ekor gaunnya. Jadi ia dari apa yang kudengar, ia akan mengganti
gaun yang lebih sederhana,”
“Tipikal Hailey. Tidak ingin repot,”
ucap Giavanna mengerucutkan bibirnya. Matanya kembali terfokus pada pintu
tenda. Para tamu undangan dengan tertib dibawa oleh kepala pelayan menuju meja
mereka. Saat seorang pria berwajah familiar bersetelan hitam itu muncul,
Giavanna tahu kalau ia sedang diperhadapkan dengan masalah besar. Justin Sialan
Richardson, muncul dengan segala kharismanya begitu ia masuk. Beberapa orang
meneriaki namanya saat ia masuk ke dalam tenda. Hal yang membuat Giavanna
terkejut adalah wanita cantik bergaun ungu yang sedang digandenginya. Dan gaun
ungu itu adalah gaun yang dulu pernah Giavanna pakai. Sungguh? Dan, siapa
wanita itu? Pacar Justin? Tidak mungkin. Justin itu gay. Tidak mungkin ia
memiliki pacar perempuan.
Kepala pelayan menggiring Justin
menuju salah satu meja. Tidak sekalipun Justin melirik Giavanna. Justin terus
menggenggam tangan wanita itu sampai mereka akhirnya duduk di kursi dengan
manis. Wanita itu mendekati telinga Justin lalu membisiki sesuatu. Masih dengan
wajah yang sama. Wajah tampan bagai malaikat. Dan masih dengan sikap
sombongnya. Bagaimana bisa Giavanna pernah jatuh cinta pada pria semacam
Justin? Dan lalu kepala perempuan itu menjauh dari telinga Justin. Beberapa
detik kemudian Justin mendongak melihat pada Giavanna. Mata mereka bertemu.
Segera Giavanna membuang wajah dari Justin lalu meminta Evan untuk menarik
kursi agar ia duduk dan Justin tidak bisa melihatnya lagi. Meja mereka berjarak
kira-kira 4 meja dari meja Giavanna. Sehingga kemungkinan kecil Justin tidak
bisa melihat Giavanna.
Orang-orang bersorak ketika Lance
dan Hailey muncul dari pintu tenda. Edward yang sedang tertidur itu menggeliat
dalam gendongan Giavanna namun tak bangun. Uh, bayi ini sungguh manis. Pipinya
bahkan masih merah muda. Evan juga ikut bertepuk tangan saat Lance dan Hailey
berjalan menuju meja mereka. Kedua orangtua Lance yang sudah tua terlihat
begitu bangga melihat anak laki-laki mereka telah mereka. Saat mereka berdua
tiba di meja, Lance menarik kursi untuk Hailey kemudian istrinya duduk di sana.
Hailey mengedipkan salah satu matanya pada Lance sehingga orang-orang di sana
bersorak menggoda. Giavanna tertawa melihat mereka berdua yang kelihatan begitu
manis dan cocok. Setelah mereka berciuman, pembawa acara pernikahan mulai
berbicara.
Para pelayan mulai memasukkan
sedikit anggur di gelas para tamu. Kemudian pembawa acara meminta Giavanna
untuk naik ke atas panggung. Orang-orang di dalam tenda bertepuk tangan lalu
Giavanna dengan gugup memberi Edward pada Evan lalu ia berbisik.
“Jangan berani-berani kau mencium
atau mencubit pipi keponakanku. Aku akan memerhatikanny dari atas sana,” ucap
Giavanna mengancam. Evan mengangguk patuh. Giavanna mengambil gelas anggurnya
dari meja lalu berdiri tegap. Perempuan bergaun putih panjang itu melangkah
menuju atas panggung yang hanya setinggi 4 anak tangga. Justin yang melihat
Giavanna berada di atas panggung merasa begitu …sakit hati. Siapa pria yang
duduk di sebelahnya? Dan apa yang baru saja Giavanna bisiki di telinga pria
itu? Dan bayi siapa yang Giavanna gendong? Mengingat perut Hailey yang sudah
kembali datar membuat perasaan Justin sedikit lega.
Ia memberikan perhatian penuh pada
Giavanna yang berdiri di sana. Rambutnya semakin panjang dan cantik. Giavanna
selalu cantik di matanya. Wanitanya
baik-baik saja. Bahkan tampak lebih baik dari sebelumnya. Justin menjilat
bibirnya. Telinganya lalu mendengar suara Giavanna.
“Selamat malam,” ucap Giavanna
menggunakan mikrofon. Suara yang begitu Justin rindukan! Apa Giavanna masih
sekonyol dulu? Apa Giavanna masih sama seperti Giavanna yang ia kenal? Justin
tidak tahu kecuali ia datang menemuninya langsung. “Aku Giavanna Anderson.
Sahabat Hailey Rimes—ya karena ia sudah menikah dengan Lance. Lance Rimes. Aku
hanya ingin bilang bahwa aku benar-benar bahagia melihat Hailey yang akhirnya
menikah dengan pria yang tepat. Aku benar-benar mendukung hubungan mereka. Aku
harap Lance menjadi suami dan ayah yang baik. Dan Lance, kuingatkan kau. Jangan
berani-berani menyakiti sahabatku, oke?”
“Tidak akan kulakukan, bos,” teriak
Lance mengangkat satu tangannya lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. Para tamu
tertawa, kecuali Justin. Ia terlalu sibuk mengagumi kecantikan Giavanna yang
melampaui batas. Senyum Giavanna tampak begitu memukau dari atas sana. Bahkan
rasanya, Justin ingin mengecupi bibir manis itu. Lamunan Justin buyar begitu
saja saat orang-orang di sampingnya bertepuk tangan. Termasuk pasangannya malam
ini. Emma, partner seksnya. Mereka tidak menjalin hubungan apa pun kecuali
seks. Yah, semacamnya.
Giavanna turun dari atas panggung
lalu kembali ke mejanya. Mata Justin tak lepas dari Giavanna. Wanita itu
kembali mengambil bayi dari gendongan pria di sebelahnya. Pria itu kelihatan
tidak lebih tampan dibanding Justin. Mengapa Giavanna mau dengan pria itu?
Emosi Justin tersulut begitu saja. Giavanna mendapati Justin sedang
memerhatikannya. Ketika saling bertukar pandang, Justin memberi senyum kecil
pada wanita itu. Tetapi respon yang Giavanna berikan berbeda dengan apa yang
Justin harapkan.
Giavanna malah mengajak bicara pria
di sampingnya lalu mengecup bibirnya. Dan mengatakan ‘aku cinta kau’ dari
gerakan mulutnya. Untuk yang kedua kalinya, hati Justin hancur
berkeping-keping.
***
Sebagian tamu berdansa di depan
panggung sambil menikmati musik jazz yang dimainkan di atas panggung. Sebagian
yang lain sedang menikmati kue yang tersedia di luar tenda. Dan beberapa masih
berada di meja mereka. Termasuk Justin yang terus meminta anggur pada pelayan.
Emma sudah tidak ada di sampingnya karena ia sedang mengambil kue untuknya di
luar tenda. Pengantin baru itu juga sedang berdansa di depan panggung, begitu
juga dengan orangtua Lance. Sementara Giavanna dan Evan masih duduk di kursi
mereka. Tangan Giavanna rasanya ingin diamputasi saat itu juga karena sudah
kram. Kira-kira satu jam ia telah menggendong Edward. Kereta dorong Edward pun
masih tertinggal di tempat pemberkatan. Sungguh, sial sekali nasib Giavanna
hari ini.
Giavanna memutuskan untuk bangkit
dari kursinya. Ia ingin mengambil kereta dorong Edward. Segera ia memberi
Edward pada Evan dan memberikan peringatan yang sama pada pria itu.
“Akan kuambilkan kue untukmu asalkan
kau tetap berada di sini,” ujar Giavanna membuat Evan kembali mengangguk patuh.
Giavanna berjalan keluar dari tenda tanpa sekalipun melirik Justin. Ia tahu
dari tadi Justin memerhatikannya dan pasti pria itu bertanya-tanya siapakah
pria yang ada di sebelah Giavanna? Rasakan
itu, Richardson! Giavanna juga tidak begitu senang memandangi Justin dan
kekasih seksi barunya. Tetapi tetap, Giavanna tak dapat memungkiri kalau ia
cemburu melihat Justin bersama wanita lain.
Giavanna pikir perasaannya terhadap
Justin telah hilang. Tetapi ia salah. Inilah akibatnya jika ia terus membohongi
perasaannya! Ia selalu merasa kecewa pada diri sendiri. Mengapa ia tidak
menerima Justin ketika pria itu menyatakan cinta padanya? Di satu sisi,
Giavanna juga membenci pria itu karena telah berusaha menjebak Giavanna. Ketika
air mata itu mulai membendung di kelopak matanya, Giavanna dengan hati-hati
menghapus air matanya dengan jari telunjuk agar maskara yang ia pakai tak
luntur di pipi. Saat sudah berada di tempat pemberkataan, kursi-kursi kosong masih
ada di tempatnya. Ia berjalan melewati karpet merah menuju atas pelaminan,
tempat Hailey diberkati dengan Lance.
Ia membayangkan dirinya berjalan
menuju pelaminan itu. Menatap penuh harap pada pria yang akan menunggunya di
atas pelaminan itu. Tetapi itu tidak akan pernah terjadi untuk sekarang ini. Ia
hanya butuh waktu sendiri. Waktu untuk menikmati karirnya. Giavanna menghela
nafas panjang. Andai saja Justin tidak membohongi Giavanna, sudah pasti
sekarang ia berada dalam posisi yang sama dengan Hailey. Dimabuk cinta. Jika
Justin menawarkan cintanya pada Giavanna satu kali lagi, apa Giavanna akan
memberikn satu kesempatan lagi untuk pria itu? Giavanna meragukan hal itu.
Matanya mencari-cari dimana kereta
dorong Edward lalu menemukannya di samping pelaminan. Segera ia berjalan menuju
kereta dorong itu, ia tidak ingin Evan mencium atau mencubit pipi Edward. Entah
mengapa, Giavanna terlalu protektif pada keponakannya. Hailey, ibunya, bahkan
tidak begitu memikirkan apa anaknya akan dicium atau dicubit oleh orang asing.
Tetapi Giavanna peduli terhadap keponakannya, terlebih lagi, Edward masih
berumur 7 hari. Giavanna menarik-dorong kereta dorong itu menuju karpet. Ketika
ia membalikkan tubuhnya, ia terkejut setengah mati bahkan ia rasa rohnya
menghilang sepersekian detik.
“Demi Tuhan, Richardson, kau memang
bajingan!” Bentak Giavanna menyentuh dadanya. Nafasnya naik-turun. Ia melihat
Justin sudah ada di hadapannya sambil tersenyum kecil. Seperti iblis, bagi
Giavanna. Justin tak mengatakan apa-apa. Ia sedang menikmati kecantikan
Giavanna dari jarak dekat, meski kereta dorong membatasi mereka. Saat nafas
Giavanna mulai normal, Justin menggumamkan kata maaf.
“Hey,” sapa Justin dengan suara
kecil. “Kau terlihat menakjubkan,” puji Justin tulus. Bahkan tatapan Justin
begitu lembut sampai-sampai Giavanna tak sanggup membuang wajahnya! Giavanna
tak mengatakan apa-apa, ia hanya menelan ludah karena tenggorokannya mengering.
Setelah mengumpulkan kekuatan untuk melawan Justin, Giavanna mendorong kereta
dorong itu pada Justin hingga menabrak lutut Justin. Bagaimana bisa pria ini
begitu tinggi?
“Enyahlah,” ucap Giavanna ketus.
Justin tidak memedulikan apa yang Giavanna katakan. Pria itu menyingkirkan
kereta dorong yang baru saja menabraknya ke samping. “Hey! Itu punya keponakanku!”
Tukas Giavanna tak suka.
“Hey!” Suara Justin mengencang. Ia
meraih tangan Giavanna lalu menggenggamnya seerat mungkin. Bahkan Giavanna
merasa tulangnya sebentar lagi akan retak hanya karena Justin menggenggamnya.
Justin mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka hampir bersentuhan. Kedua alis
Giavanna bertaut, ia menatap Justin ngeri. Berbeda dengan Justin yang
menatapnya lembut. “Tidakkah kau merindukanku, Giavanna?”
“Tidak,” Giavanna membuang wajahnya
dari Justin. Segera Justin menarik pipi Giavanna lalu mengecup bibir manis itu.
Giavanna memukul-mukul pundak Justin dengan kencang sampai Justin terpaksa
harus mengerang kesakitan. Tangan Justin yang lain menarik pinggang Giavanna
hingga tubuh mereka saling bersentuhan. Kemudian ia memukul bokong itu hingga
Giavanna membuka mulutnya. Lidah mereka mulai bersentuhan, sesekali Justin
mengisap bibir bawah Giavanna. Ia begitu merindukan Giavanna sampai mati. Mau
tak mau Giavanna mengikuti ciuman manis yang diberikan Justin. Telapak
tangannya menyentuh tengkuk Justin agar ciuman mereka semakin dalam. Giavanna
mengisap bibir atas Justin lalu melepaskan bibirnya dari bibir Justin.
“Hey,” bisik Justin lagi.
“Hai,” bisik Giavanna, entah ia
merasa begitu bahagia—mengingat apa yang telah Justin lakukan padanya. Jantung
Giavanna berdegup kencang. Perasaan ini sama seperti ketika mereka berpelukan
di lift, ketika Justin menggoda Giavanna
di labirin, ketika Justin mengecup bibirnya di hotel, ketika Justin meminta
Giavanna menjadi model untuk iklan dan berakhir dengan cara memalukan, ketika
Justin memintanya jalan-jalan bersama di Jumat malam dan ketika Justin mengajak
Giavanna makan malam untuk terakhir kalinya. Dan sekarang Justin melakukannya
lagi. Bagaimana bisa?
“Maafkan aku,” bisik Justin. “Aku
mencintaimu Giavanna Anderson. Aku ingin seperti Lance yang mendapatkan
wanitanya. Aku ingin mabuk cinta karena kau. Aku ingin kau menemani tiap
malamku. Kau wanita pertama yang kupikirkan tiap kali kubuka mataku,
bertanya-tanya, apakah ia merindukanku sama seperti aku merindukannya? Apakah
ia akan menjadi milikku suatu hari nanti? Aku tidak tahu. Ia tidak ada di sisiku. Tidakkah kau tahu aku melewati
masa-masa yang berat saat kau pergi dariku?”
“Tidak,” bisik Giavanna. “Melihat
wanita yang kau ajak malam ini,”
“Demi Tuhan, Giavanna, mengapa kau
tak mengerti? Kau satu-satunya wanita yang berhasil membuatku jatuh cinta. Aku tidak memiliki hubungan
apa pun dengannya. Dan bagaimana kabarmu dengan pria bajingan yang baru saja
kau kecup itu?”
“Justin Richardson? Dia tampak
baik-baik saja,”
“Pria di tenda itu! Siapa dia?”
Tanya Justin kesal. Giavanna mengerjap-kerjapkan matanya cepat lalu menelan
ludahnya. “Siapa dia, Giavanna?”
“Ia hanya teman dekatku,” ucap
Giavanna. “Aku menciumnya untuk membuatmu cemburu. Oke?” Mereka berdua terdiam
selama beberapa saat. Lalu Justin menghela nafas lega mendengar hal itu. Senyum
Justin muncul menghias wajahnya.
“Sudah kuduga,” bisik Justin. “Jadi,
um, Giavanna Anderson?”
“Ya?”
“Bisakah kau menjadi milikku?”
Sebel sama justin.. kirain dia bakal setia nungguin giavanna.. eh malah nyicipin perempuan lain..
BalasHapusUnying giavanna mau nerima dia lagi..