Rabu, 02 Juli 2014

Perfect Time Bab 16 - End


***

            Wanita berambut cokelat panjang itu berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Nafasnya naik-turun seperti sedang berlari marathon. Dua suster sedang mendorong tempat tidur wanita itu menuju ruang persalinan. Sementara wanita lain ikut berlari di samping tempat tidurnya dengan tangannya yang dipegang erat oleh wanita yang berbaring di atas tempat tidur itu. Wanita berambut cokelat panjang itu menangis tak tahan, ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan terus menggumamkan nama seorang pria. Bayi yang ada dalam perut itu sepertinya sudah tak ingin berlama-lama lagi berada di dalam sana.
            “Lance,” tangis wanita yang terbaring itu. “Lance,”
             Ketika ingin memasuki ruang persalinan, wanita yang ikut berlari itu ditahan oleh salah satu suster agar tetap berada di luar. Ia hanya dapat mengangguk pasrah menerima permintaan suster itu. Kemudian pintu ruang persalinan di tutup. Giavanna berjalan menuju kursi yang tersedia di dekat pintu ruang bersalin lalu duduk di sana. Bahunya melemas begitu saja. Apa pun yang terjadi di dalam sana, ia harus menjadi orang pertama yang melihat bayi itu. Hailey sudah berjanji padanya sebelum Giavanna meninggalkan Atlanta. Giavanna bertanya-tanya, ada hubungan apa antara Hailey dan Lance? Hailey meminta Giavanna untuk kembali ke Atlanta karena sebentar lagi ia akan melahirkan. Ia baru saja tiba di Atlanta bersama Evan kira-kira  3 jam yang lalu. Mereka tiba siang di Atlanta. Dan ketika ia ingin beristirahat sebentar, Hailey sudah mengerang kesakitan.
            Sialnya, Evan tidak sedang berada di apartemen. Ia lebih memilih untuk berkeliling kota Atlanta tanpa takut tersesat. Dan di sinilah Giavanna berada. Di depan ruang persalinan. Sendirian. Dan terus bertanya pada diri sendiri, meski ia tidak tahu jawaban apa yang tepat. Terutama tentang hubungan Hailey dan Lance. Mengapa selama perjalanan menuju rumah sakit dan ruang persalinan, Hailey terus menyebut nama Lance dan meminta Giavanna untuk menghubungi Lance.
            Jika Giavanna tahu nomor ponsel Lance, sudah pasti ia akan menghubungi Lance agar datang ke rumah sakit sekarang juga. Tetapi, sudah 6 bulan lebih ia tinggal di Washington dan sudah pasti Lance tidak memakai nomor teleponnya yang dulu. Lagi pula, Giavanna juga sudah tidak menyimpan nomor ponsel Lance. Saat Giavanna membungkukkan tubuhnya, pintu ruang bersalin terbuka.
            “Ms. Anderson? Bisa kau menemani Ms. Hailey ingin bertemu denganmu,” ucap suster yang lain. Giavanna bangkit dari kursi lalu berjalan patuh menuju ruang bersalin. Ketika ia masuk dalam ruang bersalin, ia melihat Hailey sudah setengah berbaring di atas tempat tidur dengan kedua kaki bertumpu pada sesuatu sehingga kedua pahanya terbuka lebar. Giavanna tidak ingin melihat daerah sana. Ia melihat Hailey kelihatan lebih tenang, namun keringatnya masih membasahi wajah, perempuan itu sedang memejamkan mata. Ia berdiri di samping Hailey lalu menyentuh tangannya.
            “Hey, kau baik-baik saja?” Tanya Giavanna pelan. Hailey membuka matanya, ia menoleh melihat Giavanna lalu menggeleng kepalanya.
            “Tidak,” bisiknya. “Aku akan segera melahirkan. Apa kau pikir aku akan baik-baik saja setelah melahirkan?” Tanya Hailey mengerut kening. Giavanna mengangguk yakin.
            “Mengapa tidak? Kau pasti bisa melewatinya,” Giavanna memberi semangat. Hailey mengangguk setuju, ia tersenyum sebentar lalu ia mengerang kembali. Tepat saat itu, seorang bidan masuk ke dalam ruang persalinan dengan keadaan sudah siap. “Kau bisa melakukannya.”
            Bidan itu mengambil sarung tangan karet. Sambil memasang sarung tangan karetnya, ia berbicara dengan nada bersahabat. “Halo, Hailey. Bagaimana perasaanmu sekarang, sayang?”
            “Tidak begitu bagus,” erang Hailey meremas tangan Giavanna yang ia pegang. Giavanna berteriak tanpa suara. Ia tak menyangka, Hailey, sahabatnya yang bertubuh mungil ini bisa meremas tangannya sekuat itu. Bidan hanya tersenyum ramah setelah ia memasang sarung tangan karetnya. Lalu ia menyentuh kedua ujung lutut Hailey. Apa-apaan yang sedang Giavanna lihat? Diam-diam ia ingin mual di tempat. Salah satu suster berada di sisi lain tempat tidur lalu ia mengelap keringat yang bercucuran di sekitar kening Hailey.
            “Dari skala 1-10, seberapa sakit?”
            “Delapan,” teriak Hailey, tangisnya memecah begitu saja. Ketika bidan berbicara, Giavanna tak mendengar apa-apa. Ruangan ini terasa begitu panas dan memusingkan. Teriakan Hailey memekakan telinga, suara lembut dari bidan membuat Giavanna ingin jatuh di tempatnya. Ia tak tahan. Apa yang sedang bidan lihat? Apa ia melihat kepala bayi di sana? Giavanna berbisik dalam hati dan ia mengutuk dirinya karena ingin menjadi orang pertama yang melihat bayi Hailey. Ia memang ingin menjadi yang pertama yang melihat bayi Hailey, tetapi ia juga tidak ingin melihat proses persalinannya. Aroma-aroma ruang persalinan ini membuat Hailey mual.
            Mata Giavanna memerhatikan bidan yang terus memberi semangat pada Hailey. Tangannya yang diremas oleh Hailey sudah mati rasa. Ketika ia sadar bahwa semuanya terasa begitu nyata, Giavanna bertanya-tanya, siapa yang akan menjadi ayah dari anak Hailey? Satu nama yang terlintas dipikirkan Giavanna adalah Lance. Nama pria itu terus disebut oleh Hailey! Sudah pasti Hailey memiliki suatu hubungan yang selama ini Hailey rahasiakan dari Giavanna. Mengingat terakhir kali Hailey membuat candaan tentang Lance bahwa pria itu tampan. Mungkin saja Hailey benar-benar serius, tidak bercanda sama sekali. Jika begitu, mengapa Hailey tidak sama sekali memberitahu Giavanna? Ia tidak akan melarang Hailey berhubungan dengan Lance, tetapi Lance harus tetap berhati-hati dengan Hailey. Jangan sampai Lance berakhir seperti Liam.
            Sialan. Mengapa ia tiba-tiba mengingat Justin? Ia orang yang menyuruh orang kulit hitam itu untuk memukul Liam. Semua itu atas pertolongan Justin. Ia menggeleng kepalanya, menyingkirkan pikirannya tentang Justin. Saat semuanya mulai terdengar kembali, ia dapat mendengar suara tangisan bayi yang memekakan telinga. Ia menoleh melihat bidan yang sekarang menggendong bayi mungil. Anak laki-laki. Ketika Giavanna melihat darah yang berlumuran di sekitar tubuh bayi itu, kepala Giavanna pening. Tangannya terlepas dari genggaman Hailey, lalu mundur beberapa langkah. Ia kehilangan keseimbangan.
            “Giavanna, apa kau baik-baik saja?” Tanya Hailey dengan suara lemah. “Lihat, keponakan pertamamu. Laki-laki, tidakkah kau senang?” Tanya Hailey tersenyum lemah. Saat bayi itu sudah terlapisi oleh handuk kecil, Hailey menggendongnya lalu mengecup kening bayi itu. Ia tersenyum bahagia, bahkan air matanya menetes. Bayi yang awalnya menangis itu tiba-tiba berhenti menangis saat ia sudah berada gendongan ibunya. Giavanna kagum atas apa yang ia lihat. Sungguh manis. Tetapi tetap, ia pikir ia tidak akan sepusing ini. Tetapi melihat bayi yang berlumuran darah membuat kepala Giavanna pening.
            Ketika bayi itu diberikan pada suster, bayi itu kembali menangis. Kedua alis Giavanna terangkat. Tetapi perhatiannya teralihkan oleh Hailey yang memanggilnya.
            “Giavanna,” panggilnya. “Ada sesuatu yang ingin kuberitahu padamu,” bisiknya lemah. Perempuan itu bahkan kelihatan sudah tak kuat membuka kelopak matanya. Ia terlihat begitu lelah melewati perjuangannya tadi—meski pikiran Giavanna melayang kemana-mana agar ia tidak jatuh pingsan di tempat. Giavanna melangkah mendekati sahabatnya lalu mengangguk agar sahabatnya melanjutkan ucapannya.
            “Aku akan menikah dengan Lance 1 minggu lagi.” Bunyi bom di telinganya terdengar. Setelahnya, mata Hailey tertutup. Giavanna mengutuk dalam hati. Apa-apaan?

***

            Pria di hadapan Giavanna mengetuk-ketuk ujung sepatunya. Giavanna melipat kedua tangannya di depan lalu memerhatikan pria itu dengan seksama. Masih sama seperti dulu. Mungkin sekarang lebih kelihatan cerah. Salah satu alis Giavanna terangkat lalu ia mendecak. Ia memutar tubuhnya menuju tempat tidur Hailey. Sahabatnya mengangkat kedua alisnya, memberi Giavanna wajah ‘jadi bagaimana?’. Giavanna mengedik bahu lalu ia mendesah. Ia duduk di atas kursi di sebelah tempat tidur Hailey lalu membenamkan wajah di kasur. Lance benar-benar akan menikah dengan Hailey? Mereka sudah mengirim undangan pernikahan mereka ke seluruh teman mereka kecuali Giavanna? Bagus sekali tindakan yang mereka ambil. Mengapa tidak sekalian Giavanna tidak diminta pergi ke Atlanta agar Giavanna tak tahu menahu sama sekali tentang apa pun? Ini benar-benar berita mengejutkan.
            Sialnya, Hailey telah membelikan gaun untuk pesta pernikahan Hailey nanti. Bukan Giavanna tak ingin memakai gaun itu, tetapi Giavanna merasa tidak enak bila Hailey yang membelikan gaun untuknya. Meski Giavanna belum melihat gaunnya, ia masih tetap merasa tidak enak. Giavanna curiga kalau selama ini Hailey tidak memakai uang yang Giavanna kirimkan tiap bulan untuknya. Dan selama ini pasti Lance-lah yang menemani Hailey di Atlanta. Giavanna mengangkat kepalanya lalu melihat Lance saat sesuatu menyadarkannya.
            “Ap-apa kalian mengundang Justin Richardson?” Tanya Giavanna dengan nada suara setengah panik. Lance menarik nafas tajam, ia malah menatap Hailey. Giavanna juga melihat Hailey namun ia tidak menjawab apa pun. Berarti Justin diundang ke pernikahan mereka. Giavanna tak bisa melakukan apa pun karena ini bukan pernikahannya. Ia tidak punya hak untuk melarang mereka mengundang Justin.
            “Maaf,” bisik Hailey pelan. “Ak—“
            “Tidak. Tidak apa-apa, Hailey,” tukas Giavanna mengangkat tangannya agar Hailey tak melanjutkan ucapannya. Giavanna tahu apa yang harus ia lakukan nanti saat mereka menikah. Ia hanya perlu berusaha terlihat telah sembuh dari sakit hatinya dan memiliki kekasih baru, yaitu Evan. Ya, mungkin itu ide yang bagus. Evan bisa menjadi pacar palsunya. Oh, maafkan aku, Evan. Kau harus ikut masuk ke dalam masalahku. Giavanna mendesah.
            “Aku bisa membuatnya tak datang ke pernikahan kami,” Lance angkat suara. Giavanna menggeleng kepala. Tidak perlu Lance melakukan itu. Ia tak ingin merusak acara pernikahan mereka. Keheningan membuat keadaan menjadi canggung. Hailey menggigit-gigit bibir bawahnya lalu menatap Lance, calon suaminya.
            “Aku hanya ingin mendengar bagaimana kalian bisa menjalin hubungan,” ucap Giavanna menyandarkan kepalanya di sisi tempat tidur Hailey. Lance dan Hailey saling bertatapan lalu akhirnya Lance-lah yang menceritakan bagaimana ia dan Hailey berpacaran—bahkan menikah. Hailey tidak sengaja bertemu dengan Lance di supermarket dekat apartemennya untuk membeli susu hamilnya. Lance menanyakan bagaimana keadaannya dan Giavanna. Mulai dari sana, mereka saling dekat. Bahkan Hailey tak menyangka ternyata Lance tidak sejahat itu. Tiap hari Lance datang ke apartemen Hailey untuk memastikan keadaannya. Ketika mereka mulai berpacaran, Hailey ragu untuk memberithu kedekatannya dengan Giavanna. Ia tak ingin membuat Giavanna mengingat masalahnya lagi dengan Lance dan Justin. Tetapi ia tahu, cepat atau lambat Giavanna akan tahu hubungan mereka.
            Sampai akhirnya Lance melamar Hailey satu bulan yang lalu. Tentu saja Hailey menerima Lance! Bagaimana tidak? Lance mau menerima segala kekurangan yang Hailey miliki—hamil di luar nikah, tidak memiliki pekerjaan tetap, dan ia mungil. Ia pria yang manis dan romantis, terlebih lagi, ia bertanggungjawab atas apa pun. Termasuk pernikahan ini. Lance membuat Hailey lebih bahagia dari sebelumnya. Bahkan selama mereka berpacaran, Lance tidak pernah absen menemani Hailey untuk latihan mengatur nafas. Mereka selalu bersama hampir setiap saat. Dan di sinilah mereka. Di salah satu kamar rumah sakit, mendengar cerita Lance. Giavanna mengangguk-angguk mengerti. Ia kemudian berdiri dari kursinya lalu berjalan menuju Lance.
            Ia memeluk pria itu, lalu berterima kasih. “Hailey membutuhkan pria sepertimu. Terima kasih sudah menjaganya selama aku tak berada di sisinya,” ucap Giavanna menepuk-nepuk punggung Lance dengan kencang. Lance mengedipkan salah satu matanya pada Hailey lalu memberikan acungan jempol.
            “Hey, hey, hey,” suara Hailey membuat mereka melepas pelukan. “Kalian tahu aku di sini,” ujar Hailey berucap dengan nada kesal. Tetapi raut wajahnya tak bisa menipu kalau ia sedang bercanda. Pintu ruang rawat Hailey terbuka, muncullah Evan membawa sebuah boneka beruang biru dan seikat bunga mawar merah.
            “Apa aku melewatkan sesuatu?”

***

            Pria itu kembali menunduk untuk melihat undangan pernikahan yang ia dapatkan kira-kira 1 minggu yang lalu. Ia masih tidak percaya kalau mantan bawahannya akan menikahi sahabat dari wanita yang ia cintai. Haruskah ia datang ke pernikahan Lance besok? Apa ada kemungkinan kalau Giavanna akan berada di sana? Pria itu memejamkan matanya. Mengingat pertemuan terakhirnya dengan Giavanna. Mata penuh kekecewaan, air mata yang menetes dan kepergiannya. Ia bahkan masih bisa mencium aroma harum dari tubuh Giavanna. Bagaimana keadaan perempuan itu sekarang? Tiap hari ia berusaha untuk mendapatkan informasi apa pun dari Giavanna—yang tentunya ia minta dari Hailey—tetapi ia tetap tidak pernah mengetahui kabar perempuan itu.
            Dua bulan setelah kepergian Giavanna, Justin memutuskan untuk berhenti mencari tahu keadaan perempuan itu. Ia memutuskan untuk tidak mengganggu perempuan itu lagi. Ia tidak ingin Giavanna semakin membencinya. Ia berusaha untuk melupakan Giavanna dengan cara bermain dengan wanita. Alexander, mantan pacarnya, sudah tak pernah menghubunginya lagi. Entah pria itu menghilang kemana, Justin tidak begitu mempedulikan pria itu. Ia hanya membutuhkan seseorang yang serupa dengan Giavanna. Terutama kepribadiannya. Dari balkon, Justin mendongak melihat langit-langit. Malam itu langit tak bertabur bintang. Ia hanya melihat bulan yang sendirian, sama sepertinya. Giavanna pasti ada di pernikahan itu besok. Justin meyakinkan dirinya.
            “Justin,” panggil suara perempuan dari belakang. Segera Justin membalikkan tubuhnya dan melihat seorang wanita sebayanya yang hanya memakai lingerie berwarna hitam di mulut pintu menuju balkon. “Kau ingin tidur? Sudah jam 9, sayang,”
            “5 menit lagi,” ucap Justin membalikkan tubuhnya lagi. Kepalanya mendongak kembali, menatap langit-langit lalu mendesah nafas panjang. Besok akan menjadi hari yang melelahkan. Jika memang Tuhan mengizinkan Justin bertemu dengan Giavanna untuk yang kedua kalinya, biarkanlah itu terjadi dengan sempurna.
            Justin tak ingin merusak kesempatan keduanya.

***

            Acara pernikahan Lance dan Hailey berjalan begitu sempurna. Pemberkatan di gereja sudah selesai kira-kira 30 menit yang lalu. Mereka menikah di sebuah perkebunan yang luas, di pinggiran kota. Edward—bayi Hailey—terus berada dalam gendongan Giavanna selama pernikahan berlangsung. Orang-orang mengira Edward adalah anak Giavanna. Malam itu, Giavanna memakai gaun panjang berwarna putih yang tidak begitu meriah, namun terlihat cantik saat Giavanna memakainya. Baru kali ini Giavanna memakai gaun tanpa lengan atau tali di pundaknya. Yang agak membuat Giavanna takut jika gaun itu tiba-tiba merosot dari tubuhnya. Malam itu angin musim semi cukup menyejukkan, maka dari itu Edward digendong dengan beberapa lapis selimut di tubuhnya agar ia tetap hangat.
            Meski begitu, Giavanna tetap kerepotan menggendong bayi kecil ini. Terlebih lagi jika ada seseorang yang mendekatinya dan bertanya-tanya tentang Edward atau malah mencubitnya. Lagi-lagi Giavanna harus menyesal dalam hati karena ia bersikap kasar pada siapa pun yang berusaha mencubit pipi Edward. Ia hanya tidak ingin keponakan pertamanya sakit karena bakteri dari tangan-tangan orang asing. Sejauh ini, Giavanna tidak melihat tanda-tanda dari Justin. Ia cukup lega akan hal itu. Orang-orang diminta untuk duduk di kursi karena sebentar lagi acara selanjutnya Giavanna dan beberapa teman Hailey dan Lance harus berpidato di depan podium. Tenda putih itu sungguh besar, kira-kira 150 orang ada di dalam sana. Giavanna yang berdiri di belakang kursi meja makannya mencari-cari dimana Hailey. Mengapa ia belum sampai ke sini? Tempat pemberkatan dan tenda tidak begitu jauh! Ia melihat ke mulut pintu tenda, berharap Hailey muncul.
            Orangtua Lance sudah duduk satu meja dengan Giavanna—orangtua Hailey sudah tak ada sejak Hailey lulus dari kuliah. Evan dari belakang tiba-tiba muncul mengejutkan Giavanna. Pria itu memakai setelan berwarna hitam dengan tanpa dasi. Jas hitam yang ia pakai terkancing. Pria itu tampak sempurna dalam setelan itu. Dengan keberadaan Evan di sampingnya, mereka berdua kelihatan seperti keluarga kecil yang baru memiliki anak bayi.
            “Dimana Hailey dan Lance? Mengapa mereka begitu lama?” Tanya Giavanna tanpa melepaskan pandangannya dari pintu tenda. Evan yang baru saja ingin mencubit pipi Edward langsung dipelototi oleh Giavanna. “Jangan berani-berani mencubit pipi keponakanku, itu perintah.”
            “Well, baiklah, Komandan. Apa pun yang kaukatakan,” ucap Evan mengangkat kedua tangannya. “Hailey sedang mengganti gaun perngantinnya. Ia bilang, ia tidak ingin repot-repot menarik-narik ekor gaunnya. Jadi ia dari apa yang kudengar, ia akan mengganti gaun yang lebih sederhana,”
            “Tipikal Hailey. Tidak ingin repot,” ucap Giavanna mengerucutkan bibirnya. Matanya kembali terfokus pada pintu tenda. Para tamu undangan dengan tertib dibawa oleh kepala pelayan menuju meja mereka. Saat seorang pria berwajah familiar bersetelan hitam itu muncul, Giavanna tahu kalau ia sedang diperhadapkan dengan masalah besar. Justin Sialan Richardson, muncul dengan segala kharismanya begitu ia masuk. Beberapa orang meneriaki namanya saat ia masuk ke dalam tenda. Hal yang membuat Giavanna terkejut adalah wanita cantik bergaun ungu yang sedang digandenginya. Dan gaun ungu itu adalah gaun yang dulu pernah Giavanna pakai. Sungguh? Dan, siapa wanita itu? Pacar Justin? Tidak mungkin. Justin itu gay. Tidak mungkin ia memiliki pacar perempuan.
            Kepala pelayan menggiring Justin menuju salah satu meja. Tidak sekalipun Justin melirik Giavanna. Justin terus menggenggam tangan wanita itu sampai mereka akhirnya duduk di kursi dengan manis. Wanita itu mendekati telinga Justin lalu membisiki sesuatu. Masih dengan wajah yang sama. Wajah tampan bagai malaikat. Dan masih dengan sikap sombongnya. Bagaimana bisa Giavanna pernah jatuh cinta pada pria semacam Justin? Dan lalu kepala perempuan itu menjauh dari telinga Justin. Beberapa detik kemudian Justin mendongak melihat pada Giavanna. Mata mereka bertemu. Segera Giavanna membuang wajah dari Justin lalu meminta Evan untuk menarik kursi agar ia duduk dan Justin tidak bisa melihatnya lagi. Meja mereka berjarak kira-kira 4 meja dari meja Giavanna. Sehingga kemungkinan kecil Justin tidak bisa melihat Giavanna.
            Orang-orang bersorak ketika Lance dan Hailey muncul dari pintu tenda. Edward yang sedang tertidur itu menggeliat dalam gendongan Giavanna namun tak bangun. Uh, bayi ini sungguh manis. Pipinya bahkan masih merah muda. Evan juga ikut bertepuk tangan saat Lance dan Hailey berjalan menuju meja mereka. Kedua orangtua Lance yang sudah tua terlihat begitu bangga melihat anak laki-laki mereka telah mereka. Saat mereka berdua tiba di meja, Lance menarik kursi untuk Hailey kemudian istrinya duduk di sana. Hailey mengedipkan salah satu matanya pada Lance sehingga orang-orang di sana bersorak menggoda. Giavanna tertawa melihat mereka berdua yang kelihatan begitu manis dan cocok. Setelah mereka berciuman, pembawa acara pernikahan mulai berbicara.
            Para pelayan mulai memasukkan sedikit anggur di gelas para tamu. Kemudian pembawa acara meminta Giavanna untuk naik ke atas panggung. Orang-orang di dalam tenda bertepuk tangan lalu Giavanna dengan gugup memberi Edward pada Evan lalu ia berbisik.
            “Jangan berani-berani kau mencium atau mencubit pipi keponakanku. Aku akan memerhatikanny dari atas sana,” ucap Giavanna mengancam. Evan mengangguk patuh. Giavanna mengambil gelas anggurnya dari meja lalu berdiri tegap. Perempuan bergaun putih panjang itu melangkah menuju atas panggung yang hanya setinggi 4 anak tangga. Justin yang melihat Giavanna berada di atas panggung merasa begitu …sakit hati. Siapa pria yang duduk di sebelahnya? Dan apa yang baru saja Giavanna bisiki di telinga pria itu? Dan bayi siapa yang Giavanna gendong? Mengingat perut Hailey yang sudah kembali datar membuat perasaan Justin sedikit lega.
            Ia memberikan perhatian penuh pada Giavanna yang berdiri di sana. Rambutnya semakin panjang dan cantik. Giavanna selalu cantik di matanya. Wanitanya baik-baik saja. Bahkan tampak lebih baik dari sebelumnya. Justin menjilat bibirnya. Telinganya lalu mendengar suara Giavanna.
            “Selamat malam,” ucap Giavanna menggunakan mikrofon. Suara yang begitu Justin rindukan! Apa Giavanna masih sekonyol dulu? Apa Giavanna masih sama seperti Giavanna yang ia kenal? Justin tidak tahu kecuali ia datang menemuninya langsung. “Aku Giavanna Anderson. Sahabat Hailey Rimes—ya karena ia sudah menikah dengan Lance. Lance Rimes. Aku hanya ingin bilang bahwa aku benar-benar bahagia melihat Hailey yang akhirnya menikah dengan pria yang tepat. Aku benar-benar mendukung hubungan mereka. Aku harap Lance menjadi suami dan ayah yang baik. Dan Lance, kuingatkan kau. Jangan berani-berani menyakiti sahabatku, oke?”
            “Tidak akan kulakukan, bos,” teriak Lance mengangkat satu tangannya lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. Para tamu tertawa, kecuali Justin. Ia terlalu sibuk mengagumi kecantikan Giavanna yang melampaui batas. Senyum Giavanna tampak begitu memukau dari atas sana. Bahkan rasanya, Justin ingin mengecupi bibir manis itu. Lamunan Justin buyar begitu saja saat orang-orang di sampingnya bertepuk tangan. Termasuk pasangannya malam ini. Emma, partner seksnya. Mereka tidak menjalin hubungan apa pun kecuali seks. Yah, semacamnya.
            Giavanna turun dari atas panggung lalu kembali ke mejanya. Mata Justin tak lepas dari Giavanna. Wanita itu kembali mengambil bayi dari gendongan pria di sebelahnya. Pria itu kelihatan tidak lebih tampan dibanding Justin. Mengapa Giavanna mau dengan pria itu? Emosi Justin tersulut begitu saja. Giavanna mendapati Justin sedang memerhatikannya. Ketika saling bertukar pandang, Justin memberi senyum kecil pada wanita itu. Tetapi respon yang Giavanna berikan berbeda dengan apa yang Justin harapkan.
            Giavanna malah mengajak bicara pria di sampingnya lalu mengecup bibirnya. Dan mengatakan ‘aku cinta kau’ dari gerakan mulutnya. Untuk yang kedua kalinya, hati Justin hancur berkeping-keping.

***

            Sebagian tamu berdansa di depan panggung sambil menikmati musik jazz yang dimainkan di atas panggung. Sebagian yang lain sedang menikmati kue yang tersedia di luar tenda. Dan beberapa masih berada di meja mereka. Termasuk Justin yang terus meminta anggur pada pelayan. Emma sudah tidak ada di sampingnya karena ia sedang mengambil kue untuknya di luar tenda. Pengantin baru itu juga sedang berdansa di depan panggung, begitu juga dengan orangtua Lance. Sementara Giavanna dan Evan masih duduk di kursi mereka. Tangan Giavanna rasanya ingin diamputasi saat itu juga karena sudah kram. Kira-kira satu jam ia telah menggendong Edward. Kereta dorong Edward pun masih tertinggal di tempat pemberkatan. Sungguh, sial sekali nasib Giavanna hari ini.
            Giavanna memutuskan untuk bangkit dari kursinya. Ia ingin mengambil kereta dorong Edward. Segera ia memberi Edward pada Evan dan memberikan peringatan yang sama pada pria itu.
            “Akan kuambilkan kue untukmu asalkan kau tetap berada di sini,” ujar Giavanna membuat Evan kembali mengangguk patuh. Giavanna berjalan keluar dari tenda tanpa sekalipun melirik Justin. Ia tahu dari tadi Justin memerhatikannya dan pasti pria itu bertanya-tanya siapakah pria yang ada di sebelah Giavanna? Rasakan itu, Richardson! Giavanna juga tidak begitu senang memandangi Justin dan kekasih seksi barunya. Tetapi tetap, Giavanna tak dapat memungkiri kalau ia cemburu melihat Justin bersama wanita lain.
            Giavanna pikir perasaannya terhadap Justin telah hilang. Tetapi ia salah. Inilah akibatnya jika ia terus membohongi perasaannya! Ia selalu merasa kecewa pada diri sendiri. Mengapa ia tidak menerima Justin ketika pria itu menyatakan cinta padanya? Di satu sisi, Giavanna juga membenci pria itu karena telah berusaha menjebak Giavanna. Ketika air mata itu mulai membendung di kelopak matanya, Giavanna dengan hati-hati menghapus air matanya dengan jari telunjuk agar maskara yang ia pakai tak luntur di pipi. Saat sudah berada di tempat pemberkataan, kursi-kursi kosong masih ada di tempatnya. Ia berjalan melewati karpet merah menuju atas pelaminan, tempat Hailey diberkati dengan Lance.
            Ia membayangkan dirinya berjalan menuju pelaminan itu. Menatap penuh harap pada pria yang akan menunggunya di atas pelaminan itu. Tetapi itu tidak akan pernah terjadi untuk sekarang ini. Ia hanya butuh waktu sendiri. Waktu untuk menikmati karirnya. Giavanna menghela nafas panjang. Andai saja Justin tidak membohongi Giavanna, sudah pasti sekarang ia berada dalam posisi yang sama dengan Hailey. Dimabuk cinta. Jika Justin menawarkan cintanya pada Giavanna satu kali lagi, apa Giavanna akan memberikn satu kesempatan lagi untuk pria itu? Giavanna meragukan hal itu.
            Matanya mencari-cari dimana kereta dorong Edward lalu menemukannya di samping pelaminan. Segera ia berjalan menuju kereta dorong itu, ia tidak ingin Evan mencium atau mencubit pipi Edward. Entah mengapa, Giavanna terlalu protektif pada keponakannya. Hailey, ibunya, bahkan tidak begitu memikirkan apa anaknya akan dicium atau dicubit oleh orang asing. Tetapi Giavanna peduli terhadap keponakannya, terlebih lagi, Edward masih berumur 7 hari. Giavanna menarik-dorong kereta dorong itu menuju karpet. Ketika ia membalikkan tubuhnya, ia terkejut setengah mati bahkan ia rasa rohnya menghilang sepersekian detik.
            “Demi Tuhan, Richardson, kau memang bajingan!” Bentak Giavanna menyentuh dadanya. Nafasnya naik-turun. Ia melihat Justin sudah ada di hadapannya sambil tersenyum kecil. Seperti iblis, bagi Giavanna. Justin tak mengatakan apa-apa. Ia sedang menikmati kecantikan Giavanna dari jarak dekat, meski kereta dorong membatasi mereka. Saat nafas Giavanna mulai normal, Justin menggumamkan kata maaf.
            “Hey,” sapa Justin dengan suara kecil. “Kau terlihat menakjubkan,” puji Justin tulus. Bahkan tatapan Justin begitu lembut sampai-sampai Giavanna tak sanggup membuang wajahnya! Giavanna tak mengatakan apa-apa, ia hanya menelan ludah karena tenggorokannya mengering. Setelah mengumpulkan kekuatan untuk melawan Justin, Giavanna mendorong kereta dorong itu pada Justin hingga menabrak lutut Justin. Bagaimana bisa pria ini begitu tinggi?
            “Enyahlah,” ucap Giavanna ketus. Justin tidak memedulikan apa yang Giavanna katakan. Pria itu menyingkirkan kereta dorong yang baru saja menabraknya ke samping. “Hey! Itu punya keponakanku!” Tukas Giavanna tak suka.
            “Hey!” Suara Justin mengencang. Ia meraih tangan Giavanna lalu menggenggamnya seerat mungkin. Bahkan Giavanna merasa tulangnya sebentar lagi akan retak hanya karena Justin menggenggamnya. Justin mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka hampir bersentuhan. Kedua alis Giavanna bertaut, ia menatap Justin ngeri. Berbeda dengan Justin yang menatapnya lembut. “Tidakkah kau merindukanku, Giavanna?”
            “Tidak,” Giavanna membuang wajahnya dari Justin. Segera Justin menarik pipi Giavanna lalu mengecup bibir manis itu. Giavanna memukul-mukul pundak Justin dengan kencang sampai Justin terpaksa harus mengerang kesakitan. Tangan Justin yang lain menarik pinggang Giavanna hingga tubuh mereka saling bersentuhan. Kemudian ia memukul bokong itu hingga Giavanna membuka mulutnya. Lidah mereka mulai bersentuhan, sesekali Justin mengisap bibir bawah Giavanna. Ia begitu merindukan Giavanna sampai mati. Mau tak mau Giavanna mengikuti ciuman manis yang diberikan Justin. Telapak tangannya menyentuh tengkuk Justin agar ciuman mereka semakin dalam. Giavanna mengisap bibir atas Justin lalu melepaskan bibirnya dari bibir Justin.
            “Hey,” bisik Justin lagi.
            “Hai,” bisik Giavanna, entah ia merasa begitu bahagia—mengingat apa yang telah Justin lakukan padanya. Jantung Giavanna berdegup kencang. Perasaan ini sama seperti ketika mereka berpelukan di lift,  ketika Justin menggoda Giavanna di labirin, ketika Justin mengecup bibirnya di hotel, ketika Justin meminta Giavanna menjadi model untuk iklan dan berakhir dengan cara memalukan, ketika Justin memintanya jalan-jalan bersama di Jumat malam dan ketika Justin mengajak Giavanna makan malam untuk terakhir kalinya. Dan sekarang Justin melakukannya lagi. Bagaimana bisa?
            “Maafkan aku,” bisik Justin. “Aku mencintaimu Giavanna Anderson. Aku ingin seperti Lance yang mendapatkan wanitanya. Aku ingin mabuk cinta karena kau. Aku ingin kau menemani tiap malamku. Kau wanita pertama yang kupikirkan tiap kali kubuka mataku, bertanya-tanya, apakah ia merindukanku sama seperti aku merindukannya? Apakah ia akan menjadi milikku suatu hari nanti? Aku tidak tahu. Ia tidak ada  di sisiku. Tidakkah kau tahu aku melewati masa-masa yang berat saat kau pergi dariku?”
            “Tidak,” bisik Giavanna. “Melihat wanita yang kau ajak malam ini,”
            “Demi Tuhan, Giavanna, mengapa kau tak mengerti? Kau satu-satunya wanita yang berhasil membuatku jatuh cinta. Aku tidak memiliki hubungan apa pun dengannya. Dan bagaimana kabarmu dengan pria bajingan yang baru saja kau kecup itu?”
            “Justin Richardson? Dia tampak baik-baik saja,”
            “Pria di tenda itu! Siapa dia?” Tanya Justin kesal. Giavanna mengerjap-kerjapkan matanya cepat lalu menelan ludahnya. “Siapa dia, Giavanna?”
            “Ia hanya teman dekatku,” ucap Giavanna. “Aku menciumnya untuk membuatmu cemburu. Oke?” Mereka berdua terdiam selama beberapa saat. Lalu Justin menghela nafas lega mendengar hal itu. Senyum Justin muncul menghias wajahnya.
            “Sudah kuduga,” bisik Justin. “Jadi, um, Giavanna Anderson?”
            “Ya?”
            “Bisakah kau menjadi milikku?”
           

1 komentar:

  1. Sebel sama justin.. kirain dia bakal setia nungguin giavanna.. eh malah nyicipin perempuan lain..
    Unying giavanna mau nerima dia lagi..

    BalasHapus