Senin, 11 Mei 2015

Lucky Slut Epilog

EPILOG

            Mungkinkah sekarang waktu yang tepat? Grisell bertanya-tanya dalam hati. Ia menunduk, memerhatikan jemari lentiknya ia mainkan untuk mengalihkan perhatiannya. Namun, melakukan itu saja belum cukup. Ia terlalu gelisah. Oh, banyak sekali yang terjadi akhir-akhir ini. Bibinya memutuskan menikah dengan Cornelius seminggu setelah pernikahannya dengan Lord Moore yang diadakan 2 bulan yang lalu. Lady Henrietta  kawin lari bersama salah satu pelayan rumahnya ke Perancis—dan sekarang masih dalam pencarian. Dan Bridget akan selalu mengeluhkan tentang kedatangan Lord Myhill yang teratur ke Cheshire untuk memeriksa keadaan Grisell. Wanita itu mendesah.
            Grisell menolak untuk berbulan madu setelah pernikahannya. Ia tidak bisa meninggalkan Bibi Millicent sendirian di rumah Lord Moore tanpa memikirkan kehilangan apa yang akan mereka temukan setelah mereka kembali pulang. Meski Bibinya sudah memaksa Grisell menerima ajakan Lord Moore berbulan madu, Grisell tetap menolak. Wanita itu sudah berjanji pada Lord Moore kalau mereka akan berbulan madu minggu depan—dan pakaian-pakaian yang akan dibawa Grisell bahkan sudah disiapkan ke dalam koper. Dan yah, Grisell telah mengambil keputusan yang salah. Mungkin bulan madu itu akan tertunda sampai tahun depan. Tidak ada yang tahu. Dua setengah bulan yang lalu—setelah season selesai—Lord Moore dan Grisell dinyatakan sebagai suami-istri yang sah. Tidak ada yang pernah melihat Lord Moore tersenyum sesering itu, bahkan Lady Paston pun terkaget-kaget melihat perubahan dari kakaknya.
            Sampai sekarang pun Grisell masih belum ingin mengaku bahwa ia adalah alasan terbesar dalam perubahan sikap Lord Moore. Pria itu bukan lagi pria yang formal, serius dan melakukan segalanya sesuai aturan etiket. Seharusnya ia merasa baik-baik saja karena perubahan itu, namun entah mengapa, untuk memberitahukan yang satu ini sepertinya akan sangat sulit bagi keduanya. Grisell tidak tahu dan tidak mau tahu seberapa sulitnya Lord Moore tahu tentang ini. Dia sudah berjanji. Pria itu pasti akan sangat marah besar karena selama ini keinginannya belum terpenuhi sama sekali. Aku hanya membutuhkan waktu tenang bersamamu tanpa siapa pun mengganggu kita, kata Lord Moore saat ia mengemukakan alasan mengapa ia sangat ingin berbulan madu secepatnya, setelah mereka menikah. Tapi—
            Terlambat. Pintu kamar mereka terbuka membuat Grisell terpekik kaget. “Justin. Oh, Tuhan, kau sangat mengejutkanku,” kata Grisell menelan ludah. Lord Moore mendapati sikap Grisell begitu ganjil. Tidak biasanya Grisell terkejut—bahkan terpekik hanya karena pria itu membuka pintu secara tiba-tiba—jika Grisell tidak menutupi apa pun. Tapi pria itu belum berniat mengupas rahasia yang Grisell simpan. Lord Moore membuka cravat-nya dan melemparnya ke kursi paling dekat, lalu membuka sepatunya.
            “Aku mengejutkanmu, Lady Moore?” Ia bertanya tanpa sekalipun melirik Grisell.
            “Sangat,” ucap Grisell mendesah panjang, lalu wanita yang dari tadi duduk di sisi tempat tidur itu bangkit. Pria itu mendongak, melihat istrinya berjalan perlahan ke arahnya. Senyum mautnya berhasil mengalihkan perhatian Lord Moore terhadap apa pun. Dengan gaun tidur sutra yang tipis, rambut berwarna madu yang tergerai dan kalung permata biru di lehernya yang seksi, Grisell benar-benar penggoda yang tidak akan pernah bisa Lord Moore tolak. Saat Lord Moore berdiri tegak—kedua sepatunya ia singkirkan ke bawah meja kecil—ia mendekati Grisell. Istrinya mengulurkan kedua tangannya ke belakang leher Lord Moore, bergelanyut mesra. Pria itu menunduk, mencuri ciuman singkat dari Grisell.
            “Bagaimana kabarmu, My Lady?” Tanyanya sambil tersenyum.
            “Luar biasa,” katanya benar-benar menyembunyikan apa yang ia rasakan sekarang. “Kuduga suamiku sangat lelah. Mungkin berbaring di atas tempat tidur akan menjadi sebuah kenikmatan tersendiri,”
            Pria itu mengangkat kedua tangannya, menyentuh kedua pipi Grisell. “Tidak pernah menjadi kenikmatan tersendiri saat tidak ada kau di sana,” ucap Lord Moore membuat rona merah merayap di pipi Grisell. Pria itu berjalan membawa mereka ke dekat tempat tidur, lalu berniat mendorong Grisell ke atasnya.
            “Tahan,” sela Grisell tiba-tiba. “Justin, aku—bisakah kita hanya duduk dan berbicara?”
            Lord Moore terdiam sejenak. Ia memerhatikan raut wajah istrinya yang tiba-tiba saja berubah menjadi serius. Mungkin memang ada sesuatu yang penting yang disembunyikan istrinya. “Tentu saja,” katanya menyetujui. Grisell segera berbalik, merangkak ke atas tempat tidur lalu bersandar di kepala tempat tidur.
            “Duduklah di sini,” perintahnya menepuk-nepuk kasur. Oh, ini pasti sangat serius sampai-sampai ia memerintahku, ucap Lord Moore sedikit terkejut atas perintah Grisell. Sejak kapan seorang Lord Moore diperintah oleh seseorang? Namun pria itu menuruti perintah Grisell. Ia ikut merangkak naik ke atas kasur lalu duduk di sebelah wanita itu. Yah, seperti naluri suami pada umumnya, Lord Moore meraup tubuh Grisell agar menempel padanya.
            “Apa yang ingin kaukatakan?”
            Ada jeda sesaat sebelum Grisell akhirnya menjawab. “Kurasa kita tidak akan pergi keliling Eropa minggu depan,” ucap Grisell dengan suara kecil. Sudah jelas wanita itu takut untuk mengungkit pembicaraan ini—terutama karena menunda kembali jadwal kepergian mereka. Lord Moore berusaha mencerna apa yang sedang dikatakan istrinya. Matanya mengerjap-ngerjap, lalu ia menarik tubuhnya dari tubuh Grisell agar ia dapat melihat wajah istrinya.
            “Mungkin kau ingin memberitahuku alasan kuat apa yang membuatmu berpikir kita akan menundanya lagi,” kata Lord Moore. Batas kesabarannya sebentar lagi akan habis. Sebenarnya, apa masalah Grisell? Seumur hidupnya, Lord Moore tidak pernah meminta apa pun yang berlebihan. Dan sekarang, saat ia meminta satu permintaan yang paling lazim dalam pernikahan, permintaan tersebut sepertinya akan sangat sulit terkabulkan. Grisell menghindari tatapan suaminya, ia justru menatap kancing rompi pria itu.
            “Jika aku memberitahumu, apa kau akan marah?” Tanya Grisell takut-takut, seperti anak kecil yang ketahuan menumpahkan tinta di karpet kesayangan Ayahnya.
            “Tergantung apa alasanmu,” kata Lord Moore cepat.
            “Aku terlambat,” ucap Grisell. Tunggu sebentar. Sebenarnya, apa yang sedang Grisell bicarakan? Lord Moore sungguh tidak mengerti apa pun yang sedang terjadi.
            “Kau terlambat untuk…?”
            “Datang bulan,” ucap Grisell merona, lagi. “Aku rasa, aku hamil,” lanjut Grisell menunduk. Di situlah keheningan yang sangat panjang membentang di antara mereka. Lord Moore terdiam, membisu seperti orang bodoh. Ia bahkan tidak melihat pada Grisell lagi. Ia terfokus pada satu titik, namun otaknya sedang mencerna berita ini.
            Grisell hamil.
            “Aku sangat mengerti mengapa kau marah padaku—“ Tapi kalimat Grisell tidak akan terselesaikan saat pria itu secara tiba-tiba ia menarik wajahnya, mencium bibirnya begitu semangat. Tangan kiri Lord Moore menyelip ke tengkuk Grisell untuk memperdalam ciuman itu. Mereka saling beradu, hanya nafas mereka yang menggebu-gebu yang terdengar. Sampai akhirnya Grisell menjambak rambut Lord Moore hingga pria itu mengerang. “Aku bisa mati hanya karena berciuman denganmu,” komentar wanita itu saat mulut mereka terpisah.
            “Grisell! Apa kau sadar apa yang baru saja kaulakukan?”
            “Menjambak rambutmu?”
            “Menjambak rambut Ayah anakmu,” ujar pria itu memutar bola mata. Tidak akan ada yang bisa melihat sikap Lord Moore yang seperti ini kecuali Grisell. Tidak ada. Pria itu akhirnya tersenyum lebar. Tangannya yang besar ditempatkan di atas perut Grisell yang belum berbentuk, tapi pria itu sangat yakin janin dalam perut istrinya sedang bertumbuh. Tapi keduanya tidak mengatakan apa-apa saat Lord Moore melakukan itu.
            Akhirnya Grisell merosot turun, berbaring sepenuhnya. Ia tidak membiarkan Lord Moore ikut merosot bersamanya. “Jadi, apa kita bisa menunda bulan madu kita?” Tanya Grisell sambil ia mengangkat satu pahanya ke atas paha Lord Moore. Dengkul wanita itu dengan sengaja ia senggolkan ke bagian tengah celana Lord Moore.
            “Kau sangat tahu bagaimana cara merayuku,” kata Lord Moore sedikit jengkel, tapi juga sedikit senang. Wanita itu mendongak, Grisell menarik-ulur dengkul itu hingga Lord Moore memelototinya. Dua mata biru itu menatapnya penuh harap. “Tentu saja, Sayangku, bulan madu bisa menunggu. Tapi kuduga yang ada dalam perutmu tidak,”
            “Apa sekarang aku adalah istri yang kauimpikan?”
            “Melebihi harapanku.” Lord Moore akhirnya ikut merosot ke bawah, menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh Grisell. Tubuh istrinya akhirnya menghadap Lord Moore, ia menempatkan tangannya ke atas pinggul Grisell. Wanita itu tersenyum manis, lalu memejamkan mata. Lord Moore mengecup kening istrinya sambil memejamkan mata, menikmati apa pun yang dapat ia dapatkan sekarang. Sejujurnya, hidupnya tidak pernah lebih baik daripada ini.


Minggu, 10 Mei 2015

Lucky Slut Bab 17 - End

CHAPTER SEVENTEEN

            Lord Moore sangat benci bila ia menemukan dirinya tidak melakukan apa pun selain berbaring di atas tempat tidur. Ia memikirkan pekerjaan-pekerjaannya yang belum terselesaikan. Dan terutama, Grisell. Ia benci tidak bisa memerhatikan Grisell yang harus menemani Mildred selama season berlangsung. Ia tidak bisa melihat apa yang Grisell lakukan selama ia tidak ada. Sudah tiga hari, sejak Grisell mendatanginya, ia terus meminum obat-obatan sialan itu dan mengganti-ganti perban beberapa kali. Lukanya memang dalam—tapi untungnya tidak melukai salah satu organ tubuhnya—dan Lord Moore memang belum boleh melakukan apa pun yang berat. Dokter menganjurkan untuk tetap di tempat tidur sampai Lord Moore benar-benar pulih, tapi sungguh, itu bukan yang Lord Moore inginkan.
            Kesengsaraan Lord Moore bertambah saat Grisell lebih galak dibanding dokter yang menanganinya. Calon istrinya selalu panik bila Lord Moore belum makan atau belum meminum obatnya. Bahkan Grisell pernah memarahi Lord Moore saat pria itu berusaha menambah kayu di perapian—demi Tuhan, kayu-kayu itu hanya perlu didorong dengan tongkat. Tapi Grisell tidak menerima alasan apa pun. Dan yah, Lord Moore berakhir kembali di atas tempat tidur sambil membaca sebuah buku filosofi.
            Pendengarannya menajam saat ia mendengar suara langkah kaki terburu-buru, yang makin lama semakin dekat menuju pintu kamarnya. Pria itu menurunkan buku yang ia baca ke atas pahanya kemudian melihat ke pintu. Seperti dugaannya, pintu itu terketuk. Ia menggumam, mempersilakan siapa pun itu masuk. Ternyata Mildred. Adiknya yang berambut hitam itu menutup pintu kamarnya kemudian berjalan mendekatinya.
            “Ada apa, Adikku Sayang?” Tanya Lord Moore. Mildred tidak segera menjawab. Ia duduk di sisi tempat tidur Lord Moore. Rambut adiknya disanggul sedemikian rupa hingga menjadi sanggulan yang cantik. Dan jika Lord Moore perhatikan, pinggul adiknya ternyata lebih besar dibanding terakhir kali Lord Moore lihat. Mungkinkah adiknya sedang… jika memang benar, ia akan menjadi paman. Mildred menunduk, melihat jemari yang ia mainkan. “Apa ini tentang Grisell atau tentangmu?”
            “Dua-duanya, sebenarnya,” kata Mildred mengangkat tatapannya pada pria itu. Mendengar nama gadisnya, Lord Moore segera waspada. Dia memohon agar tidak ada kejadian buruk terulang kembali. Pertama, ia tidak ingin kehilangan Grisell. Kedua, ia tidak ingin tertusuk untuk yang kedua kalinya—bukan karena ia tidak ingin melindungi Grisell, ia benci masa-masa pemulihannya.
            “Yah, ada apa dengannya? Apa dia baik-baik saja?” Tanyanya sarat kekhawatiran.
            “Dia, awalnya, baik-baik saja. Sampai akhirnya… dia mendatangi Lady Henrietta di kediaman wanita itu. Begitu ia pulang, aku melihat luka di lengannya. Tidak besar memang, tapi tetap saja itu menjadi masalah. Grisell bercerita padaku kalau ia ingin mengunjungi Lady Henrietta—karena Lord Myhill memberitahunya kalau Lady Henrietta berusaha bunuh diri namun gagal—untuk mengajukan permintaan maaf. Entah ia meminta maaf untuk apa, tapi kuduga Lady Henrietta sudah...”
            “Gila?”
            “Aku tidak bilang begitu. Tapi kurasa kau benar. Dan Grisell berkata padaku untuk tidak memberitahumu tentang ini. Dan kau tahu aku tidak bisa menjaga rahasia dengan baik—oh Tuhan, itu memang kelemahanku—dan berjanjilah padaku untuk tidak membahas tentang ini atau memarahinya. Apa kau mengerti?”
            “Aku tak berjanji, tapi akan kuusahakan,” ucap Lord Moore mengembus nafas panjang. Ia ingin sekali memukul bokong Grisell sampai merah karena kenakalan wanita itu. Tapi sungguh, sekarang bukan waktu yang tepat untuk memikirkan bagaimana cara agar Grisell tidak bertindak bodoh seperti itu lagi. “Dan tentangmu?”
            Raut wajah yang khawatir dan ragu itu seketika hilang. Bibir merah muda Mildred tersenyum begitu saja. “Aku hamil,” katanya memegang perutnya sendiri lalu menekan pakaiannya sehingga bentuk perutnya yang bulat itu kelihatan.
            “Mildred! Selamat atas kehamilanmu,” ucap Lord Moore menyingkirkan buku di atas pangkuannya kemudian bergerak ke depan untuk memeluk adiknya. Luka di pinggangnya berdenyut-denyut begitu saja, tapi tidak membuat Lord Moore mengerang. “Sungguh berita yang sangat membahagiakan,”
            Mildred membalas pelukan kakaknya kemudian menarik diri. Lord Moore kembali bersandar di kepala tempat tidurnya, memerhatikan adiknya. Pantasnya pinggulnya lebih besar. Senyum Mildred seolah-olah tidak akan pernah hilang. “Aku tahu. Oh, ya ampun, sebentar lagi aku akan menjadi Ibu dan kau akan menjadi Paman,”
            “Apa Lord Paston sudah tahu?”
            “Tentu saja dia orang pertama yang kuberitahu! Dia kegirangan, kau harus melihat reaksinya,” katanya begitu senang. Lord Moore memerhatikan adiknya terdiam beberapa saat, dan lalu seperti terhantam sesuatu di kepalanya, adiknya berdeham, ragu. “Dan soal Lord Myhill dan Bridget…”
            “Kupikir hanya tentang Grisell dan kau,” ucap Lord Moore terdengar sarkastik, tapi sungguh ia tidak bermaksud. Mildred mengabaikan nada sarkastik itu lalu wanita itu mendesah nafas panjang seolah-olah enggan membicarakan tentang Lord Myhill dan adiknya. Tapi harus ada seseorang yang menyelamatkan situasi ini. Dan itu bukan dia—sudah jelas. Hanya Lord Moore yang dapat menyelesaikan masalah ini. Sejak Lord Myhill mengejek kakaknya di ruang kerja hampir seminggu yang lalu, Bridget selalu jengkel jika ada seseorang memuji Lord Myhill. Bahkan mendengar nama pria itu disebut, Bridget pasti akan selalu memutar bola matanya. Tapi penyakitnya yang belum berhenti sampai sekarang adalah ia selalu melukai tangannya bila merasa jengkel, gelisah atau ragu. Kemana pun Bridget pergi, tangannya harus dilapisi dengan sarung tangan tebal. Dan beberapa bulan terakhir ini, luka tangan Bridget berkurang sampai akhirnya gadis itu bertemu dengan Lord Myhill. Tangan Bridget harus diperban. Bukan apa-apa, tapi sepertinya Bridget harus tetap berada di dalam kamarnya agar ia tidak mendengar nama Lord Myhill.
            Bagaimana mungkin nama itu tidak disebut di dalam percakapan orang London—atau Cheshire? Pria itu sangat terkenal akan ketampanannya dan gelarnya sebagai viscount yang berdompet tebal. Dan entah mengapa tiap bajingan di London bertingkah, bukannya dijauhi oleh para gadis perawan, tapi pria itu malah selalu didatangi wanita-wanita. Jadi wajar saja jika nama pria itu disebut-sebut dalam percakapan wanita.
            “Ada apa dengan Bridget?” Tanya Lord Moore setelah lima menit pernyataannya tidak dibalas apa pun. Mildred mengerjap-kerjapkan matanya, sadar dari lamunannya.
            “Mereka berdua tidak pernah akur,” ucap Mildred dengan prihatin. “Bridget tidak pernah menyukainya sejak Lord Myhill menghinamu. Dan Lord Myhill sepertinya meladeni sikap Bridget yang defensif. Kau harus melakukan sesuatu,”
            Kedua alis Lord Moore terangkat. “Aku? Kisah cinta—maksudku, peperangan di antara mereka mungkin akan mereda jika salah satu di antara mereka melambaikan bendera putih. Begini saja. Mildred akan menetap di Cheshire dan kau boleh membawa Hope ke rumahmu di London. Aku tahu Lord Myhill akan kembali ke London setelah season selesai. Nah, sekarang kau beritahu Bridget,”
            “Kau benar. Bridget memang tidak menyukai London, ia bilang sangat bising dan udaranya tidak segar—oh, aku sangat lelah menangani Bridget,” ucap Mildred lebih pada diri sendiri dibanding kakaknya. Mildred bangkit dari sisi tempat tidur Lord Moore, lalu melangkah menuju pintu dan membukanya. “Selamat malam, My Lord.” Lalu pintu kamarnya tertutup.
            Cahaya dari jendela kamar Lord Moore semakin lama semakin menggelap. Malam sudah menjemputnya dan sepertinya ia tidak bisa berdiam terus di kamarnya, menunggu dirinya menjadi gila. Jadi ia bangkit. Persetan dengan anjuran dokter! Ia tidak mungkin melewatkan season yang ia buat sendiri sampai season berakhir—meski ia tidak menyukai season. Pria itu bangkit dari tempat tidurnya, lalu menarik tali bel untuk memanggil pelayan agar menyiapkan air hangat untuk ia mandi.
            Tapi sejujurnya, ia tidak hanya ingin kembali melihat season. Ia ingin bertemu dengan Grisell dan melihat keadaannya.

***

            “Kau keluar dari kamarmu,” ucap Grisell terperangah, tidak percaya. Wanita itu mengerjap-kerjapkan matanya beberapa kali seolah-olah ia melihat keajaiban. Lord Moore seketika diserbu oleh para tamu saat ia turun melalui tangga besar dan menghujani pria itu dengan pertanyaan-pertanyaan omong kosong. Sungguh, bagaimana mungkin orang Inggris dapat hidup dalam kemunafikan? Lord Moore sebisa mungkin menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan sopan. Tapi tujuan utama ia turun kembali ke acara adalah melihat tunangannya. Dan yah, ia mendapati Grisell sedang berdiri berbicara dengan Lord Myhill—sepertinya status Grisell sebagai adik Lord Myhill belum diketahui oleh para tamu, untungnya.
            Orang-orang kembali berbaur setelah Lord Moore mengundurkan diri untuk bertemu dengan kekasihnya. Grisell memakai sarung tangan panjang hingga siku berwarna putih, guna untuk menutupi lukanya, pikir Lord Moore. Oh, wanita itu tidak akan bisa lari dari Lord Moore sebelum ia mengaku bagaimana bisa ia mendapat luka di tangannya. Jadi Lord Moore mendatangi Grisell, berdeham sedikit kemudian Grisell berbalik. Kau keluar dari kamarmu, ucapan itu terdengar sangat aneh. Bukan seperti yang Lord Moore harapkan sejak ia memutuskan untuk turun. Ia pikir, ia akan dimarahi oleh Grisell di tengah-tengah kerumunan. Ternyata Miss Gillbride berhasil mengajar Grisell.
            “Ya, aku keluar,” ucap Lord Moore mengulang. Ia memerhatikan Grisell dari bawah hingga atas. Gaun berwarna merah gelap sangat pas untuk seorang Grisell. Di warna yang gelap seperti ini, Grisell kelihatan lebih berani, bukan polos seperti biasanya. Ia seperti seorang… Lady. Keinginan Lord Moore sejak ia membawa Grisell ke Cheshire. Ya, benar sekali, Grisell-nya telah menjadi Lady yang sangat anggun. “Kau sangat menawan, Miss Parnell,”
            “Wah, pujian klise,” ucap Grisell sangat mengejutkan Lord Moore dengan kosakata yang belum pernah Grisell katakan sebelumnya. Benarkah ini Grisell atau ternyata selama ini ia tidur selama dua minggu dan bangun tapi Grisell mengatakannya kalau ia baru terbaring di atas tempat tidur selama 5 hari? Ia tidak yakin. “Tapi terima kasih, My Lord. Aku sangat menghargainya,”
            “Kupikir kau boleh keluar dari kamar seminggu atau dua minggu lagi,” sela Lord Myhill mengganggu. Lord Moore segera menatap pria itu kemudian mengembus nafas panjang.
            “Aku harus keluar dari sana sebelum aku jadi gila,” ucap Lord Moore tanpa ada nada bercanda. Namun tiba-tiba Grisell tertawa hingga ia menepuk lengan Lord Moore.
            “Oh, Tuhan. Aku sangat menunggu saat-saat itu,” ucapnya di sela-sela tawanya. Grisell kemudian menatap Lord Myhill. “Tidakkah kau menunggu saat-saat Lord Moore seperti itu?” Tanya Grisell. Entah mengapa sepertinya Lord Moore apa yang sedang Grisell lakukan.
            “Miss Parnell, dengan segala permohonan maaf atas pertanyaannya ini, tapi sungguh, mengapa kau tiba-tiba bersikap aneh?” Tanya Lord Myhill tidak sepenuhnya merasa bersalah. Mata Grisell mengerjap-ngerjap aneh, membuat wanita itu seketika kebingungan. Ia menatap Lord Moore kemudian Lord Myhill secara bergantian. “Miss Parnell, apa kau baik-baik saja?”
            “Tentu saja,” ucap wanita itu menelan ludah.
            “Bisakah aku berbicara berdua saja dengan tunanganku?” Tanya Lord Moore pada kakak Grisell. Pria itu hanya mengangguk, lalu membungkuk memberi hormat pada Grisell, dan menghilang dari pandangan mereka berdua. Suasana di ruang dansa sepertinya tidak seperti yang diharapkan Grisell—sejak kedatangan Lord Moore ke ruang dansa, segalanya berubah. Wanita itu menunduk-nunduk tak berani melihat kekasihnya. Bagaimana mungkin Lord Moore tiba-tiba saja turun ke bawah setelah Grisell mendapat luka dari Lady Henrietta? Grisell berpikir… tidak mungkin Mildred memberitahu kakaknya karena wanita itu sudah berjanji untuk tidak memberitahu Lord Moore.
            “My Lord, tidakkah ruang dansa terlalu bising?” Padahal ruangan itu tidak bising sama sekali. Hanya terdengar musik halus dan suara orang berbicara dengan normal di sana. Lord Moore mengangkat kedua alisnya. Tidak menjawab, pria itu mengaitkan lengan Grisell ke lengannya. Saat lengan itu disentuh, Grisell meringis pelan.
            “Apa aku menyakitimu, Miss Parnell?” Tanya pria itu serius. Sungguh, Lord Moore sebenarnya ingin tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah Grisell yang ketakutan. Tapi ia menutupi segala perasaannya begitu luar biasa.
            “Tidak, My Lord. Kemanakah kita akan pergi?”
            “Hanya ke ruang duduk, jika kau mau,”
            “Bagaimana kalau ruang kerjamu? Tidak ada siapa pun berani ke sana selain dirimu dan adik-adikmu,” ucap Grisell menelan ludah. Lagi.
            “Jika itu keinginanmu,” ucap Lord Moore tersenyum kecil. Oh, ini akan sangat menyenangkan. Pria itu melewati kerumunan orang dan sesekali berhenti untuk meladeni orang-orang yang mengajaknya berbicara. Bahkan beberapa di antara mereka ingin mendengar detail bagaimana Lord Moore dapat menyelamatkan Grisell dari si penculik. Dan beberapa di antara mereka—mantan simpanan Lord Moore—memberitahu bagimana keadaan Henrietta. Saat nama Henrietta disebut, Lord Moore dapat melihat wajah Grisell seketika menegang.
            “Dia kelihatan begitu buruk,” ucap Lady Friswell, salah satu mantan simpanan Lord Moore yang berambut merah, pada Lord Moore. “Dan dia terus menyebut nama Miss Parnell di kamarnya. Oh, My Lord, dia sangat tidak sehat,”
            “Yang kudengar seperti itu,” ucap Lord Moore dengan bijaksana, tidak ingin berkomentar apa pun.
            “Dan kukira Miss Parnell baru saja mendatangi Lady Henrietta tadi pagi?” Kali ini bukan Lady Friswell yang bersuara, tapi Lady Shovell, ratu gosip. Lord Moore harus akui, ia tidak menyukai sifat Lady Shovell yang sangat suka bergosip, tapi jika wanita itu di atas tempat tidur, Lady Shovell sangat hebat. Dan malam ini, wanita itu memakai gaun berpotongan dada rendah sehingga buah dadanya yang besar seolah-olah akan tumpah dari gaun itu. Untungnya Lady Shovell masih tahu diri untuk tidak menjadikan dirinya sebagai bahan gosip, jika wanita itu sekali saja menyinggung tentang hubungan mereka di masa lalu… tapi wanita itu tidak akan melakukannya. Wanita itu mungkin lebih memilih mati dibanding harus menjadi bahan gosip.
            Lord Moore menoleh menatap tunangannya. Grisell merasa dirinya menciut begitu saja. Oh, ya ampun, mengapa harus sekarang? Lord Moore pasti akan memarahinya. Wanita itu menyembunyikan kegugupannya cukup bagus—menurut Miss Gillbride jika wanita itu ada di sana—lalu mengangguk. “Benar sekali. Tadi pagi aku mendatanginya, dan kupikir ia sudah membaik,”
            “Oh, astaga, sarung tangan panjang itu sangat indah, Miss Parnell!” Puji Lady Shovell mengubah topik pembicaraan secara tiba-tiba, tapi Tuhan tahu apa tujuan Lady Shovell mengatakan itu. Lord Moore menarik nafas panjang, ia tidak akan membiarkan Lady Shovell mempermalukan Grisell di depan semua orang. “Baru kali ini aku melihat—“
            “Beribu maaf, Lady Shovell dan Lady Friswell, tapi aku dan Miss Parnell memiliki urusan yang harus melakukan pertemuan penting,” ucap Lord Moore tersenyum singkat kemudian membungkuk. Mulut Lady Shovell masih terbuka, terkejut karena pria itu tiba-tiba saja menyelanya dan sekarang pria itu sudah beranjak pergi darinya.  Lady Shovell tidak dapat menyalahkan siapa pun atas ketampanan dan kebugaran yang dimiliki Lord Moore. Pria itu memang sangat tampan untuk seorang bangsawan. Biasanya ia akan menemui bangsawan genduk, berkumis dan botak. Tapi siapa pun tahu, Lord Moore pria yang paling langka di Inggris. Dan mungkin hanya terdapat1 atau 2 orang yang sepertinya.
            Lord Moore membuka pintu ruang kerjanya kemudian ia mempersilakan Grisell masuk ke dalam. Beberapa detik kemudian, mereka berdua sudah berada  di dalam ruang kerja. “Mengapa kau keluar dari kamarmu?” Sembur Grisell sebelum Lord Moore sempat membuka percakapan lebih dulu.
            “Aku ingin bertemu denganmu,” katanya lembut. Sederhana, tapi berhasil membuat kekhawatiran Grisell menghilang. Wanita itu kembali datang menghampiri Lord Moore lalu memeluk pria itu. Luka di pinggangnya tertekan oleh lengan Grisell dan pria itu menarik nafas tajam. Bukannya mendorong wanita itu, Lord Moore memeluk Grisell.
            “Kau seharusnya tidak ada di sini. Tidak sampai kau sudah sembuh, Justin,” ucap Grisell kurang jelas karena suaranya teredam oleh pakaian Lord Moore. Wanita itu menarik tubuhnya dari Lord Moore, berjalan cepat-cepat menuju jendela. “Kau pasti bertanya-tanya mengapa aku memakai sarung tangan panjang ini,”
            “Sayangnya, kau benar,” ucap Lord Moore tetap berdiri di tempatnya. Ia memerhatikan Grisell yang berdiri dengan gelisah. Tangan kanan wanita itu mengelus-elus lengan kirinya, lalu perlahan-lahan Grisell membuka sarung tangan kirinya. “Mengapa aku tidak tahu kau pergi ke rumah Lady Henrietta?”
            “Karena aku tahu jika aku meminta izinmu, kau tidak akan mengizinkanku pergi ke sana,” ucap Grisell gemetar. Lord Moore melangkah perlahan-lahan ke arah Grisell, lalu mengembus nafas pendek.
            “Tentu saja, aku tidak akan mengizinkanmu, Sayang. Lady Henrietta berusaha membunuh dirinya sendiri setelah ia mengirimkanmu pada si Bajingan Jacoby. Dia membencimu sampai mendarah-daging—“
            “Karena itulah aku datang ke rumahnya!” Seru Grisell berbalik. “Aku ingin dia tidak membenciku. Aku ingin meminta maaf jika aku merebutmu darinya. Aku tidak bisa hidup dalam keadaan bersalah. Ini semua salahku. Jika aku tidak menerimamu, sudah jelas semua ini tidak akan terjadi. Nathan tidak akan datang ke sini. Kau pasti tidak akan terluka. Lady Henrietta tidak akan bunuh diri. Dan aku tidak perlu mempermalukanmu di hadapan semua orang karena aku hanya seorang pelacur,” jelas Grisell membuat Lord Moore terdiam. Wanita itu menunduk, lalu terisak.
            “Grisell,” ucap Lord Moore mendatanginya, kemudian merangkul wanita itu dengan dua tangannya. “Ini bukan salahmu,”
            “Tapi itu salahku, oh ya Tuhan!” Wanita itu berseru, lalu terisak. Lord Moore menempatkan dagunya di atas kepala Grisell. “Tidakkah kau mengerti? Aku hanya beban bagi semua orang. Pertama Ibuku, kemudian Bibiku, lalu sekarang kau. Siapa lagi selanjutnya?”
            “Lihat aku,” perintah Lord Moore tegas. Tapi Grisell tidak mendongak, ia masih menunduk, menyandarkan keningnya di dada pria itu. “Brengsek. Lihat aku, Grisell,” perintah pria itu sekali lagi, kali ini terdengar pria itu akan mengancam jika Grisell tidak mendongak. Wanita itu mendongak, menatap Lord Moore yang ternyata menatapnya dengan lembut. Oh, pasti aku sangat jelek sekarang, ujar Grisell dalam hati. Dua mata biru berkaca-kaca dan Tuhan tahu bagaimana perasaan Lord Moore tentang itu. Ia tidak bisa melihat seorang wanita menangis. Ia hanya… tidak tahu bagaimana harus menanganinya.
            “Kau adalah hal terbaik yang terjadi dalam hidupku, Grisell,” ucap Lord Moore pelan, sederhana, dan dalam. Senyum Grisell perlahan-lahan mengembang lalu ia tertawa pelan.
            “Lord Moore—oh kau sangat berbeda. Di saat pria lain akan termakan godaan mautku, kau malah menyuruhku menjauh dan tidak menyentuhku. Apa maumu sebenarnya? Karena sungguh, sekarang aku sangat ingin kau meniduriku,” ucap Grisell tidak berhenti tersenyum. Lord Moore mengelap air mata Grisell dengan kedua ibu jarinya hingga pipi itu benar-benar kering. Andai saja Grisell tahu bagaimana wanita itu selalu membuatnya bergairah setiap saat. Bahkan saat melihat Grisell saja, pria itu tidak bisa diam—dan harus memikirkan hal lain seperti pekerjaannya. Senyum Grisell menular. Pria itu tersenyum lebar lalu mengecup bibir Grisell singkat.
            “Dimana kau ingin aku menyentuhmu?”
            “Di seluruh tubuhku, tentu saja!” Wanita itu berseru kegirangan, seperti mendapatkan permohonannya selama ini. Perubahan suasana hati yang sangat tiba-tiba.
            “Dan dimana kau ingin kita melakukannya?”
            “Tidakkah meja kerjamu merupakan tempat pertama kita benar-benar berciuman? Aku ingin kau menyelesaikannya di sana,” ucap Grisell menggoda. Wanita itu mengerling, memberinya tatapan nakal lalu menarik leher Lord Moore. Pria itu pikir mereka akan berciuman, tapi Grisell ternyata hanya mempermainkannya. “Kau menginginkanku, bukan?”
            “Ya, ya. Aku sangat menginginkanmu, My Lady,” ucap Lord Moore sepenuhnya dikendalikan oleh nafsu. Grisell melepaskan kepala Lord Moore lalu ia menarik kemeja Lord Moore sambil berjalan menuju meja kerja pria itu. Wanita itu menyingkirkan segala benda di atas meja itu dalam satu kali sapuan tangan, lalu ia melompat duduk di sana. “Kau harus mengganti rugi apa pun yang kau hilangkan,”
            “Akan kutebus dengan ini,” desah Grisell begitu sensual, lalu wanita itu menarik kepala Lord Moore, mencium pria itu dengan mesra. Tidak seperti dulu, ciuman ini begitu lembut, pelan dan tidak terburu-buru. Kedua tangan Lord Moore memeluk pinggang Grisell, menyatukan tubuh mereka seperti mereka menyatukan mulut mereka. Lidah Lord Moore melesak masuk ke dalam mulut Grisell, menggoda wanita itu kemudian mengisap bibir bawah Grisell. “Mengapa tidak kau melakukan ini sejak dulu?” Tanya Grisell di sela ciuman mereka.
            “Karena aku menunggu waktu yang tepat,”
            “Saat season dan dalam keadaan kau terluka?” Tanya Grisell menggoda Lord Moore.
            “Ya Tuhan, Grisell, kau memang sesuatu yang lain.” Lord Moore tersenyum, tak habis pikir. Kemudian bibir mereka kembali menyatu.
            Sebenarnya Lord Moore ingin memarahi Grisell, tapi pria mana yang dapat menahan godaan seorang Grisell Parnell?

Sabtu, 09 Mei 2015

Lucky Slut Bab 16



CHAPTER SIXTEEN

            Seharusnya Miss Gillbride menjadi pendamping Grisell malam itu, bukan Eunice. Namun keadaan tubuhnya sedang tak mendukung, 1 minggu terakhir ini ia lebih banyak melakukan aktivitas di kamarnya karena flu yang menyerang. Ia tidak ingin orang lain tertular dan merusak season kali ini. Hujan di luar membuat kepalanya semakin pening. Pintu kamarnya terketuk dan ia menyahut dari dalam dengan hidung tersumbat. Mungkin hanya pelayan. Tapi saat pintunya terbuka, Hope muncul sambil menggendong Mr. Phee. Miss Gillbride tidak tahu harus ditaruh dimana wajahnya sekarang tapi keadaannya malam ini begitu buruk sampai-sampai majikannya pun tidak boleh melihatnya. Hidungnya yang merah segera ia tutupi dengan sapu tangan yang sedari tadi ia pegang. Rambut hitamnya acak-acakan dan lembap. Oh, sungguh, Hope seharusnya tidak perlu melihatnya sekarang.
            Namun jika dipikir lagi, sudah terlambat. Gadis ini sudah muncul dan telah menutup pintu kamarnya. Miss Gillbride segera menggeser tubuhnya agar duduk di kepala tempat tidur yang ditumpuk begitu banyak bantal. Ia bersandar sambil memandangai Hope yang melangkah pelan-pelan ke arahnya. “Apa ada yang bisa kubantu, Miss Moore?”
            “Hope saja, Miss Gillbride. Hanya kita berdua yang ada di sini,”
            “Tentu saja,” ucap Miss Gillbride serak. “Apa ada yang bisa kubantu, Hope?” Tanyanya kemudian berdeham. Kepala Hope tertunduk, ia duduk di pinggir tempat tidur Miss Gillbride dan tangan kanannya mengelus-elus kepala Mr. Phee. Jadi, apa yang membawa gadis ini masuk ke dalam kamarnya? Hope menggigit-gigit bibir bawahnya, takut mengatakan sesuatu pada Miss Gillbride. Tapi akhirnya gadis itu mendongak.
            “Grisell diculik,” ucap Hope singkat. Dari kepala tempat tidur, Miss Gillbride menarik nafas tajam, terkejut setengah mati atas kabar buruk ini. Muridnya diculik? Oleh siapa? Kepalanya yang sudah pening, semakin pening karena kabar ini. Bagaimana mungkin? Mengapa tidak ada yang menjaga pintu gerbang di depan? Kemana Eunice, penggantinya, yang seharusnya menjadi pendampingnya? Ini masih membuat Miss Gillbride sampai-sampai ia tidak mendengar apa yang tengah dikatakan Hope. “…khawatir . Dan kakakku, kakak Grisell dan kakak iparku sedang mencari dimana keberadaannya sekarang. Mildred sebenarnya memintaku agar tetap berada di kamar, tapi kurasa kau perlu mengetahui ini,” lanjut gadis itu semakin membuat Miss Gillbride bingung. Kakak Grisell? Rahasia apa lagi yang disembunyikan oleh muridnya?
            “Kakak Grisell?”
            “Lord Myhill. Aku tak menyangkanya, tapi sungguh, Grisell memiliki setengah darah biru. Oh, aku sangat khawatir, Miss Gillbride. Bagaimana jika Grisell diculik dan tidak akan pernah kembali lagi? Kakakku sangat mencintainya. Dia tidak pernah terlihat sebahagia ini sebelumnya dengan mantan-mantan kekasihnya yang dulu. Bagaimana jika Grisell tidak kembali, Miss Gillbride? Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada kakakku,” ucap Hope mengerutkan kening, suaranya serak sekarang. Miss Gillbride menurunkan tangannya dari hidungnya kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah Hope, memeluknya.
            “Jangan membicarakan hal-hal yang belum pasti, Hope. Percayalah kakakmu pasti akan menemukan Grisell. Yang kita perlu lakukan adalah berdoa.”

***

            Hujan semakin deras.
            Kusir kuda yang disewa Nathaniel turun, ia membukakan pintu bagi dua penumpang di belakang. Pria berumur awal 40-an itu keluar dari kereta kuda, titik-titik hujan yang deras membasahi pakaiannya dalam hitungan detik. Grisell diseret keluar dari kereta kuda dengan kedua tangan telah dilepas. Ikatan di kakinya juga sengaja dilepaskan agar wanita itu dapat berjalan, begitu juga dengan mulutnya agar Grisell tidak kelihatan seperti sedang diculik. Nathaniel melihat tempat penginapan yang berada di seberang jalan yang lebar. Di bawah pencahayaan yang sangat kurang, Nathaniel menatap kereta kudanya dan kusir itu. Mengapa aku menyewa kusir ini? Nathaniel sangat menyesal. Tapi tidak ada waktu lagi. Kerinduan Nathaniel harus dilepaskan malam ini dan Grisell harus memenuhi kebutuhan nafsu binatangnya.
            Wanita itu memberontak, menahan kakinya di tanah saat Nathaniel menariknya. Titik-titik hujan membuat Nathaniel sulit melihat wanita itu. Cahaya dari kereta kuda tidak berhasil membuat mata Nathaniel melihat dengan jelas, ia bahkan perlu memegang tangan Grisell dengan erat agar wanita itu tidak lari dan membuat Nathaniel terpaksa mengejarnya dengan penglihatan yang kurang. Grisell masih berusaha memberontak, ia sampai terjongkok untuk menarik tangannya dari genggaman tangan Nathaniel.
            “Lepaskan aku, Brengsek!” Teriak wanita itu sambil memejamkan mata. Rambut cokelatnya yang sudah terlepas dari sanggulan hancur begitu saja karena hujan deras. Bibirnya menjadi mengilap terkena air hujan dan gaun ungu yang ia kenakan mencetak lekuk tubuhnya. Kusir kuda itu bingung apa yang harus ia perbuat, melihat kedua penumpangnya yang bertengkar. Pria yang menyewanya mengaku, pria itu menjemput istrinya yang berselingkuh dengan pria lain. Kusir itu harus akui, rumah yang ia datangi tadi luar biasa indah dan besar. Tidak heran mengapa wanita ini mau dengan si pemilik rumah dan tak ingin pergi kembali pada suaminya. Namun ia tidak melihat cincin di jemari keduanya.
            “Apa kau ingin kubantu, Milord?” Tanyanya melangkah mendekat.
            “Menjauh!” Geram pria itu akhirnya menendang betis Grisell hingga wanita itu terpeleset. Sebelum ia jatuh, Nathaniel telah menggendongnya dan menempatkannya ke atas bahunya. Grisell terus memberontak, ia memukul-mukul punggung keras Nathaniel. Namun, tentu saja, pria itu tidak merasakan kekuatan lemah Grisell. Mengapa kusir kuda itu begitu bodoh menghentikan kereta kudanya di sana? Rumah penginapan memang tidak sampai sejauh 1 mil, tapi tetap saja, ia perlu melangkah lebih daripada seharusnya jika kusir itu menghentikan kereta kudanya tepat di depan penginapan itu. Grisell melemas, ia tidak memiliki cara lain selain menggoda pria itu. Tapi sudah lama ia tidak menggoda pria lain selain Lord Moore. Dan rasanya pasti akan janggal—mengetahui ia sekarang sudah menjadi tunangan orang lain.
            “Nathan,” teriaknya melawan suara derasnya hujan. Nathaniel berhenti melangkah sesaat begitu namanya dipanggil, lalu melangkah kembali. “Kumohon, berhenti menggendongku seperti ini. Perutku sakit tertekan bahumu. Bagaimana mungkin aku bisa memuaskanmu jika perutku kesakitan?” Tanyanya dengan suara lebih kencang lagi. Mendengar suara penuh permohonan itu, Nathaniel merasa iba.
            “Kau berjanji tidak akan lari dariku, Manis?” Tanyanya.
            “Ya, kumohon, Nathan,” ucap wanita muda itu terisak. Nathaniel terdiam sejenak, membiarkan air hujan sedikit lebih lama membasahi dirinya. Apa pun akan ia berikan untuk kekasihnya, selama itu menguntungkannya juga. Sekaligus juga melihat apakah wanita itu benar-benar menepati janjinya. Jika kali ini Grisell kabur darinya, Nathaniel terpaksa menggunakan kekerasan. Perlahan-lahan, ia menurunkan Grisell dari gendongannya, membiarkan kedua kaki telanjang Grisell menyentuh tanah. Dengan sigap, Nathaniel menahan pinggang Grisell agar wanita itu tidak pergi kemana-mana. Berbeda dengan perkiraannya, wanita itu justru melingkarkan kedua tangannya di sekitar leher Nathaniel.
            Grisell menjinjit, membuat pipi wanita itu menyentuh lehernya. “Sebaiknya kita melakukannya di dalam, Manisku,”
            “Mengapa tidak kau cium aku sekarang?” Tanya wanita itu menjauhkan wajahnya dari leher Nathaniel. Wajah mereka begitu dekat sampai Grisell dapat melihat raut wajah penuh harap. Pria ini memang pernah dicintai Grisell. Pria ini memang memenuhi janjinya dulu. Pria ini memang bertindak romantis, jika Grisell masih mengharapkannya. Sayangnya, Grisell sudah mencintai pria lain. Dan apa yang Miss Gillbride pernah katakan benar. Obsesi itu bukan cinta.
            Tanpa Grisell sadari, pria itu sudah menyentuh pipinya. “Jika itu yang kauinginkan, Cintaku,” ucapnya mencondongkan wajahnya ke wajah Grisell. Saat bibir basah mereka hampir bersentuhan, Grisell menyentak lututnya ke kejantanan Nathaniel dengan keras hingga pria itu mengerang. Pria itu mundur beberapa langkah, kedua tangannya memegang kejantanannya yang baru saja mendapat tendangan lutut yang menyakitkan. Tidak ingin membuang-buang waktu, Grisell segera berlari secepat mungkin menjauh dari Nathaniel. Kusir itu sudah pergi membawa kereta kudanya ke dekat tempat penginapan—mereka diturunkan karena jalanan tidak rata dan hujan membuat jalanan menjadi licin.
            Grisell berlari tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Ia melihat ke depan, namun ia tidak dapat melihat apa pun selain jalan yang lebar yang gelap. Tapi ia tidak punya pilihan lain selain kabur dan lepas dari pandangan pria itu. Ia tidak ingin pergi ke Paris bersama buronan Irlandia itu. Ia tidak ingin memiliki suami yang ternyata selama ini adalah buronan. Tapi satu-satunya alasan kuat mengapa ia tidak ingin pergi bersama pria itu adalah; Justin Moore adalah rumahnya. Ia tidak ingin pergi dari pria itu sampai kapan pun. Jadi, jika ini adalah kesempatan terakhir yang ia miliki untuk kabur dari pria itu, ia tidak akan menyia-nyiakannya sedetik pun.
            Kakinya berlari tanpa alas kaki dan tanah yang ia pijaki begitu licin. Sesekali ia terpeleset, tapi itu tidak menghentikannya berlari. Begitu ia menoleh ke belakang untuk memastikan apakah ia sudah jauh, ia tidak melihat siapa pun di belakang selain cahaya dari rumah penginapan yang redup karena air hujan. Seluruh pori-pori tubuh meremang begitu ia mendengar suara gesekan pakaian dan nafas berat orang lain. Ia terus berlari sambil berputar-putar melihat ke sekeliling apakah ia sudah jauh dari pria itu atau belum. Suara gesekan pakaian dan nafas berat orang itu sudah menghilang. Grisell kembali berlari ke arah kegelapan di depannya. Jika ia dimakan oleh serigala atau binatang berbahaya apa pun, ia lebih memilih itu dibanding harus bertemu kembali dengan Nathaniel.
            Dari jarak jauh, Grisell melihat lentera melayang-layang dengan suara lari kuda. Secercah harapan muncul, seolah-olah membuat jiwa Grisell terbebas dari penjara. Tapi sebelum Grisell berhasil berteriak, kaki kanannya tertarik begitu saja hingga tubuhnya terjungkal jatuh ke atas tanah berlumpur. Tangan itu terus menarik tubuh Grisell mundur ke belakang, ke arah orang itu. Suara Nathaniel menggeram terdengar begitu saja hingga membuat Grisell nekat menendang kaki kanannya hingga genggaman tangan itu lepas. Tapi hanya untuk satu detik saja, lalu kemudian tangan itu kembali menangkap kaki Grisell. Gadis itu tengkurap, gaun ungu yang ia pakai sudah benar-benar kotor, begitu juga dengan lehernya. Tapi ia tidak peduli lagi. Gadis itu menancapkan jari-jari kedua tangannya ke dalam tanah yang berlumpur, berharap ia dapat menahan dirinya.
            “Kemari kau, Jalang!”
            “Lepaskan aku!” Teriak Grisell terus menyentak-nyentakkan kakinya. “Nathaniel, kumohon, lepaskan aku. Biarkan aku pergi!” Tapi balasan yang Grisell terima adalah kaki kirinya tertangkap oleh tangan Nathaniel yang satu lagi. Pria itu sepertinya sulit bergerak dalam balutan pakaian pria terhormat yang berat dan rumit karena hujan. Nathaniel bangkit—ia melepaskan kedua kaki itu sesaat—dan kemudian segera menindih tubuh Grisell agar gadis itu tidak pergi kemana-mana.
            “Sepertinya jika aku tidak mengikatmu, kau tidak akan jadi anak penurut,” ucap pria itu menarik paksa kedua tangan Grisell ke belakang punggung gadis itu sendiri. Nathaniel menarik cravat-nya dan mengikat kedua tangan Grisell dengan cekatan. “Bagaimana kalau kita melakukannya sekarang? Di tengah jalan yang gelap. Tidak akan ada yang melihat kita, bukan?” Tanya pria itu kemudian memutar tubuh Grisell sehingga wanita itu telentang di hadapannya. Mata Grisell terpejam, tak ingin, tak sudi, merasa jijik jika ia melihat pria itu. Dirasakannya sentakan kuat dari tangan pria itu saat pakaian bagian atasnya yang sudah robek, sekarang makin robek.
            “Tidak!” Jerit Grisell panjang. “Tidak! Tidak! Kumohon jangan!” Serunya menjerit melengking sampai-sampai Nathaniel mengerut wajah. Tapi tidak ada yang dapat Grisell lakukan selain menjerit. Tangannya terikat, kedua kakinya tertindih oleh tubuh pria itu. Bagaimana mungkin ia dapat lari dari situasi ini? Saat Nathaniel mengangkat tubuhnya dari atas tubuh Grisell, pria itu menaikkan rok bagian dalam Grisell sehingga paha putih Grisell tampak begitu saja. Sangat menggiur. Tetap mulus dan tidak berubah. Stoking hitamnya membuat betis wanita itu kelihatan lebih seksi lagi.
            “Kau tidak pernah mengecewakanku, Manis,” ucap pria itu seperti penjahat kelamin. Tubuh Grisell bergetar karena takut. Suara kaki kuda berlari menuju ke arah mereka semakin dekat. Nathaniel mendongak melihat siapa yang datang—dan ternyata orang yang ingin ia temui mendatanginya juga. Dalam satu gerakan sigap, Nathaniel menarik tubuh Grisell berdiri bersama-sama dengan dia.  Nathaniel mengeluarkan sebuah pisau dari kantong celananya, mengapit leher Grisell dengan tangan yang memegang pisau itu.
            Nafas Grisell tercekat. Ia berusaha mencerna apa yang sedang terjadi sekarang. Pria yang dulu ia cintai sedang mengacungkan pisau ke lehernya sambil menyeret Grisell ke belakang bersama-sama dengan pria itu. Suara larian kuda semakin dekat ke arah mereka kemudian sebelum kuda itu benar-benar berhenti di hadapan mereka, Justin segera melompat turun kemudian berlari ke arah mereka. Dan itu dia. Pangeran berkuda Grisell. Pria itu datang dengan tangan memegang lentera, tanpa senjata lain. Tentu saja Justin tidak akan menggunakan senjata apa pun jika senjata yang ia miliki adalah tangan kuatnya.
            Justin berhenti berlari, membiarkan jarak membentang diantara mereka. Melihat kedua tangan tunangannya diikat dan diacungkan pisau di lehernya. Dia tidak membawa apa pun selain lentera sialan yang sedang ia pegang. Wajah mereka berdua terlihat samar-samar di bawah pencahanyaan bulan, ditambah lagi hujan deras. Ada perasaan dalam tubuh Justin yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tidak pernah membenci siapa pun dalam hidupnya karena ia bukan orang yang menghakimi orang lain dan memedulikan apa yang orang lakukan. Tapi Tuhan tahu kalau pria itu sedang diliputi oleh amarah dan kebencian. Setelah apa yang telah dilakukan pria tua itu pada Grisell, Justin berpikir, ia tidak akan membiarkan Grisell kembali ke dalam dekapan pria itu.
            “Lepaskan gadisku. Dan mari kita selesaikan seperti laki-laki sejati,” ucap Justin dengan suara lantang dan tegas. Grisell dapat melihat dari cahaya lentera itu, rahang pria itu menegang dan ia tidak pernah melihat urat di kepalanya tercetak begitu jelas seperti ini. Nenek-nekek tua pun tahu, pria itu sedang dalam keadaan marah tak tertolong. Justin berjalan mendekat ke arah mereka dengan langkah yang besar, sementara Nathaniel kesulitan menyeret dirinya dan Grisell menjauh dari pria itu. Tapi pisau tajam itu tetap berada di bawah kulit Grisell.
            “Dia bukan gadis-mu, Brengsek!” Seru Nathaniel seperti orang gila. Siapa pun yang melihatnya sekarang pasti akan menganggap pria itu sakit jiwa. Pria itu berhenti menyeret Grisell. “Biar kuberikan ia pilihan. Bukankah kita berhak untuk memilih?”
            “Jacoby,” ucap Justin menyebut nama belakangnya. Mata hitam Nathaniel menatap Justin waspada. Kemudian lengannya yang mengapit leher Grisell semakin mengencang. “Lepaskan Grisell, sekarang dan—“
            “Diam, Brengsek! Diam!” Teriak Nathanie lagi. Dalam hati Grisell bersumpah jika ia tuli karena teriakan pria itu, ia akan memotong kejantanannya. “Biar dia kuberi pilihan,” ucap pria itu melanjutkan. Nathaniel menunduk, melirik Grisell yang masih memejamkan matanya. Bibir pria itu berada di atas telinga Grisell, terbuka namun tidak mengatakan apa-apa.
            “Jacoby. Kumohon, jangan sakiti aku,” ucap Grisell terisak. Pisau yang berada di bawah kulit lehernya sesekali menekan leher itu saat Grisell berbicara. Dan tampaknya pria itu tak mengindahkan apa yang dikatakan Grisell.
            “Pilihannya seperti ini: kau pilih dia, tapi kubunuh kau terlebih dahulu,” ucap Nathaniel di tengah-tengah hujan. “Atau, kau pilih ikut denganku dan—jangan berani-berani mendekat, Brengsek!” Bentaknya saat melihat Justin mengambil langkah pelan. Seketika Nathaniel bingung harus mengacungkan pisau itu kepada siapa. Tangannya mengacung ke depan, ke arah Justin yang pelan-pelan melangkahkan kakinya ke arahnya. Seperti harimau yang akan memakan rusa. Tapi tidak dengan mengendap-endap. Hanya berjalan pelan, tapi sungguh, darah Justin bergemuruh. Justin bersitatap dengan pria itu sambil berharap Grisell dapat melakukan apa pun agar dapat keluar dari dekapan pria itu. Karena sungguh, selain demi keselamatan Grisell, Justin tak bisa melihat Grisell dalam dekapan pria lain.
            Nathaniel menarik nafas tajam saat Justin melempar lenteranya ke samping. “Menjauh atau akan kubunuh dia!” Seru Nathaniel kembali mengacungkan pisau itu ke leher Grisell. Tapi kembali lagi ke arah Justin saat pria itu terus melangkah mendekat pada mereka. “Brengsek!” Teriak Nathaniel kemudian membenturkan keningnya ke belakang kepala Grisell. Gadis itu jatuh ke atas tanah dalam hitungan detik. Sepersekian detik setelah Grisell jatuh, mata Justin dibutakan oleh amarah yang membabi buta. Pria itu bergerak begitu lincah. Ia segera meninju wajah Nathaniel dengan tangan kiri, kemudian menunduk saat Nathaniel berusaha membalasnya dengan tangan yang tak memegang pisau.
            Justin bergerak ke kanan saat Nathaniel berusaha menusuknya. Dalam kesempatan itu, Justin menyikuti punggung pria itu dari belakang sehingga Nathaniel jatuh. Pria tua itu ternyata lebih bugar dari yang Justin pikir. Seolah-olah ini adalah pertandingan tinju, Nathaniel segera bangkit kembali.
            “Aku tidak mengira kau akan bergerak secepat itu,” ucap Justin hendak maju. Ejekan itu semakin membakar amarah Nathaniel.
            “Bajingan!” Seru pria itu meninju, tapi tinjuan itu meleset. Justin segera meninju rahang bawah pria itu dengan kekuatan di tangan kirinya. Nathaniel tumbang begitu saja akibat tinjuan itu. Jika saja Grisell sadar saat itu, ia pasti melihat perbedaan tatapan Justin yang normal dengan tatapan Justin yang ini. Matanya seperti tatapan gila. Nathaniel tidak bangun. Seperti matanya baru saja dapat melihat, Justin tersadar bahwa Grisell masih pingsan.
            Pria itu berjalan dengan perasaan khawatir. Sudah jelas kepala Grisell berdarah dan jika… jika… Justin tidak dapat melanjutkannya. Ia tidak bisa membayangkan Grisell kekuarangan darah dan berakhir kematian. Terdengar mustahil, tapi selalu ada kemungkinan. Justin mendekati Grisell yang telentang di atas tanah berlumpur kemudian berjongkok. Pria itu menjulurkan tangannya ke belakang kepala Grisell kemudian menariknya kembali. Darah. Justin tersentak saat melihat Grisell menggerakan kepalanya. Gadisnya merengek kesakitan.
            “Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja,” ucap Justin setenang mungkin, seperti biasanya. Grisell hanya menganggukkan kepalanya. Ia lelah akan apa yang terjadi sepanjang malam ini. Mungkin sekarang sudah subuh. Ia tidak yakin. Ia ingin pulang dan tidur dalam pelukan Justin. Telinga pria itu mendengar suara kaki kuda. Kali ini beberapa kuda. Berarti Benjamin sudah memanggil bantuan. Kepala Grisell juga menoleh ke arah datangnya suara kuda, kemudian membuka matanya untuk melihat.
            “Aku ingin pulang,” bisik Grisell, lebih mengarah pada rengekan seperti anak kecil. Dan Justin sangat mengerti mengapa Grisell bertingkah demikian. Wanita itu akhirnya menoleh menatap Justin. Tapi matanya semakin membesar dan membulat. “Justin, awas!”
            “Sial!”
            Kemudian terdengar suara tembakan. Terlalu banyak yang terjadi. Grisell tidak dapat mencernanya dengan baik. Terakhirnya yang ia tahu adalah tubuhnya diangkat oleh seseorang dan Justin baru saja tertusuk pisau Nathaniel. Ia tidak tahu apa lagi yang lebih buruk.

***

            Grisell tahu seharusnya ia kabur dari rumah Lord Moore sejak ia dibeli oleh pria itu. Jika saja ia kabur, mungkin pria itu tidak mungkin akan terbaring lemah di atas tempat tidurnya sendiri. Kulit pria itu pucat, tidak seperti biasanya. Terutama bibirnya yang berwarna putih keabu-abuan itu. Setelah insiden penculikan itu, Grisell harus beristirahat di kamarnya selama dua hari sebelum ia bisa keluar dari kamarnya. Kepala Grisell diperban oleh dokter dan untuk menutupi perban itu, ia memakai bonnet konyol selama di rumah. Tapi ia tidak pernah pergi kemana-mana selain kamar tunangannya.
            Tidak pernah seorang pun di keluarga Moore pernah melihat Justin sekarat seperti ini. Nathaniel menusuk Justin di pinggang kiri pria itu. Dan selama dua hari penuh siksaan di kamar, Grisell tidak bisa tidak memikirkan Justin. Ia harus melihat Justin meski keadaannya sendiri pun belum pulih total. Ia memaksa padahal dokter menganjurkan agar ia beristirahat selama beberapa hari. Dan Justin baru akan sembuh dalam beberapa minggu ke depan. Meski begitu, Justin telah sadar setelah sehari penuh—sejak ia ditusuk pisau—tidak bangun sedetik pun.
            Tapi pria itu sedang menatapnya sekarang. Oh, andai saja ia boleh berbicara. “Aku butuh hiburan,” ucap Lord Moore datar. Entah mengapa ucapan itu terdengar seperti lelucon. Wanita itu tersenyum mendengar permintaannya. Tapi sepertinya Justin memang bersungguh-sungguh membutuhkan hiburan. Jadi Grisell memutuskan memanggil Lord Myhill ke kamar Lord Moore. Ada situasi canggung saat Lord Myhill masuk ke dalam kamar Justin karena… yah, kedua Ayah mereka pernah mencintai—atau hanya memakai tubuh—Ibu Grisell.
            “Mengapa kau membawanya, Grisell?” Tanya Justin bingung. Tapi apa boleh buat, pria itu sudah masuk dan Grisell tak memberikan pertanyaan yang pastinya tidak akan membuat pria itu berhenti mengoceh. Tunangannya menanyakan bagaimana Nathaniel berakhir.
            “Aku memukul kepalanya dengan batu,” ucap Lord Myhill setengah polos, setengah tidak merasa bersalah. “Setelah dia ditembak,” lanjut Lord Myhill lebih condong pada perasaan puas dibanding prihatin. Tapi Justin tidak terhibur. Ia ingin memeluk Grisell. Atau paling tidak mengecup kepala Grisell. Apa pun untuk membuatnya merasa tetap hidup.
            Banyak yang memberikan kartu ucapan pada Grisell setelah berita penculikan itu terdengar sampai ke London. Dan yah, setelah kejadian penculikan itu, Lady Paston harus memecat beberapa penjaga rumahnya karena lalai. Lady Paston harus memperketat penjagaan dan perawatan Grisell atas permintaan Lord Moore. Perlakuan itu membuat Grisell cukup jengkel terhadap Justin karena ia ingin bertemu dengan Lord Myhill dan Bibi Millicent. Tapi ia melanggarnya. Dan entah bagaimana bisa, Justin tidak bisa memarahi Grisell.
            Dan yah, Grisell dapat bertemu dengan kakak tirinya. Saat menceritakan tentang nasib malang Nathaniel, Lord Myhill duduk di atas kursi di samping tempat tidur Lord Mooredengan posisi badannya duduk bersandar. Jika Grisell bukan adiknya, sudah jelas Grisell menyukai Lord Myhill. Ia ingin mengatakan itu, tapi sulit. Dokter memberitahu Grisell agar ia tidak berbicara selama beberapa hari ke depan. Tak heran mengapa dokter menyarankan Grisell melakukan itu karena ia terus berteriak pada… bajingan itu. Jadi percakapan dengan kakaknya—atau Justin—bisa dikatakan tidak berlangsung begitu efisien. Grisell menulis di atas kertas yang dilapisi papan agar ia dapat menuliskan apa yang ia ingin katakan. Meski Lord Myhill harus akui tulisan Grisell tidak begitu bagus, setidaknya, ia mengerti mengapa itu terjadi.
            Kemudian Grisell menulis kembali. Dimana dia sekarang?
            “Dipenjara seumur hidup,” ucap Lord Myhill pada Grisell, kemudian kepada Justin. “Kurasa dia akan tertimbun di antara mayat para tahanan. Kembali ke kehidupan lamanya. Kehidupan yang layak untuknya setelah apa yang ia lakukan padamu, Dik,” ucap Lord Myhill mengelus kepala Grisell. “Jika kau sudah menikah dengan Moore, aku akan datang ke sini lebih sering lagi untuk melihat keadaanmu.”
            Terima kasih, tulis Grisell.
            “Hey, kau tahu apa masalah Miss Bridget Moore? Tiap kali aku berpas-pasan dengannya, aku melihatnya seolah-olah ingin membunuhku. Dan sungguh, aku tidak pernah ditatap seperti itu oleh seorang wanita. Ini pertama kalinya,” ucap kakak tirinya dengan pengalihan topik pembicaraan yang tiba-tiba. Pria itu menatap Grisell kemudian pada Justin secara bergantian.             Grisell tidak tahu harus merespon seperti apa karena… jujur saja, ia bingung.
            “Jangan pernah sekalipun kau berpikir aku akan merestui hubungan kalian,” ucap Justin ketus.
            Kedua alis Lord Myhil terangkat. “Aku tidak menginginkan adikmu, Moore,”
            “Bagus,” ucap Justin mengangguk satu kali. “Aku tidak ingin reputasinya rusak karena berdekatan denganmu. Aku ingin kau berpikir dua kali jika kau menginginkannya,”
            “Tidak perlu berpikir dua kali saja aku sudah tidak menginginkannya,” ujar Lord Myhill memutar bola matanya. “Maafkan aku, Moore, dia itu aneh,”
            Justin menatap tajam pria itu. Namun Grisell terbatuk, membuat kedua kepala pria itu berbalik melihat Grisell. Hentikan! tulis gadis itu di papannya. Justin hanya membacanya, meski tidak mengindahkannya, Justin mengalihkan topik pembicaraan. “Bagaimana dengan Henrietta?”
            “Kau pasti akan terkejut jika aku memberitahumu,”
            “Aku akan bertemu dengannya secepat mungkin setelah aku sembuh,” ucap Lord Moore tegas. “Dia hampir membawa Grisell pada kematian,”
            “Yah, Henrietta mencoba untuk bunuh diri. Tapi dia tidak meninggal,” balas Lord Myhill acuh tak acuh. “Sayangnya.” Grisell memelototinya.
            “Baiklah,” tukas Justin. “Bisakah kau memberikan kami sedikit privasi?” Lord Myhill tidak perlu diminta dua kali. Pria itu segera melesat pergi, berharap ia tidak bertemu dengan Bridget dimana-mana tempat. Setelah pintu kamar Justin tertutup, pria itu menepuk-nepuk kasurnya di daerah yang kosong. “Berbaringlah bersamaku.”
            Tapi Grisell tetap diam di tempatnya. Aku takut menyakitimu, tulisnya secepat yang ia bisa. Justin ingin tertawa membacanya. Ia teringat akan kakinya yang bengkak karena diinjak oleh Grisell. Oh, saat-saat paling bahagia.
            “Kau tidak akan menyakitiku, Sayang,” bujuk Justin. “Ayo, berbaringlah. Aku ingin menghabiskan soreku bersamamu.”
            Sebelum Grisell menurutinya, ia memerhatikan Justin sejenak. Pria itu hanya memakai kemeja putih dan selimut menutupi tubuhnya sampai sebatas pinggang. Ia belum melihat perban di pinggang pria itu dan tidak berniat untuk melakukannya. Ia yang menyebabkan luka itu ada. Wanita itu melepaskan bonnet-nya sehingga perban itu kelihatan sekarang. Tapi ia segera memberi kode agar Justin tidak berkomentar. Ia merangkak perlahan-lahan ke sebelah Justin dan berbaring. Tangan Justin segera merangkul wanita itu—dan meringis pelan—kemudian menempatkan pipinya di atas kepala wanita itu.
            Tadi itu menghibur. Tapi sekarang ia merasa lebih hidup.