CHAPTER SIXTEEN
Seharusnya Miss Gillbride menjadi
pendamping Grisell malam itu, bukan Eunice. Namun keadaan tubuhnya sedang tak
mendukung, 1 minggu terakhir ini ia lebih banyak melakukan aktivitas di
kamarnya karena flu yang menyerang. Ia tidak ingin orang lain tertular dan
merusak season kali ini. Hujan di
luar membuat kepalanya semakin pening. Pintu kamarnya terketuk dan ia menyahut
dari dalam dengan hidung tersumbat. Mungkin hanya pelayan. Tapi saat pintunya
terbuka, Hope muncul sambil menggendong Mr. Phee. Miss Gillbride tidak tahu
harus ditaruh dimana wajahnya sekarang tapi keadaannya malam ini begitu buruk
sampai-sampai majikannya pun tidak boleh melihatnya. Hidungnya yang merah
segera ia tutupi dengan sapu tangan yang sedari tadi ia pegang. Rambut hitamnya
acak-acakan dan lembap. Oh, sungguh, Hope seharusnya tidak perlu melihatnya
sekarang.
Namun jika dipikir lagi, sudah
terlambat. Gadis ini sudah muncul dan telah menutup pintu kamarnya. Miss
Gillbride segera menggeser tubuhnya agar duduk di kepala tempat tidur yang
ditumpuk begitu banyak bantal. Ia bersandar sambil memandangai Hope yang
melangkah pelan-pelan ke arahnya. “Apa ada yang bisa kubantu, Miss Moore?”
“Hope saja, Miss Gillbride. Hanya
kita berdua yang ada di sini,”
“Tentu saja,” ucap Miss Gillbride
serak. “Apa ada yang bisa kubantu, Hope?” Tanyanya kemudian berdeham. Kepala
Hope tertunduk, ia duduk di pinggir tempat tidur Miss Gillbride dan tangan
kanannya mengelus-elus kepala Mr. Phee. Jadi, apa yang membawa gadis ini masuk
ke dalam kamarnya? Hope menggigit-gigit bibir bawahnya, takut mengatakan
sesuatu pada Miss Gillbride. Tapi akhirnya gadis itu mendongak.
“Grisell diculik,” ucap Hope
singkat. Dari kepala tempat tidur, Miss Gillbride menarik nafas tajam, terkejut
setengah mati atas kabar buruk ini. Muridnya diculik? Oleh siapa? Kepalanya
yang sudah pening, semakin pening karena kabar ini. Bagaimana mungkin? Mengapa
tidak ada yang menjaga pintu gerbang di depan? Kemana Eunice, penggantinya,
yang seharusnya menjadi pendampingnya? Ini masih membuat Miss Gillbride
sampai-sampai ia tidak mendengar apa yang tengah dikatakan Hope. “…khawatir .
Dan kakakku, kakak Grisell dan kakak iparku sedang mencari dimana keberadaannya
sekarang. Mildred sebenarnya memintaku agar tetap berada di kamar, tapi kurasa
kau perlu mengetahui ini,” lanjut gadis itu semakin membuat Miss Gillbride
bingung. Kakak Grisell? Rahasia apa lagi yang disembunyikan oleh muridnya?
“Kakak Grisell?”
“Lord Myhill. Aku tak menyangkanya,
tapi sungguh, Grisell memiliki setengah darah biru. Oh, aku sangat khawatir,
Miss Gillbride. Bagaimana jika Grisell diculik dan tidak akan pernah kembali
lagi? Kakakku sangat mencintainya. Dia tidak pernah terlihat sebahagia ini
sebelumnya dengan mantan-mantan kekasihnya yang dulu. Bagaimana jika Grisell
tidak kembali, Miss Gillbride? Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi
pada kakakku,” ucap Hope mengerutkan kening, suaranya serak sekarang. Miss
Gillbride menurunkan tangannya dari hidungnya kemudian mencondongkan tubuhnya
ke arah Hope, memeluknya.
“Jangan membicarakan hal-hal yang
belum pasti, Hope. Percayalah kakakmu pasti akan menemukan Grisell. Yang kita
perlu lakukan adalah berdoa.”
***
Hujan semakin deras.
Kusir kuda yang disewa Nathaniel
turun, ia membukakan pintu bagi dua penumpang di belakang. Pria berumur awal 40-an
itu keluar dari kereta kuda, titik-titik hujan yang deras membasahi pakaiannya
dalam hitungan detik. Grisell diseret keluar dari kereta kuda dengan kedua
tangan telah dilepas. Ikatan di kakinya juga sengaja dilepaskan agar wanita itu
dapat berjalan, begitu juga dengan mulutnya agar Grisell tidak kelihatan
seperti sedang diculik. Nathaniel melihat tempat penginapan yang berada di
seberang jalan yang lebar. Di bawah pencahayaan yang sangat kurang, Nathaniel
menatap kereta kudanya dan kusir itu. Mengapa
aku menyewa kusir ini? Nathaniel sangat menyesal. Tapi tidak ada waktu
lagi. Kerinduan Nathaniel harus dilepaskan malam ini dan Grisell harus memenuhi
kebutuhan nafsu binatangnya.
Wanita itu memberontak, menahan
kakinya di tanah saat Nathaniel menariknya. Titik-titik hujan membuat Nathaniel
sulit melihat wanita itu. Cahaya dari kereta kuda tidak berhasil membuat mata
Nathaniel melihat dengan jelas, ia bahkan perlu memegang tangan Grisell dengan
erat agar wanita itu tidak lari dan membuat Nathaniel terpaksa mengejarnya
dengan penglihatan yang kurang. Grisell masih berusaha memberontak, ia sampai
terjongkok untuk menarik tangannya dari genggaman tangan Nathaniel.
“Lepaskan aku, Brengsek!” Teriak
wanita itu sambil memejamkan mata. Rambut cokelatnya yang sudah terlepas dari
sanggulan hancur begitu saja karena hujan deras. Bibirnya menjadi mengilap
terkena air hujan dan gaun ungu yang ia kenakan mencetak lekuk tubuhnya. Kusir
kuda itu bingung apa yang harus ia perbuat, melihat kedua penumpangnya yang
bertengkar. Pria yang menyewanya mengaku, pria itu menjemput istrinya yang
berselingkuh dengan pria lain. Kusir itu harus akui, rumah yang ia datangi tadi
luar biasa indah dan besar. Tidak heran mengapa wanita ini mau dengan si
pemilik rumah dan tak ingin pergi kembali pada suaminya. Namun ia tidak melihat
cincin di jemari keduanya.
“Apa kau ingin kubantu, Milord?”
Tanyanya melangkah mendekat.
“Menjauh!” Geram pria itu akhirnya
menendang betis Grisell hingga wanita itu terpeleset. Sebelum ia jatuh,
Nathaniel telah menggendongnya dan menempatkannya ke atas bahunya. Grisell
terus memberontak, ia memukul-mukul punggung keras Nathaniel. Namun, tentu
saja, pria itu tidak merasakan kekuatan lemah Grisell. Mengapa kusir kuda itu
begitu bodoh menghentikan kereta kudanya di sana? Rumah penginapan memang tidak
sampai sejauh 1 mil, tapi tetap saja, ia perlu melangkah lebih daripada
seharusnya jika kusir itu menghentikan kereta kudanya tepat di depan penginapan
itu. Grisell melemas, ia tidak memiliki cara lain selain menggoda pria itu.
Tapi sudah lama ia tidak menggoda pria lain selain Lord Moore. Dan rasanya
pasti akan janggal—mengetahui ia sekarang sudah menjadi tunangan orang lain.
“Nathan,” teriaknya melawan suara
derasnya hujan. Nathaniel berhenti melangkah sesaat begitu namanya dipanggil,
lalu melangkah kembali. “Kumohon, berhenti menggendongku seperti ini. Perutku
sakit tertekan bahumu. Bagaimana mungkin aku bisa memuaskanmu jika perutku
kesakitan?” Tanyanya dengan suara lebih kencang lagi. Mendengar suara penuh
permohonan itu, Nathaniel merasa iba.
“Kau berjanji tidak akan lari
dariku, Manis?” Tanyanya.
“Ya, kumohon, Nathan,” ucap wanita
muda itu terisak. Nathaniel terdiam sejenak, membiarkan air hujan sedikit lebih
lama membasahi dirinya. Apa pun akan ia berikan untuk kekasihnya, selama itu
menguntungkannya juga. Sekaligus juga melihat apakah wanita itu benar-benar
menepati janjinya. Jika kali ini Grisell kabur darinya, Nathaniel terpaksa
menggunakan kekerasan. Perlahan-lahan, ia menurunkan Grisell dari gendongannya,
membiarkan kedua kaki telanjang Grisell menyentuh tanah. Dengan sigap,
Nathaniel menahan pinggang Grisell agar wanita itu tidak pergi kemana-mana.
Berbeda dengan perkiraannya, wanita itu justru melingkarkan kedua tangannya di
sekitar leher Nathaniel.
Grisell menjinjit, membuat pipi
wanita itu menyentuh lehernya. “Sebaiknya kita melakukannya di dalam, Manisku,”
“Mengapa tidak kau cium aku
sekarang?” Tanya wanita itu menjauhkan wajahnya dari leher Nathaniel. Wajah
mereka begitu dekat sampai Grisell dapat melihat raut wajah penuh harap. Pria
ini memang pernah dicintai Grisell. Pria ini memang memenuhi janjinya dulu.
Pria ini memang bertindak romantis, jika Grisell masih mengharapkannya.
Sayangnya, Grisell sudah mencintai pria lain. Dan apa yang Miss Gillbride
pernah katakan benar. Obsesi itu bukan cinta.
Tanpa Grisell sadari, pria itu sudah
menyentuh pipinya. “Jika itu yang kauinginkan, Cintaku,” ucapnya mencondongkan
wajahnya ke wajah Grisell. Saat bibir basah mereka hampir bersentuhan, Grisell
menyentak lututnya ke kejantanan Nathaniel dengan keras hingga pria itu
mengerang. Pria itu mundur beberapa langkah, kedua tangannya memegang kejantanannya
yang baru saja mendapat tendangan lutut yang menyakitkan. Tidak ingin membuang-buang
waktu, Grisell segera berlari secepat mungkin menjauh dari Nathaniel. Kusir itu
sudah pergi membawa kereta kudanya ke dekat tempat penginapan—mereka diturunkan
karena jalanan tidak rata dan hujan membuat jalanan menjadi licin.
Grisell berlari tanpa sekalipun
menoleh ke belakang. Ia melihat ke depan, namun ia tidak dapat melihat apa pun
selain jalan yang lebar yang gelap. Tapi ia tidak punya pilihan lain selain kabur
dan lepas dari pandangan pria itu. Ia tidak ingin pergi ke Paris bersama
buronan Irlandia itu. Ia tidak ingin memiliki suami yang ternyata selama ini
adalah buronan. Tapi satu-satunya alasan kuat mengapa ia tidak ingin pergi
bersama pria itu adalah; Justin Moore adalah rumahnya. Ia tidak ingin pergi
dari pria itu sampai kapan pun. Jadi, jika ini adalah kesempatan terakhir yang
ia miliki untuk kabur dari pria itu, ia tidak akan menyia-nyiakannya sedetik
pun.
Kakinya berlari tanpa alas kaki dan
tanah yang ia pijaki begitu licin. Sesekali ia terpeleset, tapi itu tidak
menghentikannya berlari. Begitu ia menoleh ke belakang untuk memastikan apakah
ia sudah jauh, ia tidak melihat siapa pun di belakang selain cahaya dari rumah
penginapan yang redup karena air hujan. Seluruh pori-pori tubuh meremang begitu
ia mendengar suara gesekan pakaian dan nafas berat orang lain. Ia terus berlari
sambil berputar-putar melihat ke sekeliling apakah ia sudah jauh dari pria itu
atau belum. Suara gesekan pakaian dan nafas berat orang itu sudah menghilang.
Grisell kembali berlari ke arah kegelapan di depannya. Jika ia dimakan oleh
serigala atau binatang berbahaya apa pun, ia lebih memilih itu dibanding harus
bertemu kembali dengan Nathaniel.
Dari jarak jauh, Grisell melihat lentera
melayang-layang dengan suara lari kuda. Secercah harapan muncul, seolah-olah
membuat jiwa Grisell terbebas dari penjara. Tapi sebelum Grisell berhasil
berteriak, kaki kanannya tertarik begitu saja hingga tubuhnya terjungkal jatuh
ke atas tanah berlumpur. Tangan itu terus menarik tubuh Grisell mundur ke
belakang, ke arah orang itu. Suara Nathaniel menggeram terdengar begitu saja
hingga membuat Grisell nekat menendang kaki kanannya hingga genggaman tangan
itu lepas. Tapi hanya untuk satu detik saja, lalu kemudian tangan itu kembali
menangkap kaki Grisell. Gadis itu tengkurap, gaun ungu yang ia pakai sudah
benar-benar kotor, begitu juga dengan lehernya. Tapi ia tidak peduli lagi.
Gadis itu menancapkan jari-jari kedua tangannya ke dalam tanah yang berlumpur,
berharap ia dapat menahan dirinya.
“Kemari kau, Jalang!”
“Lepaskan aku!” Teriak Grisell terus
menyentak-nyentakkan kakinya. “Nathaniel, kumohon, lepaskan aku. Biarkan aku
pergi!” Tapi balasan yang Grisell terima adalah kaki kirinya tertangkap oleh tangan
Nathaniel yang satu lagi. Pria itu sepertinya sulit bergerak dalam balutan
pakaian pria terhormat yang berat dan rumit karena hujan. Nathaniel bangkit—ia
melepaskan kedua kaki itu sesaat—dan kemudian segera menindih tubuh Grisell
agar gadis itu tidak pergi kemana-mana.
“Sepertinya jika aku tidak
mengikatmu, kau tidak akan jadi anak penurut,” ucap pria itu menarik paksa
kedua tangan Grisell ke belakang punggung gadis itu sendiri. Nathaniel menarik cravat-nya dan mengikat kedua tangan
Grisell dengan cekatan. “Bagaimana kalau kita melakukannya sekarang? Di tengah
jalan yang gelap. Tidak akan ada yang melihat kita, bukan?” Tanya pria itu
kemudian memutar tubuh Grisell sehingga wanita itu telentang di hadapannya.
Mata Grisell terpejam, tak ingin, tak sudi, merasa jijik jika ia melihat pria
itu. Dirasakannya sentakan kuat dari tangan pria itu saat pakaian bagian
atasnya yang sudah robek, sekarang makin robek.
“Tidak!” Jerit Grisell panjang.
“Tidak! Tidak! Kumohon jangan!” Serunya menjerit melengking sampai-sampai
Nathaniel mengerut wajah. Tapi tidak ada yang dapat Grisell lakukan selain
menjerit. Tangannya terikat, kedua kakinya tertindih oleh tubuh pria itu.
Bagaimana mungkin ia dapat lari dari situasi ini? Saat Nathaniel mengangkat
tubuhnya dari atas tubuh Grisell, pria itu menaikkan rok bagian dalam Grisell
sehingga paha putih Grisell tampak begitu saja. Sangat menggiur. Tetap mulus
dan tidak berubah. Stoking hitamnya membuat betis wanita itu kelihatan lebih
seksi lagi.
“Kau tidak pernah mengecewakanku, Manis,”
ucap pria itu seperti penjahat kelamin. Tubuh Grisell bergetar karena takut. Suara
kaki kuda berlari menuju ke arah mereka semakin dekat. Nathaniel mendongak
melihat siapa yang datang—dan ternyata orang yang ingin ia temui mendatanginya
juga. Dalam satu gerakan sigap, Nathaniel menarik tubuh Grisell berdiri
bersama-sama dengan dia. Nathaniel
mengeluarkan sebuah pisau dari kantong celananya, mengapit leher Grisell dengan
tangan yang memegang pisau itu.
Nafas Grisell tercekat. Ia berusaha
mencerna apa yang sedang terjadi sekarang. Pria yang dulu ia cintai sedang
mengacungkan pisau ke lehernya sambil menyeret Grisell ke belakang bersama-sama
dengan pria itu. Suara larian kuda semakin dekat ke arah mereka kemudian
sebelum kuda itu benar-benar berhenti di hadapan mereka, Justin segera melompat
turun kemudian berlari ke arah mereka. Dan itu dia. Pangeran berkuda Grisell.
Pria itu datang dengan tangan memegang lentera, tanpa senjata lain. Tentu saja
Justin tidak akan menggunakan senjata apa pun jika senjata yang ia miliki
adalah tangan kuatnya.
Justin berhenti berlari, membiarkan
jarak membentang diantara mereka. Melihat kedua tangan tunangannya diikat dan
diacungkan pisau di lehernya. Dia tidak membawa apa pun selain lentera sialan
yang sedang ia pegang. Wajah mereka berdua terlihat samar-samar di bawah
pencahanyaan bulan, ditambah lagi hujan deras. Ada perasaan dalam tubuh Justin
yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tidak pernah membenci siapa pun
dalam hidupnya karena ia bukan orang yang menghakimi orang lain dan memedulikan
apa yang orang lakukan. Tapi Tuhan tahu kalau pria itu sedang diliputi oleh
amarah dan kebencian. Setelah apa yang telah dilakukan pria tua itu pada
Grisell, Justin berpikir, ia tidak akan membiarkan Grisell kembali ke dalam dekapan
pria itu.
“Lepaskan gadisku. Dan mari kita
selesaikan seperti laki-laki sejati,” ucap Justin dengan suara lantang dan
tegas. Grisell dapat melihat dari cahaya lentera itu, rahang pria itu menegang
dan ia tidak pernah melihat urat di kepalanya tercetak begitu jelas seperti
ini. Nenek-nekek tua pun tahu, pria itu sedang dalam keadaan marah tak
tertolong. Justin berjalan mendekat ke arah mereka dengan langkah yang besar,
sementara Nathaniel kesulitan menyeret dirinya dan Grisell menjauh dari pria
itu. Tapi pisau tajam itu tetap berada di bawah kulit Grisell.
“Dia bukan gadis-mu, Brengsek!” Seru
Nathaniel seperti orang gila. Siapa pun yang melihatnya sekarang pasti akan
menganggap pria itu sakit jiwa. Pria itu berhenti menyeret Grisell. “Biar
kuberikan ia pilihan. Bukankah kita berhak untuk memilih?”
“Jacoby,” ucap Justin menyebut nama
belakangnya. Mata hitam Nathaniel menatap Justin waspada. Kemudian lengannya
yang mengapit leher Grisell semakin mengencang. “Lepaskan Grisell, sekarang
dan—“
“Diam, Brengsek! Diam!” Teriak
Nathanie lagi. Dalam hati Grisell bersumpah jika ia tuli karena teriakan pria
itu, ia akan memotong kejantanannya. “Biar dia kuberi pilihan,” ucap pria itu
melanjutkan. Nathaniel menunduk, melirik Grisell yang masih memejamkan matanya.
Bibir pria itu berada di atas telinga Grisell, terbuka namun tidak mengatakan
apa-apa.
“Jacoby. Kumohon, jangan sakiti
aku,” ucap Grisell terisak. Pisau yang berada di bawah kulit lehernya sesekali
menekan leher itu saat Grisell berbicara. Dan tampaknya pria itu tak
mengindahkan apa yang dikatakan Grisell.
“Pilihannya seperti ini: kau pilih
dia, tapi kubunuh kau terlebih dahulu,” ucap Nathaniel di tengah-tengah hujan.
“Atau, kau pilih ikut denganku dan—jangan berani-berani mendekat, Brengsek!”
Bentaknya saat melihat Justin mengambil langkah pelan. Seketika Nathaniel
bingung harus mengacungkan pisau itu kepada siapa. Tangannya mengacung ke
depan, ke arah Justin yang pelan-pelan melangkahkan kakinya ke arahnya. Seperti
harimau yang akan memakan rusa. Tapi tidak dengan mengendap-endap. Hanya
berjalan pelan, tapi sungguh, darah Justin bergemuruh. Justin bersitatap dengan
pria itu sambil berharap Grisell dapat melakukan apa pun agar dapat keluar dari
dekapan pria itu. Karena sungguh, selain demi keselamatan Grisell, Justin tak
bisa melihat Grisell dalam dekapan pria lain.
Nathaniel menarik nafas tajam saat
Justin melempar lenteranya ke samping. “Menjauh atau akan kubunuh dia!” Seru
Nathaniel kembali mengacungkan pisau itu ke leher Grisell. Tapi kembali lagi ke
arah Justin saat pria itu terus melangkah mendekat pada mereka. “Brengsek!”
Teriak Nathaniel kemudian membenturkan keningnya ke belakang kepala Grisell.
Gadis itu jatuh ke atas tanah dalam hitungan detik. Sepersekian detik setelah
Grisell jatuh, mata Justin dibutakan oleh amarah yang membabi buta. Pria itu
bergerak begitu lincah. Ia segera meninju wajah Nathaniel dengan tangan kiri,
kemudian menunduk saat Nathaniel berusaha membalasnya dengan tangan yang tak
memegang pisau.
Justin bergerak ke kanan saat
Nathaniel berusaha menusuknya. Dalam kesempatan itu, Justin menyikuti punggung
pria itu dari belakang sehingga Nathaniel jatuh. Pria tua itu ternyata lebih
bugar dari yang Justin pikir. Seolah-olah ini adalah pertandingan tinju,
Nathaniel segera bangkit kembali.
“Aku tidak mengira kau akan bergerak
secepat itu,” ucap Justin hendak maju. Ejekan itu semakin membakar amarah
Nathaniel.
“Bajingan!” Seru pria itu meninju,
tapi tinjuan itu meleset. Justin segera meninju rahang bawah pria itu dengan
kekuatan di tangan kirinya. Nathaniel tumbang begitu saja akibat tinjuan itu.
Jika saja Grisell sadar saat itu, ia pasti melihat perbedaan tatapan Justin
yang normal dengan tatapan Justin yang ini.
Matanya seperti tatapan gila. Nathaniel tidak bangun. Seperti matanya baru saja
dapat melihat, Justin tersadar bahwa Grisell masih pingsan.
Pria itu berjalan dengan perasaan
khawatir. Sudah jelas kepala Grisell berdarah dan jika… jika… Justin tidak
dapat melanjutkannya. Ia tidak bisa membayangkan Grisell kekuarangan darah dan
berakhir kematian. Terdengar mustahil, tapi selalu ada kemungkinan. Justin
mendekati Grisell yang telentang di atas tanah berlumpur kemudian berjongkok.
Pria itu menjulurkan tangannya ke belakang kepala Grisell kemudian menariknya
kembali. Darah. Justin tersentak saat
melihat Grisell menggerakan kepalanya. Gadisnya merengek kesakitan.
“Jangan khawatir, semuanya akan
baik-baik saja,” ucap Justin setenang mungkin, seperti biasanya. Grisell hanya
menganggukkan kepalanya. Ia lelah akan apa yang terjadi sepanjang malam ini.
Mungkin sekarang sudah subuh. Ia tidak yakin. Ia ingin pulang dan tidur dalam
pelukan Justin. Telinga pria itu mendengar suara kaki kuda. Kali ini beberapa
kuda. Berarti Benjamin sudah memanggil bantuan. Kepala Grisell juga menoleh ke
arah datangnya suara kuda, kemudian membuka matanya untuk melihat.
“Aku ingin pulang,” bisik Grisell,
lebih mengarah pada rengekan seperti anak kecil. Dan Justin sangat mengerti
mengapa Grisell bertingkah demikian. Wanita itu akhirnya menoleh menatap
Justin. Tapi matanya semakin membesar dan membulat. “Justin, awas!”
“Sial!”
Kemudian terdengar suara tembakan.
Terlalu banyak yang terjadi. Grisell tidak dapat mencernanya dengan baik.
Terakhirnya yang ia tahu adalah tubuhnya diangkat oleh seseorang dan Justin
baru saja tertusuk pisau Nathaniel. Ia tidak tahu apa lagi yang lebih buruk.
***
Grisell tahu seharusnya ia kabur
dari rumah Lord Moore sejak ia dibeli oleh pria itu. Jika saja ia kabur,
mungkin pria itu tidak mungkin akan terbaring lemah di atas tempat tidurnya
sendiri. Kulit pria itu pucat, tidak seperti biasanya. Terutama bibirnya yang
berwarna putih keabu-abuan itu. Setelah insiden penculikan itu, Grisell harus
beristirahat di kamarnya selama dua hari sebelum ia bisa keluar dari kamarnya.
Kepala Grisell diperban oleh dokter dan untuk menutupi perban itu, ia memakai
bonnet konyol selama di rumah. Tapi ia tidak pernah pergi kemana-mana selain
kamar tunangannya.
Tidak pernah seorang pun di keluarga
Moore pernah melihat Justin sekarat seperti ini. Nathaniel menusuk Justin di
pinggang kiri pria itu. Dan selama dua hari penuh siksaan di kamar, Grisell
tidak bisa tidak memikirkan Justin. Ia harus melihat Justin meski keadaannya
sendiri pun belum pulih total. Ia memaksa padahal dokter menganjurkan agar ia
beristirahat selama beberapa hari. Dan Justin baru akan sembuh dalam beberapa
minggu ke depan. Meski begitu, Justin telah sadar setelah sehari penuh—sejak ia
ditusuk pisau—tidak bangun sedetik pun.
Tapi pria itu sedang menatapnya
sekarang. Oh, andai saja ia boleh berbicara. “Aku butuh hiburan,” ucap Lord
Moore datar. Entah mengapa ucapan itu terdengar seperti lelucon. Wanita itu
tersenyum mendengar permintaannya. Tapi sepertinya Justin memang
bersungguh-sungguh membutuhkan hiburan. Jadi Grisell memutuskan memanggil Lord
Myhill ke kamar Lord Moore. Ada situasi canggung saat Lord Myhill masuk ke
dalam kamar Justin karena… yah, kedua Ayah mereka pernah mencintai—atau hanya
memakai tubuh—Ibu Grisell.
“Mengapa kau membawanya, Grisell?”
Tanya Justin bingung. Tapi apa boleh buat, pria itu sudah masuk dan Grisell tak
memberikan pertanyaan yang pastinya tidak akan membuat pria itu berhenti
mengoceh. Tunangannya menanyakan bagaimana Nathaniel berakhir.
“Aku memukul kepalanya dengan batu,”
ucap Lord Myhill setengah polos, setengah tidak merasa bersalah. “Setelah dia
ditembak,” lanjut Lord Myhill lebih condong pada perasaan puas dibanding
prihatin. Tapi Justin tidak terhibur. Ia ingin memeluk Grisell. Atau paling
tidak mengecup kepala Grisell. Apa pun untuk membuatnya merasa tetap hidup.
Banyak yang memberikan kartu ucapan
pada Grisell setelah berita penculikan itu terdengar sampai ke London. Dan yah,
setelah kejadian penculikan itu, Lady Paston harus memecat beberapa penjaga
rumahnya karena lalai. Lady Paston harus memperketat penjagaan dan perawatan
Grisell atas permintaan Lord Moore. Perlakuan itu membuat Grisell cukup jengkel
terhadap Justin karena ia ingin bertemu dengan Lord Myhill dan Bibi Millicent. Tapi
ia melanggarnya. Dan entah bagaimana bisa, Justin tidak bisa memarahi Grisell.
Dan yah, Grisell dapat bertemu
dengan kakak tirinya. Saat menceritakan tentang nasib malang Nathaniel, Lord
Myhill duduk di atas kursi di samping tempat tidur Lord Mooredengan posisi
badannya duduk bersandar. Jika Grisell bukan adiknya, sudah jelas Grisell
menyukai Lord Myhill. Ia ingin mengatakan itu, tapi sulit. Dokter memberitahu
Grisell agar ia tidak berbicara selama beberapa hari ke depan. Tak heran
mengapa dokter menyarankan Grisell melakukan itu karena ia terus berteriak
pada… bajingan itu. Jadi percakapan dengan kakaknya—atau Justin—bisa dikatakan
tidak berlangsung begitu efisien. Grisell menulis di atas kertas yang dilapisi
papan agar ia dapat menuliskan apa yang ia ingin katakan. Meski Lord Myhill
harus akui tulisan Grisell tidak begitu bagus, setidaknya, ia mengerti mengapa
itu terjadi.
Kemudian Grisell menulis kembali. Dimana dia sekarang?
“Dipenjara seumur hidup,” ucap Lord
Myhill pada Grisell, kemudian kepada Justin. “Kurasa dia akan tertimbun di
antara mayat para tahanan. Kembali ke kehidupan lamanya. Kehidupan yang layak
untuknya setelah apa yang ia lakukan padamu, Dik,” ucap Lord Myhill mengelus
kepala Grisell. “Jika kau sudah menikah dengan Moore, aku akan datang ke sini
lebih sering lagi untuk melihat keadaanmu.”
Terima
kasih, tulis Grisell.
“Hey, kau tahu apa masalah Miss
Bridget Moore? Tiap kali aku berpas-pasan dengannya, aku melihatnya seolah-olah
ingin membunuhku. Dan sungguh, aku tidak pernah ditatap seperti itu oleh
seorang wanita. Ini pertama kalinya,” ucap kakak tirinya dengan pengalihan topik
pembicaraan yang tiba-tiba. Pria itu menatap Grisell kemudian pada Justin
secara bergantian. Grisell
tidak tahu harus merespon seperti apa karena… jujur saja, ia bingung.
“Jangan pernah sekalipun kau berpikir
aku akan merestui hubungan kalian,” ucap Justin ketus.
Kedua alis Lord Myhil terangkat.
“Aku tidak menginginkan adikmu, Moore,”
“Bagus,” ucap Justin mengangguk satu
kali. “Aku tidak ingin reputasinya rusak karena berdekatan denganmu. Aku ingin
kau berpikir dua kali jika kau menginginkannya,”
“Tidak perlu berpikir dua kali saja
aku sudah tidak menginginkannya,” ujar Lord Myhill memutar bola matanya.
“Maafkan aku, Moore, dia itu aneh,”
Justin menatap tajam pria itu. Namun
Grisell terbatuk, membuat kedua kepala pria itu berbalik melihat Grisell. Hentikan! tulis gadis itu di papannya.
Justin hanya membacanya, meski tidak mengindahkannya, Justin mengalihkan topik
pembicaraan. “Bagaimana dengan Henrietta?”
“Kau pasti akan terkejut jika aku
memberitahumu,”
“Aku akan bertemu dengannya secepat mungkin
setelah aku sembuh,” ucap Lord Moore tegas. “Dia hampir membawa Grisell pada
kematian,”
“Yah, Henrietta mencoba untuk bunuh
diri. Tapi dia tidak meninggal,” balas Lord Myhill acuh tak acuh. “Sayangnya.”
Grisell memelototinya.
“Baiklah,” tukas Justin. “Bisakah
kau memberikan kami sedikit privasi?” Lord Myhill tidak perlu diminta dua kali.
Pria itu segera melesat pergi, berharap ia tidak bertemu dengan Bridget
dimana-mana tempat. Setelah pintu kamar Justin tertutup, pria itu menepuk-nepuk
kasurnya di daerah yang kosong. “Berbaringlah bersamaku.”
Tapi Grisell tetap diam di
tempatnya. Aku takut menyakitimu,
tulisnya secepat yang ia bisa. Justin ingin tertawa membacanya. Ia teringat
akan kakinya yang bengkak karena diinjak oleh Grisell. Oh, saat-saat paling
bahagia.
“Kau tidak akan menyakitiku,
Sayang,” bujuk Justin. “Ayo, berbaringlah. Aku ingin menghabiskan soreku
bersamamu.”
Sebelum Grisell menurutinya, ia
memerhatikan Justin sejenak. Pria itu hanya memakai kemeja putih dan selimut
menutupi tubuhnya sampai sebatas pinggang. Ia belum melihat perban di pinggang
pria itu dan tidak berniat untuk melakukannya. Ia yang menyebabkan luka itu
ada. Wanita itu melepaskan bonnet-nya
sehingga perban itu kelihatan sekarang. Tapi ia segera memberi kode agar Justin
tidak berkomentar. Ia merangkak perlahan-lahan ke sebelah Justin dan berbaring.
Tangan Justin segera merangkul wanita itu—dan meringis pelan—kemudian
menempatkan pipinya di atas kepala wanita itu.
Tadi itu menghibur. Tapi sekarang ia
merasa lebih hidup.