Senin, 16 Desember 2013

Right Mistakes Bab 13

CHAPTER THIRTEEN

AUTHOR

            Tidak ada yang dilakukan oleh pria yang memiliki tatapan tajam itu. Ia hanya duduk dan menatap lantai yang dipijaki. Ia telah memakai piama tidurnya yang berwarna hitam. Pria ini tampaknya sangat menyenangi warna hitam. Termasuk jiwanya yang begitu gelap seperti warna hitam. Pikirannya sekarang benar-benar kacau tapi hebatnya, raut wajah datar membuatnya tak terlihat apa semuanya berjalan dengan baik atau tidak. Alisnya mulai menyatu, bibirnya ia lipat ke dalam lalu ia menghela nafasnya melalui mulut. Yang sekarang ia pikirkan adalah kekasihnya yang telah bertanya-tanya tentang diri pria ini, mengapa ia selalu menyeringai ketika ia meninju seseorang? Bukankah itu tanda-tanda dari Iblis yang menggoda manusia? Segalanya terlihat begitu asli ketika pria ini memukul seseorang. Apa yang sebenarnya pria tampan menakutkan ini rahasiakan? Sudah sebulan lebih pria ini dengan kekasihnya bersama-sama menjalani hari-hari dengan nafsu namun tidak ada kalimat “aku mencintaimu” dari keduanya. Justin, dia tentu bukanlah tipikal pria yang akan menyatakan cinta tiap hari, tiap jam, atau sebelum tidur dan ketika di pagi hari. Terlihat dari tampangnya yang bukan seorang playboy. Ia pria yang memegang kata-katanya, mengontrol semuanya, dan apa yang ia miliki akan ia jaga sebaik mungkin.
            Termasuk kekasihnya. Justin memang merasakan “kebahagiaan” ketika ia bertemu dengan Faith. Apa itu adalah tanda-tanda seorang pria bahagia? Tiap ia bangun di pagi hari, seseorang yang harus ia temui adalah Faith. Setidaknya, ia harus mendengarkan suara Faith yang lembut. Tapi apakah perasaan ini akan bertahan lama? Begitu berat cobaannya ketika ia keluar dari kamarnya dan melihat mantan submisifnya yang selalu berpakaian seksi lalu menyapa Justin. Justin tentu tidak dapat menyalahkan Carla yang memang sejak dulu sering memakai pakaian seksi dan pas dengan tubuhnya. Ia merasa tidak enak jika ia harus mengusir Carla dari rumahnya dengan alasan yang tidak masuk akal. Lagipula, Carla termasuk teman dekatnya. Biasanya Justin menceritakan masalah-masalahnya pada Carla lalu Carla akan memberikan solusi yang mungkin dapat membantu Justin. Tapi sebenarnya, dari setiap pertemuan mereka, ada keinginan dari Justin untuk melepaskan satu per satu pakaian yang menempel di tubuh Carla lalu menyetubuhinya sama seperti dulu ia pernah menyetubuhi Carla. Namun, nama Faith selalu berada di otaknya. Seluruh niatannya untuk bersetubuh dengan Carla ia urungkan. Ia tidak mungkin mengkhianati Faith. Justin menggeleng-gelengkan kepalanya.
            Acara televisi yang tadinya ia tonton sekarang tidak menarik bagi Justin. Karena memang pada dasarnya ia tidak begitu senang menonton film atau semacamnya. Kedatangan Faith yang membuatnya lepas dari lamunannya. Ia tersenyum pada Faith yang telah memakai pakaian yang Justin sarankan. Celana pendek berwarna hitam yang panjangnya 4 inchi dari lututnya dengan kaos berwarna putih transparan. Bra biru muda yang Faith pakai terlihat karena itu Faith melipat lengannya, ia malu akan tatapan Justin yang sepertinya akan melahap dirinya.
            “Mengapa harus malu-malu padaku?” Tanya Justin ketika Faith sudah terduduk di sebelahnya. Ia langsung memeluk pundak Faith hingga kepala Faith bersandar di atas dadanya. Mereka tampak serasi saat mereka bersama-sama. Tersenyum bersama. Seperti tak ada masalah. Hanya tinggal seorang anak kecil yang berada di tengah-tengah mereka maka mereka adalah keluarga bahagia.
            “Entahlah, setiap kali kau menatapku, aku selalu merinding. Bukan,” –Faith menggelengkan kepala—“bukan karena kau seksi atau apa pun, tapi kau sangat menakutkan saat menatapku seperti tadi. Nah, kau juga belum menjawab pertanyaanku tadi. Di dalam mobil, kau terus diam. Jadi, mengapa?” Tanya Faith. Bibir seksi itu harus disumpal oleh bibir Justin agar Faith tetap diam dan tidak banyak bertanya. Tapi sungguh menyenangkan berbicara dengan orang seperti Faith. Wajah Faith bukanlah wajah-wajah wanita sinis, ia memiliki karakter wajah yang penuh kedamaian.
            “Aku tidak tahu,” Justin berucap penuh dengan ketidakpedulian. “Apakah kau sadar selama ini aku tidak pernah menyatakan cinta padamu?” Tanya Justin mengubah topik pembicaraan. Faith, gadis ini memang selalu mengikuti alur percakapan meski percakapan itu tidak sama sekali penting untuk dibicarakan. Itu sebabnya banyak lelaki yang menyukainya.
            “Ya, kau benar. Kalau begitu, aku mencintaimu, Justin Lexise. Kuharap masalah-masalah yang menanti di depan sana akan kita lalui bersama-sama. Berjanjilah padaku untuk tidak meninggalkanku,” ucap Faith dengan gerakan yang cepat berpindah dari tempatnya yang sekarang telah berada di atas tubuh Justin. Ia memeluk leher Justin dan menempatkan dagunya di atas bahu Justin. Tempat yang benar-benar ia sukai adalah berada dalam pelukan Justin. Tenang. Seolah-olah detak jantung mereka berdenyut bersama-sama, aliran darah yang mendesir di bawah kulit mereka menghangatkan tubuh mereka sangat nyaman, dan nafas mereka yang saling bersahutan menjadi percakapan di setiap keheningan. Terkadang diam akan menjelaskan segalanya. Justin memeluk pinggang gadisnya yang berada di atas tubuhnya, ia mendesah pelan, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “Aku akan mencobanya,” bisik Justin di antara leher Faith. Tangan Faith yang melingkar di sekitar leher Justin semakin mengerat, semakin mengikat dan seolah-olah tidak ada yang boleh menarik Faith dari Justin. Sebenarnya Faith tidak ingin menangis sekarang, namun keadaan memaksa air mata itu keluar dari pelupuk matanya. Kemudian air mata jernih itu mengalir melalui pipi putihnya yang lembut.
            “Aku mencintaimu, Justin Lexise. Kehilanganmu termasuk ketakutan terbesarku. Kuharap hubungan ini tidak akan putus. My dominant, my Master,” bisik Faith mencium leher Justin. Suara seraknya membuat kedua alis Justin menyatu. Ketakutan itu mulai menyeruak di seluruh tubuh Faith, ia menggigil. Oh, seorang sanguine, ia selalu mendalami perasaannya. Justin mengelus punggung Faith, tidak ada yang bisa ia lakukan selain membuat kekasihnya tenang.
            “Aku punya pertanyaan untukmu, Justin,” suara serak Faith terdengar kembali. Faith menyeka air matanya lalu hidungnya. Ia menarik nafasnya dalam-dalam. Dada Faith yang menekan Justin benar-benar menyiksa! Bagaimana bisa ketika kekasihnya menangis, Justin masih dapat merasakan kekenyalan dari bagian tubuh kekasihnya? Sebisa mungkin ia tidak memikirkan pikiran-pikiran kotor yang mulai menyerang otaknya.
            “Apa pun pertanyaan itu, pasti akan kujawab,”
            “Apa kau berpacaran denganku karena cinta atau hanya seks semata?” Pertanyaan sederhana untuk para pria pecinta. Seharusnya Justin bisa menjawabnya dengan mudah, tapi kenyataannya otaknya harus berpikir terlebih dahulu sebelum segalanya hancur. Justin masih belum tahu apa ia mencintai kekasihnya atau tidak karena hubungan ini hanyalah percobaan yang akan menjadi percobaan yang gagal. Yang akan sama seperti hubungannya dengan kekasihnya yang dulu.
            “Aku masih tidak dapat menganalisisnya dalam waktu yang singkat. Awalnya aku tidak ingin pacaran denganmu, namun kau memintaku untuk mencoba menjalani hubungan ini. Tapi aku berpacaran denganmu bukan karena seks semata. Itu sungguh jahat. Aku tidak mungkin sejahat itu padamu,” jelas Justin bersandar di kepala Faith. Justin tidak pernah merasa sedekat ini dengan seorang wanita. Terlebih lagi gadis polos seperti Faith. Seharusnya malam ini ia memegang pecut atau berhubungan badan dengan kekasihnya, tapi tentu dengan keadaan seperti ini tidak akan mendukung untuk melakukan hal itu.
            “Berarti kau mencintaiku,” bisik Faith menarik nafasnya. Begitu banyak skenario yang berjalan di otak Faith. Bagaimana jika ia menikah dengan Justin? Ia akan memiliki anak-anak yang tampan dan cantik jika ia menikah dengan Justin. Memiliki kehidupan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Terlebih lagi memiliki suami yang luar biasa peduli dan mencintainya apa adanya. Bagaimana bisa orang kaya seperti Justin dapat bersandar di sebuah sofa murahan dalam apartemen kecil? Ia cukup berhati besar. Ini juga salah satu alasan mengapa Faith mencintai Justin. Justin tidak memandang kekurangan kekasihnya. Semuanya terlihat baik-baik saja, namun Faith sadar, di depan sana ia akan bertemu dengan batu kerikil yang akan membuatnya bertumbuh bersama dengan Justin dalam hubungan ini.
            “Faith, kau akan lebih memilih seseorang yang lemah atau yang kuat?” Tanya Justin tiba-tiba. Entah topik itu muncul karena apa namun Faith menjawabnya.
            “Lemah,”
            “Mengapa?”
            “Well, orang yang lemah dapat menjadi orang yang kuat. Namun tidak selamanya orang kuat terus menjadi kuat, pasti ia akan pernah berada dalam titik lemahnya. Mengapa kau bertanya seperti itu?” Tanya Faith menarik dirinya dari tubuh Justin.
            “Well, aku adalah orang kuat itu,” bisik Justin.

***

FAITH

            Aku menghela nafas panjang. Oh, ya ampun, hari yang cukup melelahkan. Hari pertama di restoran ini cukup menguras tenagaku. Ternyata menjadi seorang pelayan cukuplah susah. Tiap kali aku menatap jam tangan, rasanya aku ingin sekali mempercepat waktu hingga jarum pendek menunjuk pada angka 5. Untunglah sekarang aku sudah selesai. Justin akan menjemputku di depan restoran. Ini cukup konyol ketika kau tahu bahwa aku adalah seorang pelayan yang berpacaran dengan seorang kaya raya seperti Justin Lexise. Well, Tuhan itu adil. Tapi kadang kau jarang merasakannya. Aku mengambil mantel yang kugantung di belakang dapur lalu keluar dari pintu belakang restoran. Kulewati lorong yang kotor penuh dengan sampah makanan. Pasti aku sangat bau.
            Keluar dari lorong, mataku langsung dipertemukan dengan seorang pria yang sedang menunggu di depan pintu mobilnya, di pinggir jalan. Aku berjalan sedikit cepat untuk sampai pada Justin. Ia memelukku, mengecup ujung kepalaku, lalu bibirku. Senyumku mengembang.
            “Hari pertama, bagaimana perasaanmu?”
            “Well,” aku melenguh. “Besok aku akan pergi kembali ke sana. Jadi tidak ada yang begitu spesial. Besok aku akan masuk siang, jadi, aku bisa berlama-lama denganmu sampai besok,” ucapku bahagia. Entahlah, ia selalu membuat bibirku menghasilkan senyum bahagia. Melihat wajahnya saja sudah membuatku tersenyum dengan bebas. Semakin aku mencintainya, semakin aku akan mendapatkan rasa cemas yang berlebihan. Tidak, aku tidak boleh cemas akan Justin secara berlebihan. Kugelengkan kepalaku.
            “Oke. Silahkan masuk, Ms. Edwina,” ujar Justin membukakanku pintu mobil bagian depan. Segera saja aku masuk dan Justin menutup pintunya. Justin mulai berjalan dari depan mobil. Jas yang ia pakai berterbangan ketika ia berlari kecil. Rambutnya terkibas-kibas akibat angin yang menerpanya. Dan aku masih bingung mengapa Tuhan menciptakannya begitu sempurna. Atau karena ia adalah orang yang spesial bagiku? Diam-diam aku tersenyum malu karena aku pernah disentuhnya. Ketika ia masuk, ia menghela nafasnya.
            “Ada apa?” Tanya Justin memegang rem tangan. Aku menggeleng-gelengkan kepala lalu menunduk. Oh, ya ampun, mengapa aku sangat malu sekarang? Perasaan ini sama seperti ketika aku masih duduk di sekolah menengah.
            “Baiklah, kalau begitu, ayo kita berangkat,” ucap Justin menurunkan rem tangannya. Mobil mulai melaju dengan kecepatan rata-rata. Justin mulai menyalakan lagu Beyonce, lagu kesukaanku. Sepertinya ia mulai mempelajari arti lagu ini.
            “Ada apa dengan Beyonce?” Tanyaku mengikuti nada bicaranya seperti pertama kali ia bertanya padaku seperti itu. Ia tertawa lalu menggelen-gelengkan kepalanya. Mengapa pria ini adalah pria yang paling bisa membuat senyumanku mengembang? Tawanya benar-benar menular.
            “Ini lagu kesukaanmu, maka kuputarkan agar kau tidak tertidur,”
            “Mengapa memang jika aku tertidur?”
            “Aku tidak bisa mendengar suaramu lagi. Kau cerewet tapi aku menyukainya. Ini keseimbangan. Aku berbicara seperlunya saja, kau berbicara tanpa henti kecuali jika aku tidak memberikan respon. Maka dari itu, bicaralah padaku. Apa yang terjadi padamu hari ini?” Tanyanya tampak begitu bersemangat. Apa yang membuatnya terus tersenyum? Perlu kau tahu, tadi malam ia menginap di rumahku dan hebatnya, ia bekerja dengan pakaian yang ia beli dengan mudah di toko pakaian siang harinya agar ia pergi ke rumah sakitnya. Ia adalah pria sederhana yang segalanya harus instan.
            Percakapan tadi malam sudah meresap di otakku. Meski aku tidak tahu dimana titik kelemahan Justin, tapi aku yakin ia bukanlah pria yang lemah. Mungkin dulu ia memang pria yang lemah maka sekarang ia adalah pria yang kuat. Aku belum mengetahui pria ini lebih dalam lagi. Tapi aku tidak ingin memberikan padanya percakapan yang berat.
            “Well, hari ini aku memiliki teman baru,”
            “Apa dia seorang pria?”
            “Yeah, ia orang Prancis. Oh, kau harus bertemu dengannya Justin. Ia telah mengajarkan beberapa kata dalam bahasa Prancis. Tapi tiap kali ada masalah, ia selalu berkata-kata kotor. Itulah yang tidak kusukai darinya, ia orang Prancis yang kasar,” ucapku melantur. Justin terdiam sebentar lalu mulutnya terbuka.
            “Kurasa kau tidak perlu bekerja di sana lagi,”
            “Oh, Justin, jangan kekanak-kanakan. Kami hanya berteman. Ia tidak akan menyentuhku, tentu saja. Lagipula, ia juga sudah memiliki kekasih. Dan kau tahu siapa kekasihnya? Ia adalah koki di restoran tersebut. Jadi, tidak ada yang perlu kau takutkan,” ucapku. Tangan Justin yang awalnya memegang rem tangan, tiba-tiba saja meraih tanganku yang awalnya berada di atas pahaku. Ia mengelusnya dengan lembut, lalu menariknya mendekat hingga bibirnya lalu mengecupnya.
            “Alasan mengapa aku menyeringai tiap kali aku meninju seseorang adalah karena aku senang. Aku senang karena ia berada di bawah tanganku. Terlebih lagi jika aku meninju orang itu karena ia sudah menyakiti kekasihku. Aku akan sangat senang jika ia masuk rumah sakit atau tidak bernafas. Aku tahu ini menakutkan bagimu, tapi aku harus jujur,” jelas Justin secara tiba-tiba. Tapi aku terdiam. Aku menyaring tiap kata yang keluar dari mulutnya agar aku bisa benar-benar mengerti. Apa itu adalah satu-satunya alasan mengapa ia menyeringai tiap kali ia meninju orang-orang? Termasuk Tn. Alex? Aku selalu merasakan hal yang aneh jika sedang marah atau sedang meninju seseorang. Ada sesuatu yang sampai sekarang aku tidak pernah kuketahui keluar dari tubuhnya. Aura jahat. Aura hitam. Entahlah, perasaanku selalu tidak pernah enak jika berada di sebelah saat ia sedang marah. Well, memang setiap orang seperti itu, tapi jika ia sedang marah, aku seperti sedang berada dalam neraka. Ia seperti Iblis yang sedang menghukum manusia. Hanya tinggal kau beri tanduk maka ia akan menjadi Iblis. Hanya saja ia Iblis yang tampan dan aku adalah kekasihnya.
            “Kau tidak akan meninggalkanku bukan Faith?” Pertanyaan itu juga akan kuajukan padanya. Aku mengangguk kepala.
            “Tidak,” aku menggeleng kepala, lagi. “Tidak jika kau tidak akan membunuh seseorang. Aku tidak mungkin berpacaran dengan seorang pembunuh. Akan ada kemungkinan kau membunuhku jika kau sudah membunuh orang lain Justin, aku hanya, takut,” ucapku. Lagu mulai terganti oleh lagu klasik. Justin tidak bereaksi apa-apa, namun bibirnya berubah menjadi satu garis lurus kaku. Jarinya mulai mengetuk-ketuk setir mobil.
            “Tidurlah,” suruh Justin. “Aku tahu kau lelah. Kita akan mandi bersama,” lanjut Justin. Aku mengangguk. Mandi bersama, aku sudah sering melakukannya dengan Justin. Berendam bersama dengan air hangat. Itu seperti surga dunia. Aku bahkan lebih memilih berendam bersamanya dibanding bersetubuh dengan Justin. Aku mulai memejamkan mataku, berusaha untuk terlelap.

***

            Aku menggigit potongan kue cokelat yang lain. Menikmatinya, meresapinya, mengunyahnya sampai melewati tenggorokanku. Oh, ya Tuhan, cokelat ini sungguh enak dan lezat! Masih dengan pertanyaan yang saman, mengapa Justin tidak suka dengan kue cokelat buatan kakeknya? Dua mata di hadapanku sedang memerhatikanku dengan senyum hangat khas kakek-kakek. Florek tertawa-tawa.
            “Kau…kau benar-benar lucu ketika memakan kue itu. Mengapa kau sangat menyukainya? Carla, pembantu Justin, tidak begitu menikmatinya,”
            “Well, apa aku adalah satu-satunya penggemar kue cokelatmu?” Tanyaku menggigit kuenya.
            “Ya, kau satu-satunya penggemar kue cokelatku. Karena –aku bersumpah—pegawai-pegawaiku tidak terlalu tergila-gila akan kue cokelatku meski mereka menyukainya. Jaga perutmu agar tetap datar,” ucap Florek memberi saran. Kuanggukkan kepala.
            “Florek, ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu,” ucapku menarik kursiku ke depan membuat perpustakan yang hening ini menjadi berisik. Kedua tanganku bertumpu pada meja bacanya lalu mengetuk-ketuknya.
            “Apa itu, anak muda?” Tanyanya yang memakai kacamata.
            Kutarik nafas dalam-dalam. “Ap-apa Justin memang sering menyeringai ketika ia meninju seseorang? Apa dia memiliki kelainan? Mengapa ia berperilaku seperti psikopat?” Tanyaku tidak dapat menahan pertanyaan cadanganku. Florek mengikuti gayaku. Ia berdeham lalu membuka mulutnya, matanya terpejam.
            “Seharusnya aku memberitahumu ini sejak awal. Sejak kau masuk ke dalam rumah ini. Sejak aku masuk ke dalam perpustakaanku dan berbicara denganku. Tapi kau harus berjanji padaku untuk tidak lari dari Justin. Karena ia adalah anak lelaki yang benar-benar membutuhkan kasih sayang utuh dari seorang wanita. Ia bertumbuh tanpa seorang Ibu. Ia membutuhkanmu. Jadi, apa kau akan berjanji untuk tidak lari dari Justin?”
            “Aku akan berusaha,”
            “Apa kau berjanji untuk tidak lari dari Justin?”
            “Aku akan berusaha, Florek,”
            “Apa kau berjanji untuk tidak lari dari Justin?”
            “Aku berjanji,” ucapku. Florek mulai membuka satu laci mejanya. Ia mengeluarkan sesuatu lalu ia memaparkannya ke atas meja. Sebuah amplop besar berwarna cokelat yang masih terikat rapi berada di hadapanku. Aku ingin menyentuhnya, tapi aku juga takut. Lalu Florek mulai membuka ikatan tali itu, mengeluarkan isinya dan membalikkannya. Itu adalah beberapa foto namun ia hanya memperlihatkan bagian belakang.
            “Ini adalah salahku. Baiklah,” Florek menarik nafas. “Justin bertumbuh dengan Ayahnya. Sejak kecil –ketika orangtuanya masih bersama—ia tidak diizinkan oleh Ibunya untuk belajar bela diri dari Ayahnya. Justin awalnya anak laki-laki yang baik, ia tidak pernah melawan hingga ketika orangtuanya bercerai. Ia menjadi anak laki-laki pemberontak yang tidak ingin dibantah. Itu hanya berlaku untuk oranglain, kecuali Ayahnya. Ia benar-benar tunduk pada Ayahnya. Sampai ketika ia masih remaja, Ayahnya mulai mengajarinya bela diri. Ia sangat senang. Ia selalu memukul, meninju, memukul, meninju, hingga ia puas. Oleh sebab itu, ia sering mendapatkan kartu peringatan dari sekolahnya. Bahkan satu kali ia pernah diskors selama satu minggu karena ia berkelahi dengan musuh di sekolahnya,
            “Sejak saat itu aku mulai mengamat-amati tingkah Justin. Tiap kali ia bercerita pada Ayahnya tentang betapa senangnya ia ketika memukul orang. Aku sudah memberitahu pada Ayah Justin untuk tidak menyamakan dirinya dengan anaknya. Namun ternyata semuanya sudah terlanjur. Ketika Ayahnya meninggal, ia benar-benar terpukul. Mulai dari sana, foto-foto ini muncul,” ujar Florek mulai memperlihatkan satu per satu foto-foto yang ia paparkan di hadapanku. Tanganku refleks menutup mulut.
            “Ia membunuh setiap orang yang pernah berhubungan dengan Ayahnya. Hanya satu orang yang benar-benar ia ingin bunuh namun ia tidak pernah bisa membunuhnya,” ucap Florek.
            “Ibunya,” bisikku mendesah. Ya Tuhan, Justin sering membunuh orang? Apa dia gila? Mengapa ia mengabadikan orang-orang yang telah ia bunuh? Florek menganggukkan kepalanya.
            “Benar sekali. Ia tidak pernah bisa membunuh Ibunya. Aku yang memberitahu padanya bahwa keberadaan Justin bukan hanya salah dari Ibunya. Itu salah kedua orangtuanya. Bagaimanapun Ibu Justin adalah Ibunya. Justin ada di dunia ini karena Ibunya. Maka tiap kali Ibunya datang ke rumah ini, Justin tidak pernah berbicara dengannya,”
            “Tunggu dulu, Florek,” aku tidak tahu kalau Justin masih bertemu dengan Ibunya. “Kupikir kau bilang padaku, Ibunya entah pergi kemana,”
            “Ya, aku minta maaf soal itu. Aku tidak pernah memberitahu keberadaan Ibu Justin pada orang lain. Tapi karena kau adalah orang yang cukup dekat denganku dan Justin, jadi, kupikir kau berhak tahu tentang Ibu Justin,”
            “Baiklah, tidak apa-apa,”
            “Justin mengabadikan mayat-mayat yang telah ia bunuh itu agar menjadi peringatan baginya bahwa ia telah membunuh orang-orang itu. Ia akan selalu senang jika ia mengingat pembunuhan itu. Atau bisa kau bilang, ia adalah seorang psikopat yang dapat bersosialisasi. Ia akan membunu tiap orang yang pernah menyakiti orang yang ia sayangi. Termasuk dengan Tn. Alex yang pernah mencoba memperkosamu,”
            “Dari mana kau tahu tentang Tn. Alex itu?”
            “Justin memberitahunya padaku. Ia bilang padaku bahwa ia benar-benar menyesal dan sedih karena ia tidak bisa membuat orang itu berhenti bernafas. Ia memiliki kelainan. Ia psikopat. Seharusnya aku memberitahumu dari awal kau bertemu denganku. Tapi aku bodoh. Aku terlalu terbawa suasana ketika kau datang dan berbicara denganku. Memakan kue cokelatku penuh dengan kesenangan. Kau satu-satunya kekasih Justin yang menyenangkan. Tidak ada kekasih Justin yang berbicara denganku. Jadi, kau gadis spesial di rumah ini,”
            “Terima kasih telah memberitahu ini padaku. Aku sungguh menghargainya. Sekarang aku tahu mengapa Justin sering menyeringai tiap kali ia meninju seseorang,”
            “Kau sudah berjanji padaku, Faith,” Florek memperingatiku. Kuanggukkan kepalaku. Aku memberikan wajah setenang mungkin padanya, tapi di dalam sini aku benar-benar ketakutan. Bagaimana jika Justin akan membunuhku dikemudian hari? Tidak, tidak mungkin Justin membunuhku. Aku termasuk orang yang ia sayang maka dari itu ia berusaha untuk melindungiku tapi dengan cara yang salah.
            “Faith, sayang,” suara Justin menyeruak di telingaku dari luar. Seketika itu juga Florek merapikan foto-foto yang ia paparkan namun terlambat, ketika Justin membuka pintu perpustakaan, Florek melemparnya ke bawah mejanya. Kuharap Justin tidak melihatnya. Aku memutar kepalaku.
            “Hei, Justin,” sapaku, tersenyum. Dari jauh sana aku sekarang bisa melihat Justin yang asli. Betapa menyeramkannya dia. Betapa menakutkannya dia. Dan betapa sadisnya dia. Ketampanannya hanyalah topeng semata yang dapat menenggelamkanku pada kematian. Tapi ia adalah pria yang sering berhubungan badan denganku, berpacaran denganku,  bahkan beberapa jam yang lalu aku baru saja bercinta dengannya di dalam mobil. “Aku baru saja mengobrol dengan Florek. Kau sangat tampak malam ini,”
            “Terima kasih, apa yang kalian bicarakan?”
            “Well, betapa lucunya dirimu ketika kau masih kecil,” ucapku, berbohong. Ya Tuhan, untuk yang pertama kalinya aku berbohong pada Justin. Sebelumnya aku tidak pernah berbohong padanya. Ia berjalan mendekatiku lalu memeluk leherku.
            “Benarkah?” Justin seperti tidak percaya.
            “Justin, bisakah kau membawa Faith keluar? Karena aku membutuhkan ketenangan,” Florek mengusirku dan Justin untuk menghindari percakapan ini dan agar Justin tidak melihat ke bawah. Kuharap ia tidak melihat apa pun.
            “Tentu,” Justin menarik tanganku agar aku berdiri. “Kau tampak sangat cantik malam ini. Rasanya aku tidak sabar untuk melemparmu ke atas tempat tidur. Well, tapi kali ini aku tidak ingin mendapatimu di atas tempat tidur, tapi di atas mobil seperti tadi sore sayang. Ah, itu sangat gila saat kau berada di atas tubuhku,” bayangan-bayangan yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi bayangan-bayangan yang tidak pernah kukira sebelumnya. Ia melemparku ke atas tempat tidur lalu menikamku berkali-kali dengan pisaunya. Secepat mungkin aku menyingkirkan pikiran itu. Tapi Justin tidak membawaku masuk ke dalam kamarnya. Ia membawaku keluar dari rumahnya. Oh, apa yang terjadi? Jantungku mulai berdegup kencang. Justin menutup pintu utama dan akhirnya kami berada di luar rumah.
            “Kau berbohong padaku, Faith,” ucap Justin setajam silet. Urat nadiku tergores oleh ucapan-ucapannya hingga aku tidak tahu harus mengatakan apa pun dan kakiku melemas. “Kau berbohong padaku. Kau sudah tahu tentangku, Faith. Kau tahu aku adalah pembunuh. Foto-foto yang ada di bawah kaki Florek menjelaskan segalanya dan kau berbohong padaku?” Tangan Justin mencengkram salah satu pergelangan tanganku dengan kencang hingga aku meringis. Tidak, kugelengkan kepalaku.
            “Tidak,” aku dapat merasakan aura jahat yang biasa ia keluarkan kembali. Ya Tuhan.
            “Kau pembohong. Dan kau telah tahu bahwa aku adalah pembunuh. Kau tidak boleh memberitahu pada siapa pun tentang ini, Faith. Kau harus berjanji apdaku. Kau harus keluar kehidupanku sekarang, Faith. Terima kasih atas segalanya,”
            “Justin, tidak! Aku sudah berjanji pada Florek untuk tidak meninggalkanmu. Aku tidak akan meninggalkanmu,” kugelengkan kepalaku, air mataku mulai menangis. Tanganku semakin dipegang kencang olehnya. Aku meringis.

            “Tidak, Faith! Kau pergi, sekarang!” Teriak Justin membentak lalu melepaskan tanganku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar