CHAPTER THIRTEEN
AUTHOR
Tidak ada yang dilakukan oleh pria
yang memiliki tatapan tajam itu. Ia hanya duduk dan menatap lantai yang
dipijaki. Ia telah memakai piama tidurnya yang berwarna hitam. Pria ini
tampaknya sangat menyenangi warna hitam. Termasuk jiwanya yang begitu gelap
seperti warna hitam. Pikirannya sekarang benar-benar kacau tapi hebatnya, raut
wajah datar membuatnya tak terlihat apa semuanya berjalan dengan baik atau
tidak. Alisnya mulai menyatu, bibirnya ia lipat ke dalam lalu ia menghela
nafasnya melalui mulut. Yang sekarang ia pikirkan adalah kekasihnya yang telah
bertanya-tanya tentang diri pria ini, mengapa ia selalu menyeringai ketika ia
meninju seseorang? Bukankah itu tanda-tanda dari Iblis yang menggoda manusia?
Segalanya terlihat begitu asli ketika pria ini memukul seseorang. Apa yang
sebenarnya pria tampan menakutkan ini rahasiakan? Sudah sebulan lebih pria ini
dengan kekasihnya bersama-sama menjalani hari-hari dengan nafsu namun tidak ada
kalimat “aku mencintaimu” dari keduanya. Justin, dia tentu bukanlah tipikal
pria yang akan menyatakan cinta tiap hari, tiap jam, atau sebelum tidur dan
ketika di pagi hari. Terlihat dari tampangnya yang bukan seorang playboy. Ia pria yang memegang
kata-katanya, mengontrol semuanya, dan apa yang ia miliki akan ia jaga sebaik
mungkin.
Termasuk kekasihnya. Justin memang
merasakan “kebahagiaan” ketika ia bertemu dengan Faith. Apa itu adalah
tanda-tanda seorang pria bahagia? Tiap ia bangun di pagi hari, seseorang yang
harus ia temui adalah Faith. Setidaknya, ia harus mendengarkan suara Faith yang
lembut. Tapi apakah perasaan ini akan bertahan lama? Begitu berat cobaannya
ketika ia keluar dari kamarnya dan melihat mantan submisifnya yang selalu
berpakaian seksi lalu menyapa Justin. Justin tentu tidak dapat menyalahkan
Carla yang memang sejak dulu sering memakai pakaian seksi dan pas dengan
tubuhnya. Ia merasa tidak enak jika ia harus mengusir Carla dari rumahnya
dengan alasan yang tidak masuk akal. Lagipula, Carla termasuk teman dekatnya.
Biasanya Justin menceritakan masalah-masalahnya pada Carla lalu Carla akan
memberikan solusi yang mungkin dapat membantu Justin. Tapi sebenarnya, dari
setiap pertemuan mereka, ada keinginan dari Justin untuk melepaskan satu per
satu pakaian yang menempel di tubuh Carla lalu menyetubuhinya sama seperti dulu
ia pernah menyetubuhi Carla. Namun, nama Faith selalu berada di otaknya.
Seluruh niatannya untuk bersetubuh dengan Carla ia urungkan. Ia tidak mungkin
mengkhianati Faith. Justin menggeleng-gelengkan kepalanya.
Acara televisi yang tadinya ia
tonton sekarang tidak menarik bagi Justin. Karena memang pada dasarnya ia tidak
begitu senang menonton film atau semacamnya. Kedatangan Faith yang membuatnya
lepas dari lamunannya. Ia tersenyum pada Faith yang telah memakai pakaian yang
Justin sarankan. Celana pendek berwarna hitam yang panjangnya 4 inchi dari
lututnya dengan kaos berwarna putih transparan. Bra biru muda yang Faith pakai terlihat
karena itu Faith melipat lengannya, ia malu akan tatapan Justin yang sepertinya
akan melahap dirinya.
“Mengapa harus malu-malu padaku?”
Tanya Justin ketika Faith sudah terduduk di sebelahnya. Ia langsung memeluk
pundak Faith hingga kepala Faith bersandar di atas dadanya. Mereka tampak
serasi saat mereka bersama-sama. Tersenyum bersama. Seperti tak ada masalah.
Hanya tinggal seorang anak kecil yang berada di tengah-tengah mereka maka
mereka adalah keluarga bahagia.
“Entahlah, setiap kali kau
menatapku, aku selalu merinding. Bukan,” –Faith menggelengkan kepala—“bukan
karena kau seksi atau apa pun, tapi kau sangat menakutkan saat menatapku
seperti tadi. Nah, kau juga belum menjawab pertanyaanku tadi. Di dalam mobil,
kau terus diam. Jadi, mengapa?” Tanya Faith. Bibir seksi itu harus disumpal
oleh bibir Justin agar Faith tetap diam dan tidak banyak bertanya. Tapi sungguh
menyenangkan berbicara dengan orang seperti Faith. Wajah Faith bukanlah
wajah-wajah wanita sinis, ia memiliki karakter wajah yang penuh kedamaian.
“Aku tidak tahu,” Justin berucap
penuh dengan ketidakpedulian. “Apakah kau sadar selama ini aku tidak pernah
menyatakan cinta padamu?” Tanya Justin mengubah topik pembicaraan. Faith, gadis
ini memang selalu mengikuti alur percakapan meski percakapan itu tidak sama
sekali penting untuk dibicarakan. Itu sebabnya banyak lelaki yang menyukainya.
“Ya, kau benar. Kalau begitu, aku
mencintaimu, Justin Lexise. Kuharap masalah-masalah yang menanti di depan sana
akan kita lalui bersama-sama. Berjanjilah padaku untuk tidak meninggalkanku,”
ucap Faith dengan gerakan yang cepat berpindah dari tempatnya yang sekarang
telah berada di atas tubuh Justin. Ia memeluk leher Justin dan menempatkan
dagunya di atas bahu Justin. Tempat yang benar-benar ia sukai adalah berada
dalam pelukan Justin. Tenang. Seolah-olah detak jantung mereka berdenyut
bersama-sama, aliran darah yang mendesir di bawah kulit mereka menghangatkan tubuh
mereka sangat nyaman, dan nafas mereka yang saling bersahutan menjadi
percakapan di setiap keheningan. Terkadang diam akan menjelaskan segalanya.
Justin memeluk pinggang gadisnya yang berada di atas tubuhnya, ia mendesah
pelan, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku akan mencobanya,” bisik Justin
di antara leher Faith. Tangan Faith yang melingkar di sekitar leher Justin
semakin mengerat, semakin mengikat dan seolah-olah tidak ada yang boleh menarik
Faith dari Justin. Sebenarnya Faith tidak ingin menangis sekarang, namun
keadaan memaksa air mata itu keluar dari pelupuk matanya. Kemudian air mata
jernih itu mengalir melalui pipi putihnya yang lembut.
“Aku mencintaimu, Justin Lexise. Kehilanganmu
termasuk ketakutan terbesarku. Kuharap hubungan ini tidak akan putus. My dominant, my Master,” bisik Faith
mencium leher Justin. Suara seraknya membuat kedua alis Justin menyatu. Ketakutan
itu mulai menyeruak di seluruh tubuh Faith, ia menggigil. Oh, seorang sanguine,
ia selalu mendalami perasaannya. Justin mengelus punggung Faith, tidak ada yang
bisa ia lakukan selain membuat kekasihnya tenang.
“Aku punya pertanyaan untukmu,
Justin,” suara serak Faith terdengar kembali. Faith menyeka air matanya lalu
hidungnya. Ia menarik nafasnya dalam-dalam. Dada Faith yang menekan Justin
benar-benar menyiksa! Bagaimana bisa ketika kekasihnya menangis, Justin masih
dapat merasakan kekenyalan dari bagian tubuh kekasihnya? Sebisa mungkin ia
tidak memikirkan pikiran-pikiran kotor yang mulai menyerang otaknya.
“Apa pun pertanyaan itu, pasti akan
kujawab,”
“Apa kau berpacaran denganku karena
cinta atau hanya seks semata?” Pertanyaan sederhana untuk para pria pecinta.
Seharusnya Justin bisa menjawabnya dengan mudah, tapi kenyataannya otaknya
harus berpikir terlebih dahulu sebelum segalanya hancur. Justin masih belum
tahu apa ia mencintai kekasihnya atau tidak karena hubungan ini hanyalah
percobaan yang akan menjadi percobaan yang gagal. Yang akan sama seperti
hubungannya dengan kekasihnya yang dulu.
“Aku masih tidak dapat
menganalisisnya dalam waktu yang singkat. Awalnya aku tidak ingin pacaran
denganmu, namun kau memintaku untuk mencoba menjalani hubungan ini. Tapi aku
berpacaran denganmu bukan karena seks semata. Itu sungguh jahat. Aku tidak
mungkin sejahat itu padamu,” jelas Justin bersandar di kepala Faith. Justin
tidak pernah merasa sedekat ini dengan seorang wanita. Terlebih lagi gadis
polos seperti Faith. Seharusnya malam ini ia memegang pecut atau berhubungan
badan dengan kekasihnya, tapi tentu dengan keadaan seperti ini tidak akan
mendukung untuk melakukan hal itu.
“Berarti kau mencintaiku,” bisik
Faith menarik nafasnya. Begitu banyak skenario yang berjalan di otak Faith.
Bagaimana jika ia menikah dengan Justin? Ia akan memiliki anak-anak yang tampan
dan cantik jika ia menikah dengan Justin. Memiliki kehidupan yang lebih baik dari
yang sebelumnya. Terlebih lagi memiliki suami yang luar biasa peduli dan
mencintainya apa adanya. Bagaimana bisa orang kaya seperti Justin dapat
bersandar di sebuah sofa murahan dalam apartemen kecil? Ia cukup berhati besar.
Ini juga salah satu alasan mengapa Faith mencintai Justin. Justin tidak memandang
kekurangan kekasihnya. Semuanya terlihat baik-baik saja, namun Faith sadar, di
depan sana ia akan bertemu dengan batu kerikil yang akan membuatnya bertumbuh
bersama dengan Justin dalam hubungan ini.
“Faith, kau akan lebih memilih
seseorang yang lemah atau yang kuat?” Tanya Justin tiba-tiba. Entah topik itu
muncul karena apa namun Faith menjawabnya.
“Lemah,”
“Mengapa?”
“Well, orang yang lemah dapat
menjadi orang yang kuat. Namun tidak selamanya orang kuat terus menjadi kuat,
pasti ia akan pernah berada dalam titik lemahnya. Mengapa kau bertanya seperti
itu?” Tanya Faith menarik dirinya dari tubuh Justin.
“Well, aku adalah orang kuat itu,” bisik
Justin.
***
FAITH
Aku menghela nafas panjang. Oh, ya
ampun, hari yang cukup melelahkan. Hari pertama di restoran ini cukup menguras
tenagaku. Ternyata menjadi seorang pelayan cukuplah susah. Tiap kali aku
menatap jam tangan, rasanya aku ingin sekali mempercepat waktu hingga jarum
pendek menunjuk pada angka 5. Untunglah sekarang aku sudah selesai. Justin akan
menjemputku di depan restoran. Ini cukup konyol ketika kau tahu bahwa aku
adalah seorang pelayan yang berpacaran dengan seorang kaya raya seperti Justin
Lexise. Well, Tuhan itu adil. Tapi kadang kau jarang merasakannya. Aku
mengambil mantel yang kugantung di belakang dapur lalu keluar dari pintu
belakang restoran. Kulewati lorong yang kotor penuh dengan sampah makanan.
Pasti aku sangat bau.
Keluar dari lorong, mataku langsung
dipertemukan dengan seorang pria yang sedang menunggu di depan pintu mobilnya,
di pinggir jalan. Aku berjalan sedikit cepat untuk sampai pada Justin. Ia
memelukku, mengecup ujung kepalaku, lalu bibirku. Senyumku mengembang.
“Hari pertama, bagaimana
perasaanmu?”
“Well,” aku melenguh. “Besok aku
akan pergi kembali ke sana. Jadi tidak ada yang begitu spesial. Besok aku akan
masuk siang, jadi, aku bisa berlama-lama denganmu sampai besok,” ucapku
bahagia. Entahlah, ia selalu membuat bibirku menghasilkan senyum bahagia.
Melihat wajahnya saja sudah membuatku tersenyum dengan bebas. Semakin aku
mencintainya, semakin aku akan mendapatkan rasa cemas yang berlebihan. Tidak,
aku tidak boleh cemas akan Justin secara berlebihan. Kugelengkan kepalaku.
“Oke. Silahkan masuk, Ms. Edwina,”
ujar Justin membukakanku pintu mobil bagian depan. Segera saja aku masuk dan
Justin menutup pintunya. Justin mulai berjalan dari depan mobil. Jas yang ia
pakai berterbangan ketika ia berlari kecil. Rambutnya terkibas-kibas akibat
angin yang menerpanya. Dan aku masih bingung mengapa Tuhan menciptakannya
begitu sempurna. Atau karena ia adalah orang yang spesial bagiku? Diam-diam aku
tersenyum malu karena aku pernah disentuhnya. Ketika ia masuk, ia menghela
nafasnya.
“Ada apa?” Tanya Justin memegang rem
tangan. Aku menggeleng-gelengkan kepala lalu menunduk. Oh, ya ampun, mengapa
aku sangat malu sekarang? Perasaan ini sama seperti ketika aku masih duduk di
sekolah menengah.
“Baiklah, kalau begitu, ayo kita
berangkat,” ucap Justin menurunkan rem tangannya. Mobil mulai melaju dengan
kecepatan rata-rata. Justin mulai menyalakan lagu Beyonce, lagu kesukaanku.
Sepertinya ia mulai mempelajari arti lagu ini.
“Ada apa dengan Beyonce?” Tanyaku
mengikuti nada bicaranya seperti pertama kali ia bertanya padaku seperti itu.
Ia tertawa lalu menggelen-gelengkan kepalanya. Mengapa pria ini adalah pria
yang paling bisa membuat senyumanku mengembang? Tawanya benar-benar menular.
“Ini lagu kesukaanmu, maka
kuputarkan agar kau tidak tertidur,”
“Mengapa memang jika aku tertidur?”
“Aku tidak bisa mendengar suaramu
lagi. Kau cerewet tapi aku menyukainya. Ini keseimbangan. Aku berbicara
seperlunya saja, kau berbicara tanpa henti kecuali jika aku tidak memberikan
respon. Maka dari itu, bicaralah padaku. Apa yang terjadi padamu hari ini?” Tanyanya
tampak begitu bersemangat. Apa yang membuatnya terus tersenyum? Perlu kau tahu,
tadi malam ia menginap di rumahku dan hebatnya, ia bekerja dengan pakaian yang
ia beli dengan mudah di toko pakaian siang harinya agar ia pergi ke rumah
sakitnya. Ia adalah pria sederhana yang segalanya harus instan.
Percakapan tadi malam sudah meresap
di otakku. Meski aku tidak tahu dimana titik kelemahan Justin, tapi aku yakin
ia bukanlah pria yang lemah. Mungkin dulu ia memang pria yang lemah maka
sekarang ia adalah pria yang kuat. Aku belum mengetahui pria ini lebih dalam
lagi. Tapi aku tidak ingin memberikan padanya percakapan yang berat.
“Well, hari ini aku memiliki teman
baru,”
“Apa dia seorang pria?”
“Yeah, ia orang Prancis. Oh, kau
harus bertemu dengannya Justin. Ia telah mengajarkan beberapa kata dalam bahasa
Prancis. Tapi tiap kali ada masalah, ia selalu berkata-kata kotor. Itulah yang
tidak kusukai darinya, ia orang Prancis yang kasar,” ucapku melantur. Justin
terdiam sebentar lalu mulutnya terbuka.
“Kurasa kau tidak perlu bekerja di
sana lagi,”
“Oh, Justin, jangan kekanak-kanakan.
Kami hanya berteman. Ia tidak akan menyentuhku, tentu saja. Lagipula, ia juga
sudah memiliki kekasih. Dan kau tahu siapa kekasihnya? Ia adalah koki di
restoran tersebut. Jadi, tidak ada yang perlu kau takutkan,” ucapku. Tangan
Justin yang awalnya memegang rem tangan, tiba-tiba saja meraih tanganku yang
awalnya berada di atas pahaku. Ia mengelusnya dengan lembut, lalu menariknya
mendekat hingga bibirnya lalu mengecupnya.
“Alasan mengapa aku menyeringai tiap
kali aku meninju seseorang adalah karena aku senang. Aku senang karena ia
berada di bawah tanganku. Terlebih lagi jika aku meninju orang itu karena ia
sudah menyakiti kekasihku. Aku akan sangat senang jika ia masuk rumah sakit
atau tidak bernafas. Aku tahu ini menakutkan bagimu, tapi aku harus jujur,”
jelas Justin secara tiba-tiba. Tapi aku terdiam. Aku menyaring tiap kata yang
keluar dari mulutnya agar aku bisa benar-benar mengerti. Apa itu adalah
satu-satunya alasan mengapa ia menyeringai tiap kali ia meninju orang-orang?
Termasuk Tn. Alex? Aku selalu merasakan hal yang aneh jika sedang marah atau
sedang meninju seseorang. Ada sesuatu yang sampai sekarang aku tidak pernah
kuketahui keluar dari tubuhnya. Aura jahat. Aura hitam. Entahlah, perasaanku
selalu tidak pernah enak jika berada di sebelah saat ia sedang marah. Well,
memang setiap orang seperti itu, tapi jika ia sedang marah, aku seperti sedang
berada dalam neraka. Ia seperti Iblis yang sedang menghukum manusia. Hanya
tinggal kau beri tanduk maka ia akan menjadi Iblis. Hanya saja ia Iblis yang
tampan dan aku adalah kekasihnya.
“Kau tidak akan meninggalkanku bukan
Faith?” Pertanyaan itu juga akan kuajukan padanya. Aku mengangguk kepala.
“Tidak,” aku menggeleng kepala,
lagi. “Tidak jika kau tidak akan membunuh seseorang. Aku tidak mungkin
berpacaran dengan seorang pembunuh. Akan ada kemungkinan kau membunuhku jika
kau sudah membunuh orang lain Justin, aku hanya, takut,” ucapku. Lagu mulai
terganti oleh lagu klasik. Justin tidak bereaksi apa-apa, namun bibirnya berubah
menjadi satu garis lurus kaku. Jarinya mulai mengetuk-ketuk setir mobil.
“Tidurlah,” suruh Justin. “Aku tahu
kau lelah. Kita akan mandi bersama,” lanjut Justin. Aku mengangguk. Mandi
bersama, aku sudah sering melakukannya dengan Justin. Berendam bersama dengan
air hangat. Itu seperti surga dunia. Aku bahkan lebih memilih berendam
bersamanya dibanding bersetubuh dengan Justin. Aku mulai memejamkan mataku,
berusaha untuk terlelap.
***
Aku menggigit potongan kue cokelat
yang lain. Menikmatinya, meresapinya, mengunyahnya sampai melewati
tenggorokanku. Oh, ya Tuhan, cokelat ini sungguh enak dan lezat! Masih dengan
pertanyaan yang saman, mengapa Justin tidak suka dengan kue cokelat buatan
kakeknya? Dua mata di hadapanku sedang memerhatikanku dengan senyum hangat khas
kakek-kakek. Florek tertawa-tawa.
“Kau…kau benar-benar lucu ketika
memakan kue itu. Mengapa kau sangat menyukainya? Carla, pembantu Justin, tidak
begitu menikmatinya,”
“Well, apa aku adalah satu-satunya
penggemar kue cokelatmu?” Tanyaku menggigit kuenya.
“Ya, kau satu-satunya penggemar kue
cokelatku. Karena –aku bersumpah—pegawai-pegawaiku tidak terlalu tergila-gila
akan kue cokelatku meski mereka menyukainya. Jaga perutmu agar tetap datar,”
ucap Florek memberi saran. Kuanggukkan kepala.
“Florek, ada satu hal yang ingin
kutanyakan padamu,” ucapku menarik kursiku ke depan membuat perpustakan yang
hening ini menjadi berisik. Kedua tanganku bertumpu pada meja bacanya lalu
mengetuk-ketuknya.
“Apa itu, anak muda?” Tanyanya yang
memakai kacamata.
Kutarik nafas dalam-dalam. “Ap-apa
Justin memang sering menyeringai ketika ia meninju seseorang? Apa dia memiliki
kelainan? Mengapa ia berperilaku seperti psikopat?” Tanyaku tidak dapat menahan
pertanyaan cadanganku. Florek mengikuti gayaku. Ia berdeham lalu membuka
mulutnya, matanya terpejam.
“Seharusnya aku memberitahumu ini
sejak awal. Sejak kau masuk ke dalam rumah ini. Sejak aku masuk ke dalam
perpustakaanku dan berbicara denganku. Tapi kau harus berjanji padaku untuk
tidak lari dari Justin. Karena ia adalah anak lelaki yang benar-benar
membutuhkan kasih sayang utuh dari seorang wanita. Ia bertumbuh tanpa seorang
Ibu. Ia membutuhkanmu. Jadi, apa kau akan berjanji untuk tidak lari dari
Justin?”
“Aku akan berusaha,”
“Apa kau berjanji untuk tidak lari
dari Justin?”
“Aku akan berusaha, Florek,”
“Apa kau berjanji untuk tidak lari
dari Justin?”
“Aku berjanji,” ucapku. Florek mulai
membuka satu laci mejanya. Ia mengeluarkan sesuatu lalu ia memaparkannya ke
atas meja. Sebuah amplop besar berwarna cokelat yang masih terikat rapi berada
di hadapanku. Aku ingin menyentuhnya, tapi aku juga takut. Lalu Florek mulai
membuka ikatan tali itu, mengeluarkan isinya dan membalikkannya. Itu adalah
beberapa foto namun ia hanya memperlihatkan bagian belakang.
“Ini adalah salahku. Baiklah,”
Florek menarik nafas. “Justin bertumbuh dengan Ayahnya. Sejak kecil –ketika
orangtuanya masih bersama—ia tidak diizinkan oleh Ibunya untuk belajar bela
diri dari Ayahnya. Justin awalnya anak laki-laki yang baik, ia tidak pernah melawan
hingga ketika orangtuanya bercerai. Ia menjadi anak laki-laki pemberontak yang
tidak ingin dibantah. Itu hanya berlaku untuk oranglain, kecuali Ayahnya. Ia
benar-benar tunduk pada Ayahnya. Sampai ketika ia masih remaja, Ayahnya mulai
mengajarinya bela diri. Ia sangat senang. Ia selalu memukul, meninju, memukul,
meninju, hingga ia puas. Oleh sebab itu, ia sering mendapatkan kartu peringatan
dari sekolahnya. Bahkan satu kali ia pernah diskors selama satu minggu karena
ia berkelahi dengan musuh di sekolahnya,
“Sejak saat itu aku mulai
mengamat-amati tingkah Justin. Tiap kali ia bercerita pada Ayahnya tentang
betapa senangnya ia ketika memukul orang. Aku sudah memberitahu pada Ayah
Justin untuk tidak menyamakan dirinya dengan anaknya. Namun ternyata semuanya
sudah terlanjur. Ketika Ayahnya meninggal, ia benar-benar terpukul. Mulai dari
sana, foto-foto ini muncul,” ujar Florek mulai memperlihatkan satu per satu
foto-foto yang ia paparkan di hadapanku. Tanganku refleks menutup mulut.
“Ia membunuh setiap orang yang
pernah berhubungan dengan Ayahnya. Hanya satu orang yang benar-benar ia ingin
bunuh namun ia tidak pernah bisa membunuhnya,” ucap Florek.
“Ibunya,” bisikku mendesah. Ya
Tuhan, Justin sering membunuh orang? Apa dia gila? Mengapa ia mengabadikan orang-orang
yang telah ia bunuh? Florek menganggukkan kepalanya.
“Benar sekali. Ia tidak pernah bisa
membunuh Ibunya. Aku yang memberitahu padanya bahwa keberadaan Justin bukan
hanya salah dari Ibunya. Itu salah kedua orangtuanya. Bagaimanapun Ibu Justin adalah
Ibunya. Justin ada di dunia ini karena Ibunya. Maka tiap kali Ibunya datang ke
rumah ini, Justin tidak pernah berbicara dengannya,”
“Tunggu dulu, Florek,” aku tidak
tahu kalau Justin masih bertemu dengan Ibunya. “Kupikir kau bilang padaku,
Ibunya entah pergi kemana,”
“Ya, aku minta maaf soal itu. Aku
tidak pernah memberitahu keberadaan Ibu Justin pada orang lain. Tapi karena kau
adalah orang yang cukup dekat denganku dan Justin, jadi, kupikir kau berhak
tahu tentang Ibu Justin,”
“Baiklah, tidak apa-apa,”
“Justin mengabadikan mayat-mayat
yang telah ia bunuh itu agar menjadi peringatan baginya bahwa ia telah membunuh
orang-orang itu. Ia akan selalu senang jika ia mengingat pembunuhan itu. Atau
bisa kau bilang, ia adalah seorang psikopat yang dapat bersosialisasi. Ia akan
membunu tiap orang yang pernah menyakiti orang yang ia sayangi. Termasuk dengan
Tn. Alex yang pernah mencoba memperkosamu,”
“Dari mana kau tahu tentang Tn. Alex
itu?”
“Justin memberitahunya padaku. Ia
bilang padaku bahwa ia benar-benar menyesal dan sedih karena ia tidak bisa
membuat orang itu berhenti bernafas. Ia memiliki kelainan. Ia psikopat.
Seharusnya aku memberitahumu dari awal kau bertemu denganku. Tapi aku bodoh.
Aku terlalu terbawa suasana ketika kau datang dan berbicara denganku. Memakan
kue cokelatku penuh dengan kesenangan. Kau satu-satunya kekasih Justin yang
menyenangkan. Tidak ada kekasih Justin yang berbicara denganku. Jadi, kau gadis
spesial di rumah ini,”
“Terima kasih telah memberitahu ini
padaku. Aku sungguh menghargainya. Sekarang aku tahu mengapa Justin sering
menyeringai tiap kali ia meninju seseorang,”
“Kau sudah berjanji padaku, Faith,”
Florek memperingatiku. Kuanggukkan kepalaku. Aku memberikan wajah setenang
mungkin padanya, tapi di dalam sini aku benar-benar ketakutan. Bagaimana jika
Justin akan membunuhku dikemudian hari? Tidak, tidak mungkin Justin membunuhku.
Aku termasuk orang yang ia sayang maka dari itu ia berusaha untuk melindungiku
tapi dengan cara yang salah.
“Faith, sayang,” suara Justin
menyeruak di telingaku dari luar. Seketika itu juga Florek merapikan foto-foto
yang ia paparkan namun terlambat, ketika Justin membuka pintu perpustakaan,
Florek melemparnya ke bawah mejanya. Kuharap Justin tidak melihatnya. Aku
memutar kepalaku.
“Hei, Justin,” sapaku, tersenyum.
Dari jauh sana aku sekarang bisa melihat Justin yang asli. Betapa
menyeramkannya dia. Betapa menakutkannya dia. Dan betapa sadisnya dia.
Ketampanannya hanyalah topeng semata yang dapat menenggelamkanku pada kematian.
Tapi ia adalah pria yang sering berhubungan badan denganku, berpacaran
denganku, bahkan beberapa jam yang lalu
aku baru saja bercinta dengannya di dalam mobil. “Aku baru saja mengobrol
dengan Florek. Kau sangat tampak malam ini,”
“Terima kasih, apa yang kalian
bicarakan?”
“Well, betapa lucunya dirimu ketika
kau masih kecil,” ucapku, berbohong. Ya Tuhan, untuk yang pertama kalinya aku
berbohong pada Justin. Sebelumnya aku tidak pernah berbohong padanya. Ia
berjalan mendekatiku lalu memeluk leherku.
“Benarkah?” Justin seperti tidak
percaya.
“Justin, bisakah kau membawa Faith
keluar? Karena aku membutuhkan ketenangan,” Florek mengusirku dan Justin untuk
menghindari percakapan ini dan agar Justin tidak melihat ke bawah. Kuharap ia
tidak melihat apa pun.
“Tentu,” Justin menarik tanganku
agar aku berdiri. “Kau tampak sangat cantik malam ini. Rasanya aku tidak sabar
untuk melemparmu ke atas tempat tidur. Well, tapi kali ini aku tidak ingin
mendapatimu di atas tempat tidur, tapi di atas mobil seperti tadi sore sayang.
Ah, itu sangat gila saat kau berada di atas tubuhku,” bayangan-bayangan yang
seharusnya menyenangkan berubah menjadi bayangan-bayangan yang tidak pernah
kukira sebelumnya. Ia melemparku ke atas tempat tidur lalu menikamku
berkali-kali dengan pisaunya. Secepat mungkin aku menyingkirkan pikiran itu.
Tapi Justin tidak membawaku masuk ke dalam kamarnya. Ia membawaku keluar dari
rumahnya. Oh, apa yang terjadi? Jantungku mulai berdegup kencang. Justin
menutup pintu utama dan akhirnya kami berada di luar rumah.
“Kau berbohong padaku, Faith,” ucap
Justin setajam silet. Urat nadiku tergores oleh ucapan-ucapannya hingga aku
tidak tahu harus mengatakan apa pun dan kakiku melemas. “Kau berbohong padaku.
Kau sudah tahu tentangku, Faith. Kau tahu aku adalah pembunuh. Foto-foto yang
ada di bawah kaki Florek menjelaskan segalanya dan kau berbohong padaku?”
Tangan Justin mencengkram salah satu pergelangan tanganku dengan kencang hingga
aku meringis. Tidak, kugelengkan
kepalaku.
“Tidak,” aku dapat merasakan aura jahat
yang biasa ia keluarkan kembali. Ya Tuhan.
“Kau pembohong. Dan kau telah tahu
bahwa aku adalah pembunuh. Kau tidak boleh memberitahu pada siapa pun tentang
ini, Faith. Kau harus berjanji apdaku. Kau harus keluar kehidupanku sekarang,
Faith. Terima kasih atas segalanya,”
“Justin, tidak! Aku sudah berjanji
pada Florek untuk tidak meninggalkanmu. Aku tidak akan meninggalkanmu,”
kugelengkan kepalaku, air mataku mulai menangis. Tanganku semakin dipegang
kencang olehnya. Aku meringis.
“Tidak, Faith! Kau pergi, sekarang!”
Teriak Justin membentak lalu melepaskan tanganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar