Senin, 16 Desember 2013

Right Mistakes Bab 14

CHAPTER FOURTEEN

JUSTIN

            Darah segar mengalir di tanganku. Tidak peduli betapa sakitnya luka gores yang menghasilkan darah ini. Aku senang melihat darah. Aku senang jika diriku diliputi oleh perasaan bahagia namun orang lain tidak akan pernah mengerti perasaan ini, kecuali Ayahku. Sial, tapi perasaan itu sedang tidak meliputi diriku. Kekecewaan sekaligus ketakutan sedang menghampiri diriku. Inilah titik kelemahanku. Aku adalah orang kuat yang jatuh, kalah di sebuah pertandingan. Hanya karena seorang wanita yang kuusir dari rumah ini. Ini semua bukan skenario yang kuinginkan. Belum saatnya ia mengetahui aku adalah seorang psikopat. Tapi terlanjur, aku tidak bisa menyalahkan kakekku. Semua ini memang salahku karena telah merahasiakan ini sejak awal. Kakekku tentu akan melindungi –mantan—kekasihku dari sifatku yang bisa dibilang tidak dapat dikontrol. Kugelengkan kepalaku, berusaha untuk tidak merasa kehilangan. Dia pembohong, yeah, dia hanyalah seorang pengkhianat. Dia sama seperti wanita-wanita lainnya yang berbohong padaku. Mengapa ia tidak ingin memberitahu padaku yang sebenarnya? Sekalipun ia telah berjanji untuk tidak akan meninggalkanku. Aku tidak ingin berada di sisinya jika tiap kali ia menatapku dengan tatapan penuh rasa takut. Aku tahu apa yang ada dipikiran Faith. Semua yang seharusnya berjalan dengan baik, hancur dengan mudah. Dan aku harus membunuh Florek karena ia yang membuat rahasiaku terbongkar! Sialan! Aku telah menaruh kepercayaanku padanya dan ia membocorkannya pada orang yang tidak ingin berpacaran dengan seorang psikopat? Sekarang aku tidak peduli apakah ia kakekku atau bukan. Ini semua tentang kejujuran dan kepercayaan!
            Mata Faith yang menatapku penuh ketakutan untuk yang pertama kalinya di dalam perpustakaan tadi menjelaskan segalanya. Terlebih lagi satu buah foto mayat yang pernah kubunuh berada di bawah kaki kakekku. Dan ia berbohong padaku? Oh, Faith harus tahu kalau ia bukanlah seorang yang bisa berbohong. Perbedaan dari mata dan mulut sangatlah terlihat. Dari jarak jauh ia menatapku seolah-olah aku adalah penjahat yang akan membunuhnya. Tapi kenyataan mengatakan padaku bahwa aku mencintainya. Sebelum aku tahu ia berbohong padaku dan mengetahui siapa diriku yang sebenarnya. Aku masih belum bisa terbuka padanya. Terpaksa aku mengusir Faith karena aku tidak mau Faith tersakiti oleh tanganku sendiri. Aku mungkin tidak akan mau bertemu dengan Faith lagi. Mungkin tadi adalah perpisahan terakhir yang cukup tragis bagiku dan dirinya. Biarkan ini menjadi pelajaran bagiku. Dan hutang Ibu Faith padaku sudah sepenuhnya lunas padaku. Aku telah merasakan tubuh anaknya yang lezat. Dan mungkin tambahan ekstra, kelembutannya.
            Ketukan pintu membuat kepalaku mendongak langsung menatap cermin bundar yang sudah retak akibat tinjuan berlumuran darah. Cerminanku bagaikan Iblis. Aku memang berperan sebagai Iblis sekarang. Apa yang dikatakan Faith padaku adalah sepenuhnya benar. Ada Iblis dalam tubuhku. Faith adalah Malaikat. Iblis dan Malaikat sangatlah berbeda. Tak pernah tersentuh sekalipun. Bagaikan langit dan bumi yang tidak akan pernah menyentuh satu sama lain. Ketukan pintu itu kembali terdengar.
            “Masuklah,” ucapku menjauh dari cermin. Carla muncul dari pintu kamarku dengan pakaian tidurnya. Ia terlihat cantik. Gaun tidurnya benar-benar tipis, sial, mengapa membuat segalanya semakin sulit? Tidak, aku baru saja kehilangan Faith. Ia tidak mungkin mengambil kesempatan dalam kesempitan seperti ini. Ternyata dugaanku salah, ia membawa sebuah kotak obat. Mengapa ia tahu bahwa aku terluka?
            “Aku mendengar suara pecahan kaca dari luar. Kurasa kau terluka, jadi aku datang membawa ini,” ucapnya menjawab pertanyaan dalam pikiranku. Aku mengangguk, berjalan menuju tempat tidur. Pencahayaan kamarku yang remang-remang semakin mendukung suasana. Carla berjalan lalu menutup pintu. “Aku sungguh menyesal mendengar pertengkaranmu dengan Faith, tapi sebenarnya, ia adalah gadis yang sangat baik, Justin,” ucap Carla mengungkit permasalahanku. Tapi tidak ada yang bisa kukatan selain mengangguk kepala. Aku terduduk di atas ranjang dan ia ikut menyusul terduduk di sebelahku. Ia mulai membuka kotak obat dan mulai mengobatiku.
            “Pelajaran di rumah sakit cukup membantu,” komentarku. “Kau benar tentang Faith. Tapi ini semua adalah salahku. Aku tidak mungkin menariknya kembali ke dalam pelukanku. Ia memang satu-satunya gadis yang pernah membuatku sebagai seorang pria terbahagia di dunia, tapi ini semua untuk kebaikkannya. Aku tidak ingin menyakitinya dengan tanganku sendiri atau orang lain. Tidak boleh ada yang menyakitinya. Tentu aku tidak ingin mengambil resiko yang fatal. Aku lebih memilih kehilangan lebih dulu dibanding aku harus menyesal dikemudian hari dengan perasaan bersalah,” jelasku menceritakan alasan mengapa aku mengusir Faith. Semua ini untuk kebaikkan Faith. Aku sudah menyuruh sopirku untuk mengantar Faith pulang ke rumahnya. Carla meraih tanganku lalu mengobatinya dengan pelan. Tanganku mati rasa. Aku merindukan sentuhan seperti ini dari Faith. Tapi aku harus berusaha untuk melupakan gadis sial itu dari pikiranku. Ia tidak akan pernah kau sentuh lagi, Justin! Ini mungkin akan menjadi perjalanan yang panjang untuk melupakan. Mungkin Carla akan membantuku untuk melupakan Faith. Ia sekarang sudah menjadi sebagian masa lalu padaku. Meski semua butuh proses. Aku butuh kesibukan di luar sana. Di luar Atlanta. Benar sekali.
            “Aku tahu perasaanmu. Well, apa yang bisa kukatakan Justin? Sebenarnya kalian memang benar-benar serasi, tapi aku di sini. Kau harus tahu bahwa aku memiliki perasaan yang sama seperti Faith padamu,”
            “Aku tahu kau mencintaiku, Carla. Tapi tidak untuk saat ini, perasaan ini pada Faith masih benar-benar kuat. Kau tidak bisa memaksanya, hanya waktu yang akan menjadi jawaban bagimu,”
            “Yeah, kau benar. Tidak seharusnya aku mengatakan seperti itu padamu saat kau sedang kehilangannya. Kuharap kau memilih keputusan yang terbaik untukmu dan dirinya. Jujur saja, aku tidak suka melihat Faith sakit hati seperti ini. Karena ia adalah salah satu sahabatku ketika Ibunya berada di dalam rumah sakit,”
            “Setiap keputusan yang kauambil, kau akan mendapatkan resiko. Dan kau tidak bisa menawar resiko yang akan kauterima. Ada resiko yang harus Faith terima ketika kita akan berpisah, begitupun aku. Terima kasih sudah mengobati tanganku. Kau sangat membantu,”
            “Ya, apa pun itu, Justin.” Carla tersenyum padaku saat tangannya melepaskan tanganku yang sudah ia perban. Ia merapikan kotak obat dan berdiri dari ranjangku. “Mungkin ini semua adalah tamparan bagimu dari Tuhan atas apa yang telah kauperbuat pada orang lain. Atau kau akan mendapatkan tamparan yang lebih sakit dibanding ini.”

***

FAITH

            Pelukan Mozes menghangatkan tubuhku. Tidak ada yang dapat ia perbuat selain menimangku seperti bayi. Aku meringkuk seperti janin yang berada dalam perut Ibu. Air mataku mengalir bahkan mataku benar-benar bengkak. Ini bukan Faith yang kuat. Aku tahu, tapi kapan aku kuat ketika aku berada di sisi Justin? Ia salah satu kelemahanku. Kehilangannya benar-benar membuatku terpukul. Janji yang telah kupegang ia hancurkan begitu saja, aku merasa bersalah pada diriku sendiri dan pada Florek. Terutama pada Justin yang telah menjadi pria yang singgah di hatiku. Tapi sekarang ia telah mengusirku dari kehidupannya. Ia tidak ingin aku kembali ke rumahnya. Ia tidak ingin menemuiku kembali. Itu adalah klimaks dalam hubungan kami. Kita tidak akan pernah bertemu kembali, mungkin jika kami bertemu, itu semua hanyalah kebetulana semata. Ia mungkin telah membenciku karena aku telah mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.
            Mozes berkata padaku bahwa ia ingin sekali meninju wajah Justin, tapi tentu, ia tidak akan bisa melakukannya. Karena Justin adalah seorang psikopat. Ia tidak takut siapa pun. Justin adalah seorang pria yang kuat, tidak memiliki rasa takut, dan tidak memiliki rasa. Sekarang aku tahu mengapa ia tidak pernah menyatakan cinta padaku. Seluruh cinta yang ia miliki ia tumpahkan pada rasa bencinya melalui pembunuhan. Ia suka membunuh. Ia senang ketika ia melihat orang tersiksa. Sekarang aku mengerti mengapa ia melakukan hubungan seks yang kasar. Ini membuatku merasa teramat sangat kotor. Namun ini adalah satu-satunya pilihan bagi Justin untuk hidup sendiri dengan Ayahnya.
            Sampai kapan rasa cinta ini akan mati? Sampai kapan aku akan terpuruk dalam kepedihan? Kehilangan? Aku tidak akan pernah bisa merasakan pelukannya yang nyaman. Pelukannya yang tak tertandingi. Bahkan pelukan Mozes tidak sama sekali sama seperti pelukan Justin. Aku menyeka hidungku, air mataku telah berhenti mengalir. Jam dinding di kamarku telah menunjukkan pukul 3 pagi. Dagu Mozes telah bersandar di atas kepalaku. Kurasa ia sudah tertidur, mungkin.
            “Mozes?” Aku memanggil Mozes. Tapi tidak ada sahutan darinya. “Mozes?” Suaraku benar-benar serak. Namun masih tidak ada sahutan darinya. Tangannya yang melingkar di sekitar perutku kutarik agar aku bisa lepas dari pelukannya. Kugerakkan kakiku menjauh darinya. Ketika kubalikkan kepalaku, ia sudah terlelap begitu pulas. Ia satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini setelah ia tiada aku akan menjadi seorang gadis sebatang kara di dunia ini. Tanganku mengambil selimut yang berada di bawah kakinya, aku bangkit dari tempat tidur dan berdiri di sampingnya. Tubuhnya kuselimuti hingga sebahunya lalu kutinggalkan ia sendiri di kamarku. Aku ingin berkutat dengan pikiranku.
            Pintu kamarku sudah tertutup rapat. Tepat ketika pintu itu tertutup, bel apartemenku terdengar. Oh, sial, siapa yang datang subuh-subuh seperti ini? Bodoh, mataku bengkak dan tidak ada seorangpun yang pantas melihatnya. Aku berjalan secepat mungkin menuju pintu dan mengintip melalui satu bolongan pintu kecil untuk melihat siapa yang datang. Bukan Justin. Bukan Tn. Alex. Atau Lennion. Tapi kakek Justin, Florek. Mengapa ia bisa datang sesubuh ini? Bisa-bisanya kakek tua ini datang. Secepat mungkin aku membuka kunci pintu apartemen dan menarik pintu.
            “Faith, apa aku boleh masuk?” Tanyanya cepat-cepat.
            “Tentu, silahkan Florek,” aku menarik nafas panjang. “Mengapa kau datang subuh-subuh seperti ini?” Tanyaku berdeham agar suaraku tak serak, pintu telah kututup. Ia masuk lalu membuka mantel yang ia pakai bersama dengan topi yang menutupi kepalanya yang botak. Digantungnya kedua atribut yang ia pakai itu ke gantungan jaket dan topi. Lalu ia berjalan menuju sofa tanpa menjawab pertanyaanku.
            “Florek, mengapa kau terlihat begitu gelisah?” Tanyaku bingung, aku menyeka hidung.
            “Duduklah, Faith,” pinta Florek memohon. Kemudian aku terduduk di hadapannya, menatapnya hati-hati. Mengapa ia begitu gelisah dan nafasnya tak beraturan? Apa ada masalah dengan Justin?
            “Ada yang harus kubicarakan padamu, Faith,” ucapnya. “Tentang Justin,” lanjutnya.
            “Mengapa? Ada apa dengannya? Aku baru saja putus dengan Justin, kurasa kau sudah tahu itu,” ucapku berusaha untuk tegar. Florek menganggukkan kepalanya.
            “Aku tahu tentang itu. Aku sungguh minta maaf dengan apa yang telah kuperbuat pada hubunganmu dengannya. Tapi satu hal yang harus kauingat Faith, jauhi Justin. Jangan ingat dia. Jangan dekati dia. Semampumu. Aku ingin kau menjauh darinya. Kalau perlu, pindah dari Atlanta. Pergilah dari Atlanta bersama dengan kakakmu agar kau tidak bertemu dengan Justin lagi. Aku telah membelikanmu tiket untuk pergi ke London. Kau akan tinggal di rumah lamaku. Justin tidak sama sekali tahu tentang ini. Jadi kau akan tenang di sana. Memulai hidup tanpa Justin. Karena ini adalah pertemuan terakhir kita, Faith,”
            “Florek, ada apa? Mengapa kau begitu panik?”
            “Bergegaslah sekarang, Faith! Bawa pakaianmu dan abangmu untuk pergi dari apartemenmu. Kartu ini akan memenuhi kebutuhanmu di sana,”
            “Florek! Apa yang terjadi?” Tanyaku membentak. Ucapannya benar-benar cepat. Aku tahu ia sedang dilanda oleh masalah, tapi apa? Mengapa ia begitu takut? Florek menarik nafasnya sejenak lalu menelan ludahnya. Ya Tuhan, apa yang terjadi padanya?
            “Sebentar lagi Justin akan membunuhku, Faith,” ucapnya. “Aku tidak ingin kau atau Mozes akan menjadi orang yang selanjutnya terbunuh olehnya. Jadi kumohon penuhilah permintaanku ini. Jika kau menerima apa yang kuberikan hari ini, maka aku akan mati dengan damai,”
            “Tapi mengapa Justin akan membunuhmu? Mengapa ia harus membunuhmu? Dan mengapa kau tidak ikut bersamaku ke London?”
            “Karena …karena aku tidak ingin hidup lebih lama dengan rasa bersalah. Kehilangan Ayah Justin sudah menjadi pelajaran bagiku. Dan aku tidak ingin orang spesial sepertimu terbunuh sia-sia oleh Justin. Ini semua salahku. Justin seperti ini adalah salahku. Sekarang, Faith, penuhi permintaanku sekarang,”
            “Aku tidak bisa! Kau harus ikut denganku maka aku akan pergi ke London!” Bentakku menolak. Florek berdiri dari sofa lalu memegang kedua bahuku.
            “Dengarkan ini baik-baik, nona muda. Jika kau memenuhi permintaanku yang terakhir ini maka aku akan mati penuh dengan kedamaian dan rasa bersalahku akan hilang. Mengapa kau tidak ingin memenuhi permintaan dari kakek tua bangka sepertiku yang hanya ingin mati penuh damai?” Mataku menatap mata Florek dalam-dalam. Air matanya mengalir melewati pipinya yang penuh kerutan itu. Aku tidak bisa menolaknya. Ia salah satu pria yang berpengaruh dalam hidupku. Kulipat bibirku ke dalam lalu menganggukkan kepalaku.
            “Baiklah,” bisikku mengambil keputusan.
            “Terima kasih, Faith! Terima kasih,” ujarnya penuh kebahagiaan. Ia memelukku erat lalu beberapa detik kemudian melepaskannya. “Nah, hal pertama yang kaulakukan adalah berkemas. Bangunkan abangmu yang tidur lalu kita akan pergi ke bandara malam ini.” Ia menyuruhku seperti komandan. Dan itulah yang kulakukan. Mengemas barang-barangku.

***

AUTHOR

            Sekarang semuanya dimulai kembali dari bab 1. Membuat buku yang baru. Sekarang mungkin adalah halaman ke-90 bagi Faith yang telah memulai kehidupannya yang baru di London. Yeah, ia sudah tinggal di London selama 3 bulan. Ia bekerja menjadi seorang guru di sebuah sekolah di London. Ia dapat hidup dengan tenang di sana. Mozes mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dibanding menjadi buruh di Atlanta. Mozes bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran. Rumah peninggalan Florek bagi mereka berdua sangatlah sederhana namun nyaman untuk ditempati. Tidak begitu besar namun pas untuk dua orang. Faith tidak akan pernah melupakan kebaikkan Florek yang mungkin sekarang, Florek sudah berada di surga. Entah apa yang Faith pikirkan akhir-akhir ini, tapi ternyata ia telah berhasil mengusir Justin dari pikirannya. Menjadi seorang guru kesenian di sebuah sekolah SD menjadi sebuah tantangan baginya. Sebisa mungkin ia mengajar anak-anak muridnya menjadi anak yang kreatif dan imajinatif.
            Seperti sekarang ini, ia sedang melihat-lihat keadaan anak-anak muridnya yang duduk di bangku kelas 2 SD. Mereka sedang menggambar di sebuah kertas. Faith telah memberikan tema bagi mereka. Kebetulan hari itu adalah hari setelah Halloween. Murid-muridnya memakai kostum mereka sendiri. Ada yang menjadi lebah, wortel, bahkan Harry Potter. Mereka benar-benar senang. Sedangkan Faith sendiri? Ia tentu menjadi teladan bagi anak-anak muridnya, ia memakai pakaian malaikat. Gaun putih dengan lengan panjang membuatnya terlihat seperti malaikat. Hanya saja ia tidak memakai sayap di belakangnya. Kelasnya benar-benar tenang. Ia melihat salah satu karya anak muridnya yang menggambar Frankenstein. Dengan jahitan di bagian kepalanya menjadi khas dari salah satu tokoh monster bernama Frankenstein. Mengapa anak-anak menyukai Frankenstein? Entahlah, hanya imajinasi mereka yang dapat menjawabnya.
            “Jika salah satu di antara kalian sudah selesai menggambar, kalian bisa memberikannya padaku. Setelah itu satu per satu akan kupanggil ke depan untuk menjelaskan kostum yang kalian pakai,” ujar Faith dengan suara yang lantang. Ia berjalan menuju meja guru. Baru saja ia duduk di kursinya, satu anak kecil dengan pakaian Harry Potter, lengkap dengan tongkat dan kacamata bulat. Ia memberikan kertas gambarannya ke atas meja Faith lalu berdiri di depan kelas.
            “Ayo anak-anak, kita simak Freddy yang akan menceritakan kostum yang ia pakai,” ucap Faith yang membuat seluruh anak muridnya berhenti menggambar. Setelah hening, anak kecil yang bernama Freddy itu mulai merentangkan tangannya.
            “Aku memakai kostum Harry Potter karena aku menyukai Harry Potter. Aku ingin bisa terbang sepertinya di atas sapu terbang lalu melawan naga!” Seru Freddy bangga sambil mengangkat salah satu tangannya yang memegang tongkat. Faith dan murid-muridnya bertepuk tangan. Freddy berjalan meninggalkan tempatnya berdiri. Kemudian satu anak murid perempuan maju dengan kostum wortel. Ia memberikan gambarannya pada Faith lalu berdiri di depan kelas.
            “Hai, aku adalah Ms. Parrot! Karena aku menyukai wortel yang dapat menyehatkan mata. Aku tidak ingin memakai kostum brokoli karena rasanya yang tidak enak dan dapat membuatmu kentut!” Seru anak kecil itu sambil mengapit hidungnya dengan jari jempol dan telunjuk. Teman-temannya yang lain tertawa melihat tingkah anak perempuan di depan itu lalu anak itu pergi dari tempatnya berdiri. Satu per satu anak maju ke depan dan menjelaskan mengapa mereka memakai kostum yang sedang mereka pakai. Namun tiba-tiba saja Faith merasa ingin mual. Ia mengangkat tangannya ke atas yang menjadi pusat perhatian bagi anak muridnya.
            “Anak-anak, Ibu harus pergi ke toilet sebentar. Jangan buat keributan atau masalah. Oke? Setelah ini Ibu akan memberikan tiga cokelat untuk kalian yang memiliki kostum terbaik. Asalkan kalian harus tetap tenang. Mengerti?” Tanya Faith yang membuat anak-anak muridnya mengangguk-anggukan kepalanya.
            “Mengerti, Ms. Faith!” Seru mereka serentak. Seketika itu juga Faith berjalan secepat mungkin sambil menutup mulutnya. Ketika ia keluar, lorong sekolahnya sungguh kosong dan hening. Ia tidak boleh membuat suara berisik. Ketukan sepatunya terdengar sepanjang perjalannya menuju toilet guru. Akhir-akhir ini ia merasa tidak enak badan. Ia tidak mengerti mengapa namun ketakutan terbesarnya adalah ia hamil. Namun itu tidak mungkin karena ia sudah memakai spiral –3 bulan yang lalu ia telah melepaskannya—dan tentunya ia tidak akan hamil. Ia tentu tidak ingin bayang-bayang wajah Justin kembali menghantuinya. Ketika sampai, ia langsung masuk ke dalam salah satu toilet dan mengeluarkan isi perutnya ke dalam kloset. Mungkin ia tidak enak badan karena ini adalah musim hujan. Tapi bagaimanapun juga ia harus ke dokter agar ia tidak sakit dan tidak membuatnya tidak masuk ke sekolah.

            “Anda hamil selama dua bulan lebih, Ms. Faith,” ujar dr. Laura dengan ramah pada Faith. Faith tersenyum, sebisa mungkin ia menutupi rasa keterkejutannya. Dr. Laura menipiskan bibirnya. “Kehamilan yang tidak diharapkan?”
            “Well, sebenarnya tidak. Bukan itu. Aku hanya bingung karena aku memakai spiral tapi kurasa spiral itu tidak berguna,”
            “Sebenarnya, nona Faith, bisa saja karena posisi spiralnya yang salah. Memang mengapa? Dimana calon Ayah yang akan bahagia itu?” Tanya dr. Laura senang sekali. Ia menari-nari kecil di hadapan Faith dengan wajah yang bahagia. Faith memegang perutnya lalu tersenyum lemah.
            “Dia berada di Atlanta. Bekerja.”

***

            “Rumah baru, kehidupan baru!” seru seorang pria yang wajahnya dipenuhi dengan senyum sumringah. Ia melempar tubuhnya ke atas sofa lalu menatap langit-langit ruang tamu barunya. Seorang wanita berambut cokelat panjang dengan mata biru itu bahagia melihat pria itu senang. Ia menghampiri pria itu lalu duduk di sebelahnya. “Oh, aku mencintaimu! Kemarilah,” seru pria itu menarik wanitanya ke dalam pelukan. Wanita bermata biru itu mengelus dada pria gagah itu.
            “New chapter,” bisik wanita itu tersenyum.
            “Yeah, kau benar. Kita akan memiliki anak yang lucu. Lalu mengurusnya bersama-sama hingga ia memiliki kekasih dan menikah lalu kita akan memiliki cucu,” imajinasi pria itu membuat wanita yang dipeluknya itu ikut berimajinasi.
            “Mereka akan beruntung memiliki Ayah sepertimu,”
            “Dan mereka juga akan beruntung memiliki Ibu sepertimu,”
            “Mengapa?”
            “Karena kau yang menyelamatkanku dari keterpurukan. Hanya kau yang berada di sisiku ketika kau membutuhkan seseorang. Kau yang mendukungku saat orang lain mengatakan tidak. Dan akhirnya aku dapat memilikimu seutuhnya,”
            “Well, kau juga telah menerima cinta setelah bertahun-tahun aku menunggunya, pada akhirnyapun kita bersama-sama. Aku mencintaimu,”
            “Aku mencintaimu, Carla Lexise, apa pun yang terjadi,”
            “Dan aku mencintaimu, Justin Lexise, apa pun yang terjadi,”

            “Lets make a baby, momma!” Seru pria bernama Justin Lexise itu tak sabaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar