CHAPTER FOURTEEN
JUSTIN
Darah segar mengalir di tanganku.
Tidak peduli betapa sakitnya luka gores yang menghasilkan darah ini. Aku senang
melihat darah. Aku senang jika diriku diliputi oleh perasaan bahagia namun
orang lain tidak akan pernah mengerti perasaan ini, kecuali Ayahku. Sial, tapi
perasaan itu sedang tidak meliputi diriku. Kekecewaan sekaligus ketakutan
sedang menghampiri diriku. Inilah titik kelemahanku. Aku adalah orang kuat yang
jatuh, kalah di sebuah pertandingan. Hanya karena seorang wanita yang kuusir
dari rumah ini. Ini semua bukan skenario yang kuinginkan. Belum saatnya ia
mengetahui aku adalah seorang psikopat. Tapi terlanjur, aku tidak bisa
menyalahkan kakekku. Semua ini memang salahku karena telah merahasiakan ini
sejak awal. Kakekku tentu akan melindungi –mantan—kekasihku dari sifatku yang
bisa dibilang tidak dapat dikontrol. Kugelengkan kepalaku, berusaha untuk tidak
merasa kehilangan. Dia pembohong, yeah, dia hanyalah seorang pengkhianat. Dia
sama seperti wanita-wanita lainnya yang berbohong padaku. Mengapa ia tidak
ingin memberitahu padaku yang sebenarnya? Sekalipun ia telah berjanji untuk
tidak akan meninggalkanku. Aku tidak ingin berada di sisinya jika tiap kali ia
menatapku dengan tatapan penuh rasa takut. Aku tahu apa yang ada dipikiran
Faith. Semua yang seharusnya berjalan dengan baik, hancur dengan mudah. Dan aku
harus membunuh Florek karena ia yang membuat rahasiaku terbongkar! Sialan! Aku
telah menaruh kepercayaanku padanya dan ia membocorkannya pada orang yang tidak
ingin berpacaran dengan seorang psikopat? Sekarang aku tidak peduli apakah ia
kakekku atau bukan. Ini semua tentang kejujuran dan kepercayaan!
Mata Faith yang menatapku penuh
ketakutan untuk yang pertama kalinya di dalam perpustakaan tadi menjelaskan
segalanya. Terlebih lagi satu buah foto mayat yang pernah kubunuh berada di
bawah kaki kakekku. Dan ia berbohong padaku? Oh, Faith harus tahu kalau ia
bukanlah seorang yang bisa berbohong. Perbedaan dari mata dan mulut sangatlah
terlihat. Dari jarak jauh ia menatapku seolah-olah aku adalah penjahat yang
akan membunuhnya. Tapi kenyataan mengatakan padaku bahwa aku mencintainya.
Sebelum aku tahu ia berbohong padaku dan mengetahui siapa diriku yang
sebenarnya. Aku masih belum bisa terbuka padanya. Terpaksa aku mengusir Faith
karena aku tidak mau Faith tersakiti oleh tanganku sendiri. Aku mungkin tidak
akan mau bertemu dengan Faith lagi. Mungkin tadi adalah perpisahan terakhir
yang cukup tragis bagiku dan dirinya. Biarkan ini menjadi pelajaran bagiku. Dan
hutang Ibu Faith padaku sudah sepenuhnya lunas padaku. Aku telah merasakan
tubuh anaknya yang lezat. Dan mungkin tambahan ekstra, kelembutannya.
Ketukan pintu membuat kepalaku
mendongak langsung menatap cermin bundar yang sudah retak akibat tinjuan
berlumuran darah. Cerminanku bagaikan Iblis. Aku memang berperan sebagai Iblis
sekarang. Apa yang dikatakan Faith padaku adalah sepenuhnya benar. Ada Iblis
dalam tubuhku. Faith adalah Malaikat. Iblis dan Malaikat sangatlah berbeda. Tak
pernah tersentuh sekalipun. Bagaikan langit dan bumi yang tidak akan pernah
menyentuh satu sama lain. Ketukan pintu itu kembali terdengar.
“Masuklah,” ucapku menjauh dari
cermin. Carla muncul dari pintu kamarku dengan pakaian tidurnya. Ia terlihat
cantik. Gaun tidurnya benar-benar tipis, sial, mengapa membuat segalanya
semakin sulit? Tidak, aku baru saja kehilangan Faith. Ia tidak mungkin
mengambil kesempatan dalam kesempitan seperti ini. Ternyata dugaanku salah, ia
membawa sebuah kotak obat. Mengapa ia tahu bahwa aku terluka?
“Aku mendengar suara pecahan kaca
dari luar. Kurasa kau terluka, jadi aku datang membawa ini,” ucapnya menjawab
pertanyaan dalam pikiranku. Aku mengangguk, berjalan menuju tempat tidur.
Pencahayaan kamarku yang remang-remang semakin mendukung suasana. Carla
berjalan lalu menutup pintu. “Aku sungguh menyesal mendengar pertengkaranmu
dengan Faith, tapi sebenarnya, ia adalah gadis yang sangat baik, Justin,” ucap
Carla mengungkit permasalahanku. Tapi tidak ada yang bisa kukatan selain
mengangguk kepala. Aku terduduk di atas ranjang dan ia ikut menyusul terduduk
di sebelahku. Ia mulai membuka kotak obat dan mulai mengobatiku.
“Pelajaran di rumah sakit cukup
membantu,” komentarku. “Kau benar tentang Faith. Tapi ini semua adalah salahku.
Aku tidak mungkin menariknya kembali ke dalam pelukanku. Ia memang satu-satunya
gadis yang pernah membuatku sebagai seorang pria terbahagia di dunia, tapi ini
semua untuk kebaikkannya. Aku tidak ingin menyakitinya dengan tanganku sendiri
atau orang lain. Tidak boleh ada yang menyakitinya. Tentu aku tidak ingin
mengambil resiko yang fatal. Aku lebih memilih kehilangan lebih dulu dibanding
aku harus menyesal dikemudian hari dengan perasaan bersalah,” jelasku
menceritakan alasan mengapa aku mengusir Faith. Semua ini untuk kebaikkan
Faith. Aku sudah menyuruh sopirku untuk mengantar Faith pulang ke rumahnya. Carla
meraih tanganku lalu mengobatinya dengan pelan. Tanganku mati rasa. Aku
merindukan sentuhan seperti ini dari Faith. Tapi aku harus berusaha untuk
melupakan gadis sial itu dari pikiranku. Ia
tidak akan pernah kau sentuh lagi, Justin! Ini mungkin akan menjadi
perjalanan yang panjang untuk melupakan. Mungkin Carla akan membantuku untuk
melupakan Faith. Ia sekarang sudah menjadi sebagian masa lalu padaku. Meski
semua butuh proses. Aku butuh kesibukan di luar sana. Di luar Atlanta. Benar
sekali.
“Aku tahu perasaanmu. Well, apa yang
bisa kukatakan Justin? Sebenarnya kalian memang benar-benar serasi, tapi aku di
sini. Kau harus tahu bahwa aku memiliki perasaan yang sama seperti Faith
padamu,”
“Aku tahu kau mencintaiku, Carla.
Tapi tidak untuk saat ini, perasaan ini pada Faith masih benar-benar kuat. Kau
tidak bisa memaksanya, hanya waktu yang akan menjadi jawaban bagimu,”
“Yeah, kau benar. Tidak seharusnya
aku mengatakan seperti itu padamu saat kau sedang kehilangannya. Kuharap kau
memilih keputusan yang terbaik untukmu dan dirinya. Jujur saja, aku tidak suka
melihat Faith sakit hati seperti ini. Karena ia adalah salah satu sahabatku
ketika Ibunya berada di dalam rumah sakit,”
“Setiap keputusan yang kauambil, kau
akan mendapatkan resiko. Dan kau tidak bisa menawar resiko yang akan kauterima.
Ada resiko yang harus Faith terima ketika kita akan berpisah, begitupun aku.
Terima kasih sudah mengobati tanganku. Kau sangat membantu,”
“Ya, apa pun itu, Justin.” Carla
tersenyum padaku saat tangannya melepaskan tanganku yang sudah ia perban. Ia
merapikan kotak obat dan berdiri dari ranjangku. “Mungkin ini semua adalah
tamparan bagimu dari Tuhan atas apa yang telah kauperbuat pada orang lain. Atau
kau akan mendapatkan tamparan yang lebih sakit dibanding ini.”
***
FAITH
Pelukan Mozes menghangatkan tubuhku. Tidak ada yang
dapat ia perbuat selain menimangku seperti bayi. Aku meringkuk seperti janin
yang berada dalam perut Ibu. Air mataku mengalir bahkan mataku benar-benar
bengkak. Ini bukan Faith yang kuat. Aku tahu, tapi kapan aku kuat ketika aku
berada di sisi Justin? Ia salah satu kelemahanku. Kehilangannya benar-benar
membuatku terpukul. Janji yang telah kupegang ia hancurkan begitu saja, aku
merasa bersalah pada diriku sendiri dan pada Florek. Terutama pada Justin yang
telah menjadi pria yang singgah di hatiku. Tapi sekarang ia telah mengusirku
dari kehidupannya. Ia tidak ingin aku kembali ke rumahnya. Ia tidak ingin
menemuiku kembali. Itu adalah klimaks dalam hubungan kami. Kita tidak akan
pernah bertemu kembali, mungkin jika kami bertemu, itu semua hanyalah
kebetulana semata. Ia mungkin telah membenciku karena aku telah mengetahui
siapa dirinya yang sebenarnya.
Mozes berkata padaku bahwa ia ingin
sekali meninju wajah Justin, tapi tentu, ia tidak akan bisa melakukannya.
Karena Justin adalah seorang psikopat. Ia tidak takut siapa pun. Justin adalah
seorang pria yang kuat, tidak memiliki rasa takut, dan tidak memiliki rasa.
Sekarang aku tahu mengapa ia tidak pernah menyatakan cinta padaku. Seluruh
cinta yang ia miliki ia tumpahkan pada rasa bencinya melalui pembunuhan. Ia
suka membunuh. Ia senang ketika ia melihat orang tersiksa. Sekarang aku
mengerti mengapa ia melakukan hubungan seks yang kasar. Ini membuatku merasa
teramat sangat kotor. Namun ini adalah satu-satunya pilihan bagi Justin untuk
hidup sendiri dengan Ayahnya.
Sampai kapan rasa cinta ini akan
mati? Sampai kapan aku akan terpuruk dalam kepedihan? Kehilangan? Aku tidak
akan pernah bisa merasakan pelukannya yang nyaman. Pelukannya yang tak
tertandingi. Bahkan pelukan Mozes tidak sama sekali sama seperti pelukan
Justin. Aku menyeka hidungku, air mataku telah berhenti mengalir. Jam dinding
di kamarku telah menunjukkan pukul 3 pagi. Dagu Mozes telah bersandar di atas
kepalaku. Kurasa ia sudah tertidur, mungkin.
“Mozes?” Aku memanggil Mozes. Tapi
tidak ada sahutan darinya. “Mozes?” Suaraku benar-benar serak. Namun masih
tidak ada sahutan darinya. Tangannya yang melingkar di sekitar perutku kutarik
agar aku bisa lepas dari pelukannya. Kugerakkan kakiku menjauh darinya. Ketika
kubalikkan kepalaku, ia sudah terlelap begitu pulas. Ia satu-satunya orang yang
kumiliki di dunia ini setelah ia tiada aku akan menjadi seorang gadis sebatang
kara di dunia ini. Tanganku mengambil selimut yang berada di bawah kakinya, aku
bangkit dari tempat tidur dan berdiri di sampingnya. Tubuhnya kuselimuti hingga
sebahunya lalu kutinggalkan ia sendiri di kamarku. Aku ingin berkutat dengan
pikiranku.
Pintu kamarku sudah tertutup rapat.
Tepat ketika pintu itu tertutup, bel apartemenku terdengar. Oh, sial, siapa
yang datang subuh-subuh seperti ini? Bodoh, mataku bengkak dan tidak ada
seorangpun yang pantas melihatnya. Aku berjalan secepat mungkin menuju pintu
dan mengintip melalui satu bolongan pintu kecil untuk melihat siapa yang
datang. Bukan Justin. Bukan Tn. Alex. Atau Lennion. Tapi kakek Justin, Florek.
Mengapa ia bisa datang sesubuh ini? Bisa-bisanya kakek tua ini datang. Secepat
mungkin aku membuka kunci pintu apartemen dan menarik pintu.
“Faith, apa aku boleh masuk?”
Tanyanya cepat-cepat.
“Tentu, silahkan Florek,” aku
menarik nafas panjang. “Mengapa kau datang subuh-subuh seperti ini?” Tanyaku
berdeham agar suaraku tak serak, pintu telah kututup. Ia masuk lalu membuka
mantel yang ia pakai bersama dengan topi yang menutupi kepalanya yang botak.
Digantungnya kedua atribut yang ia pakai itu ke gantungan jaket dan topi. Lalu
ia berjalan menuju sofa tanpa menjawab pertanyaanku.
“Florek, mengapa kau terlihat begitu
gelisah?” Tanyaku bingung, aku menyeka hidung.
“Duduklah, Faith,” pinta Florek
memohon. Kemudian aku terduduk di hadapannya, menatapnya hati-hati. Mengapa ia
begitu gelisah dan nafasnya tak beraturan? Apa ada masalah dengan Justin?
“Ada yang harus kubicarakan padamu,
Faith,” ucapnya. “Tentang Justin,” lanjutnya.
“Mengapa? Ada apa dengannya? Aku
baru saja putus dengan Justin, kurasa kau sudah tahu itu,” ucapku berusaha
untuk tegar. Florek menganggukkan kepalanya.
“Aku tahu tentang itu. Aku sungguh
minta maaf dengan apa yang telah kuperbuat pada hubunganmu dengannya. Tapi satu
hal yang harus kauingat Faith, jauhi Justin. Jangan ingat dia. Jangan dekati
dia. Semampumu. Aku ingin kau menjauh darinya. Kalau perlu, pindah dari Atlanta.
Pergilah dari Atlanta bersama dengan kakakmu agar kau tidak bertemu dengan
Justin lagi. Aku telah membelikanmu tiket untuk pergi ke London. Kau akan
tinggal di rumah lamaku. Justin tidak sama sekali tahu tentang ini. Jadi kau
akan tenang di sana. Memulai hidup tanpa Justin. Karena ini adalah pertemuan
terakhir kita, Faith,”
“Florek, ada apa? Mengapa kau begitu
panik?”
“Bergegaslah sekarang, Faith! Bawa
pakaianmu dan abangmu untuk pergi dari apartemenmu. Kartu ini akan memenuhi
kebutuhanmu di sana,”
“Florek! Apa yang terjadi?” Tanyaku
membentak. Ucapannya benar-benar cepat. Aku tahu ia sedang dilanda oleh
masalah, tapi apa? Mengapa ia begitu takut? Florek menarik nafasnya sejenak
lalu menelan ludahnya. Ya Tuhan, apa yang terjadi padanya?
“Sebentar lagi Justin akan
membunuhku, Faith,” ucapnya. “Aku tidak ingin kau atau Mozes akan menjadi orang
yang selanjutnya terbunuh olehnya. Jadi kumohon penuhilah permintaanku ini.
Jika kau menerima apa yang kuberikan hari ini, maka aku akan mati dengan
damai,”
“Tapi mengapa Justin akan
membunuhmu? Mengapa ia harus membunuhmu? Dan mengapa kau tidak ikut bersamaku
ke London?”
“Karena …karena aku tidak ingin
hidup lebih lama dengan rasa bersalah. Kehilangan Ayah Justin sudah menjadi
pelajaran bagiku. Dan aku tidak ingin orang spesial sepertimu terbunuh sia-sia
oleh Justin. Ini semua salahku. Justin seperti ini adalah salahku. Sekarang,
Faith, penuhi permintaanku sekarang,”
“Aku tidak bisa! Kau harus ikut
denganku maka aku akan pergi ke London!” Bentakku menolak. Florek berdiri dari
sofa lalu memegang kedua bahuku.
“Dengarkan ini baik-baik, nona muda.
Jika kau memenuhi permintaanku yang terakhir ini maka aku akan mati penuh
dengan kedamaian dan rasa bersalahku akan hilang. Mengapa kau tidak ingin
memenuhi permintaan dari kakek tua bangka sepertiku yang hanya ingin mati penuh
damai?” Mataku menatap mata Florek dalam-dalam. Air matanya mengalir melewati
pipinya yang penuh kerutan itu. Aku tidak bisa menolaknya. Ia salah satu pria
yang berpengaruh dalam hidupku. Kulipat bibirku ke dalam lalu menganggukkan
kepalaku.
“Baiklah,” bisikku mengambil
keputusan.
“Terima kasih, Faith! Terima kasih,”
ujarnya penuh kebahagiaan. Ia memelukku erat lalu beberapa detik kemudian
melepaskannya. “Nah, hal pertama yang kaulakukan adalah berkemas. Bangunkan
abangmu yang tidur lalu kita akan pergi ke bandara malam ini.” Ia menyuruhku
seperti komandan. Dan itulah yang kulakukan. Mengemas barang-barangku.
***
AUTHOR
Sekarang semuanya dimulai kembali
dari bab 1. Membuat buku yang baru. Sekarang mungkin adalah halaman ke-90 bagi
Faith yang telah memulai kehidupannya yang baru di London. Yeah, ia sudah
tinggal di London selama 3 bulan. Ia bekerja menjadi seorang guru di sebuah
sekolah di London. Ia dapat hidup dengan tenang di sana. Mozes mendapatkan
pekerjaan yang lebih baik dibanding menjadi buruh di Atlanta. Mozes bekerja
sebagai pelayan di sebuah restoran. Rumah peninggalan Florek bagi mereka berdua
sangatlah sederhana namun nyaman untuk ditempati. Tidak begitu besar namun pas
untuk dua orang. Faith tidak akan pernah melupakan kebaikkan Florek yang
mungkin sekarang, Florek sudah berada di surga. Entah apa yang Faith pikirkan
akhir-akhir ini, tapi ternyata ia telah berhasil mengusir Justin dari
pikirannya. Menjadi seorang guru kesenian di sebuah sekolah SD menjadi sebuah
tantangan baginya. Sebisa mungkin ia mengajar anak-anak muridnya menjadi anak
yang kreatif dan imajinatif.
Seperti sekarang ini, ia sedang
melihat-lihat keadaan anak-anak muridnya yang duduk di bangku kelas 2 SD.
Mereka sedang menggambar di sebuah kertas. Faith telah memberikan tema bagi
mereka. Kebetulan hari itu adalah hari setelah Halloween. Murid-muridnya
memakai kostum mereka sendiri. Ada yang menjadi lebah, wortel, bahkan Harry
Potter. Mereka benar-benar senang. Sedangkan Faith sendiri? Ia tentu menjadi
teladan bagi anak-anak muridnya, ia memakai pakaian malaikat. Gaun putih dengan
lengan panjang membuatnya terlihat seperti malaikat. Hanya saja ia tidak
memakai sayap di belakangnya. Kelasnya benar-benar tenang. Ia melihat salah
satu karya anak muridnya yang menggambar Frankenstein. Dengan jahitan di bagian
kepalanya menjadi khas dari salah satu tokoh monster bernama Frankenstein.
Mengapa anak-anak menyukai Frankenstein? Entahlah, hanya imajinasi mereka yang
dapat menjawabnya.
“Jika salah satu di antara kalian
sudah selesai menggambar, kalian bisa memberikannya padaku. Setelah itu satu
per satu akan kupanggil ke depan untuk menjelaskan kostum yang kalian pakai,”
ujar Faith dengan suara yang lantang. Ia berjalan menuju meja guru. Baru saja
ia duduk di kursinya, satu anak kecil dengan pakaian Harry Potter, lengkap
dengan tongkat dan kacamata bulat. Ia memberikan kertas gambarannya ke atas
meja Faith lalu berdiri di depan kelas.
“Ayo anak-anak, kita simak Freddy
yang akan menceritakan kostum yang ia pakai,” ucap Faith yang membuat seluruh
anak muridnya berhenti menggambar. Setelah hening, anak kecil yang bernama
Freddy itu mulai merentangkan tangannya.
“Aku memakai kostum Harry Potter
karena aku menyukai Harry Potter. Aku ingin bisa terbang sepertinya di atas
sapu terbang lalu melawan naga!” Seru Freddy bangga sambil mengangkat salah
satu tangannya yang memegang tongkat. Faith dan murid-muridnya bertepuk tangan.
Freddy berjalan meninggalkan tempatnya berdiri. Kemudian satu anak murid
perempuan maju dengan kostum wortel. Ia memberikan gambarannya pada Faith lalu
berdiri di depan kelas.
“Hai, aku adalah Ms. Parrot! Karena
aku menyukai wortel yang dapat menyehatkan mata. Aku tidak ingin memakai kostum
brokoli karena rasanya yang tidak enak dan dapat membuatmu kentut!” Seru anak
kecil itu sambil mengapit hidungnya dengan jari jempol dan telunjuk.
Teman-temannya yang lain tertawa melihat tingkah anak perempuan di depan itu
lalu anak itu pergi dari tempatnya berdiri. Satu per satu anak maju ke depan
dan menjelaskan mengapa mereka memakai kostum yang sedang mereka pakai. Namun
tiba-tiba saja Faith merasa ingin mual. Ia mengangkat tangannya ke atas yang
menjadi pusat perhatian bagi anak muridnya.
“Anak-anak, Ibu harus pergi ke
toilet sebentar. Jangan buat keributan atau masalah. Oke? Setelah ini Ibu akan
memberikan tiga cokelat untuk kalian yang memiliki kostum terbaik. Asalkan
kalian harus tetap tenang. Mengerti?” Tanya Faith yang membuat anak-anak
muridnya mengangguk-anggukan kepalanya.
“Mengerti, Ms. Faith!” Seru mereka
serentak. Seketika itu juga Faith berjalan secepat mungkin sambil menutup
mulutnya. Ketika ia keluar, lorong sekolahnya sungguh kosong dan hening. Ia
tidak boleh membuat suara berisik. Ketukan sepatunya terdengar sepanjang
perjalannya menuju toilet guru. Akhir-akhir ini ia merasa tidak enak badan. Ia
tidak mengerti mengapa namun ketakutan terbesarnya adalah ia hamil. Namun itu
tidak mungkin karena ia sudah memakai spiral –3 bulan yang lalu ia telah
melepaskannya—dan tentunya ia tidak akan hamil. Ia tentu tidak ingin
bayang-bayang wajah Justin kembali menghantuinya. Ketika sampai, ia langsung
masuk ke dalam salah satu toilet dan mengeluarkan isi perutnya ke dalam kloset.
Mungkin ia tidak enak badan karena ini adalah musim hujan. Tapi bagaimanapun
juga ia harus ke dokter agar ia tidak sakit dan tidak membuatnya tidak masuk ke
sekolah.
“Anda
hamil selama dua bulan lebih, Ms. Faith,” ujar dr. Laura dengan ramah pada
Faith. Faith tersenyum, sebisa mungkin ia menutupi rasa keterkejutannya. Dr.
Laura menipiskan bibirnya. “Kehamilan yang tidak diharapkan?”
“Well, sebenarnya tidak. Bukan itu.
Aku hanya bingung karena aku memakai spiral tapi kurasa spiral itu tidak
berguna,”
“Sebenarnya, nona Faith, bisa saja
karena posisi spiralnya yang salah. Memang mengapa? Dimana calon Ayah yang akan
bahagia itu?” Tanya dr. Laura senang sekali. Ia menari-nari kecil di hadapan
Faith dengan wajah yang bahagia. Faith memegang perutnya lalu tersenyum lemah.
“Dia berada di Atlanta. Bekerja.”
***
“Rumah baru, kehidupan baru!” seru
seorang pria yang wajahnya dipenuhi dengan senyum sumringah. Ia melempar
tubuhnya ke atas sofa lalu menatap langit-langit ruang tamu barunya. Seorang
wanita berambut cokelat panjang dengan mata biru itu bahagia melihat pria itu
senang. Ia menghampiri pria itu lalu duduk di sebelahnya. “Oh, aku mencintaimu!
Kemarilah,” seru pria itu menarik wanitanya ke dalam pelukan. Wanita bermata
biru itu mengelus dada pria gagah itu.
“New chapter,” bisik wanita itu
tersenyum.
“Yeah, kau benar. Kita akan memiliki
anak yang lucu. Lalu mengurusnya bersama-sama hingga ia memiliki kekasih dan menikah
lalu kita akan memiliki cucu,” imajinasi pria itu membuat wanita yang
dipeluknya itu ikut berimajinasi.
“Mereka akan beruntung memiliki Ayah
sepertimu,”
“Dan mereka juga akan beruntung
memiliki Ibu sepertimu,”
“Mengapa?”
“Karena kau yang menyelamatkanku
dari keterpurukan. Hanya kau yang berada di sisiku ketika kau membutuhkan
seseorang. Kau yang mendukungku saat orang lain mengatakan tidak. Dan akhirnya
aku dapat memilikimu seutuhnya,”
“Well, kau juga telah menerima cinta
setelah bertahun-tahun aku menunggunya, pada akhirnyapun kita bersama-sama. Aku
mencintaimu,”
“Aku mencintaimu, Carla Lexise, apa
pun yang terjadi,”
“Dan aku mencintaimu, Justin Lexise,
apa pun yang terjadi,”
“Lets make a baby, momma!” Seru pria
bernama Justin Lexise itu tak sabaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar