CHAPTER FIFTEEN
FAITH
Tidak ada yang dapat kulakukan
selain mengucap syukur kepada Tuhan karena Ia telah memberikanku janin di dalam
kandunganku. Ini menjadi suatu keajaiban yang tidak pernah kuduga sebelumnya.
Awalnya aku memang terkejut dengan berita ini, seharusnya aku mengetahui ini
sejak dulu. Mungkin aku tidak pernah mengalami tanda-tanda Ibu hamil
sebelumnya, katanya itu wajar. Baiklah jika begitu, aku akan menjalani hidup
ini lebih semangat lagi. Cermin yang ada di hadapanku memperlihatkan perutku
yang sedikit berbentuk namun tidak begitu kelihatan. Di dalam sana ada mahluk
hidup yang sebentar lagi akan menjadi seorang manusia. Diam-diam aku tersenyum,
menggigit bibir bawahku penuh dengan rasa penasaran, bagaimana jika ia sudah
lahir ke dunia? Apa dia seorang anak laki-laki atau perempuan? Aku tidak
memerlukan Justin di sisiku, ia hanyalah bagian dari masa laluku. Aku sudah
melupakannya, tidak ada di dia di sisiku tidak membuatku mati seketika. Mozes
belum pulang dari restoran padahal aku sudah tidak sabar ingin memberitahu
kabar gembira ini.
Sebentar lagi aku akan menjadi
seorang Ibu dan Mozes akan menjadi seorang paman. Well, aku minta maaf kepada
Mozes karena kami harus tinggal di sini, ia harus putus dengan kekasihnya. Tapi
ini untuk kebaikkan kami bersama. Ia sepertinya sudah bisa melupakan mantan
kekasihnya yang berada di Atlanta itu. Aku senang jika ia memiliki teman kencan
yang baru.
Setelah mengamati perutku yang
sedikit berbentuk itu, tanganku menarik turun kaos putih yang kupakai untuk
menutupinya. Ada begitu banyak skenario yang terangkai di otakku. Well, mungkin
mulai dari sekarang aku harus mencari kekasih baru untuk menjadikannya sebagai
Ayah bayi yang ada di dalam perutku. Yeah, benar. Meski perasaan trauma masih
menghantuiku namun aku sudah memohon pada Tuhan agar aku mendapatkan kekasih
yang lebih baik dibanding kekasih-kekasihku yang sebelumnya. Pria Inggris?
Mengapa tidak? Mereka pasti sama menyenangkannya dengan orang-orang di Atlanta.
Aku jadi teringat dengan Lennion yang sudah melahirkan. Ia mengirimkanku foto
dari Atlanta beserta dengan surat. Foto anak pertamanya bersama dengan Lennion
dan suaminya. Mereka tampak sangat bahagia. Entah mengapa tiba-tiba sekarang
aku sudah berada di atas tempat tidur bersama dengan foto yang kubicarakan.
Anaknya baru berumur 1 bulan, laki-laki, namanya Samuel. Dia sangat tampan.
Kuharap aku memiliki kehidupan yang sama bahagianya seperti Lennion. Ia
memiliki suami yang benar-benar mencintainya, anak yang manis, dan yeah,
kehidupan yang patut disyukuri. Tapi
bukan berarti kehidupanku sangatlah miris, tidak. Aku justru bersyukur karena
aku masih memiliki Mozes di sisiku. Ia pasti akan menjadi paman yang sangat
tampan.
Ketukan pintu membuatku tersentak
kaget. Segera saja aku menaruh foto yang kupegang ke atas tempat tidur dan
menerka-nerka bahwa yang datang adalah Mozes, tentunya. Aku berlari kecil
menuju pintu kamar dan membukanya.
“Makan malam!” Seru Mozes memegang sekantong
makanan di tangannya. Ia memang selalu membawa makanan gratis dari restorannya,
itu membuatku tidak perlu repot-repot memasak lagi untuknya. Aku tidak
mengatakan apa-apa, aku hanya tersenyum di bawah tatapan matanya. Deretan
gigiku mungkin akan membuatnya bingung mengapa adiknya begitu bahagia, well,
kalian sudah tahu mengapa aku begitu bahagia sekarang. Salah satu alis Mozes
terangkat. “Okay, sebenarnya, apa yang terjadi padamu?” Tanyanya sedikit takut.
Aku menggigit bibir bawahku untuk menahan teriakan yang sebentar lagi akan
keluar.
“Aku hamil, Mozes!” Aku menjerit
sekeras mungkin, berlari di tempat dengan kedua tangan yang dikepalkan. “Ya
Tuhan, Mozes aku hamil. Apa kau percaya? Kau akan menjadi paman yang hebat!”
Ujarku berhenti berlari dan menunjuk padanya dengan jari telunjuk. Tubuh Mozes
mundur satu langkah dariku lalu raut wajahnya seperti tak habis dan tak
percaya.
“Tunggu dulu, Faith, apa yang sedang
kaubicarakan?” Tanyanya tak mengerti. Oh, mengapa abangku tiba-tiba saja
terlihat begitu bodoh? Atau mungkin ia melihatku seperti melihat orang gila?
Tapi aku tidak gila. Aku hanya bahagia. Namun berlebihan.
“Aku ..Mozes, Faith Edwina,
mengandung bayi!” Seruku memukul dadanya dengan satu tangan. Ia terkekeh,
seolah-olah apa yang kubicarakan adalah gurauan semata. “Mozes, aku serius,
lihatlah bentuk perutku ini!” Ujarku menarik kaosku ke atas perut. Aku
memperlihatkan bagian perutku yang sedikit menonjol, kuperhatikan wajahnya yang
melihat perutku dengan tatapan tak percaya. Aku tahu ini pasti akan
mengejutkannya, tapi jika ia memintaku untuk melakukan aborsi, aku tidak ingin
melakukannya.
“Ah, ya, kau benar,” ucapnya dengan
nada suara setuju. “Well, selamat adikku, kau hamil diumurmu yang masih muda.
Peluk aku,” pintanya. Kupeluk tubuh Mozes yang bau keringat lalu bernafas, oh
sial, dia sangat bau. Ia harus mandi.
“Kau harus membantuku untuk mencari
Ayah bagi anak ini,” ucapku melepaskan pelukan. Kuraih kantong makanan yang
Mozes lalu berjalan menuju dapur. Rumah ini sangat sederhana. Tiga kamar tidur,
satu ruang tamu yang –akhirnya—berpisah dengan dapur. Dua kamar mandi dan satu
gudang. Terlebih lagi, di luar sana kami memiliki taman yang harus kami rawat.
Akhirnya aku memiliki rumah yang memiliki taman bunga. Mozes mengikutiku dari
belakang. Aku menaruh kantong makanan itu ke atas meja dan mengambil dua piring
dan dua gelas dari rak piring. Apa yang bisa kukatakan? Aku senang tinggal di
London, aku masih belajar menggunakan aksen British yang ternyata mudah untuk
dipelajari. Tapi tidak dengan Mozes, ia masih memakai aksen Amerika, beruntung
baginya karena banyak pelayan wanita di restoran menyukainya karena aksen Mozes
–meski aku sedikit bingung mengapa mereka bisa menyukai aksen Amerika. Dan yah,
Mozes masih sama dengan Mozes yang dulu, ia pria pemilih. Mungkin itu yang
membuatnya beruntung mendapatkan kekasih yang tepat. Aku mengasihani diriku
sendiri.
Tanganku dengan terampil menyiapkan
makan malam. Mozes sudah duduk manis di kursi meja makan. Lalu aku akhirnya
duduk di hadapannya.
“Well, aku akan mencari pria yang
pas untukmu,” ucapnya. Ia tidak pernah menyinggung nama Justin padaku karena ia
mengerti perasaanku. Aku cukup menghargainya. “Mari kita berdoa,” perintahnya
melipat tangan. Begitupun aku menutup mata dan melipat tangan. Dan ia mulai
memimpin doa makan malam kami.
“Ya, Bapa kami yang berada di
Kerajaan sorga. Terima kasih atas apa yang telah Kau berikan pada kami pada
hari ini. Terima kasih atas kedatangan penghuni baru di dalam perut Faith, kami
sangat bersyukur atas anugerah yang Kau berikan. Terima kasih atas hidangan
yang ada di hadapan kami, Bapa, semoga makanan ini dapat menjadi kekuatan bagi
Faith yang sekarang sedang hamil. Aku berjanji, ya Bapa, untuk merawat adikku
agar ia dapat melewati masa-masa kelahiran bayinya beberapa bulan ke depan.
Inilah doa kami, Tuhan, dalam namaMu, Amin.” Aku membuka mata. Mataku langsung
bertemu dengan dengan mata Mozes dan aku tersenyum. Doa yang sungguh indah.
“Ayo makan,” ujarnya mulai melahap makanannya.
“Bagaimana pekerjaanmu Mozes? Apa
ada yang spesial?” Tanyaku ingin tahu dan mulai memakan makananku. Makanan dari
restorannya tidak pernah mengecewakannya. Mungkin setelah ini aku harus membeli
susu formula untuk janin di perutku. Ia harus sehat di dalam sana. Kabar
baiknya adalah janinku sehat di dalam sana, tapi dr. Laura memberitahu padaku
untuk lebih menjaga kesehatan agar janin tak terpengaruh. Aku tidak boleh
stress atau semacamnya, atau aku akan keguguran.
“Tidak ada yang spesial,
omong-omong, berapa bulan bayi itu di dalam perutmu?”
“Dua bulan lebih. Katanya sebentar
lagi akan menginjak umur 3 bulan. Tidakkah kau sadar kita akan memasuki bulan
ke-4 di London? Kita masih hidup dengan normal,”
“Yeah, kau benar. Apa yang bisa
kukatakan, Faith? Aku senang tinggal di sini. Tidak begitu ramai. Sejuk. Meski
terlalu sering hujan. Tapi itu tidak begitu penting, aku senang jika kau senang
tinggal di sini,”
“Mozes,” aku menyebut nama abangku.
“Apa ada kemungkinan aku akan bertemu dengan belahan jiwaku?” Tanyaku melipat
bibir ke dalam. Matanya yang awalnya menatapku tiba-tiba saja tidak berani
menatapku lagi, mengapa? Raut wajahnyapun berubah menjadi lebih wajah yang
lebih sedih lalu ia mengedikkan bahunya.
“Aku tidak tahu, Faith. Aku masih
tidak ingin kau dekat dengan seorang pria setelah kejadian itu.” Mozes tidak berani menyebut namanya karena ia tahu itu akan
menyakiti hatiku, aku mengangguk, mengerti.
AUTHOR
Bulan
pertama tinggal di London adalah kebahagiaan bagi kedua insan yang sedang
menikmati masa-masa bulan madu mereka. Sebenarnya, mereka bulan madu di rumah
mereka sendiri, hanya saja tidak sama dengan lingkungan kehidupan mereka
sebelumnya. Gadis bernama Carla itu tampak sangat kurus, tidak seseksi dulu, ia
sedang melakukan penurunan badan secara drastis. Meski suaminya selalu
melarangnya untuk tidak melakukan penurunan badan, tapi ia masih bersikeras
melakukan penurunan badan. Hasilnya ia kurus tapi tidak seperti seseorang
terserang anorexia. Justin, pria bertubuh tegap itu, sedang membaca koran
paginya dengan segelas teh yang berada di meja, di samping tubuhnya. Ia tidak
pernah merasa begitu tenang seumur hidupnya. Buku barunya sekarang sudah
mencapai halaman ke-30, ia sekarang sudah terbiasa memiliki istri. Dua hari ke
depan ia akan mulai bekerja di London, di perusahaan barunya. Ya, dia membuat
cabang di luar negeri sekarang. Ia cukup bangga dengan pencapaiannya. Setelah
Justin mendapatkan istri, rumah baru, lingkungan yang baru, sekarang ia ingin
memiliki seorang bayi. Seorang anak, mungkin ia akan membesarkan anak
pertamanya sama seperti Ayahnya membesarkan Justin. Justin pasti akan menjadi
Ayah yang sangat hebat.
Carla muncul dengan celana pendek
yang ia pakai serta kaos hitam tak berlengan dari pintu utama rumahnya.
Dilihatnya Justin sedang serius membaca koran. Ya, Justin sekarang terlihat
seperti bapak-bapak pada umumnya. Bedanya, ia terlihat lebih muda dan tampan.
“Apa hari ini kita akan pergi
supermarket?”
“Ya, tentu saja,” ucap Justin
menutup korannya. Istrinya sudah terduduk di sebelahnya yang dibatasi meja
bundar. Tangan Justin mengambil secangkir teh lalu meminumnya. Oh, sungguh
nikmat, pagi yang sejuk dengan teh hangat adalah perpaduan yang tepat!
“Bagaimana tidurmu, Mrs. Lexise?”
“Tidak pernah senyenyak tadi malam,”
ucap Carla tertawa kecil, ia menghela nafas panjang. Lalu Justin mulai menatap
langit-langit London yang berwarna biru muda, cerah.
“Kau tahu, aku bersyukur padamu
karena kau telah membuatku tidak ingin membunuh Faith. Kau ingat dia?
Sahabatmu, dulu. Sekarang ia menghilang entah kemana. Setelah aku berhasil
membunuh Florek, dulu aku ingin membunuhnya juga. Yeah, ia terlihat seperti
pengkhianat. Namun kau yang meyakinkanku untuk mengingat betapa baiknya dia
padaku, kau mengurung niatku yang jahat. Entah aku harus mengatakan apa, tapi
karena kau, aku tidak sama sekali memiliki dendam terhadap gadis itu,”
“Benarkah? Kau tidak pernah
mengatakannya padaku. Well, sebenarnya, aku juga merasa bersalah pada Faith.
Tiap kali aku mengatakan padamu bahwa aku mencintaimu, aku seperti mengkhianati
Faith. Kau adalah mantan kekasihnya, mantan kekasih sahabatku.Tapi perasaan ini
tidak dapat kutahan. Aku jatuh hati sejak pertama kali kita bertemu. Sampai sekarangpun
aku masih mencintaimu. Apa menurutmu ini adalah perasaan yang salah?”
“Kau mencintaiku adalah perasaan
yang salah? Jaga bicaramu, Mrs. Lexise. Justru aku beruntung karena telah
mendapat istri sebaik dirimu. Betapa kau lebih mementingkan sahabatmu dibanding
dirimu sendiri. Tapi aku telah mengambil keputusan yang tepat. Meski aku masih
memiliki sedikit perasaan pada Faith, tapi kau yang memenangkannya. Selamat,
Mrs. Lexise, hadiahmu sekarang sudah berada di hadapanmu,” ucap Justin
mencondongkan tubuhnya ke arah Carla, lalu ia menarik leher istrinya itu dan
mengecup bibirnya dengan lembut. Ciuman ini membuat hati Carla hancur
berkeping-keping. Ia merasa sangat salah dengan perasaan ini, di satu sisi, ia
memikirkan perasan Faith yang mungkin sampai sekarang masih mencintai Justin.
Namun entah kemana, gadis menyenangkan itu menghilang dari Atlanta. Mungkin itu
adalah tanda dari Faith memberikan Justin kepada Carla.
“I will never leave you, Mrs.
Lexise,”
“So do I, Mr. Lexise.”
Ruangan
itu tampak sangat menyenangkan. Tenang. Dan sejuk. Faith yang sedang
memerhatikan anak-anak muridnya melipat kertas origami itu tersenyum-senyum
sendiri seperti orang gila. Bayang-bayang memiliki anak-anak yang manis seperti
muridnya tidak dapat ia tahan. Tangannya pelan-pelan menyentuh perutnya yang
sudah berbentuk bulat itu. Meski tidak begitu besar tapi tetap saja ia terlihat
seperti Ibu hamil. Setelah satu bulan ia mengetahui ia hamil, ia lebih
hati-hati dalam memilih makanan. Satu murid perempuan yang berada di depan
mejanya memerhatikan Faith. Gadis kecil itu menatap Faith dengan tatapan kagum,
kedua kakinya ia gerak-gerakkan di udara, dan tangannya memainkan kertas
origaminya. Ia sudah membuat burung berwarna hitam. Kunciran rambutnya
bergoyang-goyang karena kakinya tidak bisa diam.
“Ms. Faith,” panggil gadis kecil itu
dengan suaranya yang imut.
“Ada apa sayang?” Tanya Faith
mencondongkan tubuhnya ke depan. Ia melipat tangannya ke atas meja dan salah
satu tangannya menumpu dagu.
“Aku ingin bertanya,” ucap gadis
itu. “Mengapa perutmu sekarang berbentuk bola? Apa kau memakan bola atau
balon?” Tanyanya penasaran. Kedua tangan mungil itu sekarang sudah memegang
kedua sisi mejanya. Gadis itu memiliki dua gigi besar di gusi atasnya.
“Tidak sayang,” ucap Faith selembut
mungkin. “Aku sedang hamil. Ada bayi di dalam sana. Aku harus menunggunya
selama 9 bulan, perut ini akan semakin membesar. Kau pasti akan melihatnya.
Lalu aku akan melahirkan seorang bayi. Apa kau pernah melihat seorang bayi
sebelumnya, Jennifer?”
“Ya, aku memiliki adik kecil
laki-laki. Dia bernama Stanley. Dan ia sangat lucu,”
“Apa kau menyayangi adikmu?”
“Aku sangat menyayangi adikku,” ujar
Jennifer mengangguk-anggukan kepalanya, ia berusaha meyakinkan Faith. “Tapi ia
selalu menangis ketika aku mengambil mainannya,”
“Begini sayang,” ucap Faith. “Jika
kau memiliki boneka unicorn putih dan tiba-tiba saja adikmu mengambilnya
darimu, apa kau tidak akan marah padanya?”
“Aku akan sangat marah, Ms. Faith!
Aku menyukai unicorn. Mereka memiliki tanduk dan sayap yang sangat cantik. Aku
ingin menaiki mereka lalu terbang ke langit bersama,” jelas Jennifer
merentangkan tangannya, memejamkan mata lalu menghirup udara dalam-dalam.
Sedetik kemudian ia kembali duduk normal.
“Nah,
kalau begitu, sama halnya ketika kau mengambil mainan adikmu. Ia pasti juga
akan marah. Mungkin Jennifer memiliki mainan sendiri, kau bisa memainkannya
dengan teman-teman,”
“Terima
kasih, Ms. Faith. Aku menyayangimu,” ujar anak itu turun dari kursinya. Ia
berjalan menuju Faith dan memeluk Faith dengan erat.. Tangan Jennifer yang
kecil itu menyentuh perut Faith yang bulat, ia mengelusnya. Pikiran Faith mulai
melayang kemana-mana. Apakah seperti ini rasanya dipeluk oleh anak sendiri?
Bagaimana rasanya dipanggil “Ibu” oleh anak sendiri? Melihat mereka
berlari-lari senang, mengikat rambut mereka jika ia adalah seorang anak
perempuan, dan mengajarinya menggambar. Pasti akan sangat menyenangkan.
“Kembalilah
ke tempatmu, selesaikan origamimu,” suruh Faith melepaskan pelukan Jennifer.
Mungkin sekarang Faith adalah guru terfavorit di kelas 2 SD ini.
“Oke.”
Ucap Jennifer berjalan sambil melompat-lompat bahagia.
***
Justin mendorong troli yang berisikan kebutuhannya
dengan Carla. Ia sedang menunggu satu orang yang ada di depannya membayar
belanjaan mereka. Ia sebenarnya tidak senang pergi ke supermarket, tapi karena
Carla memaksanya kemarin, ia memenuhi permintaa istrinya namun Carla sedang
mencari barangnya yang tertinggal di salah satu rak supermarket ini, jadi
sebentar lagi ia akan kembali. Sejak pagi, ia teringat dengan Faith sudah lama
tidak melewati pikirannya. Bagaimana keadaan gadis itu? Apa ia baik-baik saja?
Justin awalnya memang ingin membunuhnya, tapi ia menahan diri untuk tidak
melakukan itu sampai pada akhirnya ia benar-benar mengurungkan niatnya untuk
membunuh Faith. Gadis itu hilang begitu saja dari Atlanta tepat setelah mereka
putus. Mungkin Faith tidak ingin bertemu dengannya lagi. Tapi terima kasih
Faith sudah melakukan itu untuk Justin karena Justin tidak ingin mengambil
resiko besar jika Justin menyakiti Faith. Kepalanya menoleh ke sebelah
kasirnya. Ia memerhatikan orang-orang yang ikut menantri untuk membayar
kebutuhan mereka. Sampai pada akhirnya matanya jatuh pada seorang wanita yang sedang
menaruh satu per satu belanjaannya kepada petugas kasir. Wajah itu tampak
sangat familiar. Rambutnya diikat sanggul, namun tidak begitu rapi. Ia mengenal
gadis itu. Dari senyumannya, gerak-geriknya, dan suara gadis itu terdengar
hingga telinga Justin. “Terima kasih,” ujar gadis itu dengan ramah. Saat itu
juga ia sangat yakin bahwa ia adalah Faith Edwina. Gadis yang seharian ini
berada di pikirannya. Apa pikirannya adalah petunjuk bahwa hari ini ia akan
bertemu dengan gadis yang pernah ia sukai? Ia menelan ludahnya. Faith meraup
kedua kantong kertas cokelat itu dengan kedua tangannya. Wajah Faith lebih
cantik dibanding dulu dan ia lebih putih dan terlihat lebih subur. Apa yang
terjadi dengan gadis itu? Justin mendorong trolinya ke depan setelah orang di
depannya telah menghilang. Faith yang awalnya menunduk, mendongakkan kepalanya
dan sangat kebetulan, ia menjatuhkan tatapannya pada Justin yang sedang
memerhatikannya. Tatapan takut dari Faith membuatnya dengan cepat berjalan dari
tempatnya. Ada hal yang berbeda dari Faith, ada sesuatu, namun Justin tidak
tahu apa itu. Namun ketika matanya terjatuh pada perut Faith, ia sadar
sepenuhnya, bahwa gadis itu sedang mengandung. Apa-apaan?
“Ah,
akhirnya aku mendapatkannya kembali, fiuh!” Desah Carla kembali di belakang
Justin. “Kau sudah membayarnya? Oh, belum,”
“Aku
harus ke sana sebentar, Carla,” ucap Justin tanpa menatap Carla sama sekali. Carla
bahkan belum menjawabnya, namun Justin sudah beranjak dari tempatnya. Segera
mungkin Justin berjalan menuju pintu supermarket, Faith sudah keluar dari
supermarket. Ia berlari kecil keluar dari supermarket. Di luar supermarket,
Justin masih bisa melihat Faith yang sedang berjalan keluar dari parkiran.
“Faith! Faith!” Teriak Justin berlari lebih kencang. Faith membeku di
tempatnya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, tapi ia tidak bisa berlari.
Faith memang tidak memakai sepatu hak tinggi tapi tetap saja ia takut berlari
karena ia sedang mengandung terlebih lagi jalanan sedang licin akibat hujan
lebat tadi siang. Sore ini menjadi sangat buruk ketika Faith melihat dan
sekaligus mendengar suara dari pria yang dulu pernah ia cintai! Oh, bahkan
sampai sekarang perasaan itu masih ada –itu adalah salah satu alasan mengapa
Faith belum mendapatkan kekasih. Ia mungkin melupakan Justin, tapi perasaan ini
masih untuk pria yang baru saja memanggilnya itu.
“Pergilah,
Justin!” Seru Faith berusaha berjalan cepat.
“Tidak,
Faith, tunggu!” Pinta Justin, memohon. Faith menjerit sekencang mungkin ketika
tangan Justin meraih lengannya. “Tidak, Faith. Aku tidak akan menyakitimu,
Faith, tenanglah,” ujar Justin. Faith menundukkan kepalanya, lalu tubuhnya
berbalik pada Justin.
“Apa
yang kauinginkan Justin?” Tanya Faith tidak sama sekali mendongak.
“Kau
..kau hamil,” bisik Justin. Tangan Justin mulai menyentuh perut yang tidak
begitu besar itu lalu Faith mundur satu langkah. “Faith?”
“Jangan
sentuh aku,” ucap Faith menggelengkan kepalanya, tak ingin disentuh. Tentu
saja, pria ini sudah mengusirnya dan sekarang berani menyentuh Faith? Dan tangan
itu! Sial tangan itu menyentuh perutnya, tangan yang sudah membunuh Florek itu
menyentuh perutnya! Faith merasa sangat kotor.
“Faith,
kau mengandung anakku,” ujar Justin penuh keyakinan. “Mengapa kau berada di
sini? Apa yang kaulakukan? Sial, kau sedang mengandung anakku,”
“Aku
tidak meminta pertanggungjawaban darimu, Justin, kau hanya perlu …menjauh
dariku, itu saja sudah cukup,” pinta Faith akhirnya mendongak. Ia melihat mata
Justin, tatapan itu masih sama seperti dulu. Tidak ada bedanya. Menakutkan dan
tajam.
“Faith,
kau mengandung keturunan Lexise. Aku harus bertanggungjawab, tentu saja. A-aku
mungkin memang tidak mencintaimu lagi, aku telah memiliki istri. Tapi anak yang
kau kandung adalah anakku. Dan kau terlihat begitu baik-baik saja,”
“Tentu
saja aku baik-baik saja, apa-apaan kau Justin?” Faith menjauhkan tubuhnya dari
Justin. Ia tidak ingin Justin menyentuhnya. Dan apa? Apa pendengaran Faith
masih baik-baik saja? Justin memiliki istri? Oh, ini sangat sempurna!
Sungguh
menyakitkan!
Entah
mengapa Faith tidak bisa meminta kematian pada Tuhan karena ia sedang hamil.
Mengapa pria ini kembali muncul ke dalam hidupnya lagi? Faith tidak
menginginkannya lagi. Faith tidak ingin merasakan hal yang sama lagi padanya!
Sudah cukup satu kali ia sakit hati pada orang seperti Justin, ia tidak ingin
jatuh ke dalam lubang yang sama. Kini hening menjadi atmosfer di antara mereka.
Faith menatap mata Justin dalam-dalam, sebisa mungkin ia tidak menangis.
Mengapa pria ini tidak sadar bahwa Justin membutuhkan ruangan untuk menjauh
darinya? Justin menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak percaya dulu ia
memiliki niatan untuk membunuh gadis yang ada di hadapannya ini. Gadis yang
sedang mengandung anaknya. Anak! Justin menginginkan anak dan gadis ini muncul
dengan keadaan mengandung anaknya. Apa ini rencana Tuhan mempertemukan mereka
kembali? Namun Justin tentu tidak akan menikahi Faith karena ia telah memiliki
Carla.
“Istri?”
Suara Faith memecahkan suasana.
“Yeah,
Carla. Dia telah menjadi istriku sekarang,” oh sempurna! Faith menangis dalam
hati. Carla? Carla telah menjadi istri dari seorang Justin Lexise? Faith
menelan ludahnya.
“Selamat
untukmu,” ucap Faith berusaha tegar. “Dimana Florek?” Faith membuat rahang
Justin menegang. Air mata Faith mulai mengumpul di pelupuk matanya. Florek telah tiada. Tatapan mata Justin
telah menjadi jawaban. Mengapa ia tega membunuh kakek tua baik itu? Bendungan
itu tidak dapat ditampung oleh Faith, dan detik itu juga air mata itu menetes.
Mengalir melewati pipi Faith yang putih.
“Faith,
aku harus bertanggungjawab atas kehamilanmu,”
“Ini
adalah pertemuan pertama di London yang benar-benar mengesankan, namun aku
tidak ingin tanggungjawab dari pria yang telah memiliki istri. Tidak, terima
kasih, Justin,” ucap Faith menolak sehalus mugkin. Namun tangan Justin telah
mengeluarkan dompet dan beberapa lembar uang serta kartu nama Justin.
“Terimalah
ini, Faith, aku memang tidak dapat menikahimu. Tapi aku bisa memenuhi kebutuhan
anakku. Ambillah uang ini,”
“Demi
Tuhan, aku tidak tahu mengapa kau bisa begitu bodoh Justin!” Seru Faith
berteriak. Air mata itu semakin mengalir deras. “Aku bukan gadis murahan miskin
yang membutuhkan uangmu! Pergilah pada istrimu, Carla, milikilah anak dan
hiduplah sebahagia mungkin,”
“Bagaimana
bisa aku bahagia ketika aku tahu anakku hidup terpuruk?”
“Anakmu
tidak akan hidup terpuruk denganku, Justin Lexise yang Terhormat! Dia akan
menjadi anak yang baik! Kau sangat merendahkanku. Aku berjanji akan mengurus
bayi ini sebaik mungkin tanpa bantuanmu, Justin. Selamat tinggal.” Ujar Faith
membalikkan tubuhnya, berjalan meninggalkan Justin sendirian. Titik-titik hujan
mulai turun bersamaan dengan hilangnya Faith dari pandangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar