Senin, 16 Desember 2013

Right Mistakes Bab 15

CHAPTER FIFTEEN

FAITH

            Tidak ada yang dapat kulakukan selain mengucap syukur kepada Tuhan karena Ia telah memberikanku janin di dalam kandunganku. Ini menjadi suatu keajaiban yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Awalnya aku memang terkejut dengan berita ini, seharusnya aku mengetahui ini sejak dulu. Mungkin aku tidak pernah mengalami tanda-tanda Ibu hamil sebelumnya, katanya itu wajar. Baiklah jika begitu, aku akan menjalani hidup ini lebih semangat lagi. Cermin yang ada di hadapanku memperlihatkan perutku yang sedikit berbentuk namun tidak begitu kelihatan. Di dalam sana ada mahluk hidup yang sebentar lagi akan menjadi seorang manusia. Diam-diam aku tersenyum, menggigit bibir bawahku penuh dengan rasa penasaran, bagaimana jika ia sudah lahir ke dunia? Apa dia seorang anak laki-laki atau perempuan? Aku tidak memerlukan Justin di sisiku, ia hanyalah bagian dari masa laluku. Aku sudah melupakannya, tidak ada di dia di sisiku tidak membuatku mati seketika. Mozes belum pulang dari restoran padahal aku sudah tidak sabar ingin memberitahu kabar gembira ini.
            Sebentar lagi aku akan menjadi seorang Ibu dan Mozes akan menjadi seorang paman. Well, aku minta maaf kepada Mozes karena kami harus tinggal di sini, ia harus putus dengan kekasihnya. Tapi ini untuk kebaikkan kami bersama. Ia sepertinya sudah bisa melupakan mantan kekasihnya yang berada di Atlanta itu. Aku senang jika ia memiliki teman kencan yang baru.
            Setelah mengamati perutku yang sedikit berbentuk itu, tanganku menarik turun kaos putih yang kupakai untuk menutupinya. Ada begitu banyak skenario yang terangkai di otakku. Well, mungkin mulai dari sekarang aku harus mencari kekasih baru untuk menjadikannya sebagai Ayah bayi yang ada di dalam perutku. Yeah, benar. Meski perasaan trauma masih menghantuiku namun aku sudah memohon pada Tuhan agar aku mendapatkan kekasih yang lebih baik dibanding kekasih-kekasihku yang sebelumnya. Pria Inggris? Mengapa tidak? Mereka pasti sama menyenangkannya dengan orang-orang di Atlanta. Aku jadi teringat dengan Lennion yang sudah melahirkan. Ia mengirimkanku foto dari Atlanta beserta dengan surat. Foto anak pertamanya bersama dengan Lennion dan suaminya. Mereka tampak sangat bahagia. Entah mengapa tiba-tiba sekarang aku sudah berada di atas tempat tidur bersama dengan foto yang kubicarakan. Anaknya baru berumur 1 bulan, laki-laki, namanya Samuel. Dia sangat tampan. Kuharap aku memiliki kehidupan yang sama bahagianya seperti Lennion. Ia memiliki suami yang benar-benar mencintainya, anak yang manis, dan yeah, kehidupan yang patut disyukuri.  Tapi bukan berarti kehidupanku sangatlah miris, tidak. Aku justru bersyukur karena aku masih memiliki Mozes di sisiku. Ia pasti akan menjadi paman yang sangat tampan.
            Ketukan pintu membuatku tersentak kaget. Segera saja aku menaruh foto yang kupegang ke atas tempat tidur dan menerka-nerka bahwa yang datang adalah Mozes, tentunya. Aku berlari kecil menuju pintu kamar dan membukanya.
            “Makan malam!” Seru Mozes memegang sekantong makanan di tangannya. Ia memang selalu membawa makanan gratis dari restorannya, itu membuatku tidak perlu repot-repot memasak lagi untuknya. Aku tidak mengatakan apa-apa, aku hanya tersenyum di bawah tatapan matanya. Deretan gigiku mungkin akan membuatnya bingung mengapa adiknya begitu bahagia, well, kalian sudah tahu mengapa aku begitu bahagia sekarang. Salah satu alis Mozes terangkat. “Okay, sebenarnya, apa yang terjadi padamu?” Tanyanya sedikit takut. Aku menggigit bibir bawahku untuk menahan teriakan yang sebentar lagi akan keluar.
            “Aku hamil, Mozes!” Aku menjerit sekeras mungkin, berlari di tempat dengan kedua tangan yang dikepalkan. “Ya Tuhan, Mozes aku hamil. Apa kau percaya? Kau akan menjadi paman yang hebat!” Ujarku berhenti berlari dan menunjuk padanya dengan jari telunjuk. Tubuh Mozes mundur satu langkah dariku lalu raut wajahnya seperti tak habis dan tak percaya.
            “Tunggu dulu, Faith, apa yang sedang kaubicarakan?” Tanyanya tak mengerti. Oh, mengapa abangku tiba-tiba saja terlihat begitu bodoh? Atau mungkin ia melihatku seperti melihat orang gila? Tapi aku tidak gila. Aku hanya bahagia. Namun berlebihan.
            “Aku ..Mozes, Faith Edwina, mengandung bayi!” Seruku memukul dadanya dengan satu tangan. Ia terkekeh, seolah-olah apa yang kubicarakan adalah gurauan semata. “Mozes, aku serius, lihatlah bentuk perutku ini!” Ujarku menarik kaosku ke atas perut. Aku memperlihatkan bagian perutku yang sedikit menonjol, kuperhatikan wajahnya yang melihat perutku dengan tatapan tak percaya. Aku tahu ini pasti akan mengejutkannya, tapi jika ia memintaku untuk melakukan aborsi, aku tidak ingin melakukannya.
            “Ah, ya, kau benar,” ucapnya dengan nada suara setuju. “Well, selamat adikku, kau hamil diumurmu yang masih muda. Peluk aku,” pintanya. Kupeluk tubuh Mozes yang bau keringat lalu bernafas, oh sial, dia sangat bau. Ia harus mandi.
            “Kau harus membantuku untuk mencari Ayah bagi anak ini,” ucapku melepaskan pelukan. Kuraih kantong makanan yang Mozes lalu berjalan menuju dapur. Rumah ini sangat sederhana. Tiga kamar tidur, satu ruang tamu yang –akhirnya—berpisah dengan dapur. Dua kamar mandi dan satu gudang. Terlebih lagi, di luar sana kami memiliki taman yang harus kami rawat. Akhirnya aku memiliki rumah yang memiliki taman bunga. Mozes mengikutiku dari belakang. Aku menaruh kantong makanan itu ke atas meja dan mengambil dua piring dan dua gelas dari rak piring. Apa yang bisa kukatakan? Aku senang tinggal di London, aku masih belajar menggunakan aksen British yang ternyata mudah untuk dipelajari. Tapi tidak dengan Mozes, ia masih memakai aksen Amerika, beruntung baginya karena banyak pelayan wanita di restoran menyukainya karena aksen Mozes –meski aku sedikit bingung mengapa mereka bisa menyukai aksen Amerika. Dan yah, Mozes masih sama dengan Mozes yang dulu, ia pria pemilih. Mungkin itu yang membuatnya beruntung mendapatkan kekasih yang tepat. Aku mengasihani diriku sendiri.
            Tanganku dengan terampil menyiapkan makan malam. Mozes sudah duduk manis di kursi meja makan. Lalu aku akhirnya duduk di hadapannya.
            “Well, aku akan mencari pria yang pas untukmu,” ucapnya. Ia tidak pernah menyinggung nama Justin padaku karena ia mengerti perasaanku. Aku cukup menghargainya. “Mari kita berdoa,” perintahnya melipat tangan. Begitupun aku menutup mata dan melipat tangan. Dan ia mulai memimpin doa makan malam kami.
            “Ya, Bapa kami yang berada di Kerajaan sorga. Terima kasih atas apa yang telah Kau berikan pada kami pada hari ini. Terima kasih atas kedatangan penghuni baru di dalam perut Faith, kami sangat bersyukur atas anugerah yang Kau berikan. Terima kasih atas hidangan yang ada di hadapan kami, Bapa, semoga makanan ini dapat menjadi kekuatan bagi Faith yang sekarang sedang hamil. Aku berjanji, ya Bapa, untuk merawat adikku agar ia dapat melewati masa-masa kelahiran bayinya beberapa bulan ke depan. Inilah doa kami, Tuhan, dalam namaMu, Amin.” Aku membuka mata. Mataku langsung bertemu dengan dengan mata Mozes dan aku tersenyum. Doa yang sungguh indah. “Ayo makan,” ujarnya mulai melahap makanannya.
            “Bagaimana pekerjaanmu Mozes? Apa ada yang spesial?” Tanyaku ingin tahu dan mulai memakan makananku. Makanan dari restorannya tidak pernah mengecewakannya. Mungkin setelah ini aku harus membeli susu formula untuk janin di perutku. Ia harus sehat di dalam sana. Kabar baiknya adalah janinku sehat di dalam sana, tapi dr. Laura memberitahu padaku untuk lebih menjaga kesehatan agar janin tak terpengaruh. Aku tidak boleh stress atau semacamnya, atau aku akan keguguran.
            “Tidak ada yang spesial, omong-omong, berapa bulan bayi itu di dalam perutmu?”
            “Dua bulan lebih. Katanya sebentar lagi akan menginjak umur 3 bulan. Tidakkah kau sadar kita akan memasuki bulan ke-4 di London? Kita masih hidup dengan normal,”
            “Yeah, kau benar. Apa yang bisa kukatakan, Faith? Aku senang tinggal di sini. Tidak begitu ramai. Sejuk. Meski terlalu sering hujan. Tapi itu tidak begitu penting, aku senang jika kau senang tinggal di sini,”
            “Mozes,” aku menyebut nama abangku. “Apa ada kemungkinan aku akan bertemu dengan belahan jiwaku?” Tanyaku melipat bibir ke dalam. Matanya yang awalnya menatapku tiba-tiba saja tidak berani menatapku lagi, mengapa? Raut wajahnyapun berubah menjadi lebih wajah yang lebih sedih lalu ia mengedikkan bahunya.
            “Aku tidak tahu, Faith. Aku masih tidak ingin kau dekat dengan seorang pria setelah kejadian itu.” Mozes tidak berani menyebut namanya karena ia tahu itu akan menyakiti hatiku, aku mengangguk, mengerti.

AUTHOR

            Bulan pertama tinggal di London adalah kebahagiaan bagi kedua insan yang sedang menikmati masa-masa bulan madu mereka. Sebenarnya, mereka bulan madu di rumah mereka sendiri, hanya saja tidak sama dengan lingkungan kehidupan mereka sebelumnya. Gadis bernama Carla itu tampak sangat kurus, tidak seseksi dulu, ia sedang melakukan penurunan badan secara drastis. Meski suaminya selalu melarangnya untuk tidak melakukan penurunan badan, tapi ia masih bersikeras melakukan penurunan badan. Hasilnya ia kurus tapi tidak seperti seseorang terserang anorexia. Justin, pria bertubuh tegap itu, sedang membaca koran paginya dengan segelas teh yang berada di meja, di samping tubuhnya. Ia tidak pernah merasa begitu tenang seumur hidupnya. Buku barunya sekarang sudah mencapai halaman ke-30, ia sekarang sudah terbiasa memiliki istri. Dua hari ke depan ia akan mulai bekerja di London, di perusahaan barunya. Ya, dia membuat cabang di luar negeri sekarang. Ia cukup bangga dengan pencapaiannya. Setelah Justin mendapatkan istri, rumah baru, lingkungan yang baru, sekarang ia ingin memiliki seorang bayi. Seorang anak, mungkin ia akan membesarkan anak pertamanya sama seperti Ayahnya membesarkan Justin. Justin pasti akan menjadi Ayah yang sangat hebat.
            Carla muncul dengan celana pendek yang ia pakai serta kaos hitam tak berlengan dari pintu utama rumahnya. Dilihatnya Justin sedang serius membaca koran. Ya, Justin sekarang terlihat seperti bapak-bapak pada umumnya. Bedanya, ia terlihat lebih muda dan tampan.
            “Apa hari ini kita akan pergi supermarket?”
            “Ya, tentu saja,” ucap Justin menutup korannya. Istrinya sudah terduduk di sebelahnya yang dibatasi meja bundar. Tangan Justin mengambil secangkir teh lalu meminumnya. Oh, sungguh nikmat, pagi yang sejuk dengan teh hangat adalah perpaduan yang tepat!
            “Bagaimana tidurmu, Mrs. Lexise?”
            “Tidak pernah senyenyak tadi malam,” ucap Carla tertawa kecil, ia menghela nafas panjang. Lalu Justin mulai menatap langit-langit London yang berwarna biru muda, cerah.
            “Kau tahu, aku bersyukur padamu karena kau telah membuatku tidak ingin membunuh Faith. Kau ingat dia? Sahabatmu, dulu. Sekarang ia menghilang entah kemana. Setelah aku berhasil membunuh Florek, dulu aku ingin membunuhnya juga. Yeah, ia terlihat seperti pengkhianat. Namun kau yang meyakinkanku untuk mengingat betapa baiknya dia padaku, kau mengurung niatku yang jahat. Entah aku harus mengatakan apa, tapi karena kau, aku tidak sama sekali memiliki dendam terhadap gadis itu,”
            “Benarkah? Kau tidak pernah mengatakannya padaku. Well, sebenarnya, aku juga merasa bersalah pada Faith. Tiap kali aku mengatakan padamu bahwa aku mencintaimu, aku seperti mengkhianati Faith. Kau adalah mantan kekasihnya, mantan kekasih sahabatku.Tapi perasaan ini tidak dapat kutahan. Aku jatuh hati sejak pertama kali kita bertemu. Sampai sekarangpun aku masih mencintaimu. Apa menurutmu ini adalah perasaan yang salah?”
            “Kau mencintaiku adalah perasaan yang salah? Jaga bicaramu, Mrs. Lexise. Justru aku beruntung karena telah mendapat istri sebaik dirimu. Betapa kau lebih mementingkan sahabatmu dibanding dirimu sendiri. Tapi aku telah mengambil keputusan yang tepat. Meski aku masih memiliki sedikit perasaan pada Faith, tapi kau yang memenangkannya. Selamat, Mrs. Lexise, hadiahmu sekarang sudah berada di hadapanmu,” ucap Justin mencondongkan tubuhnya ke arah Carla, lalu ia menarik leher istrinya itu dan mengecup bibirnya dengan lembut. Ciuman ini membuat hati Carla hancur berkeping-keping. Ia merasa sangat salah dengan perasaan ini, di satu sisi, ia memikirkan perasan Faith yang mungkin sampai sekarang masih mencintai Justin. Namun entah kemana, gadis menyenangkan itu menghilang dari Atlanta. Mungkin itu adalah tanda dari Faith memberikan Justin kepada Carla.
            “I will never leave you, Mrs. Lexise,”
            “So do I, Mr. Lexise.”


            Ruangan itu tampak sangat menyenangkan. Tenang. Dan sejuk. Faith yang sedang memerhatikan anak-anak muridnya melipat kertas origami itu tersenyum-senyum sendiri seperti orang gila. Bayang-bayang memiliki anak-anak yang manis seperti muridnya tidak dapat ia tahan. Tangannya pelan-pelan menyentuh perutnya yang sudah berbentuk bulat itu. Meski tidak begitu besar tapi tetap saja ia terlihat seperti Ibu hamil. Setelah satu bulan ia mengetahui ia hamil, ia lebih hati-hati dalam memilih makanan. Satu murid perempuan yang berada di depan mejanya memerhatikan Faith. Gadis kecil itu menatap Faith dengan tatapan kagum, kedua kakinya ia gerak-gerakkan di udara, dan tangannya memainkan kertas origaminya. Ia sudah membuat burung berwarna hitam. Kunciran rambutnya bergoyang-goyang karena kakinya tidak bisa diam.
            “Ms. Faith,” panggil gadis kecil itu dengan suaranya yang imut.
            “Ada apa sayang?” Tanya Faith mencondongkan tubuhnya ke depan. Ia melipat tangannya ke atas meja dan salah satu tangannya menumpu dagu.
            “Aku ingin bertanya,” ucap gadis itu. “Mengapa perutmu sekarang berbentuk bola? Apa kau memakan bola atau balon?” Tanyanya penasaran. Kedua tangan mungil itu sekarang sudah memegang kedua sisi mejanya. Gadis itu memiliki dua gigi besar di gusi atasnya.
            “Tidak sayang,” ucap Faith selembut mungkin. “Aku sedang hamil. Ada bayi di dalam sana. Aku harus menunggunya selama 9 bulan, perut ini akan semakin membesar. Kau pasti akan melihatnya. Lalu aku akan melahirkan seorang bayi. Apa kau pernah melihat seorang bayi sebelumnya, Jennifer?”
            “Ya, aku memiliki adik kecil laki-laki. Dia bernama Stanley. Dan ia sangat lucu,”
            “Apa kau menyayangi adikmu?”
            “Aku sangat menyayangi adikku,” ujar Jennifer mengangguk-anggukan kepalanya, ia berusaha meyakinkan Faith. “Tapi ia selalu menangis ketika aku mengambil mainannya,”
            “Begini sayang,” ucap Faith. “Jika kau memiliki boneka unicorn putih dan tiba-tiba saja adikmu mengambilnya darimu, apa kau tidak akan marah padanya?”
            “Aku akan sangat marah, Ms. Faith! Aku menyukai unicorn. Mereka memiliki tanduk dan sayap yang sangat cantik. Aku ingin menaiki mereka lalu terbang ke langit bersama,” jelas Jennifer merentangkan tangannya, memejamkan mata lalu menghirup udara dalam-dalam. Sedetik kemudian ia kembali duduk normal.
            “Nah, kalau begitu, sama halnya ketika kau mengambil mainan adikmu. Ia pasti juga akan marah. Mungkin Jennifer memiliki mainan sendiri, kau bisa memainkannya dengan teman-teman,”
            “Terima kasih, Ms. Faith. Aku menyayangimu,” ujar anak itu turun dari kursinya. Ia berjalan menuju Faith dan memeluk Faith dengan erat.. Tangan Jennifer yang kecil itu menyentuh perut Faith yang bulat, ia mengelusnya. Pikiran Faith mulai melayang kemana-mana. Apakah seperti ini rasanya dipeluk oleh anak sendiri? Bagaimana rasanya dipanggil “Ibu” oleh anak sendiri? Melihat mereka berlari-lari senang, mengikat rambut mereka jika ia adalah seorang anak perempuan, dan mengajarinya menggambar. Pasti akan sangat menyenangkan.
            “Kembalilah ke tempatmu, selesaikan origamimu,” suruh Faith melepaskan pelukan Jennifer. Mungkin sekarang Faith adalah guru terfavorit di kelas 2 SD ini.
            “Oke.” Ucap Jennifer berjalan sambil melompat-lompat bahagia.

***

            Justin mendorong troli yang berisikan kebutuhannya dengan Carla. Ia sedang menunggu satu orang yang ada di depannya membayar belanjaan mereka. Ia sebenarnya tidak senang pergi ke supermarket, tapi karena Carla memaksanya kemarin, ia memenuhi permintaa istrinya namun Carla sedang mencari barangnya yang tertinggal di salah satu rak supermarket ini, jadi sebentar lagi ia akan kembali. Sejak pagi, ia teringat dengan Faith sudah lama tidak melewati pikirannya. Bagaimana keadaan gadis itu? Apa ia baik-baik saja? Justin awalnya memang ingin membunuhnya, tapi ia menahan diri untuk tidak melakukan itu sampai pada akhirnya ia benar-benar mengurungkan niatnya untuk membunuh Faith. Gadis itu hilang begitu saja dari Atlanta tepat setelah mereka putus. Mungkin Faith tidak ingin bertemu dengannya lagi. Tapi terima kasih Faith sudah melakukan itu untuk Justin karena Justin tidak ingin mengambil resiko besar jika Justin menyakiti Faith. Kepalanya menoleh ke sebelah kasirnya. Ia memerhatikan orang-orang yang ikut menantri untuk membayar kebutuhan mereka. Sampai pada akhirnya matanya jatuh pada seorang wanita yang sedang menaruh satu per satu belanjaannya kepada petugas kasir. Wajah itu tampak sangat familiar. Rambutnya diikat sanggul, namun tidak begitu rapi. Ia mengenal gadis itu. Dari senyumannya, gerak-geriknya, dan suara gadis itu terdengar hingga telinga Justin. “Terima kasih,” ujar gadis itu dengan ramah. Saat itu juga ia sangat yakin bahwa ia adalah Faith Edwina. Gadis yang seharian ini berada di pikirannya. Apa pikirannya adalah petunjuk bahwa hari ini ia akan bertemu dengan gadis yang pernah ia sukai? Ia menelan ludahnya. Faith meraup kedua kantong kertas cokelat itu dengan kedua tangannya. Wajah Faith lebih cantik dibanding dulu dan ia lebih putih dan terlihat lebih subur. Apa yang terjadi dengan gadis itu? Justin mendorong trolinya ke depan setelah orang di depannya telah menghilang. Faith yang awalnya menunduk, mendongakkan kepalanya dan sangat kebetulan, ia menjatuhkan tatapannya pada Justin yang sedang memerhatikannya. Tatapan takut dari Faith membuatnya dengan cepat berjalan dari tempatnya. Ada hal yang berbeda dari Faith, ada sesuatu, namun Justin tidak tahu apa itu. Namun ketika matanya terjatuh pada perut Faith, ia sadar sepenuhnya, bahwa gadis itu sedang mengandung. Apa-apaan?
            “Ah, akhirnya aku mendapatkannya kembali, fiuh!” Desah Carla kembali di belakang Justin. “Kau sudah membayarnya? Oh, belum,”
            “Aku harus ke sana sebentar, Carla,” ucap Justin tanpa menatap Carla sama sekali. Carla bahkan belum menjawabnya, namun Justin sudah beranjak dari tempatnya. Segera mungkin Justin berjalan menuju pintu supermarket, Faith sudah keluar dari supermarket. Ia berlari kecil keluar dari supermarket. Di luar supermarket, Justin masih bisa melihat Faith yang sedang berjalan keluar dari parkiran. “Faith! Faith!” Teriak Justin berlari lebih kencang. Faith membeku di tempatnya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, tapi ia tidak bisa berlari. Faith memang tidak memakai sepatu hak tinggi tapi tetap saja ia takut berlari karena ia sedang mengandung terlebih lagi jalanan sedang licin akibat hujan lebat tadi siang. Sore ini menjadi sangat buruk ketika Faith melihat dan sekaligus mendengar suara dari pria yang dulu pernah ia cintai! Oh, bahkan sampai sekarang perasaan itu masih ada –itu adalah salah satu alasan mengapa Faith belum mendapatkan kekasih. Ia mungkin melupakan Justin, tapi perasaan ini masih untuk pria yang baru saja memanggilnya itu.
            “Pergilah, Justin!” Seru Faith berusaha berjalan cepat.
            “Tidak, Faith, tunggu!” Pinta Justin, memohon. Faith menjerit sekencang mungkin ketika tangan Justin meraih lengannya. “Tidak, Faith. Aku tidak akan menyakitimu, Faith, tenanglah,” ujar Justin. Faith menundukkan kepalanya, lalu tubuhnya berbalik pada Justin.
            “Apa yang kauinginkan Justin?” Tanya Faith tidak sama sekali mendongak.
            “Kau ..kau hamil,” bisik Justin. Tangan Justin mulai menyentuh perut yang tidak begitu besar itu lalu Faith mundur satu langkah. “Faith?”
            “Jangan sentuh aku,” ucap Faith menggelengkan kepalanya, tak ingin disentuh. Tentu saja, pria ini sudah mengusirnya dan sekarang berani menyentuh Faith? Dan tangan itu! Sial tangan itu menyentuh perutnya, tangan yang sudah membunuh Florek itu menyentuh perutnya! Faith merasa sangat kotor.
            “Faith, kau mengandung anakku,” ujar Justin penuh keyakinan. “Mengapa kau berada di sini? Apa yang kaulakukan? Sial, kau sedang mengandung anakku,”
            “Aku tidak meminta pertanggungjawaban darimu, Justin, kau hanya perlu …menjauh dariku, itu saja sudah cukup,” pinta Faith akhirnya mendongak. Ia melihat mata Justin, tatapan itu masih sama seperti dulu. Tidak ada bedanya. Menakutkan dan tajam.
            “Faith, kau mengandung keturunan Lexise. Aku harus bertanggungjawab, tentu saja. A-aku mungkin memang tidak mencintaimu lagi, aku telah memiliki istri. Tapi anak yang kau kandung adalah anakku. Dan kau terlihat begitu baik-baik saja,”
            “Tentu saja aku baik-baik saja, apa-apaan kau Justin?” Faith menjauhkan tubuhnya dari Justin. Ia tidak ingin Justin menyentuhnya. Dan apa? Apa pendengaran Faith masih baik-baik saja? Justin memiliki istri? Oh, ini sangat sempurna!

            Sungguh menyakitkan!

            Entah mengapa Faith tidak bisa meminta kematian pada Tuhan karena ia sedang hamil. Mengapa pria ini kembali muncul ke dalam hidupnya lagi? Faith tidak menginginkannya lagi. Faith tidak ingin merasakan hal yang sama lagi padanya! Sudah cukup satu kali ia sakit hati pada orang seperti Justin, ia tidak ingin jatuh ke dalam lubang yang sama. Kini hening menjadi atmosfer di antara mereka. Faith menatap mata Justin dalam-dalam, sebisa mungkin ia tidak menangis. Mengapa pria ini tidak sadar bahwa Justin membutuhkan ruangan untuk menjauh darinya? Justin menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak percaya dulu ia memiliki niatan untuk membunuh gadis yang ada di hadapannya ini. Gadis yang sedang mengandung anaknya. Anak! Justin menginginkan anak dan gadis ini muncul dengan keadaan mengandung anaknya. Apa ini rencana Tuhan mempertemukan mereka kembali? Namun Justin tentu tidak akan menikahi Faith karena ia telah memiliki Carla.
            “Istri?” Suara Faith memecahkan suasana.
            “Yeah, Carla. Dia telah menjadi istriku sekarang,” oh sempurna! Faith menangis dalam hati. Carla? Carla telah menjadi istri dari seorang Justin Lexise? Faith menelan ludahnya.
            “Selamat untukmu,” ucap Faith berusaha tegar. “Dimana Florek?” Faith membuat rahang Justin menegang. Air mata Faith mulai mengumpul di pelupuk matanya. Florek telah tiada. Tatapan mata Justin telah menjadi jawaban. Mengapa ia tega membunuh kakek tua baik itu? Bendungan itu tidak dapat ditampung oleh Faith, dan detik itu juga air mata itu menetes. Mengalir melewati pipi Faith yang putih.
            “Faith, aku harus bertanggungjawab atas kehamilanmu,”
            “Ini adalah pertemuan pertama di London yang benar-benar mengesankan, namun aku tidak ingin tanggungjawab dari pria yang telah memiliki istri. Tidak, terima kasih, Justin,” ucap Faith menolak sehalus mugkin. Namun tangan Justin telah mengeluarkan dompet dan beberapa lembar uang serta kartu nama Justin.
            “Terimalah ini, Faith, aku memang tidak dapat menikahimu. Tapi aku bisa memenuhi kebutuhan anakku. Ambillah uang ini,”
            “Demi Tuhan, aku tidak tahu mengapa kau bisa begitu bodoh Justin!” Seru Faith berteriak. Air mata itu semakin mengalir deras. “Aku bukan gadis murahan miskin yang membutuhkan uangmu! Pergilah pada istrimu, Carla, milikilah anak dan hiduplah sebahagia mungkin,”
            “Bagaimana bisa aku bahagia ketika aku tahu anakku hidup terpuruk?”

            “Anakmu tidak akan hidup terpuruk denganku, Justin Lexise yang Terhormat! Dia akan menjadi anak yang baik! Kau sangat merendahkanku. Aku berjanji akan mengurus bayi ini sebaik mungkin tanpa bantuanmu, Justin. Selamat tinggal.” Ujar Faith membalikkan tubuhnya, berjalan meninggalkan Justin sendirian. Titik-titik hujan mulai turun bersamaan dengan hilangnya Faith dari pandangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar