CHAPTER SIXTEEN
AUTHOR
Faith
memeluk Mozes begitu erat. Tidak menangis atau terisak dalam pelukannya. Ia
hanya menatapi kobaran api yang ada di hadapannya. Perapian di hadapannya
benar-benar menghangat tubuhnya di tengah-tengah badai London. Faith belum sama
sekali menceritakan tentang kedatangan Justin. Sentuhan Justin pada perutnya
yang membuatnya sekarang jijik terhadap diri sendiri. Entah mengapa, ketika
tangan itu menyentuh perut Faith, ia merasa darah yang berada di bawah kulitnya
berdesir. Membuat bulu romanya merinding. Terlebih lagi, tangan itu telah
membunuh banyak orang. Tangan dingin dan berbahaya itu pernah menyentuh
dirinya, memberikan kenikmatan yang membuatnya ingin mual sekarang. Namun Faith
sadar betul betapa ia mencintai Justin Lexise yang sampai sekarang perasaan itu
masih tetap bertahan. Mungkin memang ia dapat melupakan Justin dari pikirannya,
namun hatinya tidak akan pernah melupakan Justin.
Sekalipun
seorang pria di sekolahnya, yang memiliki jabatan yang sama dengannya, menyukai
Faith …Faith menolaknya secara halus. Bagaimana mungkin Faith bisa berpacaran
dengan pria ini ketika hatinya masih berada di Atlanta? Ia tidak bisa menolak
perasaan ini. Perasaan itu mulai pudar dari sekarang. Peluang untuk mendapatkan
Justin tidak akan pernah terjadi. Mustahil. Pria itu telah memiliki istri yang
tidak lain dan tidak bukan adalah sahabatnya, dulu. Carla? Ini benar-benar
berita yang mengejutkan. Mata Faith yang lembab itu memperlihatkan sinar kobar
api, sama seperti hatinya yang terbakar oleh api. Hatinya hangus seketika saat
kalimat merendahkan dari Justin meluncur dari mulut Justin sendiri. Bagaimana
mungkin Justin bisa berkata seperti itu pada Faith? Bagaimana bisa aku bahagia ketika aku tahu anakku hidup terpuruk?
Justin seharusnya menyaring kalimat itu terlebih dahulu.
Pria
itu tampaknya masih belum bisa menjaga hati wanita. Justin bukanlah pria yang
pintar mendapatkan hati seperti Faith. Disaat gadis yang lain senang
diperlakukan seperti itu oleh Justin –diberikan uang—Faith hanya butuh Justin
menjaga jarak dengannya. Satu tetes air mata mulai mengalir melewati pipi itu
untuk yang kesekian kalinya. “Mozes?” Suara Faith mulai menyeruak di antara
keheningan. “Ada apa Faith? Kau merasa cukup hangat?”
“Ya,
pelukanmu memang nyaman,” di satu sisi
aku merindukan pelukan Justin, “ada yang harus kuberitahukan padamu,”
“Apa
itu, Faith? Apa kau sudah tahu jenis kelamin anakmu? Kupikir ia sudah berumur 4
bulan, bukankah itu menakjubkan?”
“Hm,
yeah. Memang sangat menakjubkan. Tapi itu bukan tentang bayiku. Ini tentang
Justin,” bisik Faith tak sama sekali mendongak. Matanya masih tertuju pada api
yang ada di hadapannya. Selimut yang ia pakai memang tidak cukup untuk
menghangatkan tubuhnya di antara hujan badai. Petir dan guntur terus menyerang
London dengan sadisnya. Tubuh Mozes yang memeluk Faith di belakang tiba-tiab
saja menegang. Nama itu benar-benar menjadi nama ternajis dalam hidup Mozes,
lebih tepatnya Justin Lexise. Pria yang sudah menyakiti perasaan adiknya.
“Apa
yang terjadi dengan pria bajingan itu? Apa dia sudah tak bernafas?”
“Tidak,
aku baru saja bertemu dengannya,” ucap Faith, suaranya mengecil. “Aku bertemu
dengannya di supermarket saat aku sedang membeli keperluan dan susu formula
untukku. Tetapi ketika aku sedang berjalan keluar dari supermarket, aku
melihatnya sedang membayar di kasir sebelah. Ia menatapku dengan tatapan tak
percaya. Aku sedang hamil dan sangat mustahil aku berlari untuk menjauh
darinya, ditambah aku sedang memegang barang belanjaan. Tapi ia mengikutiku
dari belakang. Ia menyentuh tanganku, aku menjerit. Justin terlihat lebih kurus
dan lebih putih,
“Aku
berbalik namun aku tak mendongak. Setelah kejadian ia meremas tanganku beberapa
bulan yang lalu, bayang-bayang terbunuh olehnya selalu menghantuiku. Psikopat
memang panggilan yang sangatlah cocok untuknya. Lalu ia menyentuh perutku,
sial, tangan itu telah membunuh Florek! Kakek Justin. Ya, Justin membunuh
kakeknya sendiri, apa kau percaya itu? Tindakan terbodoh, teridiot dalam
hidupnya. Aku mulai menangis dan ia berkata padaku bahwa ia akan
bertanggungjawab atas kehamilanku. Tidak, aku tidak menerimanya. Kutolak dia
mentah-mentah. Kau tahu apa yang lebih sial dari semuanya? Dia telah memiliki
istri! Kau ingat Carla? Ya, wanita itu mendapatkan Justin,”
“Wah,
pelacur yang beruntung,” komentar Mozes menghina Carla. Di satu sisi Faith memang
mengingat jasanya terhadap Ibunya, tapi itu telah berlalu. Ia memang pelacur yang beruntung mendapatkan Justin. Atau yang ia pelacur yang sial karena telah
mendapatkan Justin? Faith menghapus air matanya.
“Tidak
hanya sampai di sana. Ia menambahkan lagi rasa sakitku dengan cara mengeluarkan
beberapa lembar uang serta kartu namanya lalu ia memberikannya padaku.
Apa-apaan? Aku bukan wanita murahan yang membutuhkan uang. Dan ia berkata
seperti ini padaku: ‘Bagaimana bisa aku hidup bahagia ketika aku tahu anakku
hidup terpuruk’?” Faith mengikuti nada suara Justin. Mozes mengelus kepala
Faith dengan lembut. Air mata Faith menetes dengan cepat dan kembali lagi Faith
menghapus air matanya.
“Bajingan!
Lagipula apa yang ia lakukan di London? Apa dia mengikutimu? Jika begitu,
mungkin kita harus pindah,”
“Tidak,
kita tidak perlu pindah. Mungkin itu akan menjadi pertemuan terakhir kami. Aku
akan berusaha untuk tidak melihatnya, sekalipun kebetulan, aku akan menjauh
darinya. Menjadi guru di London benar-benar menyenangkan. Aku tidak ingin
membiarkan satu pria seperti Justin merusak kehidupanku,”
“Kuharap
kau bisa bertahan hidup,”
“Aku
ingin marshmallow,” ucap Faith keluar dari topik. Ia tidak ingin menangis lagi.
Cukup untuk hari ini. Tidak lagi.
***
FAITH
Joe
menginginkanku lagi. Sudah berkali-kali aku memberitahu padanya bahwa aku belum
bisa berpacaran. Terlebih lagi aku sedang hamil. Guru bahasa Inggris ini
bersikeras untuk mendapatkanku. Ia masih terbilang muda. Umurnya telah
menginjak 28 tahun. Tidak berbeda jauh dariku. Ia pria yang cukup menyenangkan.
Karakter yang ia perlihatkan padaku benar-benar menunjukkan bahwa ia adalah
pria yang religious. Bukan hanya itu, ia juga tampan bagaikan pemain serial
televisi, Glee. Aku sedang melihat-lihat anak murid yang sedang bermain di
taman bermain. Anak-anak kelas 6 itu sebagian bermain basket. Sedangkan yang
berada dibawah mereka bermain permainan yang ada. Jungkat-jungkit, ayunan, dan
terowongan yang terbuat dari drum besi. Sinar matahari siang ini tidak begitu terik,
tapi setidaknya, tidak akan hujan. Semoga saja.
Joe
sedang memarahi murid kelas 6 yang memang terkenal nakal di sudut lapangan
bermain. Jika kupikir-pikir, dia cocok menjadi Ayah bagiku. Ia mungkin akan
mengajarkan pelajaran bahasa Inggris bagi anak ini lalu mengajaknya bermain
bola basket, jika anakku laki-laki. Dan lalu ia akan memarahi anakku seperti
ini –mungkin dengan cara yang lebih halus. Well, misi pencarian Ayah bagi
anakku dimulai! Joe menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berjalan menuju tempatku
berdiri.
“Anak
itu benar-benar nakal sekali!” Serunya gemas. Aku tersenyum dan mengangguk.
Terima kasih Tuhan karena aku tidak mengajar anak kelas 6.
“Yeah,
beruntung aku tidak mengajarnya,”
“Aku
juga merasa beruntung karena kau tidak mengajar di kelasnya. Mungkin jika kau
mengajar anak kelas 6, kau akan melahirkan di kelas!” Serunya tertawa. Aku ikut
tertawa karena aku membayangkan betapa lucunya kau melahirkan di kelas hanya
karena stress mengajar mereka. Mungkin selama di London, Joe yang paling sering
membuatku tertawa. Ya, itu salah satu hal yang kusuka darinya. Ia menyandar di
salah satu tiang sekolah lalu mulai memerhatikan anak-anak yang sedang bermain.
“Bagaimana
keadaan bayimu?” Tanyanya perhatian.
“Oh,
dia baik-baik saja. Hari ini aku akan pergi lagi ke dr. Laura untuk mengambil
hasil USG. Oke, aku harus jujur, Joe. Tapi aku benar-benar penasaran apa anakku
laki-laki ataukah perempuan!” Seruku gemas. Ia menoleh padaku, lalu sudut-sudut
bibirnya naik ke atas. Joe termasuk pria yang memiliki senyum manis.
“Jika
aku jadi kau, aku tidak ingin tahu jenis kelamin anakku sebelum aku melahirkan.
Aku suka kejutan,” ucap Joe mengangkat tubuhnya dari tiang. Rambutnya yang
tidak begitu pendek berterbang-terbangan diterpa oleh angin. Apa Tuhan memang
sengaja menempatkanku di tempat perkumpulan pria-pria tampan? “Kau ingin aku
mengantarmu mengambil hasil USG-mu? Sehabis pulang sekolah kita bisa makan
siang bersama lalu pergi ke tempat dr. Laura-mu,”
“Well,
jika menurutmu itu adalah ide bagus, baiklah,”
“Sempurna.”
***
JUSTIN
Mungkin
perkataan-perkataanku kemarin terhadap Faith memang benar-benar kelewatan.
Seharusnya aku tidak berkata seperti itu padanya. Kesannya aku sangat
merendahkannya. Tapi sebenarnya Faith memang wanita baik-baik. Ini semua
salahku karena telah membuatnya pergi dariku. Hatiku terasa ada yang
mengganjal. Rasanya aku ingin mual, pening, dan butuh istirahat. Apa benar
Faith mengandung anakku? Karena akulah satu-satunya pria yang menidurinya. Aku
sudah yakin itu. Aku yang mendapatkan kenikmatan dari Faith dan aku juga
satu-satunya pria yang memberikan benih itu dalam rahimnya. Melihatnya menangis
kembali menjadi sebuah tamparan yang benar-benar keras. Sungguh kejam kau, Justin Lexise! Aku merutuki diriku sendiri. Ya,
itulah aku. Pria kejam yang tak memiliki hati. Seharusnya aku tidak menyodorkan
uang-uang itu pada Faith. Seharusnya aku tidak mengatakan kalimat itu pada
Faith. Dan seharusnya aku tidak menyentuh perutnya.
Emosi
yang terpendam dalam tubuhku terangkat naik ke atas wajahku hingga wajahku
sekarang memerah. Air mataku mengalir tanpa diminta. Bagaimana bisa seorang
Justin Lexise, sang psikopat, menangis hanya karena seorang wanita seperti
Faith? Aku marah pada diriku sendiri! Perasaan ini! Perasaan bodoh ini tidak
bisa luput dariku. Mengapa aku harus jatuh cinta pada Faith Edwina dan
membohongi diriku sendiri kalau aku tidak mencintainya? Seharusnya aku memang
membunuh Faith sejak dulu agar aku tidak merasakan hal ini padanya. Cinta ini
rasanya hanya kebohongan semata, namun kenyataannya adalah aku memang mencintai
Faith. Tetapi aku hanyalah pria pengecut yang tak berani menyatakan perasan ini
pada Faith. Aku mengalih segala perkataan-perkataan manis itu pada Carla. Apa
menikahi Carla adalah tindakan yang benar untukku? Aku memang mulai mencintai
Carla meski perasaan cinta terhadap Faith masih tersisa di hatiku, namun Faith
menghilang dari pandanganku. Keadaan mendesakku untuk mencintai Carla yang
semakin hari semakin perhatian padaku. Seolah-olah Faith mengizinkan Carla
untuk mencintaiku sama seperti Faith mencintaiku. Sial, bodohnya kau, Justin
Lexise! Apa mungkin ini adalah efek dari perbuatan-perbuatanku yang tidak
pernah memiliki hati? Membunuh orang-orang? Apa ini akibatnya perasaanku tak
peka? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Menangis, terisak, bagaikan banci!
Sebelumnya aku tidak pernah merasa menyesal berlebihan seperti ini. Apa karena
aku terlalu sering menolak untuk mengakui bahwa aku mencintai Faith?
Faith
pantas membenciku. Faith pantas memukulku. Jika perlu, ia melempariku dengan
batu sampai aku mati! Sial, aku sangat marah pada diriku sendiri karena telah
mengabaikan Faith! Kemudian Carla. Wanita yang telah mempertahankan cintanya
padaku selama lebih dari 3 tahun itu sekarang telah menjadi istriku. Sudah sangat
jelas, Carla mencintaiku. Ia wanita yang cukup sabar untuk menungguku. Namun
ada sesuatu yang tidak ia miliki namun Faith memilikinya. Apa ini semua kutukan
dari Tuhan karena aku telah menjauh dariNya dan melanggar segala perintahNya?
Aku bahkan tidak tahu bahwa di dunia ini manusia memiliki Tuhan! Tuhan tidak
ada ketika orangtuaku sedang bertengkar. Tuhan tidak ada ketika Ayahku
mengalami kecelakaan. Tuhan tidak ada untuk menghiburku ketika Faith pergi dari
Atlanta. Apa ini adalah kesalahku atau kesalahNya? Cerminan yang ada di
hadapanku membuatku muak! Tidak seharusnya aku hidup di dunia jika aku hanya
menyakiti orang-orang di dunia ini.
“Fuck,
Justin! You’re such a bastard. Fuck this shit! Goddammit!” Tanganku terluka
setelah aku memukul cermin itu. Untuk yang kedua kalinya aku meninju cermin
hanya karena Faith. Apa sekarang adalah waktunya? Apakah sekarang waktunya aku
mengakui bahwa aku mencintai Faith Edwina?
“Justin,
apa yang terjadi?” Teriak Carla masuk ke dalam kamar. Aku mendongak dan melihat
tubuhnya yang benar-benar kurus. “Sayang, apa yang terjadi padamu?” Tanyanya
mendekatiku. Namun mulutku tak mampu untuk mengatakan apa-apa. Ia duduk di
sebelahku, di atas ranjang, lalu mengelus kepalaku dengan lembut. Kupejamkan
mataku untuk merasakan sentuhan tangannya di kepalaku, aku ingin tertidur dalam
pelukannya seperti dulu aku berada dalam pelukan Ayah. Sekarang aku tahu siapa
titik kelemahanku: Itu Faith.
“Justin,
ada yang ingin kukatakan padamu,” ucap Carla. Aku membuka mataku namun aku
terkejut setengah mati dengan apa yang sedang kulihat! Faith? What the fuck?
Faith? Dia sedang mengelus kepalaku? Dia terlihat sama seperti kemarin. Senyumannya
yang manis, bibirnya yang benar-benar kurindukan, gadisku yang cerewet.
“Justin?”
“Y-ya?”
“Aku
rasa aku hamil,” bisik Carla. Jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat.
***
AUTHOR
Faith
sedang menikmati makan siang bersama dengan Joe di sebuah restoran yang mewah.
Secara tidak langsung, Joe sedang mengajak Faith berkencan. Faith makan banyak
siang ini, itu membuat Joe benar-benar senang karena Faith tidak sama seperti
gadis-gadis yang pernah ia temui. Faith tampaknya menjadi dirinya sendiri di
hadapan siapa pun. Termasuk kepada Joe. Ibu hamil yang berada di hadapannya itu
sedang menjelaskan kehidupannya dulu bersama dengan Mozes di Atlanta. Betapa
menyedihkannya ketika Faith harus menceritakan Ayahnya yang meninggal itu.
Kepala Joe terangguk-angguk mendengarkan ucapan-ucapan Faith. Tapi Faith adalah
Faith. Wanita yang lahir di Atlanta yang sekarang umurnya menginjak 23 tahun
itu benar-benar cerewet. Tapi ia bukan wanita cerewet yang mengatakan omong
kosong. Joe membenci omong kosong. Mata Joe yang berwarna biru menatap
lekat-lekat ke dalam mata Faith yang berwarna cokelat. Sesekali Faith harus
menundukkan kepalanya karena ia malu karena Joe terus menatapnya.
“Dan
lalu bayi ini muncul di dalam tubuhku,” ujar Faith. “Ayahnya sudah bahagia
sekarang. Dulu aku sangat mencintai Ayahnya, namun aku sangat bodoh, ternyata
Ayahnya adalah seorang pembunuh. Aku harap bayiku ini tidak seperti Ayahnya
yang selalu menyembunyikan rahasia dan membunuh orang,”
“Oh,
jangan sampai anakmu seperti itu,” ucap Joe menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Jika aku boleh tahu, siapa nama Ayah bayi itu?”
“Dia
Justin. Justin Lexise,” ucap Faith dengan suara yang kecil. Joe mengangguk,
namun Joe mengerti, pasti Faith sudah tidak mencintai pria itu lagi. Pria itu
tampaknya benar-benar menyakiti hati Faith begitu dalam. “Awalnya ia adalah
pria yang baik. Sampai akhirnya kakek Justin memberitahu padaku bahwa ia sudah
membunuh beberapa orang. Aku ketakutan. Ia tahu bahwa aku telah mengetahui
rahasianya itu. Ia memutuskanku dan aku akhirnya berada di sini. Di hadapanmu,
menceritakan betapa menyedihkannya diriku,”
“Sebenarnya,
aku harus jujur Faith, kau adalah wanita yang benar-benar kuat,”
“Maksudmu
bagaimana?”
“Ya,
aku salut padamu. Kau kehilangan Ayahmu dan kau mempertahankan keberadaan
Ibumu. Kau bekerja untuk Ibumu agar ia tetap hidup. Dan pada akhirnyapun, ia
meninggal. Kau kemudian jatuh cinta pada pria yang salah, yang ternyata
menyakiti hatimu begitu parah, namun kau masih berada di dunia ini. Hidup,
hamil, bekerja dan tersenyum. Kau wanita yang benar-benar luar biasa,”
“Menurutku
kau sangat berlebihan memujiku,”
“Kau
memang patut dipuji. Terkadang kau harus bisa menerima pujian dari orang-orang
di sekitarmu,” ucap Joe mengelap bibirnya dengan tissue. Ia sudah selesai
menghabiskan makanannya, Faith masih harus menghabiskan makanan penutupnya.
Meski ia akhir-akhir ini Faith memakan banyak makanan, berat badannya hanya
bertambah beberapa kilo hanya karena pertumbuhan bayinya di dalam rahimnya.
“Tapi
perasaan ini masih belum bisa kuhapus darinya, kau tahu itu apa,” ucap Faith
menolak Joe secara halus dan itu memang kebenaran. Perkiraan Joe salah,
benar-benar salah. Tapi kemudian, untuk menunjukkan kedewasaannya, Joe
mengerti. Ia mengangguk kembali.
“Aku
benar-benar mengerti. Tapi sampai kapan kau akan mempertahankan perasaan itu
padanya?” Tanya Joe cukup kecewa.
“Aku
tidak tahu. Justin sudah menikah sekarang dengan seorang wanita yang kurasa
memang pantas mendapatkannya. Tapi tujuan hidupku bukan untuk Justin. Sekarang
aku harus fokus pada kehamilanku dan pekerjaanku. Anak ini ..yang ada di dalam
perut ini akan menjadi anak yang baik, cerdas dan rupawan,”
“Sekali
lagi, Faith, kurasa aku harus bertepuk tangan berdiri karena kuatnya dirimu
melewati masa-masa sulit. Kau sedang hamil! Seorang Ibu hamil seharusnya
memiliki pendampingnya, suaminya. Tapi kau? Kau kembali melewatinya sendirian,
oke, baiklah, mungkin kau memang miliki kakakmu, Mozes. Tapi tetap saja, jika
kau normal, pasti kau membutuhkan pria di sisimu untuk melewati masa-masa
kehamilanmu dan kelahiran si kecil itu nanti,” ucap Joe tak habis pikir betapa
hebatnya wanita yang ada di hadapannya itu. Faith telah menelan makanan
terakhirnya. Akhirnya, Faith selesai juga.
***
FAITH
Aku
baru saja keluar dari rumah prakter dr. Laura. Well, Joe berhasil membuatku
tidak ingin membuka hasil USG-ku. Aku juga meminta dr. Laura untuk tidak
memberitahuku jenis kelamin anakku. Dan sore ini Joe mengajakku untuk
jalan-jalan sebentar sementara mobilnya berada di parkiran jalan. Katanya
jarang ia dapat mendapatkan parkiran secepat tadi, jadi, ia ingin membalas
dendam pada para pengendara mobil lain. Joe sedang menceritakan padaku tentang
kehiduapannya di Paris dulu. Well, ya, dia juga bisa berbahasa Prancis. Mengapa
aku dikelilingi oleh pria yang pintar berbahasa –kecuali Mozes? Aku bisa
belajar berbahasa Prancis dari Joe. Sambil berbicara dengannya, aku
memerhatikan orang-orang yang berjalan dengan arah berlawanan dengan kami. Tapi
seringnya aku melihat keluarga-keluarga bahagia. Satu anak kecil yang baru bisa
berjalan itu sangat bersemangat saat kedua tangannya dipegang oleh kedua
orangtuanya. Huh, aku harap aku mendapatkan suami secepat mungkin agar anakku
tidak akan bertumbuh tanpa Ayah.
Kuperhatikan
satu mobil yang berhenti di pinggir jalan, di depan kami. Lalu beberapa detik
kemudian pengendara mobil itu keluar, ia tampak terburu-buru. Ia berlari menuju
pintu yang lain lalu membukakan pintu itu untuk penumpangnya. Seorang wanita
muncul dari pintu itu dengan mantel yang menutupi tubuhnya. Yeah, semua orang
sedang memakai mantel sekarang karena sekarang adalah musim dingin. Begitupun
aku. Ia memakai sarung tangan dan melipat tangannya. Wanita itu seperti pernah
kukenal. Kuperhatikan pria yang memakai topi hoddie hitam itu dan aku sangat
sadar ..ia adalah Justin. Sial, haruskah aku bertemu dengannya lagi? Tidak,
tidak, tidak. Itukah Carla yang kukenal? Mengapa pipinya terlihat begitu
kurus? Apa Justin menyiksanya? Justin
dan Carla mulai berjalan menuju tempatku berdiri dengan Joe. Ucapan-ucapan Joe
tidak sama sekali masuk ke dalam telingaku. Saat aku berjalan, Justin baru saja
mendongakkan kepalanya, tapi ia tidak berhenti melangkah. Ia melihatku lalu ia
melihat pada Joe. Tidak ada yang harus kutakutkan, aku bukan milik Justin, jadi
Justin tidak perlu memukul Joe.
“Faith?”
Suara Joe membuat perhatianku teralihkan. Namun tiba-tiba dari belakang, Joe
ditarik hingga ia terjatuh. Oleh Justin. Dapat kulihat di hadapanku dengan
jelas, tangan yang dikepalkan Justin langsung meninju hidung Joe hingga dapat
kudengar suara retakan di sana. Ya Tuhan. “Justin!” Suara Carla menarik tubuh Justin,
sama seperti dulu aku pernah menahan Justin memukul Tn. Alex. “Apa-apaan yang
sedang kaulakukan? Apa kau kehilangan akalmu?” Mata Justin menatapku dengan
tatapan penuh amarah. Ia meludahi jalanan lalu menarik Carla untuk berbalik.
Carla tidak sama sekali melihatku yang berada di sebelah Joe. Apa dia buta?
Dan, wah, ternyata aku telah melihat dua sejoli yang bahagia.
“Faith,”
suara serak Joe terdengar yang membuatku langsung berlutut di hadapannya.
Hidungnya berdarah. Aku mengeluarkan sapu tangan yang selalu kubawa dari
kantong mantelku lalu mengelap darah
yang berlumur di sekitar bibirnya. Ya Tuhan, tinjuan maut itu pernah
dijatuhkan pada Tn. Alex.
“Kau
akan baik-baik saja, Joe. Kita kembali lagi ke dr.Laura,” ucapku berusaha
menenangkan diri sekaligus Joe. Ketika aku sedang berusaha untuk mengangkat Joe
dari jalanan, suara tembakan terdengar dari jarak jauh.
“Carla!”
Teriak Justin. Aku menoleh ke depan, lalu melihat seorang wanita terbaring di
atas jalanan dengan darah yang mengalir, melumuri jalanan. Tak ada yang
kulakukan selain bernafas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar