Senin, 16 Desember 2013

Right Mistakes Bab 16

CHAPTER SIXTEEN

AUTHOR

            Faith memeluk Mozes begitu erat. Tidak menangis atau terisak dalam pelukannya. Ia hanya menatapi kobaran api yang ada di hadapannya. Perapian di hadapannya benar-benar menghangat tubuhnya di tengah-tengah badai London. Faith belum sama sekali menceritakan tentang kedatangan Justin. Sentuhan Justin pada perutnya yang membuatnya sekarang jijik terhadap diri sendiri. Entah mengapa, ketika tangan itu menyentuh perut Faith, ia merasa darah yang berada di bawah kulitnya berdesir. Membuat bulu romanya merinding. Terlebih lagi, tangan itu telah membunuh banyak orang. Tangan dingin dan berbahaya itu pernah menyentuh dirinya, memberikan kenikmatan yang membuatnya ingin mual sekarang. Namun Faith sadar betul betapa ia mencintai Justin Lexise yang sampai sekarang perasaan itu masih tetap bertahan. Mungkin memang ia dapat melupakan Justin dari pikirannya, namun hatinya tidak akan pernah melupakan Justin.
            Sekalipun seorang pria di sekolahnya, yang memiliki jabatan yang sama dengannya, menyukai Faith …Faith menolaknya secara halus. Bagaimana mungkin Faith bisa berpacaran dengan pria ini ketika hatinya masih berada di Atlanta? Ia tidak bisa menolak perasaan ini. Perasaan itu mulai pudar dari sekarang. Peluang untuk mendapatkan Justin tidak akan pernah terjadi. Mustahil. Pria itu telah memiliki istri yang tidak lain dan tidak bukan adalah sahabatnya, dulu. Carla? Ini benar-benar berita yang mengejutkan. Mata Faith yang lembab itu memperlihatkan sinar kobar api, sama seperti hatinya yang terbakar oleh api. Hatinya hangus seketika saat kalimat merendahkan dari Justin meluncur dari mulut Justin sendiri. Bagaimana mungkin Justin bisa berkata seperti itu pada Faith? Bagaimana bisa aku bahagia ketika aku tahu anakku hidup terpuruk? Justin seharusnya menyaring kalimat itu terlebih dahulu.
            Pria itu tampaknya masih belum bisa menjaga hati wanita. Justin bukanlah pria yang pintar mendapatkan hati seperti Faith. Disaat gadis yang lain senang diperlakukan seperti itu oleh Justin –diberikan uang—Faith hanya butuh Justin menjaga jarak dengannya. Satu tetes air mata mulai mengalir melewati pipi itu untuk yang kesekian kalinya. “Mozes?” Suara Faith mulai menyeruak di antara keheningan. “Ada apa Faith? Kau merasa cukup hangat?”
            “Ya, pelukanmu memang nyaman,” di satu sisi aku merindukan pelukan Justin, “ada yang harus kuberitahukan padamu,”
            “Apa itu, Faith? Apa kau sudah tahu jenis kelamin anakmu? Kupikir ia sudah berumur 4 bulan, bukankah itu menakjubkan?”
            “Hm, yeah. Memang sangat menakjubkan. Tapi itu bukan tentang bayiku. Ini tentang Justin,” bisik Faith tak sama sekali mendongak. Matanya masih tertuju pada api yang ada di hadapannya. Selimut yang ia pakai memang tidak cukup untuk menghangatkan tubuhnya di antara hujan badai. Petir dan guntur terus menyerang London dengan sadisnya. Tubuh Mozes yang memeluk Faith di belakang tiba-tiab saja menegang. Nama itu benar-benar menjadi nama ternajis dalam hidup Mozes, lebih tepatnya Justin Lexise. Pria yang sudah menyakiti perasaan adiknya.
            “Apa yang terjadi dengan pria bajingan itu? Apa dia sudah tak bernafas?”
            “Tidak, aku baru saja bertemu dengannya,” ucap Faith, suaranya mengecil. “Aku bertemu dengannya di supermarket saat aku sedang membeli keperluan dan susu formula untukku. Tetapi ketika aku sedang berjalan keluar dari supermarket, aku melihatnya sedang membayar di kasir sebelah. Ia menatapku dengan tatapan tak percaya. Aku sedang hamil dan sangat mustahil aku berlari untuk menjauh darinya, ditambah aku sedang memegang barang belanjaan. Tapi ia mengikutiku dari belakang. Ia menyentuh tanganku, aku menjerit. Justin terlihat lebih kurus dan lebih putih,
            “Aku berbalik namun aku tak mendongak. Setelah kejadian ia meremas tanganku beberapa bulan yang lalu, bayang-bayang terbunuh olehnya selalu menghantuiku. Psikopat memang panggilan yang sangatlah cocok untuknya. Lalu ia menyentuh perutku, sial, tangan itu telah membunuh Florek! Kakek Justin. Ya, Justin membunuh kakeknya sendiri, apa kau percaya itu? Tindakan terbodoh, teridiot dalam hidupnya. Aku mulai menangis dan ia berkata padaku bahwa ia akan bertanggungjawab atas kehamilanku. Tidak, aku tidak menerimanya. Kutolak dia mentah-mentah. Kau tahu apa yang lebih sial dari semuanya? Dia telah memiliki istri! Kau ingat Carla? Ya, wanita itu mendapatkan Justin,”
            “Wah, pelacur yang beruntung,” komentar Mozes menghina Carla. Di satu sisi Faith memang mengingat jasanya terhadap Ibunya, tapi itu telah berlalu. Ia memang pelacur yang beruntung mendapatkan Justin. Atau yang ia pelacur yang sial karena telah mendapatkan Justin? Faith menghapus air matanya.
            “Tidak hanya sampai di sana. Ia menambahkan lagi rasa sakitku dengan cara mengeluarkan beberapa lembar uang serta kartu namanya lalu ia memberikannya padaku. Apa-apaan? Aku bukan wanita murahan yang membutuhkan uang. Dan ia berkata seperti ini padaku: ‘Bagaimana bisa aku hidup bahagia ketika aku tahu anakku hidup terpuruk’?” Faith mengikuti nada suara Justin. Mozes mengelus kepala Faith dengan lembut. Air mata Faith menetes dengan cepat dan kembali lagi Faith menghapus air matanya.
            “Bajingan! Lagipula apa yang ia lakukan di London? Apa dia mengikutimu? Jika begitu, mungkin kita harus pindah,”
            “Tidak, kita tidak perlu pindah. Mungkin itu akan menjadi pertemuan terakhir kami. Aku akan berusaha untuk tidak melihatnya, sekalipun kebetulan, aku akan menjauh darinya. Menjadi guru di London benar-benar menyenangkan. Aku tidak ingin membiarkan satu pria seperti Justin merusak kehidupanku,”
            “Kuharap kau bisa bertahan hidup,”
            “Aku ingin marshmallow,” ucap Faith keluar dari topik. Ia tidak ingin menangis lagi. Cukup untuk hari ini. Tidak lagi.

***

FAITH

            Joe menginginkanku lagi. Sudah berkali-kali aku memberitahu padanya bahwa aku belum bisa berpacaran. Terlebih lagi aku sedang hamil. Guru bahasa Inggris ini bersikeras untuk mendapatkanku. Ia masih terbilang muda. Umurnya telah menginjak 28 tahun. Tidak berbeda jauh dariku. Ia pria yang cukup menyenangkan. Karakter yang ia perlihatkan padaku benar-benar menunjukkan bahwa ia adalah pria yang religious. Bukan hanya itu, ia juga tampan bagaikan pemain serial televisi, Glee. Aku sedang melihat-lihat anak murid yang sedang bermain di taman bermain. Anak-anak kelas 6 itu sebagian bermain basket. Sedangkan yang berada dibawah mereka bermain permainan yang ada. Jungkat-jungkit, ayunan, dan terowongan yang terbuat dari drum besi. Sinar matahari siang ini tidak begitu terik, tapi setidaknya, tidak akan hujan. Semoga saja.
            Joe sedang memarahi murid kelas 6 yang memang terkenal nakal di sudut lapangan bermain. Jika kupikir-pikir, dia cocok menjadi Ayah bagiku. Ia mungkin akan mengajarkan pelajaran bahasa Inggris bagi anak ini lalu mengajaknya bermain bola basket, jika anakku laki-laki. Dan lalu ia akan memarahi anakku seperti ini –mungkin dengan cara yang lebih halus. Well, misi pencarian Ayah bagi anakku dimulai! Joe menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berjalan menuju tempatku berdiri.
            “Anak itu benar-benar nakal sekali!” Serunya gemas. Aku tersenyum dan mengangguk. Terima kasih Tuhan karena aku tidak mengajar anak kelas 6.
            “Yeah, beruntung aku tidak mengajarnya,”
            “Aku juga merasa beruntung karena kau tidak mengajar di kelasnya. Mungkin jika kau mengajar anak kelas 6, kau akan melahirkan di kelas!” Serunya tertawa. Aku ikut tertawa karena aku membayangkan betapa lucunya kau melahirkan di kelas hanya karena stress mengajar mereka. Mungkin selama di London, Joe yang paling sering membuatku tertawa. Ya, itu salah satu hal yang kusuka darinya. Ia menyandar di salah satu tiang sekolah lalu mulai memerhatikan anak-anak yang sedang bermain.
            “Bagaimana keadaan bayimu?” Tanyanya perhatian.
            “Oh, dia baik-baik saja. Hari ini aku akan pergi lagi ke dr. Laura untuk mengambil hasil USG. Oke, aku harus jujur, Joe. Tapi aku benar-benar penasaran apa anakku laki-laki ataukah perempuan!” Seruku gemas. Ia menoleh padaku, lalu sudut-sudut bibirnya naik ke atas. Joe termasuk pria yang memiliki senyum manis.
            “Jika aku jadi kau, aku tidak ingin tahu jenis kelamin anakku sebelum aku melahirkan. Aku suka kejutan,” ucap Joe mengangkat tubuhnya dari tiang. Rambutnya yang tidak begitu pendek berterbang-terbangan diterpa oleh angin. Apa Tuhan memang sengaja menempatkanku di tempat perkumpulan pria-pria tampan? “Kau ingin aku mengantarmu mengambil hasil USG-mu? Sehabis pulang sekolah kita bisa makan siang bersama lalu pergi ke tempat dr. Laura-mu,”
            “Well, jika menurutmu itu adalah ide bagus, baiklah,”
            “Sempurna.”

***

JUSTIN

            Mungkin perkataan-perkataanku kemarin terhadap Faith memang benar-benar kelewatan. Seharusnya aku tidak berkata seperti itu padanya. Kesannya aku sangat merendahkannya. Tapi sebenarnya Faith memang wanita baik-baik. Ini semua salahku karena telah membuatnya pergi dariku. Hatiku terasa ada yang mengganjal. Rasanya aku ingin mual, pening, dan butuh istirahat. Apa benar Faith mengandung anakku? Karena akulah satu-satunya pria yang menidurinya. Aku sudah yakin itu. Aku yang mendapatkan kenikmatan dari Faith dan aku juga satu-satunya pria yang memberikan benih itu dalam rahimnya. Melihatnya menangis kembali menjadi sebuah tamparan yang benar-benar keras. Sungguh kejam kau, Justin Lexise! Aku merutuki diriku sendiri. Ya, itulah aku. Pria kejam yang tak memiliki hati. Seharusnya aku tidak menyodorkan uang-uang itu pada Faith. Seharusnya aku tidak mengatakan kalimat itu pada Faith. Dan seharusnya aku tidak menyentuh perutnya.
            Emosi yang terpendam dalam tubuhku terangkat naik ke atas wajahku hingga wajahku sekarang memerah. Air mataku mengalir tanpa diminta. Bagaimana bisa seorang Justin Lexise, sang psikopat, menangis hanya karena seorang wanita seperti Faith? Aku marah pada diriku sendiri! Perasaan ini! Perasaan bodoh ini tidak bisa luput dariku. Mengapa aku harus jatuh cinta pada Faith Edwina dan membohongi diriku sendiri kalau aku tidak mencintainya? Seharusnya aku memang membunuh Faith sejak dulu agar aku tidak merasakan hal ini padanya. Cinta ini rasanya hanya kebohongan semata, namun kenyataannya adalah aku memang mencintai Faith. Tetapi aku hanyalah pria pengecut yang tak berani menyatakan perasan ini pada Faith. Aku mengalih segala perkataan-perkataan manis itu pada Carla. Apa menikahi Carla adalah tindakan yang benar untukku? Aku memang mulai mencintai Carla meski perasaan cinta terhadap Faith masih tersisa di hatiku, namun Faith menghilang dari pandanganku. Keadaan mendesakku untuk mencintai Carla yang semakin hari semakin perhatian padaku. Seolah-olah Faith mengizinkan Carla untuk mencintaiku sama seperti Faith mencintaiku. Sial, bodohnya kau, Justin Lexise! Apa mungkin ini adalah efek dari perbuatan-perbuatanku yang tidak pernah memiliki hati? Membunuh orang-orang? Apa ini akibatnya perasaanku tak peka? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Menangis, terisak, bagaikan banci! Sebelumnya aku tidak pernah merasa menyesal berlebihan seperti ini. Apa karena aku terlalu sering menolak untuk mengakui bahwa aku mencintai Faith?
            Faith pantas membenciku. Faith pantas memukulku. Jika perlu, ia melempariku dengan batu sampai aku mati! Sial, aku sangat marah pada diriku sendiri karena telah mengabaikan Faith! Kemudian Carla. Wanita yang telah mempertahankan cintanya padaku selama lebih dari 3 tahun itu sekarang telah menjadi istriku. Sudah sangat jelas, Carla mencintaiku. Ia wanita yang cukup sabar untuk menungguku. Namun ada sesuatu yang tidak ia miliki namun Faith memilikinya. Apa ini semua kutukan dari Tuhan karena aku telah menjauh dariNya dan melanggar segala perintahNya? Aku bahkan tidak tahu bahwa di dunia ini manusia memiliki Tuhan! Tuhan tidak ada ketika orangtuaku sedang bertengkar. Tuhan tidak ada ketika Ayahku mengalami kecelakaan. Tuhan tidak ada untuk menghiburku ketika Faith pergi dari Atlanta. Apa ini adalah kesalahku atau kesalahNya? Cerminan yang ada di hadapanku membuatku muak! Tidak seharusnya aku hidup di dunia jika aku hanya menyakiti orang-orang di dunia ini.
            “Fuck, Justin! You’re such a bastard. Fuck this shit! Goddammit!” Tanganku terluka setelah aku memukul cermin itu. Untuk yang kedua kalinya aku meninju cermin hanya karena Faith. Apa sekarang adalah waktunya? Apakah sekarang waktunya aku mengakui bahwa aku mencintai Faith Edwina?
            “Justin, apa yang terjadi?” Teriak Carla masuk ke dalam kamar. Aku mendongak dan melihat tubuhnya yang benar-benar kurus. “Sayang, apa yang terjadi padamu?” Tanyanya mendekatiku. Namun mulutku tak mampu untuk mengatakan apa-apa. Ia duduk di sebelahku, di atas ranjang, lalu mengelus kepalaku dengan lembut. Kupejamkan mataku untuk merasakan sentuhan tangannya di kepalaku, aku ingin tertidur dalam pelukannya seperti dulu aku berada dalam pelukan Ayah. Sekarang aku tahu siapa titik kelemahanku: Itu Faith.
            “Justin, ada yang ingin kukatakan padamu,” ucap Carla. Aku membuka mataku namun aku terkejut setengah mati dengan apa yang sedang kulihat! Faith? What the fuck? Faith? Dia sedang mengelus kepalaku? Dia terlihat sama seperti kemarin. Senyumannya yang manis, bibirnya yang benar-benar kurindukan, gadisku yang cerewet. “Justin?”
            “Y-ya?”
            “Aku rasa aku hamil,” bisik Carla. Jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat.

***

AUTHOR

            Faith sedang menikmati makan siang bersama dengan Joe di sebuah restoran yang mewah. Secara tidak langsung, Joe sedang mengajak Faith berkencan. Faith makan banyak siang ini, itu membuat Joe benar-benar senang karena Faith tidak sama seperti gadis-gadis yang pernah ia temui. Faith tampaknya menjadi dirinya sendiri di hadapan siapa pun. Termasuk kepada Joe. Ibu hamil yang berada di hadapannya itu sedang menjelaskan kehidupannya dulu bersama dengan Mozes di Atlanta. Betapa menyedihkannya ketika Faith harus menceritakan Ayahnya yang meninggal itu. Kepala Joe terangguk-angguk mendengarkan ucapan-ucapan Faith. Tapi Faith adalah Faith. Wanita yang lahir di Atlanta yang sekarang umurnya menginjak 23 tahun itu benar-benar cerewet. Tapi ia bukan wanita cerewet yang mengatakan omong kosong. Joe membenci omong kosong. Mata Joe yang berwarna biru menatap lekat-lekat ke dalam mata Faith yang berwarna cokelat. Sesekali Faith harus menundukkan kepalanya karena ia malu karena Joe terus menatapnya.
            “Dan lalu bayi ini muncul di dalam tubuhku,” ujar Faith. “Ayahnya sudah bahagia sekarang. Dulu aku sangat mencintai Ayahnya, namun aku sangat bodoh, ternyata Ayahnya adalah seorang pembunuh. Aku harap bayiku ini tidak seperti Ayahnya yang selalu menyembunyikan rahasia dan membunuh orang,”
            “Oh, jangan sampai anakmu seperti itu,” ucap Joe menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jika aku boleh tahu, siapa nama Ayah bayi itu?”
            “Dia Justin. Justin Lexise,” ucap Faith dengan suara yang kecil. Joe mengangguk, namun Joe mengerti, pasti Faith sudah tidak mencintai pria itu lagi. Pria itu tampaknya benar-benar menyakiti hati Faith begitu dalam. “Awalnya ia adalah pria yang baik. Sampai akhirnya kakek Justin memberitahu padaku bahwa ia sudah membunuh beberapa orang. Aku ketakutan. Ia tahu bahwa aku telah mengetahui rahasianya itu. Ia memutuskanku dan aku akhirnya berada di sini. Di hadapanmu, menceritakan betapa menyedihkannya diriku,”
            “Sebenarnya, aku harus jujur Faith, kau adalah wanita yang benar-benar kuat,”
            “Maksudmu bagaimana?”
            “Ya, aku salut padamu. Kau kehilangan Ayahmu dan kau mempertahankan keberadaan Ibumu. Kau bekerja untuk Ibumu agar ia tetap hidup. Dan pada akhirnyapun, ia meninggal. Kau kemudian jatuh cinta pada pria yang salah, yang ternyata menyakiti hatimu begitu parah, namun kau masih berada di dunia ini. Hidup, hamil, bekerja dan tersenyum. Kau wanita yang benar-benar luar biasa,”
            “Menurutku kau sangat berlebihan memujiku,”
            “Kau memang patut dipuji. Terkadang kau harus bisa menerima pujian dari orang-orang di sekitarmu,” ucap Joe mengelap bibirnya dengan tissue. Ia sudah selesai menghabiskan makanannya, Faith masih harus menghabiskan makanan penutupnya. Meski ia akhir-akhir ini Faith memakan banyak makanan, berat badannya hanya bertambah beberapa kilo hanya karena pertumbuhan bayinya di dalam rahimnya.
            “Tapi perasaan ini masih belum bisa kuhapus darinya, kau tahu itu apa,” ucap Faith menolak Joe secara halus dan itu memang kebenaran. Perkiraan Joe salah, benar-benar salah. Tapi kemudian, untuk menunjukkan kedewasaannya, Joe mengerti. Ia mengangguk kembali.
            “Aku benar-benar mengerti. Tapi sampai kapan kau akan mempertahankan perasaan itu padanya?” Tanya Joe cukup kecewa.
            “Aku tidak tahu. Justin sudah menikah sekarang dengan seorang wanita yang kurasa memang pantas mendapatkannya. Tapi tujuan hidupku bukan untuk Justin. Sekarang aku harus fokus pada kehamilanku dan pekerjaanku. Anak ini ..yang ada di dalam perut ini akan menjadi anak yang baik, cerdas dan rupawan,”
            “Sekali lagi, Faith, kurasa aku harus bertepuk tangan berdiri karena kuatnya dirimu melewati masa-masa sulit. Kau sedang hamil! Seorang Ibu hamil seharusnya memiliki pendampingnya, suaminya. Tapi kau? Kau kembali melewatinya sendirian, oke, baiklah, mungkin kau memang miliki kakakmu, Mozes. Tapi tetap saja, jika kau normal, pasti kau membutuhkan pria di sisimu untuk melewati masa-masa kehamilanmu dan kelahiran si kecil itu nanti,” ucap Joe tak habis pikir betapa hebatnya wanita yang ada di hadapannya itu. Faith telah menelan makanan terakhirnya. Akhirnya, Faith selesai juga.

***

FAITH

            Aku baru saja keluar dari rumah prakter dr. Laura. Well, Joe berhasil membuatku tidak ingin membuka hasil USG-ku. Aku juga meminta dr. Laura untuk tidak memberitahuku jenis kelamin anakku. Dan sore ini Joe mengajakku untuk jalan-jalan sebentar sementara mobilnya berada di parkiran jalan. Katanya jarang ia dapat mendapatkan parkiran secepat tadi, jadi, ia ingin membalas dendam pada para pengendara mobil lain. Joe sedang menceritakan padaku tentang kehiduapannya di Paris dulu. Well, ya, dia juga bisa berbahasa Prancis. Mengapa aku dikelilingi oleh pria yang pintar berbahasa –kecuali Mozes? Aku bisa belajar berbahasa Prancis dari Joe. Sambil berbicara dengannya, aku memerhatikan orang-orang yang berjalan dengan arah berlawanan dengan kami. Tapi seringnya aku melihat keluarga-keluarga bahagia. Satu anak kecil yang baru bisa berjalan itu sangat bersemangat saat kedua tangannya dipegang oleh kedua orangtuanya. Huh, aku harap aku mendapatkan suami secepat mungkin agar anakku tidak akan bertumbuh tanpa Ayah.
            Kuperhatikan satu mobil yang berhenti di pinggir jalan, di depan kami. Lalu beberapa detik kemudian pengendara mobil itu keluar, ia tampak terburu-buru. Ia berlari menuju pintu yang lain lalu membukakan pintu itu untuk penumpangnya. Seorang wanita muncul dari pintu itu dengan mantel yang menutupi tubuhnya. Yeah, semua orang sedang memakai mantel sekarang karena sekarang adalah musim dingin. Begitupun aku. Ia memakai sarung tangan dan melipat tangannya. Wanita itu seperti pernah kukenal. Kuperhatikan pria yang memakai topi hoddie hitam itu dan aku sangat sadar ..ia adalah Justin. Sial, haruskah aku bertemu dengannya lagi? Tidak, tidak, tidak. Itukah Carla yang kukenal? Mengapa pipinya terlihat begitu kurus?  Apa Justin menyiksanya? Justin dan Carla mulai berjalan menuju tempatku berdiri dengan Joe. Ucapan-ucapan Joe tidak sama sekali masuk ke dalam telingaku. Saat aku berjalan, Justin baru saja mendongakkan kepalanya, tapi ia tidak berhenti melangkah. Ia melihatku lalu ia melihat pada Joe. Tidak ada yang harus kutakutkan, aku bukan milik Justin, jadi Justin tidak perlu memukul Joe.
            “Faith?” Suara Joe membuat perhatianku teralihkan. Namun tiba-tiba dari belakang, Joe ditarik hingga ia terjatuh. Oleh Justin. Dapat kulihat di hadapanku dengan jelas, tangan yang dikepalkan Justin langsung meninju hidung Joe hingga dapat kudengar suara retakan di sana. Ya Tuhan.  “Justin!” Suara Carla menarik tubuh Justin, sama seperti dulu aku pernah menahan Justin memukul Tn. Alex. “Apa-apaan yang sedang kaulakukan? Apa kau kehilangan akalmu?” Mata Justin menatapku dengan tatapan penuh amarah. Ia meludahi jalanan lalu menarik Carla untuk berbalik. Carla tidak sama sekali melihatku yang berada di sebelah Joe. Apa dia buta? Dan, wah, ternyata aku telah melihat dua sejoli yang bahagia.
            “Faith,” suara serak Joe terdengar yang membuatku langsung berlutut di hadapannya. Hidungnya berdarah. Aku mengeluarkan sapu tangan yang selalu kubawa dari kantong mantelku lalu mengelap darah  yang berlumur di sekitar bibirnya. Ya Tuhan, tinjuan maut itu pernah dijatuhkan pada Tn. Alex.
            “Kau akan baik-baik saja, Joe. Kita kembali lagi ke dr.Laura,” ucapku berusaha menenangkan diri sekaligus Joe. Ketika aku sedang berusaha untuk mengangkat Joe dari jalanan, suara tembakan terdengar dari jarak jauh.

            “Carla!” Teriak Justin. Aku menoleh ke depan, lalu melihat seorang wanita terbaring di atas jalanan dengan darah yang mengalir, melumuri jalanan. Tak ada yang kulakukan selain bernafas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar