CHAPTER SEVENTEEN
AUTHOR
Wanita
berambut cokelat itu disekap oleh pria bertubuh tegap dan misterius dari
belakang. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, namun terlambat, ia sudah terbius.
Pria yang memiliki mata biru itu dengan segera bangkit dari tempatnya, berusaha
untuk mengejar wanita yang telah digendong itu tetapi kepalanya benar-benar
pening. Ia berlari seperti orang mabuk, penglihatannya buram saat wanita itu
telah dibawa masuk ke dalam sebuah van berwarna biru. Ia mengerjap-kerjapkan
matanya berkali-kali untuk mendapatkan penglihatan yang jelas, ia melihat nomor
polisi van itu yang telah melaju tempatnya. Ia mendapatkannya, lalu ia ambruk
begitu saja.
Berbeda
dengan pria yang lain. Ia berusaha untuk menenangkan dirinya saat ia sedang
membawa wanita yang bertubuh kurus itu ke dalam mobilnya. Darah yang mengalir
melalui dada wanita itu menetes-netes di sekitar perjalanan. Justin menutup
pintu belakang ketika ia telah memasukkan Carla ke dalam mobilnya. Ia lalu
masuk ke dalam bagian depan mobil lalu menyalakan mobilnya. Secepat mungkin ia
keluar dari parkirannya untuk pergi ke sebuah rumah sakit terdekat. Justin
menggeleng-gelengkan kepalanya, tak habis pikir apa yang baru saja terjadi
padanya. Istrinya, di belakang, sedang sekarat karena tertembak oleh peluru
yang bisa saja benar-benar berbahaya. Bahkan Justin menancap gas lebih kencang
lagi, melebihi batas rata-rata biasanya. Matanya menatap speedometer yang
jarumnya telah menunjukkan angka 80. Namun di bawah speedometer itu, ada sebuah
kertas yang sebelumnya tidak ada di sana. Perlahan-lahan kaki Justin
melonggarkan injakannya terhadap pedal gas lalu berhenti. Tepat. Tepat ketika
rambu-rambu lalu lintas menunjukkan lampu merah.
Ia
mengambil kertas itu dengan jari-jarinya. Sebuah tulisan tangan terlihat di
sana, tulisan dengan huruf kapital. Itu adalah nomor telepon dan sebuah alamat.
Di sudut kertas itu tertulis kata kotor yang Faith tidak mungkin sukai. Justin
dengan segera mengambil ponsel dari kantong celananya lalu menekan nomor yang
tertulis di kertas itu, dan ia menghubungi nomor itu sesegera mungkin.
Jantungnya berdegup kencang diiringi dengan bunyi sambungan dari ponselnya.
Keringatnya mengalir, menghias pelipisnya. Rambutnya basah. Dan kemudian
kepalanya menoleh ke belakang. Wajah istrinya benar-benar pucat, darahnya
semakin mengalir, ia harus berada di rumah sakit secepat mungkin. Tiba-tiba
ponsel itu mengeluarkan suara seorang pria.
“Ingat
aku?” Suara pria itu dengan nada suara yang benar-benar menantang.
“Alex
Bajingan Siccrosire!” Justin memaki pria itu. Di seberang sana, pria itu
menertawakan Justin dengan tawa mengejek. Seharusnya Justin menduganya dari
awal! “Apa yang kau inginkan dariku, sialan?”
“Tidak
ada,” ucap pria itu tersenyum licik. “Ini hanya balas dendamku yang lain.
Omong-omong, Faith sedang bersamaku di sini. Dia hamil. Gadis yang cantik, yang
tidak pernah mengecewakanku. Tetap seksi, polos, tapi sayangnya bukan milikku,”
“Jangan
pernah berani untuk menyentuhnya, bajingan!”
“Sayang
sekali, baru saja menciumnya beberapa saat yang lalu. Tidak keberatan, kan?” Goda
pria itu terkekeh. Dan memang pria terdengar serius dengan ucapannya. Justin
menggertak. “Well, jangan berani-berani kau menghubungi polisi. Datang ke
alamat yang telah kuberikan atau Faith akan mati!” Seketika itu juga sambungan
terputus. Percakapan apa yang baru saja ia lewati? Mengapa pria itu masih
berada di dunia ini dan berubah menjadi diri Justin? Iblis? Dan tidak mungkin
Alex membohongi Justin dan mempermainkannya. Istrinya baru saja tertembak dan
tentu saja itu perbuatan dari Alex sialan itu. Demi Tuhan ia harus pergi ke
alamat sialan ini. Semoga GPS yang terpasang di mobilnya berguna untuknya dalam
waktu 1 jam.
Carla dibawa ke ruang gawat darurat. Ia
benar-benar kekurangan darah sekarang. Justin berlari mengikuti tempat tidur
beroda itu yang membawa istrinya. Para suster terus mendorong menuju ruang
gawat darurat lalu dua di antaranya dengan cepat membuka kedua pintu ruang
gawat darurat dan menahan Justin untuk tidak masuk ke dalamnya. Di satu sisi ia
ingin menunggu Carla yang benar-benar sekarat, Carla harus tetap hidup.
“Dia
sedang hamil, bodoh! Kau harus menyelamatkannya!” Teriak Justin membentak
suster yang menahan tubuhnya. Suster itu mengangguk-anggukan kepalanya.
“Kami
akan berusaha sebisa kami, Tuan. Yang harus Anda lakukan adalah menunggu di
sana,” ucap suster itu sebaik mungkin sambil menunjuk tempat duduk yang menempel
dengan tembok. Lalu ia meninggalkan Justin di tempatnya. Ya Tuhan, mengapa ia
tidak bisa hidup tenang hanya untuk 1 tahun saja? Ia mengelap wajahnya dengan
telapak tangannya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Tiba-tiba ponselnya
bergetar, ia langsung mengambilnya dari dalam kantongnya. Sebuah pesan singkat
masuk. Tiktok. Sial, Faith!
“SIAL!”
***
Faith
terbaring di atas sebuah tempat tidur empuk berwarna putih. Ia masih belum
sadarkan dirinya. Tangannya yang berwarna putih itu menyentuh perutnya yang
buncit. Pria yang memiliki mata biru menyentuh tangan Faith dengan lembut.
Jari-jarinya yang panjang itu menelusuri setiap jengkal kulit lembut itu dengan
lembut. Kepalanya tergeleng, tak habis pikir mengapa wanita yang berada di
hadapannya sekarang telah memiliki bayi di dalam perutnya. Ini benar-benar
tidak sejalan dengan apa yang telah ia rencanakan. Seharusnya ia menduga dari
awal bahwa Faith akan hamil. Namun sialnya, ia harus berhadapan dengan wanita
yang sampai sekarang masih ia cintai dengan keadaannya yang sedang hamil. Tapi
ia tidak keberatan jika ia hanya harus menggugurkan bayi di dalam perut Faith,
lagipula, ia tidak ingin berkeluarga dengan Faith jika Faith memiliki anak dari
Iblis yang tidak lain dan tidak bukan adalah Justin Lexise. Pria bajingan yang
sekarang berada di perjalanan menuju tempatnya.
Kemudian
jari-jari itu mulai menyentuh bagian perut Faith yang buncit. Ia dapat
merasakan bahwa ada janin yang sedang berkembang di dalam sana. Sangat
menyakitkan. Sangat menyedihkan. Dan sangat menjengkelkan. Mengapa Justin dapat
mendapatkan Faith sedang ia tidak? Ia ingin sekali meninju perut ini, membunuh
bayi yang berada di dalam perut wanita yang ia cintai, tapi ia tidak bisa.
Tentu ia tidak akan memukul Faith secara fisik. Tidak sekalipun pria ini ingin
menyakiti Faith. Ketika jarinya bersentuhan dengan jari Faith, mata Faith
terbuka. Ia mengerang. Tn. Alex mulai berlutut di sebelah ranjang Faith lalu
menatap wajah Faith dengan wajah penuh damai. Tapi, apakah wajah itu akan benar-benar
terlihat begitu damai? Tidak dengan Faith.
“Ssh,
kau akan baik-baik saja,” ucap pria itu tenang. Faith terbelalak ketika ia
sadar pria yang ada di hadapannya. Wajahnya tidak sama sekali dengan yang dulu.
Wajah Yunani yang awalnya pria itu miliki sekarang berubah menjadi wajah
monster menyeramkan! Matanya masih terlihat bengkak, wajah sebelah kanannya
benar-benar hancur. “Masih ingat aku Faith?”
“Tn.
Alex, mengapa kau …” Faith benar-benar tidak percaya bahwa Tn. Alex berada di
hadapannya. Tidak, ia tidak pernah berpikir panjang sama ke sini. “Apa kabarmu,
Tn. Alex? Kau terlihat sangat …tampan,”
“Aku
baik-baik saja. Lihat? Aku berada di sini, di hadapanmu, masih bernafas –meski
kekasihmu itu mengharapku untuk mati—dan terima kasih atas pujiannya, aku
benar-benar menghargainya,” ucap Tn. Alex tersenyum. Senyuman itu tidak semanis
dulu. Namun perasaan iba menyerang diri Faith. Tidak mungkin Tn. Alex akan
menjadi seburuk ini. Justin benar-benar ingin membunuhnya –sayangnya gagal—dan
berakhir seperti ini. Tangannya yang awalnya berada di atas perut itu mulai
menyentuh pipi kanan Tn. Alex yang rusak itu. Tn. Alex memejamkan matanya,
merasakan sentuhan itu, sentuhan yang penuh dengan perhatian. Sejak kejadian
Justin-Membawa-Alex-ke-Rumah-Sakit, tidak ada yang berani menyentuh wajah Alex
selain dokter yang merawatnya. Semua orang telah merasa jijik padanya, tidak
ada yang mencintainya, dan sekarang, ia diperhadapkan dengan Faith. Wanita yang
sedang menyentuh pipinya yang menjijikan itu.
“Mengapa
kau berada di sini, Tn. Alex? Mengapa kau membawaku ke sini? Apa yang
kauinginkan?” Begitu banyak pertanyaan yang menghujani pikiran Faith. Ini
benar-benar di luar dugaan. Alex menarik tangan Faith dari pipinya lalu
memejamkan matanya.
“Apa
yang telah kuperbuat padamu, Faith, aku benar-benar menyesal. Entah apa yang
menyerangku saat aku berusaha untuk memperkosamu, aku hanya …sakit hati,” ucap
Alex menggeleng-gelengkan kepalanya. Faith menelan ludahnya, entah apa yang
harus ia katakan pada Alex. Ini semua memang salah Faith, seharusnya ia
memberitahu pada Alex bahwa ia tidak akan pernah bisa menerima Alex menjadi
kekasihnya. Bahkan sekarang, jika Alex memohon padanya.
“Itu
sudah berlalu,” bisik Faith. “Lalu mengapa kau menyekapku? Dimana aku?”
“Di
rumahku. Di tempat yang tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam,” ucap Alex.
“Aku berada di London sejak kau pergi ke London. Tidakkah kau percaya aku
mengikutimu sampai sekarang? Kau sangat cantik ketika kau masuk ke dalam
sekolah. Memeluk anak-anak. Tersenyum begitu bahagia. Bahkan dr. Laura, dia
doktermu bukan? Ia bercerita padaku betapa sehatnya anakmu. Bukan hanya kau
yang kuikuti sejak beberapa bulan yang lalu. Justin Sialan Lexise itu juga
menjadi salah satu orang yang selalu kuikuti. Dan sejak sebulan yang lalu, ia
muncul. Mengganggu kehidupanmu dan penglihatanku. Jadi, yah, untuk menanggung
apa yang telah ia perbuat padaku,”—Alex menunjuk pipi kirinya—“aku memintanya
datang ke sini untuk menyelamatkanmu,”
“Menyelamatkan?
Ap-apa maksudmu?” Faith benar-benar bingung. Jantungnya sekarang berdetak
begitu kencang. Ada perasaan yang mengganjal di hatinya yang entah apa itu.
Faith mengangkat tubuhnya dari tempat tidur, yang membuat Alex dengan segap
berdiri dan menahan kedua bahu Faith, sehingga sekarang Faith terduduk baik-baik
di atas tempat tidur. “Tn. Alex! Apa-apaan yang kaulakukan?” Teriak Faith
panik.
“Aku
hanya akan memanggil anak buahku untuk mengikatmu,”
“Mengikatku?
Untuk apa? Apa yang telah kuperbuat padamu?”
“Ak-aku
tidak bisa,” Alex menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tidak bisa melihatmu
bahagia bersama dengan orang lain sedangkan aku sendirian, di sini, meratapi
sisa hidupku yang buruk. Aku terpaksa harus membunuhmu,” ucap Alex menahan
tangisannya. Banci?
“Kau
kekanak-kanakkan Tn. Alex! Apa kaupikir aku hidup bahagia sejak kedatangan
Justin di London? Tidak, tidak sama sekali! Sial, mengapa kau harus
membunuhku?”
“Balas
dendan yang lain, Faith! Apa yang telah kalian
telah lakukan padaku akan terbalaskan sekarang! Kau akan kehilangan bayimu dan
Justin akan kehilangan wajahnya yang buruk itu dan akan menjadi lebih buruk!” Fuck? Faith meringis. Mengapa pria yang
ada di hadapannya ini tampak bodoh? Ia terlihat seperti banci yang haus kasih
sayang. Atau bisa dibilang, haus kasih sayang dari seorang pria. Alex memanggil anak buahnya untuk masuk ke dalam kamar
mereka. Faith tidak memberontak. Ia hanya menatap tembok, di belakang tubuh
Alex, merenung. Faith dipindah ke tengah-tengah tempat tidur sedangkan anak
buah Alex telah tiba dengan tali di tangan mereka. Lalu mereka mulai mengikat
kedua tangan Faith di kedua tiang tempat tidur di sana.
Lalu
Faith terkekeh. “Kau tahu apa yang lucu, Tn. Alex?” Tanya Faith mendongak, kali
ini menatap Alex yang sedang mengikat tangannya. Alex menghentikan ikatan pada
tangan Faith lalu menatap Faith.
“Apa?
Apa yang lucu?”
“Ini
sangat menyedihkan, apa kau benar-benar ingin tahu? Masalahnya, aku tidak ingin
tertawa di atas penderitaan orang lain,” ucap Faith, tapi ia tertawa. Alex
menyuruh anak buahnya mengikat tangan Faith yang belum terikat itu. Nah
sekarang Alex mulai mengangkangi Faith tanpa menyentuh perut Faith.
“Apa
yang lucu, Faith?” Tanya Alex kali ini dengan nada suara yang serius. Wajah
mereka saling berhadapan. Wajah monster itu sekarang benar-benar terlihat
jelas.
“Kau
benar-benar ingin tahu?” Tanya Faith menggoda Tn. Alex sambil cekikikan.
“Cepat
beritahu aku, Faith, atau aku akan menduduki perutmu hingga bayimu itu keluar
di sini sekarang juga!”
“Oke!
Oke! Baiklah, jangan duduki aku,” seru Faith langsung panik. “Kemarilah, dekati
telingamu pada bibirku,” perintah Faith yang langsung dilakukan oleh Alex.
Bibir Faith sekarang sudah dekat dengan telinga Alex lalu ia bernafas.
“Wajahmu.
Lebih. Buruk. Dibandingkan. Dengan. Justin. Lexise,” ucap Faith berani. “Ayah. Dari.
Anak. Yang. Kukandung.” Bisik Faith yang membuat Alex benar-benar marah.
Percikan api yang keluar dari mulut Faith benar-benar membakar bensin yang ada
di hadapannya. Tanpa basa-basi Alex langsung menampar pipi Faith sekuat tenaga
hingga Faith mengerang kesakitan. “Damn it! Tangan siapa yang kaupakai? Zombie?
Tangan itu sangat bau!” Hina Faith benar-benar berani.
“Aku
…aku pasti akan membunuhmu, Faith!” Alex mengancam, ia bangkit dari tempatnya
lalu turun dari tempat tidur. “Pangeran kegelapanmu belum datang juga.
Kemanakah dia? Tiktok, waktunya sebentar lagi habis,” ujar Alex yang kali ini
membuat Faith yang awalnya berani menjadi sedikit takut.
“Dia…
dia akan datang. Lagipula, dia bukan pangeran kegelapan! Dia kuda satu tanduk
dengan sayap berwarna putih!”
“Terlalu
banyak mengajar anak kelas 2, kau jadi gila.” Ejek Alex membuka pintu kamarnya.
Anak buahnya sudah menghilang. Begitu juga dengan Alex yang menghilang dibalik
pintu dengan kekehan misterius. Sial!
***
JUSTIN
Aku
meminta bantuan Mozes. Untuk tahu dimana rumah Faith tidak begitu lama. Aku
meminta anak buahku untuk mencarinya sejak kemarin dan mendapatkannya siang
ini. Meski awalnya Mozes hampir memukulku, aku langsung memberitahu padanya
bahwa Faith sedang ditahan oleh Alex sialan itu. Well, kebetulan sekali
pekerjaan Mozes adalah menjadi seorang pelayan. Aku memintanya untuk
berpura-pura menjadi pria pesan antar dari restorannya dan aku membeli begitu
banyak makanan hanya agar peran Mozes benar-benar meyakinkan. Untunglah ia
memiliki seragam restorannya—tentu saja—dan aku menyuruhnya untuk mengikutiku
dari belakang dengan menggunakan kendaraan motor—yang kami ambil begitu saja
dari parkiran, kebetulan orang yang ingin memakai motor itu kami tahan dan kami
memberinya uang untuk menyewanya sebentar. Aneh, tapi lucu. Mozes berpura-pura
membawa begitu banyak dus di belakang motornya sebagai umpan untuk para anak
buah Alex yang bodoh itu. Dan itu sudah pasti, Alex pasti memiliki anak buah.
Sebentar
lagi kami akan sampai. Mozes masih berada di belakangku. Ia aman. Kami sudah
melewati perumahan yang bisa kubilang mewah. Cukup pintar Alex membeli rumah di
sini. Well, mungkin aku juga bisa tinggal di sini. Yeah, benar. Kusingkirkan
sebentar pikiran untuk membeli rumah di sini, sekarang yang harus kupentingkan
adalah Faith. Mobilku berhenti di depan sebuah pintu gerbang besi berwarna
abu-abu yang menjulang tinggi, aku bahkan tidak bisa melihat rumahnya seperti
apa. Kamera keamanan sudah menyorotku dari atas ketika aku keluar. Seketika itu
juga pintu kecil berbentuk persegi terbuka untukku.
“Justin
Lexise?”
“Ya,
itu aku,” ucapku datar.
“Siapa
pria yang berada di belakangmu?” Tanya penjaga itu melihat Mozes di belakangku.
Aku membalikkan tubuhku dan melihat Mozes dengan wajah tidak tahu. Aku mengedik
bahu. “Hei! Kau yang di belakang! Kami tidak memesan apa pun malam ini untuk
dimakan!”
“Bukankah
ini kediaman Tn. Alex Siccrossie?” Tanya Mozes maju ke depan.
“Ya,
ada apa?”
“Ya,
kami dari restoran Flave mendapat pesanan untuk anak buahnya malam ini.
Bolehkah aku masuk untuk menaruh sisa makanan yang masih ada di motorku?” Mozes
berusaha sebisa mungkin meyakinkan anak buah Alex yang bodoh itu.
Makanan-makanan itu telah kami beri racun. Ya, semoga mereka memakan makanan
mereka nanti sebanyak mungkin lalu aku akan tertawa. Kulihat wajah penjaga itu
ragu-ragu, namun pada akhirnya pintu gerbang itu terbuka untuk kami. Kami
berjalan masuk ke dalam. Sebuah rumah yang besar mulai terlihat. Wow, aku tidak
tahu bahwa Alex memiliki selera untuk membeli rumah seperti ini. Mozes ditahan
oleh penjaga itu sedangkan aku terus berjalan menuju pintu utama.
Kuperhatikan
di sekeliling rumah Alex, taman yang indah. Aku harus memuji kepintaran pria
yang membeli rumah ini. Well, yang membuatnya. Lalu aku mengetuk pintu utama
rumah ini dengan tangan kiriku. Beberapa detik kemudian, pria berkumis tebal
dengan tubuh yang besar itu membukanya. Ia melihatku begitu garang, namun aku
tidak takut. Sejak kapan aku takut pada orang yang bertubuh besar? Hanya dengan
satu tusukan di jantungnya akan membuatnya mati. Pisau yang berada di balik
kaos kakiku ini memang tidak pernah mengecewakanku.
“Makananmu
ada di luar sana, penjaga itu sedang mengambil makanannya dari tukang pesan
antar. Tidakkah kau lelah seharian bekerja untuk bosmu itu? Omong-omong dimana
dia?”
“Izzy!
Bawa gadis kecil ini ke hadapan Tn. Alex!” Teriak pria sialan ini menghinaku.
Aku hanya terkekeh. Lalu muncul seorang wanita muda berambut merah dengan
pakaian yang benar-benar seksi. Tidak sama sekali menggugah selera. “Aku harus
melihat makanan apa yang Pedro dapat,” ucap pria bodoh itu pergi dari
tempatnya.
“Lewat
sini, good looking,” ucap wanita itu
menggodaku. Pintu tertutup, ia menarik tanganku menuju tangga besar. Pikiranku
jatuh pada Carla kembali. Sialan, istriku sekarang sedang sekarat dan aku
sedang berusaha untuk menyelamatkan Faith. Kuharap Carla baik-baik saja di
rumah sakit, ya Tuhan. Dia sedang mengandung –meski belum pasti—anakku.
***
AUTHOR
“Oh,
sial! Monster macam apa yang sedang kulihat?!” Tanya Justin terkejut dengan
wajah Alex yang buruk rupa itu. Alex memejamkan matanya lalu berusaha untuk
tersenyum. “Tidak, tidak, tidak. Jangan berikan aku senyum sialan itu. Kau
sangat buruk! Buruk rupa!”
“Cukup
sialan!” Bentak Alex menggebrak meja. Ya, mereka sekarang berada di dalam ruang
kerja Alex. Hanya ada mereka berdua di dalam ruangan itu. “Kita tidak akan
saling memukul satu sama lain. Kita hanya akan berbicara baik-baik. Silahkan
duduk,” pinta Alex untuk duduk di hadapannya. Dan, ya, untuk menjatuhkan
musuhmu, kau harus mengikuti perintahnya. Semakin dekat, semakin baik. Justin
duduk di atas kursi yang berhadapan dengan Alex. Mereka saling bertatapan dalam
keheningan. Pria yang paling kuat di ruangan itu sekarang adalah Alex. Tentu
saja, ia yang sekarang mengontrol segalanya. Tangan Alex meraih sesuatu yang
berbentuk kotak berwarna hitam dengan sebuah tombol bulat berbentuk bulat
berwarna merah. “Jadi, apa yang kauinginkan, buruk rupa?”
“Ganti
rugi. Balas dendam,” ucap Alex.
“Berapa
uang yang kaubutuhkan?”
“Ini
bukan tentang uang, kau sialan!” Bentak Alex menggebrak meja kembali. Ia
benar-benar benci melihat Justin. Pria yang telah membuat wajahnya menjadi
sangat buruk. Tidak layak untuk dilihat. Jika Alex tahu pada akhirnya ia akan
seperti ini, ia lebih mati. Namun ia berpikir dua kali, tidak mungkin ia mati
dalam tangan pria sialan ini. “Kau lihat apa yang kupegang sekarang? Jika aku
menekan yang berwarna merah itu, gadismu yang berada di dalam sana akan mati
karena gas beracun di ruang sebelah. Keren bukan?” Tanya Alex menaik-turunkan
alisnya.
“Huh,
keren sekali. Tekanlah tombol warna merah itu agar aku memiliki alasan untuk
membunuhmu, kali ini akan berhasil,” ucap Justin tidak sama sekali takut.
“Wah?
Kau cukup berani. Begini. Bagaimana jika perjanjiannya adalah aku menggugurkan
bayi yang berada di dalam kandungan Faith dan ia menjadi milikku dan kau hidup
atau kau mati namun Faith dan bayimu akan baik-baik saja?”
“Kau
memang sialan,” ujar Justin menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Keputusan
ada di tanganmu, Justin Lexise,” ucap Alex mengedikkan kedua bahunya. Justin
terdiam sejenak lalu ia tertawa. Alex ikut tertawa, meski mereka tidak tahu apa
yang mereka tertawakan.
“Aku
memilih membunuhmu, Alex Sialan Siccrosire.” Ucap Justin mengambil pisau di
dalam kaos kakinya lalu bangkit dari tempat duduknya. Ibu jari Alex telah
menekan tombol merah itu. “Sialan, kau Alex!” Teriak Justin menusuk jantung
Alex. Tusukan kedua jatuh ke dada yang lain. Lalu ketiga di perut.
“Sial!”
Erang Alex menatap langit-langit kamar dengan penglihatan buram. Alex diserbu
oleh banyak tusukan dari pisau Justin yang sudah berlumuran darahnya. Terakhir
Justin menusuk mata Alex yang bengkak itu hingga darahnya muncrat mengenai
wajahnya. Justin mengumpat.
Di
ruang sebelah, gas mulai keluar dari pintu tertutup itu. Faith tidak dapat
bernafas. Ia berusaha untuk tidak bernafas, namun terlambat, ia sudah
menghirupnya. Kakinya menendang-tendang tempat tidur. Tangannya tidak bisa
lepas dari ikatan itu. Seseorang sedang menggedor-gedor pintunya. Kakinya masih
menendang-tendang tempat tidur itu sepanjang pintu terkunci itu berusaha untuk
dibuka. Lalu kaki itu berhenti menendang. Pintu baru saja terbuka. “FAITH!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar