Senin, 16 Desember 2013

Right Mistakes Bab 17

CHAPTER SEVENTEEN

AUTHOR

            Wanita berambut cokelat itu disekap oleh pria bertubuh tegap dan misterius dari belakang. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, namun terlambat, ia sudah terbius. Pria yang memiliki mata biru itu dengan segera bangkit dari tempatnya, berusaha untuk mengejar wanita yang telah digendong itu tetapi kepalanya benar-benar pening. Ia berlari seperti orang mabuk, penglihatannya buram saat wanita itu telah dibawa masuk ke dalam sebuah van berwarna biru. Ia mengerjap-kerjapkan matanya berkali-kali untuk mendapatkan penglihatan yang jelas, ia melihat nomor polisi van itu yang telah melaju tempatnya. Ia mendapatkannya, lalu ia ambruk begitu saja.
            Berbeda dengan pria yang lain. Ia berusaha untuk menenangkan dirinya saat ia sedang membawa wanita yang bertubuh kurus itu ke dalam mobilnya. Darah yang mengalir melalui dada wanita itu menetes-netes di sekitar perjalanan. Justin menutup pintu belakang ketika ia telah memasukkan Carla ke dalam mobilnya. Ia lalu masuk ke dalam bagian depan mobil lalu menyalakan mobilnya. Secepat mungkin ia keluar dari parkirannya untuk pergi ke sebuah rumah sakit terdekat. Justin menggeleng-gelengkan kepalanya, tak habis pikir apa yang baru saja terjadi padanya. Istrinya, di belakang, sedang sekarat karena tertembak oleh peluru yang bisa saja benar-benar berbahaya. Bahkan Justin menancap gas lebih kencang lagi, melebihi batas rata-rata biasanya. Matanya menatap speedometer yang jarumnya telah menunjukkan angka 80. Namun di bawah speedometer itu, ada sebuah kertas yang sebelumnya tidak ada di sana. Perlahan-lahan kaki Justin melonggarkan injakannya terhadap pedal gas lalu berhenti. Tepat. Tepat ketika rambu-rambu lalu lintas menunjukkan lampu merah.
            Ia mengambil kertas itu dengan jari-jarinya. Sebuah tulisan tangan terlihat di sana, tulisan dengan huruf kapital. Itu adalah nomor telepon dan sebuah alamat. Di sudut kertas itu tertulis kata kotor yang Faith tidak mungkin sukai. Justin dengan segera mengambil ponsel dari kantong celananya lalu menekan nomor yang tertulis di kertas itu, dan ia menghubungi nomor itu sesegera mungkin. Jantungnya berdegup kencang diiringi dengan bunyi sambungan dari ponselnya. Keringatnya mengalir, menghias pelipisnya. Rambutnya basah. Dan kemudian kepalanya menoleh ke belakang. Wajah istrinya benar-benar pucat, darahnya semakin mengalir, ia harus berada di rumah sakit secepat mungkin. Tiba-tiba ponsel itu mengeluarkan suara seorang pria.
            “Ingat aku?” Suara pria itu dengan nada suara yang benar-benar menantang.
            “Alex Bajingan Siccrosire!” Justin memaki pria itu. Di seberang sana, pria itu menertawakan Justin dengan tawa mengejek. Seharusnya Justin menduganya dari awal! “Apa yang kau inginkan dariku, sialan?”
            “Tidak ada,” ucap pria itu tersenyum licik. “Ini hanya balas dendamku yang lain. Omong-omong, Faith sedang bersamaku di sini. Dia hamil. Gadis yang cantik, yang tidak pernah mengecewakanku. Tetap seksi, polos, tapi sayangnya bukan milikku,”
            “Jangan pernah berani untuk menyentuhnya, bajingan!”
            “Sayang sekali, baru saja menciumnya beberapa saat yang lalu. Tidak keberatan, kan?” Goda pria itu terkekeh. Dan memang pria terdengar serius dengan ucapannya. Justin menggertak. “Well, jangan berani-berani kau menghubungi polisi. Datang ke alamat yang telah kuberikan atau Faith akan mati!” Seketika itu juga sambungan terputus. Percakapan apa yang baru saja ia lewati? Mengapa pria itu masih berada di dunia ini dan berubah menjadi diri Justin? Iblis? Dan tidak mungkin Alex membohongi Justin dan mempermainkannya. Istrinya baru saja tertembak dan tentu saja itu perbuatan dari Alex sialan itu. Demi Tuhan ia harus pergi ke alamat sialan ini. Semoga GPS yang terpasang di mobilnya berguna untuknya dalam waktu 1 jam.

            Carla dibawa ke ruang gawat darurat. Ia benar-benar kekurangan darah sekarang. Justin berlari mengikuti tempat tidur beroda itu yang membawa istrinya. Para suster terus mendorong menuju ruang gawat darurat lalu dua di antaranya dengan cepat membuka kedua pintu ruang gawat darurat dan menahan Justin untuk tidak masuk ke dalamnya. Di satu sisi ia ingin menunggu Carla yang benar-benar sekarat, Carla harus tetap hidup.
            “Dia sedang hamil, bodoh! Kau harus menyelamatkannya!” Teriak Justin membentak suster yang menahan tubuhnya. Suster itu mengangguk-anggukan kepalanya.
            “Kami akan berusaha sebisa kami, Tuan. Yang harus Anda lakukan adalah menunggu di sana,” ucap suster itu sebaik mungkin sambil menunjuk tempat duduk yang menempel dengan tembok. Lalu ia meninggalkan Justin di tempatnya. Ya Tuhan, mengapa ia tidak bisa hidup tenang hanya untuk 1 tahun saja? Ia mengelap wajahnya dengan telapak tangannya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Tiba-tiba ponselnya bergetar, ia langsung mengambilnya dari dalam kantongnya. Sebuah pesan singkat masuk. Tiktok. Sial, Faith!
            “SIAL!”

***

            Faith terbaring di atas sebuah tempat tidur empuk berwarna putih. Ia masih belum sadarkan dirinya. Tangannya yang berwarna putih itu menyentuh perutnya yang buncit. Pria yang memiliki mata biru menyentuh tangan Faith dengan lembut. Jari-jarinya yang panjang itu menelusuri setiap jengkal kulit lembut itu dengan lembut. Kepalanya tergeleng, tak habis pikir mengapa wanita yang berada di hadapannya sekarang telah memiliki bayi di dalam perutnya. Ini benar-benar tidak sejalan dengan apa yang telah ia rencanakan. Seharusnya ia menduga dari awal bahwa Faith akan hamil. Namun sialnya, ia harus berhadapan dengan wanita yang sampai sekarang masih ia cintai dengan keadaannya yang sedang hamil. Tapi ia tidak keberatan jika ia hanya harus menggugurkan bayi di dalam perut Faith, lagipula, ia tidak ingin berkeluarga dengan Faith jika Faith memiliki anak dari Iblis yang tidak lain dan tidak bukan adalah Justin Lexise. Pria bajingan yang sekarang berada di perjalanan menuju tempatnya.
            Kemudian jari-jari itu mulai menyentuh bagian perut Faith yang buncit. Ia dapat merasakan bahwa ada janin yang sedang berkembang di dalam sana. Sangat menyakitkan. Sangat menyedihkan. Dan sangat menjengkelkan. Mengapa Justin dapat mendapatkan Faith sedang ia tidak? Ia ingin sekali meninju perut ini, membunuh bayi yang berada di dalam perut wanita yang ia cintai, tapi ia tidak bisa. Tentu ia tidak akan memukul Faith secara fisik. Tidak sekalipun pria ini ingin menyakiti Faith. Ketika jarinya bersentuhan dengan jari Faith, mata Faith terbuka. Ia mengerang. Tn. Alex mulai berlutut di sebelah ranjang Faith lalu menatap wajah Faith dengan wajah penuh damai. Tapi, apakah wajah itu akan benar-benar terlihat begitu damai? Tidak dengan Faith.
            “Ssh, kau akan baik-baik saja,” ucap pria itu tenang. Faith terbelalak ketika ia sadar pria yang ada di hadapannya. Wajahnya tidak sama sekali dengan yang dulu. Wajah Yunani yang awalnya pria itu miliki sekarang berubah menjadi wajah monster menyeramkan! Matanya masih terlihat bengkak, wajah sebelah kanannya benar-benar hancur. “Masih ingat aku Faith?”
            “Tn. Alex, mengapa kau …” Faith benar-benar tidak percaya bahwa Tn. Alex berada di hadapannya. Tidak, ia tidak pernah berpikir panjang sama ke sini. “Apa kabarmu, Tn. Alex? Kau terlihat sangat …tampan,”
            “Aku baik-baik saja. Lihat? Aku berada di sini, di hadapanmu, masih bernafas –meski kekasihmu itu mengharapku untuk mati—dan terima kasih atas pujiannya, aku benar-benar menghargainya,” ucap Tn. Alex tersenyum. Senyuman itu tidak semanis dulu. Namun perasaan iba menyerang diri Faith. Tidak mungkin Tn. Alex akan menjadi seburuk ini. Justin benar-benar ingin membunuhnya –sayangnya gagal—dan berakhir seperti ini. Tangannya yang awalnya berada di atas perut itu mulai menyentuh pipi kanan Tn. Alex yang rusak itu. Tn. Alex memejamkan matanya, merasakan sentuhan itu, sentuhan yang penuh dengan perhatian. Sejak kejadian Justin-Membawa-Alex-ke-Rumah-Sakit, tidak ada yang berani menyentuh wajah Alex selain dokter yang merawatnya. Semua orang telah merasa jijik padanya, tidak ada yang mencintainya, dan sekarang, ia diperhadapkan dengan Faith. Wanita yang sedang menyentuh pipinya yang menjijikan itu.
            “Mengapa kau berada di sini, Tn. Alex? Mengapa kau membawaku ke sini? Apa yang kauinginkan?” Begitu banyak pertanyaan yang menghujani pikiran Faith. Ini benar-benar di luar dugaan. Alex menarik tangan Faith dari pipinya lalu memejamkan matanya.
            “Apa yang telah kuperbuat padamu, Faith, aku benar-benar menyesal. Entah apa yang menyerangku saat aku berusaha untuk memperkosamu, aku hanya …sakit hati,” ucap Alex menggeleng-gelengkan kepalanya. Faith menelan ludahnya, entah apa yang harus ia katakan pada Alex. Ini semua memang salah Faith, seharusnya ia memberitahu pada Alex bahwa ia tidak akan pernah bisa menerima Alex menjadi kekasihnya. Bahkan sekarang, jika Alex memohon padanya.
            “Itu sudah berlalu,” bisik Faith. “Lalu mengapa kau menyekapku? Dimana aku?”
            “Di rumahku. Di tempat yang tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam,” ucap Alex. “Aku berada di London sejak kau pergi ke London. Tidakkah kau percaya aku mengikutimu sampai sekarang? Kau sangat cantik ketika kau masuk ke dalam sekolah. Memeluk anak-anak. Tersenyum begitu bahagia. Bahkan dr. Laura, dia doktermu bukan? Ia bercerita padaku betapa sehatnya anakmu. Bukan hanya kau yang kuikuti sejak beberapa bulan yang lalu. Justin Sialan Lexise itu juga menjadi salah satu orang yang selalu kuikuti. Dan sejak sebulan yang lalu, ia muncul. Mengganggu kehidupanmu dan penglihatanku. Jadi, yah, untuk menanggung apa yang telah ia perbuat padaku,”—Alex menunjuk pipi kirinya—“aku memintanya datang ke sini untuk menyelamatkanmu,”
            “Menyelamatkan? Ap-apa maksudmu?” Faith benar-benar bingung. Jantungnya sekarang berdetak begitu kencang. Ada perasaan yang mengganjal di hatinya yang entah apa itu. Faith mengangkat tubuhnya dari tempat tidur, yang membuat Alex dengan segap berdiri dan menahan kedua bahu Faith, sehingga sekarang Faith terduduk baik-baik di atas tempat tidur. “Tn. Alex! Apa-apaan yang kaulakukan?” Teriak Faith panik.
            “Aku hanya akan memanggil anak buahku untuk mengikatmu,”
            “Mengikatku? Untuk apa? Apa yang telah kuperbuat padamu?”
            “Ak-aku tidak bisa,” Alex menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tidak bisa melihatmu bahagia bersama dengan orang lain sedangkan aku sendirian, di sini, meratapi sisa hidupku yang buruk. Aku terpaksa harus membunuhmu,” ucap Alex menahan tangisannya. Banci?
            “Kau kekanak-kanakkan Tn. Alex! Apa kaupikir aku hidup bahagia sejak kedatangan Justin di London? Tidak, tidak sama sekali! Sial, mengapa kau harus membunuhku?”
            “Balas dendan yang lain, Faith! Apa yang telah kalian telah lakukan padaku akan terbalaskan sekarang! Kau akan kehilangan bayimu dan Justin akan kehilangan wajahnya yang buruk itu dan akan menjadi lebih buruk!” Fuck? Faith meringis. Mengapa pria yang ada di hadapannya ini tampak bodoh? Ia terlihat seperti banci yang haus kasih sayang. Atau bisa dibilang, haus kasih sayang dari seorang pria. Alex memanggil anak buahnya untuk masuk ke dalam kamar mereka. Faith tidak memberontak. Ia hanya menatap tembok, di belakang tubuh Alex, merenung. Faith dipindah ke tengah-tengah tempat tidur sedangkan anak buah Alex telah tiba dengan tali di tangan mereka. Lalu mereka mulai mengikat kedua tangan Faith di kedua tiang tempat tidur di sana.
            Lalu Faith terkekeh. “Kau tahu apa yang lucu, Tn. Alex?” Tanya Faith mendongak, kali ini menatap Alex yang sedang mengikat tangannya. Alex menghentikan ikatan pada tangan Faith lalu menatap Faith.
            “Apa? Apa yang lucu?”
            “Ini sangat menyedihkan, apa kau benar-benar ingin tahu? Masalahnya, aku tidak ingin tertawa di atas penderitaan orang lain,” ucap Faith, tapi ia tertawa. Alex menyuruh anak buahnya mengikat tangan Faith yang belum terikat itu. Nah sekarang Alex mulai mengangkangi Faith tanpa menyentuh perut Faith.
            “Apa yang lucu, Faith?” Tanya Alex kali ini dengan nada suara yang serius. Wajah mereka saling berhadapan. Wajah monster itu sekarang benar-benar terlihat jelas.
            “Kau benar-benar ingin tahu?” Tanya Faith menggoda Tn. Alex sambil cekikikan.
            “Cepat beritahu aku, Faith, atau aku akan menduduki perutmu hingga bayimu itu keluar di sini sekarang juga!”
            “Oke! Oke! Baiklah, jangan duduki aku,” seru Faith langsung panik. “Kemarilah, dekati telingamu pada bibirku,” perintah Faith yang langsung dilakukan oleh Alex. Bibir Faith sekarang sudah dekat dengan telinga Alex lalu ia bernafas.
            “Wajahmu. Lebih. Buruk. Dibandingkan. Dengan. Justin. Lexise,” ucap Faith berani. “Ayah. Dari. Anak. Yang. Kukandung.” Bisik Faith yang membuat Alex benar-benar marah. Percikan api yang keluar dari mulut Faith benar-benar membakar bensin yang ada di hadapannya. Tanpa basa-basi Alex langsung menampar pipi Faith sekuat tenaga hingga Faith mengerang kesakitan. “Damn it! Tangan siapa yang kaupakai? Zombie? Tangan itu sangat bau!” Hina Faith benar-benar berani.
            “Aku …aku pasti akan membunuhmu, Faith!” Alex mengancam, ia bangkit dari tempatnya lalu turun dari tempat tidur. “Pangeran kegelapanmu belum datang juga. Kemanakah dia? Tiktok, waktunya sebentar lagi habis,” ujar Alex yang kali ini membuat Faith yang awalnya berani menjadi sedikit takut.
            “Dia… dia akan datang. Lagipula, dia bukan pangeran kegelapan! Dia kuda satu tanduk dengan sayap berwarna putih!”
            “Terlalu banyak mengajar anak kelas 2, kau jadi gila.” Ejek Alex membuka pintu kamarnya. Anak buahnya sudah menghilang. Begitu juga dengan Alex yang menghilang dibalik pintu dengan kekehan misterius. Sial!

***

JUSTIN

            Aku meminta bantuan Mozes. Untuk tahu dimana rumah Faith tidak begitu lama. Aku meminta anak buahku untuk mencarinya sejak kemarin dan mendapatkannya siang ini. Meski awalnya Mozes hampir memukulku, aku langsung memberitahu padanya bahwa Faith sedang ditahan oleh Alex sialan itu. Well, kebetulan sekali pekerjaan Mozes adalah menjadi seorang pelayan. Aku memintanya untuk berpura-pura menjadi pria pesan antar dari restorannya dan aku membeli begitu banyak makanan hanya agar peran Mozes benar-benar meyakinkan. Untunglah ia memiliki seragam restorannya—tentu saja—dan aku menyuruhnya untuk mengikutiku dari belakang dengan menggunakan kendaraan motor—yang kami ambil begitu saja dari parkiran, kebetulan orang yang ingin memakai motor itu kami tahan dan kami memberinya uang untuk menyewanya sebentar. Aneh, tapi lucu. Mozes berpura-pura membawa begitu banyak dus di belakang motornya sebagai umpan untuk para anak buah Alex yang bodoh itu. Dan itu sudah pasti, Alex pasti memiliki anak buah.
            Sebentar lagi kami akan sampai. Mozes masih berada di belakangku. Ia aman. Kami sudah melewati perumahan yang bisa kubilang mewah. Cukup pintar Alex membeli rumah di sini. Well, mungkin aku juga bisa tinggal di sini. Yeah, benar. Kusingkirkan sebentar pikiran untuk membeli rumah di sini, sekarang yang harus kupentingkan adalah Faith. Mobilku berhenti di depan sebuah pintu gerbang besi berwarna abu-abu yang menjulang tinggi, aku bahkan tidak bisa melihat rumahnya seperti apa. Kamera keamanan sudah menyorotku dari atas ketika aku keluar. Seketika itu juga pintu kecil berbentuk persegi terbuka untukku.
            “Justin Lexise?”
            “Ya, itu aku,” ucapku datar.
            “Siapa pria yang berada di belakangmu?” Tanya penjaga itu melihat Mozes di belakangku. Aku membalikkan tubuhku dan melihat Mozes dengan wajah tidak tahu. Aku mengedik bahu. “Hei! Kau yang di belakang! Kami tidak memesan apa pun malam ini untuk dimakan!”
            “Bukankah ini kediaman Tn. Alex Siccrossie?” Tanya Mozes maju ke depan.
            “Ya, ada apa?”
            “Ya, kami dari restoran Flave mendapat pesanan untuk anak buahnya malam ini. Bolehkah aku masuk untuk menaruh sisa makanan yang masih ada di motorku?” Mozes berusaha sebisa mungkin meyakinkan anak buah Alex yang bodoh itu. Makanan-makanan itu telah kami beri racun. Ya, semoga mereka memakan makanan mereka nanti sebanyak mungkin lalu aku akan tertawa. Kulihat wajah penjaga itu ragu-ragu, namun pada akhirnya pintu gerbang itu terbuka untuk kami. Kami berjalan masuk ke dalam. Sebuah rumah yang besar mulai terlihat. Wow, aku tidak tahu bahwa Alex memiliki selera untuk membeli rumah seperti ini. Mozes ditahan oleh penjaga itu sedangkan aku terus berjalan menuju pintu utama.
            Kuperhatikan di sekeliling rumah Alex, taman yang indah. Aku harus memuji kepintaran pria yang membeli rumah ini. Well, yang membuatnya. Lalu aku mengetuk pintu utama rumah ini dengan tangan kiriku. Beberapa detik kemudian, pria berkumis tebal dengan tubuh yang besar itu membukanya. Ia melihatku begitu garang, namun aku tidak takut. Sejak kapan aku takut pada orang yang bertubuh besar? Hanya dengan satu tusukan di jantungnya akan membuatnya mati. Pisau yang berada di balik kaos kakiku ini memang tidak pernah mengecewakanku.
            “Makananmu ada di luar sana, penjaga itu sedang mengambil makanannya dari tukang pesan antar. Tidakkah kau lelah seharian bekerja untuk bosmu itu? Omong-omong dimana dia?”
            “Izzy! Bawa gadis kecil ini ke hadapan Tn. Alex!” Teriak pria sialan ini menghinaku. Aku hanya terkekeh. Lalu muncul seorang wanita muda berambut merah dengan pakaian yang benar-benar seksi. Tidak sama sekali menggugah selera. “Aku harus melihat makanan apa yang Pedro dapat,” ucap pria bodoh itu pergi dari tempatnya.
            “Lewat sini, good looking,” ucap wanita itu menggodaku. Pintu tertutup, ia menarik tanganku menuju tangga besar. Pikiranku jatuh pada Carla kembali. Sialan, istriku sekarang sedang sekarat dan aku sedang berusaha untuk menyelamatkan Faith. Kuharap Carla baik-baik saja di rumah sakit, ya Tuhan. Dia sedang mengandung –meski belum pasti—anakku.

***

AUTHOR

            “Oh, sial! Monster macam apa yang sedang kulihat?!” Tanya Justin terkejut dengan wajah Alex yang buruk rupa itu. Alex memejamkan matanya lalu berusaha untuk tersenyum. “Tidak, tidak, tidak. Jangan berikan aku senyum sialan itu. Kau sangat buruk! Buruk rupa!”
            “Cukup sialan!” Bentak Alex menggebrak meja. Ya, mereka sekarang berada di dalam ruang kerja Alex. Hanya ada mereka berdua di dalam ruangan itu. “Kita tidak akan saling memukul satu sama lain. Kita hanya akan berbicara baik-baik. Silahkan duduk,” pinta Alex untuk duduk di hadapannya. Dan, ya, untuk menjatuhkan musuhmu, kau harus mengikuti perintahnya. Semakin dekat, semakin baik. Justin duduk di atas kursi yang berhadapan dengan Alex. Mereka saling bertatapan dalam keheningan. Pria yang paling kuat di ruangan itu sekarang adalah Alex. Tentu saja, ia yang sekarang mengontrol segalanya. Tangan Alex meraih sesuatu yang berbentuk kotak berwarna hitam dengan sebuah tombol bulat berbentuk bulat berwarna merah. “Jadi, apa yang kauinginkan, buruk rupa?”
            “Ganti rugi. Balas dendam,” ucap Alex.
            “Berapa uang yang kaubutuhkan?”
            “Ini bukan tentang uang, kau sialan!” Bentak Alex menggebrak meja kembali. Ia benar-benar benci melihat Justin. Pria yang telah membuat wajahnya menjadi sangat buruk. Tidak layak untuk dilihat. Jika Alex tahu pada akhirnya ia akan seperti ini, ia lebih mati. Namun ia berpikir dua kali, tidak mungkin ia mati dalam tangan pria sialan ini. “Kau lihat apa yang kupegang sekarang? Jika aku menekan yang berwarna merah itu, gadismu yang berada di dalam sana akan mati karena gas beracun di ruang sebelah. Keren bukan?” Tanya Alex menaik-turunkan alisnya.
            “Huh, keren sekali. Tekanlah tombol warna merah itu agar aku memiliki alasan untuk membunuhmu, kali ini akan berhasil,” ucap Justin tidak sama sekali takut.
            “Wah? Kau cukup berani. Begini. Bagaimana jika perjanjiannya adalah aku menggugurkan bayi yang berada di dalam kandungan Faith dan ia menjadi milikku dan kau hidup atau kau mati namun Faith dan bayimu akan baik-baik saja?”
            “Kau memang sialan,” ujar Justin menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “Keputusan ada di tanganmu, Justin Lexise,” ucap Alex mengedikkan kedua bahunya. Justin terdiam sejenak lalu ia tertawa. Alex ikut tertawa, meski mereka tidak tahu apa yang mereka tertawakan.
            “Aku memilih membunuhmu, Alex Sialan Siccrosire.” Ucap Justin mengambil pisau di dalam kaos kakinya lalu bangkit dari tempat duduknya. Ibu jari Alex telah menekan tombol merah itu. “Sialan, kau Alex!” Teriak Justin menusuk jantung Alex. Tusukan kedua jatuh ke dada yang lain. Lalu ketiga di perut.
            “Sial!” Erang Alex menatap langit-langit kamar dengan penglihatan buram. Alex diserbu oleh banyak tusukan dari pisau Justin yang sudah berlumuran darahnya. Terakhir Justin menusuk mata Alex yang bengkak itu hingga darahnya muncrat mengenai wajahnya. Justin mengumpat.

            Di ruang sebelah, gas mulai keluar dari pintu tertutup itu. Faith tidak dapat bernafas. Ia berusaha untuk tidak bernafas, namun terlambat, ia sudah menghirupnya. Kakinya menendang-tendang tempat tidur. Tangannya tidak bisa lepas dari ikatan itu. Seseorang sedang menggedor-gedor pintunya. Kakinya masih menendang-tendang tempat tidur itu sepanjang pintu terkunci itu berusaha untuk dibuka. Lalu kaki itu berhenti menendang. Pintu baru saja terbuka. “FAITH!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar