AUTHOR
Justin
Lexise berusaha untuk tidak bernafas di dalam ruangan itu. Ia menutup hidungnya
dengan kemeja yang ia pakai. Wanita yang ada tergolek lemah di atas tempat
tidur itu harus ia selamatkan sekarang juga sebelum ia benar-benar mati. Racun
apa yang setan itu berikan pada gas ini? Tangan Justin secepat mungkin
melepaskan ikatan-ikatan di tangan Faith, wanita yang tergolek lemah itu.
Justin terbatuk-batuk ketika ia sedikit menghirup nafas. Ia menggendong Ibu
hamil itu keluar dari kamar sialan berasap ini. Justin menggeleng-gelengkan
kepalanya, ketika ia telah keluar dari kamar itu. Nafasnya tak beraturan, ia
telah menghirup gas itu. Ia berjalan melewati lorong dengan tergopoh-gopoh tak
mampu bernafas, namun ia sedang menggendong wanita hamil dan tidak mungkin ia
menjatuhkan wanita ini. Terlebih lagi, yang wanita ini sedang kandung adalah
anaknya sendiri. Penglihatannya buram saat baru saja akan mencapai tangga, ia
bersandar sebentar di tembok dengan nafas tak beraturan. Dengan penglihatan
yang masih buram itu, ia berusaha untuk bangkit kembali dari sandarannya, lalu
berjalan kembali.
Ia
berhenti di pinggir tangga. Tidak, ia tidak ingin mengambil resiko yang lebih
besar. Mungkin ia akan menunggu Mozes. Justin terduduk di tangga paling atas
sambil memposisikan Faith di atas pangkuannya. Tangannya menahan pundak Faith
agar Faith tidak terlentang. Kepala Justin pening, tak bisa bernafas,
pendengarannya mendengung seperti lebah yang mengelilinginya. Dilihatnya –meski
buram—seseorang yang muncul di hadapannya.
“Seharusnya
sutradara film Thor memintaku untuk menjadi pemeran utama di film mereka.
Karena, lihatlah Justin, palu yang kupegang benar-benar berfungsi melawan
orang-orang di bawah sana. Termasuk wanita seksi yang sebenarnya aku tak ingin
memukul kepalanya dengan palu ini,”
“Mozes,
apa yang kaukatakan? Faith! Bawa Faith ke rumah sakit, ia baru saja menghirup
udara beracun. Atau adikmu akan mati!” Seru Justin tak tahan lagi. Ia
benar-benar tak kuat. Tubuhnya telentang di atas lantai, tangannya telah
melepas Faith yang sekarang telah berada dalam gendongan Mozes. “Pergi sekarang
Mozes! Pakai mobilku, kuncinya kutinggalkan di sana!” Teriak Justin
terbatuk-batuk. Mungkin sebentar lagi Justin akan mati karena menyelamatkan
anaknya dalam kandungan Faith.
“Bagaimana
denganmu?” Tanya Mozes saat ia baru saja satu langkah turun tangga.
“Jangan
pikirkan aku! Aku bilang …” Justin bangkit dari lantai, berdiri lalu ia hampir
menendang Mozes. “Pergi sialan!” Teriak Justin emosi. Mozes dengan segera turun
dari tangga, meninggalkan Justin yang merosot turun ke bawah, terduduk. Pikiran
Justin terbang kemana-mana. Bagaimana jika Faith terlambat tertolong oleh para
medis? Bagaimana jika sekarang ia mati? Apa dia akan bertemu anaknya? Tidak
mungkin. Bagaimana dengan Carla? Justin lebih memilih mati daripada ia harus
berhadapan dengan dunia. Faith harus selamat. Begitu juga dengan Carla. Sebelum
Justin benar-benar kehilangan nafasnya, suara mobil polisi dari luar terdengar.
Lalu kesadaran Justin berangsur-angsur hilang.
Joe menghubungi pihak kepolisian. Ia
masih dapat menghafalkan nomor mobil polisi dari van milik Alex. Ia ingin
menyelamatkan Faith. Ketika Mozes baru saja keluar dari rumah, mobil polisi
sudah berada di halaman rumah Alex. Ada beberapa anak buah Alex yang kepalanya
sudah bocor akibat pukulan Mozes memakai palu. Ya, Mozes memang membawa palu.
Ternyata pekerjaan menjadi kuli bangunan benar-benar berguna untuk menghabisi
anak buah Alex. Joe muncul dengan hidung yang telah diperban. Beberapa polisi
keluar sambil menodongkan pistol. Mozes langsung berteriak.
“Ada
seseorang di dalam sana. Di dekat tangga. Tolong selamatkan dia!” Teriak Mozes.
“Apa
Anda baik-baik saja, Tuan?” Tanya salah seorang polisi mendekati Mozes.
“Aku
harus membawa adikku yang sedang hamil ke rumah sakit. Ia menghirup gas
beracun,” ujar Mozes. “Yang terpenting adalah selamatkan pria yang ada di
dalam, dekat tangga. Ia benar-benar butuh pertolongan,” ucap Mozes panik. Ia
berjalan melewati polisi. Di pintu gerbang, Mozes bertemu dengan Joe yang baru
saja ingin masuk ke dalam. Joe terbelalak melihat keadaan Faith. Tercecer darah
di sekitar betis dan paha Faith. Baju putih terusan yang panjangnya selutut itu
telah ternodai oleh darah.
“Mozes,
apa yang terjadi dengan Faith?” Tanya Joe panik. “Ia berdarah!” Seru Joe. Namun
Mozes terus berjalan menuju mobil Justin. Ia membuka pintu belakang lalu
memasukkan Faith ke dalam. Memang, darah itu mengalir di sekitar kaki Faith.
Sekarang jantung Mozes telah berada di luar tubuhnya. Ia ingin mati.
“Aku
tahu, aku tahu. Aku tak punya waktu untuk berbicara denganmu. Terlebih lagi,
aku tidak tahu siapa kau, namun terima kasih telah menghubungi polisi,” ucap
Mozes membuka pintu depan mobil dan masuk ke dalamnya. Ia langsung menyalakan
mesin mobil –kunci mobilnya masih ada di dalam mobilnya—dan segera menginjak
pedal gas lalu menutup pintu. Tiap detik mobil ini berlaju, detik itu juga yang
menentukan apakah Faith selamat atau tidak. Yang terpenting sekarang adalah
Faith harus selamat. Ia tidak boleh meninggal secepat ini. Dan bayi itu, bayi
itu harus selamat. Setelah 4 bulan lebih yang Faith lewati, inikah yang Faith
dapatkan? Kehilangan bayinya? Tidak mungkin, itu tidak akan terjadi. Faith
harus melihat bayinya. Ini semua akan baik-baik saja.
Semuanya
akan baik-baik saja.
***
Justin
mengerjap-kerjapkan matanya. Ia telah mendapatkan kesadarannya kembali.
Kepalanya masih terasa pening, namun otaknya langsung tertuju pada Faith.
Dimana ia sekarang? Ia harap, ia dapat bertemu dengan Faith sekarang dan berharap
semuanya akan baik-baik saja. Cahaya dari lampu membuatnya silau, tercium
aroma-aroma yang sering ia cium sebelumnya. Ia tahu sekarang berada dimana, ia
berada di dalam rumah sakit. Oh, sial, rumah sakit. Sudah berapa lama ia berada
di ruangan hening ini? Dan bahkan, ia berada di dalam ruang rawat pasien VIP.
Tangannya sebelah kirinya diinfus, ia juga telah mengenakan pakaian pasien.
Sudah berapa lama ia berada di ruangan ini? Ia langsung mencari-cari sebuah
remote untuk memanggil suster. Ia temukan di sisi tempat tidurnya, lalu ia
langsung menekan tombol panggilan itu. Lalu ia menunggu.
Justin
mengangkat tubuhnya agar ia berada dalam posisi duduk. Terakhir kali ia ingat
adalah Faith berada dalam gendongannya dan ia hampir menendang Mozes. Lalu
suara mobil polisi. Ia mengerang dan ia sangat haus. Ia menoleh ke sebelah
kanan dan kiri, mencari air minum. Namun ia tidak menemukannya. Dan mengapa
suster itu begitu lama datang? Pintu kamarnya terbuka, seorang suster muncul
dengan peralatannya. Lalu ia tersenyum pada Justin.
“Halo,
Tn. Lexise. Apa perasaanmu sekarang?” Tanya suster itu mendekati Justin.
“Aku
haus. Aku butuh air,”
“Aku
akan mengambilkannya, namun sebelum itu kau harus kuperiksa,” ucapnya dengan
ramah. Justin mengangguk, lalu suster itu memulai pekerjaan. Saat ia sedang
menyentuh tangan Justin, pikiran Justin tertuju pada Carla. Bagaimana keadaan
Carla? Dan di rumah sakit mana ia sekarang? Bukan berarti jika ia berada di
dalam rumah sakit, ia berada di dalam rumah sakit yang sama dengan Carla.
“Istrimu, Carla, ia masih dalam keadaan koma. Peluru yang menembak dadanya itu
mengenai organ intimnya. Keadaannya tidak stabil. Ia hampir mati, beberapa hari
terakhir ini,”
“Beberapa
hari terakhir? Sudah berapa lama aku berada di dalam rumah sakit ini?” Ternyata
Justin berada di dalam rumah sakit yang sama dengan istrinya. Ia mendesah.
“4
hari, kau keracunan gas sulfur. Itu sangat berbahaya. Kau hampir mati, jujur
saja,” ucap suster itu seolah-olah tak peduli dengan perasaan Justin. Apa?
Justin hampir mati? Dia benar-benar beruntung karena ia dapat hidup kembali.
Apa Faith mendapat nasib yang sama dengan Justin? Justin berdoa dalam hati,
memohon pada Tuhan, agar Faith tetap hidup. Begitupun dengan bayinya.
“Apa
ada seseorang yang mendatangiku?”
“Seorang
pria. Ia bernama Mozes, ia bilang kau adalah temannya. Jadi aku mengizinkannya
masuk. Lalu ia memberitahu padaku, jika kau sudah sadar, aku harus memberitahu
padamu bahwa Faith baik-baik saja, namun keadaan bayinya…” suster tidak
melanjutkan ucapannya.
“Bayiku?
Ada apa dengan bayiku?” Tanya Justin panik. Detak jantungnya seperti
memukul-mukul dada Justin dari luar, seperti ingin keluar dari tubuh Justin.
Justin menelan ludahnya.
“Bayinya
hampir gugur dari kandungan. Sehingga keadaannya benar-benar lemah,” ujar
suster itu dengan aksen Britishnya. Justin hanya dapat mengangguk, namun ia
benar-benar ingin bertemu dengan Faith. Mungkin Faith belum bangun dari
tidurnya. Secara logika, Justin tidak hamil –itu sudah pasti—namun ia koma
selama 4 hari dan sekarang ia baru melihat dunia yang ia benci. Meski harapan
awalnya adalah mati dan tenang. Atau mungkin ia bertemu dengan Lucifer?
Temannya? Mungkin saja ia masuk ke neraka. Dan itu sudah pasti. Hal terakhir
yang ia perbuat adalah membunuh Alex. Membunuh bajingan sialan yang sudah pasti
sekarang bertemu dengan Lucifer. Darah si buruk rupa itu menyembur wajah Justin
saat itu ketika matanya yang menjijikan tertusuk oleh pisau tajam milik Justin.
Dan Justin berharap, ia tidak terkena infeksi karena tersentuh darah si buruk
rupa. Suster membicarakan beberapa hal pada Justin tentang keadaannya, namun
Justin tidak sama sekali mendengarnya. Ia tidak peduli dengan keadaannya,
setidaknya, sekarang ia masih bisa bernafas. Suster itu keluar untuk mengambil
segelas air untuk Justin, meninggalkan Justin yang menatapi sinar matahari yang
menembus kaca bening, menyinari kamarnya. Senja. Sekarang sudah senja.
Seperti
inikah rasanya ketika kita bangun dari tidur lama namun tidak ada seorangpun
yang mengharapkan kehadiranmu? Seperti inikah rasanya kesepian tanpa kasih?
Justin mendesah, ini rasanya menjadi orang yang tidak memiliki siapapun –meski
masih ada Carla yang sekarang koma. Jika ia tidak memiliki Carla, siapa yang
akan ia miliki? Faith? Itu tidak mungkin. Faith sudah benar-benar membencinya
karena Justin telah membunuh kakek satu-satunya di dunia. Namun ia masih memiliki
bayi di dalam perut Faith. Anaknya yang akan ia peluk, ia cium, dan ia didik.
Itupun jika Faith mengizinkannya. Pintu kamarnya kembali keluar, suster yang
tadi keluar, datang kembali dengan segelas air di tangannya.
“Apa
kau tahu dimana Faith?” Tanya Justin sambil tangannya meraih gelas itu dari
tangan suster.
“Tidak,
aku tidak tahu di ruang mana dia berada. Namun kata pria yang bernama Mozes
itu, ia akan datang. Well, dia memang datang tiap hari untuk melihat keadaanmu.
Biasanya ia akan datang malam hari. Aku akan memanggil dokter untuk
memeriksamu, oke?”
“Ya,
terima kasih,” ucap Justin meminum airnya. Tenggorokannya kering sekarang
seperti hujan yang membasahi tanah tandus yang kering. Sangat nikmat. Sangat
nyaman. Seperti air minum ini adalah air minum terakhir yang dapat ia rasakan
sebelum ia dipanggil oleh Tuhan. Justin menggumamkan kata kotor setelah air
minumnya telah habis. Carla, ia harus melihat keadaan istrinya. Jika Carla tak
sanggup hidup kembali, mungkin memang, sudah saatnya Justin membiarkan Carla
pergi.
***
Seulas
senyum manis terpancar dari seorang wanita yang sedang mengelus perut
buncitnya. Pria yang ada di hadapannya sedang mengambil video melalui kamera
canggihnya yang mengarah pada wanita itu. Setelah dua hari wanita itu tidak
bangun dari tidurnya itu, akhirnya ia bangun. Mungkin itu karena pria yang
memegang kamera itu berdoa kepada Tuhan, bahkan ia berpuasa agar adiknya tidak
dipanggil olehNya. Dan ya, keajaiban menghampirinya, memberikan wanita itu
nafas yang baru. Hingga sekarang, hari ke-4 di rumah sakit ini tampaknya
menjadi hari yang menyenangkan baginya. Karena keadaan wanita itu membaik sejak
dua hari yang lalu.
Pintu
kamar mereka terbuka, muncul pria yang memegang bunga mawar merah untuk wanita
yang terbaring di atas tempat tidur itu lalu ia tersenyum.
“Bunga?”
Tanya Faith dengan raut wajah terkejut. Mozes menyorot Joe yang membawa bunga
mawar yang sejak dulu Faith benci. “Oh, terima kasih, Joe. Kau sangat manis,”
ucap Faith. Hari-hari sebelumnya, Joe tidak membawa bunga untuk Faith. Mengapa
sekarang Joe membawanya? Mungkin Joe tidak hanya ingin memberi buah-buahan
untuk Faith, makanya ia membeli bunga mawar yang sudah terlalu sering dipakai
untuk para pria yang ingin membuat pujaan hatinya senang. Tapi, Joe salah,
seharusnya ia tidak membawa bunga itu.
“Ya,
kau menyukainya?” Tanya Joe. “Aku akan menaruhnya di sini,” lanjut Joe menaruh
ikatan bunga itu ke atas meja di sebelah tempat tidur Faith.
“Joe,
adikku tidak suka dengan bunga mawar,” ujar Mozes jujur, terlalu jujur
sampai-sampai Faith harus melototi abangnya itu. Faith merasa sangat malu
sekarang, ia menegur Mozes. “Well, kau harus jujur Faith. Jadi, ya, bukannya
apa-apa, Joe tapi memang adikku tidak menyukai bunga mawar. Namun terima kasih
sudah berusaha membuatnya tersenyum,”
“Ya,
tidak apa-apa. Aku mengerti. Aku akan membuangnya nanti,” ujar Joe
memakluminya. Setidaknya, bagi Joe, informasi ini sangat berguna. Karena Faith
jarang memberitahu apa yang ia sukai atau ia benci, sehingga Joe tidak begitu
tahu tentang Faith. Ya, Faith cukup tertutup, meski terbuka akhir-akhir ini.
“Oh, Mozes, kudengar dari lantai bawah …Justin sudah bangun dari komanya. Kau
harus melihatnya, kurasa,” beritahu Joe. Mozes dengan segera mematikan kameranya
lalu menatap Faith yang senyumnya berangsur-angsur hilang. Tidak, Faith tidak
diberitahu oleh Mozes atau Joe tentang Justin yang koma. Mengapa mereka tidak
memberitahu Faith? Lalu Faith sekarang benar-benar sadar. Yang menyelamatkannya
bukanlah Mozes, namun Justin. Mengapa Faith sekarang merasa bersalah terhadap
Justin? Jika dulu Faith tidak dekat dengan Justin, sudah pasti, ia dan Justin
mungkin tidak berada di dalam rumah sakit. Dan mengapa Justin harus
menyelamatkannya jika Justin memiliki pilihan untuk meninggalkan Faith? Apa
yang Alex katakan pada Justin hingga Justin ingin menyelamatkannya? Bukankah
Justin telah memiliki Carla dan tidak harus memusingkan Faith? Dan lalu, Faith
sadar kembali, ia sedang mengandung darah daging Justin. Dan ya, Faith ingat
betul betapa bahagianya ketika ia tahu, keturunan Lexise sedang berada di dalam
perut Faith.
“Faith?
Kau dengar aku?” Tanya Mozes melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Faith.
“Y-ya,
ada apa?” Faith benar-benar tidak mendengar apa yang Mozes katakan.
“Kau
ingin ikut aku turun ke bawah untuk melihat Justin?” Tanya Mozes. Ini adalah
sebuah dilema bagi Faith. Apa Justin akan berpikir, jika Faith menjenguknya dan
lalu berpikir bahwa Faith datang hanya karena Justin telah menyelamatkannya?
Karena Faith merasa bahwa semuanya telah adil? Setelah mereka berpisah cukup
lama dan menyisakan rasa sakit, lalu Justin kembali untuk menyelamatkan Faith,
apa itu akan membuat Justin berpikir bahwa apa yang telah ia perbuat telah
membuat semuanya adil? Lalu Faith akan memaafkan Justin karena Justin telah
menyelamatkan nyawanya serta anaknya? Tapi ini semua bukan berdasarkan itu. Ini
semua karena Faith sadar bahwa Justin memang mencintai anaknya.
“Ya.”
***
FAITH
Hari
ini aku sangat senang karena aku tidak perlu menggunakan tabung oksigen lagi.
Tadi siang saluran tabung oksigen itu telah dilepas dari hidungku. Katanya
terlalu banyak racun yang telah kuhirup yang menyebabkan aku harus menggunakan
tabung oksigen dan koma selama dua hari. Setelah Mozes memberitahu padaku bahwa
ia berpuasa agar aku bangun dari tidurku dan ia menangis pada Tuhan, akhirnya
Tuhan menjawab doanya. Mungkin Tuhan tidak ingin memberi cobaan yang lebih lagi
pada Mozes. Ya, Tuhan terlalu baik. Bahkan terlalu baik bagi orang yang akan kunjungi
sebentar lagi. Seharusnya Justin tidak pantas untuk hidup lagi, namun aku tahu,
Tuhan memberikannya satu kesempatan lagi. Dan ya, mungkin, aku atau anak yang
kukandung bisa merubah sifatnya yang buruk itu. Aku tidak bisa membenci Justin
atau marah padanya lebih dari 1 hari. Itu seperti membunuhku.
Kandunganku
lemah makanya aku memakai kursi roda yang didorong oleh Joe. Bagaimana kabar
Tn. Alex? Saat aku bangun, aku tidak bertanya tentang keadaan siapa pun. Aku
benar-benar lupa dengan apa yang terjadi padaku atau orang lain. Terakhir kali
yang kuingat adalah gas masuk ke dalam kamar yang membuatku kehilangan nafas.
Gas sialan itu membuatku koma! Dan itu semua adalah ulah dari Tn. Alex.
Mungkin, jika ia masih hidup, sekarang ia berada di dalam penjara. Terima kasih
Tuhan! Joe terus mendorongku setelah kami keluar dari lift. Lalu kami berhenti
di depan pintu kamar VIP yang tentunya di dalam sana adalah ruangan Justin
Lexise. Mozes yang ada di depanku perlahan-lahan membuka pintu kamar itu lalu
tercium aroma yang sama di kamarku tadi. Mozes menyapa Justin di dalam sana,
namun Justin tertutup oleh tubuh Mozes yang besar.
“Aku
ingin kau bertemu dengan seseorang,” ucap Mozes. Lalu ia melangkah ke samping,
dan akhrinya, aku bisa melihat Justin. Ini adalah pertama kalinya aku melihat
seorang Justin Lexise masuk rumah sakit dan tangannya terinfus. Dan ia kurus.
Tulang pipinya terlihat. Pucat. Justin terkejut namun sebisa mungkin aku tidak
menangis melihat pria ini. Ia adalah pria yang dulu –sampai sekarang—kucintai
berada di atas ranjang rumah sakit karena ia menyelamatkanku dari ruangan yang
penuh dengan gas.
“Hei,
Justin, bagaimana kabarmu?”
“Bagaimana
denganmu? Kau baik-baik saja?” Tanya Justin yang kali ini suaranya terlihat
lebih ‘bersemangat’. Entahlah, ia sangat tampan, baik-baik saja, dan seperti
tidak memiliki niat jahat. Atau mungkin sudah tidak ada Iblis yang selama ini
merasuki tubuhnya? Mungkin saja. Aku tidak tahu. Aku mengharapkan yang terbaik
padanya.
“Well,
perut ini masih buncit. Dan aku masih bernafas dengan tenang. Jadi, aku
baik-baik saja,” ucapku benar-benar merasa nyaman dengan percakapan ini.
Sebelumnya, aku tidak memiliki percakapan yang sangat biasa namun benar-benar
berarti dan seperti saling peduli satu sama lain. Entahlah, iblis itu memang
sudah keluar dari tubuh Justin? “Bagaimana denganmu, Justin? Ada infuse yang
terpasang di tanganmu,”
“Aku
masih bernafas juga, sama sepertimu,” ucap Justin tidak menatapku, ia berbicara
dengan siapa? Ternyata ia memberi kode pada Mozes dan Joe untuk keluar dari
kamarnya. Saat itu juga mereka keluar dari kamar ini sehingga hanya tinggal
kami berdua. Kami masih saling bertatapan tanpa suara. Atmosfer di antara kami
benar-benar menegangkan. Setelah 4 bulan lebih kami tidak bersama-sama,
sekarang kami bertemu, berdua di dalam ruangan yang hening. Semuanya terasa
sangat canggung namun aku masih tidak bisa berharap untuk mati karena aku
sedang mengandung. Justin tidak tersenyum setelah mereka keluar sampai
sekarang, sehingga terpaksa aku harus memberikannya senyum ragu-ragu.
“Well,
terima kasih karena telah menyelamatkanku,” ucapku malu-malu.
“Sial,
Faith, aku benar-benar merindukan ini. Percakapan ini. Kau tersenyum padaku,
tidak ada air mata yang mengalir. Mengapa kau harus berbasa-basi? Itu sudah menjadi
tanggungjawabku dan kewajibanku menyelamatkanmu,”
“Entahlah
Justin. Semua ini sangatlah baru bagiku. Ini tidak sama seperti sebelum 4 bulan
yang lalu. Mungkin memang dulu sangat menyenangkan, tapi ini adalah akhir dari
kita. Kita tidak bisa memulainya kembali sementara kau memiliki istri. Kau
bukan Justin-ku yang dulu. Sekarang semuanya telah berubah. Tebak apa? Aku
sekarang adalah guru di sebuah sekolah, mengajarkan beberapa mata pelajaran
yang kuselipkan dengan kesenian di sana, membuat anak-anak senang. Aku bahagia.
Aku bahagia tanpamu,” ucapku menarik nafas dalam-dalam. Mengingat bahwa aku
memang kuat seperti yang dikatakan Joe, aku bahagia tanpa Justin.
“Aku
senang jika kau bahagia tanpaku. Tapi apa kau tahu aku bahagia tanpamu?
Hubungan yang kudirikan bersama dengan Carla adalah kebohongan. Aku terlalu …”
Justin tidak meneruskan ucapannya. Ia menggelengkan kepalanya lalu mendongak ke
atas dan mengerjap-kerjapkan matanya berkali-kali, ia ingin menangis. “Aku
terlalu bodoh. Rasa salahku padamu sangatlah dalam, aku harus jujur. Ini bukan
untuk membujukmu menjadi milikku kembali karena kau mengandung anakku, tidak,
bukan itu. Aku berusaha melupakanmu dengan cara mencari wanita lain yang tidak
salah lagi adalah Carla. Sial, aku memang tolol. Aku minta maaf, Faith,” Justin
menatap padaku. Air matanya mengalir, melewati pipinya, dan itulah kali pertama
aku sadar bahwa Justin memang mencintaiku. Tidak mungkin seorang psikopat
seperti Justin yang mati rasa itu sekarang sedang menangis di hadapanku dengan
rasa bersalahnya yang terpancar dari matanya yang berkaca-kaca. Namun ini
sebuah memang telah berakhir, aku tidak bisa melanjutkan hubungan yang memang
telah putus. Terlebih lagi, Justin telah memiliki istri yang mungkin sekarang
juga berada di rumah sakit ini. Ya, aku masih ingat Carla tertembak.
“Ya,
aku memaafkanmu. Well, aku tidak ingin rasa bersalahmu terus menghantuimu.
Begitu juga denganku. Omong-omong, bayimu baik-baik saja di dalam perut ini.
Meski memang masih dalam keadaan lemah, tapi aku yakin ia baik-baik saja. Kau
ingin menyentuh perutku?”
“Apa
kau serius?” Justin tidak percaya saat aku menarik tangannya untuk menyentuh
perutku. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat denganku. “Tanganku ini kotor,
Faith. Tidak seharusnya tangan ini menyentuhmu. Tidak, aku tidak pantas,”
“Maka
berarti aku tidak pantas mengandung anakmu, Justin,” ujarku. “Kau ingin aku
menggugurkan keturunan Lexise?” TIDAK! Aku
menjerit dalam hati. Justin menelan ludahnya, sorotan matanya tertuju pada
perutku, dan tangannya masih berada dalam genggaman tanganku. Dia diam, berarti
dia ingin menyentuh perutku. Kutarik tangannya lalu tangan itu menyentuh
perutku. Seketika itu juga seluruh tubuhku merasakan aliran darah yang mengalir
di bawah kulitku ke atas. Mungkin sekarang pipiku merah. Kulit kepalaku
remang-remang, merinding akan sentuhannya.
“Kau
merasakannya? Ia hidup di dalam sana,” ucapku.
“Ya,
aku bisa merasakannya. Kira-kira ia laki-laki atau perempuan?” Tanya Justin
yang mencondongkan tubuhnya ke arahku. Tangan kirinya hanya digerakkan sedikit
agar tali infusnya tak tertarik. Wajahku benar-benar dekat wajahnya.
“Aku
tidak tahu. Saat kau meninju Joe itu, itu adalah hari dimana seharusnya aku
tahu anak ini laki-laki atau perempuan. Joe bilang padaku agar aku tidak mengetahui
jenis kelamin anakku—“
“Kita,”
Justin memperbaiki.
“Ya,
anak kita, agar menjadi kejutan,” ucapku tertawa. Aku memukul tangannya yang menyentuh tanganku
hingga ia ikut tertawa. Entah apa yang kita tertawakan namun kita hanya
tertawa. Seolah-olah ada candaan yang hanya kita berdua mengerti namun aku
bahkan tidak mengerti apa yang sedang kutertawakan. “Sebenarnya apa yang kita
tertawakan?” Tanyaku sambil masih tertawa. Tawa Justin berangsur-angsur hilang
lalu ia terdiam, begitupun aku.
“Entahlah,
rasanya senang mendengar suara tawamu. Suara yang kadang sekali kudengar. Ini
yang kuinginkan darimu. Tertawa bersamaku. Apa yang sulit?” Justin bertanya
sambil tangan kanannya memainkan jari-jari tanganku di sisi tempat tidur.
Mataku dan matanya menatapi tangan kami yang saling bercengkrama. Bibirku terus
tersenyum bersama dengan Justin. Sesekali kami saling bertatapan. Jantungku
berdegup kencang. Lihatlah betapa tampan dan perhatiannya pria ini. Mengapa
bisa-bisanya ia mengusirku? Padahal aku masih ingin melihatnya. Melihat
senyumannya yang seperti ini. Damai. Seolah-olah tidak ada masalah yang
menghampiri kami.
Tetapi
aku sadar betul, Justin telah memiliki istri. Dan jika memang Carla sebentar
lagi hamil atau semacamnya, mereka akan menjadi keluarga bahagia. Mungkin aku
hanya dapat mengikhlaskan Justin bersama dengan wanita lain. Meski hatiku masih
dipegang oleh Justin, aku yakin, aku bisa bahagia tanpa dia. Melihat Justin
bahagiapun sudah membuatku bahagia. Bahagia itu sederhana, asalkan kita bersyukur
akan apa pun yang kita miliki. Mungkin itu juga bisa menjadi salah satu alasan
mengapa aku menjadi wanita yang kuat. Aku bersyukur akan apa yang terjadi dalam
hiduku bahkan yang buruk sekalipun. Dan aku percaya dengan indah pada akhirnya.
Aku menarik tanganku dari genggaman tangan Justin membuat keheningan di antara
kami pecah begitu saja.
“Apa
kau ingin menjadi milikku kembali, Faith?” Tanya Justin, wajahnya benar-benar
serius. Mengapa? Aku menggelengkan kepalaku. “Mengapa aku tidak bisa memilikimu
kembali? Apa yang salah denganku?” Tanyanya dengan suara yang mengisyaratkan
bahwa dirinya kotor.
“Tidak
ada yang salah denganmu. Situasi yang kita hadapi sekarang memang tidak
mendukung hubungan kita. Mungkin, menurut Tuhan, aku memang tidak pantas
memilikimu. Kita memang tidak ditakdirkan hidup bersama,”
“Mengapa
Tuhan bisa berpikir seperti itu? Itu tidak mungkin. Tidak mungkin kita akan
bertemu di sini tanpa rencana Tuhan, bukan? Faith, mengapa? Jujur padaku,”
paksa Justin menarik tanganku kembali. Ia ingin aku menatap matanya
dalam-dalam, dan ya, aku menatapnya. Lalu aku mengedip satu kali.
“A-aku
tidak bisa. Bayang-bayang kau membunuh kakekmu masih menghantuiku. Dan terlebih
lagi, kau telah menjadi milik Carla. Kita memang tidak bisa bersama lagi,
seperti dulu. Tapi meski begitu, jika anakmu lahir nanti, kau boleh memberinya
nama. Kau boleh mengunjunginya dan ikut merawatnya jika ia sudah bisa berjalan.
Bagaimana dengan itu?”
“Tidak,
aku tidak ingin mendapatkan sesuatu yang setengah-setengah. Aku ingin memilikimu
seutuhnya ditambah dengan kejutan di dalam perutmu,”
“Justin,
aku tidak bisa,” aku menggelengkan kepalaku, kepalaku tertunduk. “Aku hanya
tidak bisa. Aku memang telah memaafkanmu, tapi bukan berarti aku harus kembali
padamu. Aku juga masih teringat dengan Carla yang memiliki rasa yang sama
denganku kepadamu. Kau tidak perlu memilih siapa di antara kami. Yang jelas,
aku ingin kau bersama dengan Carla. Aku ikhlas. Lihat aku sekarang! Saat kau
bersama dengan Carla, aku masih bisa bernafas sampai sekarang. Apa yang
kautakutkan? Aku dan bayi kita akan selalu berada di belakangmu meski kau tidak
bersama dengan kami. Janji padaku Justin untuk tidak meninggalkan Carla, oke?” Aku
mendongak dan menyodorkan jari kelingkingku padanya. Twinky-promise. Lalu ia mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari
kelingkingku.
“Menurutmu,
nama apa yang bagus untuk bayi kita nanti? Jika ia laki-laki?”
“Christopher.
Christopher Lexise,”
“Ya,
itu akan menjadi sangat bagus. Jika ia adalah perempuan aku akan menamainya,
Destiny. Marie Destiny Lexise. Ya, itu akan menjadi sangat bagus.” Justin tidak
menyahutnya, Justin hanya mengangguk, lalu Justin membuka mulutnya.
“Ada
satu hal yang selama ini seharusnya kusampaikan padamu, Faith,” ucapnya masih
mempertahankan jari kami.
“Apa?
Katakan saja,” bisikku. Justin memejamkan matanya lalu matanya terbuka.
“Aku
mencintaimu, Faith Edwina.” Kata-kata itu benar-benar menembus hatiku tanpa
hitungan detik. Namun aku hanya bisa tersenyum.
“Aku
pergi Justin. Jangan lupa datang di hari kelahiran anakmu, aku akan
menghubungimu.”
“Aku
berjanji akan datang, Faith.”
***
AUTHOR
Kandungan
Faith telah menginjak bulan ke-9. Ia sebentar lagi akan melahirkan. Ya, ia
sedang berada di dalam rumah sakit yang sama 5 bulan yang lalu. Tempat dimana
ia dan Justin bertemu dengan damai. Dan tempat dimana dua bulan kemudian Carla
dipanggil oleh Tuhan dan membuat Justin cukup stress selama beberapa minggu.Ya,
Faith memegang kata-katanya, ia mendorong Justin dari belakang. Ia memberi
Justin kembali semangat. Hubungan mereka semakin membaik seiring berjalannya
waktu didukung dengan harapan Justin terhadap Faith yang sedang mengandung
anaknya. Mungkin setelah Faith melahirkan, Justin dapat membangun keluarga
baru? Perhatian Justin sekarang sepenuhnya diberikan pada Faith. Seperti
sekarang, Justin harus buru-buru pergi ke rumah sakit setelah meeting pekerjaannya benar-benar menyita
waktu. Padahal Faith sudah membutuhkannya. Malam ini sudah saatnya Faith
melahirkan. Mozes sedang berada di dalam ruang bersalin dan perut Faith
sekarang sudah merasakan banyak pergerakan di bawah.
“Sial,
Mozes, sekarang waktunya. Dimana Justin?” Tanya Faith. “Mozes, panggil bidan
itu sekarang!” Teriak Faith merasa perutnya benar-benar ditendang. Tubuh Faith
benar-benar tidak cocok dengan besar perutnya seperti banyak balon di dalamnya.
Bersamaan dengan itu, Justin sedang berlari-lari di lobi utama menuju lift
setelah ia bertanya dimana ruang bersalin. Tidak jauh, hanya di lantai dua.
Hanya di lantai dua. Ya, dia punya waktu untuk menemani Faith melahirkan. Keringat
Justin membasahi keningnya. Ia gugup, sangatlah gugup, tapi ia juga senang.
Sebentar lagi, anak pertamanya akan lahir. Ia melompat-lompat sebentar untuk
menenangkan dirinya. Lift berhenti di lantai dua, Justin berlari seperti kuda.
Ia melihat tulisan ‘ruang bersalin’ di salah satu pintu. Langsung saja ia buka.
Telinganya langsung mendengar suara teriakan Faith. Saat ia benar-benar masuk ke dalam, ia
langsung melihat darah berceceran di sekitar paha Faith.
“Justin!”
Teriak Faith penuh dengan kesenangan. “Oh, anakmu akan lahir,” lanjut Faith.
Justin segera mendekati Faith, berdiri di sebelah kanan Faith lalu memegang
tangan Faith, melihat bidan yang berada di bawah tubuh Faith.
“Faith,
ada yang ingin kukatakan padamu,”
“Kau
sangat bodoh Justin, mengapa kau memilih waktu yang salah di antara banyak
waktu?”
“Ini
sangat penting!” Ucap Justin. Faith berusaha mengeluarkan bayinya, keringat
Justin dan Faith semakin menderas. Salah satu suster yang sedang mengelap
kening Faith sampai-sampai bingung, siapa yang sedang melahirkan? Pria di
sebelah Faith atau Faith sendiri?
“Katakanlah!”
Faith mendorong bayi di dalam perutnya sekuat mungkin, ia berteriak, memegang
tangan Justin begitu erat, kepalanya mendongak ke atas.
“Maukah
kau menikah denganku Faith?” Suara bayi terdengar, pertanyaan itu tenggelam
begitu saja. Bayi itu menangis. Hidup. Dan tampak sangat sehat. Dia adalah
laki-laki. Christopher Lexise baru saja lahir.
Ka,ga ada epilog ka?
BalasHapusSuka sekalii 😍😍❤💜 epilog nya ga ada nih?? Biar makin jelas 😁
BalasHapusSuka sekalii 😍😍❤💜 epilog nya ga ada nih?? Biar makin jelas 😁
BalasHapus