Senin, 16 Desember 2013

Right Mistakes Bab 18 - END


AUTHOR

            Justin Lexise berusaha untuk tidak bernafas di dalam ruangan itu. Ia menutup hidungnya dengan kemeja yang ia pakai. Wanita yang ada tergolek lemah di atas tempat tidur itu harus ia selamatkan sekarang juga sebelum ia benar-benar mati. Racun apa yang setan itu berikan pada gas ini? Tangan Justin secepat mungkin melepaskan ikatan-ikatan di tangan Faith, wanita yang tergolek lemah itu. Justin terbatuk-batuk ketika ia sedikit menghirup nafas. Ia menggendong Ibu hamil itu keluar dari kamar sialan berasap ini. Justin menggeleng-gelengkan kepalanya, ketika ia telah keluar dari kamar itu. Nafasnya tak beraturan, ia telah menghirup gas itu. Ia berjalan melewati lorong dengan tergopoh-gopoh tak mampu bernafas, namun ia sedang menggendong wanita hamil dan tidak mungkin ia menjatuhkan wanita ini. Terlebih lagi, yang wanita ini sedang kandung adalah anaknya sendiri. Penglihatannya buram saat baru saja akan mencapai tangga, ia bersandar sebentar di tembok dengan nafas tak beraturan. Dengan penglihatan yang masih buram itu, ia berusaha untuk bangkit kembali dari sandarannya, lalu berjalan kembali.
            Ia berhenti di pinggir tangga. Tidak, ia tidak ingin mengambil resiko yang lebih besar. Mungkin ia akan menunggu Mozes. Justin terduduk di tangga paling atas sambil memposisikan Faith di atas pangkuannya. Tangannya menahan pundak Faith agar Faith tidak terlentang. Kepala Justin pening, tak bisa bernafas, pendengarannya mendengung seperti lebah yang mengelilinginya. Dilihatnya –meski buram—seseorang yang muncul di hadapannya.
            “Seharusnya sutradara film Thor memintaku untuk menjadi pemeran utama di film mereka. Karena, lihatlah Justin, palu yang kupegang benar-benar berfungsi melawan orang-orang di bawah sana. Termasuk wanita seksi yang sebenarnya aku tak ingin memukul kepalanya dengan palu ini,”
            “Mozes, apa yang kaukatakan? Faith! Bawa Faith ke rumah sakit, ia baru saja menghirup udara beracun. Atau adikmu akan mati!” Seru Justin tak tahan lagi. Ia benar-benar tak kuat. Tubuhnya telentang di atas lantai, tangannya telah melepas Faith yang sekarang telah berada dalam gendongan Mozes. “Pergi sekarang Mozes! Pakai mobilku, kuncinya kutinggalkan di sana!” Teriak Justin terbatuk-batuk. Mungkin sebentar lagi Justin akan mati karena menyelamatkan anaknya dalam kandungan Faith.
            “Bagaimana denganmu?” Tanya Mozes saat ia baru saja satu langkah turun tangga.
            “Jangan pikirkan aku! Aku bilang …” Justin bangkit dari lantai, berdiri lalu ia hampir menendang Mozes. “Pergi sialan!” Teriak Justin emosi. Mozes dengan segera turun dari tangga, meninggalkan Justin yang merosot turun ke bawah, terduduk. Pikiran Justin terbang kemana-mana. Bagaimana jika Faith terlambat tertolong oleh para medis? Bagaimana jika sekarang ia mati? Apa dia akan bertemu anaknya? Tidak mungkin. Bagaimana dengan Carla? Justin lebih memilih mati daripada ia harus berhadapan dengan dunia. Faith harus selamat. Begitu juga dengan Carla. Sebelum Justin benar-benar kehilangan nafasnya, suara mobil polisi dari luar terdengar. Lalu kesadaran Justin berangsur-angsur hilang.

            Joe menghubungi pihak kepolisian. Ia masih dapat menghafalkan nomor mobil polisi dari van milik Alex. Ia ingin menyelamatkan Faith. Ketika Mozes baru saja keluar dari rumah, mobil polisi sudah berada di halaman rumah Alex. Ada beberapa anak buah Alex yang kepalanya sudah bocor akibat pukulan Mozes memakai palu. Ya, Mozes memang membawa palu. Ternyata pekerjaan menjadi kuli bangunan benar-benar berguna untuk menghabisi anak buah Alex. Joe muncul dengan hidung yang telah diperban. Beberapa polisi keluar sambil menodongkan pistol. Mozes langsung berteriak.
            “Ada seseorang di dalam sana. Di dekat tangga. Tolong selamatkan dia!” Teriak Mozes.
            “Apa Anda baik-baik saja, Tuan?” Tanya salah seorang polisi mendekati Mozes.
            “Aku harus membawa adikku yang sedang hamil ke rumah sakit. Ia menghirup gas beracun,” ujar Mozes. “Yang terpenting adalah selamatkan pria yang ada di dalam, dekat tangga. Ia benar-benar butuh pertolongan,” ucap Mozes panik. Ia berjalan melewati polisi. Di pintu gerbang, Mozes bertemu dengan Joe yang baru saja ingin masuk ke dalam. Joe terbelalak melihat keadaan Faith. Tercecer darah di sekitar betis dan paha Faith. Baju putih terusan yang panjangnya selutut itu telah ternodai oleh darah.
            “Mozes, apa yang terjadi dengan Faith?” Tanya Joe panik. “Ia berdarah!” Seru Joe. Namun Mozes terus berjalan menuju mobil Justin. Ia membuka pintu belakang lalu memasukkan Faith ke dalam. Memang, darah itu mengalir di sekitar kaki Faith. Sekarang jantung Mozes telah berada di luar tubuhnya. Ia ingin mati.
            “Aku tahu, aku tahu. Aku tak punya waktu untuk berbicara denganmu. Terlebih lagi, aku tidak tahu siapa kau, namun terima kasih telah menghubungi polisi,” ucap Mozes membuka pintu depan mobil dan masuk ke dalamnya. Ia langsung menyalakan mesin mobil –kunci mobilnya masih ada di dalam mobilnya—dan segera menginjak pedal gas lalu menutup pintu. Tiap detik mobil ini berlaju, detik itu juga yang menentukan apakah Faith selamat atau tidak. Yang terpenting sekarang adalah Faith harus selamat. Ia tidak boleh meninggal secepat ini. Dan bayi itu, bayi itu harus selamat. Setelah 4 bulan lebih yang Faith lewati, inikah yang Faith dapatkan? Kehilangan bayinya? Tidak mungkin, itu tidak akan terjadi. Faith harus melihat bayinya. Ini semua akan baik-baik saja.
            Semuanya akan baik-baik saja.

***

            Justin mengerjap-kerjapkan matanya. Ia telah mendapatkan kesadarannya kembali. Kepalanya masih terasa pening, namun otaknya langsung tertuju pada Faith. Dimana ia sekarang? Ia harap, ia dapat bertemu dengan Faith sekarang dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Cahaya dari lampu membuatnya silau, tercium aroma-aroma yang sering ia cium sebelumnya. Ia tahu sekarang berada dimana, ia berada di dalam rumah sakit. Oh, sial, rumah sakit. Sudah berapa lama ia berada di ruangan hening ini? Dan bahkan, ia berada di dalam ruang rawat pasien VIP. Tangannya sebelah kirinya diinfus, ia juga telah mengenakan pakaian pasien. Sudah berapa lama ia berada di ruangan ini? Ia langsung mencari-cari sebuah remote untuk memanggil suster. Ia temukan di sisi tempat tidurnya, lalu ia langsung menekan tombol panggilan itu. Lalu ia menunggu.
            Justin mengangkat tubuhnya agar ia berada dalam posisi duduk. Terakhir kali ia ingat adalah Faith berada dalam gendongannya dan ia hampir menendang Mozes. Lalu suara mobil polisi. Ia mengerang dan ia sangat haus. Ia menoleh ke sebelah kanan dan kiri, mencari air minum. Namun ia tidak menemukannya. Dan mengapa suster itu begitu lama datang? Pintu kamarnya terbuka, seorang suster muncul dengan peralatannya. Lalu ia tersenyum pada Justin.
            “Halo, Tn. Lexise. Apa perasaanmu sekarang?” Tanya suster itu mendekati Justin.
            “Aku haus. Aku butuh air,”
            “Aku akan mengambilkannya, namun sebelum itu kau harus kuperiksa,” ucapnya dengan ramah. Justin mengangguk, lalu suster itu memulai pekerjaan. Saat ia sedang menyentuh tangan Justin, pikiran Justin tertuju pada Carla. Bagaimana keadaan Carla? Dan di rumah sakit mana ia sekarang? Bukan berarti jika ia berada di dalam rumah sakit, ia berada di dalam rumah sakit yang sama dengan Carla. “Istrimu, Carla, ia masih dalam keadaan koma. Peluru yang menembak dadanya itu mengenai organ intimnya. Keadaannya tidak stabil. Ia hampir mati, beberapa hari terakhir ini,”
            “Beberapa hari terakhir? Sudah berapa lama aku berada di dalam rumah sakit ini?” Ternyata Justin berada di dalam rumah sakit yang sama dengan istrinya. Ia mendesah.
            “4 hari, kau keracunan gas sulfur. Itu sangat berbahaya. Kau hampir mati, jujur saja,” ucap suster itu seolah-olah tak peduli dengan perasaan Justin. Apa? Justin hampir mati? Dia benar-benar beruntung karena ia dapat hidup kembali. Apa Faith mendapat nasib yang sama dengan Justin? Justin berdoa dalam hati, memohon pada Tuhan, agar Faith tetap hidup. Begitupun dengan bayinya.
            “Apa ada seseorang yang mendatangiku?”
            “Seorang pria. Ia bernama Mozes, ia bilang kau adalah temannya. Jadi aku mengizinkannya masuk. Lalu ia memberitahu padaku, jika kau sudah sadar, aku harus memberitahu padamu bahwa Faith baik-baik saja, namun keadaan bayinya…” suster tidak melanjutkan ucapannya.
            “Bayiku? Ada apa dengan bayiku?” Tanya Justin panik. Detak jantungnya seperti memukul-mukul dada Justin dari luar, seperti ingin keluar dari tubuh Justin. Justin menelan ludahnya.
            “Bayinya hampir gugur dari kandungan. Sehingga keadaannya benar-benar lemah,” ujar suster itu dengan aksen Britishnya. Justin hanya dapat mengangguk, namun ia benar-benar ingin bertemu dengan Faith. Mungkin Faith belum bangun dari tidurnya. Secara logika, Justin tidak hamil –itu sudah pasti—namun ia koma selama 4 hari dan sekarang ia baru melihat dunia yang ia benci. Meski harapan awalnya adalah mati dan tenang. Atau mungkin ia bertemu dengan Lucifer? Temannya? Mungkin saja ia masuk ke neraka. Dan itu sudah pasti. Hal terakhir yang ia perbuat adalah membunuh Alex. Membunuh bajingan sialan yang sudah pasti sekarang bertemu dengan Lucifer. Darah si buruk rupa itu menyembur wajah Justin saat itu ketika matanya yang menjijikan tertusuk oleh pisau tajam milik Justin. Dan Justin berharap, ia tidak terkena infeksi karena tersentuh darah si buruk rupa. Suster membicarakan beberapa hal pada Justin tentang keadaannya, namun Justin tidak sama sekali mendengarnya. Ia tidak peduli dengan keadaannya, setidaknya, sekarang ia masih bisa bernafas. Suster itu keluar untuk mengambil segelas air untuk Justin, meninggalkan Justin yang menatapi sinar matahari yang menembus kaca bening, menyinari kamarnya. Senja. Sekarang sudah senja.
            Seperti inikah rasanya ketika kita bangun dari tidur lama namun tidak ada seorangpun yang mengharapkan kehadiranmu? Seperti inikah rasanya kesepian tanpa kasih? Justin mendesah, ini rasanya menjadi orang yang tidak memiliki siapapun –meski masih ada Carla yang sekarang koma. Jika ia tidak memiliki Carla, siapa yang akan ia miliki? Faith? Itu tidak mungkin. Faith sudah benar-benar membencinya karena Justin telah membunuh kakek satu-satunya di dunia. Namun ia masih memiliki bayi di dalam perut Faith. Anaknya yang akan ia peluk, ia cium, dan ia didik. Itupun jika Faith mengizinkannya. Pintu kamarnya kembali keluar, suster yang tadi keluar, datang kembali dengan segelas air di tangannya.
            “Apa kau tahu dimana Faith?” Tanya Justin sambil tangannya meraih gelas itu dari tangan suster.
            “Tidak, aku tidak tahu di ruang mana dia berada. Namun kata pria yang bernama Mozes itu, ia akan datang. Well, dia memang datang tiap hari untuk melihat keadaanmu. Biasanya ia akan datang malam hari. Aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu, oke?”
            “Ya, terima kasih,” ucap Justin meminum airnya. Tenggorokannya kering sekarang seperti hujan yang membasahi tanah tandus yang kering. Sangat nikmat. Sangat nyaman. Seperti air minum ini adalah air minum terakhir yang dapat ia rasakan sebelum ia dipanggil oleh Tuhan. Justin menggumamkan kata kotor setelah air minumnya telah habis. Carla, ia harus melihat keadaan istrinya. Jika Carla tak sanggup hidup kembali, mungkin memang, sudah saatnya Justin membiarkan Carla pergi.

***

            Seulas senyum manis terpancar dari seorang wanita yang sedang mengelus perut buncitnya. Pria yang ada di hadapannya sedang mengambil video melalui kamera canggihnya yang mengarah pada wanita itu. Setelah dua hari wanita itu tidak bangun dari tidurnya itu, akhirnya ia bangun. Mungkin itu karena pria yang memegang kamera itu berdoa kepada Tuhan, bahkan ia berpuasa agar adiknya tidak dipanggil olehNya. Dan ya, keajaiban menghampirinya, memberikan wanita itu nafas yang baru. Hingga sekarang, hari ke-4 di rumah sakit ini tampaknya menjadi hari yang menyenangkan baginya. Karena keadaan wanita itu membaik sejak dua hari yang lalu.
            Pintu kamar mereka terbuka, muncul pria yang memegang bunga mawar merah untuk wanita yang terbaring di atas tempat tidur itu lalu ia tersenyum.
            “Bunga?” Tanya Faith dengan raut wajah terkejut. Mozes menyorot Joe yang membawa bunga mawar yang sejak dulu Faith benci. “Oh, terima kasih, Joe. Kau sangat manis,” ucap Faith. Hari-hari sebelumnya, Joe tidak membawa bunga untuk Faith. Mengapa sekarang Joe membawanya? Mungkin Joe tidak hanya ingin memberi buah-buahan untuk Faith, makanya ia membeli bunga mawar yang sudah terlalu sering dipakai untuk para pria yang ingin membuat pujaan hatinya senang. Tapi, Joe salah, seharusnya ia tidak membawa bunga itu.
            “Ya, kau menyukainya?” Tanya Joe. “Aku akan menaruhnya di sini,” lanjut Joe menaruh ikatan bunga itu ke atas meja di sebelah tempat tidur Faith.
            “Joe, adikku tidak suka dengan bunga mawar,” ujar Mozes jujur, terlalu jujur sampai-sampai Faith harus melototi abangnya itu. Faith merasa sangat malu sekarang, ia menegur Mozes. “Well, kau harus jujur Faith. Jadi, ya, bukannya apa-apa, Joe tapi memang adikku tidak menyukai bunga mawar. Namun terima kasih sudah berusaha membuatnya tersenyum,”
            “Ya, tidak apa-apa. Aku mengerti. Aku akan membuangnya nanti,” ujar Joe memakluminya. Setidaknya, bagi Joe, informasi ini sangat berguna. Karena Faith jarang memberitahu apa yang ia sukai atau ia benci, sehingga Joe tidak begitu tahu tentang Faith. Ya, Faith cukup tertutup, meski terbuka akhir-akhir ini. “Oh, Mozes, kudengar dari lantai bawah …Justin sudah bangun dari komanya. Kau harus melihatnya, kurasa,” beritahu Joe. Mozes dengan segera mematikan kameranya lalu menatap Faith yang senyumnya berangsur-angsur hilang. Tidak, Faith tidak diberitahu oleh Mozes atau Joe tentang Justin yang koma. Mengapa mereka tidak memberitahu Faith? Lalu Faith sekarang benar-benar sadar. Yang menyelamatkannya bukanlah Mozes, namun Justin. Mengapa Faith sekarang merasa bersalah terhadap Justin? Jika dulu Faith tidak dekat dengan Justin, sudah pasti, ia dan Justin mungkin tidak berada di dalam rumah sakit. Dan mengapa Justin harus menyelamatkannya jika Justin memiliki pilihan untuk meninggalkan Faith? Apa yang Alex katakan pada Justin hingga Justin ingin menyelamatkannya? Bukankah Justin telah memiliki Carla dan tidak harus memusingkan Faith? Dan lalu, Faith sadar kembali, ia sedang mengandung darah daging Justin. Dan ya, Faith ingat betul betapa bahagianya ketika ia tahu, keturunan Lexise sedang berada di dalam perut Faith.
            “Faith? Kau dengar aku?” Tanya Mozes melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Faith.
            “Y-ya, ada apa?” Faith benar-benar tidak mendengar apa yang Mozes katakan.
            “Kau ingin ikut aku turun ke bawah untuk melihat Justin?” Tanya Mozes. Ini adalah sebuah dilema bagi Faith. Apa Justin akan berpikir, jika Faith menjenguknya dan lalu berpikir bahwa Faith datang hanya karena Justin telah menyelamatkannya? Karena Faith merasa bahwa semuanya telah adil? Setelah mereka berpisah cukup lama dan menyisakan rasa sakit, lalu Justin kembali untuk menyelamatkan Faith, apa itu akan membuat Justin berpikir bahwa apa yang telah ia perbuat telah membuat semuanya adil? Lalu Faith akan memaafkan Justin karena Justin telah menyelamatkan nyawanya serta anaknya? Tapi ini semua bukan berdasarkan itu. Ini semua karena Faith sadar bahwa Justin memang mencintai anaknya.
            “Ya.”

***

FAITH

            Hari ini aku sangat senang karena aku tidak perlu menggunakan tabung oksigen lagi. Tadi siang saluran tabung oksigen itu telah dilepas dari hidungku. Katanya terlalu banyak racun yang telah kuhirup yang menyebabkan aku harus menggunakan tabung oksigen dan koma selama dua hari. Setelah Mozes memberitahu padaku bahwa ia berpuasa agar aku bangun dari tidurku dan ia menangis pada Tuhan, akhirnya Tuhan menjawab doanya. Mungkin Tuhan tidak ingin memberi cobaan yang lebih lagi pada Mozes. Ya, Tuhan terlalu baik. Bahkan terlalu baik bagi orang yang akan kunjungi sebentar lagi. Seharusnya Justin tidak pantas untuk hidup lagi, namun aku tahu, Tuhan memberikannya satu kesempatan lagi. Dan ya, mungkin, aku atau anak yang kukandung bisa merubah sifatnya yang buruk itu. Aku tidak bisa membenci Justin atau marah padanya lebih dari 1 hari. Itu seperti membunuhku.
            Kandunganku lemah makanya aku memakai kursi roda yang didorong oleh Joe. Bagaimana kabar Tn. Alex? Saat aku bangun, aku tidak bertanya tentang keadaan siapa pun. Aku benar-benar lupa dengan apa yang terjadi padaku atau orang lain. Terakhir kali yang kuingat adalah gas masuk ke dalam kamar yang membuatku kehilangan nafas. Gas sialan itu membuatku koma! Dan itu semua adalah ulah dari Tn. Alex. Mungkin, jika ia masih hidup, sekarang ia berada di dalam penjara. Terima kasih Tuhan! Joe terus mendorongku setelah kami keluar dari lift. Lalu kami berhenti di depan pintu kamar VIP yang tentunya di dalam sana adalah ruangan Justin Lexise. Mozes yang ada di depanku perlahan-lahan membuka pintu kamar itu lalu tercium aroma yang sama di kamarku tadi. Mozes menyapa Justin di dalam sana, namun Justin tertutup oleh tubuh Mozes yang besar.
            “Aku ingin kau bertemu dengan seseorang,” ucap Mozes. Lalu ia melangkah ke samping, dan akhrinya, aku bisa melihat Justin. Ini adalah pertama kalinya aku melihat seorang Justin Lexise masuk rumah sakit dan tangannya terinfus. Dan ia kurus. Tulang pipinya terlihat. Pucat. Justin terkejut namun sebisa mungkin aku tidak menangis melihat pria ini. Ia adalah pria yang dulu –sampai sekarang—kucintai berada di atas ranjang rumah sakit karena ia menyelamatkanku dari ruangan yang penuh dengan gas.
            “Hei, Justin, bagaimana kabarmu?”
            “Bagaimana denganmu? Kau baik-baik saja?” Tanya Justin yang kali ini suaranya terlihat lebih ‘bersemangat’. Entahlah, ia sangat tampan, baik-baik saja, dan seperti tidak memiliki niat jahat. Atau mungkin sudah tidak ada Iblis yang selama ini merasuki tubuhnya? Mungkin saja. Aku tidak tahu. Aku mengharapkan yang terbaik padanya.
            “Well, perut ini masih buncit. Dan aku masih bernafas dengan tenang. Jadi, aku baik-baik saja,” ucapku benar-benar merasa nyaman dengan percakapan ini. Sebelumnya, aku tidak memiliki percakapan yang sangat biasa namun benar-benar berarti dan seperti saling peduli satu sama lain. Entahlah, iblis itu memang sudah keluar dari tubuh Justin? “Bagaimana denganmu, Justin? Ada infuse yang terpasang di tanganmu,”
            “Aku masih bernafas juga, sama sepertimu,” ucap Justin tidak menatapku, ia berbicara dengan siapa? Ternyata ia memberi kode pada Mozes dan Joe untuk keluar dari kamarnya. Saat itu juga mereka keluar dari kamar ini sehingga hanya tinggal kami berdua. Kami masih saling bertatapan tanpa suara. Atmosfer di antara kami benar-benar menegangkan. Setelah 4 bulan lebih kami tidak bersama-sama, sekarang kami bertemu, berdua di dalam ruangan yang hening. Semuanya terasa sangat canggung namun aku masih tidak bisa berharap untuk mati karena aku sedang mengandung. Justin tidak tersenyum setelah mereka keluar sampai sekarang, sehingga terpaksa aku harus memberikannya senyum ragu-ragu.
            “Well, terima kasih karena telah menyelamatkanku,” ucapku malu-malu.
            “Sial, Faith, aku benar-benar merindukan ini. Percakapan ini. Kau tersenyum padaku, tidak ada air mata yang mengalir. Mengapa kau harus berbasa-basi? Itu sudah menjadi tanggungjawabku dan kewajibanku menyelamatkanmu,”
            “Entahlah Justin. Semua ini sangatlah baru bagiku. Ini tidak sama seperti sebelum 4 bulan yang lalu. Mungkin memang dulu sangat menyenangkan, tapi ini adalah akhir dari kita. Kita tidak bisa memulainya kembali sementara kau memiliki istri. Kau bukan Justin-ku yang dulu. Sekarang semuanya telah berubah. Tebak apa? Aku sekarang adalah guru di sebuah sekolah, mengajarkan beberapa mata pelajaran yang kuselipkan dengan kesenian di sana, membuat anak-anak senang. Aku bahagia. Aku bahagia tanpamu,” ucapku menarik nafas dalam-dalam. Mengingat bahwa aku memang kuat seperti yang dikatakan Joe, aku bahagia tanpa Justin.
            “Aku senang jika kau bahagia tanpaku. Tapi apa kau tahu aku bahagia tanpamu? Hubungan yang kudirikan bersama dengan Carla adalah kebohongan. Aku terlalu …” Justin tidak meneruskan ucapannya. Ia menggelengkan kepalanya lalu mendongak ke atas dan mengerjap-kerjapkan matanya berkali-kali, ia ingin menangis. “Aku terlalu bodoh. Rasa salahku padamu sangatlah dalam, aku harus jujur. Ini bukan untuk membujukmu menjadi milikku kembali karena kau mengandung anakku, tidak, bukan itu. Aku berusaha melupakanmu dengan cara mencari wanita lain yang tidak salah lagi adalah Carla. Sial, aku memang tolol. Aku minta maaf, Faith,” Justin menatap padaku. Air matanya mengalir, melewati pipinya, dan itulah kali pertama aku sadar bahwa Justin memang mencintaiku. Tidak mungkin seorang psikopat seperti Justin yang mati rasa itu sekarang sedang menangis di hadapanku dengan rasa bersalahnya yang terpancar dari matanya yang berkaca-kaca. Namun ini sebuah memang telah berakhir, aku tidak bisa melanjutkan hubungan yang memang telah putus. Terlebih lagi, Justin telah memiliki istri yang mungkin sekarang juga berada di rumah sakit ini. Ya, aku masih ingat Carla tertembak.
            “Ya, aku memaafkanmu. Well, aku tidak ingin rasa bersalahmu terus menghantuimu. Begitu juga denganku. Omong-omong, bayimu baik-baik saja di dalam perut ini. Meski memang masih dalam keadaan lemah, tapi aku yakin ia baik-baik saja. Kau ingin menyentuh perutku?”
            “Apa kau serius?” Justin tidak percaya saat aku menarik tangannya untuk menyentuh perutku. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat denganku. “Tanganku ini kotor, Faith. Tidak seharusnya tangan ini menyentuhmu. Tidak, aku tidak pantas,”
            “Maka berarti aku tidak pantas mengandung anakmu, Justin,” ujarku. “Kau ingin aku menggugurkan keturunan Lexise?” TIDAK! Aku menjerit dalam hati. Justin menelan ludahnya, sorotan matanya tertuju pada perutku, dan tangannya masih berada dalam genggaman tanganku. Dia diam, berarti dia ingin menyentuh perutku. Kutarik tangannya lalu tangan itu menyentuh perutku. Seketika itu juga seluruh tubuhku merasakan aliran darah yang mengalir di bawah kulitku ke atas. Mungkin sekarang pipiku merah. Kulit kepalaku remang-remang, merinding akan sentuhannya.
            “Kau merasakannya? Ia hidup di dalam sana,” ucapku.
            “Ya, aku bisa merasakannya. Kira-kira ia laki-laki atau perempuan?” Tanya Justin yang mencondongkan tubuhnya ke arahku. Tangan kirinya hanya digerakkan sedikit agar tali infusnya tak tertarik. Wajahku benar-benar dekat wajahnya.
            “Aku tidak tahu. Saat kau meninju Joe itu, itu adalah hari dimana seharusnya aku tahu anak ini laki-laki atau perempuan. Joe bilang padaku agar aku tidak mengetahui jenis kelamin anakku—“
            “Kita,” Justin memperbaiki.
            “Ya, anak kita, agar menjadi kejutan,” ucapku tertawa.  Aku memukul tangannya yang menyentuh tanganku hingga ia ikut tertawa. Entah apa yang kita tertawakan namun kita hanya tertawa. Seolah-olah ada candaan yang hanya kita berdua mengerti namun aku bahkan tidak mengerti apa yang sedang kutertawakan. “Sebenarnya apa yang kita tertawakan?” Tanyaku sambil masih tertawa. Tawa Justin berangsur-angsur hilang lalu ia terdiam, begitupun aku.
            “Entahlah, rasanya senang mendengar suara tawamu. Suara yang kadang sekali kudengar. Ini yang kuinginkan darimu. Tertawa bersamaku. Apa yang sulit?” Justin bertanya sambil tangan kanannya memainkan jari-jari tanganku di sisi tempat tidur. Mataku dan matanya menatapi tangan kami yang saling bercengkrama. Bibirku terus tersenyum bersama dengan Justin. Sesekali kami saling bertatapan. Jantungku berdegup kencang. Lihatlah betapa tampan dan perhatiannya pria ini. Mengapa bisa-bisanya ia mengusirku? Padahal aku masih ingin melihatnya. Melihat senyumannya yang seperti ini. Damai. Seolah-olah tidak ada masalah yang menghampiri kami.
            Tetapi aku sadar betul, Justin telah memiliki istri. Dan jika memang Carla sebentar lagi hamil atau semacamnya, mereka akan menjadi keluarga bahagia. Mungkin aku hanya dapat mengikhlaskan Justin bersama dengan wanita lain. Meski hatiku masih dipegang oleh Justin, aku yakin, aku bisa bahagia tanpa dia. Melihat Justin bahagiapun sudah membuatku bahagia. Bahagia itu sederhana, asalkan kita bersyukur akan apa pun yang kita miliki. Mungkin itu juga bisa menjadi salah satu alasan mengapa aku menjadi wanita yang kuat. Aku bersyukur akan apa yang terjadi dalam hiduku bahkan yang buruk sekalipun. Dan aku percaya dengan indah pada akhirnya. Aku menarik tanganku dari genggaman tangan Justin membuat keheningan di antara kami pecah begitu saja.
            “Apa kau ingin menjadi milikku kembali, Faith?” Tanya Justin, wajahnya benar-benar serius. Mengapa? Aku menggelengkan kepalaku. “Mengapa aku tidak bisa memilikimu kembali? Apa yang salah denganku?” Tanyanya dengan suara yang mengisyaratkan bahwa dirinya kotor.
            “Tidak ada yang salah denganmu. Situasi yang kita hadapi sekarang memang tidak mendukung hubungan kita. Mungkin, menurut Tuhan, aku memang tidak pantas memilikimu. Kita memang tidak ditakdirkan hidup bersama,”
            “Mengapa Tuhan bisa berpikir seperti itu? Itu tidak mungkin. Tidak mungkin kita akan bertemu di sini tanpa rencana Tuhan, bukan? Faith, mengapa? Jujur padaku,” paksa Justin menarik tanganku kembali. Ia ingin aku menatap matanya dalam-dalam, dan ya, aku menatapnya. Lalu aku mengedip satu kali.
            “A-aku tidak bisa. Bayang-bayang kau membunuh kakekmu masih menghantuiku. Dan terlebih lagi, kau telah menjadi milik Carla. Kita memang tidak bisa bersama lagi, seperti dulu. Tapi meski begitu, jika anakmu lahir nanti, kau boleh memberinya nama. Kau boleh mengunjunginya dan ikut merawatnya jika ia sudah bisa berjalan. Bagaimana dengan itu?”
            “Tidak, aku tidak ingin mendapatkan sesuatu yang setengah-setengah. Aku ingin memilikimu seutuhnya ditambah dengan kejutan di dalam perutmu,”
            “Justin, aku tidak bisa,” aku menggelengkan kepalaku, kepalaku tertunduk. “Aku hanya tidak bisa. Aku memang telah memaafkanmu, tapi bukan berarti aku harus kembali padamu. Aku juga masih teringat dengan Carla yang memiliki rasa yang sama denganku kepadamu. Kau tidak perlu memilih siapa di antara kami. Yang jelas, aku ingin kau bersama dengan Carla. Aku ikhlas. Lihat aku sekarang! Saat kau bersama dengan Carla, aku masih bisa bernafas sampai sekarang. Apa yang kautakutkan? Aku dan bayi kita akan selalu berada di belakangmu meski kau tidak bersama dengan kami. Janji padaku Justin untuk tidak meninggalkan Carla, oke?” Aku mendongak dan menyodorkan jari kelingkingku padanya. Twinky-promise. Lalu ia mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku.
            “Menurutmu, nama apa yang bagus untuk bayi kita nanti? Jika ia laki-laki?”
            “Christopher. Christopher Lexise,”
            “Ya, itu akan menjadi sangat bagus. Jika ia adalah perempuan aku akan menamainya, Destiny. Marie Destiny Lexise. Ya, itu akan menjadi sangat bagus.” Justin tidak menyahutnya, Justin hanya mengangguk, lalu Justin membuka mulutnya.
            “Ada satu hal yang selama ini seharusnya kusampaikan padamu, Faith,” ucapnya masih mempertahankan jari kami.
            “Apa? Katakan saja,” bisikku. Justin memejamkan matanya lalu matanya terbuka.
            “Aku mencintaimu, Faith Edwina.” Kata-kata itu benar-benar menembus hatiku tanpa hitungan detik. Namun aku hanya bisa tersenyum.
            “Aku pergi Justin. Jangan lupa datang di hari kelahiran anakmu, aku akan menghubungimu.”
            “Aku berjanji akan datang, Faith.”

***

AUTHOR

            Kandungan Faith telah menginjak bulan ke-9. Ia sebentar lagi akan melahirkan. Ya, ia sedang berada di dalam rumah sakit yang sama 5 bulan yang lalu. Tempat dimana ia dan Justin bertemu dengan damai. Dan tempat dimana dua bulan kemudian Carla dipanggil oleh Tuhan dan membuat Justin cukup stress selama beberapa minggu.Ya, Faith memegang kata-katanya, ia mendorong Justin dari belakang. Ia memberi Justin kembali semangat. Hubungan mereka semakin membaik seiring berjalannya waktu didukung dengan harapan Justin terhadap Faith yang sedang mengandung anaknya. Mungkin setelah Faith melahirkan, Justin dapat membangun keluarga baru? Perhatian Justin sekarang sepenuhnya diberikan pada Faith. Seperti sekarang, Justin harus buru-buru pergi ke rumah sakit setelah meeting pekerjaannya benar-benar menyita waktu. Padahal Faith sudah membutuhkannya. Malam ini sudah saatnya Faith melahirkan. Mozes sedang berada di dalam ruang bersalin dan perut Faith sekarang sudah merasakan banyak pergerakan di bawah.
            “Sial, Mozes, sekarang waktunya. Dimana Justin?” Tanya Faith. “Mozes, panggil bidan itu sekarang!” Teriak Faith merasa perutnya benar-benar ditendang. Tubuh Faith benar-benar tidak cocok dengan besar perutnya seperti banyak balon di dalamnya. Bersamaan dengan itu, Justin sedang berlari-lari di lobi utama menuju lift setelah ia bertanya dimana ruang bersalin. Tidak jauh, hanya di lantai dua. Hanya di lantai dua. Ya, dia punya waktu untuk menemani Faith melahirkan. Keringat Justin membasahi keningnya. Ia gugup, sangatlah gugup, tapi ia juga senang. Sebentar lagi, anak pertamanya akan lahir. Ia melompat-lompat sebentar untuk menenangkan dirinya. Lift berhenti di lantai dua, Justin berlari seperti kuda. Ia melihat tulisan ‘ruang bersalin’ di salah satu pintu. Langsung saja ia buka. Telinganya langsung mendengar suara teriakan Faith.  Saat ia benar-benar masuk ke dalam, ia langsung melihat darah berceceran di sekitar paha Faith.
            “Justin!” Teriak Faith penuh dengan kesenangan. “Oh, anakmu akan lahir,” lanjut Faith. Justin segera mendekati Faith, berdiri di sebelah kanan Faith lalu memegang tangan Faith, melihat bidan yang berada di bawah tubuh Faith.
            “Faith, ada yang ingin kukatakan padamu,”
            “Kau sangat bodoh Justin, mengapa kau memilih waktu yang salah di antara banyak waktu?”
            “Ini sangat penting!” Ucap Justin. Faith berusaha mengeluarkan bayinya, keringat Justin dan Faith semakin menderas. Salah satu suster yang sedang mengelap kening Faith sampai-sampai bingung, siapa yang sedang melahirkan? Pria di sebelah Faith atau Faith sendiri?
            “Katakanlah!” Faith mendorong bayi di dalam perutnya sekuat mungkin, ia berteriak, memegang tangan Justin begitu erat, kepalanya mendongak ke atas.

            “Maukah kau menikah denganku Faith?” Suara bayi terdengar, pertanyaan itu tenggelam begitu saja. Bayi itu menangis. Hidup. Dan tampak sangat sehat. Dia adalah laki-laki. Christopher Lexise baru saja lahir. 

3 komentar:

  1. Suka sekalii 😍😍❤💜 epilog nya ga ada nih?? Biar makin jelas 😁

    BalasHapus
  2. Suka sekalii 😍😍❤💜 epilog nya ga ada nih?? Biar makin jelas 😁

    BalasHapus