Tidak ada yang lebih mengesalkan
ketika ayah yang sangat kaubenci datang untuk membebanimu. Tangan itu
sepertinya ingin meninju, menghantam pipi berkerut itu dengan kekuatan penuh.
Namun yang ia terima tentu adalah penyesalan nantinya, ia memutuskan untuk diam
di tempatnya. Pria itu menggelengkan kepalanya, tidak mengerti mengapa ia harus
memiliki ayah tidak tahu diri seperti ini. Ia bahkan tidak tahu, apa dia itu adalah ayahnya atau orang lain
yang tiba-tiba datang berkunjung padanya untuk meminta bantuan atau sama dengan
memberikan beban padamu. Kedua mata biru menatap tajam pada pria tua yang
memiliki samar-samar rambut putih di atas sofa empuk miliknya. Pria tua itu
mengisap cerutunya lalu mengepulkan asapnya dari mulut. Ruang tamu yang
pencahayaannya kurang itu membuat keadaan semakin pengap. Tampaknya pria tua
itu tidak merasa bahwa anaknya yang berdiri di depan rak buku itu sedang marah
atau jengkel. Atau memang ia tidak pernah
merasa anaknya marah padanya. Tapi itu itu rasanya, bukan pria muda bermata biru itu.
Tiba-tiba
pintu rumah terbuka yang membuat keheningan diantara mereka pecah begitu saja.
Seorang anak remaja lelaki masuk dengan tas ransel yang menyangkut di salah
satu bahunya. Anak remaja itu segera melihat ke sekeliling ruang tamunya lalu
wajahnya yang muram, semakin muram. Ia juga tidak menyukai kedatangan pria tua
itu di rumahnya. Tanpa menyapa atau apa pun, ia hanya berjalan melewati pria
bermata biru itu dengan ayahnya yang duduk di sofa. Anak remaja itu menggumamkan
kata kotor dan menyumpah. Tom, pria bermata biru itu, melipat kedua tangannya
di depan dada bidangnya. Ia masih memerhatikan ayahnya yang kembali mengisap
cerutu itu lalu mengepulkan asap dari mulut. Pemandangan yang paling ia benci.
Bukan tentang mengisap cerutu itu, tetapi orang yang mengisap cerutu itu.
Mengapa harus ibunya yang pergi dari dunia ini? Mengapa bukan pria tua bangsat
ini yang dipanggil Tuhan? Karena ayahnya, ibu Tom meninggal! Ibu Tom meninggal
terkena serangan jantung. Cerutu, judi, pelacur, itu semua menjadi alasan
mengapa ibu Tom pergi dari dunia ini. Meninju ayahnya tidak akan bisa
mengembalikan ibu Tom. Tidak akan pernah bisa. Tiap detik ia menatap ayahnya,
bisik harapan ayahnya mati selalu menyertai Tom.
Ayah
Tom mulai membuka mulutnya. “Sampai kapan kau akan berdiri di sana dan
menatapku seperti itu? Uang yang kubutuhkan tak sebanyak terakhir kita bertemu.
Percaya padaku,”
“Berapa
banyak?” Tom tidak ingin membuang-buang waktunya lagi. Sudah saatnya ia
mengusir pria itu dari hadapannya. “Berapa banyak, Anderson?” Tidak ada kata
ayah yang keluar dari mulutnya.
“Lucu,
kau berbicara pada dirimu sendiri,” pria tua bernama belakang Anderson itu
tertawa, mengejek anaknya. “Hanya $10.000 sudah cukup bagiku. Itu tidak banyak
bukan?”
Pria
tua itu pasti bercanda. 10.000 dolar tidak banyak? Bagaimana bisa dia
mengatakannya begitu mudah? Ya, mudah baginya karena ia hanya meminta. Tetapi
Tom sudah tak tahan lagi mendengarnya bernafas, melihatnya hidup dan bergerak
di hadapannya, jadi ia hanya mengangguk. “Batas waktunya sampai hari Rabu
nanti.” Ayah Tom bangkit dari sofa, memperingati Tom. Tom hanya menganggukkan
kepalanya. Lalu, “keluar.” Dan pria tua itu keluar dari rumah Tom, menutup
pintunya –atau lebih tepatnya membanting.
Selesai.
Hanya itu saja.
Tom
mendesah. Ia memejamkan matanya. Bagaimana mungkin ia bisa mendapatkan 10.000
dolar dalam waktu 2 hari? Sekarang hari Minggu, dari kantornya? Lagi? Demi
Tuhan ia tidak bisa menambah kembali hutangnya. Ia bahkan belum melunasi hutang
sebelumnya. Pasti atasannya akan sangat marah padanya. Gaji yang ia dapatkan
per bulan sudah dipotong sejak 2 tahun yang lalu, namun disaat-saat hutangnya
akan selesai, ayahnya itu kembali datang. Memberikannya kembali beban yang
sama, membuatnya muak. Thomas Anderson tampaknya tidak dapat menahan dirinya
untuk tidak meninju rak buku di belakang punggungnya, membuat beberapa buku
keluar dari tempatnya. Sialan.
***
Pagi
itu, Laura sedang bersiap-siap untuk pergi bekerja. Di kantor barunya. Meski
pekerjaannya hanyalah sebagai office girl—pesuruh
kantor—tetapi itu sudah menjadi anugerah bagi Laura. Ia mengepang rambutnya
karena ia yakin, ia akan sangat kelelahan hari ini dan akan mengeluarkan banyak
keringat. Menyapu dan mengepel! Untuk sebuah perusahaan yang memiliki 30 lantai
itu, meski tidak semua lantai akan ia bersihkan. Tapi tetap saja, ia pasti akan
kelelahan. Dan hari ini ia akan bertemu kembali dengan pimpinannya yang baru.
Laura tidak pernah memiliki pekerjaan tetap. Ia bekerja di bidang yang tidak ia
sukai. Mungkin bidang tidak tepat, tapi hobi atau hal yang ia sukai, lebih
tepatnya. Ia suka membersihkan sesuatu. Sebelumnya ia pernah menjadi SPG di
sebuah produk mobil dan minuman, kasir di sebuah supermarket, penjual hotdog,
apalagi? Tapi bekerja di sebuah perusahaan menjadi pesuruh kantor sepertinya
cocok untuknya. Karena ia senang membersihkan sesuatu. Ia pekerja keras. Laura
baru saja selesai mengepang rambutnya. Sentuhan terakhir adalah mengunci pintu
rumah sewanya. Oh, ya ampun, sebentar lagi ia harus membayar bulanan rumah ini.
Tapi ia belum memiliki uang sama sekali. Akan tinggal dimana dia? Laura
berusaha sebisa mungkin untuk tidak memikirkan itu.
Laura
meninggalkan pintu rumahnya setelah menguncinya. Tampaknya hari ini ia berusaha
sangat rapi dari pada biasanya. Kaos berwarna biru muda dengan cardigan putih
melapisinya serta celana jins hitam panjang menutupi kakinya yang jenjang. Ia
mulai berjalan menuju perhentian bus. Ia melihat pada jam tangannya, ia harus
tiba di kantor itu jam 8. Dan sekarang jam sudah menunjukkan waktu 7.40 pagi.
Bus itu harus segera tiba atau tidak, ia akan terlambat.
Namun
ternyata, Laura tidak terlambat. Tepat lima menit sebelum jam 8, ia memasukkan
kartu absennya untuk menandainya pada mesin absen. Kertas yang memiliki nama
Laura Gretchen Hare itu baru saja dilubangi, di hari pertama. Ia merasa sangat
bahagia. Senyumnya mengembang. Setelah menyimpan kartu absennya, Laura berjalan
menuju lokernya. Membuka loker itu lalu menyimpan barang-barangnya dan mengambil
seragamnya yang berwarna biru itu.
“Laura,
kau dicari Tom,” salah satu pesuruh kantor muncul di pantry, memberitahu Laura. Laura menoleh ke belakang dan mengangguk
memberikan tanda terima kasih. Tom. Pimpinan para pesuruh kantor itu
mencarinya. Pria yang Laura temui hari Jumat itu memintanya untuk datang ke
kantor Tom. Tom bisa dibilang adalah pria yang cukup tampan. Rambut cokelat
yang tidak digunting cepak, justru panjang untuk ukuran laki-laki sepertinya,
ia tinggi, giginya rapi, dan memiliki senyum manis. Bibirnya berwarna merah
muda. Matanya berwarna biru. Dan ia memiliki tubuh yang tegap dengan dada
bidang. Cukup membuat Laura meleleh di bawah tatapan mata biru itu. Tidak ingin
membuang-buang waktu, Laura segera mengganti pakaiannya di ruang ganti dan
keluar dengan pakaian serba biru dan lalu menyimpan pakaiannya ke dalam loker.
Hati
Laura berdebar-debar saat ia melewati lorong dan masuk ke salah satu kantor
kecil milik pimpinannya itu. Thomas Anderson namanya. Ia masih ingat nama pria
itu. Sebelum masuk, Laura mengetuk pintu kantor Tom, lalu membukanya. Hal
pertama yang ia lihat adalah wajah murung dari atasannya itu. Mengapa? Hari
Jumat lalu, Tom tidak terlihat murung seperti ini. Justru ia menyambut Laura
dengan senyuman manis dan hangat. Tom mendongak, sudut-sudut bibirnya mulai
tertarik hingga menghasilkan senyum manis.
“Kau
mencariku?” Tanya Laura berbasa-basi. Meski sebenarnya ia tidak menyukai sikap
basa-basi. Ia gadis yang kolerik. Tom mengangguk.
“Ya,
Patrick tidak bisa datang pagi ini karena istrinya akan melahirkan. Seharusnya
pagi ini ia yang menyiapkan kopi untuk para klien bos kita. Apa kau tidak
keberatan untuk membawanya ke ruang pertemuan di lantai 15?” Tom bertanya
dengan hati-hati. Mengapa Tom menyuruh Laura sedangkan pria yang memanggil
Laura tadi untuk bertemu dengan Tom itu ada? Mungkin ia mengepel toilet. Laura
terdiam sejenak. Ia ingin melakukannya, namun ia juga ragu-ragu karena ia takut
bila ia melakukan kesalahan. Bibir Laura yang tidak begitu tebal atau tipis itu
terbuka, namun ia mengurungkan niatnya untuk berbicara. Jadi ia hanya
mengangguk. Tom memerhatikan gerak-gerik Laura yang memiliki wajah keras yang
tegas. Gadis ini sangat misterius. Laura baru berumur 22 tahun, masih banyak
waktu untuk mencari pekerjaan lain. Tapi yang Tom tahu dari biodata Laura
adalah gadis ini hanya lulus SMA. Tidak kuliah atau semacamnya. Hanya ada satu
cela yang didapati Tom dari wajah Laura yang cantik. Salah satu alis matanya
ada yang melengkung lebih ke atas dibanding yang lainnya.
“Berapa
kopi yang harus kubuat?”
“Ini
ada beberapa daftarnya. Mereka termasuk klien yang pemilih dalam hal kopi.
Buatkan mereka kopi ini lalu bawa semuanya sebelum jam 10. Karena Mr. Herich
akan sangat marah jika ia mengecewakan kliennya karena ketidak-profesionalanmu,”
“Oh
itu sangat menjelaskan semuanya,” Laura terkekeh mendengar nama Herich. Dia
kaya –He Rich—itu tentu masuk akal. Bosnya tentu saja kaya. Tom melihat tingkah
Laura yang santai itu dengan senyum penuh arti. Ia memberikan kertas itu pada Laura
yang segera diambil oleh Laura. “Aku akan membuat kopi-kopi ini,”
“Ya,
tentu saja,” Tom menganggukkan kepalanya, tidak tahu apa yang harus ia katakan
lagi pada Laura. Tom adalah pria yang kaku. Ia tidak pandai menarik perhatian
wanita. Ketika Laura hilang dari pandangannya, ia memutuskan untuk mendekati
wanita ini. Entahlah, ada sesuatu yang lembut dibanding wajahnya yang
berkarakter keras itu. Ia sangat seksi, jika Tom boleh berkomentar tentang
tubuhnya. Tapi sepertinya, bukan itu yang dicari oleh Tom –atau bahkan tidak
pernah mencoba untuk menyentuh tubuh wanitanya sebelum pernikahannya—justru ia
mencari wanita seperti Laura. Sopan, santai, dan tidak tampak terintimidasi.
Tidak seperti wanita-wanita lain yang ia temui, mungkin pernah, Tom bertemu wanita
yang sama seperti Laura. Tetapi ia tidak dapat menggapai wanita itu, yah,
karena pekerjaan Tom yang menjadi pimpinan pesuruh kerja ini. Gaji yang
didapatkan Tom tentu tidak akan bisa memuaskan wanita itu. Namun sepertinya
Laura tidak. Sepertinya dia termasuk wanita yang sederhana. Huh, mata cokelat
itu. Hangat sekali. Dan rambut yang dikepang, sejak kapan Tom mendapati wanita
yang mengepang rambutnya selama bekerja? Melihat wanita itu seperti tidak ada
beban yang menimpa Tom. Siapa tahu Laura memang wanita yang Tom cari-cari
selama ini?
***
Karyawan
kantor di lantai 15 memerhatikan Laura dengan tatapan tidak suka. Gadis
kampung! Pantas saja gayanya seperti itu. Rambut dikepang, dia pikir wanita itu
cantik dengan kepangan rambut sialan itu? Tidak, sama sekali tidak. Itu menurut
para karyawan wanita di lantai 15. Tidak dengan karyawan pria yang dari tadi
tidak melepaskan tatapannya dari Laura. Mengapa wanita secantik itu bekerja
menjadi pesuruh kantor? Sulit dipercaya. Laura masuk ke dalam ruang pertemuan
dengan meja dorong –nampan—yang didorongnya. Belum ada siapa pun di ruangan
sepi dengan tembok berkaca itu. Meja kayu cokelat panjang itu tertata rapi dengan 12 kursi putar. 5
kursi saling berhadapan dan 2 berada di ujung-ujung meja. Tiap kursinya, ia
dapat melihat nama-nama klien di atas meja. Oh, nama orang-orang yang memilih
kopi mereka. Jadi Laura memutuskan untuk menaruh satu per satu kopi di atas
meja.
Laura
keluar dari ruang pertemuan. Berjalan menuju salah satu karyawan yang meminta
kopi. Oh ya ampun, bagus sekali. Tali sepatu Laura terlepas di tengah jalan.
Mengapa sepatu ini memilih waktu yang tidak tepat? Laura menunduk, ia memeluk
salah satu tiang meja berjalannya agar tidak kemana-mana lalu mengikat tali
sepatunya. Mungkin lain kali Laura tidak akan menggunakan sepatu bertali lagi.
Ini menyusahkannya. Laura menggumamkan kata kotor ketika seseorang menyenggol
meja dorongnya hingga salah satu kopi tumpah ke bajunya. “Oh ini sangat bagus
sekali.” Laura menggerutu, matanya melihat kaki yang melangkah dengan sepatu
hitam mengkilap lalu ia berdiri. Mengapa pria itu tidak meminta maaf pada
Laura? Sungguh sialan sekali. Pria itu jelas tidak mengetahui sopan santun.
Namun Laura tidak ingin merusak hari pertamanya bekerja hanya karena tumpahan
kopi di bajunya.
“Lain
kali hati-hati,” seorang pria berambut pirang tiba-tiba muncul di hadapannya.
“Huh, kopiku jadi tumpah. Tapi tidak apa-apalah. Masih ada sisa,” lanjut pria
itu mengambil secangkir kopi yang tumpah tadi. Laura hanya diam di tempatnya, memerhatikan
pria yang meminum kopi sisa itu.
“Terima
kasih sudah mau menghargaiku,” ucap Laura tanpa malu-malu. “Kau tahu siapa tadi
menyenggol Betty-ku?” Tanya Laura masih kesal dengan perlakuan pria bersepatu
mengkilap tadi.
“Betty?
Oh, itu sangat konyol,” komentar pria itu terkekeh. “Pria tadi? Aku sangat
yakin kau tidak ingin memarahi pria tadi. Dia penguasa di kantor ini,”
“Mr.
Herich?” Tanya Laura tanpa mengecilkan volume suaranya. Namun tidak ada yang
mendengar, lantai 15 ini dipenuhi oleh suara ketikan jari-jari pada keyboard. Pria berambut pirang itu
mengangguk. “Aku Laura, kau?”
“Niall,
senang bertemu denganmu, Laura. Lain kali hati-hati. Dan kopinya enak, sayang
sedikit. Sampai bertemu lagi,” ujar pria bernama Niall itu pergi dari hadapan
Laura. Oke, ia baru mendapatkan satu kenalan. Tidak, tidak, tidak. Dua orang.
Tom dan Niall. Mr. Herich tidak termasuk. Ia orang pertama yang membuat Laura
kesal di hari pertama. Sudah menyenggol, tidak meminta maaf, dan terlebih lagi,
ia memamerkan sepatu mengkilapnya pada Laura. Jika dia bukan bos Laura, sudah
pasti ia akan memukul kepala itu dengan nampan. Atau jika Laura cukup kuat ia
akan mengangkat meja dorong itu lalu melemparnya pada Mr. Herich. Tetapi semua
niatan jahat itu pupus ketika Niall muncul. Terima kasih Niall.
***
“Belum
pulang?” Tanya Tom ketika ia memeriksa dapur. Ia melihat Laura masih terduduk
di salah satu kursi dengan secangkir teh di atas meja. Laura mendongak, hatinya
kembali berdebar-debar, lalu ia menggelengkan kepalanya. Belum. Sekalipun ia
pulang nanti, mungkin makian akan menempel di depan pintu rumahnya agar ia
membayar tagihan rumah. Tom mendekati Laura dan lalu duduk berhadapan.
“Mengapa?”
“Huh,
aku tidak tahu. Mungkin kita baru bertemu 2 hari, tapi aku tidak memiliki teman.
Kupikir aku adalah temanmu. Jadi, apakah aku boleh bercerita padamu?”
Pertanyaan Laura jelas menjadi lampu hijau bagi Tom untuk mendekati Laura.
Tentu saja Tom ingin berteman dengan Laura. Jadi Tom mengangguk. Laura lalu
mendesah. “Sebentar lagi aku tidak akan memiliki rumah. Aku harus membayar uang
sewa rumahku. Entahlah, aku tidak memiliki teman wanita. Aku tidak pernah bisa
cocok dengan wanita, berteman, aku bertumbuh seperti laki-laki. Teman
laki-lakiku sudah pergi ke Kanada mengurus bisnisnya,”
“Orangtuamu?
Dimana mereka?” Tanya Tom. Laura tertawa sinis. Orangtua? Ayahnya meninggal,
ibunya? Dia meninggalkan Laura di rumah sewa neneknya –yang sekarang menjadi
rumah Laura—pergi bersama dengan seorang pria kaya yang katanya akan menjadi
ayah Laura. Namun tentu saja, Laura tidak mau. Ia jijik. “Maaf,” bisik Tom.
“Tidak.
Tidak apa-apa. Ayahku meninggal dan ibuku meninggalkanku demi kekayaan. Jadi,
yah, kau bisa menyimpulkan bahwa aku sebatang kara di dunia ini. Nenekku
meninggal sebulan yang lalu. Rumah sewa ini tidak dapat kupertahankan. Jadi,
apa yang harus kulakukan?” Laura bertanya, kali ini menatap Tom, kedua alisnya
bertaut.
“Tinggal
bersamaku. Tidak apa-apa. Aku tahu ini gila, tapi percaya padaku, aku memiliki
adik di rumah dan ia ingin sekali memiliki kakak perempuan. Mungkin kalian akan
sangat cocok menjadi adik kakak. Dan aku tidak akan menyentuhmu. Lagipula, aku
masih memiliki satu kamar lagi untukmu. Bagaimana?” Tanya Tom tanpa ragu-ragu.
Kedua alis Laura yang awalnya bertaut, tiba-tiba terangkat. Yang benar saja!
Mengapa Tom menawarkannya tanpa ragu-ragu? Tom bukan pria jahat, sepertinya.
Tidak dengan Alkitab kecil yang ia bawa tadi pagi. Ya, Laura melihat Alkitab
kecil di atas meja Tom. Dia pria baik-baik. Sekalipun Laura tinggal di rumah Tom,
tiap paginya, tentu akan menjadi canggung. Laura menggeleng, tidak enak hati.
“Terima
kasih, tapi tidak. Aku tidak bisa menerima tawaranmu, apa yang akan dikatakan
oleh karyawan lain?” Tanya Laura ragu.
“Aku
tidak peduli dengan apa yang dikatakan mereka. Lagipula, aku hanya ingin
membantumu. Terlebih lagi, aku yakin kau adalah wanita baik-baik. Jadi mengapa
tidak?” Tanya Tom. Mungkinkah Laura dapat menerima tawaran ini? Tapi ini memang
tawaran yang sangat bagus dan tidak berbahaya.
“Baiklah,
tapi sampai aku mendapatkan apartemen saja, oke?” Ini sempurna! Senyum Tom
menyentuh matanya. Ternyata tidak sesulit yang Tom kira.
***
LAURA
Satu
minggu tinggal di rumah Tom sangatlah menyenangkan. Jimmy, adik dari Tom,
sangatlah ramah. Ia senang akan kedatanganku. Tiap pagi aku menyiapkan mereka
sarapan. Tom mengantar Jimmy berangkat sekolah sedangkan aku akan merapikan
diriku untuk pergi bekerja. Hari-hari tinggal di rumah Tom sangatlah
menyenangkan. Satu minggu lebih berteman dengan Tom ternyata memang suatu
anugerah. Harus kuakui kalau aku memiliki perasaan pada Tom. Ia perhatian dan
sepertinya ia juga memiliki perasaan yang sama denganku. Jimmy mengajariku
bermain gitar akhir-akhir ini. Dia anak yang cerdas! Aku menyukainya. Di
umurnya yang keenam belas ini, ia menyibukkan diri untuk konser bersama dengan band yang ia buat di sekolahnya. Tetapi
selama satu minggu ini, aku tidak melihat ayah atau ibu Tom. Mereka sepertinya
tidak dekat dengan orangtuanya. Namun aku hanya melihat foto ibu Tom. Tidak ayahnya.
Foto itu terpajang di atas rak buku, sedang tersenyum, memakai pakaian yang
bermotif bunga-bunga. Wajah ibunya terlihat lemah dan lembut, dan tentu saja
cantik.
Nyaliku
terlalu kecil untuk bertanya dimana ayah mereka berada. Jadi aku hanya diam. Minggu
ini aku mendapat tugas siang sampai malam. Biasanya pagi sampai sore. Tapi ini
minggu yang lain. Kata Tom, atasan kami, akan kedatangan klien penting. Jadi
aku harus membuat kopi terenak sore ini. Lima cangkir kopi telah siap untuk
diluncurkan ke lantai 15. Niall semakin hari semakin dekat denganku, aku masih
mengingat pertemuan pertama kami yang tidak akan kulupakan. Sore ini ia tidak
meminta kopi padaku. Baguslah. Aku mendorong masuk meja dorongku ke dalam lift.
Ada dua orang karyawan di dalamnya. Salah satunya wanita yang menatapku sinis.
Sebelumnya, aku tidak pernah bertemu dengan wanita ini. Apa masalahnya?
Sepertinya ia juga bukan salah satu karyawan di sini. Karena ia tidak memiliki
tanda pengenal yang seharusnya menggantung di lehernya seperti karyawan pria di
belakangnya. Pintu lift terbuka ketika kami telah mencapai lantai 15. Baru saja
aku ingin mendorong mejaku, tiba-tiba wanita itu berjalan keluar, hampir saja
sudut mejaku tidak menyodok pinggulnya! Meski aku berharap agar ia tersodok
sudut mejaku. Lalu aku keluar dari lift. Ia berjalan menuju salah satu ruangan.
Ruangan Mr. Herich. Namun aku masuk ke ruangan lain, ruang pertemuan. Satu per
satu aku menaruh kopi di atasnya.
“Jangan
sekarang, Jasmine!” Bentak seorang pria dari luar. Wanita itu sepertinya malu
dengan perlakuan pria itu, jadi aku hanya mendengar suara dengusan dan
langkahan yang menjauh dari ruang pertemuan. Seseorang masuk ke ruang
pertemuan, mataku dapat melihat sepatu mengilap satu minggu yang lalu itu.
Sepatu sialan itu. Atau lebih tepatnya, pemilik sepatu sialan itu. Aku
melihatnya dari bawah lalu sampai atas. Setelan berwarna hitam menutupi
tubuhnya. Mr. Herich! Baru kali ini aku melihatnya begitu dekat. Ternyata dia
tampan juga. Matanya berwarna cokelat madu gelap. Tulang pipinya terlihat.
Namun ketampanan dewa Yunani yang turun atasnya seperti terangkat kembali
karena ia menyenggol Betty-ku dan tidak meminta maaf.
“Apa
semuanya sudah siap?” Tanyanya padaku. Ia bertanya padaku! Aku seketika kaku.
Ternyata efek suaranya yang berat dan mendominasi itu membuat seluruh bulu
romaku meremang. Kuanggukkan kepalaku. “Kau baru di sini? Aku tidak pernah
melihatmu sebelumnya,” ujarnya. Apa?, aku menjerit dalam hati. Ia tidak pernah
melihatku sebelumnya? Jadi, yang menyenggol Betty-ku itu siapa? Setan? Aku
ingin sekali menyiram pria ini dengan kopi panas.
“Ya,
aku Laura,” ujarku.
“Aku
tidak bertanya siapa namamu. Sejak kapan kau bekerja di sini?” Tanyanya dingin.
Sialan! Mengapa ia sangat arogan? Tangan ini rasanya gatal ingin memukulnya.
Ayahku mengajarkan bagaimana memukul pria yang berusaha menyerangmu atau
berusaha memperkosamu, jadi sampai sekarang, aku masih perawan. Dan itu juga
termasuk tambahan nilai karena aku bisa memukul Mr. Herich.
“Satu
minggu yang lalu,” jawabku. Lalu Justin mendekatiku.
“Jangan
mengepang rambutmu. Aku tidak suka melihatnya,” ujarnya. Aku terkejut. Tentu
saja. Mengapa ia harus protes? Aku tidak akan melakukan apa pun agar ia merasa
senang, kecuali pekerjaanku di kantor ini. Tapi rambut? Apa masalahnya? “Kau
terlihat konyol dengan rambut kepanganmu itu,”
“Tentu,”
tapi aku melakukannya. Aku mendesah dalam hati. Perlahan-lahan aku menarik
ikatan rambutku dan menyisir rambutku dengan jari-jari tangan sehingga
kepanganku sekarang hancur. Rambut tergerai bukanlah kesukaanku. “Jika boleh,
aku permisi keluar, Mr. Herich,” ucapku sesopan mungkin. Ia tidak mengatakan
apa pun, namun ia menghalangi jalanku. Namun matanya terus memerhatikanku.
Tidak mengintimidasi. Aku sudah terbiasa dengan tatapan itu. Memang tiap atasan
yang kutemui selalu sama. Tatapan kejam, dingin, sok. Rasanya ingin sekali aku
mencungkil matanya sekarang. Tetapi ia terlalu tampan untuk kurusak wajahnya.
Pasti sudah banyak gadis yang ia tiduri. Aku merinding, merasa jijik dengan
pria yang selalu memainkan tubuh wanita dengan sembarangan.
“Mengapa
Thomas menerimamu di perusahaanku?” Tanyanya tampak bingung.
“Karena
aku pekerja keras, Mr. Herich,”
“Well,
kita lihat saja satu bulan ini bagaimana perkembanganmu di perusahaanku.
Sekarang pergilah,” perintahnya. Ia menyingkir dari jalanku, lalu aku mulai
mendorong mejaku. “Hah, rambut kepang yang konyol.” Ujarnya menghinaku ketika
aku keluar dari ruang pertemuan. Demi Tuhan aku berharap ia jatuh dari lantai
30 ke bawah! Aku memejamkan mataku, berusaha untuk menahan amarahku. Tidak
boleh, malam nanti kau akan kencan. Jadikan harimu menyenangkan, Laura!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar