Rabu, 18 Desember 2013

A Beautiful Nightmare Bab 1



Tidak ada yang lebih mengesalkan ketika ayah yang sangat kaubenci datang untuk membebanimu. Tangan itu sepertinya ingin meninju, menghantam pipi berkerut itu dengan kekuatan penuh. Namun yang ia terima tentu adalah penyesalan nantinya, ia memutuskan untuk diam di tempatnya. Pria itu menggelengkan kepalanya, tidak mengerti mengapa ia harus memiliki ayah tidak tahu diri seperti ini. Ia bahkan tidak tahu, apa dia itu adalah ayahnya atau orang lain yang tiba-tiba datang berkunjung padanya untuk meminta bantuan atau sama dengan memberikan beban padamu. Kedua mata biru menatap tajam pada pria tua yang memiliki samar-samar rambut putih di atas sofa empuk miliknya. Pria tua itu mengisap cerutunya lalu mengepulkan asapnya dari mulut. Ruang tamu yang pencahayaannya kurang itu membuat keadaan semakin pengap. Tampaknya pria tua itu tidak merasa bahwa anaknya yang berdiri di depan rak buku itu sedang marah atau jengkel. Atau memang ia tidak pernah merasa anaknya marah padanya. Tapi itu itu rasanya, bukan pria muda bermata biru itu.
            Tiba-tiba pintu rumah terbuka yang membuat keheningan diantara mereka pecah begitu saja. Seorang anak remaja lelaki masuk dengan tas ransel yang menyangkut di salah satu bahunya. Anak remaja itu segera melihat ke sekeliling ruang tamunya lalu wajahnya yang muram, semakin muram. Ia juga tidak menyukai kedatangan pria tua itu di rumahnya. Tanpa menyapa atau apa pun, ia hanya berjalan melewati pria bermata biru itu dengan ayahnya yang duduk di sofa. Anak remaja itu menggumamkan kata kotor dan menyumpah. Tom, pria bermata biru itu, melipat kedua tangannya di depan dada bidangnya. Ia masih memerhatikan ayahnya yang kembali mengisap cerutu itu lalu mengepulkan asap dari mulut. Pemandangan yang paling ia benci. Bukan tentang mengisap cerutu itu, tetapi orang yang mengisap cerutu itu. Mengapa harus ibunya yang pergi dari dunia ini? Mengapa bukan pria tua bangsat ini yang dipanggil Tuhan? Karena ayahnya, ibu Tom meninggal! Ibu Tom meninggal terkena serangan jantung. Cerutu, judi, pelacur, itu semua menjadi alasan mengapa ibu Tom pergi dari dunia ini. Meninju ayahnya tidak akan bisa mengembalikan ibu Tom. Tidak akan pernah bisa. Tiap detik ia menatap ayahnya, bisik harapan ayahnya mati selalu menyertai Tom.
            Ayah Tom mulai membuka mulutnya. “Sampai kapan kau akan berdiri di sana dan menatapku seperti itu? Uang yang kubutuhkan tak sebanyak terakhir kita bertemu. Percaya padaku,”
            “Berapa banyak?” Tom tidak ingin membuang-buang waktunya lagi. Sudah saatnya ia mengusir pria itu dari hadapannya. “Berapa banyak, Anderson?” Tidak ada kata ayah yang keluar dari mulutnya.
            “Lucu, kau berbicara pada dirimu sendiri,” pria tua bernama belakang Anderson itu tertawa, mengejek anaknya. “Hanya $10.000 sudah cukup bagiku. Itu tidak banyak bukan?”
            Pria tua itu pasti bercanda. 10.000 dolar tidak banyak? Bagaimana bisa dia mengatakannya begitu mudah? Ya, mudah baginya karena ia hanya meminta. Tetapi Tom sudah tak tahan lagi mendengarnya bernafas, melihatnya hidup dan bergerak di hadapannya, jadi ia hanya mengangguk. “Batas waktunya sampai hari Rabu nanti.” Ayah Tom bangkit dari sofa, memperingati Tom. Tom hanya menganggukkan kepalanya. Lalu, “keluar.” Dan pria tua itu keluar dari rumah Tom, menutup pintunya –atau lebih tepatnya membanting.
            Selesai. Hanya itu saja.
            Tom mendesah. Ia memejamkan matanya. Bagaimana mungkin ia bisa mendapatkan 10.000 dolar dalam waktu 2 hari? Sekarang hari Minggu, dari kantornya? Lagi? Demi Tuhan ia tidak bisa menambah kembali hutangnya. Ia bahkan belum melunasi hutang sebelumnya. Pasti atasannya akan sangat marah padanya. Gaji yang ia dapatkan per bulan sudah dipotong sejak 2 tahun yang lalu, namun disaat-saat hutangnya akan selesai, ayahnya itu kembali datang. Memberikannya kembali beban yang sama, membuatnya muak. Thomas Anderson tampaknya tidak dapat menahan dirinya untuk tidak meninju rak buku di belakang punggungnya, membuat beberapa buku keluar dari tempatnya. Sialan.

***

            Pagi itu, Laura sedang bersiap-siap untuk pergi bekerja. Di kantor barunya. Meski pekerjaannya hanyalah sebagai office girl—pesuruh kantor—tetapi itu sudah menjadi anugerah bagi Laura. Ia mengepang rambutnya karena ia yakin, ia akan sangat kelelahan hari ini dan akan mengeluarkan banyak keringat. Menyapu dan mengepel! Untuk sebuah perusahaan yang memiliki 30 lantai itu, meski tidak semua lantai akan ia bersihkan. Tapi tetap saja, ia pasti akan kelelahan. Dan hari ini ia akan bertemu kembali dengan pimpinannya yang baru. Laura tidak pernah memiliki pekerjaan tetap. Ia bekerja di bidang yang tidak ia sukai. Mungkin bidang tidak tepat, tapi hobi atau hal yang ia sukai, lebih tepatnya. Ia suka membersihkan sesuatu. Sebelumnya ia pernah menjadi SPG di sebuah produk mobil dan minuman, kasir di sebuah supermarket, penjual hotdog, apalagi? Tapi bekerja di sebuah perusahaan menjadi pesuruh kantor sepertinya cocok untuknya. Karena ia senang membersihkan sesuatu. Ia pekerja keras. Laura baru saja selesai mengepang rambutnya. Sentuhan terakhir adalah mengunci pintu rumah sewanya. Oh, ya ampun, sebentar lagi ia harus membayar bulanan rumah ini. Tapi ia belum memiliki uang sama sekali. Akan tinggal dimana dia? Laura berusaha sebisa mungkin untuk tidak memikirkan itu.
            Laura meninggalkan pintu rumahnya setelah menguncinya. Tampaknya hari ini ia berusaha sangat rapi dari pada biasanya. Kaos berwarna biru muda dengan cardigan putih melapisinya serta celana jins hitam panjang menutupi kakinya yang jenjang. Ia mulai berjalan menuju perhentian bus. Ia melihat pada jam tangannya, ia harus tiba di kantor itu jam 8. Dan sekarang jam sudah menunjukkan waktu 7.40 pagi. Bus itu harus segera tiba atau tidak, ia akan terlambat.
            Namun ternyata, Laura tidak terlambat. Tepat lima menit sebelum jam 8, ia memasukkan kartu absennya untuk menandainya pada mesin absen. Kertas yang memiliki nama Laura Gretchen Hare itu baru saja dilubangi, di hari pertama. Ia merasa sangat bahagia. Senyumnya mengembang. Setelah menyimpan kartu absennya, Laura berjalan menuju lokernya. Membuka loker itu lalu menyimpan barang-barangnya dan mengambil seragamnya yang berwarna biru itu.
            “Laura, kau dicari Tom,” salah satu pesuruh kantor muncul di pantry, memberitahu Laura. Laura menoleh ke belakang dan mengangguk memberikan tanda terima kasih. Tom. Pimpinan para pesuruh kantor itu mencarinya. Pria yang Laura temui hari Jumat itu memintanya untuk datang ke kantor Tom. Tom bisa dibilang adalah pria yang cukup tampan. Rambut cokelat yang tidak digunting cepak, justru panjang untuk ukuran laki-laki sepertinya, ia tinggi, giginya rapi, dan memiliki senyum manis. Bibirnya berwarna merah muda. Matanya berwarna biru. Dan ia memiliki tubuh yang tegap dengan dada bidang. Cukup membuat Laura meleleh di bawah tatapan mata biru itu. Tidak ingin membuang-buang waktu, Laura segera mengganti pakaiannya di ruang ganti dan keluar dengan pakaian serba biru dan lalu menyimpan pakaiannya ke dalam loker.
            Hati Laura berdebar-debar saat ia melewati lorong dan masuk ke salah satu kantor kecil milik pimpinannya itu. Thomas Anderson namanya. Ia masih ingat nama pria itu. Sebelum masuk, Laura mengetuk pintu kantor Tom, lalu membukanya. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah murung dari atasannya itu. Mengapa? Hari Jumat lalu, Tom tidak terlihat murung seperti ini. Justru ia menyambut Laura dengan senyuman manis dan hangat. Tom mendongak, sudut-sudut bibirnya mulai tertarik hingga menghasilkan senyum manis.
            “Kau mencariku?” Tanya Laura berbasa-basi. Meski sebenarnya ia tidak menyukai sikap basa-basi. Ia gadis yang kolerik. Tom mengangguk.
            “Ya, Patrick tidak bisa datang pagi ini karena istrinya akan melahirkan. Seharusnya pagi ini ia yang menyiapkan kopi untuk para klien bos kita. Apa kau tidak keberatan untuk membawanya ke ruang pertemuan di lantai 15?” Tom bertanya dengan hati-hati. Mengapa Tom menyuruh Laura sedangkan pria yang memanggil Laura tadi untuk bertemu dengan Tom itu ada? Mungkin ia mengepel toilet. Laura terdiam sejenak. Ia ingin melakukannya, namun ia juga ragu-ragu karena ia takut bila ia melakukan kesalahan. Bibir Laura yang tidak begitu tebal atau tipis itu terbuka, namun ia mengurungkan niatnya untuk berbicara. Jadi ia hanya mengangguk. Tom memerhatikan gerak-gerik Laura yang memiliki wajah keras yang tegas. Gadis ini sangat misterius. Laura baru berumur 22 tahun, masih banyak waktu untuk mencari pekerjaan lain. Tapi yang Tom tahu dari biodata Laura adalah gadis ini hanya lulus SMA. Tidak kuliah atau semacamnya. Hanya ada satu cela yang didapati Tom dari wajah Laura yang cantik. Salah satu alis matanya ada yang melengkung lebih ke atas dibanding yang lainnya.
            “Berapa kopi yang harus kubuat?”
            “Ini ada beberapa daftarnya. Mereka termasuk klien yang pemilih dalam hal kopi. Buatkan mereka kopi ini lalu bawa semuanya sebelum jam 10. Karena Mr. Herich akan sangat marah jika ia mengecewakan kliennya karena ketidak-profesionalanmu,”
            “Oh itu sangat menjelaskan semuanya,” Laura terkekeh mendengar nama Herich. Dia kaya –He Rich—itu tentu masuk akal. Bosnya tentu saja kaya. Tom melihat tingkah Laura yang santai itu dengan senyum penuh arti. Ia memberikan kertas itu pada Laura yang segera diambil oleh Laura. “Aku akan membuat kopi-kopi ini,”
            “Ya, tentu saja,” Tom menganggukkan kepalanya, tidak tahu apa yang harus ia katakan lagi pada Laura. Tom adalah pria yang kaku. Ia tidak pandai menarik perhatian wanita. Ketika Laura hilang dari pandangannya, ia memutuskan untuk mendekati wanita ini. Entahlah, ada sesuatu yang lembut dibanding wajahnya yang berkarakter keras itu. Ia sangat seksi, jika Tom boleh berkomentar tentang tubuhnya. Tapi sepertinya, bukan itu yang dicari oleh Tom –atau bahkan tidak pernah mencoba untuk menyentuh tubuh wanitanya sebelum pernikahannya—justru ia mencari wanita seperti Laura. Sopan, santai, dan tidak tampak terintimidasi. Tidak seperti wanita-wanita lain yang ia temui, mungkin pernah, Tom bertemu wanita yang sama seperti Laura. Tetapi ia tidak dapat menggapai wanita itu, yah, karena pekerjaan Tom yang menjadi pimpinan pesuruh kerja ini. Gaji yang didapatkan Tom tentu tidak akan bisa memuaskan wanita itu. Namun sepertinya Laura tidak. Sepertinya dia termasuk wanita yang sederhana. Huh, mata cokelat itu. Hangat sekali. Dan rambut yang dikepang, sejak kapan Tom mendapati wanita yang mengepang rambutnya selama bekerja? Melihat wanita itu seperti tidak ada beban yang menimpa Tom. Siapa tahu Laura memang wanita yang Tom cari-cari selama ini?

***

            Karyawan kantor di lantai 15 memerhatikan Laura dengan tatapan tidak suka. Gadis kampung! Pantas saja gayanya seperti itu. Rambut dikepang, dia pikir wanita itu cantik dengan kepangan rambut sialan itu? Tidak, sama sekali tidak. Itu menurut para karyawan wanita di lantai 15. Tidak dengan karyawan pria yang dari tadi tidak melepaskan tatapannya dari Laura. Mengapa wanita secantik itu bekerja menjadi pesuruh kantor? Sulit dipercaya. Laura masuk ke dalam ruang pertemuan dengan meja dorong –nampan—yang didorongnya. Belum ada siapa pun di ruangan sepi dengan tembok berkaca itu. Meja kayu cokelat panjang  itu tertata rapi dengan 12 kursi putar. 5 kursi saling berhadapan dan 2 berada di ujung-ujung meja. Tiap kursinya, ia dapat melihat nama-nama klien di atas meja. Oh, nama orang-orang yang memilih kopi mereka. Jadi Laura memutuskan untuk menaruh satu per satu kopi di atas meja.
            Laura keluar dari ruang pertemuan. Berjalan menuju salah satu karyawan yang meminta kopi. Oh ya ampun, bagus sekali. Tali sepatu Laura terlepas di tengah jalan. Mengapa sepatu ini memilih waktu yang tidak tepat? Laura menunduk, ia memeluk salah satu tiang meja berjalannya agar tidak kemana-mana lalu mengikat tali sepatunya. Mungkin lain kali Laura tidak akan menggunakan sepatu bertali lagi. Ini menyusahkannya. Laura menggumamkan kata kotor ketika seseorang menyenggol meja dorongnya hingga salah satu kopi tumpah ke bajunya. “Oh ini sangat bagus sekali.” Laura menggerutu, matanya melihat kaki yang melangkah dengan sepatu hitam mengkilap lalu ia berdiri. Mengapa pria itu tidak meminta maaf pada Laura? Sungguh sialan sekali. Pria itu jelas tidak mengetahui sopan santun. Namun Laura tidak ingin merusak hari pertamanya bekerja hanya karena tumpahan kopi di bajunya.
            “Lain kali hati-hati,” seorang pria berambut pirang tiba-tiba muncul di hadapannya. “Huh, kopiku jadi tumpah. Tapi tidak apa-apalah. Masih ada sisa,” lanjut pria itu mengambil secangkir kopi yang tumpah tadi. Laura hanya diam di tempatnya, memerhatikan pria yang meminum kopi sisa itu.
            “Terima kasih sudah mau menghargaiku,” ucap Laura tanpa malu-malu. “Kau tahu siapa tadi menyenggol Betty-ku?” Tanya Laura masih kesal dengan perlakuan pria bersepatu mengkilap tadi.
            “Betty? Oh, itu sangat konyol,” komentar pria itu terkekeh. “Pria tadi? Aku sangat yakin kau tidak ingin memarahi pria tadi. Dia penguasa di kantor ini,”
            “Mr. Herich?” Tanya Laura tanpa mengecilkan volume suaranya. Namun tidak ada yang mendengar, lantai 15 ini dipenuhi oleh suara ketikan jari-jari pada keyboard. Pria berambut pirang itu mengangguk. “Aku Laura, kau?”
            “Niall, senang bertemu denganmu, Laura. Lain kali hati-hati. Dan kopinya enak, sayang sedikit. Sampai bertemu lagi,” ujar pria bernama Niall itu pergi dari hadapan Laura. Oke, ia baru mendapatkan satu kenalan. Tidak, tidak, tidak. Dua orang. Tom dan Niall. Mr. Herich tidak termasuk. Ia orang pertama yang membuat Laura kesal di hari pertama. Sudah menyenggol, tidak meminta maaf, dan terlebih lagi, ia memamerkan sepatu mengkilapnya pada Laura. Jika dia bukan bos Laura, sudah pasti ia akan memukul kepala itu dengan nampan. Atau jika Laura cukup kuat ia akan mengangkat meja dorong itu lalu melemparnya pada Mr. Herich. Tetapi semua niatan jahat itu pupus ketika Niall muncul. Terima kasih Niall.

***

            “Belum pulang?” Tanya Tom ketika ia memeriksa dapur. Ia melihat Laura masih terduduk di salah satu kursi dengan secangkir teh di atas meja. Laura mendongak, hatinya kembali berdebar-debar, lalu ia menggelengkan kepalanya. Belum. Sekalipun ia pulang nanti, mungkin makian akan menempel di depan pintu rumahnya agar ia membayar tagihan rumah. Tom mendekati Laura dan lalu duduk berhadapan. “Mengapa?”
            “Huh, aku tidak tahu. Mungkin kita baru bertemu 2 hari, tapi aku tidak memiliki teman. Kupikir aku adalah temanmu. Jadi, apakah aku boleh bercerita padamu?” Pertanyaan Laura jelas menjadi lampu hijau bagi Tom untuk mendekati Laura. Tentu saja Tom ingin berteman dengan Laura. Jadi Tom mengangguk. Laura lalu mendesah. “Sebentar lagi aku tidak akan memiliki rumah. Aku harus membayar uang sewa rumahku. Entahlah, aku tidak memiliki teman wanita. Aku tidak pernah bisa cocok dengan wanita, berteman, aku bertumbuh seperti laki-laki. Teman laki-lakiku sudah pergi ke Kanada mengurus bisnisnya,”
            “Orangtuamu? Dimana mereka?” Tanya Tom. Laura tertawa sinis. Orangtua? Ayahnya meninggal, ibunya? Dia meninggalkan Laura di rumah sewa neneknya –yang sekarang menjadi rumah Laura—pergi bersama dengan seorang pria kaya yang katanya akan menjadi ayah Laura. Namun tentu saja, Laura tidak mau. Ia jijik. “Maaf,” bisik Tom.
            “Tidak. Tidak apa-apa. Ayahku meninggal dan ibuku meninggalkanku demi kekayaan. Jadi, yah, kau bisa menyimpulkan bahwa aku sebatang kara di dunia ini. Nenekku meninggal sebulan yang lalu. Rumah sewa ini tidak dapat kupertahankan. Jadi, apa yang harus kulakukan?” Laura bertanya, kali ini menatap Tom, kedua alisnya bertaut.
            “Tinggal bersamaku. Tidak apa-apa. Aku tahu ini gila, tapi percaya padaku, aku memiliki adik di rumah dan ia ingin sekali memiliki kakak perempuan. Mungkin kalian akan sangat cocok menjadi adik kakak. Dan aku tidak akan menyentuhmu. Lagipula, aku masih memiliki satu kamar lagi untukmu. Bagaimana?” Tanya Tom tanpa ragu-ragu. Kedua alis Laura yang awalnya bertaut, tiba-tiba terangkat. Yang benar saja! Mengapa Tom menawarkannya tanpa ragu-ragu? Tom bukan pria jahat, sepertinya. Tidak dengan Alkitab kecil yang ia bawa tadi pagi. Ya, Laura melihat Alkitab kecil di atas meja Tom. Dia pria baik-baik. Sekalipun Laura tinggal di rumah Tom, tiap paginya, tentu akan menjadi canggung. Laura menggeleng, tidak enak hati.
            “Terima kasih, tapi tidak. Aku tidak bisa menerima tawaranmu, apa yang akan dikatakan oleh karyawan lain?” Tanya Laura ragu.
            “Aku tidak peduli dengan apa yang dikatakan mereka. Lagipula, aku hanya ingin membantumu. Terlebih lagi, aku yakin kau adalah wanita baik-baik. Jadi mengapa tidak?” Tanya Tom. Mungkinkah Laura dapat menerima tawaran ini? Tapi ini memang tawaran yang sangat bagus dan tidak berbahaya.
            “Baiklah, tapi sampai aku mendapatkan apartemen saja, oke?” Ini sempurna! Senyum Tom menyentuh matanya. Ternyata tidak sesulit yang Tom kira.

***

LAURA

            Satu minggu tinggal di rumah Tom sangatlah menyenangkan. Jimmy, adik dari Tom, sangatlah ramah. Ia senang akan kedatanganku. Tiap pagi aku menyiapkan mereka sarapan. Tom mengantar Jimmy berangkat sekolah sedangkan aku akan merapikan diriku untuk pergi bekerja. Hari-hari tinggal di rumah Tom sangatlah menyenangkan. Satu minggu lebih berteman dengan Tom ternyata memang suatu anugerah. Harus kuakui kalau aku memiliki perasaan pada Tom. Ia perhatian dan sepertinya ia juga memiliki perasaan yang sama denganku. Jimmy mengajariku bermain gitar akhir-akhir ini. Dia anak yang cerdas! Aku menyukainya. Di umurnya yang keenam belas ini, ia menyibukkan diri untuk konser bersama dengan band yang ia buat di sekolahnya. Tetapi selama satu minggu ini, aku tidak melihat ayah atau ibu Tom. Mereka sepertinya tidak dekat dengan orangtuanya. Namun aku hanya melihat foto ibu Tom. Tidak ayahnya. Foto itu terpajang di atas rak buku, sedang tersenyum, memakai pakaian yang bermotif bunga-bunga. Wajah ibunya terlihat lemah dan lembut, dan tentu saja cantik.
            Nyaliku terlalu kecil untuk bertanya dimana ayah mereka berada. Jadi aku hanya diam. Minggu ini aku mendapat tugas siang sampai malam. Biasanya pagi sampai sore. Tapi ini minggu yang lain. Kata Tom, atasan kami, akan kedatangan klien penting. Jadi aku harus membuat kopi terenak sore ini. Lima cangkir kopi telah siap untuk diluncurkan ke lantai 15. Niall semakin hari semakin dekat denganku, aku masih mengingat pertemuan pertama kami yang tidak akan kulupakan. Sore ini ia tidak meminta kopi padaku. Baguslah. Aku mendorong masuk meja dorongku ke dalam lift. Ada dua orang karyawan di dalamnya. Salah satunya wanita yang menatapku sinis. Sebelumnya, aku tidak pernah bertemu dengan wanita ini. Apa masalahnya? Sepertinya ia juga bukan salah satu karyawan di sini. Karena ia tidak memiliki tanda pengenal yang seharusnya menggantung di lehernya seperti karyawan pria di belakangnya. Pintu lift terbuka ketika kami telah mencapai lantai 15. Baru saja aku ingin mendorong mejaku, tiba-tiba wanita itu berjalan keluar, hampir saja sudut mejaku tidak menyodok pinggulnya! Meski aku berharap agar ia tersodok sudut mejaku. Lalu aku keluar dari lift. Ia berjalan menuju salah satu ruangan. Ruangan Mr. Herich. Namun aku masuk ke ruangan lain, ruang pertemuan. Satu per satu aku menaruh kopi di atasnya.
            “Jangan sekarang, Jasmine!” Bentak seorang pria dari luar. Wanita itu sepertinya malu dengan perlakuan pria itu, jadi aku hanya mendengar suara dengusan dan langkahan yang menjauh dari ruang pertemuan. Seseorang masuk ke ruang pertemuan, mataku dapat melihat sepatu mengilap satu minggu yang lalu itu. Sepatu sialan itu. Atau lebih tepatnya, pemilik sepatu sialan itu. Aku melihatnya dari bawah lalu sampai atas. Setelan berwarna hitam menutupi tubuhnya. Mr. Herich! Baru kali ini aku melihatnya begitu dekat. Ternyata dia tampan juga. Matanya berwarna cokelat madu gelap. Tulang pipinya terlihat. Namun ketampanan dewa Yunani yang turun atasnya seperti terangkat kembali karena ia menyenggol Betty-ku dan tidak meminta maaf.
            “Apa semuanya sudah siap?” Tanyanya padaku. Ia bertanya padaku! Aku seketika kaku. Ternyata efek suaranya yang berat dan mendominasi itu membuat seluruh bulu romaku meremang. Kuanggukkan kepalaku. “Kau baru di sini? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya,” ujarnya. Apa?, aku menjerit dalam hati. Ia tidak pernah melihatku sebelumnya? Jadi, yang menyenggol Betty-ku itu siapa? Setan? Aku ingin sekali menyiram pria ini dengan kopi panas.
            “Ya, aku Laura,” ujarku.
            “Aku tidak bertanya siapa namamu. Sejak kapan kau bekerja di sini?” Tanyanya dingin. Sialan! Mengapa ia sangat arogan? Tangan ini rasanya gatal ingin memukulnya. Ayahku mengajarkan bagaimana memukul pria yang berusaha menyerangmu atau berusaha memperkosamu, jadi sampai sekarang, aku masih perawan. Dan itu juga termasuk tambahan nilai karena aku bisa memukul Mr. Herich.
            “Satu minggu yang lalu,” jawabku. Lalu Justin mendekatiku.
            “Jangan mengepang rambutmu. Aku tidak suka melihatnya,” ujarnya. Aku terkejut. Tentu saja. Mengapa ia harus protes? Aku tidak akan melakukan apa pun agar ia merasa senang, kecuali pekerjaanku di kantor ini. Tapi rambut? Apa masalahnya? “Kau terlihat konyol dengan rambut kepanganmu itu,”
            “Tentu,” tapi aku melakukannya. Aku mendesah dalam hati. Perlahan-lahan aku menarik ikatan rambutku dan menyisir rambutku dengan jari-jari tangan sehingga kepanganku sekarang hancur. Rambut tergerai bukanlah kesukaanku. “Jika boleh, aku permisi keluar, Mr. Herich,” ucapku sesopan mungkin. Ia tidak mengatakan apa pun, namun ia menghalangi jalanku. Namun matanya terus memerhatikanku. Tidak mengintimidasi. Aku sudah terbiasa dengan tatapan itu. Memang tiap atasan yang kutemui selalu sama. Tatapan kejam, dingin, sok. Rasanya ingin sekali aku mencungkil matanya sekarang. Tetapi ia terlalu tampan untuk kurusak wajahnya. Pasti sudah banyak gadis yang ia tiduri. Aku merinding, merasa jijik dengan pria yang selalu memainkan tubuh wanita dengan sembarangan.
            “Mengapa Thomas menerimamu di perusahaanku?” Tanyanya tampak bingung.
            “Karena aku pekerja keras, Mr. Herich,”
            “Well, kita lihat saja satu bulan ini bagaimana perkembanganmu di perusahaanku. Sekarang pergilah,” perintahnya. Ia menyingkir dari jalanku, lalu aku mulai mendorong mejaku. “Hah, rambut kepang yang konyol.” Ujarnya menghinaku ketika aku keluar dari ruang pertemuan. Demi Tuhan aku berharap ia jatuh dari lantai 30 ke bawah! Aku memejamkan mataku, berusaha untuk menahan amarahku. Tidak boleh, malam nanti kau akan kencan. Jadikan harimu menyenangkan, Laura!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar