JUSTIN
HERICH
Hari
ini tidak ada hal yang membuatku terkesan. Mungkin hanya perjanjianku bekerja
sama dengan perusahaan lain. Seharusnya aku tidak memikirkan tentang pesuruh
kantorku yang bernama Laura tadi. Ia tampaknya memang tidak tahu sopan santun.
Sejak kapan aku memiliki pesuruh kantor yang mengepang rambutnya? Kebingunganku
adalah mengapa Thomas menerima wanita secantik Laura bekerja sebagai pesuruh
kantor? Lucu saja. Wajah Laura yang keras itu tidak mendukung pekerjaannya.
Tidak cocok. Ia memiliki alis mata yang tidak sama. Namun dari wajahnya, yang
paling kusukai ialah bibirnya yang seksi itu. Entahlah, tidak tebal atau tipis.
Dan aku sangat yakin, dibalik seragam yang ia pakai, ia memiliki tubuh yang
seksi. Untuk pertama kalinya, aku memuja seorang pesuruh kantor yang sudah
jelas, dunia kita berbeda. Tidak seharusnya Laura berada di pikiranku sekarang.
Seharusnya Jasmine. Ah, Jasmine. Ia selalu bertingkah seperti anak kecil. Ia
datang ke kantorku tidak tepat waktu. Sekarang aku sangat yakin, Jasmine sedang
berada di rumahku.
Aku
memutar musik Bach melalui radio yang berada di belakang kursi putarku. Aku
senang mendengar musik mengalun lamban ini, seperti, sangat damai. Begitu
banyak masalah akhir-akhir ini. Dan hanya malam ini aku dapat menikmati
waktu-waktuku yang padat. Well, aku butuh seorang wanita untuk berdansa
bersamaku. Kupejamkan mataku, menyandar pada kursiku, lalu berimajinasi. Bukan
tentang keluarga. Meski umur sudah menginjak 30 tahun, bukan berarti aku
menginginkan atau membangun sebuah keluarga. Tapi liburan. Ya, di Bahama.
Pantai. Semacamnya. Musik yang kudengar tiba-tiba saja rusak akibat ketukan
pintu. Siapa pun yang muncul nanti, aku akan memecatnya! Aku menggumam
menyuruhnya masuk ke dalam. Niatku ingin memecat pegawaiku kuurung karena yang
muncul ialah Laura. Ia menggerai rambutnya yang tidak begitu panjang. Hanya
sampai tulang punggung rambutnya. Laura berusaha untuk tidak melihatku. Namun
aku menatapnya dengan tatapan tajam. Biasanya ini berhasil untuk melunakkan
hati seorang wanita. Setelah ia menaruh secangkir kopi yang kupesan ke atas
meja kerjaku, ia mendongak, menatapku.
“Mr.
Herich,” ucapnya dengan sopan, kali ini.
“Tunggu,”
aku menahannya. Ia tetap berada di tempatnya lalu aku berdiri, ia mulai mundur
satu langkah. “Aku tidak akan menyakitimu, hanya temani aku sebentar. Mau
berdansa?” Tawarku seduktif. Aku menekan tombol kunci di remote kontrolku untuk
mengunci pintu ruang kerja. Laura terkesiap. Nah, aku senang melihat wanita
terkejut seperti ini. Ia mundur beberapa langkah, menutupi dadanya dengan
nampan yang ia pegang.
“Apa
yang akan kaulakukan?” Tanyanya, bergetar. Ia ketakutan. Well, sebenarnya, aku
tidak berniat untuk menakutinya. Kakiku melangkah mendekatinya, ia semakin
mundur sampai akhirnya buntu. Ia tidak bisa keluar dari ruanganku karena aku
baru saja menguncinya. “Aku memiliki nampan ini, Mr. Herich! Apa yang
kaulakukan?” Jeritnya panik. Ada apa dengannya? Mengapa ia terlihat begitu
ketakutan? Ia mulai mengangkat nampannya, bersiap untuk memukulku dengan itu.
Oh, sebaiknya ia tidak melakukan itu.
“Aku
hanya ingin berdansa denganmu. Tidak lebih. Ada apa denganmu? Turunkan nampan
itu, dan berdansalah denganku,” rayuku menggunakan suara seksi yang mematikan.
Dadanya naik-turun tak beraturan, seolah-olah ia phobia dikepung seperti ini. Tangannya
bergetar dan menjatuhkan nampan itu. “Nah, begitu lebih baik. Ayo,” ajakku
menarik tangannya untuk ke tengah-tengah ruang kerjaku. Sekalipun Laura
menjerit sampai pita suaranya putus, orang di luar sana tidak akan dapat
mendengarnya karena ruanganku kedap suara. Jadi, yah, sayang sekali Laura.
“Tidak,”
ia menarik tangannya dari genggamanku. “Tidak, Mr. Herich! Kumohon, biarkan aku
keluar. Aku harus pergi bersama dengan Thomas. Kita harus pulang. Kumohon?”
Sungutnya menelan ludah begitu susah. Punggungnya kembali menyentuh pintu
ruanganku. Dari luar orang-orang tidak akan melihatku, namun dari dalam aku
bisa melihat apa yang sedang mereka kerjakan. Yah, benar sekali. Cermin tembus
pandang dari dalam. Wajahnya ketakutan dan memerah, namun aku bisa melihat
kepalan tangannya yang membuat urat-urat di tangannya tercetak indah.
“Aku
tidak akan menyakitimu,”
“Sekalipun
itu!” Bentaknya, tidak mau kusentuh. Aku terkejut dengan bentakannya. Dia
berani dan aku suka. Biasanya wanita-wanita lain lemah. Tetapi ia memberikanku
sedikit tantangan yang tidak begitu sulit. Apa yang bisa ia lakukan? Memukulku?
“Aku minta maaf, Mr. Herich. Tetapi aku sangat tidak ingin berdansa denganmu.
Aku juga tidak bisa berdansa dan tidak, aku tidak ingin menerima pelajaran berdansa
denganmu. Terima kasih,” ujarnya segera meminta maaf. Aku mengerti. Aku
mengerti apa yang ia rasakan sekarang, dulu, aku pernah merasakannya ketika aku
masih remaja dan dipaksa untuk mengisap alat vital seorang laki-laki gay. Tapi
untungnya, aku tidak jadi melakukan itu. Aku memejamkan mataku sesaat dan
membalikkan tubuhku, mendekati meja kerjaku lalu menekan tombol buka kunci. Dengan segera tangannya mengambil nampannya
yang jatuh itu.
“Oh,
Tuhan, terima kasih,” bisiknya mendesah, merasa sangat lega. “Aku pergi, Mr.
Herich,” lanjut Laura membuka pintu ruang kerjaku, pergi dari hadapanku. Lalu
ia menutup pintu dan menghilang. Tidak, aku tidak melihat Laura melalui cermin
tembus pandang. Ini sangat menyedihkan. Sesuatu yang sangat ingin kulakukan tidak
terjadi karena penolakan pertama dari wanita. Dia cukup sulit dari apa yang
kukira. Kupikir ia wanita yang mudah diambil hatinya Ternyata, urat-urat itu
membuatku tidak ingin ia tersakiti olehku sendiri. Kemudian, perkataannya
tentang Thomas membentur kepalaku. Apa? Hubungan apa yang mereka miliki? Kakiku
membawa tubuhku menuju salah satu sisi kaca ruang kerjaku yang besar. Melihat
parkiran di bagian luar. Tidak perlu waktu lama, aku melihat dua orang yang
terlihat seperti semut dari atas sini berjalan menuju salah satu motor jelek.
Dan aku sangat yakin mereka adalah Thomas dan Laura. Apa mereka berpacaran?
Entah mengapa rasanya aku ingin mengambil Laura dari Thomas dengan cara yang
kupikir cukup adil.
Thomas
memiliki hutang beribu-ribu dolar di perusahaanku, mengapa aku tidak mengambil
Laura sebagai gantinya? Yeah, cukup adil.
***
LAURA
HARE
Tidak
jadi. Semua ini karena Mr. Herich. Seharusnya malam ini aku kencan bersama
dengan Tom, tapi karena pesanan kopi dari Mr. Herich membuat waktuku dan Tom
semakin menipis untuk mencapai restoran yang akan kami datangi. Tom meminta
maaf padaku karena kami tidak jadi makan malam di luar, ia mengecup pipiku
ketika aku melepaskan helm yang kupakai. Pipiku bersemu merah, malu-malu aku
melangkah menuju rumahnya yang tak terkunci. Jimmy sedang bermain dengan
gitarnya di atas sofa ruang tamu. Sepertinya ia akan membuat lagu untuk
bandnya. Jimmy mendongak. Well, Jimmy memang tampan. Rambutnya sedikit pirang
dan matanya berwarna hijau, sama seperti yang ibunya miliki. Mata hijau untuk
para lelaki sangatlah langka dan Jimmy beruntung memilikinya.
“Hei,
Jimmy,” sapaku. “Kau sudah makan?”
“Yeah,
aku sudah makan di rumah temanku. Dimana Tom?” Tanyanya. Aku hanya menunjuk ibu
jariku ke belakang dan pintu rumah terbuka. Tom masuk. “Tadi ada seseorang
datang ke rumah dan memberikan surat ini untukmu. Entahlah, aku tidak mengenal
pria itu tapi sepertinya surat ini memang untukmu,” Jimmy menyodorkan sebuah
amplop berwarna putih yang segera diambil oleh Tom. Dengan kasar tanpa
perasaan, Tom merobek amplop itu dan mengeluarkan isinya. Matanya membaca kata
demi kata yang tertulis di sana. Ekspresi wajahnya biasa saja. Datar. Saat ia
membaca kata paling bawah, kedua alisnya bertaut. Ada apa? “Ada apa Tom?” Tanya
Jimmy ikutan bingung melihat kakaknya.
“Ini
dari perusahaan. Mereka menagih hutang-hutangku. Oh sial. Aku sedang tidak
memiliki uang. Dan batas waktunya hanya satu minggu. Sialan!” Serunya menendang
rak bukunya. Bingkai foto ibunya terjatuh namun dengan segera aku menangkapnya.
“Tangkapan
yang bagus,” komentar Jimmy. Aku hanya menangkat kedua bahuku, tidak ingin
menyombongkan diri di saat yang tidak tepat. Tom tidak pernah semarah ini. Dan
hutang apa? Memang selama ini ia berhutang? “Baiklah, aku akan tidur. Selamat
malam kalian berdua,” Jimmy beranjak dari sofa, mengambil barang-barangnya lalu
berjalan menuju kamarnya. Aku masih berada di tempatku, memerhatikan Tom yang
menundukkan kepalanya, pasrah. Tom berjalan lesu menuju sofa, lalu melemparkan
tubuhnya ke sana.
“Tom,
kau bisa menceritakannya padaku,” bisikku menaruh tas ranselku ke lantai lalu
duduk di salah satu sofa. “Ada apa?” Tom mendesah, menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Ini
sangat memalukan. Aku berhutang! Di perusahaan kita. Beribu-ribu dolar untuk
menutupi hutang ayahku yang selalu berjudi dan kalah,” akhirnya ia membicarakan
tentang ayahnya. Pantas ia tidak memajang foto ayahnya, aku bisa mendengar nada
kebencian di suaranya. “Tiap kali ia datang mengunjungi aku dan adikku, ia
tidak pernah memberikan kami apa pun kecuali memberikan beban yang lebih berat.
Aku sudah bilang padanya berkali-kali untuk tidak melakukan judi lagi, tapi ia…
ia tidak bisa menahannya. Dan surat perusahaan sudah diberikan agar aku
melunasi hutangku seluruhnya dalam satu minggu. Bagaimana mungkin?” Ia berseru
penuh kesal. Aku berpindah tempat, duduk di sebelahnya. Tidak, aku tidak bisa
melihat Tom marah seperti ini. Aku tahu, aku tidak dapat melakukan apa pun
karena akupun orang susah yang tentu saja tidak dapat membantunya. Kupeluk
lengannya yang besar, mengangkat kedua kakiku ke atas sofa lalu bersandar di
dadanya.
“Aku
tahu bagaimana perasaanmu. Memang sangat berat. Dan aku tahu, aku membantu
ayahmu karena kau mencintainya. Kau tidak ingin ia mati karena dipukul oleh
para penagih hutang. Tetapi terkadang kau hanya harus memberikannya dua kali
kesempatan lalu meninggalkannya. Sulitnya adalah ia ayahmu dan tentu saja, kau
sebagai anaknya harus membalas budi apa yang telah ia berikan untukmu,”
“Ibuku
meninggal karenanya. Ia pemabuk, perokok, dan suka bermain dengan pelacur.
Ibuku terkena serangan jantung karena perbuatannya. Jadi, membalas budi? Hadiah
natal yang kudapatkan hanya dari ibu, ayahku? Di hari natal saja ia pergi
bersama dengan wanita lain. Jadi, tidak, aku tidak mencintainya.,” bantah Tom
menggeleng-gelengkan kepalanya. Baiklah, aku memang tidak pandai berbicara.
Jadi aku hanya diam. Memeluk lengannya dengan erat. Hening mulai masuk ke dalam
ruangan kami setelah suara kami yang ribut mengisi ruangan. Tangan Tom mulai
meraup tubuhku sehingga akhirnya kami berpelukan.
“Aku
mencintaimu,” bisiknya. “Bagaimana denganmu?” Tanyanya tanpa malu-malu. Tidak
romantis, aku menyukainya. Entah apa yang harus kukatakan, namun aku hanya
terdiam. “Tidak? Kau tidak memiliki perasaan yang sama?” Sebenarnya, sudah
berhari-hari aku berharap Tom mengatakan hal seperti itu padaku. Waktu bersama kami
benar-benar membuat kami selalu bertemu. Well, kautahulah, karena kebersamaan,
cinta bisa bertumbuh.
“Mungkin,”
bisikku, menjawabnya.
“Mungkin?
Mungkin itu bukan jawaban yang pasti. Ya atau tidak?” Tanyanya, menuntut.
“Ya,”
bisikku masuk ke dalam ketiaknya, malu-malu. Tidak akan tidak akan menatap
wajahnya sekarang. Ini terlalu memalukan! Namun Tom tidak menarikku keluar dari
ketiaknya, ia diam. Kudengar suara senyumannya.
“Well,
aku mencintaimu, kau tahu. Bagiku kau berbeda. Keras namun sebenarnya lembut.
Cantik pula. Dan nilai tambahnya, kau memiliki perasaan yang sama denganku.
Mungkin memang, kita baru berkenalan selama seminggu lebih, namun kita masih
memiliki waktu untuk saling mengenal satu sama lain bukan?” Tanyanya. Aku hanya
mengangguk di bawah ketiaknya. Ia tertawa. “Huh, aku bersyukur karena aku
menemukanmu. Seperti sekarang, kau yang paling bisa menenangkanku di saat aku
tertimpa masalah. Wah, Laura Gretchen Hare, kurasa aku memang jatuh cinta
padamu.”
AUTHOR
Tiap
kali Laura membuka matanya di pagi hari, pikiran pertama yang memasuki
pikirannya ialah Tom. Yeah, mereka telah menjadi sepasang kekasih. Laura
membantu Tom untuk membayar hutang-hutang Tom di perusahaan menjadi pengantar
surat kabar di pagi hari. Ia dibayar per hari. Meski satu minggu memang tidak
cukup untuk mengumpulkan uang sebanyak 95.000 dolar. Besok adalah hari terakhir
yang dimiliki Tom untuk membayar hutangnya. Uang yang mereka kumpulkan bahkan
baru mencapai 2000 dolar. Itu juga sudah dibantu oleh Jimmy yang mendapatkan
uang dari hasil bandnya. Sangat jauh. Jadi, apa pun yang akan dilakukan oleh
penagih hutang itu pada Tom, Tom akan menerimanya. Justin Herich, atasan
mereka, terus mendekati Laura. Tiap hari, ia selalu menyuruh Laura untuk
membawanya secangkir kopi atau teh. Atau bahkan susu. Dan mereka akan melakukan
percakapan kecil yang kadang membuat Laura jengkel. Apalagi ketika kekasih
Justin datang ke kantornya dan mendapati Justin sedang berbicara dengan Laura,
Laura selalu mendapatkan tatapan sinis darinya. Namanya Jasmine, Laura baru
tahu kemarin dari Tom. Malam ini tampak sangat sederhana. Sebuah musik di radio
terputar mengisi ruang tamu. Jimmy sudah tertidur di kamarnya. Tom sedang
membaca buku dan Laura sedang memandang Tom yang sangat tampan di atas sofa.
Musik di radio sedang memutarkan lagu lamban. Diam-diam Laura memiliki niat
untuk mengganggu Tom. Ia bangkit dari sofa lalu menarik Tom yang sedang asyik
membaca buku dari sofa juga. “Ayo berdansa denganku,” pinta Laura. Laura tahu
ini gila karena ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya berdansa. Tom diam
saja, ia menerima ajakan Laura. Tangannya ia tempatkan di pinggul Laura dan
Laura menempatkan kedua tangannya di bahu Tom. Musik mengalun dengan lembut,
memberikan suasana romantis yang seharusnya membuat Laura muak mendengarnya.
“Hanya
dua orang yang kucintai di dunia ini. Kau dan Jimmy. Huh, terkadang aku takut
kehilangan kalian berdua. Apalagi jika Jimmy belum pulang sebelum kita, rasanya
bakal ada sesuatu yang buruk terjadi padanya. Tapi hal yang membuatku lebih
sedih adalah saat kau sedang marah Tom. Aku tidak senang melihatmu murung dan
marah. Itu seperti merusak duniaku juga. Oh ya ampun, entah mengapa perasaan
ini semakin dalam padamu,” ujar Laura segera memeluk Tom. Laura menempatkan
pipinya di atas bahu Tom. Lengan Tom yang melingkar itu semakin mengerat di
pinggang Laura.
“Aku
tahu,” bisik Tom. Ya, inilah Tom. Ia pria yang benar-benar kaku pada seorang
wanita. Namun Laura memakluminya. Tom bukan seorang lelaki yang bisa
menunjukkan cintanya melalui kata-kata, tapi aksi. “Hal yang paling menakutkan
bagiku adalah menyakiti hatimu. Tapi aku tidak akan pernah menyakitimu.”
Kata-kata itu benar-benar terpendam di hati Laura. Laura menyimpannya, tanpa
suara, tidak memberitahu siapa pun. Dan mereka hanyut dalam dansa malam yang
nyaman.
***
Hari
Minggu. Tom, Laura dan Jimmy baru saja pulang dari gereja. Mereka baru saja
mengganti pakaian mereka yang rapi menjadi pakaian rumah. Hari ini termasuk
hari yang ditakuti Tom. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan penagih hutang.
Mereka sedang makan siang di ruang makan. Berbicara hal-hal yang ringan. Jimmy
sekarang memiliki janggut samar-samar, membuat Laura terus mengejeknya.
“Kuharap
Betty baik-baik saja di kantor. Meja dorong itu selalu membantuku. Tiap saat.
Tidak boleh ada yang menyakitinya,” ujar Laura tiba-tiba. Keadaan menjadi canggung
tetapi tidak berlangsung lama, ketukan pintu membuat Tom siap siaga berdiri
dari tempatnya. “Pasti penagih hutang,”
“Yeah,
tunggu di sini,” perintah Tom berjalan keluar dari ruang makan. Ia menghilang
dari pandangan Laura dan Jimmy. Dan lalu Laura dan Jimmy saling berpandangan.
Suara bentakan dari luar membuat Laura terpaksa harus berdiri, menjatuhkan
garpu dan pisau yang ia pegang. “Tetap di sini.” Jimmy hanya mengangguk. Kemudian Laura
berjalan keluar dari dapur, matanya terbelalak ketika ia melihat Tom yang
diangkat oleh salah satu penagih hutang. Ada empat orang.
“Laura,
menjauh!” Perintah Tom. Namun aku malah mendekatinya, memberikan tatapan benci
pada penagih hutang itu. Dan tiba-tiba saja salah satu penagih hutang yang
terdiam di tempatnya itu menarik tanganku, memeluk tubuhku erat, dan aku
menjerit. “Laura! Tidak! Jangan sakiti dia! Jangan sakiti dia!” Tom berusaha
untuk lepas dari penagih hutang yang memegang bajunya.
“Mr.
Herich menyuruh kami untuk mengambilnya sebagai pengganti hutangmu, sialan!
Jadi diam! Dia disakiti atau tidak, itu adalah urusan Mr. Herich!”
“Tidak!
Lepaskan kekasihku!” Bentak Tom menarik tangannya dari penagih hutang itu dan
berusaha untuk menolong Laura. Laura terus meronta-ronta, menjerit, meminta
lepas! “Laura! Tidak!”
“Tom!
Tolong aku!” Kali ini Laura menangis. Kekuatan Laura tentu kalah telak dengan
kekuatan penagih hutang yang menahan kedua tangannya kali ini. Air mata mulai
mengalir membasahi pipi Laura. “Tidak, lepaskan aku! Tom!” Laura terus diseret
keluar dari rumah Tom. Jimmy berusaha membantu, namun ia sudah ditahan oleh penagih
hutang yang lain. Sisa satu yang belum melakukan tugasnya, entah apa yang ia
akan lakukan. Penagih hutang yang memiliki kulit putih itu –yang lain berkulit
hitam—mendekati Tom yang ditahan, kedua tangannya berada di belakang
punggungnya masih dipegang penagih hutang berkulit hitam itu. Laura beteriak
ketika Tom ditinju oleh pria berkulit putih itu. Berkali-kali.
“Tidak,
berhenti! Kau bajingan sialan! Tidak, Tom! Tidak!” Jeritan Laura sama sekali
tidak diindahkan oleh para penagih hutang. “Laura,” desah Tom yang wajahnya
sudah babak belur. Berdarah. Basah. Basah karena darah. “Berhenti! Aku akan
ikut dengan kalian, tapi kumohon, jangan sakiti dia! Jangan, berhenti!” Pinta
Laura memohon. Ia berusaha untuk menelan ludahnya. Ingusnya membasahi bibir
atasnya.
“Tidak,
Laura,” Tom berusaha untuk berbicara namun sungguh, wajahnya penuh darah.
“Aku
akan ikut dengan kalian.” Itulah keputusan Laura. “Aku mencintaimu, Tom.” Tom
dilepaskan oleh mereka, begitu juga Jimmy. Lalu membawa Laura menuju bos
mereka.
Bos
sialan itu. Justin Herich, si licik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar