Rabu, 18 Desember 2013

A Beautiful Nightmare Bab 2




JUSTIN HERICH

            Hari ini tidak ada hal yang membuatku terkesan. Mungkin hanya perjanjianku bekerja sama dengan perusahaan lain. Seharusnya aku tidak memikirkan tentang pesuruh kantorku yang bernama Laura tadi. Ia tampaknya memang tidak tahu sopan santun. Sejak kapan aku memiliki pesuruh kantor yang mengepang rambutnya? Kebingunganku adalah mengapa Thomas menerima wanita secantik Laura bekerja sebagai pesuruh kantor? Lucu saja. Wajah Laura yang keras itu tidak mendukung pekerjaannya. Tidak cocok. Ia memiliki alis mata yang tidak sama. Namun dari wajahnya, yang paling kusukai ialah bibirnya yang seksi itu. Entahlah, tidak tebal atau tipis. Dan aku sangat yakin, dibalik seragam yang ia pakai, ia memiliki tubuh yang seksi. Untuk pertama kalinya, aku memuja seorang pesuruh kantor yang sudah jelas, dunia kita berbeda. Tidak seharusnya Laura berada di pikiranku sekarang. Seharusnya Jasmine. Ah, Jasmine. Ia selalu bertingkah seperti anak kecil. Ia datang ke kantorku tidak tepat waktu. Sekarang aku sangat yakin, Jasmine sedang berada di rumahku.
            Aku memutar musik Bach melalui radio yang berada di belakang kursi putarku. Aku senang mendengar musik mengalun lamban ini, seperti, sangat damai. Begitu banyak masalah akhir-akhir ini. Dan hanya malam ini aku dapat menikmati waktu-waktuku yang padat. Well, aku butuh seorang wanita untuk berdansa bersamaku. Kupejamkan mataku, menyandar pada kursiku, lalu berimajinasi. Bukan tentang keluarga. Meski umur sudah menginjak 30 tahun, bukan berarti aku menginginkan atau membangun sebuah keluarga. Tapi liburan. Ya, di Bahama. Pantai. Semacamnya. Musik yang kudengar tiba-tiba saja rusak akibat ketukan pintu. Siapa pun yang muncul nanti, aku akan memecatnya! Aku menggumam menyuruhnya masuk ke dalam. Niatku ingin memecat pegawaiku kuurung karena yang muncul ialah Laura. Ia menggerai rambutnya yang tidak begitu panjang. Hanya sampai tulang punggung rambutnya. Laura berusaha untuk tidak melihatku. Namun aku menatapnya dengan tatapan tajam. Biasanya ini berhasil untuk melunakkan hati seorang wanita. Setelah ia menaruh secangkir kopi yang kupesan ke atas meja kerjaku, ia mendongak, menatapku.
            “Mr. Herich,” ucapnya dengan sopan, kali ini.
            “Tunggu,” aku menahannya. Ia tetap berada di tempatnya lalu aku berdiri, ia mulai mundur satu langkah. “Aku tidak akan menyakitimu, hanya temani aku sebentar. Mau berdansa?” Tawarku seduktif. Aku menekan tombol kunci di remote kontrolku untuk mengunci pintu ruang kerja. Laura terkesiap. Nah, aku senang melihat wanita terkejut seperti ini. Ia mundur beberapa langkah, menutupi dadanya dengan nampan yang ia pegang.
            “Apa yang akan kaulakukan?” Tanyanya, bergetar. Ia ketakutan. Well, sebenarnya, aku tidak berniat untuk menakutinya. Kakiku melangkah mendekatinya, ia semakin mundur sampai akhirnya buntu. Ia tidak bisa keluar dari ruanganku karena aku baru saja menguncinya. “Aku memiliki nampan ini, Mr. Herich! Apa yang kaulakukan?” Jeritnya panik. Ada apa dengannya? Mengapa ia terlihat begitu ketakutan? Ia mulai mengangkat nampannya, bersiap untuk memukulku dengan itu. Oh, sebaiknya ia tidak melakukan itu.
            “Aku hanya ingin berdansa denganmu. Tidak lebih. Ada apa denganmu? Turunkan nampan itu, dan berdansalah denganku,” rayuku menggunakan suara seksi yang mematikan. Dadanya naik-turun tak beraturan, seolah-olah ia phobia dikepung seperti ini. Tangannya bergetar dan menjatuhkan nampan itu. “Nah, begitu lebih baik. Ayo,” ajakku menarik tangannya untuk ke tengah-tengah ruang kerjaku. Sekalipun Laura menjerit sampai pita suaranya putus, orang di luar sana tidak akan dapat mendengarnya karena ruanganku kedap suara. Jadi, yah, sayang sekali Laura.
            “Tidak,” ia menarik tangannya dari genggamanku. “Tidak, Mr. Herich! Kumohon, biarkan aku keluar. Aku harus pergi bersama dengan Thomas. Kita harus pulang. Kumohon?” Sungutnya menelan ludah begitu susah. Punggungnya kembali menyentuh pintu ruanganku. Dari luar orang-orang tidak akan melihatku, namun dari dalam aku bisa melihat apa yang sedang mereka kerjakan. Yah, benar sekali. Cermin tembus pandang dari dalam. Wajahnya ketakutan dan memerah, namun aku bisa melihat kepalan tangannya yang membuat urat-urat di tangannya tercetak indah.
            “Aku tidak akan menyakitimu,”
            “Sekalipun itu!” Bentaknya, tidak mau kusentuh. Aku terkejut dengan bentakannya. Dia berani dan aku suka. Biasanya wanita-wanita lain lemah. Tetapi ia memberikanku sedikit tantangan yang tidak begitu sulit. Apa yang bisa ia lakukan? Memukulku? “Aku minta maaf, Mr. Herich. Tetapi aku sangat tidak ingin berdansa denganmu. Aku juga tidak bisa berdansa dan tidak, aku tidak ingin menerima pelajaran berdansa denganmu. Terima kasih,” ujarnya segera meminta maaf. Aku mengerti. Aku mengerti apa yang ia rasakan sekarang, dulu, aku pernah merasakannya ketika aku masih remaja dan dipaksa untuk mengisap alat vital seorang laki-laki gay. Tapi untungnya, aku tidak jadi melakukan itu. Aku memejamkan mataku sesaat dan membalikkan tubuhku, mendekati meja kerjaku lalu menekan tombol buka kunci.  Dengan segera tangannya mengambil nampannya yang jatuh itu.
            “Oh, Tuhan, terima kasih,” bisiknya mendesah, merasa sangat lega. “Aku pergi, Mr. Herich,” lanjut Laura membuka pintu ruang kerjaku, pergi dari hadapanku. Lalu ia menutup pintu dan menghilang. Tidak, aku tidak melihat Laura melalui cermin tembus pandang. Ini sangat menyedihkan. Sesuatu yang sangat ingin kulakukan tidak terjadi karena penolakan pertama dari wanita. Dia cukup sulit dari apa yang kukira. Kupikir ia wanita yang mudah diambil hatinya Ternyata, urat-urat itu membuatku tidak ingin ia tersakiti olehku sendiri. Kemudian, perkataannya tentang Thomas membentur kepalaku. Apa? Hubungan apa yang mereka miliki? Kakiku membawa tubuhku menuju salah satu sisi kaca ruang kerjaku yang besar. Melihat parkiran di bagian luar. Tidak perlu waktu lama, aku melihat dua orang yang terlihat seperti semut dari atas sini berjalan menuju salah satu motor jelek. Dan aku sangat yakin mereka adalah Thomas dan Laura. Apa mereka berpacaran? Entah mengapa rasanya aku ingin mengambil Laura dari Thomas dengan cara yang kupikir cukup adil.
            Thomas memiliki hutang beribu-ribu dolar di perusahaanku, mengapa aku tidak mengambil Laura sebagai gantinya? Yeah, cukup adil.

***

LAURA HARE

            Tidak jadi. Semua ini karena Mr. Herich. Seharusnya malam ini aku kencan bersama dengan Tom, tapi karena pesanan kopi dari Mr. Herich membuat waktuku dan Tom semakin menipis untuk mencapai restoran yang akan kami datangi. Tom meminta maaf padaku karena kami tidak jadi makan malam di luar, ia mengecup pipiku ketika aku melepaskan helm yang kupakai. Pipiku bersemu merah, malu-malu aku melangkah menuju rumahnya yang tak terkunci. Jimmy sedang bermain dengan gitarnya di atas sofa ruang tamu. Sepertinya ia akan membuat lagu untuk bandnya. Jimmy mendongak. Well, Jimmy memang tampan. Rambutnya sedikit pirang dan matanya berwarna hijau, sama seperti yang ibunya miliki. Mata hijau untuk para lelaki sangatlah langka dan Jimmy beruntung memilikinya.
            “Hei, Jimmy,” sapaku. “Kau sudah makan?”
            “Yeah, aku sudah makan di rumah temanku. Dimana Tom?” Tanyanya. Aku hanya menunjuk ibu jariku ke belakang dan pintu rumah terbuka. Tom masuk. “Tadi ada seseorang datang ke rumah dan memberikan surat ini untukmu. Entahlah, aku tidak mengenal pria itu tapi sepertinya surat ini memang untukmu,” Jimmy menyodorkan sebuah amplop berwarna putih yang segera diambil oleh Tom. Dengan kasar tanpa perasaan, Tom merobek amplop itu dan mengeluarkan isinya. Matanya membaca kata demi kata yang tertulis di sana. Ekspresi wajahnya biasa saja. Datar. Saat ia membaca kata paling bawah, kedua alisnya bertaut. Ada apa? “Ada apa Tom?” Tanya Jimmy ikutan bingung melihat kakaknya.
            “Ini dari perusahaan. Mereka menagih hutang-hutangku. Oh sial. Aku sedang tidak memiliki uang. Dan batas waktunya hanya satu minggu. Sialan!” Serunya menendang rak bukunya. Bingkai foto ibunya terjatuh namun dengan segera aku menangkapnya.
            “Tangkapan yang bagus,” komentar Jimmy. Aku hanya menangkat kedua bahuku, tidak ingin menyombongkan diri di saat yang tidak tepat. Tom tidak pernah semarah ini. Dan hutang apa? Memang selama ini ia berhutang? “Baiklah, aku akan tidur. Selamat malam kalian berdua,” Jimmy beranjak dari sofa, mengambil barang-barangnya lalu berjalan menuju kamarnya. Aku masih berada di tempatku, memerhatikan Tom yang menundukkan kepalanya, pasrah. Tom berjalan lesu menuju sofa, lalu melemparkan tubuhnya ke sana.
            “Tom, kau bisa menceritakannya padaku,” bisikku menaruh tas ranselku ke lantai lalu duduk di salah satu sofa. “Ada apa?” Tom mendesah, menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “Ini sangat memalukan. Aku berhutang! Di perusahaan kita. Beribu-ribu dolar untuk menutupi hutang ayahku yang selalu berjudi dan kalah,” akhirnya ia membicarakan tentang ayahnya. Pantas ia tidak memajang foto ayahnya, aku bisa mendengar nada kebencian di suaranya. “Tiap kali ia datang mengunjungi aku dan adikku, ia tidak pernah memberikan kami apa pun kecuali memberikan beban yang lebih berat. Aku sudah bilang padanya berkali-kali untuk tidak melakukan judi lagi, tapi ia… ia tidak bisa menahannya. Dan surat perusahaan sudah diberikan agar aku melunasi hutangku seluruhnya dalam satu minggu. Bagaimana mungkin?” Ia berseru penuh kesal. Aku berpindah tempat, duduk di sebelahnya. Tidak, aku tidak bisa melihat Tom marah seperti ini. Aku tahu, aku tidak dapat melakukan apa pun karena akupun orang susah yang tentu saja tidak dapat membantunya. Kupeluk lengannya yang besar, mengangkat kedua kakiku ke atas sofa lalu bersandar di dadanya.
            “Aku tahu bagaimana perasaanmu. Memang sangat berat. Dan aku tahu, aku membantu ayahmu karena kau mencintainya. Kau tidak ingin ia mati karena dipukul oleh para penagih hutang. Tetapi terkadang kau hanya harus memberikannya dua kali kesempatan lalu meninggalkannya. Sulitnya adalah ia ayahmu dan tentu saja, kau sebagai anaknya harus membalas budi apa yang telah ia berikan untukmu,”
            “Ibuku meninggal karenanya. Ia pemabuk, perokok, dan suka bermain dengan pelacur. Ibuku terkena serangan jantung karena perbuatannya. Jadi, membalas budi? Hadiah natal yang kudapatkan hanya dari ibu, ayahku? Di hari natal saja ia pergi bersama dengan wanita lain. Jadi, tidak, aku tidak mencintainya.,” bantah Tom menggeleng-gelengkan kepalanya. Baiklah, aku memang tidak pandai berbicara. Jadi aku hanya diam. Memeluk lengannya dengan erat. Hening mulai masuk ke dalam ruangan kami setelah suara kami yang ribut mengisi ruangan. Tangan Tom mulai meraup tubuhku sehingga akhirnya kami berpelukan.
            “Aku mencintaimu,” bisiknya. “Bagaimana denganmu?” Tanyanya tanpa malu-malu. Tidak romantis, aku menyukainya. Entah apa yang harus kukatakan, namun aku hanya terdiam. “Tidak? Kau tidak memiliki perasaan yang sama?” Sebenarnya, sudah berhari-hari aku berharap Tom mengatakan hal seperti itu padaku. Waktu bersama kami benar-benar membuat kami selalu bertemu. Well, kautahulah, karena kebersamaan, cinta bisa bertumbuh.
            “Mungkin,” bisikku, menjawabnya.
            “Mungkin? Mungkin itu bukan jawaban yang pasti. Ya atau tidak?” Tanyanya, menuntut.
            “Ya,” bisikku masuk ke dalam ketiaknya, malu-malu. Tidak akan tidak akan menatap wajahnya sekarang. Ini terlalu memalukan! Namun Tom tidak menarikku keluar dari ketiaknya, ia diam. Kudengar suara senyumannya.
            “Well, aku mencintaimu, kau tahu. Bagiku kau berbeda. Keras namun sebenarnya lembut. Cantik pula. Dan nilai tambahnya, kau memiliki perasaan yang sama denganku. Mungkin memang, kita baru berkenalan selama seminggu lebih, namun kita masih memiliki waktu untuk saling mengenal satu sama lain bukan?” Tanyanya. Aku hanya mengangguk di bawah ketiaknya. Ia tertawa. “Huh, aku bersyukur karena aku menemukanmu. Seperti sekarang, kau yang paling bisa menenangkanku di saat aku tertimpa masalah. Wah, Laura Gretchen Hare, kurasa aku memang jatuh cinta padamu.”

AUTHOR

            Tiap kali Laura membuka matanya di pagi hari, pikiran pertama yang memasuki pikirannya ialah Tom. Yeah, mereka telah menjadi sepasang kekasih. Laura membantu Tom untuk membayar hutang-hutang Tom di perusahaan menjadi pengantar surat kabar di pagi hari. Ia dibayar per hari. Meski satu minggu memang tidak cukup untuk mengumpulkan uang sebanyak 95.000 dolar. Besok adalah hari terakhir yang dimiliki Tom untuk membayar hutangnya. Uang yang mereka kumpulkan bahkan baru mencapai 2000 dolar. Itu juga sudah dibantu oleh Jimmy yang mendapatkan uang dari hasil bandnya. Sangat jauh. Jadi, apa pun yang akan dilakukan oleh penagih hutang itu pada Tom, Tom akan menerimanya. Justin Herich, atasan mereka, terus mendekati Laura. Tiap hari, ia selalu menyuruh Laura untuk membawanya secangkir kopi atau teh. Atau bahkan susu. Dan mereka akan melakukan percakapan kecil yang kadang membuat Laura jengkel. Apalagi ketika kekasih Justin datang ke kantornya dan mendapati Justin sedang berbicara dengan Laura, Laura selalu mendapatkan tatapan sinis darinya. Namanya Jasmine, Laura baru tahu kemarin dari Tom. Malam ini tampak sangat sederhana. Sebuah musik di radio terputar mengisi ruang tamu. Jimmy sudah tertidur di kamarnya. Tom sedang membaca buku dan Laura sedang memandang Tom yang sangat tampan di atas sofa. Musik di radio sedang memutarkan lagu lamban. Diam-diam Laura memiliki niat untuk mengganggu Tom. Ia bangkit dari sofa lalu menarik Tom yang sedang asyik membaca buku dari sofa juga. “Ayo berdansa denganku,” pinta Laura. Laura tahu ini gila karena ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya berdansa. Tom diam saja, ia menerima ajakan Laura. Tangannya ia tempatkan di pinggul Laura dan Laura menempatkan kedua tangannya di bahu Tom. Musik mengalun dengan lembut, memberikan suasana romantis yang seharusnya membuat Laura muak mendengarnya.
            “Hanya dua orang yang kucintai di dunia ini. Kau dan Jimmy. Huh, terkadang aku takut kehilangan kalian berdua. Apalagi jika Jimmy belum pulang sebelum kita, rasanya bakal ada sesuatu yang buruk terjadi padanya. Tapi hal yang membuatku lebih sedih adalah saat kau sedang marah Tom. Aku tidak senang melihatmu murung dan marah. Itu seperti merusak duniaku juga. Oh ya ampun, entah mengapa perasaan ini semakin dalam padamu,” ujar Laura segera memeluk Tom. Laura menempatkan pipinya di atas bahu Tom. Lengan Tom yang melingkar itu semakin mengerat di pinggang Laura.
            “Aku tahu,” bisik Tom. Ya, inilah Tom. Ia pria yang benar-benar kaku pada seorang wanita. Namun Laura memakluminya. Tom bukan seorang lelaki yang bisa menunjukkan cintanya melalui kata-kata, tapi aksi. “Hal yang paling menakutkan bagiku adalah menyakiti hatimu. Tapi aku tidak akan pernah menyakitimu.” Kata-kata itu benar-benar terpendam di hati Laura. Laura menyimpannya, tanpa suara, tidak memberitahu siapa pun. Dan mereka hanyut dalam dansa malam yang nyaman.

***

            Hari Minggu. Tom, Laura dan Jimmy baru saja pulang dari gereja. Mereka baru saja mengganti pakaian mereka yang rapi menjadi pakaian rumah. Hari ini termasuk hari yang ditakuti Tom. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan penagih hutang. Mereka sedang makan siang di ruang makan. Berbicara hal-hal yang ringan. Jimmy sekarang memiliki janggut samar-samar, membuat Laura terus mengejeknya.
            “Kuharap Betty baik-baik saja di kantor. Meja dorong itu selalu membantuku. Tiap saat. Tidak boleh ada yang menyakitinya,” ujar Laura tiba-tiba. Keadaan menjadi canggung tetapi tidak berlangsung lama, ketukan pintu membuat Tom siap siaga berdiri dari tempatnya. “Pasti penagih hutang,”
            “Yeah, tunggu di sini,” perintah Tom berjalan keluar dari ruang makan. Ia menghilang dari pandangan Laura dan Jimmy. Dan lalu Laura dan Jimmy saling berpandangan. Suara bentakan dari luar membuat Laura terpaksa harus berdiri, menjatuhkan garpu dan pisau yang ia pegang. “Tetap di sini.”  Jimmy hanya mengangguk. Kemudian Laura berjalan keluar dari dapur, matanya terbelalak ketika ia melihat Tom yang diangkat oleh salah satu penagih hutang. Ada empat orang.
            “Laura, menjauh!” Perintah Tom. Namun aku malah mendekatinya, memberikan tatapan benci pada penagih hutang itu. Dan tiba-tiba saja salah satu penagih hutang yang terdiam di tempatnya itu menarik tanganku, memeluk tubuhku erat, dan aku menjerit. “Laura! Tidak! Jangan sakiti dia! Jangan sakiti dia!” Tom berusaha untuk lepas dari penagih hutang yang memegang bajunya.
            “Mr. Herich menyuruh kami untuk mengambilnya sebagai pengganti hutangmu, sialan! Jadi diam! Dia disakiti atau tidak, itu adalah urusan Mr. Herich!”
            “Tidak! Lepaskan kekasihku!” Bentak Tom menarik tangannya dari penagih hutang itu dan berusaha untuk menolong Laura. Laura terus meronta-ronta, menjerit, meminta lepas! “Laura! Tidak!”
            “Tom! Tolong aku!” Kali ini Laura menangis. Kekuatan Laura tentu kalah telak dengan kekuatan penagih hutang yang menahan kedua tangannya kali ini. Air mata mulai mengalir membasahi pipi Laura. “Tidak, lepaskan aku! Tom!” Laura terus diseret keluar dari rumah Tom. Jimmy berusaha membantu, namun ia sudah ditahan oleh penagih hutang yang lain. Sisa satu yang belum melakukan tugasnya, entah apa yang ia akan lakukan. Penagih hutang yang memiliki kulit putih itu –yang lain berkulit hitam—mendekati Tom yang ditahan, kedua tangannya berada di belakang punggungnya masih dipegang penagih hutang berkulit hitam itu. Laura beteriak ketika Tom ditinju oleh pria berkulit putih itu. Berkali-kali.
            “Tidak, berhenti! Kau bajingan sialan! Tidak, Tom! Tidak!” Jeritan Laura sama sekali tidak diindahkan oleh para penagih hutang. “Laura,” desah Tom yang wajahnya sudah babak belur. Berdarah. Basah. Basah karena darah. “Berhenti! Aku akan ikut dengan kalian, tapi kumohon, jangan sakiti dia! Jangan, berhenti!” Pinta Laura memohon. Ia berusaha untuk menelan ludahnya. Ingusnya membasahi bibir atasnya.
            “Tidak, Laura,” Tom berusaha untuk berbicara namun sungguh, wajahnya penuh darah.
            “Aku akan ikut dengan kalian.” Itulah keputusan Laura. “Aku mencintaimu, Tom.” Tom dilepaskan oleh mereka, begitu juga Jimmy. Lalu membawa Laura menuju bos mereka.
            Bos sialan itu. Justin Herich, si licik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar