AUTHOR
Ini
semua terlalu cepat bagi Laura. Ia terdiam di dalam mobil dengan tangan yang
terikat di belakang punggung, menatapi bangunan-bangunan rumah yang ia lewati.
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut itu. Hatinya terlalu sakit
mengingat apa yang telah terjadi dengan kekasihnya, Tom. Wajahnya berdarah.
Bagaimana mungkin orang itu tega memukul kekasihnya? Jika Laura tahu pada
akhirnya seperti ini, ia pasti akan merelakan dirinya pergi agar Tom tidak
tersakiti. Bayang-bayang darah lengket yang keluar melalui mulut Tom masih
tersimpan di otaknya. Justin akan membayar apa yang telah ia perbuat terhadap
Tom. Laura berjanji akan membuat Justin menyesal telah memperlakukan Tom
seperti itu. Ia tidak memerhatikan jalan yang ia tempuh, mungkin akan sangat
jauh dari rumahnya. Terlintas dipikiran Laura tentang apa yang diingkan oleh
Mr. Herich sampai-sampai mengambil dirinya dari tangan Tom? Mereka bahkan tidak mengenal satu sama lain.
Atau, hanya Laura yang tidak mengenal atasannya itu.
Oke,
mungkin hubungan percintaan Laura dengan Tom masih terbilang masih muda. Tetapi
mereka sedang melewati masa-masa mabuk cinta. Mereka seharusnya tidak
dipisahkan dengan cara tidak senonoh seperti ini. Laura hanya bisa memaki-maki
Justin dalam hati. Otaknya terus memikirkan apa yang diinginkan atasannya itu
dan bagaimana keadaan Tom? Tiba-tiba saja dari belakang, mata Laura ditutupi
oleh penutup mata berwarna hitam. Ia langsung memberontak. Tidak ingin disentuh,
sensitif, sekaligus jijik. Apa-apaan yang sedang terjadi? Namun keadaan gelap!
Mobil berhenti melaju, yang didengar Laura bukaan pintu mobil. Laura dipaksa
keluar dari mobil, ia disodok dengan sesuatu yang Laura pikir itu adalah
tongkat atau semacamnya. Ia mengerang, sungguh, penagih hutang Justin tidak
ramah. Entah mereka membawa Laura kemana, yang jelas, dua orang di samping
Laura telah memegang lengan Laura untuk membawa Laura ke dalam suatu rumah.
Rumah
besar. Yang sebagian besar berpondasi dari kaca. Dari luar, dapat dilihat
barang-barang apa yang ada di sana. Tapi hanya di bagian depan rumah. Laura
mendengar pintu yang terbuka, kemudian aroma-aroma yang sedap masuk melalui
indra penciumannya. Aroma Justin. Yeah, aroma ini sama seperti aroma di ruang
kerja Justin. Seperti aroma buah kiwi yang manis. Semacamnya. Lalu ia diajak
menaiki sebuah tangga besar yang setengah melingkar seperti bulan sabit.
Udaranya sejuk, tidak seperti di daerah perumahan Thomas, hangat. Kemudian
suara bukaan pintu kembali terdengar, kali ini aromanya berbeda. Aroma yang
tidak dapat dijabarkan oleh Laura karena sebelumnya ia tidak pernah mencium
aroma ini. Ada apa dengan Justin dan pengharum ruangan? Laura dipaksa duduk
oleh salah satu penagih hutang. Kursi kayu, pikir Laura.
“Buka
penutup matanya,” perintah seorang pria yang suaranya tidak asing lagi bagi
Laura. Laura mendengus. Hatinya sekarang berdegup kencang. Ketika penutup mata
itu telah dibuka, ia mengerjapkan matanya berkali-kali. Melihat ke sekeliling
ruangan. Ruangan yang tinggi menjulang serta luas. Anak-anak bisa bermain bola
di sini. Tembok berwarna abu-abu dan langit-langit yang berwarna abu-abu tua.
Modern. Kamar yang kuno-modern. Yeah, barang-barang yang terdapat di sini
terlihat kuno namun elegan. “Kalian boleh pergi sekarang.” Suara itu membuat
Laura segera melihat pria yang ada di hadapannya. Pria sialan yang seharusnya
tidak ia temui sebelumnya. Mengapa pria yang seharusnya bersikap sopan ini
malah bersikap tak senonoh? Dimana sopan-santunnya?
“Hai,
Laura. Ah, akhirnya kita bertemu lagi,” desah Justin yang berdiri di depan
Laura, memegang segelas anggur di tangannya. Jas berwarna hitam panjang hingga
lutut, kemeja putih dan dasi hitam. Tampak mengagumkan. “Mau anggur?” Tanya
Justin mendekati sebuah meja bundar kecil di sisi tembok, dekat jendela. Laura
tidak beranjak dari tempatnya, lagi pula, sekalipun ia berdiri dari tempatnya
..sudah pasti Justin akan menangkapnya lebih dahulu. Ia hanya diam, tidak
menjawab tawaran Justin. Justin menuangkan anggur pada sebuah gelas yang sama
yang dipegangnya, setelah terisi setengah, Justin mengangkat gelas itu dari
meja lalu berjalan menuju Laura.
“Ms.
Hare?” Tanya Justin menyodorkan gelas anggur itu ke depan wajah Laura. Lalu
Justin tersadar akan sesuatu. “Ah, ya, tanganmu terikat. Tunggu sebentar ya,”
ucap Justin berjalan menuju meja bundar itu lagi, menaruh gelas anggur itu
kembali sebentar, dan mengambil sebuah remote. Ia menekan salah satu tombol
yang membuat tubuh Laura menegang. Pintunya ia kunci. Sebelum Justin mengambil
gelas anggur itu, Laura menahannya.
“Aku
tidak meminum anggur. Hanya saat perjamuan kudus, aku meminumnya,” Laura
berucap. “Mengapa kau membawaku ke sini?” Tanya Laura tak ingin berbasa-basi.
Wanita keras itu paling tidak senang melihat orang licik seperti Justin. Karena
apa yang diperbuat Justin sangatlah tidak masuk akal. Apa yang Justin inginkan
dari Laura? Uang? Tidak mungkin. Pria ini sudah memiliki uang yang lebih dari
yang ia butuhkan. Pelayan? Dari penagih hutang yang Laura lihat, kemungkinan
besar, pelayan di rumah Justin akan sangat banyak. Penyalur kebutuhan seks? Itu
lebih parah lagi. Laura sudah tahu Justin telah memiliki Jasmine sebagai
kekasihnya. Atau mungkin kekasih gelap Justin yang Jasmine tidak ketahui. Jadi
apa yang diinginkan Justin darinya?
“Kau
tidak tahu? Bukankah penagih hutangku telah memberitahumu?” Tanya Justin
bingung. Pria itu bersandar pada tembok, dekat jendela, meneguk anggurnya
hingga tandas. Gelas anggur itu ditaruhnya kembali ke atas meja bundar kecil
lalu Justin bangkit dari sandarannya. Berjalan santai di depan Laura yang masih
terduduk, menatap Justin dengan tatapan tajam. Atau mungkin kebencian.
Bayang-bayang Tom dipukuli menyeruak paksa masuk ke dalam otak Laura kembali.
“Mereka
menyakiti kekasihku,” ada ekspresi terkejut yang dihasilkan oleh Justin ketika
Laura memberitahunya. Bukan tentang menyakiti Tom. Tetapi, kekasih. Sejak kapan mereka menjadi sepasang kekasih? Dari
informasi yang Justin dapatkan, Laura hanya berteman dengan Tom karena Laura
tidak memiliki tempat tinggal maka Tom membantunya. Namun ekspresi itu tidak
berlangsung lama, kening Justin yang mengerut tadi kembali normal. Setelah
mondar-mandir di hadapan Laura, akhirnya Justin berhenti melakukan itu. Ia
terdiam sejenak lalu mulutnya sedikit terbuka.
“Bagaimana
jika kita menari?” Justin tidak ingin membicarakan tentang Tom sekarang.
“Aku
tidak mau melakukan itu. Denganmu.
Kau juga belum memberitahu padaku alasan apa yang membuatmu membawaku ke sini,”
tukas Laura melotot pada Justin. Ekspresi itu sangat lucu bagi Justin. Ia
tertawa dalam hati, terlebih lagi, Justin tidak ingin Laura tersinggung karena
tawaannya. Keinginan terbesar Justin setelah penolakan dari Laura adalah menari
dengan Laura. Hal itu akan menjadi hal pertama yang Justin lakukan dengan Laura
jika Justin sudah mendapatkan Laura.
“Apa
maksudmu, denganmu? Maksudmu, kau
sudah pernah berdansa dengan Thomas? Pria yang beruntung,” komentar Justin
berusaha untuk tidak terdengar terkejut. Tapi dari dalam hati Justin yang
paling dalam, itu membuat Justin cukup merasa terhina. Bagimana bisa Thomas
yang miskin itu mendapatkan perhatian penuh dari Laura sedangkan Justin yang
kaya raya dan lebih berkarisma itu ditolak mentah-mentah?
“Kurasa
itu bukan masalah bagimu dan bukan urusanmu,” ucap Laura acuh. Justin mendesah
lalu ia mengalah. “Sekarang, beritahu aku mengapa kau mengambilku!” Tuntut
Laura tidak suka menunggu.
“Itu
karena aku ingin kau berada di rumahku. Aku akan mengirimkan surat perjanjian
dengan Tom. Jika ia ingin hutang-hutangnya dihapus, kau harus tinggal di
rumahku selama 3 bulan. Kita akan melakukan hal-hal yang tidak pernah
kaulakukan sebelumnya,” ucap Justin menjelaskan. Sebelum Laura memotongnya,
Justin kembali membuka suara. “Setelah itu, kau akan lepas dari tanganku dan
Thomas akan bebas dari segala hutangnya. Kau boleh menghubunginya satu kali
seminggu,” buru-buru Justin memberitahu Laura. Mata Laura semakin terbuka.
Tentu saja ia terkejut dengan tawaran yang Justin berikan. 3 bulan? Dan apa
yang akan ia lakukan bersama Justin selama 3 bulan? Jika pria itu menyentuh
Laura, sudah pasti Laura akan menendang bola
milik Justin. Namun selama 3 bulan itu juga ia tidak akan bisa bertemu dengan
Thomas. Tersirat dari apa yang Justin katakan tadi. Bahwa ia hanya boleh
menghubungi Thomas satu seminggu. Itu berarti ia tidak boleh bekerja. Laura
menggelengkan kepalanya, tidak terima. Bagaimana bisa selama 3 bulan itu Laura
tidak bertemu dengan Thomas sedangkan tiap kali ia bangun di pagi hari, orang
pertama yang terlintas di otaknya adalah Thomas?
“Tidak,
aku tidak mau!”
“Oh?
Maka Thomas akan kubunuh. Aku sangat yakin, rumahnya bahkan tidak cukup
membayar hutang-hutangnya,” Justin meremehkan Thomas. Sontak Laura berdiri dari
tempatnya, benci dengan apa yang Justin katakan tentang Thomas. Mengapa pria
ini sepertinya ingin membandingkan dirinya dengan Thomas? Bagi Laura, Justin
tidak lebih baik dari Thomas. Thomas rajin pergi ke gereja dan bijaksana, dan
Justin? Bahkan kesan pertama yang Laura dapatkan adalah tumpahan kopi di
bajunya! Dan membunuhnya? Sialan. Jika Laura dilepaskan dari rumah Justin
sekarang, sama saja. Laura tidak akan bisa bertemu dengan Thomas karena Thomas
akan dibunuh! Laura sangat yakin, Justin adalah orang yang memegang
kata-katanya. Bukan pengingkar janji.
“Jadi,
aku akan tinggal di sini dan tidak akan keluar-keluar?” Tanya Laura, ragu-ragu.
Ini semua agar Thomas tidak terbunuh. Atau tersakiti lagi. Melihat Thomas terpukul
sudah membuat hati Laura sangat sakit. Rasanya Laura ingin sekali memukul
Justin karena telah mengambil kesempatan besar seperti ini. Justin
menggelengkan kepalanya. “Lalu?”
“Kau
tidak akan tinggal di rumahku seperti nenek-nenek. Kita akan bersenang-senang,
itu sudah jelas. Tidak perlu kau pikirkan. Dan yang lebih jelas, kau harus
melayaniku,” ucap Justin. Melayaninya? Maksud Justin? Wajah Laura membuat
Justin ingin tertawa. Apa Laura tidak sama sekali tahu apa yang sedang Justin
bicarakan? Bagaimana bisa? Apa Laura sesuci itu? “Menjadi penyalur kebutuhan
seksku,”
“Apa-apaan!”
Laura tersinggung, ia membuang wajahnya dari Justin. “Aku bukan pelacur! Dan
aku tidak akan pernah disentuh oleh siapa pun sebelum aku menikah! Itu
menjijikan!”
“Well,
aku tidak akan memaksamu. Aku ingin menyentuhmu, sekarang, sebenarnya. Tapi
jika kau belum siap, maka, ya sudah. Kita akan tunda acara itu. Kau hanya perlu
bilang ya atau tidak. Tentang kebutuhanku itu, jangan kaupikirkan. Aku tidak
akan memaksamu. Jika kau menolakku, Thomas menghilang dari muka bumi ini,” Thomas menghilang dari muka bumi ini.
Kata-kata itu benar-benar membuat nyali Laura ciut. Orang yang Laura cintai!
Tidak, Laura tidak ingin kehilangan orang yang Laura cintai untuk yang kedua
kalinya! “Jadi, ya atau tidak, Laura?”
Laura
menjawab terpaksa. “Ya.”
“Bagus,”
senyum Justin mengembang puas. Akhirnya. “Mari kita rayakan,” ucap Justin
mengambil remote lalu menekan tombol yang lain. Sebuah lagu tahun ’80an
terdengar. Hungry Heart dari Bruce Springteen. Justin mengencangkan volume lagu
ini. Lalu berjalan sambil menari mendekati Laura. Ia tampak sangat senang
dengan apa yang telah dengar. Laura terdiam , ia tidak ingin terbawa suasana. Namun
lagu sialan ini benar-benar menyiksanya! Kemudian dari belakang, Justin membuka
ikatan Laura. Setelah tangan Laura terlepas, Justin segera memutar tubuh Laura
sehingga mereka berhadapan. Kedua tangan Laura dipegang oleh Justin, ditarik,
mengikuti musik yang cocok untuk menari. “Ayo menari. Jangan malu-malu,” ajak
Justin menarik-mengulur tangannya berkali-kali. Laura memberikan ekspresi yang
datar. Tidak mengikuti Justin. Bruce tampaknya tidak berhasil membuat Laura
senang. Namun Justin sebisa mungkin membuat Laura bisa menari bersamanya.
Justin menggesek-gesekkan salah satu sepatunya dan kakinya yang lain terangkat,
ia mundur, menjauhi Laura. Pria itu tampak sangat bahagia.
“Ayo
Laura,” ajak Justin lagi, kali ini memanggil namanya. Terpaksa Laura ikut
menggoyangkan pinggulnya. Mengangkat kedua tangannya ke udara lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya. Menikmati musik tahun ‘80an ini. Justin semakin
bahagia, senang melihat Laura akhirnya ingin menari dengannya. Musik ini
seperinya jenis music yang disukai Laura. Justin menari dari belakang, melihat
lekukan tubuh Laura yang sungguh seksi. Celana jins hitam serta kaos berwarna
ungu itu tampak ketat di tubuhnya. Seksi. Menggugah selera. Tangan Justin
diam-diam menyentuh pinggang Laura, yang membuat Laura dengan cepat
menyingkirkan tangan itu secara halus sambil menari-nari. Lucu, pikir Justin.
Sepertinya Laura memang wanita yang tidak ingin disentuh oleh pria. Jadi apa
yang dilakukan Thomas padanya? Memberikannya permen kapas di tengah-tengah
festival? Justin mengejek dalam hati. Bruce telah berhenti memperdengarkan
suara rock-nya itu. “Kau mau
mendengarnya lagi?”
“Tentu,”
tanpa ragu-ragu lagi Laura menerima tawaran Justin. Wanita ini cepat sekali
beradaptasi. Tidak malu-malu. Namun sebenarnya, Laura melakukan ini agar
pikirannya tidak terus tertuju pada Tom. Karena ia tahu, apa yang ia lakukan
ini sudah jelas menyakiti hati Tom. Namun apa yang Laura lakukan ini demi
Thomas. Agar Tom tetap hidup, agar Laura bisa mencintai Tom seperti yang
seharusnya. Sedikit menari mungkin akan membuat Laura tenang. Apalagi lagu ini.
Lagu yang pernah diputarkan Tom pagi hari, di kamar Laura, untuk membangunkan
Laura. Sentuhan dari Justin tadi membuat Laura terkesiap, ia tidak terbiasa
disentuh oleh pria lain selain Tom. Tom bahkan hanya mencium bibirnya singkat
dan memeluknya. Tidak lebih. Pria itu tampaknya ingin menjaga Laura sebaik yang
ia bisa. Itu menjadi nilai tambah bagi Laura karena telah mendapatkan Tom. Pria
yang ia cintai. Dan lalu, Laura benar-benar terlarut akan music yang
mengiringnya menari.
Tanpa
mempedulikan bibir Justin yang telah menyentuh lehernya.
***
Malam
itu, untuk yang pertama kalinya, Laura tinggal di tempat tidur yang sangat
empuk. Mewah. Dan sangat nyaman. Entah mengapa ia sangat merasa bersalah dengan
fasilitas yang ia terima. Ia menerima perjanjian Justin. Begitupun Thomas. Itu
sudah pasti. Thomas tidak mungkin akan menolak, jika ia menolak, ia tahu, ia
akan mati seketika itu juga.Dan pastinya, mereka telah memberitahu Thomas bahwa
Laura menyetujui perjanjian ini. Laura lakukan ini semua demi kebaikan Thomas
dan Jimmy. Tidak mungkin Jimmy akan dibebani hutang oleh perusahaan Justin. Sebenarnya,
Laura tidak membenci Justin untuk alasan ini.
Ini semua terjadi karena kesalahan ayah Thomas. Jika ayah Thomas tidak
melakukan judi, sudah pasti Thomas tidak akan mengutang pada Justin. Dan
pastinya, Laura tidak akan berada di atas tempat tidur ini. Tempat tidur yang
empuk.
Makan
malam itu terasa hambar di indra pengecap Laura. Meski makanan itu sangat mewah
dan Laura yakin, koki yang memasaknya adalah koki yang handal. Tidak ada yang
lebih nikmat dibanding makan bersama. Justin bahkan hanya diam selama makan
malam berlangsung. Setelah makan malam, Justin menunjukkan kamar Laura.
Memberitahu fasilitas apa yang akan Laura terima di rumah kuno-modern ini.
Kebutuhan Laura di rumah ini sudah lebih dari cukup. Tapi malam ini, Laura
tidak bisa tidur. Pikiran Thomas dipukul masih terngiang-ngiang di kepalanya.
Laura bangkit dari tempat tidurnya. Ia mengenakan gaun tidur tipis yang
tersedia di kamarnya. Anehnya, pakaian-pakaian yang disediakan Justin untuk
Laura sangat pas di tubuh Laura. Entah bagaimana bisa seperti itu.
Laura
berjalan menuju lemari pakaiannya. Mengambil salah satu jaket dan memakainya.
Ia keluar dari kamarnya, ke balkon di luar kamar. Suasana sunyi senyap membuat
angin yang menerpa tubuh Laura menjadi sangat dingin menggigit. Menusuk tulang
kaki Laura. Untunglah Laura memakai jaket hangat ini. Hari ini merupakan hari
terberat dalam hidup Laura. Pertemuannya dengan Justin bahkan baru berlangsung
selama satu minggu. Itupun hanya sekedar bincang-bincang biasa. Bodohnya Laura
karena ia tidak memperingati Justin tentang Jasmine, kekasih Justin. Bagaimana
jika Jasmine tahu tentang Laura tinggal di ruma Justin? Karena Laura baru
tersadar, wanita yang ia temui di lift, yang memakai pakaian berbeda tanpa
tanda pengenal itu ternyata adalah kekasih Justin. Wanita yang menyambar Laura
ketika Laura ingin mendorong meja dorongnya. Dan wanita yang dimarahi oleh
Justin itu ketika Laura sedang menyiapkan kopi untuk rapat penting Justin.
Andai
Justin memberikan Laura radio atau semacamnya, Laura akan sangat berterima
kasih. Karena saat ini, Laura ingin mendengarkan lagu-lagu. Tidak, Laura tidak
ingin mendengar musik yang sering Thomas dengarkan. Untuk 3 bulan ini, Laura
harus menyingkirkan Tom dari pikirannya, tapi tidak dari hatinya. Itu sudah
pasti. Laura mendongak, melihat bintang-bintang di langit. Melihat bintang.
Terdengar seperti film-film romantis. Kata romantis itu membuat Laura
menundukkan kepalanya kembali. Kali ini ia melihat perumahan yang membentang di
hadapannya. Banyak sekali. Lampu menyala. Laura mengerang. Ia merasa sangat
kedinginan. Jaket ini tidak berguna sama sekali!
“Belum
tidur?” Tanya Justin dari belakang.
“Astaga!”
Laura terkejut setengah mati. Ia mengelus dadanya untuk menenangkan dirinya.
Justin tertawa dari belakang, menikmati Laura terkejut seperti itu. “Lain kali
bawa saja alat penyetrum biar sekalian aku mati!” Ketus Laura tidak suka. Laura
tidak sama sekali membalikkan tubuhnya ke belakang untuk melihat Justin. Ia
merasakan jaket panjang membebani pundaknya. Jas yang kebesaran dari tubuhnya.
Jas Justin yang dipakainya siang tadi. Nah, kali ini ia merasa lebih baik.
Justin kemudian berdiri di sampingnya, bersandar di pembatas balkon.
“Maaf,”
ucap Justin. “Aku tidak akan membawa alat penyetrum untukmu. Aku tidak ingin
berhubungan badan dengan orang mati,” lanjut Justin. Laura berusaha untuk tidak
mendengarkan kalimat kedua Justin. Kata-kata itu terdengar asing bagi Laura.
Karena orang-orang yang berada di sekitar Laura hanyalah orang-orang gereja,
setelah itu Tom. Justin memakai piyama tidur berwarna putih bergaris-garis biru
tipis. Dan anehnya, Laura tidak mendengar suara Justin masuk ke dalam kamarnya.
Atau mungkin karena Laura melamun? Mungkin saja. Justin seperti mahluk halus
kasat mata.
“Jadi
mengapa kau tidak tidur?” Tanya Justin ingin tahu.
“Itu
bukan tempat tidurku. Rasanya memang nyaman, tapi aku merasa bersalah. Jadi,
aku lebih memilih untuk membuat diriku merasa sangat mengantuk lalu aku akan
menggunakan tempat tidur itu,” jelas Laura tidak menoleh sekalipun pada Justin.
Padahal menatap Justin merupakan hal yang paling menyenangkan bagi
wanita-wanita di luar sana. Bagaimana tidak? Justin adalah pria yang seksi.
Bahkan mungkin, pria-pria juga menyukai Justin. Dulu, ketika Justin masih
remaja, ia bukan pria seksi seperti sekarang. Ia dulu jelek, namun entah
mengapa, tanpa operasi plastik, Justin bisa bertumbuh seperti dewa Yunani.
Keajaiban. Beruntunglah Jasmine yang telah menjadi kekasih Justin.
“Apa
kau tidak memikirkan perasaan Jasmine jika ia tahu aku tinggal di rumahmu?”
Kali ini Laura mengalihkan topik. Berharap agar hati nurani Justin mengatakan
bahwa merusak hubungan orang dan hubungannya sendiri adalah hal yang salah. Justin
terdiam, ia sedang memikirkan jawabannya. Tetapi, apa yang diinginkan Justin
dan telah menjadi milik Justin tidak akan Justin lepaskan begitu saja. Terlebih
lagi Laura. Ia hanya memiliki waktu 3 bulan untuk bersama-sama dengan Laura.
Entahlah, wanita ini merupakan tantangan bagi Justin. Dan Justin ingin sekali
menaklukan wanita ini tanpa pemaksaan. Membuktikan bahwa bukan hanya Thomas
yang bisa menaklukan Laura. Sepertinya Laura sangat mencintai Thomas. “Dia
cerewet,”
“Itu
alasan yang tidak masuk akal,” itu sudah
jelas. Justin tertawa. Namun memang benar. Justin ingin bersama dengan
wanita yang tidak banyak bicara seperti Laura. Laura jenis wanita yang
‘bertindak’ dibanding berbicara. Seperti Jasmine yang tiap hari terus memarahi
Justin tanpa alasan. Meski kadang-kadang Jasmine memang bisa membuat Justin
senang. “Terserahlah,” Laura memutar bola mata.
“Kau
tidak ingin tidur?” Tanya Justin menoleh pada Laura. Laura mengangguk. Ya,
Laura ingin tidur setelah ia mendengar Justin. Justin orang yang membosankan
bagi Laura. Atau, Justin terdengar membosankan karena hal yang mereka bicarakan
itu bersangkutan dengan Thomas. Dan bodohnya lagi, Laura yang mengangkat
masalah Thomas di percakapannya. Tapi tidak apalah, setidaknya itu membuat
Laura merasa mengantuk. Laura beranjak dari tempatnya, meninggalkan Justin.
Melepas jatuhkan jas Justin ke atas lantai balkon, dan masuk ke dalam kamar.
Lalu Laura menjatuhkan dirinya ke atas tempat tidur tanpa mengucapkan selamat malam pada Justin. Justin hanya
dapat menggelengkan kepalanya, melihat tingkah acuh dari wanita ini. Wanita
yang membuatnya tertarik.
***
Laura
membuka matanya ketika ia merasa matahari menyinarinya. Ia menautkan alisnya,
lalu mengerjap-kerjapkan matanya berkali-kali. Rasanya ia tidak ingin bangkit
dari tempat tidurnya. Tempat tidur ini sangatlah nyaman! Laura menggeliat di
atas tempat tidur untuk beberapa saat. Lalu mengerang, menguap, dan
merenggangkan otot-ototnya lalu kembali terjatuh di atas tempat tidurnya. Namun
ia merasakan sesuatu yang melingkar di sekitar pinggulnya. Apa-apaan? Ia
melihat ke samping tubuhnya. Kepalanya langsung mundur, menjauh dengan apa yang
ia lihat. Justin terbaring di atas tempat tidur bersama dengannya, memeluknya!
Segera saja Laura membuka selimut yang ia pakai dengan perasaan panik. Namun
serangan panik itu segera menghilang ketika ia melihat pakaiannya masih
menempel di tubuhnya. Baiklah, tidak ada yang terjadi dengannya dengan Justin.
Bisa saja Laura tidak sadarkan diri dan Justin menidurinya. Namun itu tidak
mungkin. Tempat tidurnya tidak acak-acakannya.
“Ya
Tuhan,” desah Laura. “Ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan!” serunya segera
menyingkirkan tangan Justin dari perutnya. Ia terduduk di atas tempat tidur,
menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu mengusap-usap wajahnya
berkali-kali. Ya Tuhan, Laura dan Thomas bahkan tidak pernah satu ranjang! Tubuh
Laura menegang ketika ia melihat Justin yang menggeser tubuhnya. Pria itu
menarik napasnya dalam-dalam sambil meregangkan otot-ototnya. Masih memejamkan
mata. Namun beberapa detik kemudian, pria itu membuka matanya. Tangan Justin
yang tadinya menyentuh perut Laura meraba-raba lalu panik. Kepalanya segera
menoleh pada Laura. Mata Justin yang awalnya membuat itu kemudian melayu
kembali. “Kupikir kau pergi,” ucap Justin. “Selamat pagi, cantik,” puji Justin
yang membuat Laura merasa jijik. Panggilan apa itu? Cantik? Tubuh Laura
bergetar, merinding mendengar ucapan itu.
“Mengapa
kau berada di atas tempat tidurku?” Tanya Laura tanpa membalas sapaan Justin.
Justin segera terduduk di sebelahnya, menyandar di kepala tempat tidur, lalu
mendesah. “Mengapa?”
“Tadi
malam, saat kau sudah tertidur, aku melihatmu. Demi Tuhan kau sangat cantik.
Aku melihatmu selama beberapa menit dan memutuskan untuk tidur bersamamu.
Kupikir kau tidak akan keberatan,” ucap Justin santai.
“Aku
mau mandi,” ucap Laura tak mengindahkan pujian Justin. Laura bangkit dari
tempat tidurnya, meninggalkan Justin. Ia menghilang dari pandangan Justin
ketika ia masuk ke kamar mandi.
“Tidak
mau kutemani, Laura?” Teriak Justin, menggoda Laura lalu tertawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar