LAURA
HARE
“Jadi,
bagaimana perkembangannya?” Tanya Justin lewat telepon. Aku memerhatikannya
yang sedang berbicara itu di ruang makan. Menghiraukan makanannya. Maksudku,
tidak sopan ia mengangkat telepon sedangkan kau sedang makan. Mungkin
teleponnya dari orang penting. Kepalanya mengangguk-angguk dan serius. Tangan
kanannya –ternyata ia kidal—memegang garpu dan memutar-mutarnya di atas piring.
Aku tidak suka dipanggil munafik, baiklah, aku harus mengakuinya. Justin adalah
pria tampan yang memiliki rahang yang keras. Di jari tengah sebelah kanannya,
aku bisa melihat di salah satu sisinya, sebuah tato. Baru kusadari juga, ia
memiliki cincin emas di jari manisnya. Apa ia sudah menikah dengan Jasmine?
Mungkin saja. Aku segera menggeleng-gelengkan kepalaku, tidak mungkin! Jika
Jasmine sudah menikah dengan Justin, otomatis Jasmine tinggal bersama Justin
bukan? Tapi aku tidak melihat tanda-tanda kedatangannya di rumah ini. Pikiran
burukku mulai menyeruak masuk ke dalam otak. Apa yang terjadi jika aku bisa
menghubungi Jasmine untuk datang ke rumah Justin lalu …aku tidak bisa
melanjutkannya lagi. Ini terlalu gila. Dan tidak masuk akal. Lagi pula, aku
tidak ingin Thomas mati di tangan orang seperti Justin.
“Baiklah,
aku akan datang hari ini.” Saat itulah lamunanku buyar. Mataku tidak berani
melihatnya. Jadi dengan segera aku memakan sarapanku lagi. Aku baru sadar dari
tadi aku tidak memakan makananku karena terlalu memikirkan bagaimana caranya
keluar dari rumah ini. Tetapi sekali lagi, kata ‘membunuh’ membuatku ketakutan.
“Ada apa? Mengapa kau diam saja?”
Namun
rasa penasaranku mengalahkan rasa jaimku. “Mengapa kau memakai cincin itu?”
Tanyaku, penasaran namun tidak mendongak untuk melihatnya. Bisa kudengar ia
tersenyum lalu suara garpu yang didiamkan di atas piring. Justin tertawa sinis.
“Mengapa
kau begitu mau tahu? Bukan urusanmu,” ia mengikuti nada suaraku kemarin.
Sialan. Dia pikir ini lucu? Mataku segera melihat matanya, menatapnya tajam.
“Oh, tatapan itu. Kau membuatku terbiasa dengan tatapan itu. Dan jujur saja,
kau sangat seksi jika sedang memberikan tatapan marah itu padaku. Kau tahulah,
sangat …sangat seksi,” desah Justin melihat langit-langit ruang makan,
membayangkan sesuatu. Mataku melotot. Biar kuberitahu saja, kau ingin terlihat
garang dan jahat? Kau harus melotot! Menyipitkan matamu dan menatap orang itu
dengan sinis tidak akan membuat orang yang benci ketakutan! Namun kupikir,
Justin memiliki kelainan. Ia melihatku sangat
seksi? Apa dia buta? Aku merinding dengan apa yang baru saja ia katakan.
Entahlah, mendengar ucapan-ucapan itu membuatku merasa ..aku tidak tahu
perasaan apa yang melanda tubuhku. Merinding dan rasanya ingin memejamkan mata.
Aku memilih untuk mengabaikannya dan memakan kembali sarapanku. Berbicara
dengannya hanya membuang-buang waktuku. Kesal, lebih tepatnya.
“Hari
ini kita akan pergi. Ke suatu tempat yang kuyakin, kau akan menyukainya,” ucap
Justin mengubah topik pembicaraan. Kembali aku melihatnya, menatapnya penuh
curiga.
“Kemana?”
Aku harus waspada terhadap cheetah
yang satu ini. Ya, cheetah. Bagiku, panggilan cheetah untuknya sangatlah cocok.
Jahat, licik, semacamnya. Hal yang ingin kulihat darinya adalah seberapa cepat
ia mendapatkanku jika aku berlari? Karena cheetah adalah hewan pelari yang
cepat. Justin memainkan lidahnya di dalam mulutnya, memberikan kesan yang
…seksi.
“Suatu
tempat. Jangan banyak bicara. Habiskan saja makananmu, lalu kita akan pergi.”
Perintah Justin. Dan aku tahu, aku tidak bisa melawannya lagi. Mungkin ia sudah
berada pada titik bosannya.
***
AUTHOR
Laura
terperangah dengan apa yang ia lihat sekarang. Sepertinya jantung Laura telah
berpindah tempat di mulutnya. Hatinya melunak. Air matanya merebak, mengalir
melalui pelupuk matanya. Ini sangat tidak masuk akal ketika ia mengira Justin
adalah orang jahat. Namun segala pikiran buruknya terhadap Justin, terhapus
sudah ketika ia melihat Justin sedang berbicara dengan seorang anak kecil
berumur 5 tahun yang terserang penyakit kanker. Mereka bercengkrama satu sama
lain. Anak kecil itu sesekali memegang tangan Justin yang berada di atas tempat
tidurnya. Bagaimana perkembangannya?
Suara Justin ketika berbicara saat itu penuh kekuatiran namun berhasil
disembunyikan. Apalagi perhatian Laura bukan pembicaraan Justin, tetapi cincin
yang dikenakan Justin. Laura berdiri bagaikan orang bodoh di sisi tempat tidur
yang lain. Ia mengelap air matanya. Seorang anak kecil bernama Lily itu
tampaknya sangat menyayangi Justin. Ruangan putih itu dipenuhi dengan kasih
sayang. Banyak peralatan kedokteran yang menyentuh tubuh Lily itu. Tabung
oksigen juga menjadi alat bantu nafasnya. Sebenarnya, siapa anak kecil ini?
Mengapa tampaknya begitu berarti bagi Justin? Tidak mungkin ini adalah adiknya
Justin. Perbedaan umurnya sudah jelas sangat jauh. Jadi itu tidak mungkin. Anaknya?
Tapi Justin tidak memiliki istri.
“Nah,
di sana teman barumu,” ujar Justin menunjuk Laura yang sedang melipat kedua
tangannya di depan dada. Berusaha untuk bersikap acuh meski pemandangan yang
dipaparkan itu sangat mengharukan. “Namanya Laura,” ucap Justin memegang tangan
anak kecil itu tanpa menyakitinya. Laura menatap wajah Justin lalu nafasnya
tercekat. Ketidakpercayaan Laura semakin jelas ketika ia sadar, Justin memakai
pakaian formal untuk pergi bekerja, wajah yang tampan, dan kaya. Dan apa yang
sedang dilakukan Justin sekarang? Memegang tangan seorang anak kecil terserang
penyakit kanker! Pantas saja di saat karyawan-karyawan yang lain datang jam 9,
Justin datang jam 10. Mungkin tiap hari ia menyisihkan waktunya untuk bertemu
dengan Lily. Lily memiliki rambut cokelat madu yang cerah. Ia menyukai warna
merah jambu, terlihat dari pakaiannya. Dan ia menyukai Hello Kitty. Balon
berbentuk Hello Kitty itu membuktikannya. Lily menyapa Laura yang menjepit
rambutnya menjadi satu itu dengan lambaian tangan dan langsung saja Lily
menjatuhkan kepalanya ke atas tangan Justin, bersikap malu-malu melihat Laura.
Laura tertawa.
“Hei,
ada apa? Ada apa sayang?” Tanya Justin mengelus kepala Lily dengan lembut.
Lebar tangan itu sangat besar, bisa menghancurkan kepala Lily hanya dalam satu
remukan. Kelihatannya memang seperti itu, namun mungkin rasanya seperti manusia
mengelus kucing atau anjingnya. “Dia tidak akan jahat padamu. Iya kan, Laura?”
Justin mendongak, memberikan senyum penuh arti bagi Laura.
“Ya,
tentu saja,” jawab Laura spontan. Perlahan-lahan Lily mulai mengangkat
kepalanya dari tangan Justin. Tampaknya ia sudah tidak takut lagi dengan Laura.
Anak itu sangat polos dan lucu. Sayangnya, penyakit sialan itu menghalangi
masa-masa kanak-kanaknya. Dan itu benar-benar memukul hati Laura. Bagaimana
bisa Tuhan memberikan cobaan seberat ini pada anak kecil yang manis seperti
Lily? Kedua tangan Lily masih memegang tangan kanan Justin, mencubit-cubitnya
dengan gemas. Namun sepertinya Justin tidak ada masalah dengan itu.
“Apa
kita akan bermain puzzle? Aku suka bermain puzzle,” ucap Lily dengan suara anak
kecilnya yang serak. “Apa kau membawakanku puzzle, Justin?” Tanya Lily menoleh
pada Justin setelah ia melihat Laura dengan tatapan penuh harap.
“Ah,
ya ampun! Aku lupa membawa puzzle untukmu, sweetheart!”
Seru Justin menepuk keningnya. Salah satu alis Laura terangkat. Jadi kantong
apa yang sedang Laura pegang? Kemudian sesuatu membentur kepala Laura,
menyadarkan Laura bahwa Justin hanya menggoda Lily. “Maafkan aku, Lily. Mungkin
kau harus bertanya pada Laura. Siapa tahu dia punya,” ucap Justin menunjuk pada
Laura dengan dagunya. Lily kemudian menolehkan kepalanya, melihat kantong
berwarna merah muda yang Laura pegang, dan tersenyum. Lily bertepuk tangan,
melepaskan tangannya dari tangan Justin. Melihat Justin bercengkrama dengan
seorang anak kecil membuat hati Laura luluh. Terlebih lagi, anak kecil ini
memiliki penyakit yang mematikan. Penyakit yang seharusnya tidak ada di dunia
ini! Penyakit yang hanya membawa kepahitan bagi orang lain! Rumah sakit ini
tidak pantas untuk Lily! Laura sedikit kesal dengan penyakit yang diderita
Lily.
“Apa
kita akan bermain puzzle, Laura? Aku tidak sabar!” Seru Lily gemas. Laura
menganggukkan kepalanya dan ia tidak tahan untuk tidak tersenyum pada Lily.
Justin bangkit dari tempat duduknya, menyuruh Laura untuk duduk di tempatnya
dengan jari telunjuknya yang memanggil. Langsung saja Laura melangkahkan
kakinya, mendekati Justin lalu duduk di tempat duduk yang baru saja Justin
duduki.
“Baiklah,
Lily, aku harus pergi bekerja. Jangan nakal dengan Laura,” ucap Justin. Lalu
Justin membungkukkan tubuhnya, mencium kening Lily dengan lembut. “Aku cinta
padamu,” lanjut Justin. Kemudian kedua tangan Justin menyentuh kedua bahu
Laura, didekatkannya kepala Laura lalu berbisik. “Jangan sekali-kali mencoba
untuk pergi dariku, Laura. Kau tahu sanksi apa yang akan kaudapatkan. Ah ya
Tuhan, aku ingin sekali menjilat lehermu ini. Kau sangat harum,” mata Justin
terpejam menghirup aroma wangi dari leher Laura. Tubuh Laura bergetar di bawah
hembusan nafas Justin yang hangat. Lalu Justin pergi dari hadapan mereka,
membuka pintu ruang kamar Lily.
“Aku
akan pulang secepat yang kubisa!” Teriak Justin menutup pintu. Tubuh Laura
masih menegang akan sentuhan Justin dan hembusan nafas Justin. Perasaannya
benar-benar tak dapat ia mengerti. Perasaan apa yang melanda dirinya sekarang?
Sentuhan tangan-tangan itu rasanya tak ingin lepas dari Laura dan begitupun
Laura. Rasanya ingin tetap berada dalam sentuhan itu. Ancaman Justin bahkan ia
lupakan.
“Laura,
ayo! Mana puzzle-nya?” Suara Lily membuyarkan lamunan Laura. Saa tersadar,
Laura menggelengkan kepalanya. Apa yang ia pikirkan? Tidak mungkin ia menyukai
Justin! Ini bahkan baru satu hari. Tidak, tidak, tidak! Pria itu adalah pria
yang licik, terlebih lagi, ia akan membunuh Thomas jika Laura pergi darinya.
“Baiklah,
ayo.” Laura mulai mengeluarkan puzzle dari kantong yang ia pegang.
***
LAURA
HARE
Keheningan
terjadi di sepanjang perjalanan pulang. Justin menjemputku setelah seharian aku
menjaga Lily yang mengikuti kemoterapi dan bermain dengannya. Anak itu
benar-benar manis sampai-sampai suaranya masih terngiang-ngian di telingaku.
Justin tidak berbicara denganku ketika kami berada di luar kamar Lily. Aku juga
tidak ingin memulai pembicaraan. Selain alasan itu, apa yang akan kubicarakan
dengannya? Aku masih menginginkan Thomas berada di sisiku. Benar-benar rindu
merayap di seluruh tubuhku, membuat mataku terpejam, dan berharap tiap kali aku
bernafas …berharap Thomas akan memelukku dari belakang. Datang untuk
menjemputku. Ini seperti mimpi buruk bagiku. Setelah kehilangan nenekku, aku
merasa tidak memiliki semangat hidup. Lalu Thomas masuk ke dalam hidupku,
memulai semuanya dari awal kembali. Memberikanku harapan untuk memiliki
kehidupan yang lebih baik. Namun itu tidak berlangsung lama! Aku seperti hidup dalam
mimpi buruk ini. Menjalaninya dan berharap Thomas ingin membangunkanku. Bagian
terbaik dari mimpi buruk ini hanyalah Lily yang sekarang telah menjadi temanku.
Ia seorang anak kecil yang bisa diajak bicara. Meski pembicaraannya terus
berputar-putar di satu poros yaitu Justin. Tapi tidak apa-apalah, melihatnya
tersenyum sudah merupakan kebahagiaan untukku. Apalagi ia memiliki penyakit
yang tiap orang di dunia ini berharap agar tidak ada penyakit itu.
“Aku
tidak percaya kau masih berada di dalam ruangan yang sama terakhir kali aku
melihatmu,” ucap Justin membuka pembicaraan. Aku menoleh, melihatnya yang
menyetir hanya dengan satu tangan –tangan kiri. Ibu jari tangan kanannya
mengelus-elus cincin di jari manisnya. “Kupikir kau akan pergi, aku mengirim
satu pengawalku untuk melihat-lihat tanda-tanda apa kau pulang atau tidak di
rumah sakit. Tapi ternyata, kau berada di dalam mobilku sekarang,”
“Jadi,
apa yang kauharapkan? Aku pergi dari rumah sakit dan membiarkan kekasihku mati
terbunuh karena diriku sendiri? Oh, itu sangat egois,” ujarku sinis. Kepalaku
berbalik melihat jendela, berpaling darinya. Tidak ada satu kata yang keluar
dari mulutnya. Baguslah, aku tidak ingin pendengaranku rusak hanya karena
mendengar suaranya terus menerus. Mobil terus melaju sampai kami berada di
dalam halaman rumah Justin. Aku turun dari mobil, segera meninggalkan Justin.
Namun sebelum aku mencapai pintu, tiba-tiba saja dari belakang aku bisa
merasakan pelukannya yang erat. Seperti cheetah menangkap mangsanya. Bibirnya
menyentuh leherku, menggigitnya penuh dengan nafsu, membuatku mendesah. Namun
aku langsung menyodok dadanya dengan siku-sikuku hingga ia menjauh dariku.
“Jangan sentuh aku!”
“Aku
meminta semua orang yang berada di rumahku untuk tetap berada di dalam kamarnya
sampai pagi agar aku memiliki waktu berduaan denganmu. Jelas aku tidak akan
membuang-buang waktuku untuk tidak menerkammu, sayang,” ucap Justin sepertinya
senang. Keyakinanku terhadap penyakit kelainannya semakin besar. Ia kembali
memelukku dari belakang, memegangku begitu erat, bibirnya kembali menyentuh
leherku. Tangannya membuka pintu rumahnya, membuatku menjerit-jerit. Tidak! Aku
tidak ingin melakukan ini dengannya!
Ia menutup pintu, menggiring tubuhku menuju ruang tamu. Melemparku ke atas
sofa. Saat aku berusaha untuk bangkit dari sofa, ia sudah menindih tubuhku.
Bibirnya menyentuh kembali leherku, menjilatnya, membuat seluruh darahku
berdesir. Seluruh tubuh ini bergetar akan sentuhannya. Aku menjerit, memukul
punggungnya berkali-kali. Kedua kakinya telah mengunci kedua kakiku dengan cara
menindihnya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa setelah itu karena kedua
tangannya telah mencapit kedua tanganku. Justin benar-benar menindih tubuhku
begitu sempurna. Air mataku mulai muncul.
“Mengapa
kau melakukan ini padaku?” Tanyaku berusaha untuk menahan tangisanku, namun
pada akhirnya suaraku memecah. Tatapan Justin yang awalnya menatapku penuh
nafsu tiba-tiba saja berubah menjadi tatapan lembut. Seakan-akan ada sesuatu
yang membentur kepalanya, Justin bangkit dari tubuhku secepat yang ia bisa lalu
menarik tanganku untuk terduduk.
“Maafkan
aku, Laura. Aku hanya …ah, sial. Apa yang kupikirkan?” Justin mengutuk dirinya
sendiri. Namun dengan mengutuk dirinya sendiri tidak bisa membuatku lunak. Ia
telah menjilatku! Berusaha untuk menyentuh tubuhku! Air mataku tak dapat
kutampung lagi, kembali air mata itu mengalir. Mengapa aku begitu cengeng?
Marah, aku bangkit dari sofa. Berlari secepat mungkin untuk menjauh darinya.
Dapat kudengar dari belakang ia mengikutiku dan mengatakan kata kotor. Aku
menaiki tangga, pergi menuju kamarku, namun saat aku membuka pintu kamar,
tangan Justin memegang tanganku. Menahanku. Aku langsung meronta-ronta
ketakutan. Ini pernah kurasakan sebelumnya! Seharusnya aku bisa menanganinya,
mengapa sekarang aku begitu takut padanya? Aku merosot jatuh di bawah pintu,
berusaha untuk melepaskan tangannya yang mencengkram lenganku begitu erat.
“Laura,
aku minta maaf. Jangan takut. Tadi aku sangat …” ia tidak dapat melanjutkan
kata-katanya. “Laura,” ia memanggil namaku kembali. Aku terisak, tidak tahan
akan perlakuannya. Bagaimana jika ia terus berusha untuk memperkosaku? Aku tak
sanggup untuk menatapnya. Ketakutan terbesarku ialah saat disentuhnya, Thomas
akan merasa aku telah mengkhianatinya. Itu sudah pasti. Thomas!
“Biarkan
aku masuk ke kamarku, kumohon,” ucapku bergetar.
“Tentu,
kau bisa masuk. Biar kuantar,” Justin berusaha untuk mengangkatku, tapi aku
menolak. “Laura,” ia memaksa.
“Aku
bisa masuk sendiri.” Ucapku tegas, namun air mata ini tidak mendukungnya. Aku
bangkit dari tempatku, membuka pintu kamarku secepat yang kubisa. Sebelum ia
bisa menahanku, aku sudah menutup pintunya lalu mengunci pintu kamarku. Ya
Tuhan, apa yang baru saja benar-benar terjadi? Kudengar Justin memaki-maki
dirinya sendiri di luar sana. Ini semua demi Thomas dan mungkin aku tinggal
bersama dengan Justin, namun bukan berarti aku mengkhianati Thomas. Tidak.
***
Paginya,
aku bangun dengan perasaan yang lebih baik. Sebentar lagi musim dingin, aku
bisa merasakannya. Matahari tanpa ragu-ragu menyinariku ketika aku membuka
tirai pintu kaca menuju balkonku sehingga aku terpaksa harus menyipitkan mataku
untuk mengurangi pencahayaan yang masuk ke dalam mataku. Aku butuh teh pagi
ini. Kepalaku pening karena semalaman aku menangis. Sebenarnya, tidak ada
gunanya aku menangis. Tapi dari sanalah perasaan lebih baik ini datang. Baju
tidur yang kupakai benar-benar tipis, aku baru sadar. Aku memutuskan untuk
memakai jaket yang tersangkut di atas kursi dalam kamarku. Langsung saja aku
meraihnya dan memakainya sebaik mungkin. Sebelum aku melangkah menuju pintu,
aku memejamkan mata dan menghirup udara dalam-dalam. Baiklah, aku bisa
melakukannya. Justin bukanlah ancaman bagimu, Laura! Dia hanyalah orang-orang
yang biasa ingin memperkosamu dan yang harus kaulakukan hanyalah menendang bolanya! Setelah menghembuskan nafas,
aku melangkah menuju pintu lalu membukanya.
“Aku
sudah bilang untuk tidak datang ke rumahku sebelum aku mengizinkannya! Mengapa
kau begitu keras kepala sekali?” Dari bawah aku bisa mendengar suara Justin
penuh amarah. Sontak langkahanku terhenti. Siapa yang datang hingga membuatnya
begitu marah?
“Mengapa
akhir-akhir ini kau selalu berusaha untuk menjauhiku? Terlalu banyak larangan
yang kauberikan padaku. Dulu aku tidak perlu meminta izin padamu untuk datang
ke rumahmu, mengapa sekarang aku harus meminta izinmu? Aku tunanganmu, ingat
itu!” Tunangan. Sekarang ucapan itu
telah membuat cincin itu berarti. Mereka
telah bertunangan dan karena aku hubungan mereka rusak? Ini tidak benar. Jasmine
berada di rumah Justin sekarang. Dan aku juga berada di dalam rumah Justin!
“Kau
lihat ini? Nah sekarang pergi dari rumahku!” Bentak Justin yang membuat
Jasmine, tunangan Justin, terperangah. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, aku
bisa mendengar suara langkahan sepatu yang semakin lama semakin samar suaranya.
Aku mulai melangkahkan kakiku setelah aku merasa semuanya aman. Aku tidak ingin
turun ke bawah tadi karena aku takut jika Jasmine akan memukulku dengan sesuatu
atau melemparkan sesuatu padaku. Dapat bisa dikenali dari suaranya bahwa ia
seorang wanita pemarah yang bisa menyakitimu tanpa pikir dua kali. Setelah
berada di lantai satu, aku tidak menghampiri Justin yang mengusap-usap
wajahnya. Namun aku langsung melangkah menuju dapur dan bersikap tidak ada
apa-apa yang terjadi.
Kulihat
seorang pelayan di dapur yang sedang membuatkan sarapan untukku dan Justin. Aku
langsung meminta padanya secangkir teh. Tanpa harus diminta dua kali, ia
langsung melakukannya. Aku mengusap-usap lenganku yang dibungkus oleh jaket.
Kubalikkan tubuhku, menarik kursi meja makan lalu duduk di sana. Kucondongkan
tubuhku ke depan, melipat kedua tanganku ke atas meja makan dan menyandarkan
kepalaku di atasnya. Ah, rasanya sangat nyaman. Ingin aku tidur, namun aroma
teh mulai tercium oleh indra penciumanku. Kudengar suara tarikan kursi yang
membuatku mengangkat tubuhku.
“Hei,”
sapa Justin lembut. “Bagaimana tidurmu?” Tanyanya perhatian. Sepertinya ia
benar-benar menyesal dengan apa yang ia perbuat tadi malam padaku.
Bayang-bayang ia menindih tubuhku kembali menyentuh otak, tubuhku merinding.
Baiklah, aku akan memberikan Justin satu kali kesempatan lagi untuk berteman,
jika ia berusaha untuk memperkosaku lagi, aku sudah pasti akan menendang
kemaluannya –meski itu tidak pernah terjadi tiap kali ia menyentuhku, aku
terlalu takut dan ia begitu kuat dibanding pria-pria yang pernah berusaha untuk
mempekosaku.
“Baik,”
ucapku singkat.
“Laura,
dengar, aku benar-benar tidak ingin membuatmu sedih. Kejadian tadi malam tidak
kupikir dua kali. Itu tidak akan terulang lagi sebelum kau benar-benar ingin
melakukannya denganku,” ucapnya benar-benar menyesal. Aku hanya mengangguk.
Pelayan muncul dengan secangkir teh yang ia suguhkan untukku. Pelayan lalu
pergi. Langsung saja aku meminumnya tanpa banyak bicara. Dapat kurasakan Justin
memerhatikanku sekarang. Apa masalahnya?
“Jasmine
datang. Mengapa kau membentaknya?” Tanyaku ketika kutaruh kembali cangkir itu
ke atas meja. Justin menelan ludahnya, matanya langsung melihat jari manis
tangan kanannya. “Kalian bertunangan.”
“Yeah,
benar. Aku telah bertunangan dengannya. Orangtuaku memang menyetujui hubungan
kami. Tetapi akhir-akhir ini ia terlalu posesif. Aku tidak suka. Jadi kulepas
saja cincin itu,” ujar Justin santai, seakan-akan apa yang ia lakukan tadi
tidak menyakiti perasaan Jasmine.
“Sudah
berapa lama kau bertunangan dengannya?”
“Baru
satu tahun. Kami berpacaran selama 2 tahun,” ujar Justin. “Aku bertemu
dengannya ketika orangtuanya datang ke rumah orangtuaku untuk acara ulang tahun
pernikahan kedua orangtuaku. Ia menyukaiku dan aku menyukainya. Ia seksi, kau
tahu,” lanjut Justin. Aku jengkel dengannya karena ia selalu memikirkan tubuh
wanita.
“Aku
tidak suka mendengar kau membentaknya. Rasanya sangat berbeda jauh dengan
sikapmu terhadap Lily kemarin. Lily tampak sangat nyaman denganmu, seolah-olah
kau pelindungnya. Dan sekarang? Kau memarahi Jasmine hanya karena ia datang ke
rumahmu. Kupikir tidak apa-apa ia datang,” ucapku meminum kembali teh.
“Tidak
apa-apa? Kau bilang tidak apa-apa dengan keberadaanmu di dalam rumahku?” Justin
terkejut dengan ucapanku. “Kau pasti sudah gila. Aku tidak ingin kau mati di
tangannya. Jika ia tahu kau berada di rumahku, ia pasti akan marah besar dan
melemparmu dengan barang-barang di dekatnya,” sudah kuduga Jasmine akan
melakukan itu, pikirku.
“Omong-omong,
siapa Lily bagimu?” Tanyaku, penasaran. Ia tidak memberitahu padaku ada hubungan
apa antara dirinya dengan Lily. Ia hanya datang ke rumah sakit dan bercengkrama
dengan anak kecil itu. Mereka agak
mirip. Justin mendesah, seolah-olah ada kenangan pahit yang terlihat dari
matanya yang menatap meja makannya.
“Dia
anakku,” ucapnya. “Anak kandungku, sebenarnya.” Aku terkesiap, tak dapat
bernafas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar