Rabu, 18 Desember 2013

A Beautiful Nightmare Bab 5

LAURA HARE

            Aku terdiam di bawah terik matahari. Memakai sebuah topi lebar yang diberikan Justin pagi ini ketika ia masuk ke dalam kamarku, saat aku mengganti pakaianku. Ia memintaku untuk memakai topi ini jika aku berpergian kemana-mana, kecuali jika berada di dalam rumah atau mobil. Otakku masih belum bisa mencerna dengan apa yang Justin katakan tadi pagi. Setelah ia memberitahu padaku bahwa Lily adalah anak kandungnya, aku menutup percakapan itu. Karena mata Justin menatap meja dapur tadi benar-benar penuh dengan kepahitan seperti ada sebuah kenangan lama yang tidak ingin ia ungkit. Tentu saja aku tidak ingin mengungkit masa lalu Justin jika aku sudah tahu dari pancaran matanya, ia sedang menangis dalam hati. Mungkin aku baru tinggal bersama dengannya selama dua hari, namun, rasanya aku mengenal Justin sudah bertahun-tahun. Topi ini berguna sekali karena membuat penglihatanku tak silau. Hari ini aku tidak pergi kemana-mana. Hanya di halaman belakang rumah Justin yang ternyata ia memiliki padang rumput yang hijau. Cerah. Aku terduduk di kursi santai, menikmati sinar matahari, meski udara dingin. Justin meninggalkanku sebuah ponsel –ya, aku tidak membawa ponsel ketika empat penagih hutang Justin membawaku ke sini. Ia bilang aku boleh menghubungi Thomas. Namun dari tadi aku tidak menekan nomor teleponnya. Ada ketakutan, kerinduan, dan kecemasan yang melanda diriku dalam waktu yang sama.
            Tanganku mengeluarkan ponsel yang diberikan Justin dari baju terusanku yang panjang sampai lutut, beretsleting dari bagian dada hingga perut, dan memiliki garis-garis putih-biru tua sepanjang baju. Aku menyukai pakaian ini karena sederhana. Aku mengangkat tubuhku dari sandaran kursi lalu melihat layar ponsel. Menekan nomor telepon Thomas, segera aku mendekatkannya pada telingaku. Aku merindukannya. Benar-benar merindukannya. Rasanya aku ingin menceritakan bagaimana rasanya tinggal bersama dengan Justin. Namun aku tidak ingin ia melakukan hal yang bodoh hanya karena ia menguatirkanku. Satu nada terdengar. Lalu nada kedua. Ia belum mengangkatnya. Pikiran-pikiran buruk mulai melanda otakku, membuat sekujur tubuhku tiba-tiba saja merinding keringat. Seketika itu juga seluruh pori-pori tubuhku meremang saat mendengar suaranya yang lembut mengangkat telepon.
            “Anderson di sini. Siapa ini?” Tanya Thomas seketika formal. Seulas senyuman kecil muncul menghias wajahku. Suara yang benar-benar kurindukan. Kubuka mulutku, namun tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Apakah aku terlalu takut berbicara lagi dengannya karena aku sedang menikmati apa yang tidak ia nikmati? Kutelan ludahku begitu susah. “Halo?”
            “Thomas, ini aku,” ucapku memecah. Ya Tuhan, bagaimana tidak aku tidak menangis saat mendengar suaranya yang lembut itu berbicara denganku? Sekarang aku berharap ia ada di sisiku, memelukku dengan erat, lalu aku akan tertidur di atas dadanya. Setelah itu, ia pasti akan membawaku ke dalam kamar. Membiarkanku tidur sendirian penuh dengan damai. Ia tahu aku tidur dengan damai karena orang yang terakhir kulihat sebelum aku terlelap adalah dia. Thomas. Kudengar suara desahan penuh rasa syukur di sana. Kurasa ia sedang menggigit kepalan tangannya. “Aku baik-baik saja di sini, Thomas. Tidak ada yang perlu kau kuatirkan. Kita hanya berpisah selama 3 bulan. Itu waktu yang tidak begitu lama. Oh, ya ampun, aku sangat merindukanmu,”
            Thomas menarik nafasnya dalam-dalam. “Ya Tuhan, Laura. Akhirnya kau menghubungiku. Rasanya aku akan gila ketika aku tidak menemuimu di kantor. Apa Mr.Herich melarangmu untuk bekerja? Ya Tuhan, aku sangat merindukanmu,” ucap Thomas lega. Ia memang benar merindukanku seperti aku merindukannya. Mata biru itu. Aku merindukan Thomas. Sangat, sangat, sangat, bahkan aku tidak tahu seberapa banyak ‘sangat’ yang akan kubilang.
            “Aku juga. Aku rindu padamu. Tapi aku ingin memberitahu padamu bahwa aku di sini baik-baik saja. Tidak ada yang harus kau kuatirkan. Justin bersikap baik padaku. Ia tetap memberiku makan. Tiap satu minggu sekali aku diizinkan untuk menghubungimu. Dan hari ini ia memberiku ponsel untuk menghubungimu. Jadi, aku menghubungimu,” jelasku senang. “Bagaimana keadaanmu?” Nada suaraku berubah seketika, menjadi suara yang penuh dengan kekuatiran.
            “Well, sebenarnya aku sangat membutuhkanmu di sini. Pipiku masih bengkak. Tapi tidak parah. Aku baik-baik saja. Dan Jimmy? Dia merindukanmu. Dia bosan karena tidak ada orang yang bisa ia ajari untuk bermain gitar. Dan ia ingin bertanya-tanya seputar tentang wanita. Kebetulan ia sedang menyukai teman sekelasnya. Katanya ia membutuhkan saranmu,” ucap Thomas. “Apa yang sedang kaulakukan di sana?” Tanya Thomas. Mungkin Thomas sudah tahu aku memang tinggal di rumah Justin. Tentu saja aku tinggal di rumah Justin –siapa tahu saja kau dibawa pergi ke Irak.
            “Hanya melihat padang rumput di belakang rumah Justin. Sangat luas. Namun tidak ada temanku di sini. Aku merasa sangat bosan. Aku juga membutuhkanmu di sini, Thomas. Aku merindukanmu. Aku sangat berharap waktu ini cepat berlalu dan akhirnya aku bisa bertemu denganmu lagi. Siapkan aku kumis dan janggut yang halus ketika aku pulang nanti, oke?” Ujarku dengan senang. Ia pendengar yang baik. Seharusnya pria-pria di luar sana memiliki hal ini agar kekasih mereka akan merasa nyaman. Karena wanita ingin didengar dan dimengerti.  
            “Aku berjanji akan menyiapkanmu kumis dan janggut,” ucapnya mantap. Ada keheningan terjadi begitu saja. Tidak ada salah satu dari kami angkat suara. Sampai pada akhirnya, aku mendengar suara tarikan nafas dari Thomas. “Laura?” Panggil Thomas.
            “Ya?”
            “Berjanjilah,” bisik Thomas. “Berjanjilah padaku untuk tetap memegang perasaanmu terhadapku. Dan tidak akan kaubuka untuk siapa pun lagi. Kumohon?” Ungkapan ini seperti ungkapan cinta matinya padaku. Menyentuh sampai hatiku. Sadar, ternyata aku menggigit bibirku sambil mengangguk.
            “Ya, tentu saja. Aku berjanji. Begitupun kau, tunggu aku. Karena aku akan datang padamu dengan keadaan yang lebih baik. Namun dengan perasaan yang sama.”

***

            Ponsel itu langsung dirampas secara kasar dari tanganku oleh Justin ketika ia baru saja pulang dari kantornya. Aku yang sedang menonton televisi di ruang keluarga terkejut setengah mati karena ponsel itu berada dalam genggaman tanganku. Justin tidak menyapa ‘hai’ atau ‘halo’, hanya mengambil ponsel ini dari tanganku. Kuperhatikan ia yang segera memeriksa isi ponselku lalu keningnya mengerut kesal. Setelah itu ia menyimpannya di dalam kantong celananya, ia menarik nafas dalam-dalam tanpa menatapku. Dari tadi aku mendongak melihatnya, memerhatikannya, bingung dengan apa yang terjadi dengannya hari ini. Mungkin ia baru saja melewati hari yang berat. Atau mungkin ia baru bertemu dengan Lily, anak kandungnya. Anak yang belum kuketahui siapa ibu kandungnya dan siapa istri Justin sebelumnya. Karena aku sudah bilang padamu bahwa aku langsung menutup percakapan itu sesegera mungkin. Aku tidak mungkin mengelupas masa lalu yang mungkin pahit bagi Justin. Aku mendesah pelan ketika mata Justin langsung menatapku, marah. Apa masalahnya? Bukankah perjanjian tentang menghubungi Thomas diberlakukan? Aku tidak akan menghubungi Thomas lagi setelah ini, aku memberitahu Thomas juga kalau aku tidak akan menghubunginya.
            Namun tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Ia malah melangkah, menjauh dariku, pergi ke lantai dua, ke kamarnya. Ada apa dengannya? Aku tidak mengerti. Kuturunkan kedua kakiku yang kuangkat naik tadi dari sofa. Topi yang diberikan Justin padaku sudah kulepas saat aku masuk ke dalam rumah lagi. Berada di halaman belakang rumah Justin membuat kulitku terbakar dan untungnya aku langsung mandi karena aku berkeringat. Jujur saja, aku benci dengan hal-hal yang berbau lengket. Tanganku meraih remote dan mematikan televisi. Sejak dari tadi siang aku tidak makan, malam ini aku sangat lapar. Aku berjalan menuju dapur, melewati ruang makan, dan menemui pelayan yang sedang menelepon bersandar di kulkas. Segera saja ia bangkit dari kulkas itu saat ia melihatku lalu bertanya padaku, “Ada yang bisa kubantu, Ms. Hare?” Tanyanya.
            “Aku ingin makan malam. Makanan apa saja, aku akan memakannya. Terima kasih sebelumnya,” ucapku sesopan mungkin. Ia langsung menganggukkan kepalanya, pergi keluar dari dapur menuju pintu lain. Entah ia akan pergi kemana, mungkin ia ingin memanggil seorang koki? Aku tidak begitu peduli. Kulangkahkan kakiku menuju ruang makan, keluar dari ruang dapur, lalu menarik kursi meja makan. Ruangan ini kembali mengingatkanku pada percakapan tadi pagi. Uh, rasa penasaranku tidak dapat kutahan. Aku mungkin akan bertanya pada Justin nanti, sebelum aku tidur. Siapa istrinya dulu? Mengapa anaknya memiliki penyakit kanker—yang aku belum tahu kanker jenis apa? Kemana istrinya? Kemungkinan besar, Justin telah menikah 5 atau 6 tahun yang lalu. Masa-masa ia masih terlihat gagah sekali, tampan, dan tersenyum. Mungkin saja. Orang-orang berubah ketika ia sedang jatuh cinta. Justin pun tak luput dari itu. Lily, Lily, Lily. Aku ingin bertemu dengannya. Ia tidak pernah menyinggung tentang ibunya, tentu saja. Kapan ibunya pergi meninggalkannya?
            “Apa pun yang sedang kaupikirkan, aku marah padamu,” ucap Justin secara tiba-tiba muncul di hadapanku. Ia menarik kursi di hadapanku, duduk di sana dan bersandar. Tidak melipat tangannya ke atas meja sama sepertiku. Sepertinya ia memang marah padaku. Akan sesuatu. Kulihat pipi Justin yang menyembul-nyembul karena memainkan lidahnya di dalam mulut itu. “Kau pasti tahu itu karena apa,”
            Seketika aku langsung panik. “Apa yang kau lakukan pada Thomas?” Aku bertanya dengan nada tinggi. “Kau sudah memberitahu padaku tentang peraturan menghubunginya. Apa masalahmu, sialan? Aku benci sekali ketika orang tidak menepati janjinya. Hari ini aku sudah menghubunginya bukan berarti besok aku akan menghubunginya lagi. Aku tahu peraturannya. Apa masalahmu?” Kali ini berteriak, kesal. Tapi ketakutan lebih mendominan perasaanku. Justin tertawa mengejekku.
            “Oh, tidak, aku tidak menyakitinya. Meski aku melihatnya menelepon denganmu dengan tertawaan konyol. Rasanya aku ingin meninjunya,” ucap Justin seakan-akan aku bukanlah Laura. “Tetapi aku hanya memberikannya satu kesempatan untuk menelepon denganmu di kantor. Aku tidak senang melihatnya bahagia seperti itu. Entahlah. Mungkin karena ia sudah menghabisi uang-uangku yang ia buang-buang secara percuma,” kembali Justin mengejek Thomas.
            “Kau tidak tahu apa-apa tentang Thomas, mengerti? Pertama, uang-uang itu ia gunakan untuk menutupi hutang-hutang ayahnya karena judi jika tidak, ayahnya akan mati. Kedua, kau tidak pernah senang melihat orang lain bahagia, sepertinya dan kau harus memperbaiki sikap itu. Ketiga, aku setuju tentang ia tidak boleh berbicara denganku lewat telepon di kantor, itu akan mengganggu konsentrasinya di kantor. Keempat, jangan sekali-kali kau berani memukulnya. Itu saja.” Awalnya aku berbicara dengan nada tinggi, namun lama kelamaan, nada tinggi itu menurun menjadi nada rendah. Ia terdiam sejenak, salah satu tangannya yang ia sandarkan ke atas kursi itu mulai ia gerakkan. Seakan menimbang-nimbang apa yang kuucapkan. Sebenarnya, aku berbicara seperti itu agar Justin tidak menyakiti Thomas untuk yang kedua kalinya. Aku ingin bertanya tentangnya, bagaiman perasaannya jika orang yang ia cintai disakiti oleh orang lain? Namun aku mengurung niat itu.
            “Aku tidak akan menyakitinya. Tapi aku tidak berjanji, oke? Sekarang, mengapa kau tampak pucat?” Tanyanya yang membuat kedua alisku terangkat. Apa aku terlihat pucat? Ya Tuhan, aku tidak sadar dengan keberadaanku seperti itu. Tidak mungkin aku pucat hanya karena aku tidak makan siang. “Kau tidak makan siang? Sudah kuduga. Seharusnya tadi aku mengajakmu pergi dari rumah agar kau tetap berada di bawah pengawasanku. Aku tidak ingin kau sakit karena aku hanya akan memilikimu selama 3 bulan. Dan sampai sekarang, aku belum menyentuh tubuhmu,” ucapnya dengan alasan yang membuatku memutar bola mata. Mengapa ia tampak menyebalkan sekaligus tampan dalam waktu yang bersamaan? Ia ahli dalam melakukan itu. Menyebalkan namun tampan. Kucium aroma wangi dari makanan yang langsung saja muncul di hadapanku dan Justin. Oh? Aku tidak meminta makanan untuk Justin. Atau mungkin mereka sudah tahu akan kedatangan Justin? Kulirik Justin yang memberikan senyum aneh sambil menarik piringnya.
            “Alasan bodoh yang tidak akan pernah terjadi,” ucapku. Aku makan dalam keheningan. Tiap kali ia berbicara, aku hanya mengangguk-angguk. Makan selesai, aku langsung menaruhnya ke cucian kotor lalu pergi melewatinya saat kami berpas-pasan di dapur. Kudengar ia tertawa kecil di belakang sana, mau tak mau, aku juga ikut tersenyum. Mengapa bisa ia menularkan tawaannya itu? Sungguh, aku tidak mengerti perasaan apa yang melanda diriku akhir-akhir ini. Maksudku, baru saja aku bertengkar dengannya hanya dalam waktu 3 menit. Sekarang, aku tersenyum karena ia tertawa. Jadi, apa masalahnya di sini? Aku pergi ke kamarku untuk mengganti gaun tidur. Kubuka pintu lemariku lalu mengambil salah satu gaun tidur yang tipis meski aku tahu sekarang mulai memasuki musim dingin, setidaknya, aku tidak perlu mengunakan AC lagi. Ketika aku membuka pakaianku, tiba-tiba saja pintu terbuka. Refleks aku langsung menutupi tubuhku dengan pakaian yang sudah kulepas sekaligus pintu lemari. Aku hanya memakai bra dan celana dalam! Demi Tuhan aku ingin bunuh diri sekarang juga.
            “Laura? Apa kau sudah ingin tidur?” Suara Justin terdengar, seluruh tubuhku merinding sekaligus bergetar dalam waktu yang bersamaan. Jadi sejenak, aku memejamkan mata untuk menghilangkan perasaan-perasaan itu. Entah mungkin aku kolot atau tidak pernah berhubungan seks dengan siapa pun membuatku menjadi orang yang mudah merinding mendengar suara seksi seperti suara Justin. Suaranya itu selalu memberikan getaran ini. Getaran yang tidak pernah terjadi seumur hidupku, sekalipun itu bersama dengan Thomas. Tidak sekalipun. Sampai aku bertemu dengan Justin. Sampai aku masuk ke dalam rumahnya dan ia bersikap lebih baik dan menggunakan suara yang berbeda antara di kantor dan di rumahnya. “Oh, di sana kau ternyata,” ucapnya. Kudengar suara pintu ditutup dan dikunci.
            “Jangan masuk!” Teriakku semakin memasuki tubuhku ke dalam lemari, meski ini sudah benar-benar terjepit. “Kau gila! Apa yang kaulakukan masuk ke kamarku tanpa mengetuk pintu?” Tanyaku berbisik dengan nada kesal. Justin terduduk di atas tempat tidurku, melipat kedua tangannya seperti hendak berdoa lalu mencondongkan tubuhnya, menatapku. Menatapku dengan tatapan itu. Aku menggigit pipi bagian dalamku, berusaha untuk menolak perasaan-perasaan ini. Tidak mungkin aku bercinta dengannya. Masih teringat jilatannya di leherku yang membuatku mendesah. Harus kuakui, aku bergetar. Namun Thomas. Thomas yang mengembalikan ke dalam dunia nyata.
            “Mengapa kau harus malu? Cepat atau lambat, aku akan melihatmu telanjang nanti. Kau tahu itu kan? Nah, kusarankan saja. Tidak usah memakai gaun itu. Karena malam ini kau tidak akan tidur. Begitu juga denganku. Jadi, apa pun yang kaulakukan dengan gaun itu, sudah pasti akan kembali terlepas dari tubuhmu.” Jelas Justin menjanjikan sesuatu. Menjanjikan sebuah hubungan seks padaku. Menjanjikan perasaan nikmat –kata orang-orang—yang akan ia berikan. Sentuhan-sentuhannya. Aku yakin sekali pasti ia memiliki keahlian dalam berhubungan seks. Yah, aku minta maaf, hal pertama yang kukatakan saat ia menatapku seperti ini adalah ia orang yang pintar berhubungan seks. Aku tidak mengatakan apa-apa, bergerak pun tidak, hanya saling bertatap-tatapan dengannya. Kami melakukan hal itu selama kurang lebih 10 menit sampai akhirnya aku yang menyerah. Aku mendorong pintu lemari sehingga sekarang tubuhku terlihat olehnya. Aku memunggunginya, namun aku bisa mendengar ia tersenyum puas di belakang sana. Ingin rasanya aku meninju Justin namun aku tahu, aku tidak bisa melakukannya. Ia pria yang cukup kuat dari pria-pria di luar sana. Baru saja aku akan memakai gaunku, tiba-tiba saja tangan-tangan besar itu memeluk tubuhku dari belakang. Kurasakan sentuhan bibir Justin di sela leherku, menciumnya dengan lembut dan mataku terpejam. Ya ampun, aku ingin sekali bersetubuh sekarang. Aku penasaran dengan rasa-rasa itu. Sudah bertahun-tahun aku ingin merasakannya namun aku ingin mendapatkan orang yang tepat.
            “Sekarang aku melihatmu,” bisiknya. “Putih. Seksi. Tak tertahankan. Mengapa kau melakukan ini padaku?” Bisik Justin. Tangannya yang memegang pinggangku mulai mengelusnya dari atas ke bawah. Aku menikmati sentuhan-sentuhan itu. Apa aku sudah siap melakukan hubungan itu dengannya? Benarkah? Entahlah, hanya padanya aku ingin melakukan ini. Gaun tidur yang kupakai tiba-tiba saja terlepas dari pegangan tanganku.
            “Apa kau ingin melakukannya denganku?” Tanyaku dengan suara serak. Terasa ada sesuatu yang lembap di bawah, kata guru pendidikan seks-ku katanya, ini karena aku terangsang. Benarkah aku terangsang akan sentuhannya? Justin tidak menjawabku, ia malah mencium-cium leherku hingga aku menelengkan kepalaku ke samping. Memejamkan mata. Kakiku melemas, namun pelukan Justin membuatku tak terjatuh. Tetapi ternyata, perlakuan Justin adalah jawabannya. Ia menarik tubuhku ke belakang, lalu menjatuhkan tubuhku ke atas tempat tidur hingga kami berdua bergoyang bersama di atas tempat tidur bersama. Aku tertawa, refleks. Tidak, tawaan itu tidak berlangsung lama, karena Justin memanfaatkannya untuk memasukkan lidahnya ke dalam. Membuatku langsung mengisapnya, entah mengapa tiba-tiba saja aku bisa melakukan itu. Bibirnya mengisap bibirku, ia menggeram. Lututku dapat merasakan sesuatu yang menyembul di bawah sana. Kepalaku berada di antara kedua siku-siku Justin, ia masih menciumku. Namun aku mendorongnya hingga bibir kami terlepas. Tidak ada, tidak ada koneksi. Mungkin kami harus berbicara sebentar.
            “Mengapa kau ingin melakuan ini denganku?” Tanyaku, menatap matanya yang penuh nafsu.
            “Inilah yang kuinginkan setelah aku menari denganmu. Setelah aku bisa bercinta denganmu, aku masih memiliki rencana-rencana yang akan kulakukan bersama denganmu. Kau sangat cantik denganmu yang berwarna cokelat. Bibirmu yang sangat lembut. Wajah tanpa cela,”
            “Kecuali alisku,” selaku. Ia tertawa dan lalu ia mencium pipiku, lalu ke atas, ke atas dan kening. Lalu hidung dan bibir lagi.
            “Aku tidak peduli. Bagiku, kau cantik.” Ucapnya menurunkan ciumannya hingga leherku. “Apa kau yakin akan melakukannya bersama denganku?”
            “Aku tidak tahu. Bagaimana menurutmu?” Tanyaku. Justin terdiam lalu ia mendesah. Kepalanya tergeleng, aku jadi bingung. Bukankah ini yang ia inginkan? Bercinta denganku atas kemauanku? Sebenarnya, aku mau, namun aku juga ragu. Bagaimana jika rasanya tidak senikmat yang orang-orang lain katakan? Tubuhku mulai kedinginan –awalnya aku kepanasan karena sentuhan-sentuhan Justin.  Tiba-tiba saja Justin bangkit dari atas tubuhku, ia segera mengambil gaun tidurku lalu memakaikan gaun tidur itu untukku saat aku sudah terduduk. Oh ya ampun, ia baru saja melakukan itu padaku? Tanpa sepatah kata pun, Justin menarik tubuhnya ke atas, tidur di atas tempat tidurku. Lalu ia menepuk-nepuk tempat tidur, di sebelah tubuhnya. Mau tak mau aku menuruti apa yang ia suruh. Tidur di sebelahnya. Tangannya langsung menarik kepalaku hingga kepalaku bersandar di dengannya. Ia memelukku dengan erat, nah, sekarang baru terasa sangat hangat.
            “Mengapa kau tidak mau melakukannya?” Tanyaku bingung.
            “Aku tidak bisa jika kau masih ragu. Mungkin besok. Besok kita bisa melakukannya. Mungkin tengah malam nanti. Atau pagi. Aku tidak tahu,” ucap Justin seperti kebingungan juga. “Yang sekarang ingin kulakukan adalah tidur bersama denganmu. Memelukmu dengan perasaan lega karena kau juga ingin kupeluk, jadi yah, aku lebih memilih memeluk dirimu,” lanjut Justin menyandarkan dagunya di atas kepalaku. Kupejamkan mataku sejenak, mengumpulkan seluruh tenagaku untuk bertanya tentang hal ini.
            “Dimana ibu Lily?” Tanyaku, akhirnya. Seluruh perasaanku jadi lega. Kurasakan otot-otot Justin menegang. Oh, jika aku bisa melihat matanya, pasti matanya penuh dengan kepahitan.
            “Di sesuatu tempat yang indah,” ucapnya, sakit hati. “Ibu Lily meninggal tepat ketika Lily berumur 2 tahun. Ia terserang kanker darah. Maka dari itu Lily juga memiliki penyakit keturunan dari ibunya. Aku tidak pernah menikahi ibu Lily. Seumur hidupku, aku tidak pernah berniat untuk menikah sampai aku bertemu dengan Jasmine. Bahkan Jasmine dan aku masih bertunangan, jalan di tempat tak pernah maju. Meski Jasmine sering menyinggung masalah pernikahan. Namun aku tidak bisa melakukannya. Bahkan ibu Lily,”
            “Siapa nama ibu Lily?” Tanyaku, penasaran, lagi.
            “Ramona,” bisik Justin. “Ramona namanya. Ia sangat cantik dulu. Aku jatuh cinta padanya saat aku berumur 24 tahun. Kami berpacaran. Menjalin hubungan dengan baik. Sampai suatu saat ia berkata padaku bahwa ia hamil. Yah, benar sekali. Aku senang bercinta dengannya. Namun aku tidak dapat menerima kenyataan bahwa ia hamil dengan baik. Aku begitu pengecut untuk menikahinya. Ternyata ia tidak meminta pertanggungjawaban dariku. Namun ia meminta padaku untuk menjauh darinya. Jadi, aku menjauh,
            “Dua tahun kemudian, aku tidak sama sekali menerima kabar darinya. Bagaimana anakku atau bagaimana keadaannya? Namun, seseorang menghubungiku untuk mengambil anakku di sebuah rumah sakit. Di situlah penyesalan yang tidak akan pernah kuulang untuk yang kedua kalinya. Perasaan benci terhadap diriku sendiri menghantam hingga aku berniat untuk mengakhiri hidupku sama seperti Ramona. Ramona memang tidak bunuh diri, ia meninggal karena kanker sialan itu. Aku berjanji pada diriku dan Ramona bahwa aku akan menjaga Lily sebaik-baiknya. Pertama kali aku bertemu dengan Lily, aku menangis. Betapa bahagianya aku memiliki anak cantik sepertinya. Aku memeluknya dengan erat, memberitahu padanya bahwa aku adalah …pamannya. Ya, aku tidak pernah memberitahu padanya bahwa aku adalah ayahnya karena aku yakin, Ramona pasti pernah berbohong pada Lily tentangku,
            “Terakhir, Lily divonis memiliki penyakit kanker keturunan dari Ramona. Sejak saat itu, aku mulai mencari calon ibu untuk Lily agar ia tidak kesepian selama masa pengobatannya. Sudah ada beberapa wanita yang pernah bertemu dengan Lily, namun Lily hanya senang dengan Jasmine. Jadi aku mempertahankan Jasmine. Sampai suatu hari aku bertemu denganmu. Tadi pagi, Lily mencarimu. Ia merindukanmu. Sebenarnya, aku memiliki penjaga anak untuk Lily, namun ia meminta izin padaku untuk pergi ke kampung halamannya selama tiga hari. Besok ia akan datang kembali,” jelas Justin. Tak terasa aku menangis mendengar cerita dari Justin. Ramona tidak pernah Justin nikahi ketika ia sedang hamil? Pasti ia merasa sangat kesepian.
            “Jadi, kau mencari wanita-wanita untuk menjadikannya ibu bagi Lily? Itu tindakan mulia, Justin. Aku setuju Jasmine bersama denganmu. Seperti yang tadi kaubilang. Lily senang dengan Jasmine,” ucapku tanpa menyinggung bahwa Lily juga menyukaiku. Kurasakan tangan Justin yang menyangga kepalaku, mengelus lenganku. “Aku turut berduka cita tentang Ramona. Pasti ia wanita yang tangguh, aku yakin itu,”
            “Yeah, kau benar. Dan mungkin, penggantinya sekarang berada di sebelahku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar