LAURA
HARE
Aku
terdiam di bawah terik matahari. Memakai sebuah topi lebar yang diberikan
Justin pagi ini ketika ia masuk ke dalam kamarku, saat aku mengganti pakaianku.
Ia memintaku untuk memakai topi ini jika aku berpergian kemana-mana, kecuali
jika berada di dalam rumah atau mobil. Otakku masih belum bisa mencerna dengan
apa yang Justin katakan tadi pagi. Setelah ia memberitahu padaku bahwa Lily
adalah anak kandungnya, aku menutup percakapan itu. Karena mata Justin menatap
meja dapur tadi benar-benar penuh dengan kepahitan seperti ada sebuah kenangan
lama yang tidak ingin ia ungkit. Tentu saja aku tidak ingin mengungkit masa
lalu Justin jika aku sudah tahu dari pancaran matanya, ia sedang menangis dalam
hati. Mungkin aku baru tinggal bersama dengannya selama dua hari, namun,
rasanya aku mengenal Justin sudah bertahun-tahun. Topi ini berguna sekali
karena membuat penglihatanku tak silau. Hari ini aku tidak pergi kemana-mana.
Hanya di halaman belakang rumah Justin yang ternyata ia memiliki padang rumput
yang hijau. Cerah. Aku terduduk di kursi santai, menikmati sinar matahari,
meski udara dingin. Justin meninggalkanku sebuah ponsel –ya, aku tidak membawa
ponsel ketika empat penagih hutang Justin membawaku ke sini. Ia bilang aku
boleh menghubungi Thomas. Namun dari tadi aku tidak menekan nomor teleponnya.
Ada ketakutan, kerinduan, dan kecemasan yang melanda diriku dalam waktu yang
sama.
Tanganku
mengeluarkan ponsel yang diberikan Justin dari baju terusanku yang panjang
sampai lutut, beretsleting dari bagian dada hingga perut, dan memiliki
garis-garis putih-biru tua sepanjang baju. Aku menyukai pakaian ini karena
sederhana. Aku mengangkat tubuhku dari sandaran kursi lalu melihat layar
ponsel. Menekan nomor telepon Thomas, segera aku mendekatkannya pada telingaku.
Aku merindukannya. Benar-benar merindukannya. Rasanya aku ingin menceritakan
bagaimana rasanya tinggal bersama dengan Justin. Namun aku tidak ingin ia
melakukan hal yang bodoh hanya karena ia menguatirkanku. Satu nada terdengar.
Lalu nada kedua. Ia belum mengangkatnya. Pikiran-pikiran buruk mulai melanda
otakku, membuat sekujur tubuhku tiba-tiba saja merinding keringat. Seketika itu
juga seluruh pori-pori tubuhku meremang saat mendengar suaranya yang lembut
mengangkat telepon.
“Anderson
di sini. Siapa ini?” Tanya Thomas seketika formal. Seulas senyuman kecil muncul
menghias wajahku. Suara yang benar-benar kurindukan. Kubuka mulutku, namun
tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Apakah aku terlalu takut berbicara
lagi dengannya karena aku sedang menikmati apa yang tidak ia nikmati? Kutelan
ludahku begitu susah. “Halo?”
“Thomas,
ini aku,” ucapku memecah. Ya Tuhan, bagaimana tidak aku tidak menangis saat
mendengar suaranya yang lembut itu berbicara denganku? Sekarang aku berharap ia
ada di sisiku, memelukku dengan erat, lalu aku akan tertidur di atas dadanya.
Setelah itu, ia pasti akan membawaku ke dalam kamar. Membiarkanku tidur sendirian
penuh dengan damai. Ia tahu aku tidur dengan damai karena orang yang terakhir
kulihat sebelum aku terlelap adalah dia. Thomas. Kudengar suara desahan penuh
rasa syukur di sana. Kurasa ia sedang menggigit kepalan tangannya. “Aku
baik-baik saja di sini, Thomas. Tidak ada yang perlu kau kuatirkan. Kita hanya
berpisah selama 3 bulan. Itu waktu yang tidak begitu lama. Oh, ya ampun, aku sangat
merindukanmu,”
Thomas
menarik nafasnya dalam-dalam. “Ya Tuhan, Laura. Akhirnya kau menghubungiku.
Rasanya aku akan gila ketika aku tidak menemuimu di kantor. Apa Mr.Herich
melarangmu untuk bekerja? Ya Tuhan, aku sangat merindukanmu,” ucap Thomas lega.
Ia memang benar merindukanku seperti aku merindukannya. Mata biru itu. Aku
merindukan Thomas. Sangat, sangat, sangat, bahkan aku tidak tahu seberapa
banyak ‘sangat’ yang akan kubilang.
“Aku
juga. Aku rindu padamu. Tapi aku ingin memberitahu padamu bahwa aku di sini
baik-baik saja. Tidak ada yang harus kau kuatirkan. Justin bersikap baik
padaku. Ia tetap memberiku makan. Tiap satu minggu sekali aku diizinkan untuk
menghubungimu. Dan hari ini ia memberiku ponsel untuk menghubungimu. Jadi, aku
menghubungimu,” jelasku senang. “Bagaimana keadaanmu?” Nada suaraku berubah
seketika, menjadi suara yang penuh dengan kekuatiran.
“Well,
sebenarnya aku sangat membutuhkanmu di sini. Pipiku masih bengkak. Tapi tidak
parah. Aku baik-baik saja. Dan Jimmy? Dia merindukanmu. Dia bosan karena tidak
ada orang yang bisa ia ajari untuk bermain gitar. Dan ia ingin bertanya-tanya
seputar tentang wanita. Kebetulan ia sedang menyukai teman sekelasnya. Katanya
ia membutuhkan saranmu,” ucap Thomas. “Apa yang sedang kaulakukan di sana?”
Tanya Thomas. Mungkin Thomas sudah tahu aku memang tinggal di rumah Justin.
Tentu saja aku tinggal di rumah Justin –siapa tahu saja kau dibawa pergi ke
Irak.
“Hanya
melihat padang rumput di belakang rumah Justin. Sangat luas. Namun tidak ada
temanku di sini. Aku merasa sangat bosan. Aku juga membutuhkanmu di sini,
Thomas. Aku merindukanmu. Aku sangat berharap waktu ini cepat berlalu dan
akhirnya aku bisa bertemu denganmu lagi. Siapkan aku kumis dan janggut yang
halus ketika aku pulang nanti, oke?” Ujarku dengan senang. Ia pendengar yang
baik. Seharusnya pria-pria di luar sana memiliki hal ini agar kekasih mereka akan merasa nyaman. Karena wanita ingin
didengar dan dimengerti.
“Aku
berjanji akan menyiapkanmu kumis dan janggut,” ucapnya mantap. Ada keheningan
terjadi begitu saja. Tidak ada salah satu dari kami angkat suara. Sampai pada
akhirnya, aku mendengar suara tarikan nafas dari Thomas. “Laura?” Panggil
Thomas.
“Ya?”
“Berjanjilah,”
bisik Thomas. “Berjanjilah padaku untuk tetap memegang perasaanmu terhadapku.
Dan tidak akan kaubuka untuk siapa pun lagi. Kumohon?” Ungkapan ini seperti
ungkapan cinta matinya padaku. Menyentuh sampai hatiku. Sadar, ternyata aku
menggigit bibirku sambil mengangguk.
“Ya,
tentu saja. Aku berjanji. Begitupun kau, tunggu aku. Karena aku akan datang
padamu dengan keadaan yang lebih baik. Namun dengan perasaan yang sama.”
***
Ponsel
itu langsung dirampas secara kasar dari tanganku oleh Justin ketika ia baru
saja pulang dari kantornya. Aku yang sedang menonton televisi di ruang keluarga
terkejut setengah mati karena ponsel itu berada dalam genggaman tanganku.
Justin tidak menyapa ‘hai’ atau ‘halo’, hanya mengambil ponsel ini dari
tanganku. Kuperhatikan ia yang segera memeriksa isi ponselku lalu keningnya
mengerut kesal. Setelah itu ia menyimpannya di dalam kantong celananya, ia
menarik nafas dalam-dalam tanpa menatapku. Dari tadi aku mendongak melihatnya,
memerhatikannya, bingung dengan apa yang terjadi dengannya hari ini. Mungkin ia
baru saja melewati hari yang berat. Atau mungkin ia baru bertemu dengan Lily,
anak kandungnya. Anak yang belum kuketahui siapa ibu kandungnya dan siapa istri
Justin sebelumnya. Karena aku sudah bilang padamu bahwa aku langsung menutup
percakapan itu sesegera mungkin. Aku tidak mungkin mengelupas masa lalu yang
mungkin pahit bagi Justin. Aku mendesah pelan ketika mata Justin langsung
menatapku, marah. Apa masalahnya? Bukankah perjanjian tentang menghubungi
Thomas diberlakukan? Aku tidak akan menghubungi Thomas lagi setelah ini, aku
memberitahu Thomas juga kalau aku tidak akan menghubunginya.
Namun
tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Ia malah melangkah,
menjauh dariku, pergi ke lantai dua, ke kamarnya. Ada apa dengannya? Aku tidak
mengerti. Kuturunkan kedua kakiku yang kuangkat naik tadi dari sofa. Topi yang
diberikan Justin padaku sudah kulepas saat aku masuk ke dalam rumah lagi.
Berada di halaman belakang rumah Justin membuat kulitku terbakar dan untungnya
aku langsung mandi karena aku berkeringat. Jujur saja, aku benci dengan hal-hal
yang berbau lengket. Tanganku meraih remote dan mematikan televisi. Sejak dari
tadi siang aku tidak makan, malam ini aku sangat lapar. Aku berjalan menuju
dapur, melewati ruang makan, dan menemui pelayan yang sedang menelepon
bersandar di kulkas. Segera saja ia bangkit dari kulkas itu saat ia melihatku
lalu bertanya padaku, “Ada yang bisa kubantu, Ms. Hare?” Tanyanya.
“Aku
ingin makan malam. Makanan apa saja, aku akan memakannya. Terima kasih
sebelumnya,” ucapku sesopan mungkin. Ia langsung menganggukkan kepalanya, pergi
keluar dari dapur menuju pintu lain. Entah ia akan pergi kemana, mungkin ia
ingin memanggil seorang koki? Aku tidak begitu peduli. Kulangkahkan kakiku
menuju ruang makan, keluar dari ruang dapur, lalu menarik kursi meja makan. Ruangan
ini kembali mengingatkanku pada percakapan tadi pagi. Uh, rasa penasaranku
tidak dapat kutahan. Aku mungkin akan bertanya pada Justin nanti, sebelum aku
tidur. Siapa istrinya dulu? Mengapa anaknya memiliki penyakit kanker—yang aku
belum tahu kanker jenis apa? Kemana istrinya? Kemungkinan besar, Justin telah
menikah 5 atau 6 tahun yang lalu. Masa-masa ia masih terlihat gagah sekali,
tampan, dan tersenyum. Mungkin saja. Orang-orang berubah ketika ia sedang jatuh
cinta. Justin pun tak luput dari itu. Lily, Lily, Lily. Aku ingin bertemu
dengannya. Ia tidak pernah menyinggung tentang ibunya, tentu saja. Kapan ibunya
pergi meninggalkannya?
“Apa
pun yang sedang kaupikirkan, aku marah padamu,” ucap Justin secara tiba-tiba
muncul di hadapanku. Ia menarik kursi di hadapanku, duduk di sana dan
bersandar. Tidak melipat tangannya ke atas meja sama sepertiku. Sepertinya ia
memang marah padaku. Akan sesuatu.
Kulihat pipi Justin yang menyembul-nyembul karena memainkan lidahnya di dalam
mulut itu. “Kau pasti tahu itu karena apa,”
Seketika
aku langsung panik. “Apa yang kau lakukan pada Thomas?” Aku bertanya dengan
nada tinggi. “Kau sudah memberitahu padaku tentang peraturan menghubunginya.
Apa masalahmu, sialan? Aku benci sekali ketika orang tidak menepati janjinya.
Hari ini aku sudah menghubunginya bukan berarti besok aku akan menghubunginya
lagi. Aku tahu peraturannya. Apa masalahmu?” Kali ini berteriak, kesal. Tapi
ketakutan lebih mendominan perasaanku. Justin tertawa mengejekku.
“Oh,
tidak, aku tidak menyakitinya. Meski aku melihatnya menelepon denganmu dengan
tertawaan konyol. Rasanya aku ingin meninjunya,” ucap Justin seakan-akan aku
bukanlah Laura. “Tetapi aku hanya memberikannya satu kesempatan untuk menelepon
denganmu di kantor. Aku tidak senang melihatnya bahagia seperti itu. Entahlah.
Mungkin karena ia sudah menghabisi uang-uangku yang ia buang-buang secara
percuma,” kembali Justin mengejek Thomas.
“Kau
tidak tahu apa-apa tentang Thomas, mengerti? Pertama, uang-uang itu ia gunakan
untuk menutupi hutang-hutang ayahnya karena judi jika tidak, ayahnya akan mati.
Kedua, kau tidak pernah senang melihat orang lain bahagia, sepertinya dan kau
harus memperbaiki sikap itu. Ketiga, aku setuju tentang ia tidak boleh
berbicara denganku lewat telepon di kantor, itu akan mengganggu konsentrasinya
di kantor. Keempat, jangan sekali-kali kau berani memukulnya. Itu saja.”
Awalnya aku berbicara dengan nada tinggi, namun lama kelamaan, nada tinggi itu
menurun menjadi nada rendah. Ia terdiam sejenak, salah satu tangannya yang ia
sandarkan ke atas kursi itu mulai ia gerakkan. Seakan menimbang-nimbang apa
yang kuucapkan. Sebenarnya, aku berbicara seperti itu agar Justin tidak
menyakiti Thomas untuk yang kedua kalinya. Aku ingin bertanya tentangnya,
bagaiman perasaannya jika orang yang ia cintai disakiti oleh orang lain? Namun
aku mengurung niat itu.
“Aku
tidak akan menyakitinya. Tapi aku tidak berjanji, oke? Sekarang, mengapa kau
tampak pucat?” Tanyanya yang membuat kedua alisku terangkat. Apa aku terlihat
pucat? Ya Tuhan, aku tidak sadar dengan keberadaanku seperti itu. Tidak mungkin
aku pucat hanya karena aku tidak makan siang. “Kau tidak makan siang? Sudah
kuduga. Seharusnya tadi aku mengajakmu pergi dari rumah agar kau tetap berada
di bawah pengawasanku. Aku tidak ingin kau sakit karena aku hanya akan
memilikimu selama 3 bulan. Dan sampai sekarang, aku belum menyentuh tubuhmu,”
ucapnya dengan alasan yang membuatku memutar bola mata. Mengapa ia tampak
menyebalkan sekaligus tampan dalam waktu yang bersamaan? Ia ahli dalam
melakukan itu. Menyebalkan namun tampan. Kucium aroma wangi dari makanan yang
langsung saja muncul di hadapanku dan Justin. Oh? Aku tidak meminta makanan
untuk Justin. Atau mungkin mereka sudah tahu akan kedatangan Justin? Kulirik
Justin yang memberikan senyum aneh
sambil menarik piringnya.
“Alasan
bodoh yang tidak akan pernah terjadi,” ucapku. Aku makan dalam keheningan. Tiap
kali ia berbicara, aku hanya mengangguk-angguk. Makan selesai, aku langsung
menaruhnya ke cucian kotor lalu pergi melewatinya saat kami berpas-pasan di
dapur. Kudengar ia tertawa kecil di belakang sana, mau tak mau, aku juga ikut
tersenyum. Mengapa bisa ia menularkan tawaannya itu? Sungguh, aku tidak
mengerti perasaan apa yang melanda diriku akhir-akhir ini. Maksudku, baru saja
aku bertengkar dengannya hanya dalam waktu 3 menit. Sekarang, aku tersenyum
karena ia tertawa. Jadi, apa masalahnya di sini? Aku pergi ke kamarku untuk
mengganti gaun tidur. Kubuka pintu lemariku lalu mengambil salah satu gaun
tidur yang tipis meski aku tahu sekarang mulai memasuki musim dingin,
setidaknya, aku tidak perlu mengunakan AC lagi. Ketika aku membuka pakaianku,
tiba-tiba saja pintu terbuka. Refleks aku langsung menutupi tubuhku dengan
pakaian yang sudah kulepas sekaligus pintu lemari. Aku hanya memakai bra dan
celana dalam! Demi Tuhan aku ingin bunuh diri sekarang juga.
“Laura?
Apa kau sudah ingin tidur?” Suara Justin terdengar, seluruh tubuhku merinding
sekaligus bergetar dalam waktu yang bersamaan. Jadi sejenak, aku memejamkan
mata untuk menghilangkan perasaan-perasaan itu.
Entah mungkin aku kolot atau tidak pernah berhubungan seks dengan siapa pun
membuatku menjadi orang yang mudah merinding mendengar suara seksi seperti
suara Justin. Suaranya itu selalu memberikan getaran ini. Getaran yang tidak pernah terjadi seumur hidupku,
sekalipun itu bersama dengan Thomas. Tidak sekalipun. Sampai aku bertemu dengan
Justin. Sampai aku masuk ke dalam rumahnya dan ia bersikap lebih baik dan
menggunakan suara yang berbeda antara di kantor dan di rumahnya. “Oh, di sana kau
ternyata,” ucapnya. Kudengar suara pintu ditutup dan dikunci.
“Jangan
masuk!” Teriakku semakin memasuki tubuhku ke dalam lemari, meski ini sudah
benar-benar terjepit. “Kau gila! Apa yang kaulakukan masuk ke kamarku tanpa
mengetuk pintu?” Tanyaku berbisik dengan nada kesal. Justin terduduk di atas
tempat tidurku, melipat kedua tangannya seperti hendak berdoa lalu
mencondongkan tubuhnya, menatapku. Menatapku dengan tatapan itu. Aku menggigit pipi bagian dalamku,
berusaha untuk menolak perasaan-perasaan ini.
Tidak mungkin aku bercinta dengannya. Masih teringat jilatannya di leherku yang
membuatku mendesah. Harus kuakui, aku bergetar. Namun Thomas. Thomas yang
mengembalikan ke dalam dunia nyata.
“Mengapa
kau harus malu? Cepat atau lambat, aku akan melihatmu telanjang nanti. Kau tahu
itu kan? Nah, kusarankan saja. Tidak usah memakai gaun itu. Karena malam ini
kau tidak akan tidur. Begitu juga denganku. Jadi, apa pun yang kaulakukan
dengan gaun itu, sudah pasti akan kembali terlepas dari tubuhmu.” Jelas Justin
menjanjikan sesuatu. Menjanjikan sebuah hubungan seks padaku. Menjanjikan
perasaan nikmat –kata orang-orang—yang akan ia berikan. Sentuhan-sentuhannya.
Aku yakin sekali pasti ia memiliki keahlian dalam berhubungan seks. Yah, aku
minta maaf, hal pertama yang kukatakan saat ia menatapku seperti ini adalah ia orang yang pintar
berhubungan seks. Aku tidak mengatakan apa-apa, bergerak pun tidak, hanya
saling bertatap-tatapan dengannya. Kami melakukan hal itu selama kurang lebih
10 menit sampai akhirnya aku yang menyerah. Aku mendorong pintu lemari sehingga
sekarang tubuhku terlihat olehnya. Aku memunggunginya, namun aku bisa mendengar
ia tersenyum puas di belakang sana. Ingin rasanya aku meninju Justin namun aku
tahu, aku tidak bisa melakukannya. Ia pria yang cukup kuat dari pria-pria di
luar sana. Baru saja aku akan memakai gaunku, tiba-tiba saja tangan-tangan
besar itu memeluk tubuhku dari belakang. Kurasakan sentuhan bibir Justin di
sela leherku, menciumnya dengan lembut dan mataku terpejam. Ya ampun, aku ingin
sekali bersetubuh sekarang. Aku penasaran dengan rasa-rasa itu. Sudah bertahun-tahun aku ingin merasakannya namun aku ingin
mendapatkan orang yang tepat.
“Sekarang
aku melihatmu,” bisiknya. “Putih. Seksi. Tak tertahankan. Mengapa kau melakukan
ini padaku?” Bisik Justin. Tangannya yang memegang pinggangku mulai mengelusnya
dari atas ke bawah. Aku menikmati sentuhan-sentuhan itu. Apa aku sudah siap
melakukan hubungan itu dengannya?
Benarkah? Entahlah, hanya padanya aku ingin melakukan ini. Gaun tidur yang
kupakai tiba-tiba saja terlepas dari pegangan tanganku.
“Apa
kau ingin melakukannya denganku?” Tanyaku dengan suara serak. Terasa ada
sesuatu yang lembap di bawah, kata guru pendidikan seks-ku katanya, ini karena
aku terangsang. Benarkah aku terangsang akan sentuhannya? Justin tidak
menjawabku, ia malah mencium-cium leherku hingga aku menelengkan kepalaku ke
samping. Memejamkan mata. Kakiku melemas, namun pelukan Justin membuatku tak
terjatuh. Tetapi ternyata, perlakuan Justin adalah jawabannya. Ia menarik
tubuhku ke belakang, lalu menjatuhkan tubuhku ke atas tempat tidur hingga kami
berdua bergoyang bersama di atas tempat tidur bersama. Aku tertawa, refleks.
Tidak, tawaan itu tidak berlangsung lama, karena Justin memanfaatkannya untuk
memasukkan lidahnya ke dalam. Membuatku langsung mengisapnya, entah mengapa
tiba-tiba saja aku bisa melakukan itu. Bibirnya mengisap bibirku, ia menggeram.
Lututku dapat merasakan sesuatu yang menyembul di bawah sana. Kepalaku berada
di antara kedua siku-siku Justin, ia masih menciumku. Namun aku mendorongnya
hingga bibir kami terlepas. Tidak ada, tidak ada koneksi. Mungkin kami harus
berbicara sebentar.
“Mengapa
kau ingin melakuan ini denganku?” Tanyaku, menatap matanya yang penuh nafsu.
“Inilah
yang kuinginkan setelah aku menari denganmu. Setelah aku bisa bercinta
denganmu, aku masih memiliki rencana-rencana yang akan kulakukan bersama
denganmu. Kau sangat cantik denganmu yang berwarna cokelat. Bibirmu yang sangat
lembut. Wajah tanpa cela,”
“Kecuali
alisku,” selaku. Ia tertawa dan lalu ia mencium pipiku, lalu ke atas, ke atas
dan kening. Lalu hidung dan bibir lagi.
“Aku
tidak peduli. Bagiku, kau cantik.” Ucapnya menurunkan ciumannya hingga leherku.
“Apa kau yakin akan melakukannya bersama denganku?”
“Aku
tidak tahu. Bagaimana menurutmu?” Tanyaku. Justin terdiam lalu ia mendesah. Kepalanya
tergeleng, aku jadi bingung. Bukankah ini yang ia inginkan? Bercinta denganku
atas kemauanku? Sebenarnya, aku mau, namun aku juga ragu. Bagaimana jika
rasanya tidak senikmat yang orang-orang lain katakan? Tubuhku mulai kedinginan
–awalnya aku kepanasan karena sentuhan-sentuhan Justin. Tiba-tiba saja Justin bangkit dari atas
tubuhku, ia segera mengambil gaun tidurku lalu memakaikan gaun tidur itu
untukku saat aku sudah terduduk. Oh ya ampun, ia baru saja melakukan itu
padaku? Tanpa sepatah kata pun, Justin menarik tubuhnya ke atas, tidur di atas
tempat tidurku. Lalu ia menepuk-nepuk tempat tidur, di sebelah tubuhnya. Mau
tak mau aku menuruti apa yang ia suruh. Tidur di sebelahnya. Tangannya langsung
menarik kepalaku hingga kepalaku bersandar di dengannya. Ia memelukku dengan
erat, nah, sekarang baru terasa sangat hangat.
“Mengapa
kau tidak mau melakukannya?” Tanyaku bingung.
“Aku
tidak bisa jika kau masih ragu. Mungkin besok. Besok kita bisa melakukannya.
Mungkin tengah malam nanti. Atau pagi. Aku tidak tahu,” ucap Justin seperti
kebingungan juga. “Yang sekarang ingin kulakukan adalah tidur bersama denganmu.
Memelukmu dengan perasaan lega karena kau juga ingin kupeluk, jadi yah, aku
lebih memilih memeluk dirimu,” lanjut Justin menyandarkan dagunya di atas
kepalaku. Kupejamkan mataku sejenak, mengumpulkan seluruh tenagaku untuk
bertanya tentang hal ini.
“Dimana
ibu Lily?” Tanyaku, akhirnya. Seluruh perasaanku jadi lega. Kurasakan otot-otot
Justin menegang. Oh, jika aku bisa melihat matanya, pasti matanya penuh dengan
kepahitan.
“Di
sesuatu tempat yang indah,” ucapnya, sakit hati. “Ibu Lily meninggal tepat
ketika Lily berumur 2 tahun. Ia terserang kanker darah. Maka dari itu Lily juga
memiliki penyakit keturunan dari ibunya. Aku tidak pernah menikahi ibu Lily.
Seumur hidupku, aku tidak pernah berniat untuk menikah sampai aku bertemu
dengan Jasmine. Bahkan Jasmine dan aku masih bertunangan, jalan di tempat tak
pernah maju. Meski Jasmine sering menyinggung masalah pernikahan. Namun aku
tidak bisa melakukannya. Bahkan ibu Lily,”
“Siapa
nama ibu Lily?” Tanyaku, penasaran, lagi.
“Ramona,”
bisik Justin. “Ramona namanya. Ia sangat cantik dulu. Aku jatuh cinta padanya
saat aku berumur 24 tahun. Kami berpacaran. Menjalin hubungan dengan baik.
Sampai suatu saat ia berkata padaku bahwa ia hamil. Yah, benar sekali. Aku
senang bercinta dengannya. Namun aku tidak dapat menerima kenyataan bahwa ia
hamil dengan baik. Aku begitu pengecut untuk menikahinya. Ternyata ia tidak
meminta pertanggungjawaban dariku. Namun ia meminta padaku untuk menjauh
darinya. Jadi, aku menjauh,
“Dua
tahun kemudian, aku tidak sama sekali menerima kabar darinya. Bagaimana anakku
atau bagaimana keadaannya? Namun, seseorang menghubungiku untuk mengambil
anakku di sebuah rumah sakit. Di situlah penyesalan yang tidak akan pernah
kuulang untuk yang kedua kalinya. Perasaan benci terhadap diriku sendiri
menghantam hingga aku berniat untuk mengakhiri hidupku sama seperti Ramona.
Ramona memang tidak bunuh diri, ia meninggal karena kanker sialan itu. Aku
berjanji pada diriku dan Ramona bahwa aku akan menjaga Lily sebaik-baiknya.
Pertama kali aku bertemu dengan Lily, aku menangis. Betapa bahagianya aku
memiliki anak cantik sepertinya. Aku memeluknya dengan erat, memberitahu
padanya bahwa aku adalah …pamannya. Ya, aku tidak pernah memberitahu padanya
bahwa aku adalah ayahnya karena aku yakin, Ramona pasti pernah berbohong pada
Lily tentangku,
“Terakhir,
Lily divonis memiliki penyakit kanker keturunan dari Ramona. Sejak saat itu,
aku mulai mencari calon ibu untuk Lily agar ia tidak kesepian selama masa
pengobatannya. Sudah ada beberapa wanita yang pernah bertemu dengan Lily, namun
Lily hanya senang dengan Jasmine. Jadi aku mempertahankan Jasmine. Sampai suatu
hari aku bertemu denganmu. Tadi pagi, Lily mencarimu. Ia merindukanmu.
Sebenarnya, aku memiliki penjaga anak untuk Lily, namun ia meminta izin padaku
untuk pergi ke kampung halamannya selama tiga hari. Besok ia akan datang
kembali,” jelas Justin. Tak terasa aku menangis mendengar cerita dari Justin.
Ramona tidak pernah Justin nikahi ketika ia sedang hamil? Pasti ia merasa
sangat kesepian.
“Jadi,
kau mencari wanita-wanita untuk menjadikannya ibu bagi Lily? Itu tindakan
mulia, Justin. Aku setuju Jasmine bersama denganmu. Seperti yang tadi
kaubilang. Lily senang dengan Jasmine,” ucapku tanpa menyinggung bahwa Lily
juga menyukaiku. Kurasakan tangan Justin yang menyangga kepalaku, mengelus
lenganku. “Aku turut berduka cita tentang Ramona. Pasti ia wanita yang tangguh,
aku yakin itu,”
“Yeah,
kau benar. Dan mungkin, penggantinya sekarang berada di sebelahku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar