LAURA
HARE
Sejak
kejadian malam itu, tidak di antara kami berbicara masalah-masalah yang berat.
Hanya percakapan ringan di pagi hari lalu ia pergi. Sekarang aku merasa seperti
seorang istri yang menunggu suaminya pulang dari kantor. Sudah dua minggu aku
tinggal di rumah Justin dan kemarin aku menghubungi Thomas, memberitahu padanya
bahwa aku masih bernafas di rumah Justin. Setelah itu tidak ada percakapan yang
lebih berat lagi. Tidak ada yang kulakukan di rumah Justin, jadi, aku
memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Sebelum aku pergi ke rumah sakit, aku
selalu meminta izin terlebih dahulu pada Justin sehingga sopirnya, Payton,
mengantarku ke rumah sakit. Selalu ada rasa aku diikuti tiap kali aku berada di
rumah sakit. Aku selalu diawasi oleh penjaga-penjaga Justin di rumah sakit
mengakibatkan ruang gerakku menjadi sempit. Jasmine selalu berkunjung ke rumah
Justin, tiap pagi, namun tidak pernah bertemu denganku. Aku kasihan dengannya
karena aku, Jasmine tidak diperbolehkan masuk jika Justin tidak mengizinkannya.
Kupikir mereka masih menjalin hubungan dan kejadian terakhir kali mereka
bertengkar di lantai bawah waktu itu hanya menjadi gertakan Justin pada
Jasmine. Tidak mungkin Justin memutuskan Jasmine hanya karena Jasmine datang ke
rumahnya. Hubungan mereka sudah terjalin selama 3 tahun! Bagaimana mungkin
Justin akan melepaskan Jasmine dengan mudah? Tidak mungkin.
Jasmine
tidak pernah datang ke rumah sakit untuk menjenguk Lily, kupikir Jasmine dan
Lily dekat. Lily tidak pernah menceritakan tentang kedekatannya dengan Jasmine.
Penjaga Lily, Nancy, sudah datang sejak seminggu lebih yang lalu. Ia sudah tua,
sepertinya sudah berumur 50 tahun. Tetapi keahlian untuk menjaga anak kecil
sudah tak dapat diragukan lagi. Kabar baiknya, aku berteman dengan Nancy.
Semakin banyak informasi yang kuterima dari Nancy tentang Justin yang tidak
pernah kupertanyakan pada Justin karena aku terlalu takut untuk bertanya. Justin
masih memiliki orangtua –tentu saja—yang sekarang tinggal di Kanada, kampung
halaman mereka. Orangtuanya akan datang tiap Thanksgiving. Itu berarti dua
minggu lagi mereka akan datang. Ya ampun, aku masih berada di rumah Justin,
jadi apa yang akan Justin katakan pada orangtuanya tentangku? Aku ingin
mengubur diriku ke dalam tanah yang dalam. Orangtuanya memang menyukai Jasmine
yang cantik dan bersikap lembut –aku menggeleng kepala tak percaya saat Nancy
menceritakannya. Mungkin memang Jasmine adalah orang yang bersikap lembut meski
kemarahan lebih mendominan. Entahlah, aku tidak mengerti bagaimana orang-orang
mendekskripsikan tentang Jasmine.
Namun
Nancy mengetahui tentang Ramona. Ternyata, Nancy sudah menjaga Lily sejak Lily
lahir. Saat Ramona masih hidup. Nancy adalah sahabat terbaik Ramona. Dari
sanalah aku mengerti mengapa Ramona meminta Justin untuk menjauhinya.
Sesungguhnya, Ramona sangat ingin membangun sebuah keluarga bersama dengan
Justin. Memiliki suami yang baik seperti Justin. Namun penyakitnya itu
menghambat segalanya. Ia tidak ingin Justin kerepotan dengan keberadaannya yang
sakit itu. Dalam hati aku mengerang, orang yang mencintaimu tulus adalah orang
yang akan memperjuangkanmu ketika orang lain menyerah. Tidak ada berita dari
Ramona untuk Justin karena Ramona tahu, kabar yang akan ia berikan untuk Justin
pasti bukanlah kabar baik. Keadaan Ramona semakin memburuk setelah ia melahir
Lily. Namun secercah harapan muncul ketika terdengar suara tangisan Lily. Ada
keinginan Ramona untuk bertahan hidup. Kehidupan Ramona dipenuhi oleh tantangan,
dan Nancy selalu berada di sampingnya. Orangtua Ramona pun begitu. Orang
terdekat Ramona tidak akan membiarkan orang lain merebut kebahagiaannya.
Tantangan itu Ramona lewati dengan senyum di bibirnya sampai Tuhan benar-benar
mengambil nyawanya. Senyumnya tak luput dari wajah cantik itu saat peti mati
ditutup begitu saja. Tak terasa air mataku mengalir mendengar cerita Nancy saat
itu. Mungkin memang, Nancy tidak menceritakannya secara terperinci,
masalah-masalah apa saja yang Ramona lewati. Terakhir yang Nancy beritahu
padaku ialah keinginan terbesar Ramona. Dimana ia ingin Lily memiliki ibu yang
baik yang hidup bersama dengan Justin. Hatiku tersentuh. Mungkin memang Jasmine
adalah wanita yang tepat.
Dalam
gelap malam, terdapat bulan yang menjadi penerangnya. Angin berhembus menerpa
tubuhku yang tidak memakai jaket atau pakaian hangat. Dingin rasanya. Keinginan
terbesarku sekarang ialah kedua tangan Justin yang meraup tubuhku agar aku
tetap hangat terjaga. Dia belum pulang dari kerjanya, aku menunggunya.
Mengharapkannya datang kembali. Ada sebuah kerinduan tersendiri ketika ia tidak
berada di rumah. Konyol rasanya mengingat betapa aku membenci Justin saat aku
bertemu dengannya pertama kali. Ia bukanlah pria jahat yang awalnya kubenci, ia
berubah menjadi pria baik yang –kadang-kadang—jahil padaku. Kami sampai
sekarang belum bersetubuh. Hanya ciuman-ciuman kecil yang ia berikan padaku.
Kadang-kadang ciuman ganas –hampir ia membuka seluruh pakaianku. Terakhir kali
ia menciumku adalah pagi tadi. Balkon kamarku sudah menjadi tempat favoritku di
malam hari dan ruang tamu menjadi tempat favorit kedua. Tapi tempat favorit
yang melebih tempat favorit pertamaku ialah pelukan Justin. Kupejamkan mataku,
menghirup udara malam, mengharapkan sebuah pelukan.
Aku
tidak begitu memikirkan Thomas akhir-akhir ini. Karena menurutku ia akan
baik-baik saja selama aku berada di rumah Justin. Karena Justin sudah berjanji
tidak akan menyakitinya. Kerinduanku terhadapnya berkurang karena telepon itu
sangat berguna untukku. Justru sekarang aku merindukan Justin. Yeah, sekarang
aku percaya tentang kebersamaan bisa menumbuhkan rasa. Dua tangan besar dari belakang memelukku dengan erat, ia
menopangkan dagu itu di atas bahuku, lalu kudengar suara senyumannya.
“Selamat
malam,” bisiknya dengan suara seksi. “Bagaimana kabarmu hari ini?” Tanyanya.
Aku merindukannya, mungkin karena ia satu-satunya orang yang kukenal di rumah
ini. Mataku terbuka, Justin sudah memutar tubuhku sehingga sekarang kami
berhadapan. Ia tampak berseri-seri, senyumannya tak kunjung surut. Aku senang
melihatnya senang. Ada sesuatu yang terjadi padaku, ya, ada kesalahan yang
terjadi dalam diriku. Lalu ia mengecup bibirku satu kali. “Aku merindukanmu.
Kau tidak mengangkat teleponku hari ini, mengapa?” Tanyanya mengecup bibirku
berkali-kali. Tidak ada jawaban dariku. Memang ia menghubungiku sepanjang hari
ini tetapi kuabaikan. Kukalungkan tanganku di lehernya, membalas kecupan
bibirnya. Bahkan sesekali kami mengisap bibir. Menikmati rasa bibir satu sama
lain.
“Nancy
memberitahu padaku bahwa orangtuamu akan datang ke rumah di hari Thanksgiving.
Apa itu benar?” Tanyaku. Justin mengangkat kedua alisnya, terkejut dan berpikir
lalu ia mengangguk.
“Ia
selalu datang di hari Thanksgiving dan Natal. Lily senang dengan keberadaan
mereka karena kau tahulah, mereka selalu membawakan Lily hadiah,” ucap Justin.
Tatapan Justin yang awalnya penuh dengan api kesenangan sekarang berubah
menjadi muram. “Ah, ya, kau benar sekali Laura. Kau belum bisa ikut Thanksgiving keluargaku, aku belum memberitahu
orangtuaku tentang hubunganku dengan Jasmine,”
“Tidak
apa-apa,” ucapku sendiri tak mengerti dengan apa yang baru saja kuucapkan.
Justin mendesah pasrah, mungkin ia sedang berpikir kemana ia akan membawaku
pergi agar aku tidak berada di acara Thanksgiving-nya. “Kau bisa membawaku ke
rumah Thomas, besoknya, kau bisa mengambilku lagi,”
“Apa?
Tidak!” Sergahnya langsung memegang kedua pinggangku dengan erat, seakan-akan
ia tidak ingin aku pergi darinya secepat itu. Lagi pula aku hanya
menyarankannya. Dan itu akan menguntungkan kami berdua. Aku dapat bertemu
dengan Thomas meski hanya selama satu hari dan Justin tidak perlu
memperkenalkanku pada orangtuanya yang pasti akan menimbulkan begitu banyak pertanyaan
singgungan. “Tidak mungkin aku akan membiarkanmu pergi ke rumahnya begitu saja.
Aku akan memikirkan cara lain.”
Ia
begitu posesif. Selalu, kurasa.
***
Keesokan
harinya, Justin mengajakku jalan-jalan untuk membeli pakaian-pakaian baru.
Meski aku menolak pada awalnya, dan Justin memaksa, jadi aku menurut saja. Ia
terus memegang tanganku sepanjang kami menelusuri butik-butik yang kami
kunjungi. Namun sepertinya tidak ada pakaian yang menarik hatinya saat aku
mencoba gaun-gaun yang ia berikan padaku. Katanya ia membutuhkan satu gaun
spektakuler yang tidak perlu ditunggu lagi kedatangannya. Entah untuk apa, yang
jelas aku hanya memakainya sesuai apa yang ia katakan. Rasanya aku ingin
tertawa tiap kali Justin menunggu di depan ruang ganti pakaian dan raut
wajahnya terkejut sekaligus gugup. Mungkin ada perasaan aneh yang mengganjal di
hatinya. Mungkin karena gaun yang kupakai tidak pas. Ternyata aku salah saat
Justin berkata padaku di tengah jalan saat ingin memasuki salah satu butik,
“Aku hanya ingin kau ditutupi sprei agar aku dapat menyentakkannya dengan satu
kali sentakan lalu aku akan bercinta denganmu di dalam ruang ganti,” katanya
begitu. Pipiku memerah untuk yang pertama kalinya sejak aku masuk ke dalam
rumah Justin.
“Coba
saja jika kau berani,” aku menantang. “Kau pikir aku takut melakukannya di
ruangan terbuka?” Tantangku yang membuatnya memejamkan mata beberapa detik saat
kami baru masuk ke dalam butik. Sebenarnya, aku ketakutan setengah mati jika ia
benar-benar melakukannya di ruang ganti bersama denganku. Bukan tentang malu
atau tidak, tapi sakitnya. Kata orang-orang kalau wanita bercinta untuk yang
pertama kalinya, pasti akan terasa sakit. Seluruh pori-pori kulitku meremang. Aku
terdiam di tengah-tengah butik saat yang lain –termasuk Justin—sedang memilih
gaun-gaun di dalam sini. Aku bukan seorang yang pintar memilih pakaian, jadi
aku hanya diam. Sampai seorang wanita, pramuniaga, datang menghampiriku lalu
membawakanku sebuah pakaian berwarna abu-abu pucat sederhana. Itu seperti sprei
berwarna abu-abu tipis yang dilingkarkan sesuai ukuran bentuk manusia lalu
jadilah pakaian itu.
“Cobalah,”
ucap Justin di sebelah pramuniaga itu. Kemudian pramuniaga yang bernama Tina
itu mengantarku menuju ruang ganti yang berbeda di antara ruang ganti yang lain,
entahlah, yang jelas aku ingin mencoba gaun ini. Ia membantuku mengganti
pakaian ini. Dari tadi ia memberikanku senyuman ramah. Rasanya canggung ketika
orang lain memakaikanmu gaun seperti ini—butik-butik sebelumnya aku memakai
gaun-gaun itu sendiri.
“Ini
dirancang khusus, harganya sangat mahal,” ucap Tina memberitahu padaku. “Dari
luar memang terlihat seperti sprei yang dijadikan pakaian. Tunggu sampai kau
melihat ukiran-ukirannya,” lanjutnya setelah memakaikanku pakaian ini. Rasanya
nyaman. Berbahan lembut serta sejuk. Bagian bawah gaun ini terlihat kaku, namun
panjang hingga menutupi kakiku, dan aku menyukainya. Gaun tanpa lengan ini
membuat leherku terlihat jenjang dan bahuku telanjang. Tiba-tiba saja Tina
meredupkan cahaya lampu yang membuat gaun ini berubah menjadi mengkilap karena
ukiran-ukirannya yang menghasilkan cahaya dengan sendirinya, ukiran itu
sepertinya memiliki arti. Oh, ya ampun. Mengapa bisa? Lucu. Aku tertawa
sekaligus takjub.
“Ia
akan menyala tiap kali lampu meredup. Dan bagian terhebatnya adalah…” Tina
berucap lalu ia menarik sebuah tali di bawah ketiakku, menyentakkannya ke bawah
dan langsung saja pakaian itu terjatuh di atas kakiku. Sekarang aku hanya sisa
bra dan celana dalam yang menutupi tubuhku. “Kau bisa langsung bercinta dengan
kekasihmu.” Ucapnya tanpa ada perasaan janggal. Aku hanya memberikannya senyum
ragu-ragu.
“Kurasa
Justin ingin melihatku memakai pakaian ini,” ucapku. Ia langsung memakaianku
gaun ini kembali. Setelah itu, ia kembali menerangkan lampu. Aku keluar dari
ruang ganti. Justin menungguku di luar ruang ganti yang kumasuki, memegang
sebuah ponsel yang menempel di telinganya dan berbicara dengan serius. Kulihat
ia takjub dengan apa yang kupakai sekarang. Padahal aku terlihat seperti
seorang wanita yang memakai sprei abu-abu pucat tanpa riasan wajah. Ia
mengatakan selamat tinggal pada lawan bicaranya di telepon lalu menyimpan
ponsel itu di dalam kantong jas bagian dalamnya. Nah, wajah ini yang
kutunggu-tunggu setelah beberapa butik yang kami masuk.
“Apa
kau ingin masuk ke dalam ruang ganti Mr. Herich ke dalam ruang ganti untuk
melihat pakaian yang sebenarnya?” Tanya Tina dengan maksud tersendiri. Tanpa
ragu-ragu Justin langsung mengangguk. Aku bingung. Baru pertama kali aku
melihat pramuniaga yang menyuruh seorang pria masuk ke dalam ruang ganti
bersama dengan wanitanya. Justin mengajakku masuk ke dalam ruangan ganti, lagi.
“Kau hanya perlu meredupkan lampu di dalam, kau akan menemukan saklar berbentuk
lingkaran di sana, Mr.Herich,” ucap Tina yang segera menutup pintu ruang ganti
yang cukup untuk dua orang ini. Sekarang ruangan ini terasa sesak karena tubuh
Justin yang lebih besar dibanding Tina. Terjadi keheningan antara kami berdua
sampai aku memutuskan untuk meredupkan lampu ini menjadi remang-remang. Pakaian
ini mulai memperlihatkan kehebatannya pada Justin. Mata Justin tidak
memerhatikan pakaian itu, tetapi wajahku. Aku menjadi salah tingkah saat
ditatapinya, jadi aku memutuskan untuk membuang wajah. Kurang dari 3 detik,
tangan Justin menarik daguku lalu mengecup bibirku secepat yang ia bisa. Dua
tangannya mulai menangkup pipiku agar ciuman kami semakin dalam. Lidahnya mulai
membelai lidahku, aku mendesah pelan. Tanpa disuruh siapa pun, aku langsung
menarik tali yang berada di bawah ketiakku sehingga pakaian itu terjatuh di
atas kakiku. Bukan niatku untuk bersetubuh dengannya di ruangan ini. Tidak, aku
harus mengganti pakaianku lagi. Bibir Justin mulai mencium-ciumi leherku.
“Justin,”
bisikku. “Justin, kita tidak bisa melakukan itu sekarang. Tidak di sini, ada
sesuatu yang kutakuti,” ucapku dengan suara serak. Aku hampir gila tiap kali
perasaan ini menyerangku! Justin
selalu menghajarku dengan sentuhan-sentuhan kasar dari bibirnya namun intens
itu yang membuat lututku selalu melemas. Kudorong tubuh Justin sekuat mungkin.
Akhirnya bibir itu lepas dari leherku, ia terengah-engah. Begitu juga denganku.
“Kita
akan membeli gaun ini. Kau tampak luar biasa cantik dalam balutan gaun itu,”
ucapnya. Aku hanya mengangguk lalu mengambil pakaian pertamaku dan memakainya.
Justin meraih gaun yang kulepas itu bertepatan saat aku mengancing celana
jinsku. Aku menyalakan kembali lampu ruang ganti seperti semula dan lalu kami
berdua keluar dari ruang ganti. Ponsel Justin lalu berdering.
***
JUSTIN
HERICH
Kenyataan
bahwa aku mulai memiliki rasa terhadap Laura tidak dapat kusangkal.Kulihat ia
sedang terduduk dengan tenang di dalam mobil dengan gaun yang kubelikan tadi
untuknya, tidak menyala. Ternyata butik itu memberikan sebuah alat untuk
menyala-matikan pakaian itu. Laura memang memiliki kepribadian yang baik.
Apalagi, tiap hari hubungan kami semakin membaik. Ternyata ia wanita yang
anteng, tenang, dan tidak meminta banyak-banyak akan sesuatu. Malah tidak
meminta apa pun. Katanya, apa yang ia butuhkannya sudah melebihi dari cukup.
Cukup sederhana menjadi seorang Laura. Mungkin ia tidak terbiasa dengan
kemewahan. Senang rasanya mendengar percakapan terakhir antara Laura dan Thomas
yang terdengar singkat dan hambar. Ya, benar sekali. Aku sudah meminta orang untuk
memprogram ponsel Laura agar merekam tiap percakapan mereka. Jadi malamnya, aku
bisa pulang dengan lega tanpa ada rasa curiga. Kurasa Laura sudah takluk
padaku. Ia jadi lebih sering meminta pelukan dariku. Kurasa ia kesepian. Aku
kasihan pada Laura karena ia tidak memiliki teman di rumah, jadi aku selalu
mengizinkannya untuk pergi ke rumah sakit jika ia ingin datang menjenguk Lily.
Tetapi aku tidak akan melepaskan pengawasanku terhadapnya. Ia harus tetap
berada di bawah pengawasanku. Meski ia tampaknya tahu tentang orang-orang yang
kusuruh untuk mengawasinya di rumah sakit.
Malam
ini mengajak Laura makan malam di atap hotel tertinggi. Ya, benar sekali, makan
malam romantis. Kencan pertamaku dengan Laura. Jika aku masih memakai cincin
pertunanganku, pasti aku akan divonis menjadi pelaku utama dalam
perselingkuhan. Aku tidak begitu peduli dengan Jasmine atau pun Thomas. Yang
menjadi keinginan terbesarku hari ini adalah mengajak Laura ke atas atap hotel
dan makan malam bersama. Percakapan apa yang akan kuangkat dengannya? Aku tidak
begitu memikirkannya. Mungkin kami akan hening dalam malam yang sunyi. Tujuanku
adalah memiliki kebersamaan dengan Laura. Dan memiliki waktu yang berkualitas bersama
dengannya. Mobilku berhenti di depan sebuah hotel. Dan aku turun dari mobil
lalu berlari kecil untuk membukakan pintu Laura. Ia keluar dan tampak sangat
menakjubkan. Kuberikan kunci mobilku pada penjaga valet.
Saat
berada dalam lift, aku mulai menekan tombol nyala pada gaunnya. Namun gaun itu
tidak bersinar karena lampu lift ini sangatlah terang. Dari tadi Laura tidak
mengatakan apa pun. Ia satu-satunya wanita yang pikirannya tak dapat kuselami
dan kubaca melalui raut wajah datarnya semenjak Ramona meninggal. Yah, Ramona
termasuk wanita yang susah ditebak. Sampai sekarang, aku masih belum menemukan
alasan mengapa Ramona ingin aku menjauh darinya. Pintu lift terbuka saat kami
sudah sampai di lantai paling atas. Aku mengajak Laura untuk berjalan menuju
sebuah tangga pendek. Di daerah tangga yang remang, gaun Laura mulai menyala.
Ia terkejut, terperangah, dan mendesah. Kudorong pintu besi hingga terbuka dan
menibakan kami di atas hotel teratas. Angin langsung menerpa tubuh kami. Sudah
kuduga suasana akan terasa sangat dingin. Untungnya, aku meminta pelayan untuk
menyiapkan jaket hangat untuk Laura.
“Lewat
sini,” salah seorang pelayan yang sudah menunggu kami mengantar kami menuju
sebuah meja bundar dan dua kursi yang saling berhadapan. Kupersilahkan Laura
duduk saat aku menarik kursi, jadi ia duduk. Akhir-akhir ini ia bersikap
menjadi seorang wanita penurut favoritku. Kemudian aku duduk berhadapan
dengannya. Kulihat gerak-geriknya yang melihat sekitar.
“Ada
apa?” Tanyaku padanya untuk memastikan apa ia baik-baik saja.
“Tidak
apa-apa,” ujarnya berbohong. Aku tahu ia berbohong karena kurasa ia tidak
pernah bersikap ‘baik-baik saja’ jika bersama denganku. Jadi aku memanggil
pelayan untuk mengambil jaket yang sudah kuberikan pada mereka sebelumnya.
Terdapat 3 pemain biola di sudut atap dan belum memainkan musik apa pun sebelum
aku menyuruhnya bermain. Dua orang pelayan membawakan kami makanan dan satu
orang pelayang menyusul, membawakan sebuah jaket untuk Laura. Langsung saja
Laura menerimanya dengan senang hati. Ia memakainya. Mengapa dari tadi ia
terdiam saja? Aku menjentikkan jariku sehingga musik biola mulai mengalun
memainkan lagu Hurt dari Christina Aguilera. Aku mulai memakan makanan pembuka.
Begitupun dengan Laura.
“Apa
kau menyukainya?” Tanyaku berbasa-basi. Laura hanya menganggukkan kepalanya
dalam diam. Ada apa dengannya? Makanan utama datang setelah kami menghabiskan
makanan pembuka. Sepanjang kami memakan menu utama, Laura masih terdiam. Musik
masih mengalun lagu yang sama tanpa bosan. Setelah itu makanan penutup. Sebelum
aku menyentuh makanan ini, aku membuka mulut.
“Laura,
sebenarnya ada apa?” Tanyaku kali ini mendesaknya. Ia mendongak menatapku lalu
mendesah. Keningnya mengerut begitu saja.
“Aku
tidak suka suasana romantis,” ujarnya bangkit dari tempat duduk. Aku baru
sadar. Ah ya ampun, seharusnya aku tahu ini dari awal. Mengapa aku tidak pernah
menanyakan apa yang ia suka atau tidak? Lalu ia menarik kursi yang ia duduk
menjadi menghadap kota New York. Aku ikut berdiri ingin menghampirinya. Tapi ia
malah menuju kursiku dan mengangkat kursi itu agar bersebelahan dengan
kursinya. “Hentikan lagu sialan itu! Aku tidak suka musik yang mengalun lamban
seperti itu. Mainkan lagu Come Fly With Me. Sekarang!” Bentak Laura yang
membuat para pemain biola mengganti lagunya menjadi lagu Frank Sinatra. Ia
telihat sangat menarik ketika ia menjadi dirinya sendiri. Tangan Laura
mengambil kedua piring makanan penutup lalu menyodorkannya padaku salah
satunya.
“Kau
tahu, kau terlihat seksi ketika menjadi dirimu sendiri,” pujiku berjalan
menghampirinya yang sudah terduduk di atas kursi. Aku ikut duduk di sebelahnya,
menikmati pemandangan kota New York penuh dengan gedung-gedung pencakar langit.
Tidak ada yang lebih dari itu.
“Itu
sudah keahlianku menjadi seksi,” ketusnya membuatku tertawa terkejut atas
pengakuannya. Kuperhatikan wajah Laura yang tadinya masam berubah menjadi
ekspresi biasa. Kurasa Laura sedang berusaha menahan tawanya atas leluconnya
sendiri. Ia tampak lucu ketika ia menahan tawanya karena pipinya bersemu merah.
Ia memakan cokelatnya terus menerus hingga sendok terakhir. Sedangkan aku belum
sama sekali menyentuh makanan penutup.
“Kau
mau memakan punyaku?” Tawarku. Laura menyimpan piringnya itu di bawah kursi
lalu mengambil piringku tanpa malu-malu. “Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau kau
tidak menyukai hal-hal yang berbau romantis,”
“Tidak
apa-apa. Bukan salahmu. Aku juga tidak pernah memberitahunya padamu. Jadi ini
bukan sepenuhnya salahmu,” ucapnya memakan cokelatku. “Kau yakin tidak ingin
memakana cokelat ini? Padahal rasanya enak,” komentarnya. Namun aku ragu jika
Laura akan memberikan cokelatnya itu padaku karena tampaknya ia sangat
menikmati cokelat itu.
“Laura,
ada sesuatu hal yang menurutku karena kau wanita mungkin kau tahu jawabannya,
yang ingin kubicarakan,” ucapku. Laura lalu menoleh padaku, menjilat bibirnya
yang terdapat cokelat di sana.
“Apa?”
Tanyanya. Ia membungkukkan tubuhnya, tidak peduli apakah ia wanita yang sedang
memakai gaun atau jaket. Laura sedang tidak ingin diganggu suasana hatinya yang
rusak itu –mungkin sekarang menjadi lebih baik.
“Menurutmu,
apa yang menjadi alasan Ramona ingin aku menjauh dari kehidupannya?” Tanyaku.
Kulihat ekspresi wajah Laura, namun ia hanya memberikan ekspresi wajah
berpikir. Mulutnya mulai terbuka.
“Mungkin
karena ia takut merepotkanmu akibat penyakit yang ia punya. Atau mungkin, ia
takut kau malu memiliki kekasih yang memiliki penyakit seperti Ramona. Namun
dari semua alasan yang wanita punya, sepertinya, ia tidak ingin menyusahkan
kehidupanmu di hari ke depannya,” ucap Laura memakan cokelat terakhirnya tanpa
menatapku. Justru matanya menatap pada gedung-gedung pencakar langit itu.
“Benar.”
Aku menyetujuinya.
“Tapi
menurutku, jika dia yakin kau mencintainya, ia pasti akan tetap bersamamu.
Karena orang yang mencintaimu tulus akan mempertahankanmu saat yang lain
menyerah. Mungkin ia ragu kau tidak akan mempertahankannya sama seperti yang lain.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar