Rabu, 18 Desember 2013

A Beautiful Nightmare Bab 6


LAURA HARE

            Sejak kejadian malam itu, tidak di antara kami berbicara masalah-masalah yang berat. Hanya percakapan ringan di pagi hari lalu ia pergi. Sekarang aku merasa seperti seorang istri yang menunggu suaminya pulang dari kantor. Sudah dua minggu aku tinggal di rumah Justin dan kemarin aku menghubungi Thomas, memberitahu padanya bahwa aku masih bernafas di rumah Justin. Setelah itu tidak ada percakapan yang lebih berat lagi. Tidak ada yang kulakukan di rumah Justin, jadi, aku memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Sebelum aku pergi ke rumah sakit, aku selalu meminta izin terlebih dahulu pada Justin sehingga sopirnya, Payton, mengantarku ke rumah sakit. Selalu ada rasa aku diikuti tiap kali aku berada di rumah sakit. Aku selalu diawasi oleh penjaga-penjaga Justin di rumah sakit mengakibatkan ruang gerakku menjadi sempit. Jasmine selalu berkunjung ke rumah Justin, tiap pagi, namun tidak pernah bertemu denganku. Aku kasihan dengannya karena aku, Jasmine tidak diperbolehkan masuk jika Justin tidak mengizinkannya. Kupikir mereka masih menjalin hubungan dan kejadian terakhir kali mereka bertengkar di lantai bawah waktu itu hanya menjadi gertakan Justin pada Jasmine. Tidak mungkin Justin memutuskan Jasmine hanya karena Jasmine datang ke rumahnya. Hubungan mereka sudah terjalin selama 3 tahun! Bagaimana mungkin Justin akan melepaskan Jasmine dengan mudah? Tidak mungkin.
            Jasmine tidak pernah datang ke rumah sakit untuk menjenguk Lily, kupikir Jasmine dan Lily dekat. Lily tidak pernah menceritakan tentang kedekatannya dengan Jasmine. Penjaga Lily, Nancy, sudah datang sejak seminggu lebih yang lalu. Ia sudah tua, sepertinya sudah berumur 50 tahun. Tetapi keahlian untuk menjaga anak kecil sudah tak dapat diragukan lagi. Kabar baiknya, aku berteman dengan Nancy. Semakin banyak informasi yang kuterima dari Nancy tentang Justin yang tidak pernah kupertanyakan pada Justin karena aku terlalu takut untuk bertanya. Justin masih memiliki orangtua –tentu saja—yang sekarang tinggal di Kanada, kampung halaman mereka. Orangtuanya akan datang tiap Thanksgiving. Itu berarti dua minggu lagi mereka akan datang. Ya ampun, aku masih berada di rumah Justin, jadi apa yang akan Justin katakan pada orangtuanya tentangku? Aku ingin mengubur diriku ke dalam tanah yang dalam. Orangtuanya memang menyukai Jasmine yang cantik dan bersikap lembut –aku menggeleng kepala tak percaya saat Nancy menceritakannya. Mungkin memang Jasmine adalah orang yang bersikap lembut meski kemarahan lebih mendominan. Entahlah, aku tidak mengerti bagaimana orang-orang mendekskripsikan tentang Jasmine.
            Namun Nancy mengetahui tentang Ramona. Ternyata, Nancy sudah menjaga Lily sejak Lily lahir. Saat Ramona masih hidup. Nancy adalah sahabat terbaik Ramona. Dari sanalah aku mengerti mengapa Ramona meminta Justin untuk menjauhinya. Sesungguhnya, Ramona sangat ingin membangun sebuah keluarga bersama dengan Justin. Memiliki suami yang baik seperti Justin. Namun penyakitnya itu menghambat segalanya. Ia tidak ingin Justin kerepotan dengan keberadaannya yang sakit itu. Dalam hati aku mengerang, orang yang mencintaimu tulus adalah orang yang akan memperjuangkanmu ketika orang lain menyerah. Tidak ada berita dari Ramona untuk Justin karena Ramona tahu, kabar yang akan ia berikan untuk Justin pasti bukanlah kabar baik. Keadaan Ramona semakin memburuk setelah ia melahir Lily. Namun secercah harapan muncul ketika terdengar suara tangisan Lily. Ada keinginan Ramona untuk bertahan hidup. Kehidupan Ramona dipenuhi oleh tantangan, dan Nancy selalu berada di sampingnya. Orangtua Ramona pun begitu. Orang terdekat Ramona tidak akan membiarkan orang lain merebut kebahagiaannya. Tantangan itu Ramona lewati dengan senyum di bibirnya sampai Tuhan benar-benar mengambil nyawanya. Senyumnya tak luput dari wajah cantik itu saat peti mati ditutup begitu saja. Tak terasa air mataku mengalir mendengar cerita Nancy saat itu. Mungkin memang, Nancy tidak menceritakannya secara terperinci, masalah-masalah apa saja yang Ramona lewati. Terakhir yang Nancy beritahu padaku ialah keinginan terbesar Ramona. Dimana ia ingin Lily memiliki ibu yang baik yang hidup bersama dengan Justin. Hatiku tersentuh. Mungkin memang Jasmine adalah wanita yang tepat.
            Dalam gelap malam, terdapat bulan yang menjadi penerangnya. Angin berhembus menerpa tubuhku yang tidak memakai jaket atau pakaian hangat. Dingin rasanya. Keinginan terbesarku sekarang ialah kedua tangan Justin yang meraup tubuhku agar aku tetap hangat terjaga. Dia belum pulang dari kerjanya, aku menunggunya. Mengharapkannya datang kembali. Ada sebuah kerinduan tersendiri ketika ia tidak berada di rumah. Konyol rasanya mengingat betapa aku membenci Justin saat aku bertemu dengannya pertama kali. Ia bukanlah pria jahat yang awalnya kubenci, ia berubah menjadi pria baik yang –kadang-kadang—jahil padaku. Kami sampai sekarang belum bersetubuh. Hanya ciuman-ciuman kecil yang ia berikan padaku. Kadang-kadang ciuman ganas –hampir ia membuka seluruh pakaianku. Terakhir kali ia menciumku adalah pagi tadi. Balkon kamarku sudah menjadi tempat favoritku di malam hari dan ruang tamu menjadi tempat favorit kedua. Tapi tempat favorit yang melebih tempat favorit pertamaku ialah pelukan Justin. Kupejamkan mataku, menghirup udara malam, mengharapkan sebuah pelukan.
            Aku tidak begitu memikirkan Thomas akhir-akhir ini. Karena menurutku ia akan baik-baik saja selama aku berada di rumah Justin. Karena Justin sudah berjanji tidak akan menyakitinya. Kerinduanku terhadapnya berkurang karena telepon itu sangat berguna untukku. Justru sekarang aku merindukan Justin. Yeah, sekarang aku percaya tentang kebersamaan bisa menumbuhkan rasa. Dua tangan besar dari belakang memelukku dengan erat, ia menopangkan dagu itu di atas bahuku, lalu kudengar suara senyumannya.
            “Selamat malam,” bisiknya dengan suara seksi. “Bagaimana kabarmu hari ini?” Tanyanya. Aku merindukannya, mungkin karena ia satu-satunya orang yang kukenal di rumah ini. Mataku terbuka, Justin sudah memutar tubuhku sehingga sekarang kami berhadapan. Ia tampak berseri-seri, senyumannya tak kunjung surut. Aku senang melihatnya senang. Ada sesuatu yang terjadi padaku, ya, ada kesalahan yang terjadi dalam diriku. Lalu ia mengecup bibirku satu kali. “Aku merindukanmu. Kau tidak mengangkat teleponku hari ini, mengapa?” Tanyanya mengecup bibirku berkali-kali. Tidak ada jawaban dariku. Memang ia menghubungiku sepanjang hari ini tetapi kuabaikan. Kukalungkan tanganku di lehernya, membalas kecupan bibirnya. Bahkan sesekali kami mengisap bibir. Menikmati rasa bibir satu sama lain.
            “Nancy memberitahu padaku bahwa orangtuamu akan datang ke rumah di hari Thanksgiving. Apa itu benar?” Tanyaku. Justin mengangkat kedua alisnya, terkejut dan berpikir lalu ia mengangguk.
            “Ia selalu datang di hari Thanksgiving dan Natal. Lily senang dengan keberadaan mereka karena kau tahulah, mereka selalu membawakan Lily hadiah,” ucap Justin. Tatapan Justin yang awalnya penuh dengan api kesenangan sekarang berubah menjadi muram. “Ah, ya, kau benar sekali Laura. Kau belum bisa ikut Thanksgiving keluargaku, aku belum memberitahu orangtuaku tentang hubunganku dengan Jasmine,”
            “Tidak apa-apa,” ucapku sendiri tak mengerti dengan apa yang baru saja kuucapkan. Justin mendesah pasrah, mungkin ia sedang berpikir kemana ia akan membawaku pergi agar aku tidak berada di acara Thanksgiving-nya. “Kau bisa membawaku ke rumah Thomas, besoknya, kau bisa mengambilku lagi,”
            “Apa? Tidak!” Sergahnya langsung memegang kedua pinggangku dengan erat, seakan-akan ia tidak ingin aku pergi darinya secepat itu. Lagi pula aku hanya menyarankannya. Dan itu akan menguntungkan kami berdua. Aku dapat bertemu dengan Thomas meski hanya selama satu hari dan Justin tidak perlu memperkenalkanku pada orangtuanya yang pasti akan menimbulkan begitu banyak pertanyaan singgungan. “Tidak mungkin aku akan membiarkanmu pergi ke rumahnya begitu saja. Aku akan memikirkan cara lain.”
            Ia begitu posesif. Selalu, kurasa.

***

            Keesokan harinya, Justin mengajakku jalan-jalan untuk membeli pakaian-pakaian baru. Meski aku menolak pada awalnya, dan Justin memaksa, jadi aku menurut saja. Ia terus memegang tanganku sepanjang kami menelusuri butik-butik yang kami kunjungi. Namun sepertinya tidak ada pakaian yang menarik hatinya saat aku mencoba gaun-gaun yang ia berikan padaku. Katanya ia membutuhkan satu gaun spektakuler yang tidak perlu ditunggu lagi kedatangannya. Entah untuk apa, yang jelas aku hanya memakainya sesuai apa yang ia katakan. Rasanya aku ingin tertawa tiap kali Justin menunggu di depan ruang ganti pakaian dan raut wajahnya terkejut sekaligus gugup. Mungkin ada perasaan aneh yang mengganjal di hatinya. Mungkin karena gaun yang kupakai tidak pas. Ternyata aku salah saat Justin berkata padaku di tengah jalan saat ingin memasuki salah satu butik, “Aku hanya ingin kau ditutupi sprei agar aku dapat menyentakkannya dengan satu kali sentakan lalu aku akan bercinta denganmu di dalam ruang ganti,” katanya begitu. Pipiku memerah untuk yang pertama kalinya sejak aku masuk ke dalam rumah Justin.
            “Coba saja jika kau berani,” aku menantang. “Kau pikir aku takut melakukannya di ruangan terbuka?” Tantangku yang membuatnya memejamkan mata beberapa detik saat kami baru masuk ke dalam butik. Sebenarnya, aku ketakutan setengah mati jika ia benar-benar melakukannya di ruang ganti bersama denganku. Bukan tentang malu atau tidak, tapi sakitnya. Kata orang-orang kalau wanita bercinta untuk yang pertama kalinya, pasti akan terasa sakit. Seluruh pori-pori kulitku meremang. Aku terdiam di tengah-tengah butik saat yang lain –termasuk Justin—sedang memilih gaun-gaun di dalam sini. Aku bukan seorang yang pintar memilih pakaian, jadi aku hanya diam. Sampai seorang wanita, pramuniaga, datang menghampiriku lalu membawakanku sebuah pakaian berwarna abu-abu pucat sederhana. Itu seperti sprei berwarna abu-abu tipis yang dilingkarkan sesuai ukuran bentuk manusia lalu jadilah pakaian itu.
            “Cobalah,” ucap Justin di sebelah pramuniaga itu. Kemudian pramuniaga yang bernama Tina itu mengantarku menuju ruang ganti yang berbeda di antara ruang ganti yang lain, entahlah, yang jelas aku ingin mencoba gaun ini. Ia membantuku mengganti pakaian ini. Dari tadi ia memberikanku senyuman ramah. Rasanya canggung ketika orang lain memakaikanmu gaun seperti ini—butik-butik sebelumnya aku memakai gaun-gaun itu sendiri.
            “Ini dirancang khusus, harganya sangat mahal,” ucap Tina memberitahu padaku. “Dari luar memang terlihat seperti sprei yang dijadikan pakaian. Tunggu sampai kau melihat ukiran-ukirannya,” lanjutnya setelah memakaikanku pakaian ini. Rasanya nyaman. Berbahan lembut serta sejuk. Bagian bawah gaun ini terlihat kaku, namun panjang hingga menutupi kakiku, dan aku menyukainya. Gaun tanpa lengan ini membuat leherku terlihat jenjang dan bahuku telanjang. Tiba-tiba saja Tina meredupkan cahaya lampu yang membuat gaun ini berubah menjadi mengkilap karena ukiran-ukirannya yang menghasilkan cahaya dengan sendirinya, ukiran itu sepertinya memiliki arti. Oh, ya ampun. Mengapa bisa? Lucu. Aku tertawa sekaligus takjub.
            “Ia akan menyala tiap kali lampu meredup. Dan bagian terhebatnya adalah…” Tina berucap lalu ia menarik sebuah tali di bawah ketiakku, menyentakkannya ke bawah dan langsung saja pakaian itu terjatuh di atas kakiku. Sekarang aku hanya sisa bra dan celana dalam yang menutupi tubuhku. “Kau bisa langsung bercinta dengan kekasihmu.” Ucapnya tanpa ada perasaan janggal. Aku hanya memberikannya senyum ragu-ragu.
            “Kurasa Justin ingin melihatku memakai pakaian ini,” ucapku. Ia langsung memakaianku gaun ini kembali. Setelah itu, ia kembali menerangkan lampu. Aku keluar dari ruang ganti. Justin menungguku di luar ruang ganti yang kumasuki, memegang sebuah ponsel yang menempel di telinganya dan berbicara dengan serius. Kulihat ia takjub dengan apa yang kupakai sekarang. Padahal aku terlihat seperti seorang wanita yang memakai sprei abu-abu pucat tanpa riasan wajah. Ia mengatakan selamat tinggal pada lawan bicaranya di telepon lalu menyimpan ponsel itu di dalam kantong jas bagian dalamnya. Nah, wajah ini yang kutunggu-tunggu setelah beberapa butik yang kami masuk.
            “Apa kau ingin masuk ke dalam ruang ganti Mr. Herich ke dalam ruang ganti untuk melihat pakaian yang sebenarnya?” Tanya Tina dengan maksud tersendiri. Tanpa ragu-ragu Justin langsung mengangguk. Aku bingung. Baru pertama kali aku melihat pramuniaga yang menyuruh seorang pria masuk ke dalam ruang ganti bersama dengan wanitanya. Justin mengajakku masuk ke dalam ruangan ganti, lagi. “Kau hanya perlu meredupkan lampu di dalam, kau akan menemukan saklar berbentuk lingkaran di sana, Mr.Herich,” ucap Tina yang segera menutup pintu ruang ganti yang cukup untuk dua orang ini. Sekarang ruangan ini terasa sesak karena tubuh Justin yang lebih besar dibanding Tina. Terjadi keheningan antara kami berdua sampai aku memutuskan untuk meredupkan lampu ini menjadi remang-remang. Pakaian ini mulai memperlihatkan kehebatannya pada Justin. Mata Justin tidak memerhatikan pakaian itu, tetapi wajahku. Aku menjadi salah tingkah saat ditatapinya, jadi aku memutuskan untuk membuang wajah. Kurang dari 3 detik, tangan Justin menarik daguku lalu mengecup bibirku secepat yang ia bisa. Dua tangannya mulai menangkup pipiku agar ciuman kami semakin dalam. Lidahnya mulai membelai lidahku, aku mendesah pelan. Tanpa disuruh siapa pun, aku langsung menarik tali yang berada di bawah ketiakku sehingga pakaian itu terjatuh di atas kakiku. Bukan niatku untuk bersetubuh dengannya di ruangan ini. Tidak, aku harus mengganti pakaianku lagi. Bibir Justin mulai mencium-ciumi leherku.
            “Justin,” bisikku. “Justin, kita tidak bisa melakukan itu sekarang. Tidak di sini, ada sesuatu yang kutakuti,” ucapku dengan suara serak. Aku hampir gila tiap kali perasaan ini menyerangku! Justin selalu menghajarku dengan sentuhan-sentuhan kasar dari bibirnya namun intens itu yang membuat lututku selalu melemas. Kudorong tubuh Justin sekuat mungkin. Akhirnya bibir itu lepas dari leherku, ia terengah-engah. Begitu juga denganku.
            “Kita akan membeli gaun ini. Kau tampak luar biasa cantik dalam balutan gaun itu,” ucapnya. Aku hanya mengangguk lalu mengambil pakaian pertamaku dan memakainya. Justin meraih gaun yang kulepas itu bertepatan saat aku mengancing celana jinsku. Aku menyalakan kembali lampu ruang ganti seperti semula dan lalu kami berdua keluar dari ruang ganti. Ponsel Justin lalu berdering.

***

JUSTIN HERICH

            Kenyataan bahwa aku mulai memiliki rasa terhadap Laura tidak dapat kusangkal.Kulihat ia sedang terduduk dengan tenang di dalam mobil dengan gaun yang kubelikan tadi untuknya, tidak menyala. Ternyata butik itu memberikan sebuah alat untuk menyala-matikan pakaian itu. Laura memang memiliki kepribadian yang baik. Apalagi, tiap hari hubungan kami semakin membaik. Ternyata ia wanita yang anteng, tenang, dan tidak meminta banyak-banyak akan sesuatu. Malah tidak meminta apa pun. Katanya, apa yang ia butuhkannya sudah melebihi dari cukup. Cukup sederhana menjadi seorang Laura. Mungkin ia tidak terbiasa dengan kemewahan. Senang rasanya mendengar percakapan terakhir antara Laura dan Thomas yang terdengar singkat dan hambar. Ya, benar sekali. Aku sudah meminta orang untuk memprogram ponsel Laura agar merekam tiap percakapan mereka. Jadi malamnya, aku bisa pulang dengan lega tanpa ada rasa curiga. Kurasa Laura sudah takluk padaku. Ia jadi lebih sering meminta pelukan dariku. Kurasa ia kesepian. Aku kasihan pada Laura karena ia tidak memiliki teman di rumah, jadi aku selalu mengizinkannya untuk pergi ke rumah sakit jika ia ingin datang menjenguk Lily. Tetapi aku tidak akan melepaskan pengawasanku terhadapnya. Ia harus tetap berada di bawah pengawasanku. Meski ia tampaknya tahu tentang orang-orang yang kusuruh untuk mengawasinya di rumah sakit.
            Malam ini mengajak Laura makan malam di atap hotel tertinggi. Ya, benar sekali, makan malam romantis. Kencan pertamaku dengan Laura. Jika aku masih memakai cincin pertunanganku, pasti aku akan divonis menjadi pelaku utama dalam perselingkuhan. Aku tidak begitu peduli dengan Jasmine atau pun Thomas. Yang menjadi keinginan terbesarku hari ini adalah mengajak Laura ke atas atap hotel dan makan malam bersama. Percakapan apa yang akan kuangkat dengannya? Aku tidak begitu memikirkannya. Mungkin kami akan hening dalam malam yang sunyi. Tujuanku adalah memiliki kebersamaan dengan Laura. Dan memiliki waktu yang berkualitas bersama dengannya. Mobilku berhenti di depan sebuah hotel. Dan aku turun dari mobil lalu berlari kecil untuk membukakan pintu Laura. Ia keluar dan tampak sangat menakjubkan. Kuberikan kunci mobilku pada penjaga valet.
            Saat berada dalam lift, aku mulai menekan tombol nyala pada gaunnya. Namun gaun itu tidak bersinar karena lampu lift ini sangatlah terang. Dari tadi Laura tidak mengatakan apa pun. Ia satu-satunya wanita yang pikirannya tak dapat kuselami dan kubaca melalui raut wajah datarnya semenjak Ramona meninggal. Yah, Ramona termasuk wanita yang susah ditebak. Sampai sekarang, aku masih belum menemukan alasan mengapa Ramona ingin aku menjauh darinya. Pintu lift terbuka saat kami sudah sampai di lantai paling atas. Aku mengajak Laura untuk berjalan menuju sebuah tangga pendek. Di daerah tangga yang remang, gaun Laura mulai menyala. Ia terkejut, terperangah, dan mendesah. Kudorong pintu besi hingga terbuka dan menibakan kami di atas hotel teratas. Angin langsung menerpa tubuh kami. Sudah kuduga suasana akan terasa sangat dingin. Untungnya, aku meminta pelayan untuk menyiapkan jaket hangat untuk Laura.
            “Lewat sini,” salah seorang pelayan yang sudah menunggu kami mengantar kami menuju sebuah meja bundar dan dua kursi yang saling berhadapan. Kupersilahkan Laura duduk saat aku menarik kursi, jadi ia duduk. Akhir-akhir ini ia bersikap menjadi seorang wanita penurut favoritku. Kemudian aku duduk berhadapan dengannya. Kulihat gerak-geriknya yang melihat sekitar.
            “Ada apa?” Tanyaku padanya untuk memastikan apa ia baik-baik saja.
            “Tidak apa-apa,” ujarnya berbohong. Aku tahu ia berbohong karena kurasa ia tidak pernah bersikap ‘baik-baik saja’ jika bersama denganku. Jadi aku memanggil pelayan untuk mengambil jaket yang sudah kuberikan pada mereka sebelumnya. Terdapat 3 pemain biola di sudut atap dan belum memainkan musik apa pun sebelum aku menyuruhnya bermain. Dua orang pelayan membawakan kami makanan dan satu orang pelayang menyusul, membawakan sebuah jaket untuk Laura. Langsung saja Laura menerimanya dengan senang hati. Ia memakainya. Mengapa dari tadi ia terdiam saja? Aku menjentikkan jariku sehingga musik biola mulai mengalun memainkan lagu Hurt dari Christina Aguilera. Aku mulai memakan makanan pembuka. Begitupun dengan Laura.
            “Apa kau menyukainya?” Tanyaku berbasa-basi. Laura hanya menganggukkan kepalanya dalam diam. Ada apa dengannya? Makanan utama datang setelah kami menghabiskan makanan pembuka. Sepanjang kami memakan menu utama, Laura masih terdiam. Musik masih mengalun lagu yang sama tanpa bosan. Setelah itu makanan penutup. Sebelum aku menyentuh makanan ini, aku membuka mulut.
            “Laura, sebenarnya ada apa?” Tanyaku kali ini mendesaknya. Ia mendongak menatapku lalu mendesah. Keningnya mengerut begitu saja.
            “Aku tidak suka suasana romantis,” ujarnya bangkit dari tempat duduk. Aku baru sadar. Ah ya ampun, seharusnya aku tahu ini dari awal. Mengapa aku tidak pernah menanyakan apa yang ia suka atau tidak? Lalu ia menarik kursi yang ia duduk menjadi menghadap kota New York. Aku ikut berdiri ingin menghampirinya. Tapi ia malah menuju kursiku dan mengangkat kursi itu agar bersebelahan dengan kursinya. “Hentikan lagu sialan itu! Aku tidak suka musik yang mengalun lamban seperti itu. Mainkan lagu Come Fly With Me. Sekarang!” Bentak Laura yang membuat para pemain biola mengganti lagunya menjadi lagu Frank Sinatra. Ia telihat sangat menarik ketika ia menjadi dirinya sendiri. Tangan Laura mengambil kedua piring makanan penutup lalu menyodorkannya padaku salah satunya.
            “Kau tahu, kau terlihat seksi ketika menjadi dirimu sendiri,” pujiku berjalan menghampirinya yang sudah terduduk di atas kursi. Aku ikut duduk di sebelahnya, menikmati pemandangan kota New York penuh dengan gedung-gedung pencakar langit. Tidak ada yang lebih dari itu.
            “Itu sudah keahlianku menjadi seksi,” ketusnya membuatku tertawa terkejut atas pengakuannya. Kuperhatikan wajah Laura yang tadinya masam berubah menjadi ekspresi biasa. Kurasa Laura sedang berusaha menahan tawanya atas leluconnya sendiri. Ia tampak lucu ketika ia menahan tawanya karena pipinya bersemu merah. Ia memakan cokelatnya terus menerus hingga sendok terakhir. Sedangkan aku belum sama sekali menyentuh makanan penutup.
            “Kau mau memakan punyaku?” Tawarku. Laura menyimpan piringnya itu di bawah kursi lalu mengambil piringku tanpa malu-malu. “Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau kau tidak menyukai hal-hal yang berbau romantis,”
            “Tidak apa-apa. Bukan salahmu. Aku juga tidak pernah memberitahunya padamu. Jadi ini bukan sepenuhnya salahmu,” ucapnya memakan cokelatku. “Kau yakin tidak ingin memakana cokelat ini? Padahal rasanya enak,” komentarnya. Namun aku ragu jika Laura akan memberikan cokelatnya itu padaku karena tampaknya ia sangat menikmati cokelat itu.
            “Laura, ada sesuatu hal yang menurutku karena kau wanita mungkin kau tahu jawabannya, yang ingin kubicarakan,” ucapku. Laura lalu menoleh padaku, menjilat bibirnya yang terdapat cokelat di sana.
            “Apa?” Tanyanya. Ia membungkukkan tubuhnya, tidak peduli apakah ia wanita yang sedang memakai gaun atau jaket. Laura sedang tidak ingin diganggu suasana hatinya yang rusak itu –mungkin sekarang menjadi lebih baik.
            “Menurutmu, apa yang menjadi alasan Ramona ingin aku menjauh dari kehidupannya?” Tanyaku. Kulihat ekspresi wajah Laura, namun ia hanya memberikan ekspresi wajah berpikir. Mulutnya mulai terbuka.
            “Mungkin karena ia takut merepotkanmu akibat penyakit yang ia punya. Atau mungkin, ia takut kau malu memiliki kekasih yang memiliki penyakit seperti Ramona. Namun dari semua alasan yang wanita punya, sepertinya, ia tidak ingin menyusahkan kehidupanmu di hari ke depannya,” ucap Laura memakan cokelat terakhirnya tanpa menatapku. Justru matanya menatap pada gedung-gedung pencakar langit itu.
            “Benar.” Aku menyetujuinya.
            “Tapi menurutku, jika dia yakin kau mencintainya, ia pasti akan tetap bersamamu. Karena orang yang mencintaimu tulus akan mempertahankanmu saat yang lain menyerah. Mungkin ia ragu kau tidak akan mempertahankannya sama seperti yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar