AUTHOR
“Kau
yakin?” Justin sedang berada di atas tubuh Laura. Jari-jarinya yang besar itu
sudah menyentuh tali di bawah ketiak Laura, ingin menariknya secepat mungkin.
Hanya anggukan penuh keyakinan yang Laura berikan pada Justin. Tentu saja itu
merupakan lampu hijau bagi Justin. Ia menarik tali itu hingga gaun yang Laura
kenakan tiba-tiba saja longgar di tubuh Laura. Kecupan, belaian, jilatan, dan kelembutan
itu membuat darah yang berada di bawah kulit Laura mendidih panas. Pakaiannya
sudah teronggok di bawah tempat tidur. Tinggal mereka di atas tempat tidur.
Dalam remang-remang penuh romantis semakin mendukung sensasi yang dirasakan.
Tangan itu menelusuri paha Laura yang putih lembut itu, mengelusnya hingga
terpaksa Laura harus memeluk Justin yang masih berpakaian lengkap. Bibir mereka
bertaut tak kenal lepas, lalu Laura hanyut dalam kesakitan serta kenikmatan
yang tiada tara.
Laura
mengerjap-kerjapkan matanya berkali-kali saat matahari mulai menyinari
kamarnya. Begitu silau hingga Laura terpaksa harus menyipitkan matanya.
Tubuhnya tertutup dengan selimut hingga bahunya. Laura menggerakan tubuhnya
sejenak, namun rasa perih tiba-tiba saja menyengat tubuhnya hingga Laura
menjerit tertahan. Oh, apa yang ia lakukan tadi malam bersama dengan Justin?
Ketika ia mengangkat selimut yang ia pakai, tubuhnya menjelaskan segalanya.
Benar sekali. Ia memberikan keperawanannya pada Justin malam tadi. Penuh
gairah. Tanpa henti. Dan berakhir seperti ini. Sakit serta perih. Mungkin ia
tidak akan melakukan itu lagi bersama
dengan Justin dalam waktu yang dekat. Laura tidak menyesal dengan keputusannya
kali ini. Pria yang mengelus serta memanjakan dirinya tadi malam masih terlelap
dengan mulut yang terbuka. Oh, manis sekali. Bibir yang mengecup setiap jengkal
tubuhnya. Pipi Laura memerah mengingat kejadian tadi malam. Malam yang luar
biasa. Rasanya Laura ingin melakukannya lagi, tetapi menyadari keadaannya yang
kurang mendukung, Laura mengurung niatnya.
Justin
menggeliat di atas tempat tidur, memiringkan tubuhnya menghadap pada Laura.
Tangan itu akhirnya bisa menyentuh perut Laura yang telanjang dengan leluasa tanpa
ada jeritan ketakutan dari Laura. Justin mendekatkan kepalanya dengan kepala
Laura. Ah, akhirnya Justin benar-benar bisa menaklukan Laura. Bahkan Laura
masih berada di tempatnya, tidak berusaha untuk menyingkirkan tangan Justin
yang membuat Justin mengerjap-kerjapkan matanya lalu menguap. Laura
memerhatikan Justin. Wajah tampan itu semakin terlihat tampan jika dilihat dari
jarak dekatnya. Laura tidak percaya dengan apa yang ia dapatkan sekarang. Hanya
seorang pesuruh kantor yang akhirnya berada di atas ranjang bersama dengan
atasannya. Meski awalnya, Laura merasa terpaksa tinggal di rumah Justin. Tidak
sekarang, ia belajar dari minggu-minggu sebelumnya. Semakin ia memberontak,
semakin resah kehidupannya. Mungkin, menikmati
bisa membuat dirinya lebih santai.
Justin
tidak mengatakan apa pun setelah ia meregangkan otot-ototnya itu. Dan ia
bangkit dari tempat tidur Laura tidak mengenakan apa pun. Telanjang. Telanjang
di depannya, berjalan menuju kamar mandi. Pria itu tampak sangat santai dengan
keadaannya yang telanjang itu atau ia hanya sengaja ingin menggoda Laura?
Tidak, Laura tidak melihat barang
yang masuk ke dalam tubuhnya. Ia terlalu ngeri mengingat hal pertama yang ia
rasakan ketika Justin menyetubuhinya. Laura mengangkat tubuhnya hingga ia
bersandar di kepala tempat tidurnya, mengapit selimut di kedua ketiaknya agar
menutup seluruh tubuhnya. Laura menunggu Justin keluar dari kamar mandi agar ia
bisa masuk ke dalam dan membersihkan tubuhnya yang …Laura tidak ingin
memikirkannya. Saat Justin keluar dari kamar mandi dengan jubah putih yang ia
pakai, Laura beranjak dari tempat tidurnya.
“Justin—“
Namun ucapan Laura terhenti begitu saja. Pintu kamarnya terbanting dengan kasar
hingga ia terkejut setengah mati. Ada apa dengan Justin? Bukankah seharusnya pagi
ini ia merasa bahagia sama seperti yang Laura rasakan? Bukankah ini yang selama
ini Justin inginkan dari Laura? Kemudian sesuatu memukul Laura. Laura terjatuh
ke atas tempat tidur lagi, ia duduk sambil menundukkan kepalanya. Air matanya
keluar dari pelupuk matanya. Sekarang ia mengerti bagaimana rasanya menjadi
seorang pelacur. Ya Tuhan, apakah sekarang Laura adalah seorang pelacur? Apa ia
ingin berhubungan badan dengan Justin hanya untuk menyenangkan hati Justin?
Well, bayarannya sudah ada sebelum mereka melakukan hubungan badan itu. Pakaian
yang mengilau, menyala, yang menakjubkan. Mengapa hal ini tidak Laura pikirkan
sebelumnya? Tidak seharusnya Laura hanyut dalam rayuan maut Justin. Harga
dirinya seakan-akan telah dihancurkan begitu saja. Seperti inikah rasanya
menjadi seorang pelacur? Ditinggalkan begitu saja ketika pria itu telah puas dan
dibayar dengan bayaran penuh. Namun pelacur tidak akan pernah merasakan sakit
hati ketika pria yang memakainya telah pergi dengan meninggalkan banyak uang.
Laura? Laura sakit hati saat Justin meninggalkannya begitu saja. Apa Laura
jatuh cinta pada Justin maka dari itu ia ingin Justin bahagia karena Laura
telah memberikan kebebasan untuk menyentuh tubuhnya? Pemikiran bodoh.
Pria
itu. Pria yang baru saja membanting pintu kamar Laura ketika Laura baru saja
ingin berbicara dengannya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Laura beranjak
dari ranjangnya lagi, menangis, lalu mendekati pintu kamar dan menguncinya
rapat-rapat. Tidak ada yang boleh mengganggu Laura. Kakinya yang mungil itu
membawa tubuhnya menuju kamar mandi, ia melepaskan selimut itu sebelum ia masuk
ke dalam lalu melangkah masuk. Tidak mengunci pintu itu. Ia memutar kran air
hingga air dari pancuran mulai menyiram tubuhnya. Tubuhnya yang telah disentuh
oleh Justin. Perasaan menyesal mulai menyeruak di hatinya sampai akhirnya ia
menangis histeris –tapi bagi orang lain hanya seperti isakan biasa. Air mata
itu menyatu dengan air yang menyiram kepala dan tubuhnya. Pasti sekarang sudah
tidak ada pria yang menginginkannya. Termasuk Thomas. Ia sudah tak perawan.
Laura merasa dirinya sangat rusak. Mungkin ini memang Amerika, orang-orang
menjalani kehidupannya dengan penuh kebebasan. Tidak dengan Laura. Ia
menghargai dirinya—sebelum ia bertemu dengan Justin—sampai akhrinya ia
terjerumus ke dalam sesuatu yang selama ini ia jauhi sebelum ia menikah.
Ia
mengambil sabun cair yang berada di dekatnya. Tangannya yang lain memutar kran
air agar pancuran air tidak begitu deras. Lalu ia mulai menyabuni dirinya. Ia
ingin membersihkan apa pun yang telah membuatnya merasa kotor. Hatinya sesak.
Seperti tak bisa bernafas. Dari leher hingga ujung kuku kakinya, ia
membersihkan seluruh tubuhnya—meski cukup perih. Lalu ia menyalakan kran air
kembali hingga menyiram tubuhnya. Rasanya seperti kulitnya terkelupas, terganti
dengan kulit yang baru. Kulit-kulitnya seperti kusam sebelumnya lalu berubah
menjadi kulit putih mulus. Setelah membersihkan rambut, menyikat gigi dan
mencuci wajahnya, ia mengambil handuk yang tergantung di dalam kamar mandi.
Sambil mengeringkan rambutnya, kaki kanannya ia angkat untuk mematikan kran
air.
Pintu
kamarnya terketuk, saat ia ingin mengganti pakaiannya.
“Ms.
Hare, Mr. Herich memanggilmu untuk turun ke bawah,” suara seorang pelayan dari
luar. Laura tidak mengatakan apa pun. Ia mendongakkan kepalanya ke atas agar
air matanya tak mengalir. Sebisa mungkin ia tidak menangis, namun pada akhirnya
air mata itu mengalir. Sebelumnya, ia tidak pernah menangis sesedih ini. Bahkan
ia tidak pernah menangis setelah ibunya pergi meninggalkannya. Sudah cukup ia
menangisi ayahnya. Sampai ia bertemu dengan Justin. Laura yang awalnya keras
seperti batu jalanan sekarang seperti es batu yang mudah meleleh. Apa ia jatuh
cinta pada Justin? Karena saat ini ia memang merasakan sakit hati untuk yang
kedua kalinya.
***
“Aku
sudah memikirkan dimana aku akan menempatkanmu saat Thanksgiving,” ucap Justin
memecahkan keheningan di dalam mobil. Justin tidak mengatakan apa pun selama
mereka berada di rumah, bahkan setengah perjalanan menuju rumah sakit. “Kau
akan menjadi penjaga Lily yang baru sekarang. Maksudku, seperti asisten Nancy.
Bagaimana menurutmu?”
“Itu
bagus. Pakaiannya?” Tanya Laura berusaha untuk menutupi perasaan sakit hatinya
itu. Justin tidak sama sekali menanyakan bagaimana keadaannya pagi ini. Tapi ya
sudah, bagi Laura itu tidak penting. Laura hanya berusaha menyangkal kenyataan
yang sebenarnya sudah berada di depan matanya –bahkan dalam dirinya.
“Tidak
perlu memakai seragam. Kau hanya bilang pada orangtuaku –jika ia datang ke
rumah sakit—bahwa kau penjaga baru Lily. Mudah sekali. Selama tiga hari kau
akan menginap di sana. Tidak boleh keluar dari sana. Aku tidak ingin tiba-tiba
kau bertemu dengan Thomas jika ternyata kau merencanakan sesuatu untuk bertemu
dengannya. Meski aku meragukannya,” ucap Justin menjelaskan. Namun respon yang
diberikan Laura hanyalah anggukan. Tak lebih. Kepala Laura menoleh ke jendela,
menatap gedung-gedung yang ia lewati dengan tatapan kosong. Mengharapkan ada
sesuatu yang dapat membuat hatinya merasa lebih baik, selain mandi tadi. Jimmy
mungkin? Tapi bagaimana caranya agar ia dapat bertemu dengan Jimmy? Laura tidak
mungkin menghubungi Jimmy melalui ponsel yang Justin berikan. Laura merasa ada
yang aneh dengan ponsel yang diberikan Justin. Hanya saja, Laura tidak tahu apa
itu.
Mobil
mulai berhenti di depan sebuah rumah sakit.
Laura
sedang memerhatikan Lily yang sedang terlelap. Nancy sedang membuat syal dari
benang rajutannya yang berwarna ungu. Hari ini tidak ada yang istimewa.
Semuanya terasa hambar seperti pertama kali Laura tinggal di rumah Justin. Oh,
ini semua karena keputusan yang ia ambil salah. Sial, sial, sial! Sial sekali.
Nancy melirik Laura dari kacamata tebalnya, memerhatikan wanita itu yang
menatap Lily dengan tatapan kosong. Seperti tidak ada harapan hidup lagi.
“Masalah
cinta?” Tanya Nancy.
“Bukan,”
bisik Laura. “Aku hanya bosan. Aku merindukan seseorang. Tapi Justin menahanku,
rasanya seperti tinggal di penjara,” ucap Laura menyandarkan tubuhnya ke
sandaran kursi. Nancy tersenyum, menghasilkan kerutan-kerutan di sekitar mata
dan sudut-sudut bibirnya.
“Siapa?
Sepertinya orang yang kaucintai,” ucap Nancy. Pertanyaan itu sederhana dengan
pernyataan yang bersifat sama. Tetapi rasanya seperti Nancy menampar pipi Laura
sekeras yang Nancy bisa. Perasaan ini tidak dapat Laura pecahkan ketika ia
mendapati dirinya sendiri sedang jatuh cinta pada dua orang pria namun ia tidak
tahu, siapa yang harus ia pilih. Rasanya salah jika ia memilih salah satu di
antara mereka. Rasanya Laura ingin menjatuhkan dirinya dari balkon rumah sakit
lalu mati. Semua masalahnya selesai. Tidak perlu merasa bersalah pada Thomas,
jatuh cinta pada Justin, atau apa pun yang berhubungan dengan mereka berdua.
Hati kecil Laura berkata, lebih baik Thomas. Ia akan menerimamu apa adanya
meski dirimu sudah kotor. Laura telah mematahkan janjinya pada Thomas. Perasaan
yang seharusnya milik Thomas sepenuhnya sekarang sudah Laura bagi untuk Justin.
Laura menggelengkan kepalanya, menggigit bibir bawah lalu membuka mulut.
“Thomas.
Dia kekasih,” bisik Laura. “Aku ingin bertemu dengannya secepat yang kubisa,
tapi bodohnya aku tidak berusaha untuk bertemu dengannya. Yah, aku begitu takut
jika aku bertemu dengan Thomas lalu Justin akan menyakiti Thomas. Alasan aku
tinggal bersama dengan Justin adalah untuk menyelamatkan Thomas,” ucap Laura
tanpa memberikan kesan sombong, justru seperti pengorbanan. Nancy hanya
tersenyum simpul, lalu ia mendecak.
“Aku
tahu bagaimana perasaanmu. Well, aku punya ponsel. Hubungi saja dia. Kapan kau ingin
bertemu dengannya, aku akan jaga rahasiamu dari Mr.Herich,” ucap Nancy
mengeluarkan ponselnya dari kantong rok yang ia pakai. Laura tertawa putus asa,
tidak mungkin itu terjadi.
“Banyak
penjaga di luar sana. Jadi, terima kasih karena kau sudah berusaha untuk
membantuku, tapi kurasa itu akan sia-sia,” Laura menolak secara halus.
“Kita
bisa mencobanya. Justin memberitahu padaku, kau akan menjadi asistenku selama 3
hari pada Thanksgiving. Nah, aku bisa mengatakan pada penjaga-penjaga itu kalau
Thomas adalah keponakanku. Itu hal yang mudah. Dulu aku seorang aktor opera.
Jadi, jangan takut. Aku bisa akting,” Nancy berucap lalu ia melempar ponselnya
yang dengan sigap Laura langsung menangkapnya. “Hubungi dia, kita akan
melakukan hal besar. Aku tidak ingin kau sedih seperti ini,”
“Terima
kasih, Nancy. Aku berutang banyak padamu,”
“Hubungi
dia!” Seru Nancy gembira. Inilah perasaan yang Laura inginkan sejak pagi tadi.
Mengapa tidak dari tadi? Ya Tuhan. Nancy sangat jenius.
***
Keadaan menjadi canggung tiap
harinya setelah Justin dan Laura berhubungan badan. Laura sebisa mungkin
menyembunyikan perasaannya yang terpaksa ketika Justin mengecup bibirnya.
Bukankah itu yang Justin inginkan selama Laura berada di dalam genggaman
Justin? Laura berhasil melakukannya. Itu mungkin karena bantuan dari Nancy yang
meminjamkan Laura ponsel untuk menghubungi Thomas tiap harinya di rumah sakit
tanpa sepengetahuan Justin. Jadi semuanya kelihatan baik-baik saja tiap
harinya. Besok adalah Thanksgiving. Akan ada kalkun, lasagna, yah semacamnya.
Mungkin Thanksgiving dan Natal adalah hari-hari dimana orang-orang memiliki
kebersamaan dan pengucapan syukur. Laura benar-benar tidak sabar untuk bertemu
dengan Thomas besok di rumah sakit. Semoga Nancy bisa benar-benar membantunya.
Sudah jam 12 malam, tapi Laura belum
terlelap. Terlalu banyak pikiran di otaknya. Jadi ia tidak bisa tidur. Yah,
sejak mereka berhubungan badan, Justin sudah tidak datang masuk ke dalam kamar
Laura malam hari hanya sekedar untuk memeluknya. Tidak sama sekali. Meski
sesekali Laura merindukan pelukan Justin di malam hari. Tapi, paginya, Laura
pasti mendapati Justin berada di samping tubuhnya. Terlelap seperti bayi yang
sedang tidur. Kadang melihat Justin tertidur lebih menyenangkan dibanding
Justin bernafas sambil membuka matanya atau berbicara.
“Ya Tuhan aku benar-benar merindukan
Thomas,” bisik Laura mengusap-usap wajahnya. Mendesah. Dengan sigap Laura
membalikkan tubuhnya ke belakang ketika ia mendengar seseorang membuka pintu
kamarnya. Ia melihat Justin yang berjalan menuju tempat tidurnya –kamarnya
gelap—lalu terbaring di atas tempat tidur Laura. Ya ampun, jadi tiap tengah
malam Justin datang ke kamarnya? Mengapa Laura tidak menyadarinya? Yah, Laura
adalah Laura. Jika sudah terlelap, ia tidak akan bisa dibangunkan dengan cara
yang halus. Tidak ingin membiarkan Justin tinggal sendirian di atas tempat
tidur, Laura berjalan. Tiap langkah yang ia tempuh, di situlah ia memikirkan
betapa beruntungnya ia besok karena mungkin, seharian Justin tidak akan berada
di rumah sakit. Orangtuanya datang besok menjelang siang.
“Justin,” bisik Laura merangkak,
naik ke atas ranjang. Justin yang memunggunginya langsung berbalik, melihat
Laura. “Sudah tidur ya? Maaf kalau begitu,” Tanya Laura mengangkat selimut lalu
masuk ke dalamnya. Justin tidak mengatakan apa-apa, ia hanya memerhatikan Laura
yang sedang berusaha mendapatkan posisi terbaik untuk tidur. Awalnya, Justin
berpikir, wanita ini tidak sama dengan wanita-wanita lain. Ternyata, Laura sama
saja dengan yang lain. Mungkin memang hanya butuh dua minggu untuk menaklukan
Laura, maksud Justin, benarkah hanya butuh 2 minggu? Pasti ada sesuatu yang
membuat Laura mengambil keputusan untuk tidur bersamanya hari itu. Laura
akhirnya mendapatkan posisi bagus untuk terlelap. Ia menghadap pada Justin,
memeluk paha Justin dengan santai. Tidak seperti malam-malam sebelumnya—mungkin
karena Laura tidak tahu keberadaan Justin yang datang pada tengah malam.
Pemikiran awal Justin terhadap Laura
dulu, sekarang sudah menjadi kebalikannya. Dulu, mungkin Laura adalah wanita
yang tidak ingin Justin sentuh. Itu adalah suatu ketertarikan yang dimiliki
Laura saat itu hingga Justin berusaha mati-matian untuk mendapatkan Laura. Tapi
benarkah hanya butuh 2 minggu agar Laura bisa tidur dengannya? Sama sekali
tidak menarik. Mungkin Laura sama dengan pelacur. Semurah itukah tubuh Laura?
Hanya dengan tampang wajah garang dan sifat yang munafik benar-benar bisa
menipu Justin dengan tolakan-tolakannya dan tangisan-tangisan itu. Apa Laura
bisa diperlakukan seperti pelacur? Ya, tentu saja. Laura sudah berada dalam
genggaman Justin dan tidak ada yang bisa mengambilnya kecuali masa perjanjian
mereka sudah habis. Menyentuhnya beberapa kali lagi mungkin akan menyenangkan.
Justin sendiri tidak mengerti apa
yang sedang melanda perasaannya. Apa ia sejahat itu pada Laura? Memperlakukan
Laura seperti pelacur? Bisa saja. Justin memang jahat, sebenarnya. Untuk menjadi
jahat, kita harus terlihat baik. Itu baru yang dinamakan topeng.
***
Laura
menggigit bibirnya ketika Justin sudah beranjak dari kamar Lily. Pagi ini Lily
tampak sangat senang karena hari ini adalah hari Thanksgiving. Kakek dan
neneknya akan datang sore nanti ke rumah sakit. Berarti, Laura hanya memiliki
waktu kira-kira 4 jam untuk bertemu dengan Thomas. Kemungkinan besar sekarang
Justin akan pergi ke bandara untuk menjemput orangtuanya. Jam telah menunjukkan
pukul 10 pagi. Laura meminta Thomas untuk datang ke rumah sakit jam 11 nanti.
Nancy memerhatikan gerak-gerik Laura yang tak sabaran itu, jadi Nancy tertawa
melihat tingkahnya. Laura seperti anak kecil yang menunggu es krim datang di
hadapannya. Padahal ia harus menunggu 1 jam lagi. Tiba-tiba seorang dokter
datang masuk. Bersama dengan satu suster yang menyusul dari belakang.
“Kupikir
kalian bisa memberikan kami waktu sebentar,” ucap dokter itu dengan ramah.
Nancy yang duduk di sebelah tempat tidur Lily langsung bangkit, mengajak Laura
keluar. “Selamat pagi Lily. Bagaimana kabarmu pagi ini?” Tanya dokter itu lalu
tidak ada kelanjutannya karena pintu kamar telah tertutup. Dua orang penjaga
yang berada di depan pintu kamar Lily langsung menahan Laura yang ingin duduk
di kursi ruang tunggu, dekat lift.
“Hei,
santailah! Aku hanya ingin duduk di sana. Apa masalahmu?” Berontak Laura kesal.
Penjaga ini pasti sudah diberitahu Justin untuk menjaga Laura 2 kali lebih
ketat dibanding hari-hari sebelumnya. Menit demi menit telah berlalu, dokter
sudah keluar dengan susternya sekitar 20 menit kemudian. Laura baru saja akan
masuk ke dalam kamar Lily, tiba-tiba saja ia mendengar suara teriakan dari
seorang pria yang ia kenali. Sangat ia kenali.
“Bibi
Nancy!” Teriak pria yang memiliki mata biru itu keluar dari lift bersama dengan
adiknya di belakang. Ya ampun. Hati Laura berdebar-debar tak menentu. Dua orang
penjaga itu langsung maju ke depan, menahan Thomas yang ingin menjangkau Nancy.
Laura masih berhenti di mulut pintu. Sebisa mungkin Laura memberikan ekspresi
bingung ketika melihat Thomas. “Bibi Nancy,”
“Ini
hanya keponakanku. Aku sudah menghubungi mereka jauh-jauh hari untuk bertemu
denganku di sini. Apa masalahmu?” Tanya Nancy mengikuti nada suara Laura. Laura
hanya cekikikan di belakang Nancy. Ia memerhatikan dua penjaga itu langsung
salah tingkah, merasa ciut ketika orangtua menegurnya seperti itu. “Ayo, masuk,
Liam,” ucap Nancy mengajak Thomas masuk ke dalam dengan nama samara. Thomas dan
Jimmy masuk ke dalam kamar Lily bersama dengan Laura yang sudah berada di dekat
Lily. Pintu kamar segera ditutup saat mereka semua masuk.
Tanpa
mengatakan apa pun, Laura berlari menuju Thomas. Memeluk Thomas begitu erat. Ia
melepaskan segala kerinduannya yang tertahan ini. Akhirnya. Akhirnya ia bertemu
Thomas kembali. Pria ini tampak tidak sehat. Mengapa Thomas berbohong tentang
keadaannya? Ia tampak kurus dan pucat. Tapi janggut dan kumisnya sudah
bertumbuh menghias wajahnya. Thomas membalas pelukan Laura begitu hangat. Ia
merindukan Laura lebih dari yang Laura tahu. Dapat Thomas lihat, Laura
baik-baik saja bersama dengan Justin. Ia terlihat lebih bugar dan putih. Thomas
menyembunyikan wajahnya di dalam leher Laura, menghirup aroma rambut Laura yang
wangi. Tangan Laura yang berada di belakang bahu Thomas tak terasa meremasnya,
hingga Thomas mengerang lalu tertawa.
“Ya
Tuhan, Laura, aku tidak tahu kau merindukanku hingga menyakitimu seperti ini,”
ujar Thomas berusaha bercanda. Laura terdiam. Ia menangis dalam pelukan.
Menyesali apa yang telah ia lakukan. Menyimpan rahasia, yang Laura pikir,
Thomas tidak perlu ketahui karena ia takut Thomas tersakiti hatinya. Jimmy dari
belakang tertawa. Anak remaja itu membawa gitarnya di belakang punggung. Laura
menyeka hidungnya dengan satu tangan lalu melepaskan pelukannya. Lily berbisik
pada Nancy, bertanya siapa pria yang datang itu. Tentu saja Nancy memberitahu
padanya bahwa Thomas adalah keponakannya. Lily hanya mengangguk lalu matanya
bertemu dengan Jimmy. Seperti sudah kebiasaan Jimmy, Jimmy langsung memberikan
senyum pada Lily.
“Aku
benar-benar merindukanmu, Thomas,” bisik Laura mengelap air matanya. Kedua ibu
jari Thomas langsung mengelap air mata Laura yang masih tersisa. Wanita ini
telah mengorbankan dirinya agar Thomas tidak terbunuh dengan cara yang kejam.
Wanita yang ia cintai terpaksa harus menjaga jarak dengan Thomas selama
beberapa bulan untuk menebus uang yang Thomas pinjam dari kantor Justin.
“Sudahlah,
jangan menangis. Aku sudah ada di sini. Kita memiliki waktu 3 hari, oke? Kita
akan menggunakan waktu itu sebaik mungkin,” ucap Thomas menenangkan Laura.
“Jimmy membawa gitarnya untuk dimainkan,”
“Ya,
kita bisa memainkan lagu untuk gadis cilik yang cantik di sini,” ucap Jimmy
yang ternyata sudah terduduk di sebelah tempat tidur Lily. Lily terus
memerhatikan Jimmy yang tampan. Ya ampun, Lily bahkan masih kecil! Ia mengagumi
Jimmy. Hal yang selanjutnya terjadi adalah hal yang menyenangkan. Jimmy
memainkan gitarnya untuk mengiringi Lily yang bernyanyi. Gadis cilik itu tampak
senang dengan kedatangan Jimmy dan Thomas. Nancy bertepuk tangan menemani Lily.
Thomas dan Laura duduk bersama di atas sofa panjang. Mereka berbicara satu sama
lain, menceritakan hal-hal yang terjadi selama mereka tidak bersama. Tetapi
Laura tidak menceritakan kebersamaannya bersama dengan Justin yang intens itu.
Tidak sekalipun. Thomas sadar betul bahwa Laura sedang menyembunyikan sesuatu
darinya. Tidak mungkin Justin hanya mengajaknya pergi ke rumah sakit dan
menemaninya saat tengah malam. Pasti ada sesuatu yang lebih terjadi di rumah
Justin. Thomas berpikir, mungkin memang dengan Laura tidak memberitahunya apa
yang terjadi di rumah Justin adalah langkah yang tepat. Pasti ada alasan
mengapa Laura tidak ingin memberitahu segalanya. Menit demi menit berlalu.
Laura mulai bernyanyi bersama dengan Jimmy dan Lily. Tiba-tiba saja ruangan itu
menjadi ricuh dan bahagia untuk beberapa jam. Terutama bagi Lily. Dua jam yang
telah ia tempuh adalah dua jam terbaik yang tidak pernah ia miliki sebelumnya.
Ini benar-benar seru! Mereka tertawa bersama mendengar candaan dari Jimmy.
Sampai satu menit terakhir sebelum ponsel Nancy berdering, Lily telah terlelap.
Nancy langsung memberitahu mereka semua untuk diam karena Justin yang
menghubunginya.
“Nancy,
apa Laura ada di sana?” Suara Justin terdengar dari seberang sana. Semuanya
terdiam. Tidak ada yang berucap. Wajah Laura menegang, begitu juga Thomas.
“Nancy, apa kau dengar aku?”
“Y-ya,
tentu saja, Mr.Herich. Dia ada di sini,” ucap Nancy. “Kami semua baik-baik
saja. Lily sudah tertidur. Semuanya baik-baik saja, Mr.Herich,”
“Baiklah
kalau begitu. Aku akan berada di rumah sakit sebentar lagi,” ucap Justin
langsung mematikan ponselnya.
“Mr.Herich
akan berada di sini sebentar lagi. Kupikir kalian berdua harus pergi dari sini
sekarang juga, aku akan mengantar kalian,” ucap Nancy sesegera mungkin. Nancy
bangkit dari kursinya. Jimmy, Thomas dan Laura ikut berdiri. Sebelum Thomas
keluar dari kamar Lily, tangan Laura meraup pipi Thomas, menarik wajahnya lalu
mengecup bibir itu dengan lembut. Ia mencium Thomas seolah-olah itu adalah
ciuman terakhir mereka.
“Aku
mencintaimu,” bisik Laura.
“Aku
tahu. Jaga dirimu baik-baik. Besok aku akan datang, katakan pada malaikat kecil
itu, aku akan merindukannya,” ucap Thomas mengelus tangan Laura yang masih
berada di pipinya. “Aku mencintaimu,” Thomas beranjak dari tempatnya. Meninggalkan
Laura di kamar sendirian bersama dengan Lily. Ya Tuhan, semuanya terasa berbeda
sekali ketika punggung itu menghilang dari pandangan Laura. Seperti separuh
jiwa Laura menghilang. Kaki Laura melemas, ia menjatuhkan dirinya ke atas sofa,
bersandar di sana. Nancy masuk kembali dengan senyum sumringah.
“Mereka
berdua sungguh manis,” komentar Nancy. “Lily tidak pernah sebahagia itu.
Mungkin dengan keberadaan mereka akan membuat hidup Lily lebih berharga,”
“Aku
tidak meragukan itu, Nancy,” ucap Laura sebisa mungkin senyum. Beberapa saat
kemudian, Justin muncul bersama dengan orangtuanya. Pakaian yang dikenakan
orangtuanya sungguh rapi. Well, bergaya seperti pengusaha terkenal. Tapi,
bukankah mereka berdua memang pengusaha terkenal? Laura segera bangkit dari sofanya
ketika Justin menyuruhnya untuk menemui kedua orangtuanya.
“Ini
Laura,” ucap Justin. “Dia penjaga baru Lily. Dia sudah bekerja di sini satu
bulan,”
“Oh,
ya ampun. Kau terlihat sangat muda,” komentar ibu Justin segera menjabat tangan
Laura tanpa malu-malu. “Senang bertemu denganmu. Kudengar dari Justin, keadaan
Lily semakin membaik ketika kau menjaganya. Benarkah begitu?”
Laura
tertawa renyah. “Mr.Herich benar-benar berlebihan. Tidak, kupikir Lily memang
baik-baik sejak ia berada di tangan Nancy. Tapi jika begitu, terima kasih,”
ujar Laura tanpa menatap mata Justin sekalipun. Pelukan Thomas masih terasa di
tubuhnya, begitu juga kecupan di bibirnya. Laura takut jika Justin melihat ada
sesuatu yang Laura sembunyikan jika Laura menatap Justin. Atau Laura takut ia
akan menangis jika ia menatap Justin karena telah membohongi Justin?
***
Dua
hari telah ditempuh oleh Justin tanpa keberadaan Laura di rumahnya. Ia merasa
resah karena ia melihat Laura begitu senang berada di rumah sakit. Ada sesuatu
yang Laura sembunyikan darinya. Tapi apa? Tidak mungkin Thomas datang ke rumah
sakit, ia sudah menyuruh penjaganya untuk menahan seorang pria yang bernama
Thomas. Jadi, apa yang membuatnya resah selama makan malam bersama kelaurganya
dan Jasmine di rumah? Pagi itu adalah hari ketiga dimana Laura menginap di
rumah sakit. Orangtua Justin sebenarnya, tidak menginap di rumah Justin.
Orangtua Justin memiliki rumah sendiri di New York. Tapi Jasmine menginap.
Jasmine menginap di rumah Justin, jadi Laura tidak berada di rumah Justin
selama tiga hari penuh. Thomas sudah datang ke rumah sakit untuk menjenguk Lily
sekaligus bertemu dengan Laura. Jimmy juga datang kembali dengan gitar –ya,
Thomas tidak masuk ke kantornya selama tiga hari. Ia meminta izin dengan alasan
sakit sekaligus ingin mengadakan Thanksgiving di rumah sepupunya. Alasan bodoh
itu ternyata diterima.
“Kau
datang lebih cepat,” ucap Laura penuh dengan kekuatiran sambil memeluk Thomas.
Thomas hanya mengelus punggung Laura, berusaha untuk menenangkan Laura. “Hari
ini, hari terakhir kita bertemu lagi. Aku pasti akan merindukanmu sekali,”
“Tidak
padaku?” Tanya Jimmy dari belakang yang membuat Nancy tertawa di sebelah Lily
yang masih terlelap. Laura melepaskan pelukannya lalu berjalan mendekati Jimmy.
“Nah, begitu. Peluk aku. Aku juga merindukanmu selama ini. Tidak ada lagi orang
yang bisa kuajari bermain gitar, kautahu,”
“Maafkan
aku,” bisik Laura memeluk Jimmy. “Hari ini kita harus pergunakan dengan baik,”
lanjut Laura. Entah mengapa, pagi ini rasanya ada sesuatu yang menjanggal di
hati Laura. Meresahkan hati Laura. Seolah-olah bakal ada yang terjadi sebentar
lagi, kejadian yang tidak akan Laura inginkan seumur hidupnya. Sebisa mungkin
Laura terlihat tenang saat Jimmy mulai mengeluarkan gitarnya. Jimmy ingin membangunkan
Lily dengan lagu yang akan ia mainkan.
“Ada
apa?” Tanya Thomas dapat melihat Laura resah. Laura yang berada di depan tempat
tidur Lily mengelus-elus lengannya, ketakutan. Ia menelan ludah lalu
menggelengkan kepalanya.
“Aku
tidak tahu. Mungkin kau terlalu cepat datang,” bisik Laura. Tepat ketika Laura
berucap, ia mendengar suara tinjuan di luar sana. Langsung saja Laura berlari
keluar dari kamar Lily. “Nancy, ada apa?” Tanya Lily dari dalam lalu tidak ada
yang Laura dengar kembali setelah ia menutup pintu kamar Lily. Ia melihat
Justin baru saja meninju dua orang bertubuh besar itu dengan kencang. Hati
Laura langsung berdebar kencang. Laura merasa sekarang ia berada di ambang
kematiannya –atau kematian Thomas. Justin membalikkan tubuhnya setelah beberapa
saat ia memunggungi Laura, tatapannya penuh dengan amarah. Ia kesal. Wajahnya
memerah. Rahangnya menegang. Ia tidak pernah terlihat begitu kesal sebelumnya,
seumur hidup Laura. Inilah mimpi buruk yang selama ini menghantui Laura!
“Tarik
mereka berdua keluar. Kita akan selesaikan ini di luar.” ucap Justin kesal. Ia
langsung mencengkram tangan Laura sekencang yang ia bisa hingga Laura mengerang
kesakitan. Dua penjaga yang baru saja ditinju itu langsung masuk ke dalam.
Laura menelan ludahnya begitu susah. Apa yang menjadi ketakutannya sekarang
terjadi. Tidak, ia tidak ingin kehilangan Thomas sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar