Rabu, 18 Desember 2013

A Beautiful Nightmare Bab 7

AUTHOR

            “Kau yakin?” Justin sedang berada di atas tubuh Laura. Jari-jarinya yang besar itu sudah menyentuh tali di bawah ketiak Laura, ingin menariknya secepat mungkin. Hanya anggukan penuh keyakinan yang Laura berikan pada Justin. Tentu saja itu merupakan lampu hijau bagi Justin. Ia menarik tali itu hingga gaun yang Laura kenakan tiba-tiba saja longgar di tubuh Laura. Kecupan, belaian, jilatan, dan kelembutan itu membuat darah yang berada di bawah kulit Laura mendidih panas. Pakaiannya sudah teronggok di bawah tempat tidur. Tinggal mereka di atas tempat tidur. Dalam remang-remang penuh romantis semakin mendukung sensasi yang dirasakan. Tangan itu menelusuri paha Laura yang putih lembut itu, mengelusnya hingga terpaksa Laura harus memeluk Justin yang masih berpakaian lengkap. Bibir mereka bertaut tak kenal lepas, lalu Laura hanyut dalam kesakitan serta kenikmatan yang tiada tara.

            Laura mengerjap-kerjapkan matanya berkali-kali saat matahari mulai menyinari kamarnya. Begitu silau hingga Laura terpaksa harus menyipitkan matanya. Tubuhnya tertutup dengan selimut hingga bahunya. Laura menggerakan tubuhnya sejenak, namun rasa perih tiba-tiba saja menyengat tubuhnya hingga Laura menjerit tertahan. Oh, apa yang ia lakukan tadi malam bersama dengan Justin? Ketika ia mengangkat selimut yang ia pakai, tubuhnya menjelaskan segalanya. Benar sekali. Ia memberikan keperawanannya pada Justin malam tadi. Penuh gairah. Tanpa henti. Dan berakhir seperti ini. Sakit serta perih. Mungkin ia tidak akan melakukan itu lagi bersama dengan Justin dalam waktu yang dekat. Laura tidak menyesal dengan keputusannya kali ini. Pria yang mengelus serta memanjakan dirinya tadi malam masih terlelap dengan mulut yang terbuka. Oh, manis sekali. Bibir yang mengecup setiap jengkal tubuhnya. Pipi Laura memerah mengingat kejadian tadi malam. Malam yang luar biasa. Rasanya Laura ingin melakukannya lagi, tetapi menyadari keadaannya yang kurang mendukung, Laura mengurung niatnya.
            Justin menggeliat di atas tempat tidur, memiringkan tubuhnya menghadap pada Laura. Tangan itu akhirnya bisa menyentuh perut Laura yang telanjang dengan leluasa tanpa ada jeritan ketakutan dari Laura. Justin mendekatkan kepalanya dengan kepala Laura. Ah, akhirnya Justin benar-benar bisa menaklukan Laura. Bahkan Laura masih berada di tempatnya, tidak berusaha untuk menyingkirkan tangan Justin yang membuat Justin mengerjap-kerjapkan matanya lalu menguap. Laura memerhatikan Justin. Wajah tampan itu semakin terlihat tampan jika dilihat dari jarak dekatnya. Laura tidak percaya dengan apa yang ia dapatkan sekarang. Hanya seorang pesuruh kantor yang akhirnya berada di atas ranjang bersama dengan atasannya. Meski awalnya, Laura merasa terpaksa tinggal di rumah Justin. Tidak sekarang, ia belajar dari minggu-minggu sebelumnya. Semakin ia memberontak, semakin resah kehidupannya. Mungkin, menikmati bisa membuat dirinya lebih santai.
            Justin tidak mengatakan apa pun setelah ia meregangkan otot-ototnya itu. Dan ia bangkit dari tempat tidur Laura tidak mengenakan apa pun. Telanjang. Telanjang di depannya, berjalan menuju kamar mandi. Pria itu tampak sangat santai dengan keadaannya yang telanjang itu atau ia hanya sengaja ingin menggoda Laura? Tidak, Laura tidak melihat barang yang masuk ke dalam tubuhnya. Ia terlalu ngeri mengingat hal pertama yang ia rasakan ketika Justin menyetubuhinya. Laura mengangkat tubuhnya hingga ia bersandar di kepala tempat tidurnya, mengapit selimut di kedua ketiaknya agar menutup seluruh tubuhnya. Laura menunggu Justin keluar dari kamar mandi agar ia bisa masuk ke dalam dan membersihkan tubuhnya yang …Laura tidak ingin memikirkannya. Saat Justin keluar dari kamar mandi dengan jubah putih yang ia pakai, Laura beranjak dari tempat tidurnya.
            “Justin—“ Namun ucapan Laura terhenti begitu saja. Pintu kamarnya terbanting dengan kasar hingga ia terkejut setengah mati. Ada apa dengan Justin? Bukankah seharusnya pagi ini ia merasa bahagia sama seperti yang Laura rasakan? Bukankah ini yang selama ini Justin inginkan dari Laura? Kemudian sesuatu memukul Laura. Laura terjatuh ke atas tempat tidur lagi, ia duduk sambil menundukkan kepalanya. Air matanya keluar dari pelupuk matanya. Sekarang ia mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang pelacur. Ya Tuhan, apakah sekarang Laura adalah seorang pelacur? Apa ia ingin berhubungan badan dengan Justin hanya untuk menyenangkan hati Justin? Well, bayarannya sudah ada sebelum mereka melakukan hubungan badan itu. Pakaian yang mengilau, menyala, yang menakjubkan. Mengapa hal ini tidak Laura pikirkan sebelumnya? Tidak seharusnya Laura hanyut dalam rayuan maut Justin. Harga dirinya seakan-akan telah dihancurkan begitu saja. Seperti inikah rasanya menjadi seorang pelacur? Ditinggalkan begitu saja ketika pria itu telah puas dan dibayar dengan bayaran penuh. Namun pelacur tidak akan pernah merasakan sakit hati ketika pria yang memakainya telah pergi dengan meninggalkan banyak uang. Laura? Laura sakit hati saat Justin meninggalkannya begitu saja. Apa Laura jatuh cinta pada Justin maka dari itu ia ingin Justin bahagia karena Laura telah memberikan kebebasan untuk menyentuh tubuhnya? Pemikiran bodoh.
            Pria itu. Pria yang baru saja membanting pintu kamar Laura ketika Laura baru saja ingin berbicara dengannya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Laura beranjak dari ranjangnya lagi, menangis, lalu mendekati pintu kamar dan menguncinya rapat-rapat. Tidak ada yang boleh mengganggu Laura. Kakinya yang mungil itu membawa tubuhnya menuju kamar mandi, ia melepaskan selimut itu sebelum ia masuk ke dalam lalu melangkah masuk. Tidak mengunci pintu itu. Ia memutar kran air hingga air dari pancuran mulai menyiram tubuhnya. Tubuhnya yang telah disentuh oleh Justin. Perasaan menyesal mulai menyeruak di hatinya sampai akhirnya ia menangis histeris –tapi bagi orang lain hanya seperti isakan biasa. Air mata itu menyatu dengan air yang menyiram kepala dan tubuhnya. Pasti sekarang sudah tidak ada pria yang menginginkannya. Termasuk Thomas. Ia sudah tak perawan. Laura merasa dirinya sangat rusak. Mungkin ini memang Amerika, orang-orang menjalani kehidupannya dengan penuh kebebasan. Tidak dengan Laura. Ia menghargai dirinya—sebelum ia bertemu dengan Justin—sampai akhrinya ia terjerumus ke dalam sesuatu yang selama ini ia jauhi sebelum ia menikah.
            Ia mengambil sabun cair yang berada di dekatnya. Tangannya yang lain memutar kran air agar pancuran air tidak begitu deras. Lalu ia mulai menyabuni dirinya. Ia ingin membersihkan apa pun yang telah membuatnya merasa kotor. Hatinya sesak. Seperti tak bisa bernafas. Dari leher hingga ujung kuku kakinya, ia membersihkan seluruh tubuhnya—meski cukup perih. Lalu ia menyalakan kran air kembali hingga menyiram tubuhnya. Rasanya seperti kulitnya terkelupas, terganti dengan kulit yang baru. Kulit-kulitnya seperti kusam sebelumnya lalu berubah menjadi kulit putih mulus. Setelah membersihkan rambut, menyikat gigi dan mencuci wajahnya, ia mengambil handuk yang tergantung di dalam kamar mandi. Sambil mengeringkan rambutnya, kaki kanannya ia angkat untuk mematikan kran air.
            Pintu kamarnya terketuk, saat ia ingin mengganti pakaiannya.
            “Ms. Hare, Mr. Herich memanggilmu untuk turun ke bawah,” suara seorang pelayan dari luar. Laura tidak mengatakan apa pun. Ia mendongakkan kepalanya ke atas agar air matanya tak mengalir. Sebisa mungkin ia tidak menangis, namun pada akhirnya air mata itu mengalir. Sebelumnya, ia tidak pernah menangis sesedih ini. Bahkan ia tidak pernah menangis setelah ibunya pergi meninggalkannya. Sudah cukup ia menangisi ayahnya. Sampai ia bertemu dengan Justin. Laura yang awalnya keras seperti batu jalanan sekarang seperti es batu yang mudah meleleh. Apa ia jatuh cinta pada Justin? Karena saat ini ia memang merasakan sakit hati untuk yang kedua kalinya.

***


            “Aku sudah memikirkan dimana aku akan menempatkanmu saat Thanksgiving,” ucap Justin memecahkan keheningan di dalam mobil. Justin tidak mengatakan apa pun selama mereka berada di rumah, bahkan setengah perjalanan menuju rumah sakit. “Kau akan menjadi penjaga Lily yang baru sekarang. Maksudku, seperti asisten Nancy. Bagaimana menurutmu?”
            “Itu bagus. Pakaiannya?” Tanya Laura berusaha untuk menutupi perasaan sakit hatinya itu. Justin tidak sama sekali menanyakan bagaimana keadaannya pagi ini. Tapi ya sudah, bagi Laura itu tidak penting. Laura hanya berusaha menyangkal kenyataan yang sebenarnya sudah berada di depan matanya –bahkan dalam dirinya.
            “Tidak perlu memakai seragam. Kau hanya bilang pada orangtuaku –jika ia datang ke rumah sakit—bahwa kau penjaga baru Lily. Mudah sekali. Selama tiga hari kau akan menginap di sana. Tidak boleh keluar dari sana. Aku tidak ingin tiba-tiba kau bertemu dengan Thomas jika ternyata kau merencanakan sesuatu untuk bertemu dengannya. Meski aku meragukannya,” ucap Justin menjelaskan. Namun respon yang diberikan Laura hanyalah anggukan. Tak lebih. Kepala Laura menoleh ke jendela, menatap gedung-gedung yang ia lewati dengan tatapan kosong. Mengharapkan ada sesuatu yang dapat membuat hatinya merasa lebih baik, selain mandi tadi. Jimmy mungkin? Tapi bagaimana caranya agar ia dapat bertemu dengan Jimmy? Laura tidak mungkin menghubungi Jimmy melalui ponsel yang Justin berikan. Laura merasa ada yang aneh dengan ponsel yang diberikan Justin. Hanya saja, Laura tidak tahu apa itu.
            Mobil mulai berhenti di depan sebuah rumah sakit.

            Laura sedang memerhatikan Lily yang sedang terlelap. Nancy sedang membuat syal dari benang rajutannya yang berwarna ungu. Hari ini tidak ada yang istimewa. Semuanya terasa hambar seperti pertama kali Laura tinggal di rumah Justin. Oh, ini semua karena keputusan yang ia ambil salah. Sial, sial, sial! Sial sekali. Nancy melirik Laura dari kacamata tebalnya, memerhatikan wanita itu yang menatap Lily dengan tatapan kosong. Seperti tidak ada harapan hidup lagi.
            “Masalah cinta?” Tanya Nancy.
            “Bukan,” bisik Laura. “Aku hanya bosan. Aku merindukan seseorang. Tapi Justin menahanku, rasanya seperti tinggal di penjara,” ucap Laura menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Nancy tersenyum, menghasilkan kerutan-kerutan di sekitar mata dan sudut-sudut bibirnya.
            “Siapa? Sepertinya orang yang kaucintai,” ucap Nancy. Pertanyaan itu sederhana dengan pernyataan yang bersifat sama. Tetapi rasanya seperti Nancy menampar pipi Laura sekeras yang Nancy bisa. Perasaan ini tidak dapat Laura pecahkan ketika ia mendapati dirinya sendiri sedang jatuh cinta pada dua orang pria namun ia tidak tahu, siapa yang harus ia pilih. Rasanya salah jika ia memilih salah satu di antara mereka. Rasanya Laura ingin menjatuhkan dirinya dari balkon rumah sakit lalu mati. Semua masalahnya selesai. Tidak perlu merasa bersalah pada Thomas, jatuh cinta pada Justin, atau apa pun yang berhubungan dengan mereka berdua. Hati kecil Laura berkata, lebih baik Thomas. Ia akan menerimamu apa adanya meski dirimu sudah kotor. Laura telah mematahkan janjinya pada Thomas. Perasaan yang seharusnya milik Thomas sepenuhnya sekarang sudah Laura bagi untuk Justin. Laura menggelengkan kepalanya, menggigit bibir bawah lalu membuka mulut.
            “Thomas. Dia kekasih,” bisik Laura. “Aku ingin bertemu dengannya secepat yang kubisa, tapi bodohnya aku tidak berusaha untuk bertemu dengannya. Yah, aku begitu takut jika aku bertemu dengan Thomas lalu Justin akan menyakiti Thomas. Alasan aku tinggal bersama dengan Justin adalah untuk menyelamatkan Thomas,” ucap Laura tanpa memberikan kesan sombong, justru seperti pengorbanan. Nancy hanya tersenyum simpul, lalu ia mendecak.
            “Aku tahu bagaimana perasaanmu. Well, aku punya ponsel. Hubungi saja dia. Kapan kau ingin bertemu dengannya, aku akan jaga rahasiamu dari Mr.Herich,” ucap Nancy mengeluarkan ponselnya dari kantong rok yang ia pakai. Laura tertawa putus asa, tidak mungkin itu terjadi.
            “Banyak penjaga di luar sana. Jadi, terima kasih karena kau sudah berusaha untuk membantuku, tapi kurasa itu akan sia-sia,” Laura menolak secara halus.
            “Kita bisa mencobanya. Justin memberitahu padaku, kau akan menjadi asistenku selama 3 hari pada Thanksgiving. Nah, aku bisa mengatakan pada penjaga-penjaga itu kalau Thomas adalah keponakanku. Itu hal yang mudah. Dulu aku seorang aktor opera. Jadi, jangan takut. Aku bisa akting,” Nancy berucap lalu ia melempar ponselnya yang dengan sigap Laura langsung menangkapnya. “Hubungi dia, kita akan melakukan hal besar. Aku tidak ingin kau sedih seperti ini,”
            “Terima kasih, Nancy. Aku berutang banyak padamu,”
            “Hubungi dia!” Seru Nancy gembira. Inilah perasaan yang Laura inginkan sejak pagi tadi. Mengapa tidak dari tadi? Ya Tuhan. Nancy sangat jenius.


***


            Keadaan menjadi canggung tiap harinya setelah Justin dan Laura berhubungan badan. Laura sebisa mungkin menyembunyikan perasaannya yang terpaksa ketika Justin mengecup bibirnya. Bukankah itu yang Justin inginkan selama Laura berada di dalam genggaman Justin? Laura berhasil melakukannya. Itu mungkin karena bantuan dari Nancy yang meminjamkan Laura ponsel untuk menghubungi Thomas tiap harinya di rumah sakit tanpa sepengetahuan Justin. Jadi semuanya kelihatan baik-baik saja tiap harinya. Besok adalah Thanksgiving. Akan ada kalkun, lasagna, yah semacamnya. Mungkin Thanksgiving dan Natal adalah hari-hari dimana orang-orang memiliki kebersamaan dan pengucapan syukur. Laura benar-benar tidak sabar untuk bertemu dengan Thomas besok di rumah sakit. Semoga Nancy bisa benar-benar membantunya.
            Sudah jam 12 malam, tapi Laura belum terlelap. Terlalu banyak pikiran di otaknya. Jadi ia tidak bisa tidur. Yah, sejak mereka berhubungan badan, Justin sudah tidak datang masuk ke dalam kamar Laura malam hari hanya sekedar untuk memeluknya. Tidak sama sekali. Meski sesekali Laura merindukan pelukan Justin di malam hari. Tapi, paginya, Laura pasti mendapati Justin berada di samping tubuhnya. Terlelap seperti bayi yang sedang tidur. Kadang melihat Justin tertidur lebih menyenangkan dibanding Justin bernafas sambil membuka matanya atau berbicara.
            “Ya Tuhan aku benar-benar merindukan Thomas,” bisik Laura mengusap-usap wajahnya. Mendesah. Dengan sigap Laura membalikkan tubuhnya ke belakang ketika ia mendengar seseorang membuka pintu kamarnya. Ia melihat Justin yang berjalan menuju tempat tidurnya –kamarnya gelap—lalu terbaring di atas tempat tidur Laura. Ya ampun, jadi tiap tengah malam Justin datang ke kamarnya? Mengapa Laura tidak menyadarinya? Yah, Laura adalah Laura. Jika sudah terlelap, ia tidak akan bisa dibangunkan dengan cara yang halus. Tidak ingin membiarkan Justin tinggal sendirian di atas tempat tidur, Laura berjalan. Tiap langkah yang ia tempuh, di situlah ia memikirkan betapa beruntungnya ia besok karena mungkin, seharian Justin tidak akan berada di rumah sakit. Orangtuanya datang besok menjelang siang.
            “Justin,” bisik Laura merangkak, naik ke atas ranjang. Justin yang memunggunginya langsung berbalik, melihat Laura. “Sudah tidur ya? Maaf kalau begitu,” Tanya Laura mengangkat selimut lalu masuk ke dalamnya. Justin tidak mengatakan apa-apa, ia hanya memerhatikan Laura yang sedang berusaha mendapatkan posisi terbaik untuk tidur. Awalnya, Justin berpikir, wanita ini tidak sama dengan wanita-wanita lain. Ternyata, Laura sama saja dengan yang lain. Mungkin memang hanya butuh dua minggu untuk menaklukan Laura, maksud Justin, benarkah hanya butuh 2 minggu? Pasti ada sesuatu yang membuat Laura mengambil keputusan untuk tidur bersamanya hari itu. Laura akhirnya mendapatkan posisi bagus untuk terlelap. Ia menghadap pada Justin, memeluk paha Justin dengan santai. Tidak seperti malam-malam sebelumnya—mungkin karena Laura tidak tahu keberadaan Justin yang datang pada tengah malam.
            Pemikiran awal Justin terhadap Laura dulu, sekarang sudah menjadi kebalikannya. Dulu, mungkin Laura adalah wanita yang tidak ingin Justin sentuh. Itu adalah suatu ketertarikan yang dimiliki Laura saat itu hingga Justin berusaha mati-matian untuk mendapatkan Laura. Tapi benarkah hanya butuh 2 minggu agar Laura bisa tidur dengannya? Sama sekali tidak menarik. Mungkin Laura sama dengan pelacur. Semurah itukah tubuh Laura? Hanya dengan tampang wajah garang dan sifat yang munafik benar-benar bisa menipu Justin dengan tolakan-tolakannya dan tangisan-tangisan itu. Apa Laura bisa diperlakukan seperti pelacur? Ya, tentu saja. Laura sudah berada dalam genggaman Justin dan tidak ada yang bisa mengambilnya kecuali masa perjanjian mereka sudah habis. Menyentuhnya beberapa kali lagi mungkin akan menyenangkan.
            Justin sendiri tidak mengerti apa yang sedang melanda perasaannya. Apa ia sejahat itu pada Laura? Memperlakukan Laura seperti pelacur? Bisa saja. Justin memang jahat, sebenarnya. Untuk menjadi jahat, kita harus terlihat baik. Itu baru yang dinamakan topeng.


***


            Laura menggigit bibirnya ketika Justin sudah beranjak dari kamar Lily. Pagi ini Lily tampak sangat senang karena hari ini adalah hari Thanksgiving. Kakek dan neneknya akan datang sore nanti ke rumah sakit. Berarti, Laura hanya memiliki waktu kira-kira 4 jam untuk bertemu dengan Thomas. Kemungkinan besar sekarang Justin akan pergi ke bandara untuk menjemput orangtuanya. Jam telah menunjukkan pukul 10 pagi. Laura meminta Thomas untuk datang ke rumah sakit jam 11 nanti. Nancy memerhatikan gerak-gerik Laura yang tak sabaran itu, jadi Nancy tertawa melihat tingkahnya. Laura seperti anak kecil yang menunggu es krim datang di hadapannya. Padahal ia harus menunggu 1 jam lagi. Tiba-tiba seorang dokter datang masuk. Bersama dengan satu suster yang menyusul dari belakang.
            “Kupikir kalian bisa memberikan kami waktu sebentar,” ucap dokter itu dengan ramah. Nancy yang duduk di sebelah tempat tidur Lily langsung bangkit, mengajak Laura keluar. “Selamat pagi Lily. Bagaimana kabarmu pagi ini?” Tanya dokter itu lalu tidak ada kelanjutannya karena pintu kamar telah tertutup. Dua orang penjaga yang berada di depan pintu kamar Lily langsung menahan Laura yang ingin duduk di kursi ruang tunggu, dekat lift.
            “Hei, santailah! Aku hanya ingin duduk di sana. Apa masalahmu?” Berontak Laura kesal. Penjaga ini pasti sudah diberitahu Justin untuk menjaga Laura 2 kali lebih ketat dibanding hari-hari sebelumnya. Menit demi menit telah berlalu, dokter sudah keluar dengan susternya sekitar 20 menit kemudian. Laura baru saja akan masuk ke dalam kamar Lily, tiba-tiba saja ia mendengar suara teriakan dari seorang pria yang ia kenali. Sangat ia kenali.
            “Bibi Nancy!” Teriak pria yang memiliki mata biru itu keluar dari lift bersama dengan adiknya di belakang. Ya ampun. Hati Laura berdebar-debar tak menentu. Dua orang penjaga itu langsung maju ke depan, menahan Thomas yang ingin menjangkau Nancy. Laura masih berhenti di mulut pintu. Sebisa mungkin Laura memberikan ekspresi bingung ketika melihat Thomas. “Bibi Nancy,”
            “Ini hanya keponakanku. Aku sudah menghubungi mereka jauh-jauh hari untuk bertemu denganku di sini. Apa masalahmu?” Tanya Nancy mengikuti nada suara Laura. Laura hanya cekikikan di belakang Nancy. Ia memerhatikan dua penjaga itu langsung salah tingkah, merasa ciut ketika orangtua menegurnya seperti itu. “Ayo, masuk, Liam,” ucap Nancy mengajak Thomas masuk ke dalam dengan nama samara. Thomas dan Jimmy masuk ke dalam kamar Lily bersama dengan Laura yang sudah berada di dekat Lily. Pintu kamar segera ditutup saat mereka semua masuk.
            Tanpa mengatakan apa pun, Laura berlari menuju Thomas. Memeluk Thomas begitu erat. Ia melepaskan segala kerinduannya yang tertahan ini. Akhirnya. Akhirnya ia bertemu Thomas kembali. Pria ini tampak tidak sehat. Mengapa Thomas berbohong tentang keadaannya? Ia tampak kurus dan pucat. Tapi janggut dan kumisnya sudah bertumbuh menghias wajahnya. Thomas membalas pelukan Laura begitu hangat. Ia merindukan Laura lebih dari yang Laura tahu. Dapat Thomas lihat, Laura baik-baik saja bersama dengan Justin. Ia terlihat lebih bugar dan putih. Thomas menyembunyikan wajahnya di dalam leher Laura, menghirup aroma rambut Laura yang wangi. Tangan Laura yang berada di belakang bahu Thomas tak terasa meremasnya, hingga Thomas mengerang lalu tertawa.
            “Ya Tuhan, Laura, aku tidak tahu kau merindukanku hingga menyakitimu seperti ini,” ujar Thomas berusaha bercanda. Laura terdiam. Ia menangis dalam pelukan. Menyesali apa yang telah ia lakukan. Menyimpan rahasia, yang Laura pikir, Thomas tidak perlu ketahui karena ia takut Thomas tersakiti hatinya. Jimmy dari belakang tertawa. Anak remaja itu membawa gitarnya di belakang punggung. Laura menyeka hidungnya dengan satu tangan lalu melepaskan pelukannya. Lily berbisik pada Nancy, bertanya siapa pria yang datang itu. Tentu saja Nancy memberitahu padanya bahwa Thomas adalah keponakannya. Lily hanya mengangguk lalu matanya bertemu dengan Jimmy. Seperti sudah kebiasaan Jimmy, Jimmy langsung memberikan senyum pada Lily.
            “Aku benar-benar merindukanmu, Thomas,” bisik Laura mengelap air matanya. Kedua ibu jari Thomas langsung mengelap air mata Laura yang masih tersisa. Wanita ini telah mengorbankan dirinya agar Thomas tidak terbunuh dengan cara yang kejam. Wanita yang ia cintai terpaksa harus menjaga jarak dengan Thomas selama beberapa bulan untuk menebus uang yang Thomas pinjam dari kantor Justin.
            “Sudahlah, jangan menangis. Aku sudah ada di sini. Kita memiliki waktu 3 hari, oke? Kita akan menggunakan waktu itu sebaik mungkin,” ucap Thomas menenangkan Laura. “Jimmy membawa gitarnya untuk dimainkan,”
            “Ya, kita bisa memainkan lagu untuk gadis cilik yang cantik di sini,” ucap Jimmy yang ternyata sudah terduduk di sebelah tempat tidur Lily. Lily terus memerhatikan Jimmy yang tampan. Ya ampun, Lily bahkan masih kecil! Ia mengagumi Jimmy. Hal yang selanjutnya terjadi adalah hal yang menyenangkan. Jimmy memainkan gitarnya untuk mengiringi Lily yang bernyanyi. Gadis cilik itu tampak senang dengan kedatangan Jimmy dan Thomas. Nancy bertepuk tangan menemani Lily. Thomas dan Laura duduk bersama di atas sofa panjang. Mereka berbicara satu sama lain, menceritakan hal-hal yang terjadi selama mereka tidak bersama. Tetapi Laura tidak menceritakan kebersamaannya bersama dengan Justin yang intens itu. Tidak sekalipun. Thomas sadar betul bahwa Laura sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Tidak mungkin Justin hanya mengajaknya pergi ke rumah sakit dan menemaninya saat tengah malam. Pasti ada sesuatu yang lebih terjadi di rumah Justin. Thomas berpikir, mungkin memang dengan Laura tidak memberitahunya apa yang terjadi di rumah Justin adalah langkah yang tepat. Pasti ada alasan mengapa Laura tidak ingin memberitahu segalanya. Menit demi menit berlalu. Laura mulai bernyanyi bersama dengan Jimmy dan Lily. Tiba-tiba saja ruangan itu menjadi ricuh dan bahagia untuk beberapa jam. Terutama bagi Lily. Dua jam yang telah ia tempuh adalah dua jam terbaik yang tidak pernah ia miliki sebelumnya. Ini benar-benar seru! Mereka tertawa bersama mendengar candaan dari Jimmy. Sampai satu menit terakhir sebelum ponsel Nancy berdering, Lily telah terlelap. Nancy langsung memberitahu mereka semua untuk diam karena Justin yang menghubunginya.
            “Nancy, apa Laura ada di sana?” Suara Justin terdengar dari seberang sana. Semuanya terdiam. Tidak ada yang berucap. Wajah Laura menegang, begitu juga Thomas. “Nancy, apa kau dengar aku?”
            “Y-ya, tentu saja, Mr.Herich. Dia ada di sini,” ucap Nancy. “Kami semua baik-baik saja. Lily sudah tertidur. Semuanya baik-baik saja, Mr.Herich,”
            “Baiklah kalau begitu. Aku akan berada di rumah sakit sebentar lagi,” ucap Justin langsung mematikan ponselnya.
            “Mr.Herich akan berada di sini sebentar lagi. Kupikir kalian berdua harus pergi dari sini sekarang juga, aku akan mengantar kalian,” ucap Nancy sesegera mungkin. Nancy bangkit dari kursinya. Jimmy, Thomas dan Laura ikut berdiri. Sebelum Thomas keluar dari kamar Lily, tangan Laura meraup pipi Thomas, menarik wajahnya lalu mengecup bibir itu dengan lembut. Ia mencium Thomas seolah-olah itu adalah ciuman terakhir mereka.
            “Aku mencintaimu,” bisik Laura.
            “Aku tahu. Jaga dirimu baik-baik. Besok aku akan datang, katakan pada malaikat kecil itu, aku akan merindukannya,” ucap Thomas mengelus tangan Laura yang masih berada di pipinya. “Aku mencintaimu,” Thomas beranjak dari tempatnya. Meninggalkan Laura di kamar sendirian bersama dengan Lily. Ya Tuhan, semuanya terasa berbeda sekali ketika punggung itu menghilang dari pandangan Laura. Seperti separuh jiwa Laura menghilang. Kaki Laura melemas, ia menjatuhkan dirinya ke atas sofa, bersandar di sana. Nancy masuk kembali dengan senyum sumringah.
            “Mereka berdua sungguh manis,” komentar Nancy. “Lily tidak pernah sebahagia itu. Mungkin dengan keberadaan mereka akan membuat hidup Lily lebih berharga,”
            “Aku tidak meragukan itu, Nancy,” ucap Laura sebisa mungkin senyum. Beberapa saat kemudian, Justin muncul bersama dengan orangtuanya. Pakaian yang dikenakan orangtuanya sungguh rapi. Well, bergaya seperti pengusaha terkenal. Tapi, bukankah mereka berdua memang pengusaha terkenal? Laura segera bangkit dari sofanya ketika Justin menyuruhnya untuk menemui kedua orangtuanya.
            “Ini Laura,” ucap Justin. “Dia penjaga baru Lily. Dia sudah bekerja di sini satu bulan,”
            “Oh, ya ampun. Kau terlihat sangat muda,” komentar ibu Justin segera menjabat tangan Laura tanpa malu-malu. “Senang bertemu denganmu. Kudengar dari Justin, keadaan Lily semakin membaik ketika kau menjaganya. Benarkah begitu?”
            Laura tertawa renyah. “Mr.Herich benar-benar berlebihan. Tidak, kupikir Lily memang baik-baik sejak ia berada di tangan Nancy. Tapi jika begitu, terima kasih,” ujar Laura tanpa menatap mata Justin sekalipun. Pelukan Thomas masih terasa di tubuhnya, begitu juga kecupan di bibirnya. Laura takut jika Justin melihat ada sesuatu yang Laura sembunyikan jika Laura menatap Justin. Atau Laura takut ia akan menangis jika ia menatap Justin karena telah membohongi Justin?


***


            Dua hari telah ditempuh oleh Justin tanpa keberadaan Laura di rumahnya. Ia merasa resah karena ia melihat Laura begitu senang berada di rumah sakit. Ada sesuatu yang Laura sembunyikan darinya. Tapi apa? Tidak mungkin Thomas datang ke rumah sakit, ia sudah menyuruh penjaganya untuk menahan seorang pria yang bernama Thomas. Jadi, apa yang membuatnya resah selama makan malam bersama kelaurganya dan Jasmine di rumah? Pagi itu adalah hari ketiga dimana Laura menginap di rumah sakit. Orangtua Justin sebenarnya, tidak menginap di rumah Justin. Orangtua Justin memiliki rumah sendiri di New York. Tapi Jasmine menginap. Jasmine menginap di rumah Justin, jadi Laura tidak berada di rumah Justin selama tiga hari penuh. Thomas sudah datang ke rumah sakit untuk menjenguk Lily sekaligus bertemu dengan Laura. Jimmy juga datang kembali dengan gitar –ya, Thomas tidak masuk ke kantornya selama tiga hari. Ia meminta izin dengan alasan sakit sekaligus ingin mengadakan Thanksgiving di rumah sepupunya. Alasan bodoh itu ternyata diterima.
            “Kau datang lebih cepat,” ucap Laura penuh dengan kekuatiran sambil memeluk Thomas. Thomas hanya mengelus punggung Laura, berusaha untuk menenangkan Laura. “Hari ini, hari terakhir kita bertemu lagi. Aku pasti akan merindukanmu sekali,”
            “Tidak padaku?” Tanya Jimmy dari belakang yang membuat Nancy tertawa di sebelah Lily yang masih terlelap. Laura melepaskan pelukannya lalu berjalan mendekati Jimmy. “Nah, begitu. Peluk aku. Aku juga merindukanmu selama ini. Tidak ada lagi orang yang bisa kuajari bermain gitar, kautahu,”
            “Maafkan aku,” bisik Laura memeluk Jimmy. “Hari ini kita harus pergunakan dengan baik,” lanjut Laura. Entah mengapa, pagi ini rasanya ada sesuatu yang menjanggal di hati Laura. Meresahkan hati Laura. Seolah-olah bakal ada yang terjadi sebentar lagi, kejadian yang tidak akan Laura inginkan seumur hidupnya. Sebisa mungkin Laura terlihat tenang saat Jimmy mulai mengeluarkan gitarnya. Jimmy ingin membangunkan Lily dengan lagu yang akan ia mainkan.
            “Ada apa?” Tanya Thomas dapat melihat Laura resah. Laura yang berada di depan tempat tidur Lily mengelus-elus lengannya, ketakutan. Ia menelan ludah lalu menggelengkan kepalanya.
            “Aku tidak tahu. Mungkin kau terlalu cepat datang,” bisik Laura. Tepat ketika Laura berucap, ia mendengar suara tinjuan di luar sana. Langsung saja Laura berlari keluar dari kamar Lily. “Nancy, ada apa?” Tanya Lily dari dalam lalu tidak ada yang Laura dengar kembali setelah ia menutup pintu kamar Lily. Ia melihat Justin baru saja meninju dua orang bertubuh besar itu dengan kencang. Hati Laura langsung berdebar kencang. Laura merasa sekarang ia berada di ambang kematiannya –atau kematian Thomas. Justin membalikkan tubuhnya setelah beberapa saat ia memunggungi Laura, tatapannya penuh dengan amarah. Ia kesal. Wajahnya memerah. Rahangnya menegang. Ia tidak pernah terlihat begitu kesal sebelumnya, seumur hidup Laura. Inilah mimpi buruk yang selama ini menghantui Laura!
            “Tarik mereka berdua keluar. Kita akan selesaikan ini di luar.” ucap Justin kesal. Ia langsung mencengkram tangan Laura sekencang yang ia bisa hingga Laura mengerang kesakitan. Dua penjaga yang baru saja ditinju itu langsung masuk ke dalam. Laura menelan ludahnya begitu susah. Apa yang menjadi ketakutannya sekarang terjadi. Tidak, ia tidak ingin kehilangan Thomas sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar