Rabu, 18 Desember 2013

A Beautiful Nightmare Bab 8


AUTHOR
           
            Laura tidak dapat bernafas ketika ia dibawa masuk ke dalam lift bersama dengan Justin. Dua pria penjaga itu masih berada di dalam kamar Lily. Apa yang akan mereka lakukan pada Thomas dan Jimmy? Bagaimana dengan Nancy, apa dia akan baik-baik saja? Tangan Laura berkeringat sekarang. Ketakutan melanda tubuhnya hingga ia bersandar pada dinding lift. Pegangan tangan Justin di lengannya tak luput dari kata kasar. Justin tidak mengatakan apa pun selama mereka berada dalam lift, ia hanya berusaha untuk menenangkan dirinya agar ia tidak menyakiti Laura. Well, Justin memang tidak pernah memukul seorang wanita sebelumnya. Dan ia tidak ingin Laura menjadi wanita pertama yang ia pukul. Bahkan dari sedari tadi, mata Justin menatap pintu lift, tidak menoleh atau menggeram pada Laura. Seharusnya Justin tahu dari awal bahwa Laura akan melakukan rencana untuk bertemu Thomas sebelumnya. Entah mengapa Justin merasa dikhianati oleh Laura. Apa Laura ingin kehilangan Thomas untuk jangka waktu yang singkat akibat perbuatannya yang nekat ini? Bukankah perjanjian mereka telah disetujui oleh Laura bahwa selama tiga bulan ke depan Laura akan terus berada dalam genggaman tangan Justin tanpa ada pertemuan sama sekali dengan Thomas? Mengapa Laura ingin menyakiti Thomas karena perbuatannya sendiri? Pintu lift terbuka, mereka keluar. Kaki Justin melangkah begitu cepat menuju salah satu tangga menuju parkiran di bawah rumah sakit.
            “Apa yang akan kaulakukan pada mereka berdua?” Tanya Laura akhirnya memberanikan diri. Laura berusaha untuk menjadi wanita kuat yang jahat, yang bisa melawan Justin. Tapi mengetahui posisinya yang benar-benar tersudut, ia tidak bisa melakukannya. Keadaan ini seolah-olah Laura-lah yang memainkannya. Jika ia melawan Justin, Thomas akan mati. Jika Laura menjadi anak baik, kemungkinan besar Thomas hanya akan disakiti. Tetapi, Laura tidak ingin memilih keduanya. Tentu saja ia tidak ingin melihat kekasihnya disakiti oleh pria yang bahkan ia baru kenal selama 1 bulan ini. Bahkan sebenarnya, pria ini tidak memiliki hak apa pun untuk menyakiti Thomas.
            “Aku sudah memperingatimu dari awal, Laura. Tapi kau tidak mendengarnya. Sekarang, kau bisa menikmati apa yang telah kauperbuat,” ucap Justin keras. Laura dibawa Justin menuju salah satu parkiran yang kosong. Ruangan ini bahkan hanya diisi oleh mobil-mobil dan hanya ada beberapa orang di bawah sini. Kemana para penjaga rumah sakit? Dari jarak jauh, Laura bisa melihat Jimmy dan Thomas sedang berlutut di depan dua orang penjaga Justin di dekat salah satu mobil milik Justin. Mereka belum disakiti. Belum. Laura segera menarik lengannya dari genggaman Justin lalu berlari menjauh dari Justin untuk mendekati Thomas dan Jimmy. Namun Justin adalah cheetah. Ia berlari begitu cepat, sepeti cheetah menangkap mangsanya. Tangannya yang besar itu langsung meraup pundak Laura dan tangannya yang lain memegang pinggang Laura sekuat yang Justin bisa, bahkan menyakiti Laura.
            “Tidak, kumohon Justin. Jangan sakiti mereka,” isak Laura telah menangis. Thomas dan Jimmy mendongak. Mereka melihat wanita itu dari bawah, betapa menyedihkannya pemandangan yang sedang mereka lihat. Tidak mungkin Justin sedang mengunci Laura seperti itu. Thomas baru saja akan bangkit dari tempatnya, namun salah satu penjaga langsung menendang perutnya hingga ludah yang cair keluar dari mulut Thomas. “Tidak, Thomas! Justin, jangan sakiti mereka!” Berontak Laura menggoyang-goyangkan tubuhnya agar lepas dari pelukan Justin.
            “Kalian berdua, tahan dia. Aku akan menghabisi mereka berdua dengan tanganku sendiri,” ucap Justin memerintah. Segera saja dua orang pria mendekati Justin dan Laura lalu memegang kedua tangan Laura hingga Laura tidak dapat bergerak lagi. Air mata membanjiri pipi Laura. Mata Laura memerhatikan Justin yang mendekati dua orang yang Laura sayangi itu. Tangan mereka diikat. Gitar yang Jimmy bawa tadi sekarang berada di atas bagasi mobil, gitar itu tidak memakai sarungnya sehingga Jimmy dapat diikat. Bagaimana bisa mereka berdua berada di parkiran lebih dahulu dari Laura dan Justin? Pertanyaan itu belum bisa dijawab sekarang.
            “Kau mau yang mana, Laura? Thomas dulu atau Jimmy?” Tanya Justin menggoda Laura. Laura tidak mengatakan apa pun, ia hanya terisak-isak dengan kedua tangan yang dipegang erat oleh penjaga itu. Justin mengangkat kedua tangannya, seperti tidak peduli dengan keadaan Laura yang menangis. “Well, baiklah. Aku akan memilih Thomas lebih dulu,” saat itu juga pukulan tepat di perut Thomas membuat Laura menjerit, memberontak, dan terus mengatakan ‘tidak’. Justin memegang kerah kemeja Thomas, tangannya yang lain lalu memukul pipi Thomas sekencang yang Justin bisa. Bahkan Thomas terhuyung ke belakang namun sebelum Thomas terjatuh, Justin meraih kerah Thomas.
            “Lagi?” Tanya Justin menoleh ke belakang, melihat Laura yang melihat Thomas dengan tatapan tak percaya. Air matanya masih mengalir, namun ia tidak menangis sehisteris tadi. Ia terperangah. Ia benci. Ia benci melihat seseorang yang ia sayangi disakiti. “Sudah cukup. Aku bosan melihatnya dipukul. Nah, bocah kecil, mungkin sekarang saatmu bisa menjadi pria jantan,”
            “Aku tidak bisa melawan pria betina,”
            “Apa? Pria betina? Kalimat macam apa itu? Kau mengejekku atau apa?” Tanya Justin tertawa selama beberapa detik lalu tangannya langsung memukul pipi Jimmy.
            “Tidak!” Laura tidak bisa melihat Jimmy disakiti. Ia benar-benar tidak bisa menahan dirinya lagi. Laura menginjak kaki kedua penjaga itu  sekuat yang ia bisa, lalu bola milik mereka berdua hingga dua penjaga itu mengerang tertahan. Laura berlari menuju bagasi mobil Justin dan mengambil gitar Jimmy lalu ia memukul punggung Justin hingga gitar itu terbelah menjadi dua.
            “Ya Tuhan!” Teriak Jimmy tidak percaya. “Gitarku!” Justin mengerang kesakitan, ia berlutut di hadapan Jimmy yang pipinya lebam dan di sudut bibirnya terdapat bercak darah merah yang segar. Tangan Justin menyentuh punggungnya dan semakin mengerang kesakitan. Laura tidak percaya dengan apa yang ia baru saja lakukan terhadap Justin. Tangannya langsung melepaskan dua bongkahan gitar itu ke atas parkiran. Ia tahu, ia sedang berada di ujung jalan menuju kematian. Ia membuat cheetah ini marah. Tentu saja.
            “Laura, kau baru saja memukulku dengan sebuah gitar,” bisik Justin tak percaya. “Punggungku! Sial,” erang Justin berusaha untuk berdiri dari tegak, tapi Justin tidak bisa melakukan itu. Jimmy yang berada di hadapan Justin menatap Justin dengan tatapan ngeri sekaligus kasihan. Thomas sudah tergolek tak sadarkan diri di atas aspal dengan darah yang menetes-netes keluar dari hidungnya.
            “Apa-apaan yang terjadi di sini?” Salah seorang petugas sekuriti datang bersama dengan rekannya. Saat itu juga Justin pingsan di bawah kaki Laura.


***


LAURA HARE

            Memukul Justin merupakan kepuasan tersendiri untukku. Baiklah, mungkin aku puas dengan apa yang kulakukan padanya, tapi aku juga kasihan padanya karena salah satu tulang punggungnya patah. Aku bahkan tidak percaya kalau aku memukulnya dengan gitar kesayangan milik Jimmy. Well, aku minta maaf pada Jimmy karena telah merusak gitarnya. Mungkin aku bisa membelinya yang baru. Thomas dan Jimmy baru saja pulang dari rumah sakit setelah mereka diberi pengobatan. Jantungku berdebar tak menentu saat kulihat Thomas tak sadarkan diri selama beberapa saat. Ia baik-baik saja. Hidungnya patah tapi sudah terobati. Kuberikan ia kecupan selamat tinggal. Bagaimanapun juga aku harus bertanggungjawab atas apa yang telah kuperbuat pada Justin. Itu akan membuatku menjadi seorang pengecut jika aku meninggalkan Justin yang sekarang sedang terbaring di atas tempat tidur. Justin tampak seperti pria baik-baik saja jika ia terlelap. Sudah kubilang dari awal, lebih baik melihat Justin menutup matanya daripada melihatnya bernafas dengan membuka mata atau berbicara. Kuharap ia akan memaafkanku atas apa yang kuperbuat padanya. Tulang punggungnya patah! Aku mendesah, menundukkan kepalaku ke atas tempat tidur Justin.
            Orangtua Justin tak kunjung datang untuk menjenguk Justin. Ataupun Jasmine. Apa tidak ada seseorang yang menghubungi mereka? Baiklah, tidak apa-apa. Setidaknya aku tidak perlu bertemu dengan mereka. Nancy dan Lily datang ke kamar Justin beberapa menit yang lalu. Yah, Lily hanya menyimpulkan bahwa ayahnya sedang tidur. Kurasakan sebuah tangan menyentuh kepalaku lalu mengelusnya. Aku segera mendongak, melihat Justin yang sudah sadar. Well, ternyata ia cepat terbangun dari tidurnya. Lagipula ini sudah malam. Ia sudah tidur lebih dari 3 jam.
            “Terima kasih,” bisik Justin. Ucapan itu membuatku terkejut setengah mati. Apa? Terima kasih? Apa Justin gila? Aku sudah memukulnya hingga benar-benar melukainya dan ia berterima kasih padaku? Jika begitu, ya sudah, terima kasih kembali. “Jika kau tidak memukulku, mungkin aku sudah berada di penjara. Jadi, terima kasih,” ucap Justin, lalu beberapa detik kemudian ia mengerang.
            “Akan kupanggilkan dokter,” ujarku mengabaikannya. Aku langsung mengambil sebuah remote kecil di bawah tempat tidur Justin dan menekan tombolnya. “Maafkan aku. Seharusnya aku tidak memukulmu dengan gitar. Seharusnya dengan palu, atau kapak. Semacamnya,” bisikku tanpa memberikan sedikitpun nada humor di dalamnya. Tapi Justin tertawa namun ia langsung mengerang kesakitan.
            “Terima kasih sudah memperjelas segalanya,” bisik Justin. “Karena kau memanggil Thomas datang ke rumah sakit, aku tahu perasaan apa yang mengganjalku selama ini. Maafkan aku jika aku menyakitimu, apa kau terluka? Tapi aku tidak akan meminta maaf atas apa yang kulakukan pada Thomas. Kupikir ia layak mendapatkan pukulan dariku karena ia …ia membuatku cemburu. Sialan, apa aku baru saja mengatakannya? Huh, Laura, kurasa aku harus mengatakan ini padamu,”
            “Mengatakan apa?” Tanya Laura melipat bibirnya ke dalam. Kedua tangan Laura memegang tangan Justin yang tadi mengelus kepalanya. Sebenarnya, apa karena Laura memukul Justin itu yang menyebabkan Justin berubah dalam hitungan jam? Jika memang benar, seharusnya, Laura memukul Justin sejak dulu agar Justin bersikap baik. Atau ini hanyalah akting? Bisa saja.
            “Aku …” Justin memejamkan matanya. “Aku mencintaimu, Laura Hare,” ucapan itu seperti hilang begitu saja ketika suster datang masuk ke dalam kamar Justin. Suster cantik yang sepertinya memang menyukai Justin—terlihat saat ia masuk, ia sangat bahagia sekali.

AUTHOR

            Laura diminat untuk keluar dari kamar Justin. Sebenarnya Laura tidak mau meninggalkan Justin, tapi tidak apa-apa. Mungkin mendapatkan beberapa menit untuk berpikir akan menguntungkan bagi Laura. Laura menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak percaya dengan apa yang Justin katakan tadi padanya. Apa Justin benar-benar jatuh cinta padanya? Mengapa bisa begitu? Itu tidak mungkin. Selama dua minggu terakhir ini Justin tidak menampakkan dirinya kalau ia mencintai Laura, jadi permainan apa yang Justin mainkan sekarang? Mengapa Justin menyakiti Thomas jika ia tidak ingin menyakiti Laura? Menyakiti Thomas hampir sama menyakiti Laura. Dan cemburu? Apa-apaan yang dimaksud Justin dengan cemburu? Apa dengan memukul Thomas akan memperbaiki segalanya? Dan memperjelas? Maksud Justin? Rasanya otak Laura tidak bisa mencapai maksud-maksud Justin di dalam kamar tadi.
            “Dimana Justin?” Terdengar suara marah dari seorang wanita yang tiba-tiba saja muncul. Wanita ini benar-benar terlambat untuk menjenguk Justin. Yeah, Jasmine muncul dengan pakaiannya yang …mewah. Entah mengapa dimata Laura, Jasmine terlihat seperti pengemis jalanan yang memakai pakaian yang kurang bahan ini. Laura tidak sama sekali terkejut akan kedatangan Jasmine karena ia berpikir, sekarang peran yang ia mainkan ialah penjaga dari Lily yang baru saja memukul kekasih Jasmine dengan gitar. Yah, minta maaf soal itu. Laura tidak bermaksud untuk melakukannya tapi Justin memaksa.
            “Dia di dalam,” ucap Laura, tak acuh pada Jasmine. Ia bersandar di tembok.
            “Apa yang kaulakukan padanya hingga ia dirawat seperti itu? Dan mengapa hanya Nancy yang menghubungiku?” Tanya Jasmine cerewet. Laura hanya mengangkat kedua bahunya, bersikap tak peduli pada Jasmine. Jasmine mendorong pintu kamar Justin, terdengar suara usiran dari dalam kamar Justin yang membuat Laura harus tertawa kecil. Entah mengapa rasanya ia senang melihat Jasmine diusir seperti itu. Dan terlebih lagi, Laura tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi hari ini. Ia resah, ia marah, ia benci terhadap Justin, dan ia baru saja memukul Justin –karena Justin memukul orang yang Laura sayangi—dan sekarang ia merasakan perasaan bahagia. Ini tidak jelas. Perasaan ini tidak jelas. Meski ia memang kesal pada Justin karena Justin memukul Thomas—terima kasih Tuhan karena Thomas baik-baik saja bersama dengan Jimmy—namun ucapan Justin di kamar rumah sakit tadi ternyata memberikan efek kebalikan dari kejadian-kejadian sebelumnya.
            Sekarang Laura mengerti dengan apa yang Justin katakan padanya. Tentang ucapan terima kasih dari Justin itu, Laura mengerti. Mungkin selama ini Justin tidak mengerti perasaan apa yang terjadi pada dirinya terhadap Laura, namun karena kedatangan Thomas ke rumah sakit untuk bertemu dengan Laura memperjelas perasaan Justin yang sebenarnya. Justin mencintai Laura. Tentu saja. Tidak mungkin Justin akan memukul Thomas dengan tangannya sendiri jika Justin memiliki dua orang penjaga yang bertubuh lebih besar dibanding Justin. Ini semua karena Justin cemburu dengan Thomas yang mendapatkan perhatian lebih dari Laura. Atau bisa saja, Justin merasa cintanya diabaikan oleh Laura dan merasa dikhianati oleh Laura. Begitu banyak kemungkinan bahwa Justin memang mencintai Laura. Bahkan dengan pernyataan Justin yang jelas di dalam kamar tadi semakin meyakinkan Laura… Justin mencintai Laura.
            Jasmine segera masuk ke dalam kamar Justin saat suster keluar. Laura tidak ikut masuk ke dalam kamar Justin, ia hanya melihat Justin dari kaca pintu. Jasmine tampak sangat kuatir dengan keadaan Justin. Ia langsung mengelus kepala Justin dan mengecup kening Justin. Namun terlihat dari wajah Justin, bukan Jasmine-lah yang Justin inginkan saat ini. Tetapi Laura.
            Ternyata Laura benar-benar tidak ingin mengganggu acara Justin dan Jasmine. Jadi ia berjalan menuju kamar rawat Lily. Setidaknya, Laura masih memiliki harapan untuk merubah Justin menjadi pria yang lebih baik. Mungkin inilah yang Justin cari-cari selama ini. Cintanya yang selama ini hilang. Tangan Laura menekan gagang pintu lalu membuka pintunya. Ia masuk, dilihatnya orangtua Justin di dalam kamar Lily, bermain dengan Lily. Sudah berapa lama mereka berada di kamar Lily? Mengapa mereka tidak menjenguk Justin? Orangtua Justin langsung mendongak ketika Laura menutup pintu kamar Lily. Ia melihat Laura dengan tatapan kuatir.
            “Bagaimana keadaan Justin?” Tanya mereka langsung pada Laura. Laura hanya memberikannya senyum lega untuk meyakinkan pada mereka bahwa Justin baik-baik saja.
            “Dia baik-baik saja. Kalian sudah bisa menjenguknya sekarang. Jasmine sudah berada di dalam kamar Justin,” ucap Laura yang berpikir bahwa kedua orangtua Justin tahu dimana kamar Justin. Pattie menatap suaminya dengan raut wajah kuatir lalu menganggukkan kepalanya. Mereka akhirnya pergi dari kamar Lily tanpa mengatakan sepatah kata pun. Laura mendesah, mengangkat kedua bahunya pada Nancy. Sebenarnya, Nancy yang menangani Thomas dan Jimmy selama mereka diobati. Sedangkan Laura menjaga Lily di dalam kamarnya. Dan Justin, tidak ada yang menunggu Justin kecuali dua orang penjaganya di depan kamar rawatnya.
            “Ah, Jasmine. Aku tidak begitu menyukai anak itu,” ucap Nancy tiba-tiba saja. “Dia selalu mengutamakan Justin dibanding Lily. Maksudku, Justin ingin mencari seorang ibu untuk Lily bukan? Dan aku sebenarnya tidak setuju dengan pertunangan mereka. Tapi siapa aku? Aku hanya berkomentar,” lanjut Nancy melambai di udara.
            “A-aku tidak begitu ingin mengomentari tentang hubungan Jasmine dan Justin,” ucap Laura mengelus kening Lily. Lily sudah tertidur dengan nyenyak. Gadis kecil ini tampaknya sangat kesepian karena sudah tidak ada lagi yang memainkan gitar untuknya.
            Dan lagi pula, gitar itu sudah rusak.


***


            Sudah tiga hari ini Justin dirawat di rumah sakit. Luka di punggungnya masih belum kering. Kemungkinan besar ia baru bisa keluar dari rumah sakit minggu depan. Selama tiga hari itu juga Justin tidak mengungkit masalah ia mencintai Laura. Ia begitu lenyap dalam pekerjaannya. Ya, ia berusaha untuk tidak berteman dengan dunia setelah ia sadar bahwa ia mencintai Laura. Entahlah, mungkin ia tidak percaya dengan perasaan ini. Justin tidak pernah memukul seseorang yang tidak mendekati orang yang dia sayangi. Maksudnya, jika Justin memiliki masalah dengan seseorang dan ingin memusnahkan orang itu, ia hanya perlu meminta para penjaganya untuk memukul orang itu. Ya, Justin tidak ingin membuang tenaganya hanya untuk orang seperti itu. Berbeda jika Justin yang turun tangan untuk memukul seseorang. Kemungkinan besar, orang itu telah mengganggu orang yang Justin sayangi atau cintai. Seperti Ramona dulu. Justin benar-benar melindungi Ramona dari apa pun. Ia memukul orang yang berusaha untuk mendekati Ramona. Namun setelah Ramona tidak ada di kehidupan Justin, Justin tidak pernah memukul siapa pun. Bahkan orang yang merayu Jasmine. Justin tidak begitu peduli dengan Jasmine. Dan alasan mengapa Justin bertunangan dengan Jasmine hanya karena Lily membutuhkan seorang ibu. Bukan karena Justin mencintai Jasmine.
            Sampai akhirnya Justin bertemu dengan Laura. Perasaan yang selama 5 tahun terakhir tidak menjamah hatinya, sekarang, perasaan itu kembali. Meski Justin memiliki Laura dengan cara yang curang, merebut kekasih orang lain, tapi tetap saja perasaan itu datang menghampiri Justin. Dan yah, Justin tidak peduli dengan keadaan Thomas bagaimana, justru Justin berharap Thomas mati agar Justin dapat memiliki Laura lebih mudah lagi. Beruntung sekali Jimmy hanya mendapatkan satu pukulan. Itu semua karena Laura memukul punggungnya. Dengan gitar. Tidak apa-apalah, setidaknya dengan Laura berbuat seperti itu membuat Justin hanya berada di rumah sakit, bukan penjara. Justin juga merasa mungkin Laura memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Hari ini, Justin ingin membicarakannya baik-baik dengan Laura. Tentang perasaan mereka satu sama lain.
            Bukti Justin mencintai Laura mungkin pada saat Justin tahu bahwa Thomas dan Laura bertemu di rumah sakit. Salah satu penjaganya baru memberitahunya di hari terakhir Laura berada di rumah sakit. Kemungkinan besar Thomas dan Jimmy sudah datang sejak dua hari yang lalu tanpa sepengetahuan Justin dan dua penjaga Justin yang bodoh itu tidak memberitahu. Dan ya, Justin telah memecat dua penjaga bodoh itu di hari dimana Justin dipukul. Kembali lagi pada perasaan Justin. Yah, benar sekali, ia merasakan api cemburu membakar dirinya. Alasan mengapa Justin tidak ingin menatap mata Laura ketika di lift ialah …ia takut amarahnya meredup. Tidak, ia tidak ingin amarahnya tiba-tiba saja surut karena melihat air mata Laura, ia ingin memukul Thomas. Ternyata, amarah Justin melebih batas yang Justin tentukan. Rasanya ia ingin membunuh Thomas karena telah memanfaatkan waktu itu! Pria tidak tahu diri itu seharusnya tidak hidup di dunia. Justin mendongakkan kepalanya ketika ia mendengar suara pintu kamrnya terbuka. Laura datang. Dengan rambut yang dikepang, kemeja putih kelonggaran dan celana jins biru. Serius, tapi Laura harus memperbaiki gaya berpakaiannya.
            “Hei,” sapa Laura. “Sudah minum obat?” Tanya Laura. Hebatnya, selama tiga hari ini, Laura tidak ada niatan untuk menghubungi atau bertemu dengan Thomas. Mungkin sekarang Laura sudah sadar sepenuhnya bahwa dengan bertemu dengan Thomas akan menyakiti Thomas. Kejadian yang lalu itu merupakan pelajaran bagi Laura. Apalagi Jimmy. Ia masih remaja dan ia tidak ingin Jimmy disakiti oleh Justin. Tidak sekalipun.
            “Sudah,” jawab Justin. “Bisakah kau duduk di sini?” Tawar Justin menepuk-nepuk kasur di sebelahnya. Kedua alis Laura terangkat, terkejut karena Justin kali ini berbicara dengannya. Maksud Laura, setelah beberapa hari terakhir Justin tidak berbicara dengan Laura karena keberadaan Jasmine, dan Justin memilih hari ini untuk berbicara dengannya. Laura langsung melangkah mendekati tempat tidur Justin, duduk di sebelahnya. Tangan Justin menutup laptopnya lalu menaruh laptop itu di atas meja dekat tempat tidurnya.
            “Lebih nyaman? Atau kau ingin bersandar di bahuku?” Tanya Justin menyentuh pinggul Laura. Sentuhan itu menyengat Laura, meski di luar pakaiannya, tetap saja membuat Laura mengingat hubungan badan mereka terakhir kali itu. Kepala Laura menoleh menatap Justin lalu ia menggelengkan kepalanya. Tidak mengatakan apa-apa, tiba-tiba saja Justin menarik kepala Laura lalu menyandarkannya di atas bahu Justin. Laura tertawa atas perlakuan Justin. Ia teringat dengan ayahnya yang selalu menarik kepalanya agar Laura memeluk ayahnya. “Begini lebih baik,”
            “Baiklah jika itu yang kau mau,” bisik Laura memposisikan kepalanya di atas bahu Justin agar lebih nyaman. “Jadi, apa yang terjadi padamu?”
            “Well, huh, aku hanya ingin bersama denganmu,” ucap Justin. “Maksudku, benar-benar ingin bersamamu. Sekali lagi, aku minta maaf padamu jika aku menyakitimu. Soal Thomas, aku tidak ingin meminta maaf padanya,”
            “Mengapa?” Tanya Laura bingung. “Mengapa kau tidak ingin meminta maaf padanya?” Ternyata ini yang ingin Justin bicarakan dengan Laura. Mengungkit masalah itu lagi. Laura bahkan ingin melupakannya. Itu membuat Laura juga merasa bersalah karena telah memukul punggung Justin dengan sebuah gitar.
            “Karena dia adalah kekasihmu? Aku tidak tahu. Aku tidak menyukainya, jujur saja. Mungkin karena kau kekasihnya dan aku cemburu mengapa ia yang harus menjadi pasangan hidupmu. Mengapa bukan aku? Aku cocok denganmu. Lihat posisi kita sekarang,” ujar Justin mengangkat salah satu tangannya yang tidak tertindih tubuh Laura. Laura tertawa, menggelengkan kepalanya, namun tidak membalas ucapan Justin. Laura belum ingin memutuskan siapa yang ia pilih. Mungkin, hari terakhir di rumah Justin ia akan memutuskan siapa yang akan mendapati dirinya. Thomas ataukah Justin? Sejak Laura memukul Justin, keadaan Justin semakin membaik. Justin tidak terlihat seperti orang jahat. Bahkan Laura lebih memilih Justin bekerja dengan laptopnya dibanding bersosialisasi dengan manusia. Tanpa berpikir panjang, Justin langsung mengecup kepala Laura dengan lembut, Justin memejamkan matanya. Pipi Laura bersemu merah, itu refleks. Siapa yang pipinya tidak bersemu merah ketika pria tampan yang kausukai –cintai—mencium kepalamu semanis tadi?
            “Aku mencintaimu,” bisik Justin.
            “Tunggu dulu, Justin,” ucap Laura. “Tapi apa yang terjadi padamu? Apa kau baik-baik saja? Kau yakin kau sudah meminum obatmu?” Tanya Laura menyentuh kening Justin yang tidak sama sekali panas. Justin tertawa renyah, ia menarik tangan Laura dari keningnnya lalu menempelkannya di bibir. Tangan itu, Justin kecupi dengan lembut. Mata Laura memerhatikan perlakuan Justin. Bibir merah muda itu menyentuh tubuhnya, sama seperti saat Justin menggodanya untuk berhubungan badan.
            “Tidak, aku serius,” ujar Justin. “Kau ingin tahu mengapa aku bisa memukul Thomas dan bukan penjagaku yang melakukannya? Tidak, tidak perlu kau jawab. Aku sudah tahu jawabanmu. Jadi, aku memukulnya karena ia …ia memiliki hubungan istimewa denganmu yang tidak kumiliki bersamamu. Mengapa ia bisa mendapatkanmu sedangkan aku tidak bisa?”
            “Karena tidak semua yang kauinginkan akan kaudapatkan, Justin,” bisik Laura berusaha untuk menolak Justin. Laura tidak ingin mencintai Justin sama seperti ia mencintai Thomas, tapi keadaan mendesak perasaan Laura untuk membagi perasaannya terhadap Thomas kepada Justin. Justin menatap tangan Laura yang ia genggam, mengasihani dirinya. Tetapi, tidak apa-apa bukan jika ia berusaha untuk mendapatkan hati Laura? Laura mungkin sudah mencintai Justin, namun dengan perlakuan Justin terhadap Laura yang kasar, tentu saja itu akan menghambat hubungan mereka. Terlebih lagi, perbedaan kepribadian Thomas dan Justin bagaikan langit dan bumi. Tentu saja Laura akan lebih memilih Thomas.
            “Kau benar,” bisik Justin, lalu ia mendesah. “Setidaknya, aku masih memiliki 2 bulan lagi bersama denganmu. Menganggapmu, mungkin, sebagai kekasihku.” lanjut Justin memeluk Laura seerat yang Justin bisa. Bahkan jika perlu, Justin ingin waktu berhenti untuk sementara agar ia dapat menikmati waktu-waktu berharga seperti ini bersama degnan Laura.


***


            Justin sudah keluar dari rumah sakit. Malam ini akhirnya, Justin bisa tidur bersama dengan Laura lagi. Kali ini, Laura yang tidur di kamar Justin. Mereka seperti suami-istri yang baru saja menjelajahi dunia selama beberapa bulan. Justin menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur pelan-pelan agar tidak melukai punggungnya. Keadaan punggungnya sudah membaik. Hanya sedikit sakit jika Justin banyak bergerak. Laura membuka tirai kamar Justin agar cahaya matahari senja masuk ke dalam kamar Justin lalu ia membalikkan tubuhnya, melihat Justin yang sedang memejamkan matanya.
            “Kau merindukan rumah?” Tanya Laura merangkak naik ke atas ranjang Justin. “Aku tidak merindukan rumah. Aku hanya ingin berada di rumah sakit,”
            “Mengapa begitu?” Tanya Justin tertarik. Saat Justin membukanya, ia sudah mendapati Laura berada di sebelahnya, berbaring dengan tenang. Seharusnya ini yang mereka lakukan sejak dulu. Bukan saling menyakiti satu sama lain atau merasa diri mereka paling benar. Ego mereka berdua sama-sama besar.
            “Di sini aku tidak memiliki teman. Hanya kau. Dan kau sibuk dengan pekerjaanmu di kantor. Jadi, aku merasa sangat bosan berada di rumah ini. Hampa, kau tahu,” kejujuran. Kejujuran yang mereka butuhkan selama ini! Justin membalikkan tubuhnya hingga tengkurap, lalu menjatuhkan kepalanya ke atas bahu Laura.
            “Kita bisa jalan-jalan ke luar negeri, jika kau mau,”
            “Tidak perlu,” tolak Laura selembut mungkin. “Aku hanya ingin berada di rumah sakit. Bertemu dengan Lily. Keadaannya memburuk, kau tahu,” bisik Laura. Justin menghela nafasnya yang panjang, menerpa leher Laura hingga bulu roma Laura terangkat. Merinding atas perlakuan Justin. Mengapa bisa-bisanya Justin menggoda Laura padahal Justin tidak benar-benar menggoda Laura? Mungkin memang itu kebetulan semata.
            “Aku tahu,” bisik Justin. “Aku juga kuatir dengan keadaannya. Apa yang bisa membuatnya bahagia? Ia tidak memiliki jangka waktu hidup yang lama,”
            “Mengapa tidak mengeluarkannya dari rumah sakit dan mengajaknya bersenang-senang agar hidupnya lebih berharga?” Tanya Laura, memberikan ide. Justin bahkan belum menjawab pertanyaan Laura, tiba-tiba saja ketukan pintu kamar terdengar. Langsung saja Laura bangkit dari tempat tidur Justin, panik. Ya, Laura sekarang merasa seperti simpanan Justin. Maksud Laura, Justin sudah memiliki kekasih dan di sini, Justin bersama dengan Laura, di atas tempat tidur, hanya berdua, bukankah itu yang dilakukan wanita simpanan? “Siapa?” Tanya Justin berteriak.
            “Ini aku, Jasmine. Boleh aku masuk Justin?” Tanya Jasmine. Justin langsung menatap Laura dengan panik. Bukan saat ini yang tepat untuk memberitahu Jasmine bahwa Justin akan memutuskannya! Tidak, bukan sekarang. Justin langsung menyuruh Laura masuk ke dalam lemari pakaiannya dengan raut wajah yang panik.
            “Tunggu sebentar, aku ingin mengganti celanaku,” ucap Justin berbohong. Justin bangkit dari tempatnya, mengerang kecil saat punggungnya tersengat, lalu ia berlari kecil menuju lemari pakaiannya. Dibukanya pintu lemari pakaian gantungnya itu lalu mendorong Laura dengan lembut untuk masuk ke dalam. Memang Justin, pria yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, ia mencium bibir Laura selama beberapa detik lalu menutup pintu lemarinya. “Aku datang,” Justin berjalan menuju pintu kamarnya dan lalu membuka pintu.
            “Hai, Justin!” Sapa Jasmine senang sekali. “Mengapa kau tidak memintaku untuk menjemputmu dari rumah sakit agar kita bisa pulang bersama?” Tanya Jasmine berjalan masuk ke dalam kamar.
            “Aku tidak berpikir sampai sana,” ucap Justin menutup pintu kamarnya.
            “Siapa yang kausembunyikan dariku?” Jasmine bertanya, kali ini raut wajahnya curiga. Ia menoleh pada Justin, memberikan tatapan ‘siapa?’. “Entah mengapa aku merasa ada seseorang yang kausembunyikan di kamar rumah ini. Tapi, aku tidak tahu siapa itu,”
            “Kurasa kau berhalusinasi,” komentar Justin berusaha untuk terlihat santai.
            “Oh, lihat kamar mandi itu. Lampunya menyala dan pintunya tertutup, siapa di dalam?” Jasmine berjalan dengan cepat menuju kamar mandi lalu membuka pintunya, tidak terkunci. “Well, tenyata tidak ada di kamar mandi. Siapa yang kausembunyikan dariku Justin?”
            “Apa maksudmu?” Tanya Justin merasa tersinggung—hanya sekedar akting.
            “Maksudku, wanita simpanan. Coba kita dekati lemarimu. Ada siapa ya di dalam sana?” Tanya Jasmine berjalan menuju lemari pakaian yang baru saja dimasuki oleh Laura.
            “Aduh!” terdengar suara erangan dari dalam. Justin mulai menyumpahi dirinya dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar