AUTHOR
Laura
tidak dapat bernafas ketika ia dibawa masuk ke dalam lift bersama dengan
Justin. Dua pria penjaga itu masih berada di dalam kamar Lily. Apa yang akan
mereka lakukan pada Thomas dan Jimmy? Bagaimana dengan Nancy, apa dia akan
baik-baik saja? Tangan Laura berkeringat sekarang. Ketakutan melanda tubuhnya
hingga ia bersandar pada dinding lift. Pegangan tangan Justin di lengannya tak
luput dari kata kasar. Justin tidak mengatakan apa pun selama mereka berada
dalam lift, ia hanya berusaha untuk menenangkan dirinya agar ia tidak menyakiti
Laura. Well, Justin memang tidak pernah memukul seorang wanita sebelumnya. Dan
ia tidak ingin Laura menjadi wanita pertama yang ia pukul. Bahkan dari sedari
tadi, mata Justin menatap pintu lift, tidak menoleh atau menggeram pada Laura.
Seharusnya Justin tahu dari awal bahwa Laura akan melakukan rencana untuk
bertemu Thomas sebelumnya. Entah mengapa Justin merasa dikhianati oleh Laura.
Apa Laura ingin kehilangan Thomas untuk jangka waktu yang singkat akibat
perbuatannya yang nekat ini? Bukankah perjanjian mereka telah disetujui oleh
Laura bahwa selama tiga bulan ke depan Laura akan terus berada dalam genggaman
tangan Justin tanpa ada pertemuan sama sekali dengan Thomas? Mengapa Laura
ingin menyakiti Thomas karena perbuatannya sendiri? Pintu lift terbuka, mereka
keluar. Kaki Justin melangkah begitu cepat menuju salah satu tangga menuju
parkiran di bawah rumah sakit.
“Apa
yang akan kaulakukan pada mereka berdua?” Tanya Laura akhirnya memberanikan
diri. Laura berusaha untuk menjadi wanita kuat yang jahat, yang bisa melawan
Justin. Tapi mengetahui posisinya yang benar-benar tersudut, ia tidak bisa melakukannya.
Keadaan ini seolah-olah Laura-lah yang memainkannya. Jika ia melawan Justin,
Thomas akan mati. Jika Laura menjadi anak baik, kemungkinan besar Thomas hanya
akan disakiti. Tetapi, Laura tidak ingin memilih keduanya. Tentu saja ia tidak
ingin melihat kekasihnya disakiti oleh pria yang bahkan ia baru kenal selama 1
bulan ini. Bahkan sebenarnya, pria ini tidak memiliki hak apa pun untuk
menyakiti Thomas.
“Aku
sudah memperingatimu dari awal, Laura. Tapi kau tidak mendengarnya. Sekarang,
kau bisa menikmati apa yang telah kauperbuat,” ucap Justin keras. Laura dibawa
Justin menuju salah satu parkiran yang kosong. Ruangan ini bahkan hanya diisi
oleh mobil-mobil dan hanya ada beberapa orang di bawah sini. Kemana para
penjaga rumah sakit? Dari jarak jauh, Laura bisa melihat Jimmy dan Thomas
sedang berlutut di depan dua orang penjaga Justin di dekat salah satu mobil
milik Justin. Mereka belum disakiti. Belum. Laura segera menarik lengannya dari
genggaman Justin lalu berlari menjauh dari Justin untuk mendekati Thomas dan
Jimmy. Namun Justin adalah cheetah. Ia berlari begitu cepat, sepeti cheetah
menangkap mangsanya. Tangannya yang besar itu langsung meraup pundak Laura dan
tangannya yang lain memegang pinggang Laura sekuat yang Justin bisa, bahkan
menyakiti Laura.
“Tidak,
kumohon Justin. Jangan sakiti mereka,” isak Laura telah menangis. Thomas dan
Jimmy mendongak. Mereka melihat wanita itu dari bawah, betapa menyedihkannya
pemandangan yang sedang mereka lihat. Tidak mungkin Justin sedang mengunci
Laura seperti itu. Thomas baru saja akan bangkit dari tempatnya, namun salah
satu penjaga langsung menendang perutnya hingga ludah yang cair keluar dari
mulut Thomas. “Tidak, Thomas! Justin, jangan sakiti mereka!” Berontak Laura
menggoyang-goyangkan tubuhnya agar lepas dari pelukan Justin.
“Kalian
berdua, tahan dia. Aku akan menghabisi mereka berdua dengan tanganku sendiri,”
ucap Justin memerintah. Segera saja dua orang pria mendekati Justin dan Laura
lalu memegang kedua tangan Laura hingga Laura tidak dapat bergerak lagi. Air
mata membanjiri pipi Laura. Mata Laura memerhatikan Justin yang mendekati dua
orang yang Laura sayangi itu. Tangan mereka diikat. Gitar yang Jimmy bawa
tadi sekarang berada di atas bagasi mobil, gitar itu tidak memakai sarungnya sehingga Jimmy dapat diikat. Bagaimana bisa mereka berdua berada di parkiran lebih dahulu
dari Laura dan Justin? Pertanyaan itu belum bisa dijawab sekarang.
“Kau
mau yang mana, Laura? Thomas dulu atau Jimmy?” Tanya Justin menggoda Laura.
Laura tidak mengatakan apa pun, ia hanya terisak-isak dengan kedua tangan yang
dipegang erat oleh penjaga itu. Justin mengangkat kedua tangannya, seperti
tidak peduli dengan keadaan Laura yang menangis. “Well, baiklah. Aku akan
memilih Thomas lebih dulu,” saat itu juga pukulan tepat di perut Thomas membuat
Laura menjerit, memberontak, dan terus mengatakan ‘tidak’. Justin memegang
kerah kemeja Thomas, tangannya yang lain lalu memukul pipi Thomas sekencang
yang Justin bisa. Bahkan Thomas terhuyung ke belakang namun sebelum Thomas
terjatuh, Justin meraih kerah Thomas.
“Lagi?”
Tanya Justin menoleh ke belakang, melihat Laura yang melihat Thomas dengan
tatapan tak percaya. Air matanya masih mengalir, namun ia tidak menangis
sehisteris tadi. Ia terperangah. Ia benci. Ia benci melihat seseorang yang ia sayangi
disakiti. “Sudah cukup. Aku bosan melihatnya dipukul. Nah, bocah kecil, mungkin
sekarang saatmu bisa menjadi pria jantan,”
“Aku
tidak bisa melawan pria betina,”
“Apa?
Pria betina? Kalimat macam apa itu? Kau mengejekku atau apa?” Tanya Justin tertawa
selama beberapa detik lalu tangannya langsung memukul pipi Jimmy.
“Tidak!”
Laura tidak bisa melihat Jimmy disakiti. Ia benar-benar tidak bisa menahan
dirinya lagi. Laura menginjak kaki kedua penjaga itu sekuat yang ia bisa, lalu bola milik mereka berdua hingga dua
penjaga itu mengerang tertahan. Laura berlari menuju bagasi mobil Justin dan
mengambil gitar Jimmy lalu ia memukul punggung Justin hingga gitar itu terbelah
menjadi dua.
“Ya
Tuhan!” Teriak Jimmy tidak percaya. “Gitarku!” Justin mengerang kesakitan, ia
berlutut di hadapan Jimmy yang pipinya lebam dan di sudut bibirnya terdapat
bercak darah merah yang segar. Tangan Justin menyentuh punggungnya dan semakin
mengerang kesakitan. Laura tidak percaya dengan apa yang ia baru saja lakukan
terhadap Justin. Tangannya langsung melepaskan dua bongkahan gitar itu ke atas
parkiran. Ia tahu, ia sedang berada di ujung jalan menuju kematian. Ia membuat
cheetah ini marah. Tentu saja.
“Laura,
kau baru saja memukulku dengan sebuah gitar,” bisik Justin tak percaya.
“Punggungku! Sial,” erang Justin berusaha untuk berdiri dari tegak, tapi Justin
tidak bisa melakukan itu. Jimmy yang berada di hadapan Justin menatap Justin
dengan tatapan ngeri sekaligus kasihan. Thomas sudah tergolek tak sadarkan diri
di atas aspal dengan darah yang menetes-netes keluar dari hidungnya.
“Apa-apaan
yang terjadi di sini?” Salah seorang petugas sekuriti datang bersama dengan
rekannya. Saat itu juga Justin pingsan di bawah kaki Laura.
***
LAURA
HARE
Memukul
Justin merupakan kepuasan tersendiri untukku. Baiklah, mungkin aku puas dengan
apa yang kulakukan padanya, tapi aku juga kasihan padanya karena salah satu
tulang punggungnya patah. Aku bahkan tidak percaya kalau aku memukulnya dengan
gitar kesayangan milik Jimmy. Well, aku minta maaf pada Jimmy karena telah
merusak gitarnya. Mungkin aku bisa membelinya yang baru. Thomas dan Jimmy baru
saja pulang dari rumah sakit setelah mereka diberi pengobatan. Jantungku
berdebar tak menentu saat kulihat Thomas tak sadarkan diri selama beberapa
saat. Ia baik-baik saja. Hidungnya patah tapi sudah terobati. Kuberikan ia
kecupan selamat tinggal. Bagaimanapun juga aku harus bertanggungjawab atas apa
yang telah kuperbuat pada Justin. Itu akan membuatku menjadi seorang pengecut
jika aku meninggalkan Justin yang sekarang sedang terbaring di atas tempat
tidur. Justin tampak seperti pria baik-baik saja jika ia terlelap. Sudah
kubilang dari awal, lebih baik melihat Justin menutup matanya daripada
melihatnya bernafas dengan membuka mata atau berbicara. Kuharap ia akan
memaafkanku atas apa yang kuperbuat padanya. Tulang punggungnya patah! Aku
mendesah, menundukkan kepalaku ke atas tempat tidur Justin.
Orangtua
Justin tak kunjung datang untuk menjenguk Justin. Ataupun Jasmine. Apa tidak
ada seseorang yang menghubungi mereka? Baiklah, tidak apa-apa. Setidaknya aku
tidak perlu bertemu dengan mereka. Nancy dan Lily datang ke kamar Justin
beberapa menit yang lalu. Yah, Lily hanya menyimpulkan bahwa ayahnya sedang
tidur. Kurasakan sebuah tangan menyentuh kepalaku lalu mengelusnya. Aku segera
mendongak, melihat Justin yang sudah sadar. Well, ternyata ia cepat terbangun
dari tidurnya. Lagipula ini sudah malam. Ia sudah tidur lebih dari 3 jam.
“Terima
kasih,” bisik Justin. Ucapan itu membuatku terkejut setengah mati. Apa? Terima
kasih? Apa Justin gila? Aku sudah memukulnya hingga benar-benar melukainya dan
ia berterima kasih padaku? Jika begitu, ya sudah, terima kasih kembali. “Jika
kau tidak memukulku, mungkin aku sudah berada di penjara. Jadi, terima kasih,”
ucap Justin, lalu beberapa detik kemudian ia mengerang.
“Akan
kupanggilkan dokter,” ujarku mengabaikannya. Aku langsung mengambil sebuah
remote kecil di bawah tempat tidur Justin dan menekan tombolnya. “Maafkan aku.
Seharusnya aku tidak memukulmu dengan gitar. Seharusnya dengan palu, atau
kapak. Semacamnya,” bisikku tanpa memberikan sedikitpun nada humor di dalamnya.
Tapi Justin tertawa namun ia langsung mengerang kesakitan.
“Terima
kasih sudah memperjelas segalanya,” bisik Justin. “Karena kau memanggil Thomas
datang ke rumah sakit, aku tahu perasaan apa yang mengganjalku selama ini.
Maafkan aku jika aku menyakitimu, apa kau terluka? Tapi aku tidak akan meminta
maaf atas apa yang kulakukan pada Thomas. Kupikir ia layak mendapatkan pukulan
dariku karena ia …ia membuatku cemburu. Sialan, apa aku baru saja
mengatakannya? Huh, Laura, kurasa aku harus mengatakan ini padamu,”
“Mengatakan
apa?” Tanya Laura melipat bibirnya ke dalam. Kedua tangan Laura memegang tangan
Justin yang tadi mengelus kepalanya. Sebenarnya, apa karena Laura memukul
Justin itu yang menyebabkan Justin berubah dalam hitungan jam? Jika memang
benar, seharusnya, Laura memukul Justin sejak dulu agar Justin bersikap baik.
Atau ini hanyalah akting? Bisa saja.
“Aku
…” Justin memejamkan matanya. “Aku mencintaimu, Laura Hare,” ucapan itu seperti
hilang begitu saja ketika suster datang masuk ke dalam kamar Justin. Suster
cantik yang sepertinya memang menyukai Justin—terlihat saat ia masuk, ia sangat
bahagia sekali.
AUTHOR
Laura
diminat untuk keluar dari kamar Justin. Sebenarnya Laura tidak mau meninggalkan
Justin, tapi tidak apa-apa. Mungkin mendapatkan beberapa menit untuk berpikir
akan menguntungkan bagi Laura. Laura menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak
percaya dengan apa yang Justin katakan tadi padanya. Apa Justin benar-benar
jatuh cinta padanya? Mengapa bisa begitu? Itu tidak mungkin. Selama dua minggu
terakhir ini Justin tidak menampakkan dirinya kalau ia mencintai Laura, jadi
permainan apa yang Justin mainkan sekarang? Mengapa Justin menyakiti Thomas
jika ia tidak ingin menyakiti Laura? Menyakiti Thomas hampir sama menyakiti
Laura. Dan cemburu? Apa-apaan yang dimaksud Justin dengan cemburu? Apa dengan
memukul Thomas akan memperbaiki segalanya? Dan memperjelas? Maksud Justin?
Rasanya otak Laura tidak bisa mencapai maksud-maksud Justin di dalam kamar
tadi.
“Dimana
Justin?” Terdengar suara marah dari seorang wanita yang tiba-tiba saja muncul.
Wanita ini benar-benar terlambat untuk menjenguk Justin. Yeah, Jasmine muncul
dengan pakaiannya yang …mewah. Entah mengapa dimata Laura, Jasmine terlihat
seperti pengemis jalanan yang memakai pakaian yang kurang bahan ini. Laura
tidak sama sekali terkejut akan kedatangan Jasmine karena ia berpikir, sekarang
peran yang ia mainkan ialah penjaga dari Lily yang baru saja memukul kekasih
Jasmine dengan gitar. Yah, minta maaf soal itu. Laura tidak bermaksud untuk
melakukannya tapi Justin memaksa.
“Dia
di dalam,” ucap Laura, tak acuh pada Jasmine. Ia bersandar di tembok.
“Apa
yang kaulakukan padanya hingga ia dirawat seperti itu? Dan mengapa hanya Nancy
yang menghubungiku?” Tanya Jasmine cerewet. Laura hanya mengangkat kedua
bahunya, bersikap tak peduli pada Jasmine. Jasmine mendorong pintu kamar
Justin, terdengar suara usiran dari dalam kamar Justin yang membuat Laura harus
tertawa kecil. Entah mengapa rasanya ia senang melihat Jasmine diusir seperti
itu. Dan terlebih lagi, Laura tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi
hari ini. Ia resah, ia marah, ia benci terhadap Justin, dan ia baru saja
memukul Justin –karena Justin memukul orang yang Laura sayangi—dan sekarang ia
merasakan perasaan bahagia. Ini tidak jelas. Perasaan ini tidak jelas. Meski ia
memang kesal pada Justin karena Justin memukul Thomas—terima kasih Tuhan karena
Thomas baik-baik saja bersama dengan Jimmy—namun ucapan Justin di kamar rumah
sakit tadi ternyata memberikan efek kebalikan dari kejadian-kejadian
sebelumnya.
Sekarang
Laura mengerti dengan apa yang Justin katakan padanya. Tentang ucapan terima
kasih dari Justin itu, Laura mengerti. Mungkin selama ini Justin tidak mengerti
perasaan apa yang terjadi pada dirinya terhadap Laura, namun karena kedatangan
Thomas ke rumah sakit untuk bertemu dengan Laura memperjelas perasaan Justin
yang sebenarnya. Justin mencintai Laura. Tentu saja. Tidak mungkin Justin akan
memukul Thomas dengan tangannya sendiri jika Justin memiliki dua orang penjaga
yang bertubuh lebih besar dibanding Justin. Ini semua karena Justin cemburu
dengan Thomas yang mendapatkan perhatian lebih dari Laura. Atau bisa saja,
Justin merasa cintanya diabaikan oleh Laura dan merasa dikhianati oleh Laura.
Begitu banyak kemungkinan bahwa Justin memang mencintai Laura. Bahkan dengan
pernyataan Justin yang jelas di dalam kamar tadi semakin meyakinkan Laura…
Justin mencintai Laura.
Jasmine
segera masuk ke dalam kamar Justin saat suster keluar. Laura tidak ikut masuk
ke dalam kamar Justin, ia hanya melihat Justin dari kaca pintu. Jasmine tampak
sangat kuatir dengan keadaan Justin. Ia langsung mengelus kepala Justin dan
mengecup kening Justin. Namun terlihat dari wajah Justin, bukan Jasmine-lah
yang Justin inginkan saat ini. Tetapi Laura.
Ternyata
Laura benar-benar tidak ingin mengganggu acara Justin dan Jasmine. Jadi ia
berjalan menuju kamar rawat Lily. Setidaknya, Laura masih memiliki harapan
untuk merubah Justin menjadi pria yang lebih baik. Mungkin inilah yang Justin
cari-cari selama ini. Cintanya yang selama ini hilang. Tangan Laura menekan
gagang pintu lalu membuka pintunya. Ia masuk, dilihatnya orangtua Justin di
dalam kamar Lily, bermain dengan Lily. Sudah berapa lama mereka berada di kamar
Lily? Mengapa mereka tidak menjenguk Justin? Orangtua Justin langsung mendongak
ketika Laura menutup pintu kamar Lily. Ia melihat Laura dengan tatapan kuatir.
“Bagaimana
keadaan Justin?” Tanya mereka langsung pada Laura. Laura hanya memberikannya
senyum lega untuk meyakinkan pada mereka bahwa Justin baik-baik saja.
“Dia
baik-baik saja. Kalian sudah bisa menjenguknya sekarang. Jasmine sudah berada
di dalam kamar Justin,” ucap Laura yang berpikir bahwa kedua orangtua Justin
tahu dimana kamar Justin. Pattie menatap suaminya dengan raut wajah kuatir lalu
menganggukkan kepalanya. Mereka akhirnya pergi dari kamar Lily tanpa mengatakan
sepatah kata pun. Laura mendesah, mengangkat kedua bahunya pada Nancy.
Sebenarnya, Nancy yang menangani Thomas dan Jimmy selama mereka diobati.
Sedangkan Laura menjaga Lily di dalam kamarnya. Dan Justin, tidak ada yang
menunggu Justin kecuali dua orang penjaganya di depan kamar rawatnya.
“Ah,
Jasmine. Aku tidak begitu menyukai anak itu,” ucap Nancy tiba-tiba saja. “Dia
selalu mengutamakan Justin dibanding Lily. Maksudku, Justin ingin mencari
seorang ibu untuk Lily bukan? Dan aku sebenarnya tidak setuju dengan
pertunangan mereka. Tapi siapa aku? Aku hanya berkomentar,” lanjut Nancy
melambai di udara.
“A-aku
tidak begitu ingin mengomentari tentang hubungan Jasmine dan Justin,” ucap
Laura mengelus kening Lily. Lily sudah tertidur dengan nyenyak. Gadis kecil ini
tampaknya sangat kesepian karena sudah tidak ada lagi yang memainkan gitar
untuknya.
Dan
lagi pula, gitar itu sudah rusak.
***
Sudah tiga hari ini Justin dirawat di rumah sakit.
Luka di punggungnya masih belum kering. Kemungkinan besar ia baru bisa keluar
dari rumah sakit minggu depan. Selama tiga hari itu juga Justin tidak
mengungkit masalah ia mencintai Laura. Ia begitu lenyap dalam pekerjaannya. Ya,
ia berusaha untuk tidak berteman dengan dunia setelah ia sadar bahwa ia
mencintai Laura. Entahlah, mungkin ia tidak percaya dengan perasaan ini. Justin
tidak pernah memukul seseorang yang tidak mendekati orang yang dia sayangi. Maksudnya,
jika Justin memiliki masalah dengan seseorang dan ingin memusnahkan orang itu,
ia hanya perlu meminta para penjaganya untuk memukul orang itu. Ya, Justin
tidak ingin membuang tenaganya hanya untuk orang seperti itu. Berbeda jika
Justin yang turun tangan untuk memukul seseorang. Kemungkinan besar, orang itu
telah mengganggu orang yang Justin sayangi atau cintai. Seperti Ramona dulu.
Justin benar-benar melindungi Ramona dari apa pun. Ia memukul orang yang
berusaha untuk mendekati Ramona. Namun setelah Ramona tidak ada di kehidupan
Justin, Justin tidak pernah memukul siapa pun. Bahkan orang yang merayu
Jasmine. Justin tidak begitu peduli dengan Jasmine. Dan alasan mengapa Justin
bertunangan dengan Jasmine hanya karena Lily membutuhkan seorang ibu. Bukan karena
Justin mencintai Jasmine.
Sampai
akhirnya Justin bertemu dengan Laura. Perasaan yang selama 5 tahun terakhir
tidak menjamah hatinya, sekarang, perasaan itu kembali. Meski Justin memiliki
Laura dengan cara yang curang, merebut kekasih orang lain, tapi tetap saja
perasaan itu datang menghampiri Justin. Dan yah, Justin tidak peduli dengan
keadaan Thomas bagaimana, justru Justin berharap Thomas mati agar Justin dapat
memiliki Laura lebih mudah lagi. Beruntung sekali Jimmy hanya mendapatkan satu
pukulan. Itu semua karena Laura memukul punggungnya. Dengan gitar. Tidak
apa-apalah, setidaknya dengan Laura berbuat seperti itu membuat Justin hanya
berada di rumah sakit, bukan penjara. Justin juga merasa mungkin Laura memiliki
perasaan yang sama terhadapnya. Hari ini, Justin ingin membicarakannya
baik-baik dengan Laura. Tentang perasaan mereka satu sama lain.
Bukti
Justin mencintai Laura mungkin pada saat Justin tahu bahwa Thomas dan Laura
bertemu di rumah sakit. Salah satu penjaganya baru memberitahunya di hari
terakhir Laura berada di rumah sakit. Kemungkinan besar Thomas dan Jimmy sudah
datang sejak dua hari yang lalu tanpa sepengetahuan Justin dan dua penjaga
Justin yang bodoh itu tidak memberitahu. Dan ya, Justin telah memecat dua
penjaga bodoh itu di hari dimana Justin dipukul. Kembali lagi pada perasaan
Justin. Yah, benar sekali, ia merasakan api cemburu membakar dirinya. Alasan
mengapa Justin tidak ingin menatap mata Laura ketika di lift ialah …ia takut
amarahnya meredup. Tidak, ia tidak ingin amarahnya tiba-tiba saja surut karena
melihat air mata Laura, ia ingin memukul Thomas. Ternyata, amarah Justin
melebih batas yang Justin tentukan. Rasanya ia ingin membunuh Thomas karena
telah memanfaatkan waktu itu! Pria tidak tahu diri itu seharusnya tidak hidup di
dunia. Justin mendongakkan kepalanya ketika ia mendengar suara pintu kamrnya
terbuka. Laura datang. Dengan rambut yang dikepang, kemeja putih kelonggaran
dan celana jins biru. Serius, tapi Laura harus memperbaiki gaya berpakaiannya.
“Hei,”
sapa Laura. “Sudah minum obat?” Tanya Laura. Hebatnya, selama tiga hari ini,
Laura tidak ada niatan untuk menghubungi atau bertemu dengan Thomas. Mungkin
sekarang Laura sudah sadar sepenuhnya bahwa dengan bertemu dengan Thomas akan
menyakiti Thomas. Kejadian yang lalu itu merupakan pelajaran bagi Laura.
Apalagi Jimmy. Ia masih remaja dan ia tidak ingin Jimmy disakiti oleh Justin.
Tidak sekalipun.
“Sudah,”
jawab Justin. “Bisakah kau duduk di sini?” Tawar Justin menepuk-nepuk kasur di
sebelahnya. Kedua alis Laura terangkat, terkejut karena Justin kali ini
berbicara dengannya. Maksud Laura, setelah beberapa hari terakhir Justin tidak
berbicara dengan Laura karena keberadaan Jasmine, dan Justin memilih hari ini
untuk berbicara dengannya. Laura langsung melangkah mendekati tempat tidur
Justin, duduk di sebelahnya. Tangan Justin menutup laptopnya lalu menaruh
laptop itu di atas meja dekat tempat tidurnya.
“Lebih
nyaman? Atau kau ingin bersandar di bahuku?” Tanya Justin menyentuh pinggul
Laura. Sentuhan itu menyengat Laura, meski di luar pakaiannya, tetap saja
membuat Laura mengingat hubungan badan mereka terakhir kali itu. Kepala Laura
menoleh menatap Justin lalu ia menggelengkan kepalanya. Tidak mengatakan
apa-apa, tiba-tiba saja Justin menarik kepala Laura lalu menyandarkannya di
atas bahu Justin. Laura tertawa atas perlakuan Justin. Ia teringat dengan
ayahnya yang selalu menarik kepalanya agar Laura memeluk ayahnya. “Begini lebih
baik,”
“Baiklah
jika itu yang kau mau,” bisik Laura memposisikan kepalanya di atas bahu Justin
agar lebih nyaman. “Jadi, apa yang terjadi padamu?”
“Well,
huh, aku hanya ingin bersama denganmu,” ucap Justin. “Maksudku, benar-benar
ingin bersamamu. Sekali lagi, aku minta maaf padamu jika aku menyakitimu. Soal
Thomas, aku tidak ingin meminta maaf padanya,”
“Mengapa?”
Tanya Laura bingung. “Mengapa kau tidak ingin meminta maaf padanya?” Ternyata
ini yang ingin Justin bicarakan dengan Laura. Mengungkit masalah itu lagi. Laura bahkan ingin
melupakannya. Itu membuat Laura juga merasa bersalah karena telah memukul
punggung Justin dengan sebuah gitar.
“Karena
dia adalah kekasihmu? Aku tidak tahu. Aku tidak menyukainya, jujur saja.
Mungkin karena kau kekasihnya dan aku cemburu mengapa ia yang harus menjadi
pasangan hidupmu. Mengapa bukan aku? Aku cocok denganmu. Lihat posisi kita
sekarang,” ujar Justin mengangkat salah satu tangannya yang tidak tertindih
tubuh Laura. Laura tertawa, menggelengkan kepalanya, namun tidak membalas
ucapan Justin. Laura belum ingin memutuskan siapa yang ia pilih. Mungkin, hari
terakhir di rumah Justin ia akan memutuskan siapa yang akan mendapati dirinya.
Thomas ataukah Justin? Sejak Laura memukul Justin, keadaan Justin semakin
membaik. Justin tidak terlihat seperti orang jahat. Bahkan Laura lebih memilih
Justin bekerja dengan laptopnya dibanding bersosialisasi dengan manusia. Tanpa
berpikir panjang, Justin langsung mengecup kepala Laura dengan lembut, Justin
memejamkan matanya. Pipi Laura bersemu merah, itu refleks. Siapa yang pipinya
tidak bersemu merah ketika pria tampan yang kausukai –cintai—mencium kepalamu
semanis tadi?
“Aku
mencintaimu,” bisik Justin.
“Tunggu
dulu, Justin,” ucap Laura. “Tapi apa yang terjadi padamu? Apa kau baik-baik
saja? Kau yakin kau sudah meminum obatmu?” Tanya Laura menyentuh kening Justin
yang tidak sama sekali panas. Justin tertawa renyah, ia menarik tangan Laura
dari keningnnya lalu menempelkannya di bibir. Tangan itu, Justin kecupi dengan
lembut. Mata Laura memerhatikan perlakuan Justin. Bibir merah muda itu
menyentuh tubuhnya, sama seperti saat Justin menggodanya untuk berhubungan
badan.
“Tidak,
aku serius,” ujar Justin. “Kau ingin tahu mengapa aku bisa memukul Thomas dan
bukan penjagaku yang melakukannya? Tidak, tidak perlu kau jawab. Aku sudah tahu
jawabanmu. Jadi, aku memukulnya karena ia …ia memiliki hubungan istimewa
denganmu yang tidak kumiliki bersamamu. Mengapa ia bisa mendapatkanmu sedangkan
aku tidak bisa?”
“Karena
tidak semua yang kauinginkan akan kaudapatkan, Justin,” bisik Laura berusaha
untuk menolak Justin. Laura tidak ingin mencintai Justin sama seperti ia
mencintai Thomas, tapi keadaan mendesak perasaan Laura untuk membagi
perasaannya terhadap Thomas kepada Justin. Justin menatap tangan Laura yang ia
genggam, mengasihani dirinya. Tetapi, tidak apa-apa bukan jika ia berusaha
untuk mendapatkan hati Laura? Laura mungkin sudah mencintai Justin, namun dengan perlakuan Justin terhadap Laura yang
kasar, tentu saja itu akan menghambat hubungan mereka. Terlebih lagi, perbedaan
kepribadian Thomas dan Justin bagaikan langit dan bumi. Tentu saja Laura akan
lebih memilih Thomas.
“Kau
benar,” bisik Justin, lalu ia mendesah. “Setidaknya, aku masih memiliki 2 bulan
lagi bersama denganmu. Menganggapmu, mungkin, sebagai kekasihku.” lanjut Justin
memeluk Laura seerat yang Justin bisa. Bahkan jika perlu, Justin ingin waktu
berhenti untuk sementara agar ia dapat menikmati waktu-waktu berharga seperti
ini bersama degnan Laura.
***
Justin
sudah keluar dari rumah sakit. Malam ini akhirnya, Justin bisa tidur bersama
dengan Laura lagi. Kali ini, Laura yang tidur di kamar Justin. Mereka seperti
suami-istri yang baru saja menjelajahi dunia selama beberapa bulan. Justin
menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur pelan-pelan agar tidak melukai
punggungnya. Keadaan punggungnya sudah membaik. Hanya sedikit sakit jika Justin
banyak bergerak. Laura membuka tirai kamar Justin agar cahaya matahari senja
masuk ke dalam kamar Justin lalu ia membalikkan tubuhnya, melihat Justin yang
sedang memejamkan matanya.
“Kau
merindukan rumah?” Tanya Laura merangkak naik ke atas ranjang Justin. “Aku
tidak merindukan rumah. Aku hanya ingin berada di rumah sakit,”
“Mengapa
begitu?” Tanya Justin tertarik. Saat Justin membukanya, ia sudah mendapati
Laura berada di sebelahnya, berbaring dengan tenang. Seharusnya ini yang mereka
lakukan sejak dulu. Bukan saling menyakiti satu sama lain atau merasa diri
mereka paling benar. Ego mereka berdua sama-sama besar.
“Di
sini aku tidak memiliki teman. Hanya kau. Dan kau sibuk dengan pekerjaanmu di
kantor. Jadi, aku merasa sangat bosan berada di rumah ini. Hampa, kau tahu,” kejujuran. Kejujuran yang mereka
butuhkan selama ini! Justin membalikkan tubuhnya hingga tengkurap, lalu
menjatuhkan kepalanya ke atas bahu Laura.
“Kita
bisa jalan-jalan ke luar negeri, jika kau mau,”
“Tidak
perlu,” tolak Laura selembut mungkin. “Aku hanya ingin berada di rumah sakit.
Bertemu dengan Lily. Keadaannya memburuk, kau tahu,” bisik Laura. Justin
menghela nafasnya yang panjang, menerpa leher Laura hingga bulu roma Laura
terangkat. Merinding atas perlakuan Justin. Mengapa bisa-bisanya Justin menggoda Laura padahal Justin tidak
benar-benar menggoda Laura? Mungkin memang itu kebetulan semata.
“Aku
tahu,” bisik Justin. “Aku juga kuatir dengan keadaannya. Apa yang bisa
membuatnya bahagia? Ia tidak memiliki jangka waktu hidup yang lama,”
“Mengapa
tidak mengeluarkannya dari rumah sakit dan mengajaknya bersenang-senang agar
hidupnya lebih berharga?” Tanya Laura, memberikan ide. Justin bahkan belum
menjawab pertanyaan Laura, tiba-tiba saja ketukan pintu kamar terdengar.
Langsung saja Laura bangkit dari tempat tidur Justin, panik. Ya, Laura sekarang
merasa seperti simpanan Justin. Maksud Laura, Justin sudah memiliki kekasih dan
di sini, Justin bersama dengan Laura, di atas tempat tidur, hanya berdua,
bukankah itu yang dilakukan wanita simpanan? “Siapa?” Tanya Justin berteriak.
“Ini
aku, Jasmine. Boleh aku masuk Justin?” Tanya Jasmine. Justin langsung menatap
Laura dengan panik. Bukan saat ini yang tepat untuk memberitahu Jasmine bahwa
Justin akan memutuskannya! Tidak, bukan sekarang. Justin langsung menyuruh
Laura masuk ke dalam lemari pakaiannya dengan raut wajah yang panik.
“Tunggu
sebentar, aku ingin mengganti celanaku,” ucap Justin berbohong. Justin bangkit
dari tempatnya, mengerang kecil saat punggungnya tersengat, lalu ia berlari
kecil menuju lemari pakaiannya. Dibukanya pintu lemari pakaian gantungnya itu
lalu mendorong Laura dengan lembut untuk masuk ke dalam. Memang Justin, pria
yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, ia mencium bibir Laura selama
beberapa detik lalu menutup pintu lemarinya. “Aku datang,” Justin berjalan
menuju pintu kamarnya dan lalu membuka pintu.
“Hai,
Justin!” Sapa Jasmine senang sekali. “Mengapa kau tidak memintaku untuk
menjemputmu dari rumah sakit agar kita bisa pulang bersama?” Tanya Jasmine
berjalan masuk ke dalam kamar.
“Aku
tidak berpikir sampai sana,” ucap Justin menutup pintu kamarnya.
“Siapa
yang kausembunyikan dariku?” Jasmine bertanya, kali ini raut wajahnya curiga.
Ia menoleh pada Justin, memberikan tatapan ‘siapa?’. “Entah mengapa aku merasa
ada seseorang yang kausembunyikan di kamar rumah ini. Tapi, aku tidak tahu
siapa itu,”
“Kurasa
kau berhalusinasi,” komentar Justin berusaha untuk terlihat santai.
“Oh,
lihat kamar mandi itu. Lampunya menyala dan pintunya tertutup, siapa di dalam?”
Jasmine berjalan dengan cepat menuju kamar mandi lalu membuka pintunya, tidak
terkunci. “Well, tenyata tidak ada di kamar mandi. Siapa yang kausembunyikan
dariku Justin?”
“Apa
maksudmu?” Tanya Justin merasa tersinggung—hanya sekedar akting.
“Maksudku,
wanita simpanan. Coba kita dekati lemarimu. Ada siapa ya di dalam sana?” Tanya
Jasmine berjalan menuju lemari pakaian yang baru saja dimasuki oleh Laura.
“Aduh!” terdengar suara erangan dari
dalam. Justin mulai menyumpahi dirinya dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar