Senin, 16 Desember 2013

Right Mistakes Bab 12

CHAPTER TWELVE

 FAITH

            Seminggu ini aku tidak mendengar kabar dari Justin. Aku berada di apartemen seminggu ini dan keluar hanya untuk mencari pekerjaan –tapi sekarang aku sedang berada di perjalanan menuju rumah Lennion. Well, aku mungkin salah satu orang yang beruntung mendapatkan pekerjaan dnegan mudah. Meski pekerjaanku tidak seperti pekerjaanku yang sebelumnya, hanya seorang pelayan di sebuah restoran. Dan sekali lagi, aku bekerja di sebuah restoran yang terkenal. Entahlah, gajinya cukup untukku. Setidaknya, tidak ada tagihan rumah sakit yang harus kubayar. Mozes telah mendapatkan kekasihnya, beruntungnya dia yang tiap hari pergi bersama dengan kekasihnya tiap malam dan tidak kembali hingga pagi. Jadi aku sendirian di apartemen sambil berbicara dengan Lennion melalui ponsel. Tidak ada yang spesial. Aku berusaha menghubungi Justin tiap hari namun ia tidak pernah menjawabnya, bahkan pesan-pesan singkatku tidak pernah ia balas. Pergi ke rumahnya tidak mungkin, aku tidak tahu jalanan dan aku takut tersesat. Percayalah, aku bukanlah seseorang yang pandai mengingat jalanan. Oh, sial, aku sungguh ketakutan sekarang.
            Aku turun dari bus, meninggalkan orang-orang yang tidak sama sekali kuhiraukan. Kakiku berjalan melewati rumah-rumah pinggir jalan, apartemen-apartemen sampai akhirnya aku berada di depan rumah Lennion yang memiliki balkon di jendela pertama. Kunaiki satu per satu anak tangga dan menekan tombol bel. Aku sudah menghubungi Lennion sebelumnya bahwa aku akan datang ke rumahnya. Ia belum melahirkan, katanya masih beberapa minggu lagi. Pintu terbuka hanya dengan satu nada bel, suami Lennion muncul dengan perawakan wajah yang tampan serta tubuh yang sangat tinggi. Ia memakai kemeja biru muda serta celana panjang. Ia tersenyum ramah padaku dan menyapa lalu mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Ketika aku masuk ke dalam, kulihat Lennion sedang duduk di atas sofa santainya dengan kaki yang diselonjorkan. Perutnya semakin membesar. Tangannya memeluk semangkuk besar makanan ringan yang sedang ia makan, ia sangat menikmati tontonan yang sedang tonton dari televisinya. Kemudian kepalanya menoleh padaku.
            “Hei, Faith,” sapanya ramah.
            “Sayang, aku berangkat!” Seru suaminya yang berada di belakangku. Kepalaku menoleh ke belakang melihat suaminya yang telah memakai mantel hitam panjang serta topi hitam. Dari mana ia mendapatkan pakaian itu? Pintunya tertutup.
            “Jadi bagaimana? Apa kau sudah tahu anakmu laki-laki atau perempuan?” Tanyaku berjalan ke arahnya. Lennion menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “Aku tidak ingin tahu jenis kelamin anakku. Biarkan itu menjadi kejutan. Kau akan menjadi seorang Bibi,” Lennion tertawa. “Nah, apa kabarmu dengan kekasihmu itu? Tn. Justin Lexise yang tampan itu, bagaimana dengannya?”
            “Yah, kau tahu sendiri. Aku sudah menceritakannya padamu seluruhnya. Ia tidak menghubungiku selama satu minggu dan tidak menjawab panggilan ponsel serta pesan-pesan singkatku. Terakhir aku bersama dengannya saat aku berhubungan badan dengannya lalu paginya, ia mengajakku untuk pulang ke apartemenku kembali dan ia meninggalkanku dengan sebuah kecupan singkat. Bagaimana bisa ia melakukan itu padaku? Maksudku, ia meninggalkanku dengan sebuah kenangan yang tidak akan kulupakan. Oh, Tuhan, ini sangat memalukan, tapi aku benar-benar merindukannya. Apakah ini artinya aku jatuh cinta dengan Justin? Benar-benar jatuh cinta?” Tanyaku yang telah terduduk di atas salah satu kursi sambil memeluk kedua kakiku yang telah ketekuk. Mendengar ucapan-ucapan yang kukatakan tadi membuat Lennion terdiam sejenak, tangannya masih berada di dalam mangkuknya, ia tidak mengeluarkannya sama sekali. Matanya memandangku kosong, mulutnya terbuka sedikit. Sepertinya ia tidak mendengar ucapanku.
            “Lennion?” Panggilku.
            Ia tersentak. “Y-ya. Tentu saja. Kau pasti mencintainya. Itu sudah pasti. Aku hanya ikut sedih dengan cerita yang kaukatakan padaku. Aku pernah diperlakukan seperti itu pada suamiku, aku tahu bagaimana rasanya,” ucapnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
            “Kau pernah? Dan segala sentuhan yang pernah ia lakukan padamu? Atau kalian tidak berhubungan badan sebelum kalian menikah? Oh, ya ampun, aku benar-benar merindukannya. Kuharap ia berada di sini dan memelukku. Ia termasuk lelaki yang benar-benar romantis dengan caranya sendiri. Aku tidak perlu bunga mawar atau cokelat. Meski aku memang bukan seorang yang romantis, tapi aku merasa diperlakukan sama seperti gadis-gadis yang menyukai keromantisan. Ada sesuatu yang aku tidak tahu itu apa, tapi ia benar-benar seperti magnet bagiku. Jika aku tahu jalanan menuju rumahnya, aku sudah pergi ke rumahnya. Ah, ya Tuhan, aku pernah merasakan hal ini sebelumnya dengan Luke. Ya, kau benar. Aku memang jatuh cinta padanya. Bagaimana caranya seseorang untuk melupakan sejenak orang yang ia cintai?”
            “Sederhana. Temui dia. Kau pasti tidak akan mengingatnya terus menerus karena ia sudah berada di hadapanmu. Salah satu hal yang penting dalam sebuah hubungan adalah komunikasi,”
            “Ha, semakin kau mencintainya semakin susah kau melupakannya. Benar katanya, seharusnya kita tidak jatuh cinta karena itu hanya dapat melukaimu,” ucapku tak terasa mengalirkan air mata. Air mataku melewati pipi, terasa hangat sejenak kemudian terasa dingin beberapa detik setelahnya. Secepat mungkin aku menghapus air mataku. Lennion memang pernah melihatku menangis, tapi aku tidak identik dengan yang namanya menangis. Aku identik dengan kecerewetan yang kumiliki.
            “Apa kau akan berada di dunia ini jika kedua orangtuamu tak saling jatuh cinta?”
            “Itu bukan satu-satu alasan mengapa aku berada di dunia ini,” ucapku menggeleng-gelengkan kepala.
            “Kau benar. Maksudku, siapa di dunia ini yang tidak memiliki cinta? Tuhan saja menciptakan manusia karena Ia memiliki banyak cinta yang harus Ia salurkan kepada manusia. Ya, meski Ia tahu manusia akan menyakitiNya. Sama seperti kau, kau tahu jika kau mencintainya, resiko yang akan kau dapatkan adalah sakit hati. Sederhana tapi sebenarnya rumit,” ucap Lennion seperti pakar cinta. Aku mendesah tidak tahu bagaimana harus merespon ucapannya memang benar. Dimana orang yang tidak memiliki cinta? Tiap orang pasti pernah merasakan bagaimana rasanya disayang, hanya saja, mereka kurang peka. Itu tergantung orang-orangnya. Bunyi kunyahan makanan ringan dari mulut Lennion terdengar. Aku memerhatikan perutnya yang besar. Bagaimana jika spiral yang berada di dalam perutku tidak sama sekali berhasil? Bagaimana jika aku akan hamil? Apa Justin akan bertanggungjawab? Hanya dia satu-satunya lelaki yang berhubungan badan denganku. Bagaimana rasanya memiliki bayi di dalam perut? Apa itu sakit? Sebentar lagi Lennion akan menjadi seorang wanita dewasa dan memiliki seorang bayi, menjadi seorang. Air mataku mengering. Bel pintu rumah Lennion terdengar.
            “Aku yang akan membuka pintunya,” ucapku mengangkat tangan. Kuturunkan kedua kakiku lalu mengelap wajahku hingga menjadi normal kembali. Berjalan menuju pintu rumahnya, jantungku berdegup begitu kencang, entah mengapa jantung ini akhir-akhir ini tidak pernah berdetak normal. Tiap kali aku membuka pintu, selalu saja aku mengharapkan Justin yang berada di balik pintu yang tertutup. Kubuka pintu rumah Lennion lalu mendapati seorang pria bertubuh tinggi, memakai setelan berwarna hitam, alis yang tebal. Dan ia tersenyum padaku. Matanya yang berwarna madu menatapku hingga menusuk sampai jantungku. Tatapan yang selalu ia berikan padaku agar aku tunduk padanya, namun kali ini ia tidak dapat melakukan itu padaku. Aku tak dapat bernafas sekarang, kakiku melemas, tanganku yang masih memegang gagang pintu langsung melepaskan gagang itu.
            “Faith?” Suara Justin tertangkap oleh indra pendengaranku. Aku berusaha untuk tidak menangis. Mengapa ia tahu aku berada di rumah Lennion? Mengapa ia muncul ketika aku sedang menelaah apakah aku mencintainya atau tidak? Mengapa ia muncul ketika aku sudah putus asa? Aku terdiam, tak sanggup untuk mengucapkan sepatah katapun. Ia hanya seperti hantu yang menghilang serta muncul secara tiba-tiba. Tanpa aba-aba tanganku menampar pipinya. Justin menyentuh pipinya, suara langkahan dari belakang terdengar dan aku tahu itu adalah Lennion.
            “Faith, ada apa?” Tanya Lennion dari belakang dengan segala kekhawatirannya. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan terkekeh. Kusentuh keningku kemudian terjongkok, masih terkekeh. Ini konyol. Ketika orang yang kucintai tidak ada, aku sangat merindukannya dan berharap ia berada di hadapanku. Tapi ketika ia muncul di hadapanku, aku malah menamparnya. Sungguh, ini sangat aneh. Kututupi wajahku dengan telapak tangan, kuhirup dalam-dalam udara lalu bangkit dari jongkokkanku. Aku mendesah dan tersenyum pada Justin dan Lennion.
            “Aku rasa aku harus pulang, terima kasih Lennion,” ucapku tersenyum padanya.
            “Mengapa?” Tanya Lennion, namun aku tidak menjawabnya. Kulewati Justin yang menutupi pintu. Ini memalukan, seharusnya aku tidak menamparnya. Tapi itu adalah pelajaran baginya agar ia tahu bagaimana rasanya merindukan seseorang itu seperti apa. Aku berjalan secepat mungkin menuju halte bus. Seminggu, apa dia pikir seminggu itu adalah waktu yang sedikit? Anak-anak remaja yang sekolahpun merasa satu minggu adalah waktu yang benar-benar lama. Terlebih lagi mereka sekolah dan harus berhadapan dengan pelajaran-pelajaran yang mereka benci. Dan aku di apartemen, sendirian, berusaha menghubunginya namun ia tidak menjawabku sama sekali, apa dia pikir aku tahan dengan itu? Sial, aku tidak pernah merasa begitu kesal bertemu dengan seorang lelaki seperti Justin.
            “Faith! Faith!” Justin meneriakiku dari belakang, ia mengejarku.
            “Apa? Apa yang kauinginkan? Oh, demi Tuhan, aku tidak percaya kau pergi meninggalkanku dan tidak memberi kabar apa pun padaku. Kekasih macam apa kau! Aku. Benci. Kau!” Teriakku memukul dadanya sekeras mungkin. Tapi ia terasa seperti besi! Sialan, dia tidak meringis sedikitpun? Manusia spesies apa dia? Nafasku tak beraturan, kedua alisku bertaut, namun satu hal yang tidak dapat kulakukan padanya adalah menatapnya dengan tatapan kebencian. Kenyataan yang kumiliki sekarang adalah aku tidak dapat membencinya. Apa pun yang ia lakukan sekarang tidak dapat membuatku membencinya, karena pada dasarnya cinta itu tidak mengandung kebencian. Aku mencintainya.
            “Tidak, kau tidak membenciku,” ucapnya. “Aku juga tidak ingin kau membuat keributan di tengah jalan. Kita akan membicarakannya di perjalanan. Ayo,” ajaknya terdengar memerintah. Tapi aku masih tetap berada di tempatku.
            “Tidak, kau harus menjawab pertanyaanku terlebih dahulu. Mengapa kau tidak menjawab telepon dan pesan-pesanku?” Tanyaku melipat kedua tanganku di depan dada.
            “Aku akan menjawabnya di dalam mobil. Kumohon,” pintanya memohon. Ia menatapku memohon dengan kedua alis yang bertaut. Hanya jika ia cemberut padaku, sudah pasti ia terlihat sangat imut. Dan, benar, apa yang bisa membuatku menolaknya? Ia itu seperti marshmallow yang tidak dapat ditolak oleh anak-anak berumur 5 tahun.
            “Baiklah,” bisikku. Tangannya menarik tanganku. Ia seperti anak-anak yang sedang mengajak Ibunya menuju salah satu toko mainan dan meminta Ibunya untuk membelikan mereka mainan baru.
            “Aku merindukanmu.”
            Rindu adalah kata kuncinya.


JUSTIN

            Aku juga merindukan gadis yang berada di sampingku ini. Sebelumnya, aku tidak pernah merindukan seseorang berlebihan seperti ini. Tidak ada yang dapat kulakukan ketika aku harus terbang ke luar negeri dan kehilangan ponselku di bandara. Terlebih lagi aku tidak dapat menghubungi Faith karena aku tidak hafal dengan nomor ponselnya. Tidak ada alat komunikasi yang dapat kupakai untuk menghubungi Faith. Aku memang lama di luar negeri untuk mengurusi perusahaanku dengan perusahaan yang lain. Ini adalah bisnis.
            “Kapan terakhir kau menghubungiku?” Tanyaku.
            “Sehari setelah kau pergi. Dan hari kedua aku sudah tidak dapat menghubungimu lagi. Kurasa orang yang mengambil ponselmu telah menjualnya kepada orang lain. Entahlah, aku sudah tidak peduli lagi,” ucapnya melipat kedua tangannya yang ia tempatkan di depan dada. Aku mendesah, entah apa yang harus kujelaskan padanya tapi segalanya sudah kuberitahu padanya. Kuharap ia mengerti keadaanku.
            “Aku mencintaimu,” godaku. Oh, astaga, ternyata reaksi yang ia berikan padaku bukan apa yang kuharapkan. Kupikir ia akan sama seperti gadis lain. Ini diluar dugaan, ia terkesiap dengan ucapanku.
            “Aku tidak percaya,” ucapnya mengangkat kedua kakinya ke atas kursi mobil lalu memeluknya dan memalingkan kepalanya dariku. Aku tertawa.

***

FAITH

            “Apa sekarang ini sudah membuktikan aku mencintaimu?” Tanya Justin yang berada di atas tempat tidurku, menindih tubuhku. Tidak, aku tidak ingin berhubungan badan dengannya. Aku terlihat seperti murahan. Bukankah sekarang aku adalah kekasihnya? Bukan seorang pelacur? Kudorong tubuhnya dari atas tubuhku sehingga sekarang ia berada di sebelah tubuhku. Akhirnya, akhirnya ia berada di atas tempat tidurku. Di sebelahku. Dan kapan pun kumau, aku bisa memeluknya. Ketika aku memeluknya segala masalah yang merayap tubuhku rasanya hilang. Kehangatan yang ia berikan mengalahkan dinginya es di Antartika. Dan kenyamanannya melebihi kasur ternyaman di dunia. 
            “Aku hanya sangat merindukanmu. Maaf soal tamparan itu. Aku hanya …kesal,” ucapku mendesah. Kupeluk tubuhnya dengan tanganku, kutindih salah satu kakinya dengan kaki kananku.
            “Tidak apa-apa, tidak sakit,” ucapnya. “Apa selama aku tidak ada kau mendatangi bajingan yang masih berada di rumah sakit itu?”
            “Mengapa kau tiba-tiba membicarakan tentangnya?” Tanyaku, bingung. Justin mengedikkan bahunya.
            “Aku tidak tahu, mungkin aku takut kehilanganmu. Well, aku tidak ingin kau diambil olehnya. Aku cemburu,” ucapnya mengelus lenganku yang telanjang. Senyumku mengembang ketika ia bilang bahwa ia cemburu. Tidak mungkin seorang Justin Lexise cemburu! Tapi aku senang.
            “Benarkah?” Well, aku belum yakin.
            “Ya, tidak melihatmu saja selama satu minggu sudah membuatku seperti kehilangan nafas. Apalagi melihatmu bersama dengan lelaki lain? Aku sudah pasti membunuh lelaki yang berani-beraninya mengambilmu dariku. Tapi selama kau bersamaku, kau tidak akan pergi kemana-mana,”
            “Aku suka berada dalam pelukanmu,” bisikku memainkan kemeja yang ia pakai.
            “Ya? Mengapa?”
            “Terasa sangat menyenangkan berada dalam pelukan seorang yang selalu memiliki ekspresi dingin dan tatapan tajam namun ternyata memiliki pelukan ternyaman di dunia… bagiku,” ucapku. Dapat kudengar ia tersenyum di atas sana. Kepalaku berpindah dari samping tubuhnya menjadi di atas dadanya. Dari sini aku dapat melihat sesuatu yang menonjol di bawah sana. Ia menginginkanku. Tapi biarkan ini menjadi hukuman baginya. Diam-diam aku tersenyum karena melihat tersiksa seperti ini. Well, tidak ada yang lebih menyenangkan ketika kau menggoda Tn. Justin Lexise.
            “Well, apa yang bisa kukatakan Faith? Orang yang paling sering kupeluk sekarang adalah kau. Tapi kau juga sepertinya mudah untuk diremukkan hanya dengan satu remasan,” ucapnya terkekeh. Aku mendesah. Justin tidak tahu apa yang akan ia hadapi sebentar lagi.
            “Apa kau menginginkanku sekarang?” Tanyaku menggodanya. Jari-jariku perlahan-lahan membuka satu per satu kancing kemejanya. Ketika perutnya yang keras itu benar-benar terbuka untukku, aku menyentuhnya hingga ia mengerang.
            “For godsake! Apa yang kaulakukan Faith?” Erang Justin meremas tanganku.
            “Hanya menyentuh perutmu yang keras. Lihatlah kotak-kotak ini. Keras. Seksi. Oh, ya ampun, aku ingin sekali menjilatnya,” ucapku benar-benar menggodanya. Nafas Justin tercekat. Ia berusaha untuk mengabaikan sentuhan-sentuhan jariku.
            “Mengapa kau melakukan itu? Fuck, aku ingin menyetubuhimu sekarang!” Ujarnya gemas padaku. Namun aku menahan kepalaku di dadanya.
            “Apa kau menginginkanku sekarang, Justin?”
            “Ya, tentu saja!” Serunya gemas. Aku tertawa. “Apa yang kaulakukan? Kupikir kau tidak ingin bersetubuh denganku. Jika ini adalah balasan yang kuterima karena telah meninggalkanmu selama seminggu, aku menyerah. Aku minta maaf,”
            “Ya, ini hukumanmu,” tanganku mulai menyelinap masuk ke dalam celananya.
            “Tidak, tidak di sana,” secepat mungkin Justin melarangku dan menarik tanganku dari dalam celananya. Kemudian ia membalikkan tubuhku hingga aku berada di bawahnya sekarang. Ia melayang di atas tubuhku dengan nafas yang berat serta tak beraturan. Kemeja yang sudah terbuka di bagian bawahnya itu membuat perutnya terlihat. Dengan kasar aku menarik paksa kemeja Justin hingga kancing-kancing yang tersisa itu lepas dari kemejanya. Salah satunya mengenai pipiku.
            “Apa yang kauinginkan?” Tanya Justin seperti lelah menghadapiku.
            “Aku tahu apa yang kuinginkan dan ingin kulakukan,”
            “Apa? Apa itu? Biar kupenuhi sebisaku,”
            “Kiss me.”

***

JUSTIN

            Ia mengajakku memakan makanan yang dijual di pinggir jalan. Hotdog murahan yang menurutnya lezat. Aku tidak memakan makanan cepat saji. Tapi terserah dia. Aku bersandar di pagar sebuah kampus. Rambutnya terikat satu, ia terlihat seperti anak-anak. Aku senang melihatnya bersemangat seperti ini. Tidak seperti ia bertemu denganku tadi siang. Tatapannya seperti tak percaya akan kedatanganku. Well, tidak apa-apa ketika ia menamparku, aku pantas mendapatkannya. Setidaknya sekarang aku bisa melihatnya tersenyum kembali. Bersemangat.
            Ia sedang mengantri. Di belakangnya adalah seorang lelaki tua yang memakai jaket serta topi hitam. Dari tadi aku memerhatikannya. Ia menatap bokong Faith sekarang. Sekali ia menyentuh Faith, ia mati di sana. Kulihat lelaki tua itu melihat ke sekelilingnya, kecuali padaku. Oh, dia cukup bodoh untuk menyentuh Faith. Tangannya yang besar itu mulai menyentuh bokong Faith, tanpa buang-buang waktu, dalam hitungan detik aku telah berada di hadapannya. Aku menarik topi jaketnya, ketika ia berbalik padaku, aku langsung meninju wajahnya.
            “Oh, Tuhan, Justin!” Jerit Faith. Tapi aku mengabaikannya. Lelaki tua itu masih berada di tanganku, di bawahku. Aku menarik wajahnya lalu membenturkan kepala tua itu ke atas jalanan hingga berdarah-darah.
            “Tidak, berhenti! Kau bisa membunuhnya!” Teriak Faith menarik kedua tanganku hingga aku benar-benar menjauh dari lelaki tua yang menyentuh kepalanya. Kupikir ia sudah tidak bernafas lagi! Sialan, aku ingin sekali membunuhnya. Bisa-bisanya ia menyentuh kekasihku. Kurasa pipiku pucat, itu sudah biasa. Tapi ini menjadi salah satu kesenangan. Aku menyeringai.
            “Dia gila! Dia gila!” Teriak lelaki tua itu bangkit dari jalanan dengan tangan yang menyentuh kepalanya yang sudah berlumuran darah itu. Ia berlari berusaha untuk lenyap dari pandanganku. Aku meludah.
            “Dia menyentuhmu di bokong. Apa kau pikir aku akan dengan senang hati menerimanya?”
            “Kau harus memakai akal sehatmu, Justin! Tuhan, aku tidak tahu apa yang ada dipikiranmu tadi. Itu gila. Kita pulang,”
            “Aku sudah bilang padamu, tidak ada orang lain yang dapat menyentuhmu. Apalagi sesuatu yang menjadi milikku. Tidak boleh ada lelaki yang boleh melecehkanmu. Aku lihat lelaki tua itu menyeringai ketika menyentuh bokongmu. Sial, aku masih ingat raut wajahnya yang seperti Iblis itu,” ucapku dengan suara yang kecil. Ia terus menarik tanganku untuk menjauh dari tempat kejadian. Kami tidak pulang dengan mobilku, kami jalan kaki.
            “Tapi tidak perlu dengan cara memukul. Kau membicarakan mahluk yang berada dalam tubuhmu,”
            “Siapa?”
            “Iblis,”
            “Mengapa?”

            “Karena tiap kali aku melihatmu memukul seseorang, setelah kau puas memukulnya, hal pertama yang kulihat adalah kau menyeringai. Ada apa dengan itu?” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar