Senin, 16 Desember 2013

Right Mistakes Bab 11

CHAPTER ELEVEN

JUSTIN

            Bajingan itu masih beruntung karena Faith menghentikanku untuk menghabisinya. Dia dibawa ke rumah sakit setelah petugas keamana datang ke ruang kerjanya. Kuharap ia mengembuskan nafas terakhir setelah ini. Kekhawatiranku semakin memuncak ketika aku mendapati luka-luka di pergelangan tangan Faith. Tapi Faith memberitahu padaku bahwa ia baik-baik saja. Mungkin setelah ini ia tidak akan bekerja lagi di hotel sialan itu. Atasan macam apa yang ingin meniduri bawahannya sendiri? Ia harus mencari gadis lain yang masih bisa ia tiduri dan murahan. Seumur hidupku aku tidak pernah menghina submisifku dengan panggilan pelacur atau semacamnya, mereka bukanlah seorang pelacur. Mereka hanya memiliki hubungan denganku yang dimana mereka harus menyenangkanku, itu saja. Aku tidak membayar mereka, tentu, tapi aku bertanggungjawab atas kehidupan mereka sehari-hari. Dan bajingan itu memanggil kekasih baruku sebagai seorang pelacur? Mengingat cerita yang dikatakan Faith tentang kejadian barusan padaku benar-benar membuatku muak terhadap bajingan sialan itu. Sudah kuperingati padanya untuk menjauhi Faith, tapi si brengsek itu masih bersikeras untuk mendapatkan kekasihku. Dari tatapan matanya sudah sangat jelas ia ingin Faith berada di atas tempat tidurnya dan berakhir hamil tanpa tanggungjawab. Tidak, Ibu Faith telah meninggal, aku sudah berjanji padanya untuk bertanggungjawab atas kehidupan Faith. Perjanjian adalah perjanjian, hanya jangka waktunya saja yang harus kuulur lebih lama lagi.
            Mozes sedang membuatkanku secangkir kopi di dapurnya. Hari ini tampaknya ia tidak bekerja. Rambutnya tidak rapi seperti biasa dan ia selalu memakai pakaian yang sama tiap kali aku bertemu dengannya. Mengapa ia sangat suka memakai kemeja kotak-kotak yang tidak memakai lengan itu? Mungkin sebenarnya kemeja itu lengan panjang namun ia memotongnya. Adik dan kakak sama-sama tidak memiliki selera berpakaian yang bagus. Aku harus memperbaiki Faith agar ia terlihat lebih hidup. Faith berada di kamar mandi untuk membersihkan dirinya setelah kami juga pergi ke rumah sakit untuk memeriksa pergelangan tangannya. Mozes muncul dengan dua cangkir yang berada di tangannya, salah satunya ia taruh di atas meja ruang tamu lalu ia terduduk di hadapanku.
            “Jadi, bagaimana hubunganmu dengan adikku?” Tanya Mozes, ingin tahu. Ia menyeruput kopi panas yang baru saja ia buat itu dengan tenang. Kuperhatikan dia baik-baik, bagaimana pun juga aku harus menghargai Mozes sebagai kakak Faith.
            “Semuanya berjalan dengan baik, seperti yang kaulihat sendiri. Dia sangat baik-baik saja jika ia terus bersamaku. Memang apa yang kaukhawatirkan?” Mozes menggeser cara duduknya lalu ia berdeham. Aku harus jujur, jika aku tidak menyukai seseorang aku terpaksa harus membunuhnya. Atau paling tidak aku menyakitinya. Dan Mozes. Mozes bertingkah seperti memancingku ingin menyayat-sayat tubuhnya dengan pisau dapur. Namun aku teringat Faith yang berada di dalam kamar, dan tidak mungkin juga aku dapat membunuh kakak kekasihku sendiri. Itu akan membuat Faith membenciku, tentunya. Tuhan, aku sangat ingin membunuhnya.
            “Tidak, aku hanya …kau tahulah, dia satu-satunya keluargaku yang ada di dunia ini. Jika kau menyakitinya, aku tidak tahu, teman. Aku terpaksa harus menjauhkanmu dari Faith. Ia termasuk gadis yang mudah tersakiti dan sangat peka. Jadi, jangan permainkan hati adik kecilku,” ucapnya mengancamku. Aku terkekeh mendengar ucapannya, lucu. Lucu karena itu tidak mungkin terjadi. Aku mungkin tidak pernah mempermainkan hati wanita, tapi jika aku tidak menginginkannya lagi, terpaksa aku harus menjauhkan dirinya dariku meski wanita itu terus bersungut-sungut padaku untuk mencoba hubungan kami kembali. Tapi tetap, aku tidak ingin mengambil resiko untuk menjadikannya sebagai korban selanjutnya.
            “Tentu,” ucapku mengangguk satu kali. Tepat saat aku mengangguk, Faith keluar dari kamarnya dengan kemeja kotak-kotak berwarna ungu dan celana jins pendek selutut. Baru pertama kali aku melihatnya memakai celana pendek selutut. Well, jujur saja, ia sangat cocok memakai pakaian seperti itu. Ia bukan seperti wanita berumur 23 tahun lagi, ia terlihat lebih muda.
            “Hei, Faith. Bagaimana keadaan tanganmu?” Tanya Mozes menganggukkan kepalanya. Faith mengelus-elus tangannya yang memiliki tanda biru keunguan di sekitar pergelangan tangan. Kemudian Faith dengan manjanya terduduk di atas salah satu ujung lutut Mozes dengan mulut yang cemberut. Melihat wajahnya seperti itu, ia tampak sangat menggemaskan. Bahkan hanya dengan melakukan seperti itu membuatku ingin menyentuh dirinya kembali. Jika orang awam mendengar ucapanku seperti itu, pasti ia memandangnya itu adalah pemikiran yang cukup gila.
            “Hanya nyeri di bagian pergelangan tanganku,” gumamnya menatapi kedua tangannya yang memiliki garis ungu kebiru-biruan melingkar di sana. “Justin, sepertinya aku tidak bisa pergi ke rumahmu malam ini. Aku harus menemani Mozes di rumah. Lagipula, kau pasti memiliki urusan yang lebih penting dibanding aku bukan?” Tanya Faith sambil menyentuh garis ungu kebiruan itu dengan pelan. Kuanggukkan kepalaku. Ya, tentu. Faith tidak perlu datang ke rumahku, aku memiliki urusan bersama Carla yang tentunya Faith belum boleh tahu tentang Carla. Akhir-akhir ini Carla tampaknya sangat perhatian padaku, tidak seperti dulu ia menginginkan dr. Carlisle. Namun ketika Faith masuk ke dalam kehidupanku dalam kurun waktu 2 minggu, Carla terus menghubungiku untuk mengetahui apa yang kulakukan meski aku sudah memberitahu padanya untuk tidak menggangguku lagi. Pada akhirnyapun aku tidak dapat mengabaikannya karena dirinya yang memang serba bisa, ia sangat berguna bagiku. Mungkin memang bukan sebagai submisif, setidaknya, ia bisa membantuku di rumah.
            “Tentu,” balasku beberapa menit setelahnya. Aku bangkit dari sofa tanpa menyentuh kopi yang dibuatkan oleh Mozes untukku, aku takkan menyentuhnya. “Aku akan menghubungimu malam ini. Jika kau membutuhkan sesuatu, hubungi aku. Kutemui kau hari Jumat?”
            “Ya, akan kutunggu,” ucapnya senang. Dua hari ke depan. Apa dua hari ke depan aku bisa bertahan tanpa melihat wajahnya dan tidak menyentuhnya? Dia sepertinya terbuat dari bahan adiktif yang membuatku terus ketagihan. Kakiku melangkah melewati sofa-sofa, Faith masih menatapku dengan bibir bawah yang ia hisap. Ia sepertinya sedang menahan tawa, apa yang ia tertawakan? Setelah berhasil melewati godaan itu, akhirnya aku mencapai pintu. Kubuka pintu apartemennya lalu keluar. Jika boleh, aku akan membelikannya sebuah kondominium agar ia memiliki rumah yang lebih nyaman. Yang kukhawatirkan sekarang adalah pekerjaannya. Jika ia dipecat dari hotel itu, apa ia mau bekerja di salah satu perusahaanku? Atau mungkin rumah sakit? Itupun jika ia memiliki keahlian dalam bidang kesehatan. Restoran? Tidak. Tidak ada restoranku di sekitar Atlanta. Mungkin aku akan meminta saran dari Carla. Ketika jariku baru saja menyentuh tombol lift, Faith memanggilku.
            “Justin!” Teriaknya yang membuatku membalikkan tubuhku ke belakang. Ia berlari kemudian memelukku seerat mungkin. “Terima kasih telah menyelamatkanku. Mungkin jika kau tidak datang menyelamatkanku, aku sudah berada di dalam kantong sampah dalam keadaan tak bernyawa,” ucapnya yang membuat seluruh tubuhku menegang. Segala imajinasi di otakku mulai membayangkan hal-hal yang tidak ingin kulakukan lagi. Sudah lama aku tidak menyentuh tubuh seseorang untuk kujadikan relawan –atau korban—dalam hobiku.
            “Ada apa?” Tanyanya melepaskan pelukannya, dari bawah ia menatapku dengan tatapan seperti anak kecil yang bertanya pada Ibunya apa ia bisa menaiki roller coaster?
            “Tidak, ya, baik-baik di rumahmu. Semoga kau dipecat agar kau bisa bekerja di salah satu perusahaanku,” ucapku kemudian mengecup keningnya. Ia tidak menjawabku, hanya dengusan yang kudengar lalu ia memukul perutku yang keras. Faith sangat menggemaskan ketika ia kesal. Pintu lift terbuka dan aku segera masuk.
            “Hati-hati di jalan. Aku akan merindukanmu!” Serunya ketika aku sudah masuk ke dalam lift. Ia melambai-lambaikan tangannya padaku lalu terakhir hal yang kulihat dari wajahnya adalah setitik air mata yang menetes. Namun pintu lift telah tertutup.

***

FAITH

            Ketika melihatnya akan pergi dariku, sebagian jiwaku sedang pergi entah kemana. Perasaan takut mulai menyelimutiku. Ada perasaan yang tidak dapat kujabarkan dengan kata-kata, mungkin yang paling mendekati adalah takut. Takut akan kehilangannya. Rasanya aku cukup bodoh telah berpacaran dengan seorang lelaki seperti Justin. Maksudku, sudah tiga kali aku kehilangan orang yang kucintai. Kedua orangtuaku dan Luke. Bagaimana jika Justin adalah orang ketiga yang akan meninggalkanku? Saat bibirnya menyentuh keningku, rasa damai memeluk tubuhku hingga rasanya aku tak rela ia pergi dariku. Dua hari lagi aku akan bertemu dengannya, apa aku bisa bertahan? Oh, aku pasti akan merindukan suaranya yang merdu itu. Wajahnya bak dewa Yunani.
            Aku merangkak naik ke atas tempat tidur lalu menelentangkan tubuhku di atasnya. Kuhembus nafasku sambil memejamkan mata. Bersyukur dengan apa yang kudapatkan sampai saat ini. Meski aku akan kehilangan pekerjaanku dalam waktu 1 hari. Ha, diberkatilah Luciana yang telah menyumpahiku. Permintaannya terkabulkan. Selamat Luciana, tidak akan ada orang yang risih akan riasan wajahmu yang melebihi 2 inchi itu. Aku tengkurap, menadahkan daguku ke atas bantal dengan kedua tanganku yang melingkar di hadapanku. Teringat kembali kejadian beberapa jam yang lalu. Tn. Alex hampir saja memperkosaku dan ksatria baja hitam datang dengan kegagahan yang ia miliki. Garis yang melingkar di sekitar tanganku terasa sangat perih jika ditekan, tentu saja. Mungkin garis-garis ini akan lama sekali menghilang. Dan, Tuhan, besok aku pasti sudah tidak akan bekerja lagi di hotel. Pintu kamarku terketuk, aku menyahut, refleks.
            “Hei,” suara Mozes terdengar ketika pintu kamarku terbuka. Aku memutar kepalaku, ia sudah menutup pintu dan duduk di atas ranjangku. “Bagaimana perasaanmu?” Tanyanya.
            “Perasaan apa?” Tanyaku, sedikit bingung dengan apa yang ia bicarakan.
            “Perasaanmu terhadap Tn. Justin,” ucapnya. Ketika ia menyebut nama keramat itu, sontak aku tersenyum malu-malu. Tanpa kusadar, ternyata pipiku memerah. Kuputar tubuhku hingga telentang di hadapannya dengan mata yang menatap langit-langit kamar. Aku pernah merasakan perasaan ini sama seperti ketika aku menyukai Luke. Aku jatuh cinta padanya dalam waktu yang sangat singkat, namun aku tidak sanggup untuk mengatakannya. Dia tidak pernah menyatakan cinta padaku. Mungkin ia jarang berpacaran.
            “Apa kau bahagia bersamanya?” Tanya Mozes yang membuatku menaikkan salah satu alisku. Mengapa nada bicaranya tiba-tiba saja berubah seperti kami sedang syuting sebuah film? Ia terlalu mendramatisir segalanya.
            “Ya, tentu saja. Mengapa kau bertanya seperti itu?”
            “Maksudku, kautahulah, hanya kau yang kumiliki satu-satunya di dunia. Kau adikku satu-satunya, aku tidak ingin kehilanganmu sama seperti aku kehilangan orangtua kita. Selama kau bahagia bersamanya, aku akan membiarkanmu dengan Tn. Justin. Jika kau disakiti olehnya, beritahu aku. Kau termasuk gadis yang susah sekali ditebak perasaannya karena …demi Tuhan, kau seperi Bella di Twilight! Tidak pernah berekspresi, bedanya kau sedikit girang,” ujarnya melantur. Aku tertawa, kupukul lengannya dengan pelan. Ia ikut tertawa.
            “Apa yang kautakutkan? Aku sudah dewasa,” ucapku, santai.
            “Kau belum cukup dewasa, Faith. Mungkin umurmu, memang sudah mencukupi umur orang dewasa. Hanya saja, kau terlalu naïf. Kau harus berhati-hati memutuskan sesuatu,” ucap Mozes mengelus rambutku. “Kuharap Lexise itu tidak akan menyakitimu sama seperti yang Luke pernah lakukan,”
            “Terima kasih, Mozes. Kau memang kakakku yang paling tampan, terbaik, dan tidak ada duanya di dunia. Aku mencintaimu,” ucapku memeluk lengannya. “Tidurlah di sampingku karena dua hari ke depan aku akan pergi ke rumah Tn. Justin,”
            “Well, aku tidak bisa. Aku harus pergi keluar untuk bertemu dengan teman kencanku,”
            Aku tercekat dan segera terduduk. “Tidak mungkin!” Kupukul bahunya. Ia tertawa-tawa menyentuh bahunya yang baru saja kupukul itu. Maksudku, Mozes memiliki teman kencan wanita? Wanita yang benar-benar ia sukai? Karena selama ini wanita-wanita yang dekat dengannya tidak pernah ia sukai, maksudku, mengajak mereka kencan.
            “Aku serius, dia bernama Jessie,”
            “Pasti dia pirang!” Seruku, menebak.
            “Ya, memang dia gadis pirang. Omong-omong, doakan aku agar aku beruntung,” ujarnya. “Sekarang, beristirahatlah. Besok aku akan membelikanmu koran supaya kau bisa mencari pekerjaan baru.” Ucapnya bangkit dari tempat tidurku. Sesegera mungkin aku melemparkan bantal ke arahnya.

***

            “Jadi kau dipecat? Mengapa kau tidak menghubungiku dan tidak mengangkat teleponku?” Tanya Justin ketika kami sedang berada dalam perjalanan menuju rumahnya. Ya, aku dipecat sejak kemarin. Aku bingung harus bekerja dimana, tapi Lennion sudah memberikan saran padaku untuk bekerja di salah satu restoran. Ya, menjadi seorang pelayan. Bagaimana mungkin? Katanya aku ramah. Atau mungkin seorang yang menunggu di belakang meja kasir. Aku mendesah, menganggukkan kepalaku. Dan aku memang tidak mengangkat telepon Justin karena aku takut menangis jika ia mematikan teleponnya. Maksudku, aku hanya tidak ingin merindukannya begitu berlebihan.
            “Omong-omong, ini untukmu,” ucapnya mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Sebuah kalung ringan sederhana namun mahal itu muncul dari genggaman tangannya. “Kalung untukmu,” sangat cantik. Aku menyambut kalung itu dengan senyum lalu kuraih dari tangannya.
            “Terima kasih, sangat sederhana. Saran dari siapa?” Tanyaku menebak. Tidak mungkin seorang Justin Lexise tahu tentang kalung seperti ini bukan? Pasti ia meminta saran pada kakeknya atau paling tidak pada salah seorang teman dekatnya. Kupakai kalungku sendiri tanpa meminta bantuan Justin seperti gadis-gadis lain yang ingin dipakakan kalungnya oleh kekasihnya. Romantis bukanlah seleraku. Justin tertawa.
            “Ternyata kau pintar juga,” komentarnya. “Carla,” ucap Justin serius. Tubuhku menegang ketika ia menyebut nama Carla. Bukankah Carla hanyalah seorang suster di rumah sakitnya? Maksudku, Justin tidak mungkin mencaritahu seluruh nama susternya. Pasti ada orang yang mengurus hal itu, itu pasti bukan urusannya. Mengapa ia bisa mengenal Carla? Carla memang mengenal Justin, seluruh suster mengenal Justin. Tapi, berbicara? Aku tidak pernah melihat Carla berbicara dengan Justin sebelumnya. Ada hubungan apa Justin dengan Carla? Ada sedikit rasa cemburu ketika nama Carla. Oke, ini kedengaran seperti anak-anak, tapi serius aku cemburu mendengar nama Carla.
            “Pantas kalungnya indah,” ucapku sesingkat mungkin. “Hubungan apa yang kaumiliki dengan Carla?” Tanyaku, penasaran. Justin berdeham, ia sepertinya tidak ingin menjawab pertanyaan ini. Oke, ini semakin membuatku curiga. Tapi dengan segera kutepiskan pikiran negatif dari otakku, mungkin mereka hanya sekedar teman. Teman dekat tapi mereka tidak pernah menceritakannya padaku. Lagipula, aku juga baru mengenal Justin dua minggu yang lalu. Jadi tidak mungkin Justin akan menyerangku dengan kisah-kisah hidupnya.
            “Hanya sekedar teman,” ucapnya dingin.
            “Apa dia adalah salah satu mantan submisifmu?” Ternyata aku tidak dapat menghentikan pikiran negatifku yang melayang di otakku dan semuanya tersembur melalui mulutku yang tak dapat kutahan juga. Memang, aku sangat cerewet dan tidak dapat menahan cara bicaraku. Justin menganggukkan kepalanya. Sudah kuduga, tapi aku tidak mengatakan apa-apa. Lagipula mereka sudah tidak memiliki hubungan lebih dari seorang teman. Justin juga sudah menjadi kekasihku dan Carla adalah salah seorang sahabatku, jadi apa yang sedang kutakutkan? Tidak ada. Sekarang aku mengerti apa yang Carla katakan tentang Justin di rumah sakit. Jika ia sudah tertarik pada seorang gadis, tidak akan ada yang bisa menghentikannya. Dia akan melakukan apa pun. Jadi, kau beruntung telah membuatnya tertarik padamu untuk yang pertemuan pertama. Dan ia adalah salah seorang yang pernah membuat Justin tertarik. Sungguh keren.
            “Tapi aku tidak memiliki hubungan apa pun dengannya sekarang. Kami hanya sekedar teman jadi tidak ada yang perlu kautakutkan,”
            “Aku tahu,” bisikku menyandarkan tubuhku ke kursi. “Apa ada kemungkinan kalian akan kembali bersama?” Tanyaku entah kenapa aku bisa begitu bodoh. Justin terdiam sejenak dan aku tidak meliriknya sehingga aku tidak tahu bagaimana ekspresi wajahnya.
            “Aku tidak tahu. Tapi aku sudah bilang padamu untuk mencoba melakukan hubungan ini lagi,”
            “Siapa kekasih terakhirmu sebelum aku?” Kembali aku bertanya, oke, pasti ini akan membuatnya merasa sangat kesal. Kulirik Justin yang sekarang rahangnya telah menegang.
            “Carla. Bisakah kau diam dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak mungkin akan terjadi?” Ia membentakku untuk yang pertama kalinya. Hatiku seakan-akan tertusuk dengan bentakannya, sudah kubilang aku bukanlah seorang gadis yang tahan dengan pria yang mudah membentak. Sebisa mungkin aku menahan tangisan, tapi air mata itu malah mengalir tanpa diminta. Namun segera mungkin kubalikkan tubuhku, memunggungi Justin.
            “Aku hanya akan …tidur sebentar,” bisikku menyeka hidungku. Semuanya akan baik-baik saja Faith, ini hanyalah masalah kedewasaanmu! Aku terlelap dalam tidur.

            “Kupikir kita akan…” ucapanku terhenti saat Justin membuka pintu mobilnya dan keluar. Mengapa kita berhenti di sebuah rumah berwarna putih seperti cat rumah sakit? Aku curiga …oh, aku baru ingat, aku akan dipakai spiral agar aku tidak hamil. Baiklah, tidak apa-apa, aku bisa melakukannya. Justin membukakan pintu mobil, tanpa tanganku yang terjulur ia malah meraihnya agar aku cepat keluar dari mobil. Sejak percakapan tentang Carla berakhir, ia terlihat sangat kesal. Apa masalahnya? Aku sudah tidak begitu cemburu setelah aku mengembali beberapa waktu untuk beristirahat. Ia mengunci mobilnya lalu menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah sederhana ini.
            “Aku ingin kau bertemu dengan dokter pribadimu yang baru. Dia sangatlah baik, aku pernah menjadi salah satu pasiennya. Tapi ia bukan dokter pribadiku karena ia seorang wanita. Jadi, kita akan memasang spiral dalam tubuhmu, oke?” Tanyanya sebelum kami benar-benar masuk ke dalam rumah itu. Aku hanya mengangguk, mengerti. Apa pun yang ia lakukan padaku pasti untuk kebaikanku. Kemudian kami masuk. Aroma obat-obatan menyerang hidungku. Tenang. Tidak bersuara. Hanya suara AC yang menjadi backsound dalam rumah praktek dokter yang sederhana ini.
            “Justin Lexise,” ucap Justin pada salah satu suster.
            “Ya, Anda boleh masuk sekarang,” ucap suster itu ramah pada Justin. Kembali Justin menarik tanganku untuk masuk ke salah satu pintu. Saat kami masuk ke ruangan itu, yang kutemukan tentu adalah peralatan kedokteran. Tapi kurasa ini khusus untuk Ibu-ibu hamil atau semacamnya. Cukup lucu jika Justin pernah diperiksa di kamar ini. Seorang Ibu setengah baya telah berada di balik meja kerjanya dengan kacamata yang menggantung di ujung hidungnya.
            “Hei, Justin,” sapa dokter itu sangat ramah. “Jadi, ini submisifmu untuk yang kesekian kalinya?”
            “Tidak, dia kekasihku,” ucap Justin segera membenarkan ucapan dokter itu. “Kau tahu apa yang akan kaulakukan padanya, jadi segeralah kau lakukan untukku. Sebentar lagi aku harus pulang,” ucap Justin tergesa-gesa. Apa yang sedang ia khawatirkan? Dokter setengah baya itu segera bangkit dari kursinya lalu mengajakku ke tempat tidur pasien.
            “Aku dr. Young. Senang bertemu denganmu, Faith,” ucapnya menyebut namaku tanpa kuperkenalkan diriku padanya. Kuanggukkan kepalaku lalu aku naik ke atas tempat tidur dan ia mulai menutupi kami dengan tirai.

            Prosesnya sangat singkat. Spiral itu telah berada dalam tubuhku. Dr. Young sudah memastikan bahwa dalam jangka waktu yang lama, aku tidak akan hamil. Kembali lagi aku dan Justin berada dalam mobil, terdiam dalam pikiran kami masing-masing. Entah apa yang sedang Justin pikirkan, sejak dari rumah praktek tadi ia tidak berbicara padaku. Tanganku secara tak sadar menyentuh kalung yang ia berikan. Seumur hidupku, aku tidak pernah mendapatkan kalung seindah ini. Aku menerima hadiah ini dari Justin karena sangat terlihat sederhan. Orang-orang tidak akan berpikir bahwa barang ini mahal. Well, aku tahu kalung ini mahal karena rantainya yang tidak sama seperti rantai kalung yang lain. Liontin berbentuk daun ini cukup membuatku terkesan. Saat pria-pria lain membelikan kekasihnya yang berbentuk hati, Justin membelikanku berbentuk daun.
            “Terima kasih atas kalungnya. Sangat berarti,” ucapku mencairkan suasana.
            “Kau cantik memakai kalung itu,” komentarnya tanpa menatapku. Sedetik kemudian aku bisa melihat senyum di wajahnya. Bagaimana bisa ia melakukan itu? Maksudku, sangat keren. Pipiku memerah tiap kali ia memujiku. “Kau terlihat sangat sederhana. Jadi aku tidak ingin membelikan kalung yang meriah padamu. Well, ternyata saran dari Carla memang bagus. Dia mengenalmu sangat baik.”

***

            “Apa kau merindukanku?” Tanya Justin memutar tubuhku ketika kami sedang menari di atas lantai keramik yang memiliki ukiran yang begitu indah. Kaki dan gerakannya yang lincah membuatku sesekali tersandung. Ia sedang mengajariku bagaimana berdansa. Di tengah-tengah ruang kosong yang besar –yang sebagiannya terbuat dari kaca—diiringi lagu lamban, kami berdansa penuh ketenangan. Justin memegang pinggangku lalu meremasnya. “Jawab aku Faith.” Nafasnya memburu. Ia menyentuhkan keningnya pada keningku lalu menatap mataku dalam-dalam. Tajam. Sangat dalam hingga aku tidak dapat menemukan dasarnya. Ia sangat menggoda. Aku menginginkannya berada dalam tubuhku sekarang. Ia sangat menggairahkan. Nafas kami saling bersahut-sahutan, nafas beratnya tampak sangat membuktikan bahwa ia menginginkanku sekarang. Tangannya yang memegang tanganku, ia remas dengan lembut. Keringat kami menyatu dalam gairah. Ruangan ini seketika terasa panas saat AC sedang menyala.
            “Ya,” balasku menatap matanya dalam-dalam. Justin memakaikanku gaun hitam yang sangat pendek –bahkan hanya menutupi bokongku—tanpa tali. Dan ia memintaku memakai sepatu tinggi berwarna hitam yang membuatku semakin sulit menggerakkan kakiku. Ia menggenggam tanganku yang lain lalu mengangkatnya ke atas. Kami memutar mengelilingi ruangan sampai pada akhirnya ia mendorong tubuhku ke salah satu tembok –hanya ada dua tembok di ruangan ini –lalu menghimpit tubuhku dengan tubuhnya.
            “Ya?”
            “Ya.” Ucapku yakin.
            “Mengapa kau tidak menciumku?”
            “Aku ingin kau yang melakukannya,” bisikku.
            “Kau mendapatkannya, gadis nakal,” ucap Justin penuh dengan janji. Nafasnya memburu, aku memejamkan mata ketika bibirnya menyentuh bibirku. Ia mengangkat rok pendek yang hanya menutupi bokongku lalu meremas-remas bokongku dengan gemas. Satu tangannya dengan sigap mengangkat kaki kananku ke pinggangnya sehingga miliknya yang besar itu dari balik celananya telah menyentuh kewanitaanku yang hanya tertutupi oleh pakaian dalam. Aku mendesah. Terasa sangat basah di bawah sana, dan aku menginginkannya.
            “Apa kau sudah siap untukku, Faith?” Tanyanya ingin memastikan. Kuanggukkan kepalaku, pasti. Aku sudah sangat terangsang sejak kami berdansa. Tatapannya membuatku bertekuk lutut. Satu tangannya menarik retsleting celananya lalu mengeluarkan miliknya yang besar itu dari kandangnya. Aku terkesiap ketika menatapnya, tidak mungkin itu akan masuk ke dalam tubuhku! Aku menjerit. Ia akhirnya mengangkat kakiku yang lain hingga sekarang aku memeluk pinggangnya. Miliknya menyentuh kewanitaanku yang sudah licin. Aku mendesah. Kedua tanganku ia angkat ke atas dan ia tahan dengan satu tangannya, sedangkan tangannya yang lain memegang pinggangku. Dengan pelan, ia mulai memasukkan miliknya ke dalam milikku. “Ooh,” desahku memejamkan.
            “Kau sangat seksi, Faith,” pujinya yang membuatku semakin melolong. Miliknya terus menerobos masuk ke dalam tubuhku hingga menyentuh rahimku. Ah! Bibirnya mulai melumat mulutku kembali dan Justin mulai menggerakkan tubuhnya. Aku mendesah, mendesah, dan mendesah. Hingga bibir kami terpisah, aku menumpukan daguku ke atas bahunya. “Ya, benar, seperti itu sayang. Jatuhkan tubuhku padaku, ouh! Demi Tuhan apa yang kaulakukan padaku!” Erangnya di telingaku, tak tahan. Kudengar deru nafasnya yang seksi di telinga, membuatku semakin gila dengan apa yang ia lakukan padaku. Pakaian seksi, sepatu yang masih kupakai, kaki melingkar di pinggangnya dan kedua tangan yang terangkat ke atas.

            “Aku akan sampai, Justin,” seruku menggigit lehernya. Aku hanya dapat bernafas melalui mulut. “Sssh,” desisku memejamkan mata. Keringat kami mulai bercucuran. “Fuck yeah! Aku juga akan sampai, kau terlalu seksi untukku!” Serunya semakin brutal menggerakkan pinggulnya. Aku terus tersentak ke atas hingga pada akhirnya aku harus menjerit yang langsung ia redamkan dengan ciuman panasnya. Kurasakan sesuatu menyiram di bawah sana. Berakhir, semuanya telah berakhir. Terlalu panas. Terlalu menantang. Dan terlalu nikmat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar