CHAPTER ELEVEN
JUSTIN
Bajingan itu masih beruntung karena
Faith menghentikanku untuk menghabisinya. Dia dibawa ke rumah sakit setelah
petugas keamana datang ke ruang kerjanya. Kuharap ia mengembuskan nafas
terakhir setelah ini. Kekhawatiranku semakin memuncak ketika aku mendapati
luka-luka di pergelangan tangan Faith. Tapi Faith memberitahu padaku bahwa ia
baik-baik saja. Mungkin setelah ini ia tidak akan bekerja lagi di hotel sialan
itu. Atasan macam apa yang ingin meniduri bawahannya sendiri? Ia harus mencari
gadis lain yang masih bisa ia tiduri dan murahan. Seumur hidupku aku tidak
pernah menghina submisifku dengan panggilan pelacur atau semacamnya, mereka
bukanlah seorang pelacur. Mereka hanya memiliki hubungan denganku yang dimana
mereka harus menyenangkanku, itu saja. Aku tidak membayar mereka, tentu, tapi
aku bertanggungjawab atas kehidupan mereka sehari-hari. Dan bajingan itu
memanggil kekasih baruku sebagai seorang pelacur? Mengingat cerita yang
dikatakan Faith tentang kejadian barusan padaku benar-benar membuatku muak
terhadap bajingan sialan itu. Sudah kuperingati padanya untuk menjauhi Faith,
tapi si brengsek itu masih bersikeras untuk mendapatkan kekasihku. Dari tatapan
matanya sudah sangat jelas ia ingin Faith berada di atas tempat tidurnya dan
berakhir hamil tanpa tanggungjawab. Tidak, Ibu Faith telah meninggal, aku sudah
berjanji padanya untuk bertanggungjawab atas kehidupan Faith. Perjanjian adalah
perjanjian, hanya jangka waktunya saja yang harus kuulur lebih lama lagi.
Mozes sedang membuatkanku secangkir
kopi di dapurnya. Hari ini tampaknya ia tidak bekerja. Rambutnya tidak rapi
seperti biasa dan ia selalu memakai pakaian yang sama tiap kali aku bertemu
dengannya. Mengapa ia sangat suka memakai kemeja kotak-kotak yang tidak memakai
lengan itu? Mungkin sebenarnya kemeja itu lengan panjang namun ia memotongnya.
Adik dan kakak sama-sama tidak memiliki selera berpakaian yang bagus. Aku harus
memperbaiki Faith agar ia terlihat lebih hidup. Faith berada di kamar mandi
untuk membersihkan dirinya setelah kami juga pergi ke rumah sakit untuk
memeriksa pergelangan tangannya. Mozes muncul dengan dua cangkir yang berada di
tangannya, salah satunya ia taruh di atas meja ruang tamu lalu ia terduduk di
hadapanku.
“Jadi, bagaimana hubunganmu dengan
adikku?” Tanya Mozes, ingin tahu. Ia menyeruput kopi panas yang baru saja ia
buat itu dengan tenang. Kuperhatikan dia baik-baik, bagaimana pun juga aku
harus menghargai Mozes sebagai kakak Faith.
“Semuanya berjalan dengan baik,
seperti yang kaulihat sendiri. Dia sangat baik-baik saja jika ia terus
bersamaku. Memang apa yang kaukhawatirkan?” Mozes menggeser cara duduknya lalu
ia berdeham. Aku harus jujur, jika aku tidak menyukai seseorang aku terpaksa
harus membunuhnya. Atau paling tidak aku menyakitinya. Dan Mozes. Mozes
bertingkah seperti memancingku ingin menyayat-sayat tubuhnya dengan pisau
dapur. Namun aku teringat Faith yang berada di dalam kamar, dan tidak mungkin
juga aku dapat membunuh kakak kekasihku sendiri. Itu akan membuat Faith membenciku,
tentunya. Tuhan, aku sangat ingin membunuhnya.
“Tidak, aku hanya …kau tahulah, dia
satu-satunya keluargaku yang ada di dunia ini. Jika kau menyakitinya, aku tidak
tahu, teman. Aku terpaksa harus menjauhkanmu dari Faith. Ia termasuk gadis yang
mudah tersakiti dan sangat peka. Jadi, jangan permainkan hati adik kecilku,”
ucapnya mengancamku. Aku terkekeh mendengar ucapannya, lucu. Lucu karena itu
tidak mungkin terjadi. Aku mungkin tidak pernah mempermainkan hati wanita, tapi
jika aku tidak menginginkannya lagi, terpaksa aku harus menjauhkan dirinya
dariku meski wanita itu terus bersungut-sungut padaku untuk mencoba hubungan
kami kembali. Tapi tetap, aku tidak ingin mengambil resiko untuk menjadikannya
sebagai korban selanjutnya.
“Tentu,” ucapku mengangguk satu
kali. Tepat saat aku mengangguk, Faith keluar dari kamarnya dengan kemeja
kotak-kotak berwarna ungu dan celana jins pendek selutut. Baru pertama kali aku
melihatnya memakai celana pendek selutut. Well, jujur saja, ia sangat cocok
memakai pakaian seperti itu. Ia bukan seperti wanita berumur 23 tahun lagi, ia
terlihat lebih muda.
“Hei, Faith. Bagaimana keadaan
tanganmu?” Tanya Mozes menganggukkan kepalanya. Faith mengelus-elus tangannya
yang memiliki tanda biru keunguan di sekitar pergelangan tangan. Kemudian Faith
dengan manjanya terduduk di atas salah satu ujung lutut Mozes dengan mulut yang
cemberut. Melihat wajahnya seperti itu, ia tampak sangat menggemaskan. Bahkan
hanya dengan melakukan seperti itu membuatku ingin menyentuh dirinya kembali. Jika
orang awam mendengar ucapanku seperti itu, pasti ia memandangnya itu adalah
pemikiran yang cukup gila.
“Hanya nyeri di bagian pergelangan
tanganku,” gumamnya menatapi kedua tangannya yang memiliki garis ungu
kebiru-biruan melingkar di sana. “Justin, sepertinya aku tidak bisa pergi ke
rumahmu malam ini. Aku harus menemani Mozes di rumah. Lagipula, kau pasti
memiliki urusan yang lebih penting dibanding aku bukan?” Tanya Faith sambil
menyentuh garis ungu kebiruan itu dengan pelan. Kuanggukkan kepalaku. Ya,
tentu. Faith tidak perlu datang ke rumahku, aku memiliki urusan bersama Carla
yang tentunya Faith belum boleh tahu
tentang Carla. Akhir-akhir ini Carla tampaknya sangat perhatian padaku, tidak
seperti dulu ia menginginkan dr. Carlisle. Namun ketika Faith masuk ke dalam
kehidupanku dalam kurun waktu 2 minggu, Carla terus menghubungiku untuk
mengetahui apa yang kulakukan meski aku sudah memberitahu padanya untuk tidak
menggangguku lagi. Pada akhirnyapun aku tidak dapat mengabaikannya karena
dirinya yang memang serba bisa, ia sangat berguna bagiku. Mungkin memang bukan
sebagai submisif, setidaknya, ia bisa membantuku di rumah.
“Tentu,” balasku beberapa menit
setelahnya. Aku bangkit dari sofa tanpa menyentuh kopi yang dibuatkan oleh
Mozes untukku, aku takkan menyentuhnya. “Aku akan menghubungimu malam ini. Jika
kau membutuhkan sesuatu, hubungi aku. Kutemui kau hari Jumat?”
“Ya, akan kutunggu,” ucapnya senang.
Dua hari ke depan. Apa dua hari ke depan aku bisa bertahan tanpa melihat
wajahnya dan tidak menyentuhnya? Dia sepertinya terbuat dari bahan adiktif yang
membuatku terus ketagihan. Kakiku melangkah melewati sofa-sofa, Faith masih
menatapku dengan bibir bawah yang ia hisap. Ia sepertinya sedang menahan tawa,
apa yang ia tertawakan? Setelah berhasil melewati godaan itu, akhirnya aku
mencapai pintu. Kubuka pintu apartemennya lalu keluar. Jika boleh, aku akan
membelikannya sebuah kondominium agar ia memiliki rumah yang lebih nyaman. Yang
kukhawatirkan sekarang adalah pekerjaannya. Jika ia dipecat dari hotel itu, apa
ia mau bekerja di salah satu perusahaanku? Atau mungkin rumah sakit? Itupun
jika ia memiliki keahlian dalam bidang kesehatan. Restoran? Tidak. Tidak ada
restoranku di sekitar Atlanta. Mungkin aku akan meminta saran dari Carla.
Ketika jariku baru saja menyentuh tombol lift, Faith memanggilku.
“Justin!” Teriaknya yang membuatku
membalikkan tubuhku ke belakang. Ia berlari kemudian memelukku seerat mungkin.
“Terima kasih telah menyelamatkanku. Mungkin jika kau tidak datang
menyelamatkanku, aku sudah berada di dalam kantong sampah dalam keadaan tak
bernyawa,” ucapnya yang membuat seluruh tubuhku menegang. Segala imajinasi di
otakku mulai membayangkan hal-hal yang tidak ingin kulakukan lagi. Sudah lama
aku tidak menyentuh tubuh seseorang untuk kujadikan relawan –atau korban—dalam
hobiku.
“Ada apa?” Tanyanya melepaskan
pelukannya, dari bawah ia menatapku dengan tatapan seperti anak kecil yang
bertanya pada Ibunya apa ia bisa menaiki roller
coaster?
“Tidak, ya, baik-baik di rumahmu.
Semoga kau dipecat agar kau bisa bekerja di salah satu perusahaanku,” ucapku
kemudian mengecup keningnya. Ia tidak menjawabku, hanya dengusan yang kudengar
lalu ia memukul perutku yang keras. Faith sangat menggemaskan ketika ia kesal. Pintu
lift terbuka dan aku segera masuk.
“Hati-hati di jalan. Aku akan
merindukanmu!” Serunya ketika aku sudah masuk ke dalam lift. Ia
melambai-lambaikan tangannya padaku lalu terakhir hal yang kulihat dari
wajahnya adalah setitik air mata yang menetes. Namun pintu lift telah tertutup.
***
FAITH
Ketika melihatnya akan pergi dariku,
sebagian jiwaku sedang pergi entah kemana. Perasaan takut mulai menyelimutiku.
Ada perasaan yang tidak dapat kujabarkan dengan kata-kata, mungkin yang paling
mendekati adalah takut. Takut akan kehilangannya. Rasanya aku cukup bodoh telah
berpacaran dengan seorang lelaki seperti Justin. Maksudku, sudah tiga kali aku
kehilangan orang yang kucintai. Kedua orangtuaku dan Luke. Bagaimana jika
Justin adalah orang ketiga yang akan meninggalkanku? Saat bibirnya menyentuh
keningku, rasa damai memeluk tubuhku hingga rasanya aku tak rela ia pergi
dariku. Dua hari lagi aku akan bertemu dengannya, apa aku bisa bertahan? Oh,
aku pasti akan merindukan suaranya yang merdu itu. Wajahnya bak dewa Yunani.
Aku merangkak naik ke atas tempat
tidur lalu menelentangkan tubuhku di atasnya. Kuhembus nafasku sambil
memejamkan mata. Bersyukur dengan apa yang kudapatkan sampai saat ini. Meski
aku akan kehilangan pekerjaanku dalam waktu 1 hari. Ha, diberkatilah Luciana
yang telah menyumpahiku. Permintaannya terkabulkan. Selamat Luciana, tidak akan
ada orang yang risih akan riasan wajahmu yang melebihi 2 inchi itu. Aku
tengkurap, menadahkan daguku ke atas bantal dengan kedua tanganku yang
melingkar di hadapanku. Teringat kembali kejadian beberapa jam yang lalu. Tn.
Alex hampir saja memperkosaku dan ksatria baja hitam datang dengan kegagahan
yang ia miliki. Garis yang melingkar di sekitar tanganku terasa sangat perih
jika ditekan, tentu saja. Mungkin garis-garis ini akan lama sekali menghilang.
Dan, Tuhan, besok aku pasti sudah tidak akan bekerja lagi di hotel. Pintu
kamarku terketuk, aku menyahut, refleks.
“Hei,” suara Mozes terdengar ketika
pintu kamarku terbuka. Aku memutar kepalaku, ia sudah menutup pintu dan duduk
di atas ranjangku. “Bagaimana perasaanmu?” Tanyanya.
“Perasaan apa?” Tanyaku, sedikit
bingung dengan apa yang ia bicarakan.
“Perasaanmu terhadap Tn. Justin,”
ucapnya. Ketika ia menyebut nama keramat itu, sontak aku tersenyum malu-malu.
Tanpa kusadar, ternyata pipiku memerah. Kuputar tubuhku hingga telentang di
hadapannya dengan mata yang menatap langit-langit kamar. Aku pernah merasakan
perasaan ini sama seperti ketika aku menyukai Luke. Aku jatuh cinta padanya
dalam waktu yang sangat singkat, namun aku tidak sanggup untuk mengatakannya. Dia
tidak pernah menyatakan cinta padaku. Mungkin ia jarang berpacaran.
“Apa kau bahagia bersamanya?” Tanya
Mozes yang membuatku menaikkan salah satu alisku. Mengapa nada bicaranya
tiba-tiba saja berubah seperti kami sedang syuting sebuah film? Ia terlalu
mendramatisir segalanya.
“Ya, tentu saja. Mengapa kau
bertanya seperti itu?”
“Maksudku, kautahulah, hanya kau
yang kumiliki satu-satunya di dunia. Kau adikku satu-satunya, aku tidak ingin
kehilanganmu sama seperti aku kehilangan orangtua kita. Selama kau bahagia
bersamanya, aku akan membiarkanmu dengan Tn. Justin. Jika kau disakiti olehnya,
beritahu aku. Kau termasuk gadis yang susah sekali ditebak perasaannya karena
…demi Tuhan, kau seperi Bella di Twilight! Tidak pernah berekspresi, bedanya
kau sedikit girang,” ujarnya melantur. Aku tertawa, kupukul lengannya dengan
pelan. Ia ikut tertawa.
“Apa yang kautakutkan? Aku sudah
dewasa,” ucapku, santai.
“Kau belum cukup dewasa, Faith.
Mungkin umurmu, memang sudah mencukupi umur orang dewasa. Hanya saja, kau
terlalu naïf. Kau harus berhati-hati memutuskan sesuatu,” ucap Mozes mengelus
rambutku. “Kuharap Lexise itu tidak akan menyakitimu sama seperti yang Luke
pernah lakukan,”
“Terima kasih, Mozes. Kau memang
kakakku yang paling tampan, terbaik, dan tidak ada duanya di dunia. Aku
mencintaimu,” ucapku memeluk lengannya. “Tidurlah di sampingku karena dua hari
ke depan aku akan pergi ke rumah Tn. Justin,”
“Well, aku tidak bisa. Aku harus
pergi keluar untuk bertemu dengan teman kencanku,”
Aku tercekat dan segera terduduk.
“Tidak mungkin!” Kupukul bahunya. Ia tertawa-tawa menyentuh bahunya yang baru
saja kupukul itu. Maksudku, Mozes memiliki teman kencan wanita? Wanita yang
benar-benar ia sukai? Karena selama ini wanita-wanita yang dekat dengannya
tidak pernah ia sukai, maksudku, mengajak mereka kencan.
“Aku serius, dia bernama Jessie,”
“Pasti dia pirang!” Seruku, menebak.
“Ya, memang dia gadis pirang.
Omong-omong, doakan aku agar aku beruntung,” ujarnya. “Sekarang,
beristirahatlah. Besok aku akan membelikanmu koran supaya kau bisa mencari
pekerjaan baru.” Ucapnya bangkit dari tempat tidurku. Sesegera mungkin aku
melemparkan bantal ke arahnya.
***
“Jadi kau dipecat? Mengapa kau tidak
menghubungiku dan tidak mengangkat teleponku?” Tanya Justin ketika kami sedang
berada dalam perjalanan menuju rumahnya. Ya, aku dipecat sejak kemarin. Aku
bingung harus bekerja dimana, tapi Lennion sudah memberikan saran padaku untuk
bekerja di salah satu restoran. Ya, menjadi seorang pelayan. Bagaimana mungkin?
Katanya aku ramah. Atau mungkin seorang yang menunggu di belakang meja kasir.
Aku mendesah, menganggukkan kepalaku. Dan aku memang tidak mengangkat telepon
Justin karena aku takut menangis jika ia mematikan teleponnya. Maksudku, aku
hanya tidak ingin merindukannya begitu berlebihan.
“Omong-omong, ini untukmu,” ucapnya
mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. Sebuah kalung ringan sederhana
namun mahal itu muncul dari genggaman tangannya. “Kalung untukmu,” sangat
cantik. Aku menyambut kalung itu dengan senyum lalu kuraih dari tangannya.
“Terima kasih, sangat sederhana.
Saran dari siapa?” Tanyaku menebak. Tidak mungkin seorang Justin Lexise tahu
tentang kalung seperti ini bukan? Pasti ia meminta saran pada kakeknya atau
paling tidak pada salah seorang teman dekatnya. Kupakai kalungku sendiri tanpa
meminta bantuan Justin seperti gadis-gadis lain yang ingin dipakakan kalungnya
oleh kekasihnya. Romantis bukanlah seleraku. Justin tertawa.
“Ternyata kau pintar juga,”
komentarnya. “Carla,” ucap Justin serius. Tubuhku menegang ketika ia menyebut
nama Carla. Bukankah Carla hanyalah seorang suster di rumah sakitnya? Maksudku,
Justin tidak mungkin mencaritahu seluruh nama susternya. Pasti ada orang yang
mengurus hal itu, itu pasti bukan urusannya. Mengapa ia bisa mengenal Carla?
Carla memang mengenal Justin, seluruh suster mengenal Justin. Tapi, berbicara?
Aku tidak pernah melihat Carla berbicara dengan Justin sebelumnya. Ada hubungan
apa Justin dengan Carla? Ada sedikit rasa cemburu ketika nama Carla. Oke, ini
kedengaran seperti anak-anak, tapi serius aku cemburu mendengar nama Carla.
“Pantas kalungnya indah,” ucapku
sesingkat mungkin. “Hubungan apa yang kaumiliki dengan Carla?” Tanyaku,
penasaran. Justin berdeham, ia sepertinya tidak ingin menjawab pertanyaan ini.
Oke, ini semakin membuatku curiga. Tapi dengan segera kutepiskan pikiran
negatif dari otakku, mungkin mereka hanya sekedar teman. Teman dekat tapi
mereka tidak pernah menceritakannya padaku. Lagipula, aku juga baru mengenal
Justin dua minggu yang lalu. Jadi tidak mungkin Justin akan menyerangku dengan
kisah-kisah hidupnya.
“Hanya sekedar teman,” ucapnya
dingin.
“Apa dia adalah salah satu mantan
submisifmu?” Ternyata aku tidak dapat menghentikan pikiran negatifku yang
melayang di otakku dan semuanya tersembur melalui mulutku yang tak dapat
kutahan juga. Memang, aku sangat cerewet dan tidak dapat menahan cara bicaraku.
Justin menganggukkan kepalanya. Sudah kuduga, tapi aku tidak mengatakan
apa-apa. Lagipula mereka sudah tidak memiliki hubungan lebih dari seorang
teman. Justin juga sudah menjadi kekasihku dan Carla adalah salah seorang
sahabatku, jadi apa yang sedang kutakutkan? Tidak ada. Sekarang aku mengerti apa
yang Carla katakan tentang Justin di rumah sakit. Jika ia sudah tertarik pada seorang gadis, tidak akan ada yang bisa
menghentikannya. Dia akan melakukan apa pun. Jadi, kau beruntung telah
membuatnya tertarik padamu untuk yang pertemuan pertama. Dan ia adalah
salah seorang yang pernah membuat Justin tertarik. Sungguh keren.
“Tapi aku tidak memiliki hubungan
apa pun dengannya sekarang. Kami hanya sekedar teman jadi tidak ada yang perlu
kautakutkan,”
“Aku tahu,” bisikku menyandarkan
tubuhku ke kursi. “Apa ada kemungkinan kalian akan kembali bersama?” Tanyaku
entah kenapa aku bisa begitu bodoh. Justin terdiam sejenak dan aku tidak
meliriknya sehingga aku tidak tahu bagaimana ekspresi wajahnya.
“Aku tidak tahu. Tapi aku sudah
bilang padamu untuk mencoba melakukan hubungan ini lagi,”
“Siapa kekasih terakhirmu sebelum
aku?” Kembali aku bertanya, oke, pasti ini akan membuatnya merasa sangat kesal.
Kulirik Justin yang sekarang rahangnya telah menegang.
“Carla. Bisakah kau diam dan tidak
membicarakan hal-hal yang tidak mungkin akan terjadi?” Ia membentakku untuk
yang pertama kalinya. Hatiku seakan-akan tertusuk dengan bentakannya, sudah
kubilang aku bukanlah seorang gadis yang tahan dengan pria yang mudah
membentak. Sebisa mungkin aku menahan tangisan, tapi air mata itu malah
mengalir tanpa diminta. Namun segera mungkin kubalikkan tubuhku, memunggungi
Justin.
“Aku hanya akan …tidur sebentar,”
bisikku menyeka hidungku. Semuanya akan baik-baik saja Faith, ini hanyalah
masalah kedewasaanmu! Aku terlelap dalam tidur.
“Kupikir kita akan…” ucapanku
terhenti saat Justin membuka pintu mobilnya dan keluar. Mengapa kita berhenti
di sebuah rumah berwarna putih seperti cat rumah sakit? Aku curiga …oh, aku
baru ingat, aku akan dipakai spiral agar aku tidak hamil. Baiklah, tidak
apa-apa, aku bisa melakukannya. Justin membukakan pintu mobil, tanpa tanganku
yang terjulur ia malah meraihnya agar aku cepat keluar dari mobil. Sejak
percakapan tentang Carla berakhir, ia terlihat sangat kesal. Apa masalahnya?
Aku sudah tidak begitu cemburu setelah aku mengembali beberapa waktu untuk
beristirahat. Ia mengunci mobilnya lalu menarik tanganku untuk masuk ke dalam
rumah sederhana ini.
“Aku ingin kau bertemu dengan dokter
pribadimu yang baru. Dia sangatlah baik, aku pernah menjadi salah satu
pasiennya. Tapi ia bukan dokter pribadiku karena ia seorang wanita. Jadi, kita
akan memasang spiral dalam tubuhmu, oke?” Tanyanya sebelum kami benar-benar
masuk ke dalam rumah itu. Aku hanya mengangguk, mengerti. Apa pun yang ia
lakukan padaku pasti untuk kebaikanku. Kemudian kami masuk. Aroma obat-obatan
menyerang hidungku. Tenang. Tidak bersuara. Hanya suara AC yang menjadi backsound dalam rumah praktek dokter
yang sederhana ini.
“Justin Lexise,” ucap Justin pada
salah satu suster.
“Ya, Anda boleh masuk sekarang,”
ucap suster itu ramah pada Justin. Kembali Justin menarik tanganku untuk masuk
ke salah satu pintu. Saat kami masuk ke ruangan itu, yang kutemukan tentu
adalah peralatan kedokteran. Tapi kurasa ini khusus untuk Ibu-ibu hamil atau semacamnya.
Cukup lucu jika Justin pernah diperiksa di kamar ini. Seorang Ibu setengah baya
telah berada di balik meja kerjanya dengan kacamata yang menggantung di ujung
hidungnya.
“Hei, Justin,” sapa dokter itu
sangat ramah. “Jadi, ini submisifmu untuk yang kesekian kalinya?”
“Tidak, dia kekasihku,” ucap Justin
segera membenarkan ucapan dokter itu. “Kau tahu apa yang akan kaulakukan
padanya, jadi segeralah kau lakukan untukku. Sebentar lagi aku harus pulang,”
ucap Justin tergesa-gesa. Apa yang sedang ia khawatirkan? Dokter setengah baya
itu segera bangkit dari kursinya lalu mengajakku ke tempat tidur pasien.
“Aku dr. Young. Senang bertemu
denganmu, Faith,” ucapnya menyebut namaku tanpa kuperkenalkan diriku padanya.
Kuanggukkan kepalaku lalu aku naik ke atas tempat tidur dan ia mulai menutupi
kami dengan tirai.
Prosesnya sangat singkat. Spiral itu
telah berada dalam tubuhku. Dr. Young sudah memastikan bahwa dalam jangka waktu
yang lama, aku tidak akan hamil. Kembali lagi aku dan Justin berada dalam mobil,
terdiam dalam pikiran kami masing-masing. Entah apa yang sedang Justin
pikirkan, sejak dari rumah praktek tadi ia tidak berbicara padaku. Tanganku
secara tak sadar menyentuh kalung yang ia berikan. Seumur hidupku, aku tidak
pernah mendapatkan kalung seindah ini. Aku menerima hadiah ini dari Justin
karena sangat terlihat sederhan. Orang-orang tidak akan berpikir bahwa barang
ini mahal. Well, aku tahu kalung ini mahal karena rantainya yang tidak sama
seperti rantai kalung yang lain. Liontin berbentuk daun ini cukup membuatku
terkesan. Saat pria-pria lain membelikan kekasihnya yang berbentuk hati, Justin
membelikanku berbentuk daun.
“Terima kasih atas kalungnya. Sangat
berarti,” ucapku mencairkan suasana.
“Kau cantik memakai kalung itu,”
komentarnya tanpa menatapku. Sedetik kemudian aku bisa melihat senyum di
wajahnya. Bagaimana bisa ia melakukan itu? Maksudku, sangat keren. Pipiku
memerah tiap kali ia memujiku. “Kau terlihat sangat sederhana. Jadi aku tidak
ingin membelikan kalung yang meriah padamu. Well, ternyata saran dari Carla
memang bagus. Dia mengenalmu sangat baik.”
***
“Apa kau merindukanku?” Tanya Justin
memutar tubuhku ketika kami sedang menari di atas lantai keramik yang memiliki
ukiran yang begitu indah. Kaki dan gerakannya yang lincah membuatku sesekali
tersandung. Ia sedang mengajariku bagaimana berdansa. Di tengah-tengah ruang
kosong yang besar –yang sebagiannya terbuat dari kaca—diiringi lagu lamban,
kami berdansa penuh ketenangan. Justin memegang pinggangku lalu meremasnya.
“Jawab aku Faith.” Nafasnya memburu. Ia menyentuhkan keningnya pada keningku
lalu menatap mataku dalam-dalam. Tajam. Sangat dalam hingga aku tidak dapat
menemukan dasarnya. Ia sangat menggoda. Aku menginginkannya berada dalam
tubuhku sekarang. Ia sangat menggairahkan. Nafas kami saling bersahut-sahutan,
nafas beratnya tampak sangat membuktikan bahwa ia menginginkanku sekarang.
Tangannya yang memegang tanganku, ia remas dengan lembut. Keringat kami menyatu
dalam gairah. Ruangan ini seketika terasa panas saat AC sedang menyala.
“Ya,” balasku menatap matanya
dalam-dalam. Justin memakaikanku gaun hitam yang sangat pendek –bahkan hanya
menutupi bokongku—tanpa tali. Dan ia memintaku memakai sepatu tinggi berwarna
hitam yang membuatku semakin sulit menggerakkan kakiku. Ia menggenggam tanganku
yang lain lalu mengangkatnya ke atas. Kami memutar mengelilingi ruangan sampai
pada akhirnya ia mendorong tubuhku ke salah satu tembok –hanya ada dua tembok
di ruangan ini –lalu menghimpit tubuhku dengan tubuhnya.
“Ya?”
“Ya.” Ucapku yakin.
“Mengapa kau tidak menciumku?”
“Aku ingin kau yang melakukannya,”
bisikku.
“Kau mendapatkannya, gadis nakal,”
ucap Justin penuh dengan janji. Nafasnya memburu, aku memejamkan mata ketika
bibirnya menyentuh bibirku. Ia mengangkat rok pendek yang hanya menutupi
bokongku lalu meremas-remas bokongku dengan gemas. Satu tangannya dengan sigap
mengangkat kaki kananku ke pinggangnya sehingga miliknya yang besar itu dari
balik celananya telah menyentuh kewanitaanku yang hanya tertutupi oleh pakaian
dalam. Aku mendesah. Terasa sangat basah di bawah sana, dan aku
menginginkannya.
“Apa kau sudah siap untukku, Faith?”
Tanyanya ingin memastikan. Kuanggukkan kepalaku, pasti. Aku sudah sangat
terangsang sejak kami berdansa. Tatapannya membuatku bertekuk lutut. Satu
tangannya menarik retsleting celananya lalu mengeluarkan miliknya yang besar
itu dari kandangnya. Aku terkesiap ketika menatapnya, tidak mungkin itu akan
masuk ke dalam tubuhku! Aku menjerit. Ia akhirnya mengangkat kakiku yang lain
hingga sekarang aku memeluk pinggangnya. Miliknya menyentuh kewanitaanku yang
sudah licin. Aku mendesah. Kedua tanganku ia angkat ke atas dan ia tahan dengan
satu tangannya, sedangkan tangannya yang lain memegang pinggangku. Dengan
pelan, ia mulai memasukkan miliknya ke dalam milikku. “Ooh,” desahku
memejamkan.
“Kau sangat seksi, Faith,” pujinya
yang membuatku semakin melolong. Miliknya terus menerobos masuk ke dalam
tubuhku hingga menyentuh rahimku. Ah! Bibirnya mulai melumat mulutku kembali
dan Justin mulai menggerakkan tubuhnya. Aku mendesah, mendesah, dan mendesah.
Hingga bibir kami terpisah, aku menumpukan daguku ke atas bahunya. “Ya, benar,
seperti itu sayang. Jatuhkan tubuhku padaku, ouh! Demi Tuhan apa yang
kaulakukan padaku!” Erangnya di telingaku, tak tahan. Kudengar deru nafasnya
yang seksi di telinga, membuatku semakin gila dengan apa yang ia lakukan
padaku. Pakaian seksi, sepatu yang masih kupakai, kaki melingkar di pinggangnya
dan kedua tangan yang terangkat ke atas.
“Aku akan sampai, Justin,” seruku
menggigit lehernya. Aku hanya dapat bernafas melalui mulut. “Sssh,” desisku
memejamkan mata. Keringat kami mulai bercucuran. “Fuck yeah! Aku juga akan
sampai, kau terlalu seksi untukku!” Serunya semakin brutal menggerakkan
pinggulnya. Aku terus tersentak ke atas hingga pada akhirnya aku harus menjerit
yang langsung ia redamkan dengan ciuman panasnya. Kurasakan sesuatu menyiram di
bawah sana. Berakhir, semuanya telah berakhir. Terlalu panas. Terlalu
menantang. Dan terlalu nikmat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar