Minggu, 15 Desember 2013

Right Mistakes Bab 10




FAITH

            Musik lamban di pagi hari terdengar sangat cocok untuk suasana pagi ini. Christina Perri bernyanyi bersama dengan Jason Mraz yang berpadu menghasilkan harmoni yang indah. Musik lagu Distance mengawali pagi yang tenang menjadi terdengar lebih damai. Tanganku masih memegang pensil untuk menyangga rambut sanggul yang akan kubuat nanti tapi sebentar lagi aku akan sampai ke hotel, cepat-cepat kuapit pensil dengan dua bibirku. Kemudian aku mengambil sisir yang berada di dalam tasku dan tanganku mulai menyisir serta menyanggul rambut sebagaimana mestinya. Justin yang berada di sebelahku sesekali melirik dengan bibir yang berkedut. Entah apa yang lucu baginya, tapi yang jelas ia memiliki lelucon tersendiri yang orang lain tidak akan mengerti. Tubuhku menghadap padanya, menatap wajahnya baik-baik sampai akhirnya aku menarik pensil yang berada di mulutku dan menusukkannya pada sanggulan. Akhirnya aku bisa sepenuhnya menatap lelaki tampan di hadapanku dengan damai. Setelah malam tadi ia benar-benar memintaku untuk menjadi kekasihnya, akhirnya kami resmi menjadi sepasan kekasih. Ia bilang, ia akan mencoba hubungan ini agar tidak ada lelaki lain yang dapat menyentuhku. Cukup gentle untuk lelaki seperti Justin.
            Hari ini Justin tidak banyak bicara. Ia terlihat senang namun ia sangat egois sehingga ia menyimpannya sendiri. Tadi malam aku tidak berhubungan badan dengannya, meski aku sangat tahu, ia menginginkanku. Menyelimutinya dengan kenikmatan dan ia menyelimutiku dengan kehangatan. Dan kejadian itu tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku, meski aku tahu resiko terbesarnya adalah sakit hati. Selama aku percaya pada Justin, aku tidak akan sakit hati. Pelukan Justin sangatlah hangat, tidak seperti tangannya yang menjabat tanganku terasa sangat dingin dan tak bersahabat –awalnya seperti itu—tapi ternyata dibalik tangannya yang dingin itu terdapat pelukan yang sangat hangat. Ia pemeluk yang ulung, harus kuakui.
            “Mengapa kau tidak berbicara?” Tanya Justin, akhirnya. Apa aku secerewet itu? Ya ampun, berarti aku sangat cerewet baginya. Baiklah, aku memang sudah berpacaran dengan lelaki di hadapanku tapi bukan berarti aku menghilangkan kepribadianku yang asli.
            “Mmm,” gumamku. “Hanya mengingat kejadian tadi malam. Hari ini kau terlihat sangat bahagia, mengapa?” Kali ini aku yang bertanya pada Justin. Ia mendesah lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, dan Justin mengedikkan bahunya, tidak tahu. Mengapa? Pria tampan sialan ini selalu saja membuatku penasaran. Andai aku bisa membaca pikirannya, aku pasti sudah tahu rahasia-rahasia apa saja yang ia simpan. Tapi aku bukanlah seorang pembaca pikiran, aku hanya seorang gadis yang akhirnya mendapatkan seorang kekasih yang tidak pernah kuduga sebelumnya.
            “Kau ingin membahasnya sekarang?” Tanyanya. Tentu! Demi Tuhan, aku ingin sekali menampar wajah Justin agar ia sadar bahwa aku selalu tertarik dalam segala hal tentangnya.
            “Selalu, Justin,” ucapku, mendesah. Justin menganggukkan kepalanya, seperti ia benar-benar ingin membuatku mati penasaran. Aku menunggu jawabannya lalu ia menyandarkan tubuhnya ke kursi mobil dan menginjak pedal lebih dalam lagi sehingga mobil yang ia bawa berlaju lebih cepat.
            “Aku juga sedang memikirkan tentang tadi malam. Ini mungkin memang bukan yang pertama kalinya bagiku, tapi kau adalah pacarku yang ketiga. Tapi kau sangat berbeda, entahlah, dalam pelukan …mengapa itu bisa terjadi?”
            “Aku juga tidak percaya. Kau adalah pacarku yang kedua,”
            “Mengapa dengan yang pertama?” Tanyanya, penasaran. Melihat wajah Justin yang penasaran benar-benar pemandangan yang langka, biasanya ia tidak memberikan ekspresi apa pun. Ia seorang lelaki yang tidak dapat mengekspresikan kebahagiaannya atau kesedihannya, tapi kali ini, aku bisa melihat ia penasaran. Aku mendesah, ia membuatku mengingat kejadian sialan yang sudah lama terjadi. “Faith?” Ia benar-benar ingin tahu apa yang terjadi.
            “Dia berselingkuh,” ucapku. “Hah, kau tahulah, orang ketiga dalam sebuah hubungan selalu ada. Pasti ada satu orang yang ingin merusak hubunganmu, ia akan menyelip masuk lalu menghancurkan segalanya. Aku mendapatinya berciuman di depan gereja dengan seorang gadis lain, cukup menyedihkan,
            “Ini terjadi 3 tahun yang lalu. Saat itu aku masih berumur 19 tahun, ya, bisa dibilang aku belum cukup dewasa untuk menerima seorang lelaki. Ibuku tidak masalah ketika ia tahu aku memiliki seorang pacar, tapi yang ia tekankan adalah untuk tidak berhubungan badan dengannya. Jadi, aku berpacaran dengannya. Namanya Luke, berambut pirang dan kautahulah, ciri-cirinya hampir sama dengan abangku tapi hanya tidak terlihat garang seperti abangku. Sudah hampir 1 tahun kami berpacaran, aku merasa sangat yakin bahwa ia adalah suamiku di masa depan, tapi sampai akhirnya…
            “Salah seorang temanku memberitahu padaku bahwa Luke mengajak seorang gadis lain ke taman kota, meski pada awalnya aku tidak percaya dengan perkataannya. Dua hari setelah temanku menceritakan kejadian itu, akhirnya aku melihatnya sendiri … ia berselingkuh dariku. Oh, demi Tuhan, aku sangat bodoh telah mencintainya tapi tak ada yang bisa menghentikan perasaan cinta bukan? Well, selain orang yang kaucintai menyakitimu dan membuatmu tidak menginginkannya lagi. Dia tidak pernah menyentuhku atau berniat untuk meniduriku, hanya sekedar ciuman biasa. Dan ya, ia berselingkuh di depan gereja bersama dengan gadis yang tentunya lebih cantik dariku—“
            “Aku ragu akan ada gadis cantik yang melebihi kecantikanmu,” ucap Justin mengomentari ceritaku. Well, ternyata ia seorang lelaki yang mau mendengar masa laluku, cukup manis. “Lalu?” Ia ingin tahu kelanjutannya.
            “Ia tidak tahu bahwa aku tahu dia telah berselingkuh dariku. Saat aku melihat mereka berciuman, aku tidak mendekatinya atau memarahi mantan kekasihku. Aku hanya beranjak dari tempatku dan pulang ke rumah dengan patah hati. Tiga hari berikutnya, aku memutuskannya karena dua hari sebelumnya ia memang benar-benar berselingkuh dariku. Sepertinya ia sangat senang karena telah kuputuskan …oh sial, aku tidak mau menangis hanya karena ini,”
            Kepala Justin langsung menoleh padaku, panik. “Jangan, jangan menangis. Kau tidak perlu menyesalinya, justru itu adalah tindakan yang bagus karena sekarang aku bisa dengan mudah memilikimu,” ujarnya menenangkanku. Kutarik nafas dalam-dalam lalu memejamkan mata agar aku lebih tenang. Padahal aku sudah membuang jauh-jauh kenangan buruk namun kembali lagi karena Justin memintaku untuk memungutnya.
            “Apakah kau akan sepertinya?”
            “Seperti apa?” Tanya Justin menggigit bibir atasnya.
            “Seperti Luke. Berselingkuh atau semacamnya,” ucapku ingin tahu. Tapi ia pasti akan berusaha untuk tidak menyakiti hatiku seperti yang Luke lakukan padaku. Maksudku, jika hatiku sudah dipatahkan oleh seorang lelaki, aku tidak cukup bodoh untuk tersakiti kembali dengan orang yang sama. Itu sama saja aku terjatuh dalam lubang yang sama. Justin menggeleng-gelengkan kepalanya sampai akhirnya, ia menatap padaku.
            “Tidak mungkin,” ujarnya mantap. “Aku bukan seorang bajingan yang akan mencampakkanmu karena aku mendapatkan gadis lebih cantik. Sudah kubilang dari awal, Faith, kita akan mencoba menjalani hubungan ini,” jelas Justin mendekatiku lalu mengecup keningku. Sekujur tubuhku bergetar, ia sangat manis. Sangat perhatian. Sangat posesif. Dan yang jelas, sangat misterius. Mobilnya berhenti di tempat parkiran –di pinggiran jalan—tepat di depan hotel.
            “Well, sampai ketemu lagi. Hubungi aku jika kau ingin bertemu denganku. Kumohon jangan ikuti aku seperti kemarin. Aku berjanji tidak akan mendekati Tn. Alex. Dia tidak lebih dari seorang teman, oke?” Tanyaku memohon. Siku-siku Justin telah berada di atas setir, ia bersandar di sana dan menatapku dengan raut wajah yang tidak suka.
            “Tidak, aku benar-benar harus tahu apa yang kaulakukan. Kemarin kau tidak menghubungiku. Sudah kubilang untuk menghubungiku setelah kau pulang kerja namun kau tidak sama sekali menghubungiku. Kau malah bersama dengan lelaki bajingan itu. Seharian ini aku berada di kota Atlanta untuk urusan bisnisku. Jadi, aku tidak begitu khawatir,”
            “Intinya, kau tidak akan mengikutiku seharian ini bukan?” Tanyaku bersikeras. Justin memejamkan matanya, sepertinya ia benar-benar menahan emosinya. Dengan terpaksa akhirnya ia mengucapkan kata ajaib itu.
            “Baiklah,” ucapnya.
            “Oke, aku akan menghubungimu makan siang nanti,” ucapku mengecup bibirnya kilas lalu pergi.

***

            “Aku tidak bisa karena aku telah memiliki kekasih,” ucapku ketika Tn. Alex memintaku untuk kencan kembali. Padahal kemarin aku sudah bilang padanya bahwa itu adalah kencan terakhir yang akan terjadi dalam hubungan kami. Tapi ia masih bersikeras untuk mendapatkanku. Ini juga untuk kebaikannya, aku tidak membiarkannya mendekatiku agar Justin tidak menyakitinya. Sekarang aku tahu perasaan Justin ketika aku dekat dengan Tn. Alex kemarin, mungkinkah ia cemburu sama seperti dulu aku cemburu ketika Luke bersama dengan kekasihnya yang baru itu? Maksudku, tentu saja ia tidak suka jika orang yang ia miliki didekati oleh orang lain. Tn. Alex yang menyandarkan siku-sikunya di meja resepsionis itu tidak berani menatapku, ia seperti berpikir. Teman baruku, Luciana –yang lebih terlihat seperti istri dari Lucifer—sedang fokus dengan komputernya. Apa ia sedang mencoba menarik perhatian Tn. Alex karena ia rajin bekerja? Jika ya, itu akan sangat menjadi lelucon yang lucu untuk kuceritakan pada anak-anakku kelak.
            “Apa itu lelaki bajingan kemarin?”
            “Tn. Alex, dia bukanlah seorang bajingan. Dan ya, aku berpacaran dengannya,” ucapku, tegas. Tn. Alex menelan ludahnya lalu ia mengangguk, pasrah. Ia melipat bibirnya ke dalam dan menoleh padaku dengan tatapan kecewa. Bukan maksudku untuk menyakitinya, tapi tidak semua orang di dunia ini mendapatkan apa yang ia inginkan. Seperti seorang artis yang dimana setiap penggemarnya ingin menjadi kekasihnya tapi pada akhirnyapun akan sama …ia akan memilih satu orang kekasih untuk menjadi pasangan untuk seumur hidupnya.
            “Semoga harimu menyenangkan, Faith,” ucap Tn. Alex menganggukkan kepalanya lalu ia berjalan menuju pintu lift. Kumohon jangan sampai ia membenciku dan memecatku. Aku terduduk di atas kursi dan mulai menatap Luciana yang berada di sebelahku.
            “Kau lihat tadi?”
            “Apa peduliku?” Serius, tapi Luciana baru saja berumur 21 tahun namun wajahnya sudah seperti Ibu-ibu yang memiliki 4 anak! Dan ia sangat tidak sopan. “Bukan urusanku,”
            “Setidaknya kau meresponinya dengan ramah. Aku tidak tahu apa maksud Tn. Alex menetapkanmu berada di sebelahku, apa dia ingin membuat mataku katarak hanya karena melihat riasan wajahmu yang lebih dari 2 inchi atau untuk menguji kesabaranku ketika kau bersikap seperti pelacur saat tamu hotel yang berjenis kelamin pria datang,” ucapku dengan hinaan-hinaan yang kumiliki. Ia memutar kursinya menghadap ke arahku dan memasang wajah: ‘Apa-apaan yang kaubilang?’ tapi aku bersikap tak acuh padanya. Aku sudah bersikap bersahabat dengannya, tapi ia malah membalasku seperti itu. Untuk menjadi seorang resepsionis kau harus bersikap ramah pada siapa pun.
            “Aku berharap kau dipanggil oleh Tn. Alex dan dipecat dari hotel ini!” Sumpahnya padaku. Tapi aku tidak peduli apa yang ia katakan. Aku mulai melakukan pekerjaanku, mengetik dan menunggu tamu-tamu yang bisa datang kapan saja. Sesekali aku mendengar suara tempat bedak yang terbuka dari Luciana lalu ia menutupnya hingga menghasilkan suara yang keras, sepertinya ia sengaja ingin menggangguku. Apa masalah denganku? Aku yakin jika James berada di dalam hotel, pasti ia juga akan kesal dengan tingkah gadis di sebelahku ini. Dan aku bingung, apa bedak 2 inchi di wajahnya itu tidak cukup tebal untuk menutupi jerawat-jerawatnya yang tumbuh itu? Lalu kemudian ia memoleskan pewarna bibir yang berwarna merah hingga bibirnya lebih terlihat bibir ikan trout namun dengan warna merah yang mengilau. Tiba-tiba telepon resepsionisku berdering, segera saja aku mengangkatnya.
            “Faith, naik ke atas, aku membutuhkanmu sekarang,” ucap Tn. Alex yang terdengar di telepon, lalu mati. Tiba-tiba aku merasa gugup, apa yang akan Tn. Alex lakukan padaku? Apa kutukan dari Luciana benar-benar terjadi padaku? Oh, jika benar, ia memang istri dari Lucifer.

            Aku melangkah dengan perasaan yang gugup ketika memasuki ruang kerja Tn. Alex. Sangat sejuk, tenang, dan nyaman. Well, memang dari dulu aku menyukai ruang kerjanya. Kututup pintu ruang kerjanya dan melihatnya telah melipat tangan di atas meja kerja sambil memerhatikanku yang mendekati meja kerjanya.
            “Apa yang bisa kubantu untukmu, Tn. Alex?” Tanyaku sesopan mungkin. Tn. Alex menggeleng-gelengkan kepalanya lalu ia menggumamkan sesuatu hingga tiba-tiba saja lampu mulai berubah menjadi remang-remang. Oke, apa yang akan terjadi? Tiba-tiba aku berada di kamar, tempat dimana aku dan Justin berhubungan badan hanya dengan pencahayaan yang remang-remang. Kemudian Tn. Alex berdiri dan mendekatiku, aku langsung saja mundur beberapa langkah untuk menjauhinya. Namun sofa berwarna hitam yang berada di ruang kerjanya menahanku tubuhku.
            “Baiklah, Faith, aku tahu apa yang sedang kaulakukan padaku. Pasti kau berbohong tentang kekasihmu, kau hanya ingin membuatku cemburu bukan? Tapi percaya padaku, itu adalah tindakan yang benar-benar kotor,” ucap Tn.Alex berdiri tepat di hadapanku, ia mengucapkan setiap kata dengan raut wajah yang kesal namun juga mengejek. Permainan apa yang sedang ia permainkan?
            “Aku tidak sama sekali berbohong tentang Justin adalah kekasihku. Dan untuk membuatmu cemburu, apa untungnya bagiku, Tn. Alex?” Tanyaku ketakutan.
            “Kau sedang mengulur waktu untuk melihat apa aku cemburu atau tidak. Kenyataannya adalah aku memang cemburu. Kau tahu aku mencintaimu, tapi kau malah mencampakkanku karena lelaki bajingan itu. Mengapa? Dia lebih kaya? Aku bisa membuat diriku lebih kaya dibanding dirinya, Faith,” ucapnya, merendahkanku. Apa-apaan yang ia katakan? Aku benar-benar tidak terima dengan apa yang ia katakan. Aku tidak mencintai Justin karena uang semata, aku bahkan masih tidak tahu apa mencintai Justin atau tidak karena semua ini masih proses. Dan mengapa sekarang Tn. Alex terlihat sangat menyebalkan? Untuk yang pertama kalinya aku tidak menyukai cara bicaranya yang menghinaku, merendahkanku. Tangannya menjulur padaku, namun dengan cepat aku mundur ke belakang. Tirai ruang kerjanya hancur karena aku sudah tidak dapat mundur lagi, jalan buntu. Nah, sekarang waktunya berdoa agar Tuhan mengampuni dosa Tn. Alex yang sebentar lagi akan menyakitiku.
            “Mengapa kau diam, Faith? Apa aku benar?” Tanya Tn. Alex semakin mendekatiku. Jari telunjuknya mulai menyentuh daguku, secepat mungkin tanganku menepisnya dengan kasar. Raut wajahnya berubah menjadi tak suka padaku. “Apa masalahnya? Kau menyukainya? Aku tahu kau pasti sudah dipakai berkali-kali oleh lelaki bajingan itu. Kau pelacurnya bukan? Mengapa aku tidak bisa memakaimu sama seperti dia memakaimu? Aku bisa membayarnya sama dengan ia membayarmu. Memangnya aku tidak tahu darimana uangmu dapat membiayai tagihan rumah sakit? Pasti kau melacurkan dirimu pada lelaki bajingan itu bukan?” Saat itu juga tanganku melayang di pipi Tn. Alex, aku sangat kesal. Aku tidak pernah direndahkan seperti itu! Sejak kapan aku melacurkan diri pada seorang lelaki?
            “Terkadang kau harus berjuang untuk menerima kenyataan yang ada meski itu menyakitkan! Jaga bicaramu, Tn. Alex! Sekalipun aku hanya seorang resepsionis, bukan berarti aku akan melacurkan diriku hanya untuk mendapatkan uang!” Teriakku. Tapi ketika itu juga Tn. Alex memegang kedua tanganku, meremasnya hingga aku mengerang kesakitan, mataku terpejam berusaha untuk tidak merasa sakit atas genggamannya yang sangat kencang di pergelangan tanganku. Kemudian ia berusaha untuk mengecup bibirku, bibirnya hanya mendapat pipiku karena aku terus menggeleng-gelengkan kepala. Aku merasa sangat kotor ketika ia menyentuhku. Air mata mulai mengalir melewati pipiku. Sekuat tenaga aku berusaha untuk mendorong tubuhnya agar menjauh dariku, tapi tetap saja ia masih lebih kuat daripadaku. Sekalipun aku berteriak, tidak akan ada orang yang mendengar karena ruangan ini adalah ruang kedap suara.
            “Tidak! Tidak! Tidak!” Jeritku terus menggeleng-gelengkan kepala, menunduk dan sesekali mendongakkan kepalaku sehingga bibirnya menyentuh leherku.
            “Cium aku seperti kau mencium bajingan itu, Faith!” Perintahnya.
            “Tidak!” Teriakku berusaha menarik tanganku dari genggaman tangannya yang semakin lama semakin mengencang. Sangat sakit. Semakin aku memberontak, semakin kencang genggaman tangannya padaku. Tubuhku semakin lemah, kepalaku pening, air mataku terus mengalir. Ini bukan Tn. Alex yang kukenal. Apa yang Justin katakan padaku ternyata benar, Tn. Alex hanya ingin berhubungan badanku. Seharusnya aku percaya dengan apa yang ia katakan, aku terlalu bodoh.
            “Kubilang cium aku, sialan!” Bentak Tn. Alex menampar pipiku, aku terisak. “Jangan berpikir aku akan iba karena kau menangis. Kau yang membuatku seperti ini, kau menginginkanku dan saat aku menginginkanku kau malah mencampakkanku. Apa yang sebenarnya kau inginkan Faith? Kau lebih memilih bajingan sialan itu dibanding aku yang lebih baik daripadanya,” ia terus membentak. Air mataku semakin mengalir. Beberapa detik ketika ia berusaha untuk mencium bibirku kembali, pintu ruangannya terbuka. Cukup bodoh ia tidak menguncinya, untuk satu detik aku tertawa mengejek. Tangannya melepas pergelangan tanganku sehingga aku terjatuh lemas ke atas lantai. Pria itu muncul dengan wajah yang jahat, mata yang penuh dengan kebencian, ia seperti iblis sekarang. Pakaian yang ia kenakan sama seperti pagi tadi, berwarna hitam, kemeja hitam itu memang sangat pas untuknya. Justin. Justin berada di ruangan Tn. Alex. Penglihatanku buram seketika, tapi aku masih dapat melihat Justin memukul Tn. Alex hingga bunyi tinjuannya benar-benar terdengar.
            Air mataku semakin mengalir. Ketakutanku semakin terasa. Tangan besar itu memegang kerah kemeja Tn. Alex dan tangan kiri itu meninju Tn. Alex dengan tinjuan mautnya yang terus menghantam wajah Tn. Alex. Aku berusaha untuk menghentikannya namun tanganku begitu lemas untuk mengangkat tangan. Bahkan berdiripun aku tak bisa. Justin berteriak, mengancam. Ia ingin membunuh Tn. Alex hanya dengan tangan kirinya. Tidak, ia tidak boleh melakukan itu.
            “Justin, berhenti,” teriakku sebisa mungkin. Aku merangkak berusaha untuk mendekati mereka, kembali aku terjatuh ke atas lantai. Pergelangan tanganku rasanya akan patah jika aku merangkak satu kali lagi.
            “Bibirku tak cukup untuk memperingatimu agar menjauhi kekasihku. Kau yang memintanya, Tn. Alex. Oh, yeah, aku benar-benar menikmati …tinjuan ..ini!” Ujar Justin tampak sangat senang, puas, entahlah, ada sesuatu yang begitu aneh dari raut wajahnya ketika ia meninju wajah Tn. Alex. Tapi aku langsung meneriaki Justin.
            “Jangan bunuh dia!” Teriakku, tegas. Saat itu juga Tn. Alex yang berlutut itu ambruk jatuh ketika tangan Justin melepaskan kerah kemejanya. “Tidak lagi, jangan bunuh dia,” lanjutku menempelkan pipiku pada lantai berkarpet ini. Segera saja Justin mendekatiku, ia perlahan-lahan mengangkat tubuhku dan menempatkanku pada sofa.
            “Apa yang ia lakukan padamu, Faith? Apa ia benar-benar menciummu?” Tanyanya, sangat khawatir. Kedua alis bertaut, matanya yang awalnya penuh dengan kebencian itu sekarang berubah dengan kelembutan yang tak pernah kulihat sebelumnya. “Faith? Sayang?” Sayang? Aku terbuai.
            “Tidak, ia tidak menciumku. Aku memberontak,” ucapku berusaha menenangkannya. “Apa ia baik-baik saja?” Itu adalah pertanyaan yang bodoh. Sudah jelas wajah Tn. Alex yang tampan sekarang pasti hancur karena karpet di tempatnya yang berlutut tadi telah berlumuran darah.
            “Aku berharap ia tidak baik-baik saja. Dan tidak bernafas. Melihatnya bernafas benar-benar mengganggu hidupku,” ucapnya penuh dengan kebencian. “Setidaknya hal itu dapat membuatnya jauh darimu dan aku berharap kau dipecat agar kau tidak bertemu dengannya lagi,”
            “Bagaimana bisa kau datang ke sini tepat ketika ia berusaha memperkosaku?” Tanyaku, cukup bingung. Apa ia mengikuti seharian ini? Tapi ia bilang ia memiliki urusan bisnis, meski di kota Atlanta. Justin yang berlutut di hadapanku menatap lututku lalu melipat bibirnya ke dalam. Ya, sudah kuduga ia mengikutiku seharian ini. Namun mengapa ia tahu aku berada di dalam kantor Tn. Alex?
            “Kebetulan aku berada di restoran seberang hotelmu dan melihat tirai yang bergerak, entah datang dari mana asalnya aku merasa bahwa kau sedang terancam dan itu adalah ruangan si bajingan itu. Dan sungguh bodoh ia tidak mengunci pintu, jika aku jadi dia, aku sudah pasti akan mengunci pintu,” ucap Justin dengen ejekannya. Ia memang benar-benar membenci Tn. Alex, aku tidak membenci Tn. Alex hanya saja aku tidak menyukai sifatnya yang baru saja ia perlihatkan padaku. Aku tidak tahu bahwa Tn. Alex akan seliar itu dan setega itu padaku. Kupikir ia memang orang yang sangat baik.
            “Kau baik-baik saja?” Tanya Justin kembali. Aku menganggukkan kepalaku. Justin berdiri dan mulai memelukku, ia menempatkan kepalaku di perutnya yang keras lalu mengelus rambutku dengan lembut. “Aku tidak akan membiarkan orang lain menyakitimu,” bisiknya mendesah. Saat itu juga pintu ruang kerja Tn. Alex terbuka, petugas keamanan muncul.
            “Apa yang terjadi?”
            “Dia memberontak masuk ke dalam tanpa seizing Tn. Alex,” ucap sekretaris Tn. Alex.
            “Aku akan membereskannya.” Ucap Justin bertanggungjawab. Perasaan lega menyelimutiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar