FAITH
Musik
lamban di pagi hari terdengar sangat cocok untuk suasana pagi ini. Christina
Perri bernyanyi bersama dengan Jason Mraz yang berpadu menghasilkan harmoni
yang indah. Musik lagu Distance
mengawali pagi yang tenang menjadi terdengar lebih damai. Tanganku masih
memegang pensil untuk menyangga rambut sanggul yang akan kubuat nanti tapi
sebentar lagi aku akan sampai ke hotel, cepat-cepat kuapit pensil dengan dua
bibirku. Kemudian aku mengambil sisir yang berada di dalam tasku dan tanganku
mulai menyisir serta menyanggul rambut sebagaimana mestinya. Justin yang berada
di sebelahku sesekali melirik dengan bibir yang berkedut. Entah apa yang lucu
baginya, tapi yang jelas ia memiliki lelucon tersendiri yang orang lain tidak
akan mengerti. Tubuhku menghadap padanya, menatap wajahnya baik-baik sampai
akhirnya aku menarik pensil yang berada di mulutku dan menusukkannya pada
sanggulan. Akhirnya aku bisa sepenuhnya menatap lelaki tampan di hadapanku
dengan damai. Setelah malam tadi ia benar-benar memintaku untuk menjadi
kekasihnya, akhirnya kami resmi menjadi sepasan kekasih. Ia bilang, ia akan
mencoba hubungan ini agar tidak ada lelaki lain yang dapat menyentuhku. Cukup gentle untuk lelaki seperti Justin.
Hari
ini Justin tidak banyak bicara. Ia terlihat senang namun ia sangat egois
sehingga ia menyimpannya sendiri. Tadi malam aku tidak berhubungan badan
dengannya, meski aku sangat tahu, ia menginginkanku. Menyelimutinya dengan
kenikmatan dan ia menyelimutiku dengan kehangatan. Dan kejadian itu tidak akan
pernah kulupakan seumur hidupku, meski aku tahu resiko terbesarnya adalah sakit
hati. Selama aku percaya pada Justin, aku tidak akan sakit hati. Pelukan Justin
sangatlah hangat, tidak seperti tangannya yang menjabat tanganku terasa sangat
dingin dan tak bersahabat –awalnya seperti itu—tapi ternyata dibalik tangannya
yang dingin itu terdapat pelukan yang sangat hangat. Ia pemeluk yang ulung,
harus kuakui.
“Mengapa
kau tidak berbicara?” Tanya Justin, akhirnya. Apa aku secerewet itu? Ya ampun,
berarti aku sangat cerewet baginya. Baiklah, aku memang sudah berpacaran dengan
lelaki di hadapanku tapi bukan berarti aku menghilangkan kepribadianku yang
asli.
“Mmm,”
gumamku. “Hanya mengingat kejadian tadi malam. Hari ini kau terlihat sangat
bahagia, mengapa?” Kali ini aku yang bertanya pada Justin. Ia mendesah lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya, dan Justin mengedikkan bahunya, tidak tahu.
Mengapa? Pria tampan sialan ini selalu saja membuatku penasaran. Andai aku bisa
membaca pikirannya, aku pasti sudah tahu rahasia-rahasia apa saja yang ia
simpan. Tapi aku bukanlah seorang pembaca pikiran, aku hanya seorang gadis yang
akhirnya mendapatkan seorang kekasih yang tidak pernah kuduga sebelumnya.
“Kau
ingin membahasnya sekarang?” Tanyanya. Tentu! Demi Tuhan, aku ingin sekali
menampar wajah Justin agar ia sadar bahwa aku selalu tertarik dalam segala hal
tentangnya.
“Selalu,
Justin,” ucapku, mendesah. Justin menganggukkan kepalanya, seperti ia
benar-benar ingin membuatku mati penasaran. Aku menunggu jawabannya lalu ia
menyandarkan tubuhnya ke kursi mobil dan menginjak pedal lebih dalam lagi
sehingga mobil yang ia bawa berlaju lebih cepat.
“Aku
juga sedang memikirkan tentang tadi malam. Ini mungkin memang bukan yang
pertama kalinya bagiku, tapi kau adalah pacarku yang ketiga. Tapi kau sangat
berbeda, entahlah, dalam pelukan …mengapa itu bisa terjadi?”
“Aku
juga tidak percaya. Kau adalah pacarku yang kedua,”
“Mengapa
dengan yang pertama?” Tanyanya, penasaran. Melihat wajah Justin yang penasaran
benar-benar pemandangan yang langka, biasanya ia tidak memberikan ekspresi apa
pun. Ia seorang lelaki yang tidak dapat mengekspresikan kebahagiaannya atau
kesedihannya, tapi kali ini, aku bisa melihat ia penasaran. Aku mendesah, ia
membuatku mengingat kejadian sialan yang sudah lama terjadi. “Faith?” Ia
benar-benar ingin tahu apa yang terjadi.
“Dia
berselingkuh,” ucapku. “Hah, kau tahulah, orang ketiga dalam sebuah hubungan
selalu ada. Pasti ada satu orang yang ingin merusak hubunganmu, ia akan
menyelip masuk lalu menghancurkan segalanya. Aku mendapatinya berciuman di
depan gereja dengan seorang gadis lain, cukup menyedihkan,
“Ini
terjadi 3 tahun yang lalu. Saat itu aku masih berumur 19 tahun, ya, bisa
dibilang aku belum cukup dewasa untuk menerima seorang lelaki. Ibuku tidak
masalah ketika ia tahu aku memiliki seorang pacar, tapi yang ia tekankan adalah
untuk tidak berhubungan badan dengannya. Jadi, aku berpacaran dengannya.
Namanya Luke, berambut pirang dan kautahulah, ciri-cirinya hampir sama dengan
abangku tapi hanya tidak terlihat garang seperti abangku. Sudah hampir 1 tahun
kami berpacaran, aku merasa sangat yakin bahwa ia adalah suamiku di masa depan,
tapi sampai akhirnya…
“Salah
seorang temanku memberitahu padaku bahwa Luke mengajak seorang gadis lain ke
taman kota, meski pada awalnya aku tidak percaya dengan perkataannya. Dua hari
setelah temanku menceritakan kejadian itu, akhirnya aku melihatnya sendiri … ia
berselingkuh dariku. Oh, demi Tuhan, aku sangat bodoh telah mencintainya tapi
tak ada yang bisa menghentikan perasaan cinta bukan? Well, selain orang yang
kaucintai menyakitimu dan membuatmu tidak menginginkannya lagi. Dia tidak
pernah menyentuhku atau berniat untuk meniduriku, hanya sekedar ciuman biasa.
Dan ya, ia berselingkuh di depan gereja bersama dengan gadis yang tentunya lebih
cantik dariku—“
“Aku
ragu akan ada gadis cantik yang melebihi kecantikanmu,” ucap Justin
mengomentari ceritaku. Well, ternyata ia seorang lelaki yang mau mendengar masa
laluku, cukup manis. “Lalu?” Ia ingin tahu kelanjutannya.
“Ia
tidak tahu bahwa aku tahu dia telah berselingkuh dariku. Saat aku melihat
mereka berciuman, aku tidak mendekatinya atau memarahi mantan kekasihku. Aku
hanya beranjak dari tempatku dan pulang ke rumah dengan patah hati. Tiga hari
berikutnya, aku memutuskannya karena dua hari sebelumnya ia memang benar-benar
berselingkuh dariku. Sepertinya ia sangat senang karena telah kuputuskan …oh
sial, aku tidak mau menangis hanya karena ini,”
Kepala
Justin langsung menoleh padaku, panik. “Jangan, jangan menangis. Kau tidak
perlu menyesalinya, justru itu adalah tindakan yang bagus karena sekarang aku
bisa dengan mudah memilikimu,” ujarnya menenangkanku. Kutarik nafas dalam-dalam
lalu memejamkan mata agar aku lebih tenang. Padahal aku sudah membuang
jauh-jauh kenangan buruk namun kembali lagi karena Justin memintaku untuk
memungutnya.
“Apakah
kau akan sepertinya?”
“Seperti
apa?” Tanya Justin menggigit bibir atasnya.
“Seperti
Luke. Berselingkuh atau semacamnya,” ucapku ingin tahu. Tapi ia pasti akan
berusaha untuk tidak menyakiti hatiku seperti yang Luke lakukan padaku.
Maksudku, jika hatiku sudah dipatahkan oleh seorang lelaki, aku tidak cukup
bodoh untuk tersakiti kembali dengan orang yang sama. Itu sama saja aku
terjatuh dalam lubang yang sama. Justin menggeleng-gelengkan kepalanya sampai
akhirnya, ia menatap padaku.
“Tidak
mungkin,” ujarnya mantap. “Aku bukan seorang bajingan yang akan mencampakkanmu
karena aku mendapatkan gadis lebih cantik. Sudah kubilang dari awal, Faith,
kita akan mencoba menjalani hubungan ini,” jelas Justin mendekatiku lalu
mengecup keningku. Sekujur tubuhku bergetar, ia sangat manis. Sangat perhatian.
Sangat posesif. Dan yang jelas, sangat misterius. Mobilnya berhenti di tempat
parkiran –di pinggiran jalan—tepat di depan hotel.
“Well,
sampai ketemu lagi. Hubungi aku jika kau ingin bertemu denganku. Kumohon jangan
ikuti aku seperti kemarin. Aku berjanji tidak akan mendekati Tn. Alex. Dia
tidak lebih dari seorang teman, oke?” Tanyaku memohon. Siku-siku Justin telah
berada di atas setir, ia bersandar di sana dan menatapku dengan raut wajah yang
tidak suka.
“Tidak,
aku benar-benar harus tahu apa yang kaulakukan. Kemarin kau tidak
menghubungiku. Sudah kubilang untuk menghubungiku setelah kau pulang kerja
namun kau tidak sama sekali menghubungiku. Kau malah bersama dengan lelaki
bajingan itu. Seharian ini aku berada di kota Atlanta untuk urusan bisnisku.
Jadi, aku tidak begitu khawatir,”
“Intinya,
kau tidak akan mengikutiku seharian ini bukan?” Tanyaku bersikeras. Justin
memejamkan matanya, sepertinya ia benar-benar menahan emosinya. Dengan terpaksa
akhirnya ia mengucapkan kata ajaib itu.
“Baiklah,”
ucapnya.
“Oke,
aku akan menghubungimu makan siang nanti,” ucapku mengecup bibirnya kilas lalu
pergi.
***
“Aku
tidak bisa karena aku telah memiliki kekasih,” ucapku ketika Tn. Alex memintaku
untuk kencan kembali. Padahal kemarin aku sudah bilang padanya bahwa itu adalah
kencan terakhir yang akan terjadi dalam hubungan kami. Tapi ia masih bersikeras
untuk mendapatkanku. Ini juga untuk kebaikannya, aku tidak membiarkannya
mendekatiku agar Justin tidak menyakitinya. Sekarang aku tahu perasaan Justin
ketika aku dekat dengan Tn. Alex kemarin, mungkinkah ia cemburu sama seperti
dulu aku cemburu ketika Luke bersama dengan kekasihnya yang baru itu? Maksudku,
tentu saja ia tidak suka jika orang yang ia miliki didekati oleh orang lain.
Tn. Alex yang menyandarkan siku-sikunya di meja resepsionis itu tidak berani
menatapku, ia seperti berpikir. Teman baruku, Luciana –yang lebih terlihat
seperti istri dari Lucifer—sedang fokus dengan komputernya. Apa ia sedang
mencoba menarik perhatian Tn. Alex karena ia rajin bekerja? Jika ya, itu akan
sangat menjadi lelucon yang lucu untuk kuceritakan pada anak-anakku kelak.
“Apa
itu lelaki bajingan kemarin?”
“Tn.
Alex, dia bukanlah seorang bajingan. Dan ya, aku berpacaran dengannya,” ucapku,
tegas. Tn. Alex menelan ludahnya lalu ia mengangguk, pasrah. Ia melipat
bibirnya ke dalam dan menoleh padaku dengan tatapan kecewa. Bukan maksudku untuk
menyakitinya, tapi tidak semua orang di dunia ini mendapatkan apa yang ia
inginkan. Seperti seorang artis yang dimana setiap penggemarnya ingin menjadi
kekasihnya tapi pada akhirnyapun akan sama …ia akan memilih satu orang kekasih
untuk menjadi pasangan untuk seumur hidupnya.
“Semoga
harimu menyenangkan, Faith,” ucap Tn. Alex menganggukkan kepalanya lalu ia
berjalan menuju pintu lift. Kumohon jangan sampai ia membenciku dan memecatku.
Aku terduduk di atas kursi dan mulai menatap Luciana yang berada di sebelahku.
“Kau
lihat tadi?”
“Apa
peduliku?” Serius, tapi Luciana baru saja berumur 21 tahun namun wajahnya sudah
seperti Ibu-ibu yang memiliki 4 anak! Dan ia sangat tidak sopan. “Bukan
urusanku,”
“Setidaknya
kau meresponinya dengan ramah. Aku tidak tahu apa maksud Tn. Alex menetapkanmu
berada di sebelahku, apa dia ingin membuat mataku katarak hanya karena melihat
riasan wajahmu yang lebih dari 2 inchi atau untuk menguji kesabaranku ketika
kau bersikap seperti pelacur saat tamu hotel yang berjenis kelamin pria
datang,” ucapku dengan hinaan-hinaan yang kumiliki. Ia memutar kursinya
menghadap ke arahku dan memasang wajah: ‘Apa-apaan yang kaubilang?’ tapi aku
bersikap tak acuh padanya. Aku sudah bersikap bersahabat dengannya, tapi ia
malah membalasku seperti itu. Untuk menjadi seorang resepsionis kau harus
bersikap ramah pada siapa pun.
“Aku
berharap kau dipanggil oleh Tn. Alex dan dipecat dari hotel ini!” Sumpahnya
padaku. Tapi aku tidak peduli apa yang ia katakan. Aku mulai melakukan
pekerjaanku, mengetik dan menunggu tamu-tamu yang bisa datang kapan saja.
Sesekali aku mendengar suara tempat bedak yang terbuka dari Luciana lalu ia
menutupnya hingga menghasilkan suara yang keras, sepertinya ia sengaja ingin
menggangguku. Apa masalah denganku? Aku yakin jika James berada di dalam hotel,
pasti ia juga akan kesal dengan tingkah gadis di sebelahku ini. Dan aku
bingung, apa bedak 2 inchi di wajahnya itu tidak cukup tebal untuk menutupi
jerawat-jerawatnya yang tumbuh itu? Lalu kemudian ia memoleskan pewarna bibir
yang berwarna merah hingga bibirnya lebih terlihat bibir ikan trout namun
dengan warna merah yang mengilau. Tiba-tiba telepon resepsionisku berdering,
segera saja aku mengangkatnya.
“Faith,
naik ke atas, aku membutuhkanmu sekarang,” ucap Tn. Alex yang terdengar di
telepon, lalu mati. Tiba-tiba aku merasa gugup, apa yang akan Tn. Alex lakukan
padaku? Apa kutukan dari Luciana benar-benar terjadi padaku? Oh, jika benar, ia
memang istri dari Lucifer.
Aku
melangkah dengan perasaan yang gugup ketika memasuki ruang kerja Tn. Alex.
Sangat sejuk, tenang, dan nyaman. Well, memang dari dulu aku menyukai ruang
kerjanya. Kututup pintu ruang kerjanya dan melihatnya telah melipat tangan di
atas meja kerja sambil memerhatikanku yang mendekati meja kerjanya.
“Apa
yang bisa kubantu untukmu, Tn. Alex?” Tanyaku sesopan mungkin. Tn. Alex
menggeleng-gelengkan kepalanya lalu ia menggumamkan sesuatu hingga tiba-tiba
saja lampu mulai berubah menjadi remang-remang. Oke, apa yang akan terjadi?
Tiba-tiba aku berada di kamar, tempat dimana aku dan Justin berhubungan badan
hanya dengan pencahayaan yang remang-remang. Kemudian Tn. Alex berdiri dan
mendekatiku, aku langsung saja mundur beberapa langkah untuk menjauhinya. Namun
sofa berwarna hitam yang berada di ruang kerjanya menahanku tubuhku.
“Baiklah,
Faith, aku tahu apa yang sedang kaulakukan padaku. Pasti kau berbohong tentang
kekasihmu, kau hanya ingin membuatku cemburu bukan? Tapi percaya padaku, itu
adalah tindakan yang benar-benar kotor,” ucap Tn.Alex berdiri tepat di hadapanku,
ia mengucapkan setiap kata dengan raut wajah yang kesal namun juga mengejek.
Permainan apa yang sedang ia permainkan?
“Aku
tidak sama sekali berbohong tentang Justin adalah kekasihku. Dan untuk
membuatmu cemburu, apa untungnya bagiku, Tn. Alex?” Tanyaku ketakutan.
“Kau
sedang mengulur waktu untuk melihat apa aku cemburu atau tidak. Kenyataannya
adalah aku memang cemburu. Kau tahu aku mencintaimu, tapi kau malah
mencampakkanku karena lelaki bajingan itu. Mengapa? Dia lebih kaya? Aku bisa
membuat diriku lebih kaya dibanding dirinya, Faith,” ucapnya, merendahkanku.
Apa-apaan yang ia katakan? Aku benar-benar tidak terima dengan apa yang ia
katakan. Aku tidak mencintai Justin karena uang semata, aku bahkan masih tidak
tahu apa mencintai Justin atau tidak karena semua ini masih proses. Dan mengapa
sekarang Tn. Alex terlihat sangat menyebalkan? Untuk yang pertama kalinya aku
tidak menyukai cara bicaranya yang menghinaku, merendahkanku. Tangannya
menjulur padaku, namun dengan cepat aku mundur ke belakang. Tirai ruang
kerjanya hancur karena aku sudah tidak dapat mundur lagi, jalan buntu. Nah,
sekarang waktunya berdoa agar Tuhan mengampuni dosa Tn. Alex yang sebentar lagi
akan menyakitiku.
“Mengapa
kau diam, Faith? Apa aku benar?” Tanya Tn. Alex semakin mendekatiku. Jari
telunjuknya mulai menyentuh daguku, secepat mungkin tanganku menepisnya dengan
kasar. Raut wajahnya berubah menjadi tak suka padaku. “Apa masalahnya? Kau
menyukainya? Aku tahu kau pasti sudah dipakai berkali-kali oleh lelaki bajingan
itu. Kau pelacurnya bukan? Mengapa aku tidak bisa memakaimu sama seperti dia
memakaimu? Aku bisa membayarnya sama dengan ia membayarmu. Memangnya aku tidak
tahu darimana uangmu dapat membiayai tagihan rumah sakit? Pasti kau melacurkan
dirimu pada lelaki bajingan itu bukan?” Saat itu juga tanganku melayang di pipi
Tn. Alex, aku sangat kesal. Aku tidak pernah direndahkan seperti itu! Sejak
kapan aku melacurkan diri pada seorang lelaki?
“Terkadang
kau harus berjuang untuk menerima kenyataan yang ada meski itu menyakitkan!
Jaga bicaramu, Tn. Alex! Sekalipun aku hanya seorang resepsionis, bukan berarti
aku akan melacurkan diriku hanya untuk mendapatkan uang!” Teriakku. Tapi ketika
itu juga Tn. Alex memegang kedua tanganku, meremasnya hingga aku mengerang
kesakitan, mataku terpejam berusaha untuk tidak merasa sakit atas genggamannya
yang sangat kencang di pergelangan tanganku. Kemudian ia berusaha untuk
mengecup bibirku, bibirnya hanya mendapat pipiku karena aku terus
menggeleng-gelengkan kepala. Aku merasa sangat kotor ketika ia menyentuhku. Air
mata mulai mengalir melewati pipiku. Sekuat tenaga aku berusaha untuk mendorong
tubuhnya agar menjauh dariku, tapi tetap saja ia masih lebih kuat daripadaku.
Sekalipun aku berteriak, tidak akan ada orang yang mendengar karena ruangan ini
adalah ruang kedap suara.
“Tidak!
Tidak! Tidak!” Jeritku terus menggeleng-gelengkan kepala, menunduk dan sesekali
mendongakkan kepalaku sehingga bibirnya menyentuh leherku.
“Cium
aku seperti kau mencium bajingan itu, Faith!” Perintahnya.
“Tidak!”
Teriakku berusaha menarik tanganku dari genggaman tangannya yang semakin lama
semakin mengencang. Sangat sakit. Semakin aku memberontak, semakin kencang
genggaman tangannya padaku. Tubuhku semakin lemah, kepalaku pening, air mataku
terus mengalir. Ini bukan Tn. Alex yang kukenal. Apa yang Justin katakan padaku
ternyata benar, Tn. Alex hanya ingin berhubungan badanku. Seharusnya aku
percaya dengan apa yang ia katakan, aku terlalu bodoh.
“Kubilang
cium aku, sialan!” Bentak Tn. Alex menampar pipiku, aku terisak. “Jangan
berpikir aku akan iba karena kau menangis. Kau yang membuatku seperti ini, kau
menginginkanku dan saat aku menginginkanku kau malah mencampakkanku. Apa yang
sebenarnya kau inginkan Faith? Kau lebih memilih bajingan sialan itu dibanding
aku yang lebih baik daripadanya,” ia terus membentak. Air mataku semakin
mengalir. Beberapa detik ketika ia berusaha untuk mencium bibirku kembali,
pintu ruangannya terbuka. Cukup bodoh ia tidak menguncinya, untuk satu detik
aku tertawa mengejek. Tangannya melepas pergelangan tanganku sehingga aku
terjatuh lemas ke atas lantai. Pria itu muncul dengan wajah yang jahat, mata
yang penuh dengan kebencian, ia seperti iblis sekarang. Pakaian yang ia kenakan
sama seperti pagi tadi, berwarna hitam, kemeja hitam itu memang sangat pas
untuknya. Justin. Justin berada di ruangan Tn. Alex. Penglihatanku buram
seketika, tapi aku masih dapat melihat Justin memukul Tn. Alex hingga bunyi
tinjuannya benar-benar terdengar.
Air
mataku semakin mengalir. Ketakutanku semakin terasa. Tangan besar itu memegang
kerah kemeja Tn. Alex dan tangan kiri itu meninju Tn. Alex dengan tinjuan
mautnya yang terus menghantam wajah Tn. Alex. Aku berusaha untuk
menghentikannya namun tanganku begitu lemas untuk mengangkat tangan. Bahkan
berdiripun aku tak bisa. Justin berteriak, mengancam. Ia ingin membunuh Tn.
Alex hanya dengan tangan kirinya. Tidak, ia tidak boleh melakukan itu.
“Justin,
berhenti,” teriakku sebisa mungkin. Aku merangkak berusaha untuk mendekati
mereka, kembali aku terjatuh ke atas lantai. Pergelangan tanganku rasanya akan
patah jika aku merangkak satu kali lagi.
“Bibirku
tak cukup untuk memperingatimu agar menjauhi kekasihku. Kau yang memintanya,
Tn. Alex. Oh, yeah, aku benar-benar menikmati …tinjuan ..ini!” Ujar Justin
tampak sangat senang, puas, entahlah, ada sesuatu yang begitu aneh dari raut
wajahnya ketika ia meninju wajah Tn. Alex. Tapi aku langsung meneriaki Justin.
“Jangan
bunuh dia!” Teriakku, tegas. Saat itu juga Tn. Alex yang berlutut itu ambruk
jatuh ketika tangan Justin melepaskan kerah kemejanya. “Tidak lagi, jangan
bunuh dia,” lanjutku menempelkan pipiku pada lantai berkarpet ini. Segera saja
Justin mendekatiku, ia perlahan-lahan mengangkat tubuhku dan menempatkanku pada
sofa.
“Apa
yang ia lakukan padamu, Faith? Apa ia benar-benar menciummu?” Tanyanya, sangat
khawatir. Kedua alis bertaut, matanya yang awalnya penuh dengan kebencian itu
sekarang berubah dengan kelembutan yang tak pernah kulihat sebelumnya. “Faith?
Sayang?” Sayang? Aku terbuai.
“Tidak,
ia tidak menciumku. Aku memberontak,” ucapku berusaha menenangkannya. “Apa ia
baik-baik saja?” Itu adalah pertanyaan yang bodoh. Sudah jelas wajah Tn. Alex
yang tampan sekarang pasti hancur karena karpet di tempatnya yang berlutut tadi
telah berlumuran darah.
“Aku
berharap ia tidak baik-baik saja. Dan tidak bernafas. Melihatnya bernafas
benar-benar mengganggu hidupku,” ucapnya penuh dengan kebencian. “Setidaknya
hal itu dapat membuatnya jauh darimu dan aku berharap kau dipecat agar kau
tidak bertemu dengannya lagi,”
“Bagaimana
bisa kau datang ke sini tepat ketika ia berusaha memperkosaku?” Tanyaku, cukup
bingung. Apa ia mengikuti seharian ini? Tapi ia bilang ia memiliki urusan
bisnis, meski di kota Atlanta. Justin yang berlutut di hadapanku menatap
lututku lalu melipat bibirnya ke dalam. Ya, sudah kuduga ia mengikutiku
seharian ini. Namun mengapa ia tahu aku berada di dalam kantor Tn. Alex?
“Kebetulan
aku berada di restoran seberang hotelmu dan melihat tirai yang bergerak, entah
datang dari mana asalnya aku merasa bahwa kau sedang terancam dan itu adalah
ruangan si bajingan itu. Dan sungguh bodoh ia tidak mengunci pintu, jika aku
jadi dia, aku sudah pasti akan mengunci pintu,” ucap Justin dengen ejekannya.
Ia memang benar-benar membenci Tn. Alex, aku tidak membenci Tn. Alex hanya saja
aku tidak menyukai sifatnya yang baru saja ia perlihatkan padaku. Aku tidak
tahu bahwa Tn. Alex akan seliar itu dan setega itu padaku. Kupikir ia memang
orang yang sangat baik.
“Kau
baik-baik saja?” Tanya Justin kembali. Aku menganggukkan kepalaku. Justin
berdiri dan mulai memelukku, ia menempatkan kepalaku di perutnya yang keras
lalu mengelus rambutku dengan lembut. “Aku tidak akan membiarkan orang lain
menyakitimu,” bisiknya mendesah. Saat itu juga pintu ruang kerja Tn. Alex
terbuka, petugas keamanan muncul.
“Apa
yang terjadi?”
“Dia
memberontak masuk ke dalam tanpa seizing Tn. Alex,” ucap sekretaris Tn. Alex.
“Aku
akan membereskannya.” Ucap Justin bertanggungjawab. Perasaan lega menyelimutiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar