CHAPTER NINE
FAITH
“Kau masih marah padaku?” Aku bertanya,
menghancurkan segala keheningan dalam mobil yang Justin kendarai. Dari tadi aku
tak berani menatap matanya. Ia bagaikan iblis yang memancarkan api ketika ia
sedang marah. Entahlah, aku merasakan aura-aura tak enak darinya, ia terlihat
sangat jahat dan ganas. Aku tak tahu apa “ganas” dapat mendekskripsikannya
tepat, tapi jahat, sudah jelas. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya
ketika kami sudah masuk ke dalam mobilnya, apa dia mengikuti seharian ini?
Mengapa ia tahu dimana aku berada? Ia muncul tak diundang. Ini memang semua
salahku. Aku memberikan izin pada Tn. Alex agar bisa kencan denganku untuk yang
terakhir kalinya. Kuakui, aku memang tak setia, untuk sekarang ini. Tapi aku
sudah mengatakan pada Tn. Alex bahwa tadi adalah kencan terakhir kami. Sudah
jelas, aku tidak akan melakukannya lagi. Apa pun alasanku, tetap saja aku yang
salah. Tidak ada yang bisa memungkirinya. Aku mendesah, tanganku kulipat dan
kutolehkan kepalaku ke sebelah kanan untuk melihat bangunan-bangunan tinggi.
Terasa canggung jika kita berada dalam mobil dan tidak mendengar lagu apa pun.
Aku seperti jiwa yang mati. Kembali aku mendesah, kusandarkan kepalaku dan
memejamkan mataku, berusaha untuk tidur. Dimana pun Justin membawaku, aku tidak
peduli, tidak mungkin ia akan membunuhku, itu sudah pasti.
Beberapa menit kemudian, indra
pendengarku mendengar alunan musik natal kesukaanku. Oh. Glee. Bagaimana bisa
memutarkan lagu ini? Aku mendesah, lagi. Dua sudut bibirku tertarik ke atas
yang menghasilkan lengkungan, aku tersenyum. Last Christmas. Tiba-tiba aku baru sadar, mobil yang Justin
kendarai tidak berjalan cepat. Ia mengendarainya begitu lambat. Apa yang ia
inginkan? Ia ingin aku mati di dalam mobil bersama dengannya dalam keheningan?
Sangat, sangat, sangat kumengerti mengapa ia marah padaku. Tapi bukan berarti
ia tidak berbicara denganku. Ia tidak seperti orang dewasa. Hmm. Lalu lagu itu
tiba-tiba terganti menjadi lagu Beyonce, lagu kesukaanku. Belum sampai 30
detik, ia sudah menggantikan lagunya. Apa tujuannya melakukan ini? Kemudian
sebuah lagu dari Avenged Sevenfold terputar, Almost Easy. Tidak, aku tidak menyukainya. Kepalaku menoleh
padanya, menatapnya dengan mata yang sayu. Kepala Justin terangguk-angguk,
menikmati musik heavy metal itu. Terserah
dia, apa pun itu yang membuatnya bahagia sekarang, aku akan membiarkannya.
“Mengapa lagu ini?” Tanyaku, oh
Tuhan, aku memang tidak dapat menutup mulutku selama lebih dari 10 menit.
Justin mengetuk-ketuk jari-jarinya di setir mobil yang ia pegang, mengikuti
irama. Sial, apa dia sedang mengabaikanku? Mulutnya tiba-tiba saja terbuka
tanpa menatapku lalu ia terengah.
“Aku tahu kau tidak menyukainya,”
ucapnya, tenang.
“Oh? Jadi kau memutarnya karena aku
tidak menyukainya? Tujuanmu?” Tanyaku, bingung. Kucondongkan tubuhku dan Justin
memberikan tawa mengejek, aku menganga. Jadi ini sikap seorang pemilik
perusahaan-perusaahn di Amerika? Harus kuakui, ia pengusaha yang berbeda dari
yang lain.
“Mengganggumu,”
“Oh, jadi kau merasa hidupmu lengkap
telah melakukan itu? Kau bahagia sekarang?” Tanyaku kesal. Aku tidak pernah
melakukan sesuatu yang sengaja untuk membuatnya merasa terganggu. Tapi ia tiadk
menjawab, ia diam saja. Kubanting tubuhku kembali ke kursi mobil dan menatap
kaca mobil dengan pandangan kosong. Aku baru mengenalnya selama satu minggu
lebih, tapi mengapa sikapnya sangat aneh? Seolah-olah aku adalah kekasihnya,
tapi kenyataannya adalah tidak. Ini sangat menyedihkan ketika kau memiliki
sebuah hubungan layaknya sepasang kekasih tetapi kau tidak memiliki status itu. Tangan Justin jatuh ke atas pahaku
dan segera mungkin aku menepisnya dengan kasar.
“Kau sangat lucu ketika kau sedang
marah padaku. Baiklah, sekarang adil. Aku tidak marah padamu lagi,” ucap Justin
mengumumkan. Jadi ia sedang mencari keadilan? Ia membuatku marah karena aku
telah membuatnya marah? Baiklah, cukup adil. “Besok aku akan membawamu ke
dokter pribadimu untuk mencegah kehamilanmu. Kondom tidak cukup menghindarimu
dari kehamilan, aku juga membenci benda itu,”
“Hmm,” aku hanya menggumam. “Apa pun
itu jika itu menyenangkanmu. Aku hanyalah seorang submisif yang menyenangkanmu.
Ha-ha-ha,”
“Aku sungguh tidak menyukai caramu
berbicaramu, Faith,” ia menyebut namaku, dan berbicara dengan nada mengancam
pula. Kuhadapkan tubuhku ke arahnya, menatapnya dengan tatapan bosan. Lagu yang
ia putar masih terdengar, lagu sialan itu.
“Aku minta maaf, kalau begitu,”
balasku memejamkan mata. Entah mengapa, aku sangat mengantuk sekarang. “Jika
kau izinkan, aku sangat ingin tidur,”
“Sebelum kau tidur, ada sesuatu yang
ingin kutahu darimu,” pintanya, kuanggukan kepalaku. “Apa hubunganmu dengan
bajingan sialan itu?” Panggilan yang sama. Oke. Kugelengkan kepalaku, siapa Tn.
Alex? Ia hanyalah seorang atasan yang menyukaiku, meski Lennion selama ini
tidak pernah percaya Tn. Alex menyukaiku.
“Tidak ada apa-apa, kita hanya
berteman,” ucapku.
“Aku mau kau berhenti bekerja di
hotel itu,” Justin berkata seenaknya. Mataku terbuka, kedua alisku saling
bertaut, apa yang baru saja ia katakan? Berhenti bekerja di hotel itu dan aku
menafkahi kakakku dengan apa? Daun-daun di luar sana yang kupetik dan akan
menjadi uang? Oke, uang dan daun sama-sama hijau, jadi apa yang menjadi
masalahnya? Justin Bajingan Lexise. “Jika kau tidak mau, dia yang akan berhenti
bekerja di hotel itu,”
“Jangan berani-berani menyakitinya,
Justin,”
“Jika aku menyakitinya, apa
pengaruhnya bagimu?” Tanyanya, santai. Terlalu santai sampai-sampai aku tidak
menyukai nada bicara yang sangat-sangat-sangat arogan. Terima kasih Tuhan
lagunya telah terganti!
“Dia sudah seperti keluarga bagiku,”
ucapku, asal. Ia tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, apa yang lucu?
Ia mendesah panjang dengan raut wajah yang bingung. “Aku serius,”
“Alasan yang bagus untuk
melindunginya, tapi jika ia menyentuhmu lagi, Faith, percaya padaku dia akan
mati secepat mungkin,”
“Sebenarnya, masalahmu di sini apa?
Jika kau ingin menjadi kekasihku, mengapa kau tidak mengatakannya saja? Aku
akan menerimamu jika kau benar-benar tulus,” ujarku frustrasi. Aku mendesah, ia
pun mendesah. Mengapa aku bisa-bisanya berbicara seperti itu? Aku terkesan
sangat percaya diri dan itu sangat memalukan jika ia tidak ingin menjadi
kekasihku. Baju lengan panjang yang kukenakan tidak cukup menghangat tubuhku.
Kurasa Justin tidak menyukai penampilan sejak aku masuk ke dalam rumahnya, atau
bisa kubilang, jika aku tidak memakai pakaian kerja.
“Aku tidak pernah jatuh cinta,”
ucapnya. Nafasku mengembus teratur namun jantungku berpacu begitu cepat. “Cinta
hanya membuatmu terluka,”
“Mengapa?”
“Kau tahu apa penyebab orangtuaku
bercerai? Itu semua karenaku,” jelasnya, kurang dapat kujabarkan secara luas.
Mengapa karenanya? Tentu itu karena orangtuanya, bukan karenanya, apa dia sudah
kehilangan otaknya? “Aku tidak ingin membicarakannya, istirahatlah,” lanjutnya,
menggeleng-gelengkan kepalanya. Saat kulihat wajahnya tadi, ia tampak sangat
kesal pada dirinya sendiri. Mengapa ia merasa dirinya adalah penyebab
orangtuanya bercerai? Justin yang malang, aku tak tega melihatnya sedih
sekaligus kesal itu. Ya, pasti sangat berat hidup tanpa dua orangtua yang
lengkap. Terima kasih Tuhan karena kau memberikan orangtua yang lengkap dan
mencintaiku apa adanya.
***
JUSTIN
Melihat wajah Faith yang tenang
membuatku ikut tenang. Gadis ini memang tidak dapat menutup mulutnya sebelum
aku menggeram. Ia teramat sangat cerewet, tapi aku senang mendengar suaranya.
Meski aku tidak menyukai sikap Faith yang terlihat seperti kekanak-kanakkan
namun aku tahu ia memiliki pemikiran yang dewasa. Dan Alex Brengsek Sicrossire
itu harus mati. Aku tidak peduli dengan apa yang Faith katakan padaku untuk
tidak menyakitinya, tapi ia telah berani-beraninya menyentuh pipi Faith. Aku
benar-benar yakin dari tatapan Alex, ia hanya ingin melakukan hubungan seks
dengan Faith. Dia itu adalah seorang bajingan yang menutupi sifat aslinya yang
liar itu dengan sikapnya yang manis, yang memanipulasi. Benar-benar keren
aktingnya ketika ia terlihat sangat perhatian pada Faith. Aku sudah mencari
tahu jadwal kerjanya agar aku bisa dengan mudah membunuh Alex. Tiga hari ke
depan aku akan siap-siap membunuhnya, aku serius.
Kuhembuskan nafasku ketika aku baru
saja ingat, Carla baru saja pindah ke rumahku sebagai pengurus rumahku.
Bagaimana aku bisa menjelaskannya pada Faith? Ia tentu sudah kenal sangat lama.
Dan tidak mungkin secara langsung aku memberitahu Faith bahwa Carla adalah
mantan submisifku. Bahkan Carla pernah kuajak untuk kencan, itu pasti akan
menjadi cobaan tersendiri bagi Faith jika ia tahu berita itu. Masih banyak
rahasia yang kusimpan dari Faith, aku juga harus berjaga-jaga meski Faith
adalah seorang pintar yang polos, tapi tetap aku harus menahan mulutku untuk
tidak memberitahu tentang kehidupanku lebih dalam. Ia bisa saja menjatuhkanku
ketika ia sudah berhenti menjadi submisifku. Dan aku masih sangat benar-benar
sadar, Faith sama dengan gadis-gadis yang lain, yang hanya mengincar harta
kekayaanku. Jadi, untuk apa aku memberitahunya seluruh kehidupanku? Tidak ada
yang spesial.
Pintu
gerbangku terbuka dengan sendirinya ketika mobilku berada di depannya, lalu
kuinjak pedal gas agar segera masuk ke dalam. Harus ada jawaban-jawaban yang
kusiapkan jika Faith bertemu dengan Carla. Carla adalah salah satu mantan
submisif favoritku. Ia seperti tahu segalanya dan serba bisa. Hanya saja, aku
tidak mencintainya, itu saja kekurangannya. Jika ia mencintaiku, namun aku
sungguh minta maaf, aku tidak dapat menerima cintanya yang memang sangat
berarti. Kuhentikan mobilku di depan rumahku yang besar dan mematikan mesin.
“Faith?” Panggilku, menyentuh
bahunya yang hangat itu. Ia tertidur sangat nyenyak. Apa aku harus
membangunkannya? Aku mengutuk diriku sendiri dan membuka pintu. Marcell telah
berada di depan mobilku dan aku langsung memberikan kunci mobil pada Marcell.
Kaki berlari kecil menuju pintu yang lain untuk menggendong Faith yang terlelap
itu. “Tunggu sebentar,” perintahku. Kubuka pintu mobil dan mulai menggendong
Faith yang tidak sama sekali berat. Apa yang ia makan? Angin? Mengapa gadis ini
bisa begitu mungil dan ringan? Postur tubuhnya normal, hanya saja ia tidak
berbobot.
“Bukakan pintu, sekarang,”
perintahku pada Marcell. Segera saja ia menaiki anak tangga bersama denganku
lalu ia membuka pintu depan. Kudengar suara tawa dari seorang wanita yang
sangat kukenal, bukan Carla, ia Ibuku. Aku tidak pernah berbicara dengannya
selama lebih 15 tahun. Tidak percaya? Kau harusnya percaya. Ia datang ke
rumahku hanya untuk berbicara dengan kakekku dan aku menganggapnya tidak ada di
dunia ini. Kakekku tidak pernah memberitahu siapa pun tentang keberadaan Ibuku
–kecuali para pegawai di rumahku— tidak ada salah satu submisifku yang tahu. Ia
pasti berkata pada orang-orang yang bertanya dimana Ibu: “Ibu Justin pergi
entah kemana”. Beruntung karena Faith
sekarang sedang tertidur, karena aku sangat yakin kakekku telah menceritakan
tentang sedikit tentang kehidupanku pada Faith.
“Justin, Ibumu datang,”
“Aku tahu,” ucapku singkat. Aku
hanya tidak ingin berbicara dengannya. Aku bahkan tidak ingin mendengar suara.
Melihatnya bergerak. Atau mendengarnya bernafas. Kakiku melangkah menaiki
tangga, tidak ada tanda-tanda dari Carla. Mungkin ia juga sudah terlelap. Oh
ya, benar, aku memang tidak senang akan kehidupan Ibuku di dunia. Aku tidak
peduli jika mereka di luar mengatakan padaku bahwa aku adalah anak durhaka,
tapi Ibuku tidak pernah menginginkanku berada di dalam dunia ini. Aku bukanlah
anak yang diinginkan di dunia ini. Sial, aku sangat membencinya. Dia salah satu
penyebab mengapa Ayahku meninggal! Kubuka pintu kamarku, terasa sangat sejuk
sampai-sampai aku juga ingin melempar tubuhku ke atas tempat tidur. Pintu kamar
tertutup, segera mungkin aku menjatuhkan tubuh Faith ke atas tempat tidur.
“Justin,” suara Faith terdengar
ketika kubaringkan tubuhnya. Matanya masih terpejam, namun tangannya telah
memegang tanganku, berusaha untuk menahan. “Maukah kau menemaniku tidur?”
“Tentu, tapi aku harus mandi dan
mengganti pakaianku,”
“Tidak, tidak perlu,” geleng Faith,
memohon. “Ayolah, aku akan mengizinkanmu memelukku sepanjang malam,”
“Itu sudah pasti aku akan memelukmu.
Tapi karena kau yang memintanya, kau tidak perlu meminta dua kali,” ucapku
melepaskan sepatu yang kupakai serta kaos kaki yang kupakai. Aku merangkak
melewat tubuhnya lalu menghempaskan tubuhku tepat di sisinya. Kuraup tubuhnya
yang kecil dalam pelukanku, ia mulai mengendus-endus aroma tubuhku. Tanganku
melingkar di sekitar pinggangnya, begitu juga dengan tangannya yang mungil –ia
tidak dapat menyentuh sisi pinggangku yang lain—dan kakinya menyelip di antara
kedua kakiku.
“Mau kau beritahu mengapa kau merasa
dirimu penyebab perceraian orangtuamu?” Tanyanya, mulai lagi. Aku sudah bosan
dengan pertanyaan seputar orangtuaku. Gadis ini sepertinya tidak lelah untuk
menggali-gali informasi tentangku. Atau ia memang ingin tahu tentangku hanya
karena ia seorang submisif? Tapi submisifku yang sebelumnya tidak pernah
memaksa pertanyaan-pertanyaan seperti ini padaku, jika aku tidak ingin
menceritakan padanya, ya itulah yang terjadi. Tidak akan ada kata-kata yang
keluar tentang orangtuaku. Mengapa gadis polos ini sangat ingin tahu?
“Mengapa kau ingin tahu?”
“Well, harus kuberitahu padamu, kau
tidak sama sekali bersalah. Bukan kau penyebab orangtuamu bercerai. Apa ini
yang membuatmu selalu merasa tersinggung jika aku membicarakan orangtuamu?”
Tanyanya yang tangannya mulai mengelus-elus punggungku, mengapa hanya dengan
elusan biasa seperti itu membuatku sangat bergairah? Ia bahkan tidak menarik
pakaianku keluar dan menyentuh kulitku yang sangat benar sensitif jika
disentuhnya. Ia seperti setruman listrik yang menyentuhku.
“Mereka menikah karena kecelakaan.
Kau tahu sendiri, aku anak yang dikandung sebelum menikah. Atau bisa kau
bilang, anak yang tidak diinginkan oleh orangtua. Ibuku tidak menginginkanku,
ia berniat untuk menggugurkanku namun Ayahku menahannya. Sehingga dengan
terpaksa Ayahku menikah dengan Ibuku, tapi pernikahan mereka tidak sama sekali
berjalan dengan baik, jadi …inilah aku. Aku penyebab mengapa mereka menikah dan
mengapa mereka bercerai. Kau sudah puas sekarang, Faith Edwina?” Tanyaku, tidak
dapat menahan berita ini padanya. Aku juga harus bersikap jujur dengan
pertanyaan-pertanyaannya. Mungkin hanya beberapa pertanyaannya yang tidak dapat
kujawab sejujur mungkin pada Faith. Tangan Faith yang awalnya berada di
punggungku sekarang telah menyentuh pipiku. Ia mengelusnya, seperti seorang
kekasih yang sangat mencintaiku. Tapi aku tidak pernah ingin mencintai siapa
pun, mencintai hanya membuatmu sakit hati. Percaya padaku, ketika kau mencintai
seseorang, kesakitan akan terasa lebih nyata. Resiko sakit hati tidak ingin
kuambil lagi, sudah cukup satu kali aku merasakan sakit hati, dan aku tidak
akan mencintai seseorang seperti dulu aku mencintai orangtuaku.
“Berarti banyak sekali cinta yang
kaumiliki namun kau tidak tahu harus menyalurkannya bagaimana,” ucapnya
menyentuh dadaku. “Soal berpacaran tadi, aku hanya bercanda. Jika kau hanya
menginginkanku sebagai seorang submisif, tidak apa-apa,”
“Memang jika aku memintamu sebagai
kekasihku, kau akan langsung menerimaku?” Tanyaku, menatap matanya dalam-dalam.
Dari bawah sana, ia berusaha mencari-cari keyakinan melalui mataku.
“Sejak pertama kali aku bertemu
denganmu, aku berkata pada diriku sendiri untuk tidak mendekatimu. Aku merasakan
hal yang aneh jika kau menatapku dan ternyata kau mengenalku melalui rumah
sakitmu. Bagaimana bisa? Dan oh, lihatlah sekarang, aku tunduk padamu. Berada
dalam pelukanmu. Membicarakan hal yang belum tentu itu adalah kita,”
“Kau tidak tahu apa yang kaubicarakan,
Faith,” ucapku menggelengkan kepala. Ia mengangguk.
“Kau benar, aku tidak tahu apa yang
kubicarakan. Tapi jika kau memintaku untuk menjadi kekasihmu, tentu aku mau.
Ibuku ingin kau bersama denganku,” ucapnya, tidak menatapku. Ia memain-mainkan
jarinya di depan dadaku.
“Hanya karena Ibumu kau ingin
bersama denganku?” Aku kembali bertanya, menggodanya. Maksudku, menjalin
hubungan dengan Faith, bagaimana mungkin? Ini adalah hal bodoh, aku tidak akan
bisa bertahan bersama dengan Faith. Aku seorang lelaki yang mudah terpancing
emosi dan aku adalah lelaki egois. Faith menggelengkan kepalanya.
“Tidak, aku suka caramu memiliki
kehidupan yang menyenangkan. Meski kau sangat misterius, banyak rahasia, tapi
ternyata kau memiliki sisi yang benar-benar menyenangkan. Jadi di sini, apa
intinya?” Mata Faith mulai menatapku kembali, tatapan polos yang seperti
memanggilku untuk menidurinya. Bagaimana bisa ia melakukan itu?
“Jadi, Faith, kau ingin menjadi
kekasihku?” Tanyaku, mengambil keputusan
yang akan mengubah seluruh kehidupanku. Faith tidak menjawab, hanya sebuah kecupan
yang membakar gairahku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar