Minggu, 15 Desember 2013

Right Mistakes Bab 9



CHAPTER NINE

FAITH

            “Kau masih marah padaku?” Aku bertanya, menghancurkan segala keheningan dalam mobil yang Justin kendarai. Dari tadi aku tak berani menatap matanya. Ia bagaikan iblis yang memancarkan api ketika ia sedang marah. Entahlah, aku merasakan aura-aura tak enak darinya, ia terlihat sangat jahat dan ganas. Aku tak tahu apa “ganas” dapat mendekskripsikannya tepat, tapi jahat, sudah jelas. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya ketika kami sudah masuk ke dalam mobilnya, apa dia mengikuti seharian ini? Mengapa ia tahu dimana aku berada? Ia muncul tak diundang. Ini memang semua salahku. Aku memberikan izin pada Tn. Alex agar bisa kencan denganku untuk yang terakhir kalinya. Kuakui, aku memang tak setia, untuk sekarang ini. Tapi aku sudah mengatakan pada Tn. Alex bahwa tadi adalah kencan terakhir kami. Sudah jelas, aku tidak akan melakukannya lagi. Apa pun alasanku, tetap saja aku yang salah. Tidak ada yang bisa memungkirinya. Aku mendesah, tanganku kulipat dan kutolehkan kepalaku ke sebelah kanan untuk melihat bangunan-bangunan tinggi. Terasa canggung jika kita berada dalam mobil dan tidak mendengar lagu apa pun. Aku seperti jiwa yang mati. Kembali aku mendesah, kusandarkan kepalaku dan memejamkan mataku, berusaha untuk tidur. Dimana pun Justin membawaku, aku tidak peduli, tidak mungkin ia akan membunuhku, itu sudah pasti.
            Beberapa menit kemudian, indra pendengarku mendengar alunan musik natal kesukaanku. Oh. Glee. Bagaimana bisa memutarkan lagu ini? Aku mendesah, lagi. Dua sudut bibirku tertarik ke atas yang menghasilkan lengkungan, aku tersenyum. Last Christmas. Tiba-tiba aku baru sadar, mobil yang Justin kendarai tidak berjalan cepat. Ia mengendarainya begitu lambat. Apa yang ia inginkan? Ia ingin aku mati di dalam mobil bersama dengannya dalam keheningan? Sangat, sangat, sangat kumengerti mengapa ia marah padaku. Tapi bukan berarti ia tidak berbicara denganku. Ia tidak seperti orang dewasa. Hmm. Lalu lagu itu tiba-tiba terganti menjadi lagu Beyonce, lagu kesukaanku. Belum sampai 30 detik, ia sudah menggantikan lagunya. Apa tujuannya melakukan ini? Kemudian sebuah lagu dari Avenged Sevenfold terputar, Almost Easy. Tidak, aku tidak menyukainya. Kepalaku menoleh padanya, menatapnya dengan mata yang sayu. Kepala Justin terangguk-angguk, menikmati musik heavy metal itu. Terserah dia, apa pun itu yang membuatnya bahagia sekarang, aku akan membiarkannya.
            “Mengapa lagu ini?” Tanyaku, oh Tuhan, aku memang tidak dapat menutup mulutku selama lebih dari 10 menit. Justin mengetuk-ketuk jari-jarinya di setir mobil yang ia pegang, mengikuti irama. Sial, apa dia sedang mengabaikanku? Mulutnya tiba-tiba saja terbuka tanpa menatapku lalu ia terengah.
            “Aku tahu kau tidak menyukainya,” ucapnya, tenang.
            “Oh? Jadi kau memutarnya karena aku tidak menyukainya? Tujuanmu?” Tanyaku, bingung. Kucondongkan tubuhku dan Justin memberikan tawa mengejek, aku menganga. Jadi ini sikap seorang pemilik perusahaan-perusaahn di Amerika? Harus kuakui, ia pengusaha yang berbeda dari yang lain.
            “Mengganggumu,”
            “Oh, jadi kau merasa hidupmu lengkap telah melakukan itu? Kau bahagia sekarang?” Tanyaku kesal. Aku tidak pernah melakukan sesuatu yang sengaja untuk membuatnya merasa terganggu. Tapi ia tiadk menjawab, ia diam saja. Kubanting tubuhku kembali ke kursi mobil dan menatap kaca mobil dengan pandangan kosong. Aku baru mengenalnya selama satu minggu lebih, tapi mengapa sikapnya sangat aneh? Seolah-olah aku adalah kekasihnya, tapi kenyataannya adalah tidak. Ini sangat menyedihkan ketika kau memiliki sebuah hubungan layaknya sepasang kekasih tetapi kau tidak memiliki status itu. Tangan Justin jatuh ke atas pahaku dan segera mungkin aku menepisnya dengan kasar.
            “Kau sangat lucu ketika kau sedang marah padaku. Baiklah, sekarang adil. Aku tidak marah padamu lagi,” ucap Justin mengumumkan. Jadi ia sedang mencari keadilan? Ia membuatku marah karena aku telah membuatnya marah? Baiklah, cukup adil. “Besok aku akan membawamu ke dokter pribadimu untuk mencegah kehamilanmu. Kondom tidak cukup menghindarimu dari kehamilan, aku juga membenci benda itu,”
            “Hmm,” aku hanya menggumam. “Apa pun itu jika itu menyenangkanmu. Aku hanyalah seorang submisif yang menyenangkanmu. Ha-ha-ha,”
            “Aku sungguh tidak menyukai caramu berbicaramu, Faith,” ia menyebut namaku, dan berbicara dengan nada mengancam pula. Kuhadapkan tubuhku ke arahnya, menatapnya dengan tatapan bosan. Lagu yang ia putar masih terdengar, lagu sialan itu.
            “Aku minta maaf, kalau begitu,” balasku memejamkan mata. Entah mengapa, aku sangat mengantuk sekarang. “Jika kau izinkan, aku sangat ingin tidur,”
            “Sebelum kau tidur, ada sesuatu yang ingin kutahu darimu,” pintanya, kuanggukan kepalaku. “Apa hubunganmu dengan bajingan sialan itu?” Panggilan yang sama. Oke. Kugelengkan kepalaku, siapa Tn. Alex? Ia hanyalah seorang atasan yang menyukaiku, meski Lennion selama ini tidak pernah percaya Tn. Alex menyukaiku.
            “Tidak ada apa-apa, kita hanya berteman,” ucapku.
            “Aku mau kau berhenti bekerja di hotel itu,” Justin berkata seenaknya. Mataku terbuka, kedua alisku saling bertaut, apa yang baru saja ia katakan? Berhenti bekerja di hotel itu dan aku menafkahi kakakku dengan apa? Daun-daun di luar sana yang kupetik dan akan menjadi uang? Oke, uang dan daun sama-sama hijau, jadi apa yang menjadi masalahnya? Justin Bajingan Lexise. “Jika kau tidak mau, dia yang akan berhenti bekerja di hotel itu,”
            “Jangan berani-berani menyakitinya, Justin,”
            “Jika aku menyakitinya, apa pengaruhnya bagimu?” Tanyanya, santai. Terlalu santai sampai-sampai aku tidak menyukai nada bicara yang sangat-sangat-sangat arogan. Terima kasih Tuhan lagunya telah terganti!
            “Dia sudah seperti keluarga bagiku,” ucapku, asal. Ia tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, apa yang lucu? Ia mendesah panjang dengan raut wajah yang bingung. “Aku serius,”
            “Alasan yang bagus untuk melindunginya, tapi jika ia menyentuhmu lagi, Faith, percaya padaku dia akan mati secepat mungkin,”
            “Sebenarnya, masalahmu di sini apa? Jika kau ingin menjadi kekasihku, mengapa kau tidak mengatakannya saja? Aku akan menerimamu jika kau benar-benar tulus,” ujarku frustrasi. Aku mendesah, ia pun mendesah. Mengapa aku bisa-bisanya berbicara seperti itu? Aku terkesan sangat percaya diri dan itu sangat memalukan jika ia tidak ingin menjadi kekasihku. Baju lengan panjang yang kukenakan tidak cukup menghangat tubuhku. Kurasa Justin tidak menyukai penampilan sejak aku masuk ke dalam rumahnya, atau bisa kubilang, jika aku tidak memakai pakaian kerja.
            “Aku tidak pernah jatuh cinta,” ucapnya. Nafasku mengembus teratur namun jantungku berpacu begitu cepat. “Cinta hanya membuatmu terluka,”
            “Mengapa?”
            “Kau tahu apa penyebab orangtuaku bercerai? Itu semua karenaku,” jelasnya, kurang dapat kujabarkan secara luas. Mengapa karenanya? Tentu itu karena orangtuanya, bukan karenanya, apa dia sudah kehilangan otaknya? “Aku tidak ingin membicarakannya, istirahatlah,” lanjutnya, menggeleng-gelengkan kepalanya. Saat kulihat wajahnya tadi, ia tampak sangat kesal pada dirinya sendiri. Mengapa ia merasa dirinya adalah penyebab orangtuanya bercerai? Justin yang malang, aku tak tega melihatnya sedih sekaligus kesal itu. Ya, pasti sangat berat hidup tanpa dua orangtua yang lengkap. Terima kasih Tuhan karena kau memberikan orangtua yang lengkap dan mencintaiku apa adanya.

***

JUSTIN

            Melihat wajah Faith yang tenang membuatku ikut tenang. Gadis ini memang tidak dapat menutup mulutnya sebelum aku menggeram. Ia teramat sangat cerewet, tapi aku senang mendengar suaranya. Meski aku tidak menyukai sikap Faith yang terlihat seperti kekanak-kanakkan namun aku tahu ia memiliki pemikiran yang dewasa. Dan Alex Brengsek Sicrossire itu harus mati. Aku tidak peduli dengan apa yang Faith katakan padaku untuk tidak menyakitinya, tapi ia telah berani-beraninya menyentuh pipi Faith. Aku benar-benar yakin dari tatapan Alex, ia hanya ingin melakukan hubungan seks dengan Faith. Dia itu adalah seorang bajingan yang menutupi sifat aslinya yang liar itu dengan sikapnya yang manis, yang memanipulasi. Benar-benar keren aktingnya ketika ia terlihat sangat perhatian pada Faith. Aku sudah mencari tahu jadwal kerjanya agar aku bisa dengan mudah membunuh Alex. Tiga hari ke depan aku akan siap-siap membunuhnya, aku serius.
            Kuhembuskan nafasku ketika aku baru saja ingat, Carla baru saja pindah ke rumahku sebagai pengurus rumahku. Bagaimana aku bisa menjelaskannya pada Faith? Ia tentu sudah kenal sangat lama. Dan tidak mungkin secara langsung aku memberitahu Faith bahwa Carla adalah mantan submisifku. Bahkan Carla pernah kuajak untuk kencan, itu pasti akan menjadi cobaan tersendiri bagi Faith jika ia tahu berita itu. Masih banyak rahasia yang kusimpan dari Faith, aku juga harus berjaga-jaga meski Faith adalah seorang pintar yang polos, tapi tetap aku harus menahan mulutku untuk tidak memberitahu tentang kehidupanku lebih dalam. Ia bisa saja menjatuhkanku ketika ia sudah berhenti menjadi submisifku. Dan aku masih sangat benar-benar sadar, Faith sama dengan gadis-gadis yang lain, yang hanya mengincar harta kekayaanku. Jadi, untuk apa aku memberitahunya seluruh kehidupanku? Tidak ada yang spesial.
            Pintu gerbangku terbuka dengan sendirinya ketika mobilku berada di depannya, lalu kuinjak pedal gas agar segera masuk ke dalam. Harus ada jawaban-jawaban yang kusiapkan jika Faith bertemu dengan Carla. Carla adalah salah satu mantan submisif favoritku. Ia seperti tahu segalanya dan serba bisa. Hanya saja, aku tidak mencintainya, itu saja kekurangannya. Jika ia mencintaiku, namun aku sungguh minta maaf, aku tidak dapat menerima cintanya yang memang sangat berarti. Kuhentikan mobilku di depan rumahku yang besar dan mematikan mesin.
            “Faith?” Panggilku, menyentuh bahunya yang hangat itu. Ia tertidur sangat nyenyak. Apa aku harus membangunkannya? Aku mengutuk diriku sendiri dan membuka pintu. Marcell telah berada di depan mobilku dan aku langsung memberikan kunci mobil pada Marcell. Kaki berlari kecil menuju pintu yang lain untuk menggendong Faith yang terlelap itu. “Tunggu sebentar,” perintahku. Kubuka pintu mobil dan mulai menggendong Faith yang tidak sama sekali berat. Apa yang ia makan? Angin? Mengapa gadis ini bisa begitu mungil dan ringan? Postur tubuhnya normal, hanya saja ia tidak berbobot.
            “Bukakan pintu, sekarang,” perintahku pada Marcell. Segera saja ia menaiki anak tangga bersama denganku lalu ia membuka pintu depan. Kudengar suara tawa dari seorang wanita yang sangat kukenal, bukan Carla, ia Ibuku. Aku tidak pernah berbicara dengannya selama lebih 15 tahun. Tidak percaya? Kau harusnya percaya. Ia datang ke rumahku hanya untuk berbicara dengan kakekku dan aku menganggapnya tidak ada di dunia ini. Kakekku tidak pernah memberitahu siapa pun tentang keberadaan Ibuku –kecuali para pegawai di rumahku— tidak ada salah satu submisifku yang tahu. Ia pasti berkata pada orang-orang yang bertanya dimana Ibu: “Ibu Justin pergi entah kemana”.  Beruntung karena Faith sekarang sedang tertidur, karena aku sangat yakin kakekku telah menceritakan tentang sedikit tentang kehidupanku pada Faith.
            “Justin, Ibumu datang,”
            “Aku tahu,” ucapku singkat. Aku hanya tidak ingin berbicara dengannya. Aku bahkan tidak ingin mendengar suara. Melihatnya bergerak. Atau mendengarnya bernafas. Kakiku melangkah menaiki tangga, tidak ada tanda-tanda dari Carla. Mungkin ia juga sudah terlelap. Oh ya, benar, aku memang tidak senang akan kehidupan Ibuku di dunia. Aku tidak peduli jika mereka di luar mengatakan padaku bahwa aku adalah anak durhaka, tapi Ibuku tidak pernah menginginkanku berada di dalam dunia ini. Aku bukanlah anak yang diinginkan di dunia ini. Sial, aku sangat membencinya. Dia salah satu penyebab mengapa Ayahku meninggal! Kubuka pintu kamarku, terasa sangat sejuk sampai-sampai aku juga ingin melempar tubuhku ke atas tempat tidur. Pintu kamar tertutup, segera mungkin aku menjatuhkan tubuh Faith ke atas tempat tidur.
            “Justin,” suara Faith terdengar ketika kubaringkan tubuhnya. Matanya masih terpejam, namun tangannya telah memegang tanganku, berusaha untuk menahan. “Maukah kau menemaniku tidur?”
            “Tentu, tapi aku harus mandi dan mengganti pakaianku,”
            “Tidak, tidak perlu,” geleng Faith, memohon. “Ayolah, aku akan mengizinkanmu memelukku sepanjang malam,”
            “Itu sudah pasti aku akan memelukmu. Tapi karena kau yang memintanya, kau tidak perlu meminta dua kali,” ucapku melepaskan sepatu yang kupakai serta kaos kaki yang kupakai. Aku merangkak melewat tubuhnya lalu menghempaskan tubuhku tepat di sisinya. Kuraup tubuhnya yang kecil dalam pelukanku, ia mulai mengendus-endus aroma tubuhku. Tanganku melingkar di sekitar pinggangnya, begitu juga dengan tangannya yang mungil –ia tidak dapat menyentuh sisi pinggangku yang lain—dan kakinya menyelip di antara kedua kakiku.
            “Mau kau beritahu mengapa kau merasa dirimu penyebab perceraian orangtuamu?” Tanyanya, mulai lagi. Aku sudah bosan dengan pertanyaan seputar orangtuaku. Gadis ini sepertinya tidak lelah untuk menggali-gali informasi tentangku. Atau ia memang ingin tahu tentangku hanya karena ia seorang submisif? Tapi submisifku yang sebelumnya tidak pernah memaksa pertanyaan-pertanyaan seperti ini padaku, jika aku tidak ingin menceritakan padanya, ya itulah yang terjadi. Tidak akan ada kata-kata yang keluar tentang orangtuaku. Mengapa gadis polos ini sangat ingin tahu?
            “Mengapa kau ingin tahu?”
            “Well, harus kuberitahu padamu, kau tidak sama sekali bersalah. Bukan kau penyebab orangtuamu bercerai. Apa ini yang membuatmu selalu merasa tersinggung jika aku membicarakan orangtuamu?” Tanyanya yang tangannya mulai mengelus-elus punggungku, mengapa hanya dengan elusan biasa seperti itu membuatku sangat bergairah? Ia bahkan tidak menarik pakaianku keluar dan menyentuh kulitku yang sangat benar sensitif jika disentuhnya. Ia seperti setruman listrik yang menyentuhku.
            “Mereka menikah karena kecelakaan. Kau tahu sendiri, aku anak yang dikandung sebelum menikah. Atau bisa kau bilang, anak yang tidak diinginkan oleh orangtua. Ibuku tidak menginginkanku, ia berniat untuk menggugurkanku namun Ayahku menahannya. Sehingga dengan terpaksa Ayahku menikah dengan Ibuku, tapi pernikahan mereka tidak sama sekali berjalan dengan baik, jadi …inilah aku. Aku penyebab mengapa mereka menikah dan mengapa mereka bercerai. Kau sudah puas sekarang, Faith Edwina?” Tanyaku, tidak dapat menahan berita ini padanya. Aku juga harus bersikap jujur dengan pertanyaan-pertanyaannya. Mungkin hanya beberapa pertanyaannya yang tidak dapat kujawab sejujur mungkin pada Faith. Tangan Faith yang awalnya berada di punggungku sekarang telah menyentuh pipiku. Ia mengelusnya, seperti seorang kekasih yang sangat mencintaiku. Tapi aku tidak pernah ingin mencintai siapa pun, mencintai hanya membuatmu sakit hati. Percaya padaku, ketika kau mencintai seseorang, kesakitan akan terasa lebih nyata. Resiko sakit hati tidak ingin kuambil lagi, sudah cukup satu kali aku merasakan sakit hati, dan aku tidak akan mencintai seseorang seperti dulu aku mencintai orangtuaku.
            “Berarti banyak sekali cinta yang kaumiliki namun kau tidak tahu harus menyalurkannya bagaimana,” ucapnya menyentuh dadaku. “Soal berpacaran tadi, aku hanya bercanda. Jika kau hanya menginginkanku sebagai seorang submisif, tidak apa-apa,”
            “Memang jika aku memintamu sebagai kekasihku, kau akan langsung menerimaku?” Tanyaku, menatap matanya dalam-dalam. Dari bawah sana, ia berusaha mencari-cari keyakinan melalui mataku.
            “Sejak pertama kali aku bertemu denganmu, aku berkata pada diriku sendiri untuk tidak mendekatimu. Aku merasakan hal yang aneh jika kau menatapku dan ternyata kau mengenalku melalui rumah sakitmu. Bagaimana bisa? Dan oh, lihatlah sekarang, aku tunduk padamu. Berada dalam pelukanmu. Membicarakan hal yang belum tentu itu adalah kita,”
            “Kau tidak tahu apa yang kaubicarakan, Faith,” ucapku menggelengkan kepala. Ia mengangguk.
            “Kau benar, aku tidak tahu apa yang kubicarakan. Tapi jika kau memintaku untuk menjadi kekasihmu, tentu aku mau. Ibuku ingin kau bersama denganku,” ucapnya, tidak menatapku. Ia memain-mainkan jarinya di depan dadaku.
            “Hanya karena Ibumu kau ingin bersama denganku?” Aku kembali bertanya, menggodanya. Maksudku, menjalin hubungan dengan Faith, bagaimana mungkin? Ini adalah hal bodoh, aku tidak akan bisa bertahan bersama dengan Faith. Aku seorang lelaki yang mudah terpancing emosi dan aku adalah lelaki egois. Faith menggelengkan kepalanya.
            “Tidak, aku suka caramu memiliki kehidupan yang menyenangkan. Meski kau sangat misterius, banyak rahasia, tapi ternyata kau memiliki sisi yang benar-benar menyenangkan. Jadi di sini, apa intinya?” Mata Faith mulai menatapku kembali, tatapan polos yang seperti memanggilku untuk menidurinya. Bagaimana bisa ia melakukan itu?
            “Jadi, Faith, kau ingin menjadi kekasihku?”  Tanyaku, mengambil keputusan yang akan mengubah seluruh kehidupanku. Faith tidak menjawab, hanya sebuah kecupan yang membakar gairahku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar