Minggu, 15 Desember 2013

Right Mistakes Bab 8



CHAPTER EIGHT

AUTHOR

            Mata Faith tertutup dengan penutup mata berwarna hitam. Kamar itu tampak remang-remang dengan lampu yang sengaja tidak dinyalakan. Hanya dua lampu yang terdapat di lemari kecil di kedua sisi tempat tidur yang memiliki empat tiang itu. Dua kaki Faith terikat dengan dua tiang di bawah kakinya, tangannya diikat dengan tali namun sebisa mungkin masternya tidak membuatnya kesakitan. Nafasnya teratur, namun angin yang menerpa selangkangan membuat tubuhnya bergetar. Faith menggigit bibir bawahnya berusaha untuk tidak menggerakkan kakinya. Master Justin memintanya untuk tidak menggerakkan tubuhnya sama sekali. Hanya deru suara AC dan nafasnya yang saling bersahut dalam ruangan itu. Faith tidak sama sekali memakai pakaian sekarang, hanya saja buah dadanya ditutupi oleh sebuah kain. Hukuman ini cukup membuatnya gugup. Apa yang akan Master Justin lakukan padanya? Ada sensasi yang berbeda dari hubungan badannya yang pertama dengan yang sekarang. Apa ia akan dicambuk? Namun ia sudah membicarakan segala titik kelemahannya dalam hubungan BDSM ini. Dan ia percaya, Master Justin tidak akan membuatnya kesakitan.
            Pintu kamar itu terbuka. Seorang lelaki bertubuh tegap dan tinggi itu muncul dengan sebuah cambuk di tangannya. Bukan cambuk tali, hanya sebuah batangan yang tidak begitu tipis dan tebal yang diujung berbentuk daun dan berwarna hitam. Jari-jari panjangnya itu mendorong pintu itu kembali dan menguncinya baik-baik. Kakinya melangkah mendekati Faith yang memiringkan kepala ke arahnya.
            “Tetap di posisimu, Faith,” suara sang dominan benar-benar mengintimidasi Faith. “Kau terlihat sangat seksi. Kau sangat terbuka,”
            “Apa yang akan kaulakukan padaku?”
            “Kau tahu apa yang akan kulakukan, Faith,” ucap Master Justin, menganggukkan kepalanya. Ia berjalan menuju salah satu lemari yang memiliki beberapa laci. Tangan Justin menarik laci paling atas dan mengambil salah satu alat untuk menghukum Faith. Sebuah cambuk tali yang memiliki banyak cabang berwarna hitam. Faith memiringkan kepalanya kembali, ia benar-benar ingin tahu apa yang Masternya akan lakukan padanya. Ia cukup gugup sekarang.
            “Ap-apa yang akan kaulakukan?”
            “Kau tahu apa yang akan kulakukan, Faith,” Master Justin kembali mengucapkan kalimat itu lagi dengan nada menggoda. Justin tidak memakai apa pun di bagian atas tubuhnya, ia hanya memakai celana panjang kerjanya yang berwarna hitam itu dan ia berjalan tanpa alas kaki. Tubuhnya yang atletis tampak sangat seksi jika Faith membuka penutup matanya. Dan mungkin saja, Faith akan meleleh seketika jika ia melihat tubuh Justin.
            “Menghukumku?” Tanya Faith mengangkat kepalanya. Apa pun yang Faith lakukan tidak akan ada gunanya. Kedua tangannya sudah terikat sempurna di balik punggungnya, kedua kakinyapun sudah terikat di kedua tiang tempat tidurnya. Dan matanya juga tertutup, ia tidak dapat melihat apa pun selain mendengar apa yang Masternya lakukan di dekatnya. “Master?”
            “Kau sudah tahu jawabannya, Faith,” ucap Justin. Namun ia tidak ingin Faith penasaran, ia cukup kasihan dengan gadis mungil di hadapannya yang tidak dapat melakukan apa pun itu. “Kau akan kuhukum dengan ini, sayang,” bisik Justin. Cambuk bercabang itu terjatuh ke atas perut Faith yang rata –tulang-tulangnya tak terlihat—yang membuat Faith terkesiap begitu saja. Nafasnya tercekat, perutnya mengejang, dan kedua kakinya tertarik ke atas. Justin menyeringai melihat reaksi Faith. Anak baru, bisik Justin dalam hati. Ia sangat menikmati permainannya. Tangan Justin menarik cambuk itu dari perut hingga menyentuh selangkangan Faith yang membuat Faith tergelitik.
            “Diam, Faith,” perintah Justin tidak ingin Faith semakin menyakiti dirinya karena kakinya dari tadi menarik tali yang mengikatnya. “Lemaskan tubuhmu,” perintah Justin kembali. Faith menurunkan perutnya yang mengejang itu bersama dengan kakinya. Cambuk itu menggesek-gesek selangkangan bagian luar Faith yang benar-benar membuat tubuh Faith menggelinjang kegelian. Nafas Faith memburu, kedua alisnya bersatu, ia benar-benar bingung dengan apa yang terjadi sekarang. Apa yang Masternya lakukan padanya?
            “Master?” Faith berusaha memberi kode pada Justin untuk memberitahu apa yang Masternya lakukan. Cambuk itu lepas dari selangkangannya, kemudian kembali memukulnya dengan pukulan yang lebih kuat yang membuat perut Faith kembali mengejang. “Oh!” Faith kehilangan nafasnya.
            “Kau menikmatinya, Faith?” Tanya Justin, meminta kejujuran. Faith menganggukkan kepalanya. Ia merasakan sesuatu yang aneh. Geli dan nikmat namun perasaannya tak sama seperti senggama mereka yang pertama itu. Hawa dingin tadi seketika menghilang setelah benda itu menyentuh miliknya dan membuatnya menjadi panas. Ia terus menerus mengeluarkan cairannya selama Master Justin mencambuk miliknya dengan cambuk bercabang itu. Kakinya tak bisa diam, ia terus mengejang –meski Justin tidak suka jika ia terus menerus menarik kakinya—membuat Justin menyeringai melihat gadis yang tidak berpengalaman itu lemah di atas ranjangnya.
            “Bagaimana dengan yang ini?” Tanya Justin mencambuknya lebih kencang lagi. Kepala Faith terangkat ke atas, punggungnya menekan kasur dan kakinya semakin tertarik dan semakin mengikat. “Jangan gerakan kakimu atau kakimu akan semakin terikat,” namun nafas Faith masih tercekat, ia benar-benar merasakan titik sensitifnya tercambuk dengan sempurna, menyentuhnya di sana. Sebisa mungkin –dengan tubuh yang gemetar—ia melemaskan kakinya kembali. Kemudian Faith menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tidak ingin melanjutkan lagi ini. Sudah cukup untuk hukuman pertamanya. Ini sangat berlebihan dan ia tidak dapat menampungnya lagi, ia harus mendapatkan Justin dalam tubuhnya sekarang. Godaan-godaan yang diberikan bajingan itu sudah kelewatan, ia tidak tahu apa ia dapat melanjutkan ini lebih jauh lagi. Tapi ia memang menikmati sentuhan-sentuhan sakit sekaligus seksi itu.
            “Tidak,” isak Faith menggeleng kepala. “Tidak lagi,”
            “Kata aman?” Justin kembali mencambuk bagian sensitifinya –klitoris—tepat di tengah-tengahnya dengan amat sangat kencang. Faith kembali melengkungkan tubuhnya ke dalam kasur, ia meremas tangannya sendiri lalu ia mendesah. Kepalanya tergeleng-geleng.
            “Merah!” Teriak Faith ketika Justin kembali mencambuknya untuk yang terakhir kalinya. Anehnya, air mata Faith mengalir dari sudut matanya. Ia tidak mampu menerima rangsangan-rangsangan yang belum pernah ia rasakan itu. Ia masih anak baru untuk mengikuti hubungan ini. Ia terisak, Justin melepaskan cambuk bercabang itu bersama dengan cambuk batangannya yang lain ke atas lantai. Mater Justin melihat pemandangan yang luar biasa indah dalam hidupnya sekarang. Milik Faith yang sekarang berubah menjadi warna merah muda tampak sangat menggiurkan. Basah. Dan tak bercela. Dan terbuka lebar untuknya, hanya untuknya. Lutut Justin bertumpu ke atas tempat tidur, ia mendekati milik Faith yang masih terbuka dan terlihat panas itu. Ia ingin membersihkan itu dengan mulutnya sendiri, merasakan betapa nikmatnya cairan itu. Cairan yang keluar karena dirinya. Dipengangnya dua paha Faith yang putih dengan tangannya yang besar itu. Ia mengangkatnya ke atas, mulutnya mulai menyentuh bagian itu perlahan-lahan.
            “Ah! Ah! Sial, Master!” Desah Faith meremas tangannya yang berkeringat itu. Lidah Justin memasuki lubang panas itu yang membuat cairan cinta Faith semakin mengalir deras keluar. Ia menenggaknya hingga Faith benar-benar kehabisan cairan, namun itu mustahil. Nampaknya Faith ingin memanjakan Justin. “Berhenti, Master!”
            Justin menarik kepalanya. “Apa yang salah, Faith?” Tanya Justin dengan bibir yang mengilap akibat cairan Faith yang menempel di sana. “Bukankah kau menyukainya?” Kembali Justin bertanya namun matanya terus tertuju pada cairan yang meleleh di sekitar milik Faith. Warna merah muda itu sungguh menantang, tidak pernah seseksi ini sebelumnya.
            “Aku ingin kau berada dalamku sekarang, Master,”
            “Tapi,” Justin menjilat bagian luar milik Faith sekilas. Ia mengecapnya sedetik, lalu, “siapa yang membuat skenarionya, Faith?” Tanya Justin menubrukkan mulutnya ke milik Faith dengan cepat. Ia mengisapnya dalam-dalam hingga cairan itu benar-benar memenuhi mulut Justin dan menelannya tanpa ampun. Tubuh Faith bergetar, ada sesuatu dalam dirinya yang akan meledak. Perasaan yang sama seperti sore tadi. Justin mengeratkan pegangannya terhadap paha Faith, ia menariknya lebih dalam ke dalam mulutnya dengan lidah yang terus mengais-ngais cairan dalam lubang kenikmatan itu. Jari kaki Faith menegang, sama dengan perutnya, urat-urat di sekitar leher Faith tercetak dengan indah. Ia melolong penuh dengan kenikmatan.
            “Ooh… Master …Ah, sial, Master kumohon ...” Pinggul Faith tak bisa diam, kepalanya tergeleng-geleng ke kanan-kiri dan kemudian terangkat sepenuhnya pada mulut Justin. Ia telah mendapatkan pelepasan pertamanya. Justin terus meminum cairan itu dengan damai lalu ia melepaskan mulutnya. Segera saja Justin melepaskan kedua ikatan pada kaki Faith yang membuat Faith merasa lega sekaligus lemas. Namun Justin tidak akan berhenti di tengah jalan, ia belum mendapatkan pelepasannya.
            “Tetap diam,” perintah Justin namun nada mengancam tersirat. Justin membuka salah satu laci yang menyimpan banyaknya kondom di sana. Ia mengambil salah satunya lalu membukanya, celananya ia buka lalu memasang kondom itu dengan sempurna di sana. Faith berusaha mendengar apa yang sedang terjadi, tapi yang ia dengar hanyalah robekan sesuatu dan kaki yang melangkah padanya. Kemdian ranjangnya bergoyang, tanda Justin sedang menaiki tempat tidurnya. “Bagus.”
            “Rasakan dirimu,” bisik Justin ketika ia menindih tubuh Faith lalu mengecup bibir Faith. Faith merasakan cairannya sendiri yang menempel di bibir Justin. Ia membalas ciuman Justin, rasanya ia ingin sekali meremas rambut Justin, tetapi tangannya masih terikat. Ia mengisap bibir Justin bahkan ia menggigitnya. Justin menarik bibirnya yang tergigit itu lalu ia tersenyum. “Kau sangat seksi,”
            “Master,” bisik Faith, mendesah.
            “Ada apa Faith?” Tanya Justin yang mulai menempelkan miliknya di bagian luar milik Faith yang basah itu. Ia menggesek-gesekkannya dengan lembut, tubuh Faith bergetar di bawahnya.
            “Sialhh,” lirih Faith mengisap bibir bawahnya. Gesekan itu sungguh seksi dan panas.
            “Kau suka?” Tanya Justin, seduktif. Faith menganggukkan kepalanya. “Kau ingin aku berada dalam dirimu?” Goda Justin, lagi. Faith menganggukkan kepalanya, lagi.
            “Aku tidak mendengar suaramu,” ucap Justin.
            “Ya, Master,” bisiknya. Perlahan-lahan Justin memasukkan miliknya ke dalam tubuh Faith. Nafas Faith tertahan ketika benda itu masuk, tangannya masih terikat! Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Justin pun kehilangan nafas ketika ia memasuki tubuh Faith, milik Faith sangatlah ketat. Ia tidak terbiasa dengan seorang perawan namun sial! Faith sangat nikmat.
            “Ah!” Erang Justin ketika seluruhnya masuk ke dalam tubuh Faith. Ia terdiam sejenak, bibirnya mencium-ciumi seluruh wajah Faith dengan lembut. Perlahan-lahan, pinggulnya itu bergerak dengan lambat. Desahan Faith mulai terdengar. Desahan itu bagaikan paduan suara malaikat bernyanyi di telinga Justin, sangat seksi, sangat panas, dan sangat merangsang. Ia tidak mungkin langsung kalah dalam permainan ini. Tapi sial, Faith memang sangatlah seksi! Ia tidak dapat menahannya.
            “Lebih cepat, Master! Lebih cepat … Oh …Ah, ya, benar. Oh!” Desah Faith merasakan miliknya semakin tergesek lebih panas lagi dari sebelumnya. Pinggulnya Justin terus bergerak tanpa henti, semakin cepat dan semakin cepat. Rambut Faith basah akibat keringatnya. Kedua kakinya mulai memeluk pinggang Justin, seketika itu juga Justin menghentikan gerakannya. “Master?” Faith kecewa. Ia ingin terus tergesek hingga ia mendapatkan pelepasannya.
            “Ah,” desahnya ketika Justin menarik lepas miliknya dari tubuh Faith. Lalu Justin membalikkan tubuh Faith hingga Faith tengkurap dengan sempurna. “Master?”
            “Menungging,” perintah Justin. Faith melakukannya, ia menungging. Pipi dan kedua lutunya sekarang menjadi tumpuannya. Tangannya berada di belakang punggungnya. “Tetap seperti ini, tahan,” perintah Justin kembali. Tangan Justin yang besar itu mulai memegang pinggul Faith dan memasukkan miliknya ke dalam tubuh Faith dari belakang. Saat itu juga Faith mendesah panjang.
            “Ah!” Faith terkejut, kedua tangannya yang terikat itu tertarik ke belakang sehingga kepalanya terangkat juga. Sekarang bagian atas tubuhnya melayang, hanya lututnya yang menjadi tumpuannya. Pinggul Justin kembali bergerak maju-mundur. Satu tangannya memegang pinggul Faith dan yang satunya lagi menahan tangan Faith. Ada rasa sakit dan nikmat dalam posisi ini. Tapi Faith tetap menyukainya. Ia ingin semuanya cepat berakhir.
            “Kau suka, Faith?”
            “Ya,” desah Faith menjatuhkan kepalanya namun masih melayang, rambutnya tergerai dan kedua buah dadanya menggantung dengan indahnya. “Oh, yeah…”
            “Ya?”
            “Ya, Master …sial, lebih cepat Master!” Pinta Faith, memohon.
            “Kau ingin aku lebih cepat?” Tanya Justin yang semakin lama semakin mempercepat gerakan pinggulnya. Desah Faith semakin terdengar dan itu benar-benar merangsang Justin. Justin seperti dimanja oleh suaranya yang indah itu, membuatnya akan cepat-cepat keluar.
            “Ya …ah, Master!” Jerit Faith.
            “Kau mendapatkannya, Faith, kau mendapatkannya,” ucap Justin berjanji. Saat itu juga gerakan pinggul Justin semakin lama semakin tak terkendali. Justin mendongak, menatap langit-langit dengan gigi yang menggertakan. Remasan-remasan yang ia dapat dari Faith benar-benar membuatnya hilang kendali. Lalu matanya terpejam. Ia menggeram.
            “Ermmh ..ya, benar sekali Faith!” Teriak Justin, ia semakin menarik tangan itu ke belakang. “Aku akan datang sebentar lagi,”
            “Oh, Master, aku …sial …” Faith mengejang, ia berteriak, menjerit, mendesah, segala kata kotor keluar dari bibirnya yang manis itu.
            “Faith!” Teriak Justin mendapatkan pelepasannya bersamaan dengan Faith. Hanya desahan-desahan mereka yang saling bersahut-sahutan. Lalu semuanya berakhir dengan …indah.

***

FAITH

            Pagi ini aku pergi bekerja. Tn. Justin yang mengantarkanku setelah dari rumahnya yang jauh itu. Kami harus bangun cepat-cepat agar mencapai tengah kota Atlanta. Belum lagi aku harus pergi ke rumah untuk mengganti pakaianku menjadi pakaian seragam. Sebenarnya, aku harus jujur, aku menyukai Tn. Justin. Jika diketahui lebih dalam lagi, ia adalah lelaki yang menyenangkan dengan caranya sendiri. Kau hanya harus menikmatinya, maka ia akan terlihat sangat menyenangkan. Senyumannya di restoran tadi malam benar-benar seperti malaikat yang tersenyum padaku. Bahkan suara tawa itu, demi Tuhan, aku sangat menikmati suara tawanya itu. Aku berseri-seri di pagi ini hanya karena Tn. Justin mengedipkan sebelah matanya setelah aku berterima kasih. Ia melajukan mobilnya untuk pergi dari hotel. Entah kapan aku akan bertemu dengannya lagi, tapi yang jelas, ia telah memiliki nomor ponselku. Jadi ia takkan mengejutkanku jika ia datang ke apartemenku.
            Aku terengah. Beberapa menit lagi Tn. Alex akan datang. Apa yang akan kukatakan? Aku tidak bertemu dengannya selama empat hari, kurasa. Dan terakhir kali aku bertemu dengannya, ia menyatakan cinta padaku. Bahkan ia mengirimiku pesan singkat –meski tidak ada hubungan tentang kejadian waktu itu. Dan ia kembali mengirimkanku satu ikat bunga mawar yang tentu saja, kubuang. Baiklah, tidak kubuang, kuberikan pada Ny. Lessie, nenek tua yang tinggal di sebelah apartemenku. Ia menerimanya dengan keramahan yang hangat. Dan Lennion, mulai hari ini ia tidak akan datang kerja selama 3 bulan untuk melahirkan dan merawat bayinya selama tiga bulan itu pula. Kurasa. Entahlah, intinya selama 3 bulan ini aku tidak akan bertemu dengan Ibu hamil cerewet nan cantik itu.
            Tn. Alex datang dengan segala keindahan yang ia miliki. Namun bayang-bayang Tn. Justin yang lebih sempurna itu membuat Tn. Alex tersingkirkan keindahannya. Ia berjalan menuju meja kerjaku dengan senyum sumringah.
            “Faith,” panggilnya dengan suara rendahnya. “Senang bisa bertemu denganmu lagi. Bagaimana keadaanmu?” Tanyanya.
            “Aku semakin membaik, terima kasih,” ucapku seramah mungkin. “Tn. Alex, ada yang ingin kubicarakan,” lanjutku tidak ingin menyimpan rahasia padanya atau lebih tepatnya, menggantungkannya karena ia telah menyatakan cinta padaku.
            “Apa itu Faith?”
            “Tentang kau menyatakan cinta padaku,” bisikku sepelan mungkin. “Aku tidak bisa menerimamu, Tn. Alex, aku sungguh minta maaf,”
            “Mengapa?” Ia sepertinya tidak peduli dengan tempat perbincangan ini. Maksudku, ini cukup terbuka. Tidakkah ini menjadi hal yang akan panas jika ia ketahuan telah menyatakan cinta padaku? Namun tidak ada seorangpun yang melewati lobi utama. Belum ada pengunjung yang datang untuk melakukan registrasi. Wajahnya memberikan raut wajah penasaran sekaligus memohon. “Mengapa Faith?”
            “Aku …”
            “Apa itu ada hubungannya dengan bajingan sialan itu?” Tanyanya mengucapkan kata kotor. Bajingan? Siapa bajingan? Oh, aku baru sadar, Tn. Justin yang ia maksud. Tetapi aku tidak sanggup mengatakan apa pun padanya, ia hanya tidak boleh tahu hubungan apa yang kujalani dengan Tn. Justin. Hanya anggukan kepala saja, kedua alisnya telah terangkat. “Kau berpacaran dengan lelaki sialan itu?” Tanyanya terkejut setengah mati. Wajahnya tampak kesal.
            “Tidak,” kugelengkan kepalaku. “Aku tidak tahu pasti,” cepat-cepat aku membenarkan.
            “Jika begitu mengapa kau tidak memberikanku satu kesempatan untukku mendekatimu?” Tanyanya, tampak sangat resah. Ia seperti telah ditinju, ditampar, dikalahkan oleh sesuatu. Wajahnya tampak kecewa. Ia sangat menginginkan diriku, tapi aku tidak menginginkannya –setelah aku bertemu dengan Tn. Justin. Bukan dengan alasan kekayaan mereka, hanya saja, Tn. Justin memiliki cara lain yang dapat membuatku senang. Aku bukan seorang gadis yang menyukai keromantisan, aku tidak suka bunga, tapi Tn. Alex? Ia sepertinya tidak mengerti bahwa aku hanyalah seorang gadis sederhana yang tidak menginginkan bunga saat kencan pertama. Tapi untuk pertanyaannya yang satu itu, aku tidak tahu pasti apa jawabannya. Aku tidak ingin membuatnya sakit hati tapi aku juga takut dengan Tn. Justin jika aku ketahuan bersama dengan lelaki lain –setidaknya aku tidak akan berhubungan badan dengan Tn. Alex.
            “Baiklah, satu kali ini saja, Tn. Alex. Malam ini, jemput aku, jam 7. Tapi aku tidak ingin kencan di restoran formal. Hanya makanan jalanan yang tak kalah lezat dengan restoran mewah,” ucapku memutuskan. Satu kali ini saja. Ya, aku yakin akan baik-baik. Kemudian senyum Tn. Alex mulai mengembang.
            “Tentu. Berdandanlah yang cantik.” Ucapnya senang. Lihat? Sungguh menyenangkan melihat senyumnya kembali mengembang.

***

            “Menyenangkan bukan?” Tanyaku menyandar pada pagar, di belakang penjual hotdog. Ia menyandarkan tubuhnya juga di pagar lalu memakan hotdog ukuran besarnya. Aku tersenyum, ia sangat tampan. Aku juga menggigit hotdog-ku dengan lahap. Ini kali pertama kami makan malam di luar restoran mewah. “Kau tahu, Ayahku biasanya membawaku ke sini. Biasanya ia juga memesan hotdog berukuran besar seperti yang kaumiliki lalu ia akan membaginya padaku. Kau tahu, aku sangat senang karena kau mengingatkanku pada kenangan-kenangan indah,” ujarku, tak bisa menghentikan mulutku yang benar-benar cerewet. “Ya?” Tanyanya tak percaya.
            “Tentu. Bedanya, ia sudah sering ke sini. Dan kau baru pertama kali datang ke sini,” ucapku. Ia tertawa dan mengangguk setuju. Kemudian tiba-tiba jarinya menyentuh pipiku dengan lembut. “Apa? Ada apa?”
            “Tidak, aku hanya …lesung pipimu sangat manis,” ucapnya. Ah, ya, benar. Aku memang memiliki lesung pipi. Tapi aku tidak pernah merasakannya, tentu saja, maksudku …orang-orang selalu tersanjung karena aku memiliki lesung pipi.
            “Terima kasih,” ucapku, malu-malu. “Tapi kau tidak perlu menyentuh pipiku,”
            “Permisi, Tuan? Apa Anda memiliki urusan dengan kekasihku?” Tanya seorang pria bersuara berat yang tidak lain dan tidak bukan adalah Tn. Justin yang sekarang telah merangkul bahuku. Tubuhku menegang. Tn. Alex membuang wajahnya sebentar, ia seakan-akan muak dengan kedatangan Justin. “Mengapa kau menyentuhnya?”
            “Apa masalahmu?” Tanya Tn. Alex, menantangnya. “Kau bukan kekasihnya, tentunya,” ejeknya.
            “Aku sudah bilang padamu Faith untuk menjauh dari pria bajingan ini.” Bisik Justin, marah. Oh, Tuhan. Aku mendesah dalam hati. Ini akan menjadi peperangan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar