CHAPTER EIGHT
AUTHOR
Mata Faith tertutup dengan penutup
mata berwarna hitam. Kamar itu tampak remang-remang dengan lampu yang sengaja
tidak dinyalakan. Hanya dua lampu yang terdapat di lemari kecil di kedua sisi
tempat tidur yang memiliki empat tiang itu. Dua kaki Faith terikat dengan dua
tiang di bawah kakinya, tangannya diikat dengan tali namun sebisa mungkin masternya tidak membuatnya kesakitan.
Nafasnya teratur, namun angin yang menerpa selangkangan membuat tubuhnya
bergetar. Faith menggigit bibir bawahnya berusaha untuk tidak menggerakkan
kakinya. Master Justin memintanya untuk tidak menggerakkan tubuhnya sama
sekali. Hanya deru suara AC dan nafasnya yang saling bersahut dalam ruangan
itu. Faith tidak sama sekali memakai pakaian sekarang, hanya saja buah dadanya
ditutupi oleh sebuah kain. Hukuman ini cukup membuatnya gugup. Apa yang akan
Master Justin lakukan padanya? Ada sensasi yang berbeda dari hubungan badannya
yang pertama dengan yang sekarang. Apa ia akan dicambuk? Namun ia sudah
membicarakan segala titik kelemahannya dalam hubungan BDSM ini. Dan ia percaya,
Master Justin tidak akan membuatnya kesakitan.
Pintu kamar itu terbuka. Seorang
lelaki bertubuh tegap dan tinggi itu muncul dengan sebuah cambuk di tangannya.
Bukan cambuk tali, hanya sebuah batangan yang tidak begitu tipis dan tebal yang
diujung berbentuk daun dan berwarna hitam. Jari-jari panjangnya itu mendorong
pintu itu kembali dan menguncinya baik-baik. Kakinya melangkah mendekati Faith
yang memiringkan kepala ke arahnya.
“Tetap di posisimu, Faith,” suara sang
dominan benar-benar mengintimidasi Faith. “Kau terlihat sangat seksi. Kau
sangat terbuka,”
“Apa yang akan kaulakukan padaku?”
“Kau tahu apa yang akan kulakukan,
Faith,” ucap Master Justin, menganggukkan kepalanya. Ia berjalan menuju salah
satu lemari yang memiliki beberapa laci. Tangan Justin menarik laci paling atas
dan mengambil salah satu alat untuk menghukum Faith. Sebuah cambuk tali yang
memiliki banyak cabang berwarna hitam. Faith memiringkan kepalanya kembali, ia
benar-benar ingin tahu apa yang Masternya akan lakukan padanya. Ia cukup gugup
sekarang.
“Ap-apa yang akan kaulakukan?”
“Kau tahu apa yang akan kulakukan,
Faith,” Master Justin kembali mengucapkan kalimat itu lagi dengan nada
menggoda. Justin tidak memakai apa pun di bagian atas tubuhnya, ia hanya
memakai celana panjang kerjanya yang berwarna hitam itu dan ia berjalan tanpa
alas kaki. Tubuhnya yang atletis tampak sangat seksi jika Faith membuka penutup
matanya. Dan mungkin saja, Faith akan meleleh seketika jika ia melihat tubuh
Justin.
“Menghukumku?” Tanya Faith
mengangkat kepalanya. Apa pun yang Faith lakukan tidak akan ada gunanya. Kedua
tangannya sudah terikat sempurna di balik punggungnya, kedua kakinyapun sudah
terikat di kedua tiang tempat tidurnya. Dan matanya juga tertutup, ia tidak
dapat melihat apa pun selain mendengar apa yang Masternya lakukan di dekatnya.
“Master?”
“Kau sudah tahu jawabannya, Faith,”
ucap Justin. Namun ia tidak ingin Faith penasaran, ia cukup kasihan dengan
gadis mungil di hadapannya yang tidak dapat melakukan apa pun itu. “Kau akan
kuhukum dengan ini, sayang,” bisik Justin. Cambuk bercabang itu terjatuh ke
atas perut Faith yang rata –tulang-tulangnya tak terlihat—yang membuat Faith
terkesiap begitu saja. Nafasnya tercekat, perutnya mengejang, dan kedua kakinya
tertarik ke atas. Justin menyeringai melihat reaksi Faith. Anak baru, bisik Justin dalam hati. Ia sangat menikmati
permainannya. Tangan Justin menarik cambuk itu dari perut hingga menyentuh
selangkangan Faith yang membuat Faith tergelitik.
“Diam, Faith,” perintah Justin tidak
ingin Faith semakin menyakiti dirinya karena kakinya dari tadi menarik tali
yang mengikatnya. “Lemaskan tubuhmu,” perintah Justin kembali. Faith menurunkan
perutnya yang mengejang itu bersama dengan kakinya. Cambuk itu menggesek-gesek
selangkangan bagian luar Faith yang benar-benar membuat tubuh Faith
menggelinjang kegelian. Nafas Faith memburu, kedua alisnya bersatu, ia
benar-benar bingung dengan apa yang terjadi sekarang. Apa yang Masternya
lakukan padanya?
“Master?” Faith berusaha memberi
kode pada Justin untuk memberitahu apa yang Masternya lakukan. Cambuk itu lepas
dari selangkangannya, kemudian kembali memukulnya dengan pukulan yang lebih kuat
yang membuat perut Faith kembali mengejang. “Oh!” Faith kehilangan nafasnya.
“Kau menikmatinya, Faith?” Tanya
Justin, meminta kejujuran. Faith menganggukkan kepalanya. Ia merasakan sesuatu
yang aneh. Geli dan nikmat namun perasaannya tak sama seperti senggama mereka
yang pertama itu. Hawa dingin tadi seketika menghilang setelah benda itu
menyentuh miliknya dan membuatnya menjadi panas. Ia terus menerus mengeluarkan
cairannya selama Master Justin mencambuk miliknya dengan cambuk bercabang itu.
Kakinya tak bisa diam, ia terus mengejang –meski Justin tidak suka jika ia
terus menerus menarik kakinya—membuat Justin menyeringai melihat gadis yang
tidak berpengalaman itu lemah di atas ranjangnya.
“Bagaimana dengan yang ini?” Tanya
Justin mencambuknya lebih kencang lagi. Kepala Faith terangkat ke atas,
punggungnya menekan kasur dan kakinya semakin tertarik dan semakin mengikat.
“Jangan gerakan kakimu atau kakimu akan semakin terikat,” namun nafas Faith
masih tercekat, ia benar-benar merasakan titik sensitifnya tercambuk dengan
sempurna, menyentuhnya di sana.
Sebisa mungkin –dengan tubuh yang gemetar—ia melemaskan kakinya kembali.
Kemudian Faith menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tidak ingin melanjutkan lagi
ini. Sudah cukup untuk hukuman pertamanya. Ini sangat berlebihan dan ia tidak
dapat menampungnya lagi, ia harus mendapatkan Justin dalam tubuhnya sekarang.
Godaan-godaan yang diberikan bajingan itu sudah kelewatan, ia tidak tahu apa ia
dapat melanjutkan ini lebih jauh lagi. Tapi ia memang menikmati
sentuhan-sentuhan sakit sekaligus seksi itu.
“Tidak,” isak Faith menggeleng
kepala. “Tidak lagi,”
“Kata aman?” Justin kembali
mencambuk bagian sensitifinya –klitoris—tepat di tengah-tengahnya dengan amat
sangat kencang. Faith kembali melengkungkan tubuhnya ke dalam kasur, ia meremas
tangannya sendiri lalu ia mendesah. Kepalanya tergeleng-geleng.
“Merah!” Teriak Faith ketika Justin
kembali mencambuknya untuk yang terakhir kalinya. Anehnya, air mata Faith
mengalir dari sudut matanya. Ia tidak mampu menerima rangsangan-rangsangan yang
belum pernah ia rasakan itu. Ia masih anak
baru untuk mengikuti hubungan ini. Ia terisak, Justin melepaskan cambuk
bercabang itu bersama dengan cambuk batangannya yang lain ke atas lantai. Mater
Justin melihat pemandangan yang luar biasa indah dalam hidupnya sekarang. Milik
Faith yang sekarang berubah menjadi warna merah muda tampak sangat menggiurkan.
Basah. Dan tak bercela. Dan terbuka lebar untuknya, hanya untuknya. Lutut
Justin bertumpu ke atas tempat tidur, ia mendekati milik Faith yang masih
terbuka dan terlihat panas itu. Ia ingin membersihkan itu dengan mulutnya
sendiri, merasakan betapa nikmatnya cairan itu. Cairan yang keluar karena dirinya. Dipengangnya dua paha Faith yang
putih dengan tangannya yang besar itu. Ia mengangkatnya ke atas, mulutnya mulai
menyentuh bagian itu perlahan-lahan.
“Ah! Ah! Sial, Master!” Desah Faith
meremas tangannya yang berkeringat itu. Lidah Justin memasuki lubang panas itu
yang membuat cairan cinta Faith semakin mengalir deras keluar. Ia menenggaknya
hingga Faith benar-benar kehabisan cairan, namun itu mustahil. Nampaknya Faith
ingin memanjakan Justin. “Berhenti, Master!”
Justin menarik kepalanya. “Apa yang
salah, Faith?” Tanya Justin dengan bibir yang mengilap akibat cairan Faith yang
menempel di sana. “Bukankah kau menyukainya?” Kembali Justin bertanya namun
matanya terus tertuju pada cairan yang meleleh di sekitar milik Faith. Warna
merah muda itu sungguh menantang, tidak pernah seseksi ini sebelumnya.
“Aku ingin kau berada dalamku
sekarang, Master,”
“Tapi,” Justin menjilat bagian luar
milik Faith sekilas. Ia mengecapnya sedetik, lalu, “siapa yang membuat
skenarionya, Faith?” Tanya Justin menubrukkan mulutnya ke milik Faith dengan
cepat. Ia mengisapnya dalam-dalam hingga cairan itu benar-benar memenuhi mulut
Justin dan menelannya tanpa ampun. Tubuh Faith bergetar, ada sesuatu dalam
dirinya yang akan meledak. Perasaan yang sama seperti sore tadi. Justin
mengeratkan pegangannya terhadap paha Faith, ia menariknya lebih dalam ke dalam
mulutnya dengan lidah yang terus mengais-ngais cairan dalam lubang kenikmatan
itu. Jari kaki Faith menegang, sama dengan perutnya, urat-urat di sekitar leher
Faith tercetak dengan indah. Ia melolong penuh dengan kenikmatan.
“Ooh… Master …Ah, sial, Master
kumohon ...” Pinggul Faith tak bisa diam, kepalanya tergeleng-geleng ke
kanan-kiri dan kemudian terangkat sepenuhnya pada mulut Justin. Ia telah
mendapatkan pelepasan pertamanya. Justin terus meminum cairan itu dengan damai
lalu ia melepaskan mulutnya. Segera saja Justin melepaskan kedua ikatan pada
kaki Faith yang membuat Faith merasa lega sekaligus lemas. Namun Justin tidak
akan berhenti di tengah jalan, ia belum mendapatkan pelepasannya.
“Tetap diam,” perintah Justin namun
nada mengancam tersirat. Justin membuka salah satu laci yang menyimpan
banyaknya kondom di sana. Ia mengambil salah satunya lalu membukanya, celananya
ia buka lalu memasang kondom itu dengan sempurna di sana. Faith berusaha mendengar apa yang sedang terjadi, tapi yang
ia dengar hanyalah robekan sesuatu dan kaki yang melangkah padanya. Kemdian
ranjangnya bergoyang, tanda Justin sedang menaiki tempat tidurnya. “Bagus.”
“Rasakan dirimu,” bisik Justin
ketika ia menindih tubuh Faith lalu mengecup bibir Faith. Faith merasakan
cairannya sendiri yang menempel di bibir Justin. Ia membalas ciuman Justin,
rasanya ia ingin sekali meremas rambut Justin, tetapi tangannya masih terikat.
Ia mengisap bibir Justin bahkan ia menggigitnya. Justin menarik bibirnya yang
tergigit itu lalu ia tersenyum. “Kau sangat seksi,”
“Master,” bisik Faith, mendesah.
“Ada apa Faith?” Tanya Justin yang
mulai menempelkan miliknya di bagian luar milik Faith yang basah itu. Ia
menggesek-gesekkannya dengan lembut, tubuh Faith bergetar di bawahnya.
“Sialhh,” lirih Faith mengisap bibir
bawahnya. Gesekan itu sungguh seksi dan panas.
“Kau suka?” Tanya Justin, seduktif. Faith
menganggukkan kepalanya. “Kau ingin aku berada dalam dirimu?” Goda Justin,
lagi. Faith menganggukkan kepalanya, lagi.
“Aku tidak mendengar suaramu,” ucap
Justin.
“Ya, Master,” bisiknya.
Perlahan-lahan Justin memasukkan miliknya ke dalam tubuh Faith. Nafas Faith
tertahan ketika benda itu masuk, tangannya masih terikat! Bagaimana mungkin ini
bisa terjadi? Justin pun kehilangan nafas ketika ia memasuki tubuh Faith, milik
Faith sangatlah ketat. Ia tidak terbiasa dengan seorang perawan namun sial! Faith
sangat nikmat.
“Ah!” Erang Justin ketika seluruhnya
masuk ke dalam tubuh Faith. Ia terdiam sejenak, bibirnya mencium-ciumi seluruh
wajah Faith dengan lembut. Perlahan-lahan, pinggulnya itu bergerak dengan
lambat. Desahan Faith mulai terdengar. Desahan itu bagaikan paduan suara
malaikat bernyanyi di telinga Justin, sangat seksi, sangat panas, dan sangat
merangsang. Ia tidak mungkin langsung kalah dalam permainan ini. Tapi sial,
Faith memang sangatlah seksi! Ia tidak dapat menahannya.
“Lebih cepat, Master! Lebih cepat …
Oh …Ah, ya, benar. Oh!” Desah Faith merasakan miliknya semakin tergesek lebih
panas lagi dari sebelumnya. Pinggulnya Justin terus bergerak tanpa henti,
semakin cepat dan semakin cepat. Rambut Faith basah akibat keringatnya. Kedua
kakinya mulai memeluk pinggang Justin, seketika itu juga Justin menghentikan
gerakannya. “Master?” Faith kecewa. Ia ingin terus tergesek hingga ia
mendapatkan pelepasannya.
“Ah,” desahnya ketika Justin menarik
lepas miliknya dari tubuh Faith. Lalu Justin membalikkan tubuh Faith hingga
Faith tengkurap dengan sempurna. “Master?”
“Menungging,” perintah Justin. Faith
melakukannya, ia menungging. Pipi dan kedua lutunya sekarang menjadi
tumpuannya. Tangannya berada di belakang punggungnya. “Tetap seperti ini,
tahan,” perintah Justin kembali. Tangan Justin yang besar itu mulai memegang pinggul
Faith dan memasukkan miliknya ke dalam tubuh Faith dari belakang. Saat itu juga
Faith mendesah panjang.
“Ah!” Faith terkejut, kedua
tangannya yang terikat itu tertarik ke belakang sehingga kepalanya terangkat
juga. Sekarang bagian atas tubuhnya melayang, hanya lututnya yang menjadi
tumpuannya. Pinggul Justin kembali bergerak maju-mundur. Satu tangannya
memegang pinggul Faith dan yang satunya lagi menahan tangan Faith. Ada rasa
sakit dan nikmat dalam posisi ini. Tapi Faith tetap menyukainya. Ia ingin
semuanya cepat berakhir.
“Kau suka, Faith?”
“Ya,” desah Faith menjatuhkan
kepalanya namun masih melayang, rambutnya tergerai dan kedua buah dadanya
menggantung dengan indahnya. “Oh, yeah…”
“Ya?”
“Ya, Master …sial, lebih cepat
Master!” Pinta Faith, memohon.
“Kau ingin aku lebih cepat?” Tanya
Justin yang semakin lama semakin mempercepat gerakan pinggulnya. Desah Faith
semakin terdengar dan itu benar-benar merangsang Justin. Justin seperti dimanja
oleh suaranya yang indah itu, membuatnya akan cepat-cepat keluar.
“Ya …ah, Master!” Jerit Faith.
“Kau mendapatkannya, Faith, kau
mendapatkannya,” ucap Justin berjanji. Saat itu juga gerakan pinggul Justin
semakin lama semakin tak terkendali. Justin mendongak, menatap langit-langit
dengan gigi yang menggertakan. Remasan-remasan yang ia dapat dari Faith
benar-benar membuatnya hilang kendali. Lalu matanya terpejam. Ia menggeram.
“Ermmh ..ya, benar sekali Faith!”
Teriak Justin, ia semakin menarik tangan itu ke belakang. “Aku akan datang
sebentar lagi,”
“Oh, Master, aku …sial …” Faith
mengejang, ia berteriak, menjerit, mendesah, segala kata kotor keluar dari
bibirnya yang manis itu.
“Faith!” Teriak Justin mendapatkan
pelepasannya bersamaan dengan Faith. Hanya desahan-desahan mereka yang saling
bersahut-sahutan. Lalu semuanya berakhir dengan …indah.
***
FAITH
Pagi ini aku pergi bekerja. Tn.
Justin yang mengantarkanku setelah dari rumahnya yang jauh itu. Kami harus
bangun cepat-cepat agar mencapai tengah kota Atlanta. Belum lagi aku harus
pergi ke rumah untuk mengganti pakaianku menjadi pakaian seragam. Sebenarnya,
aku harus jujur, aku menyukai Tn. Justin. Jika diketahui lebih dalam lagi, ia
adalah lelaki yang menyenangkan dengan caranya sendiri. Kau hanya harus
menikmatinya, maka ia akan terlihat sangat menyenangkan. Senyumannya di
restoran tadi malam benar-benar seperti malaikat yang tersenyum padaku. Bahkan
suara tawa itu, demi Tuhan, aku sangat menikmati suara tawanya itu. Aku
berseri-seri di pagi ini hanya karena Tn. Justin mengedipkan sebelah matanya setelah
aku berterima kasih. Ia melajukan mobilnya untuk pergi dari hotel. Entah kapan
aku akan bertemu dengannya lagi, tapi yang jelas, ia telah memiliki nomor
ponselku. Jadi ia takkan mengejutkanku jika ia datang ke apartemenku.
Aku terengah. Beberapa menit lagi
Tn. Alex akan datang. Apa yang akan kukatakan? Aku tidak bertemu dengannya
selama empat hari, kurasa. Dan terakhir kali aku bertemu dengannya, ia
menyatakan cinta padaku. Bahkan ia mengirimiku pesan singkat –meski tidak ada
hubungan tentang kejadian waktu itu.
Dan ia kembali mengirimkanku satu ikat bunga mawar yang tentu saja, kubuang.
Baiklah, tidak kubuang, kuberikan pada Ny. Lessie, nenek tua yang tinggal di
sebelah apartemenku. Ia menerimanya dengan keramahan yang hangat. Dan Lennion,
mulai hari ini ia tidak akan datang kerja selama 3 bulan untuk melahirkan dan
merawat bayinya selama tiga bulan itu pula. Kurasa. Entahlah, intinya selama 3
bulan ini aku tidak akan bertemu dengan Ibu hamil cerewet nan cantik itu.
Tn. Alex datang dengan segala
keindahan yang ia miliki. Namun bayang-bayang Tn. Justin yang lebih sempurna
itu membuat Tn. Alex tersingkirkan keindahannya. Ia berjalan menuju meja
kerjaku dengan senyum sumringah.
“Faith,” panggilnya dengan suara
rendahnya. “Senang bisa bertemu denganmu lagi. Bagaimana keadaanmu?” Tanyanya.
“Aku semakin membaik, terima kasih,”
ucapku seramah mungkin. “Tn. Alex, ada yang ingin kubicarakan,” lanjutku tidak
ingin menyimpan rahasia padanya atau lebih tepatnya, menggantungkannya karena
ia telah menyatakan cinta padaku.
“Apa itu Faith?”
“Tentang kau menyatakan cinta
padaku,” bisikku sepelan mungkin. “Aku tidak bisa menerimamu, Tn. Alex, aku
sungguh minta maaf,”
“Mengapa?” Ia sepertinya tidak
peduli dengan tempat perbincangan ini. Maksudku, ini cukup terbuka. Tidakkah
ini menjadi hal yang akan panas jika ia ketahuan telah menyatakan cinta padaku?
Namun tidak ada seorangpun yang melewati lobi utama. Belum ada pengunjung yang
datang untuk melakukan registrasi. Wajahnya memberikan raut wajah penasaran
sekaligus memohon. “Mengapa Faith?”
“Aku …”
“Apa itu ada hubungannya dengan
bajingan sialan itu?” Tanyanya mengucapkan kata kotor. Bajingan? Siapa
bajingan? Oh, aku baru sadar, Tn. Justin yang ia maksud. Tetapi aku tidak
sanggup mengatakan apa pun padanya, ia hanya tidak boleh tahu hubungan apa yang
kujalani dengan Tn. Justin. Hanya anggukan kepala saja, kedua alisnya telah
terangkat. “Kau berpacaran dengan lelaki sialan itu?” Tanyanya terkejut
setengah mati. Wajahnya tampak kesal.
“Tidak,” kugelengkan kepalaku. “Aku
tidak tahu pasti,” cepat-cepat aku membenarkan.
“Jika begitu mengapa kau tidak
memberikanku satu kesempatan untukku mendekatimu?” Tanyanya, tampak sangat
resah. Ia seperti telah ditinju, ditampar, dikalahkan oleh sesuatu. Wajahnya
tampak kecewa. Ia sangat menginginkan diriku, tapi aku tidak menginginkannya
–setelah aku bertemu dengan Tn. Justin. Bukan dengan alasan kekayaan mereka,
hanya saja, Tn. Justin memiliki cara lain yang dapat membuatku senang. Aku
bukan seorang gadis yang menyukai keromantisan, aku tidak suka bunga, tapi Tn.
Alex? Ia sepertinya tidak mengerti bahwa aku hanyalah seorang gadis sederhana
yang tidak menginginkan bunga saat kencan pertama. Tapi untuk pertanyaannya
yang satu itu, aku tidak tahu pasti apa jawabannya. Aku tidak ingin membuatnya
sakit hati tapi aku juga takut dengan Tn. Justin jika aku ketahuan bersama
dengan lelaki lain –setidaknya aku tidak akan berhubungan badan dengan Tn.
Alex.
“Baiklah, satu kali ini saja, Tn.
Alex. Malam ini, jemput aku, jam 7. Tapi aku tidak ingin kencan di restoran
formal. Hanya makanan jalanan yang tak kalah lezat dengan restoran mewah,”
ucapku memutuskan. Satu kali ini saja. Ya, aku yakin akan baik-baik. Kemudian
senyum Tn. Alex mulai mengembang.
“Tentu. Berdandanlah yang cantik.”
Ucapnya senang. Lihat? Sungguh menyenangkan melihat senyumnya kembali
mengembang.
***
“Menyenangkan bukan?” Tanyaku
menyandar pada pagar, di belakang penjual hotdog. Ia menyandarkan tubuhnya juga
di pagar lalu memakan hotdog ukuran besarnya. Aku tersenyum, ia sangat tampan.
Aku juga menggigit hotdog-ku dengan lahap. Ini kali pertama kami makan malam di
luar restoran mewah. “Kau tahu, Ayahku biasanya membawaku ke sini. Biasanya ia
juga memesan hotdog berukuran besar seperti yang kaumiliki lalu ia akan
membaginya padaku. Kau tahu, aku sangat senang karena kau mengingatkanku pada
kenangan-kenangan indah,” ujarku, tak bisa menghentikan mulutku yang
benar-benar cerewet. “Ya?” Tanyanya tak percaya.
“Tentu. Bedanya, ia sudah sering ke
sini. Dan kau baru pertama kali datang ke sini,” ucapku. Ia tertawa dan
mengangguk setuju. Kemudian tiba-tiba jarinya menyentuh pipiku dengan lembut.
“Apa? Ada apa?”
“Tidak, aku hanya …lesung pipimu
sangat manis,” ucapnya. Ah, ya, benar. Aku memang memiliki lesung pipi. Tapi
aku tidak pernah merasakannya, tentu saja, maksudku …orang-orang selalu
tersanjung karena aku memiliki lesung pipi.
“Terima kasih,” ucapku, malu-malu.
“Tapi kau tidak perlu menyentuh pipiku,”
“Permisi, Tuan? Apa Anda memiliki
urusan dengan kekasihku?” Tanya seorang pria bersuara berat yang tidak lain dan
tidak bukan adalah Tn. Justin yang sekarang telah merangkul bahuku. Tubuhku
menegang. Tn. Alex membuang wajahnya sebentar, ia seakan-akan muak dengan
kedatangan Justin. “Mengapa kau menyentuhnya?”
“Apa masalahmu?” Tanya Tn. Alex,
menantangnya. “Kau bukan kekasihnya, tentunya,” ejeknya.
“Aku sudah bilang padamu Faith untuk
menjauh dari pria bajingan ini.” Bisik Justin, marah. Oh, Tuhan. Aku mendesah
dalam hati. Ini akan menjadi peperangan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar