CHAPTER SEVEN
FAITH
Kuperhatikan kakek-kakek yang sedang berada di
hadapanku yang sedang terduduk di atas kursi hangat nan nyaman itu di balik
meja bacanya. Aku terduduk di sofa yang lain sambil memegang sebuah buku yang
lain, yang tentunya tidak setebal buku yang ia baca sekarang. Kacamata yang ia
pakai sudah sangat tebal, ia dari tadi terdiam sejak kedatanganku. Aku harap ia
ingin berbicara denganku karena sekarang aku merasa sangat kesepian. Tn. Justin
sedang berada di dalam ruang kerjanya dan tentunya, ia sedang bekerja. Ia
tampak serius dan berkonsentrasi saat sedang bekerja, jadi aku tidak berani
untuk mengganggunya. Hubungan badan tadi memang sangat menakjubkan bagiku,
tentu, karena aku tidak pernah berhubungan badan dengan siapa pun sebelumnya.
Aku terkesan dengan caranya yang cukup pengertian itu. Meski aku tahu, ia ingin
melakukannya lagi. Begitupun aku, tapi aku tidak bisa, aku sangat kelelahan.
Ketika aku terbangun dari tempat
tidur, aku sudah berpakaian lengkap dengan tubuh yang sangat harum. Rambutku
kering dan tersisir rapi. Meski aku tidak tahu dimana tadi aku berhubungan
badan karena saat aku terbangun, tempat tidur yang kutempati tidak sama sekali
berantakan atau basah. Aku sebenarnya lapar sekarang, tapi aku malu untuk
meminta makan pada Tn. Justin. Ataupun kakek-kakek yang ada di hadapanku. Ia
tampak bisu saat kubuka pintu perpustakaan dan ya, aku bertemu dengan tempat
yang luar biasa menakjubkan besarnya serta tinggi. Ada dua tangga di
perpustakaan ini untuk mengambil buku-buku yang tinggi. Ketika aku baru saja
membuka buku yang ingin kubaca, kakek-kakek yang terduduk itu menurunkan
kacamata yang ia pakai sampai ke ujung hidungnya. Ia menutup bukunya dan lalu
mengintip dari balik kacamatanya. Seketika aku gugup.
“Tidak ada kekasih Justin yang
pernah masuk ke dalam perpustakaan ini,” ujarnya dengan suara yang serak khas
kakek-kakek. “Kau cukup berani untuk masuk ke dalam sini,’
“Tn. Justin mengizinkanku untuk
masuk ke dalam perpustakaan ini,” ucapku, menjawab. Ia tersenyum padaku
–senyumannya sungguh hangat—kerutan di sekitar matanya terlihat. Wajahnya sudah
berkerut, rambutnya seluruhnya sudah putih, ia memiliki kumis juga. Tangannya
menarik kacamatanya dari ujung hidungnya lalu tergantung begitu saja di depan
dadanya. Oh, ia memakai rantai untuk kacamatanya, benar sekali, seharusnya
sudah kuduga. Ia kemudian melipatkan kedua tangannya di atas buku besar yang ia
baca tadi lalu menarik nafas. Jadi, ini kakek Tn. Justin? Ia tampak sangat
baik.
“Kau kekasih Justin pertama yang
masuk ke dalam perpustakaan ini dan berbicara denganku. Kau kekasihnya bukan?”
“Bukan,” ucapku. “Aku hanya partner
seksnya,” lanjutku.
“Oh, aku tidak pernah tahu itu. Kau
sangat manis, siapa namamu?” Tanyanya sangat ramah. Oh, mungkin kakek ini yang
mengajari Tn. Justin bagaimana bersikap ramah. Namun mengapa tatapan hangat
kakek Justin tidak sama dengan tatapan Tn. Justin yang sangat dingin? Ini
sangat aneh.
“Faith,” gumamku. Ia menganggukkan
kepalanya.
“Aku Florek. Kau bisa memanggilku
Florek. Kau ingin memakan kue?” Tanyanya beranjak dari tempat duduknya. Ia
memiliki tubuh yang cukup besar namun tidak tinggi. Bahunya bungkuk, seperti
kakek-kakek pada umumnya, jalannya juga cukup lambat. Ia memakai sebuah tongkat
ketika ia berjalan. “Aku membuat kue cokelat,” lanjutnya.
Oh, ternyata ia pintar membuat kue
cokelat. Aku suka kue cokelat. Dengan semangat aku menutup buku yang kupegang
lalu menaruhnya di atas sofa dan mengikutinya dari belakang, ia membuka pintu
dan keluar. Kudengar suara berisik di luar sana. Suara Tn. Justin yang penuh dengan
amarah. Ia beberapa kali mengatakan kata kotor. Florek mendesah dan
menggelengkan kepalanya di depanku, sepertinya ia sering mendengar cucunya yang
sering berteriak seperti itu. Aku tidak suka dengan pria yang sering berteriak.
Entahlah, jika orang itu berteriak ataupun membentak, hatiku langsung saja
tertusuk dan air mataku tanpa diminta keluar dari mataku. Ya, cukup aneh.
“Emosi Justin selalu meluap-luap,
sampai sekarang aku masih menunggu seseorang yang bisa membuat emosinya tidak
mendidih,” komentar Florek dari depan. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku.
Kami menaiki tangga kecil untuk menuju dapur. Dapurnya besar, banyak panci yang
tergantung di atas langit-langit dapur. Bagaimana jika terjadi gempa? Orang
yang sedang memotong sesuatu di atas meja yang di atasnya panci-panci pasti ia
yang mati duluan. Karena ia yang akan terhantam panci itu terlebih dahulu.
Cukup ngeri, aku tidak berani masuk ke dalam perbatasan meja batu –bar
sarapan—yang Florek dengan beraninya masuk. Suara Tn. Justin masih terdengar
sampai dapur lalu beberapa detik kemudian ia berhenti. Florek telah
mengeluarkan kue-kuenya dari panggangan kue dengan tangan yang telah disarung.
Segera ia menaruh kue-kue itu ke atas piring putih besar dan kembali menaruh
loyang kue itu ke dalam panggangan kue. Ia berjalan padaku dengan piring berisi
kue itu lalu tersenyum.
“Dia satu-satunya cucuku yang paling
kusayang,”
“Tentu, ia memang sangat baik,”
ucapku, asal. Florek menggelengkan kepalanya, ia menipiskan bibirnya.
“Bukan tentang dia baik atau
jahatnya,” ujarnya. “Aku sangat menyayanginya karena ia bertumbuh tanpa
orangtua yang lengkap. Ia membutuhkan banyak cinta dari luar sana. Aku tidak
ingin ia tidak merasa tidak dicintai. Ibu dan Ayahnya bercerai dan ia ikut
dengan anakku, Ayahnya. Ibunya pergi entah kemana, Ayahnya merawatnya hingga ia
berumur 17 tahun bersama denganku. Namun Ayahnya meninggal karena kecelakaan
jadi akulah yang merawatnya, “ jelasnya. Ini informasi yang tidak terucap dari
mulut Tn. Justin.
“Ayahku juga meninggal karena
kecelakaan,” ucapku mengangkat kedua bahuku. “Ibuku meninggal karena stroke,”
aku mulai mengambil kue cokelat yang ia sediakan. Kue bundar berwarna cokelat
itu dengan segera kugigit. Mmh, rasanya sungguh nikmat. Kupejamkan mataku untuk
lebih menikmati kue ini. Tidak ada duanya, ini adalah kue cokelat terenak yang
tidak pernah kucoba sebelumnya. Ia seharusnya menjadi pengusaha kue. Ia tertawa
sehingga aku membuka mataku.
“Aku belajar membuat kue ini sejak
aku menikah dengan istriku. Ia meninggal setelah melahirkan Ayah Justin. Jadi
bisa dibilang, aku sudah berpengalaman merawat anak lelaki. Dari semua kue yang
ia ajarkan padaku, hanya ini yang benar-benar bisa kubuat. Tapi Justin tidak
pernah memakan kue ini seumur hidupnya,”
“Tidak mungkin!” Seruku, tak percaya
sambil menggelengkan kepalaku. Tidak mungkin! Tn. Justin tidak mungkin tidak
pernah mencoba kue seenak ini. Seharusnya ia mencobanya, bahkan sekarang aku
sudah mengambil kepingan kedua. Florek tertawa-tawa dengan kepala yang
terangguk lalu tangannya mengambil kursi yang ada di sebelahnya dan duduk
berhadapan denganku. “Kue ini hanya sangat enak dan ia tidak pernah mencobanya?
Mengapa?” Tanyaku.
“Ia memiliki teori kalau memakan kue
buatanku akan membuatnya keracunan,” ujarnya tertawa kembali. Florek terlihat
sangat bahagia, kebahagiaannya benar-benar menular padaku. Aku ikut tertawa.
Bodohnya Tn. Justin! Aku hanya masih tidak percaya ia tidak pernah membuat kue
ini.
“Kapan terakhir kau membuat kue ini
sebelum kau membuat kue ini?” Tanyaku.
“Setiap hari aku membuatnya,”
lanjutnya. Mataku terbuka lebar sama dengan mulutku yang ikut terbuka lebar.
Aku ingin sekali berteriak. Bagaimana bisa Tn. Justin tidak pernah mencoba kue
buatan kakeknya sendiri dan Florek setiap hari membuat kue ini? Jika aku
tinggal di sini, aku sudah yakin kalau aku akan sangat gendut. “Tapi aku
menyuruh Allan untuk memberikan kue-kue ini pada tunawisma,” lanjutnya. Kedua
bahuku melemas, untunglah, diberkatilah tunawisma itu karena telah memakan kue
yang Florek buat. Florek mendongakkan kepalanya untuk melihat seseorang di
belakangku yang kuyakin adalah Tn. Justin.
“Jadi, kau sudah bertemu dengan
kakekku, Faith,” ucap Tn. Justin dari belakang. Aku membalikkan tubuhku –dari
tadi aku tidak duduk—tanganku telah memegang kue ketiga yang telah berada di
mulut. Aku mematahkannya dengan segera lalu mengunyahnya. Kuanggukan kepalaku.
“Apa pun yang ia katakan tentangku itu adalah salah,”
“Aku tahu kau dari dia,” ucapku
memutar kepalaku. “Kau harus mencoba kue ini,” ujarku mengambil salah satu
keping kue dan membalikkan tubuhku pada Justin. Kusodorkan kue itu padanya.
“Ayo, ini enak,” tapi Justin menggeleng-gelengkan kepalanya. Tangannya
mendorong tanganku untuk menjauhkan kue itu dari hadapannya. Apa masalahnya? Ia
sangat tidak menghargai usaha kakeknya yang telah membuatkannya kue enak ini.
“Tidak, tidak, tidak. Kakekku tidak
tahu apa-apa tentang masalah kue,” komentarnya. “Sekarang, mari kita pergi dari
rumah untuk mencari makan,”
“Mengapa kita tidak memakan kue ini
saja?” Tanyaku memasukkan kue itu kembali ke dalam mulutku. “Mmh, ini sangat
lezat, Tn. Justin. Kau harus mencobanya,”
“Tidak,”
“Aku tidak akan ikut denganmu jika
kau tidak mencoba kue buatannya,” ujarku seperti anak kecil, kulipat kedua
tanganku yang sudah tidak memegang kue lagi. Mulutku masih mengunyah kue. Ia
memejamkan matanya untuk beberapa detik, sepertinya ia sedang menahan amarahnya,
aku tahu tingkahku sekarang seperti anak kecil tapi pria yang ada di hadapanku
ini harus belajar bagaimana menghargai kakeknya yang telah membuat kue cokelat
lezat ini. Tubuhku kembali menegang seketika, ia memberikanku tatapan sihirnya padaku. Mengapa ia selalu
melakukan itu sebagai senjatanya? Aku memiliki senjata apa untuk membuatnya
bertekuk lutut di hadapanku? Ini sangat tidak adil. Kupikir ia akan marah
padaku atau mengancam sesuatu padaku, ia mengambil salah satu kepingan cokelat
lalu kembali ia memejamkan matanya dan memasukkan kue itu ke dalam mulutnya.
Hanya setengah lalu ia mengembalikan kue itu dari tempatnya. Aku tersenyum,
matanya terbuka.
“Pergi, sekarang.” Ucapnya tidak
ingin dibantah.
“Selamat tinggal, Florek! Sungguh
senang bisa bertemu denganmu. Aku akan datang kembali untuk memakan kue itu
lagi,” ujarku mengedipkan mataku padanya saat Justin menarik tanganku. Ia
tersenyum.
“Aku akan membuatnya sebanyak
mungkin,” serunya.
***
Restoran. Lagi. Aku tidak terbiasa
dengan masakan restoran, aku lebih senang dengan masakan rumah. Biasanya Mozes
juga memasak makanan untukku meski masakannya tidak seenak yang terlihat di
MasterChef. Apa Tn. Justin memang tidak pernah makan makanan buatan rumah? Aku
mendesah pelan sambil menunggu makanan yang akan datang. Sudah malam dan aku
tidak tahu apa aku akan pulang atau tidak. Tapi aku harus menemani Mozes hari
ini. Ia tidak mungkin kutinggalkan di rumah sendirian. Tn. Justin sedang sibuk
dengan ponselnya untuk beberapa saat lalu ia mendongak.
“Aku membosankan eh?” Tanyanya
mencondongkan tubuhnya ke depan. Kuangkat kedua bahuku dan menatapnya tanpa
ekspresi.
“Kau tidak berbicara. Kau tidak
menyenangkan seperti kakekmu,” ucapku acuh. Restoran mewah di pinggiran kota,
baru pertama kali aku keluar dari kota Altanta karena sebelumnya aku tidak
pernah bertemu dengan siapa pun di luar kota Altanta. Tidak ada keluarga lain
yang mengunjungi kami di rumah –bahkan di pemakaman hanya jemaat gereja yang
mendatangi pemakaman Ibuku. Justin terkekeh, ia memasukkan ponselnya ke dalam
kantongnya lalu mendesah.
“Apa yang ingin kautahu tentangku?”
Tanyanya. Akhirnya! Aku berseru dalam hati. Akhirnya ia bertanya seperti itu
padaku. Aku ingin tahu bagaimana bisa ia bertahan hidup tanpa orangtua. Aku
tentu ingin tahu masa lalu partner seksku.
“Kakekmu bilang, kau tidak pernah
bisa mengendalikan emosimu. Bukankah itu penyakit anak remaja? Apa kau masih
anak remaja?” Tanyaku menyelipkan humor ke dalamnya. Namun ia tidak tertawa. Ia
tidak pernah tertawa! Maksudku, tertawa terbahak-bahak atau semacamnya. Ia
hanya …demi Tuhan, hanya terkekeh! Aku yang Taylor Swift katakan tentang: aku sadar tawamu adalah suara terindah yang
pernah kudengar itu terjadi dalam hidupku. Tapi belum pernah ada suara tawa
lelaki yang terbahak-bahak menjadi suara terindah yang pernah kudengar. Hanya
Ayahku, kurasa, dan Florek. Justin menggelengkan kepalanya.
“Aku hanya bertemperamental tinggi.
Tapi aku tidak akan marah padamu jika kau tidak membuat kesalahan. Sejauh ini,
kau adalah gadis yang sangat manis. Bagaimana tadi?” Tanyanya. Pipiku langsung
memerah ketika ia mengangkat topik tadi
permukaan. Kutahan senyumanku untuk tidak terlihat malu. Ia sepertinya
menikmati permainannya sekarang. Kukendalikan diriku lalu kubuka mulutku.
“Wonderful,” bisikku. “Tapi aku
tidak bisa melihatmu. Meski pada akhirnya aku melihatmu, tapi kamarnya
remang-remang. Aku tidak sepenuhnya dapat melihatmu. Apa itu salah satu
kesukaanmu?”
“Ya,” jawabnya. “Aku hanya senang
melihat submisifku diam, tak bicara dan hanya mendesah untukku dan tidak
menatap padaku, hanya saja, aku tahu saat kau menatapku kau hanya membuatku
akan cepat keluar. Aku mempunyai obsesi untuk membuat para gadis mendapatkan
pelepasan, tebak apa? Aku bangga karena aku orang pertama yang memerawanimu,”
ucapnya santai. Bahkan sekarang adalah restoran. Ya, aku tahu, ia sudah
kehilangan akalnya.
“Mengapa saat aku menatapmu kau
cepat keluar?” Tanyaku, bingung.
“Sekarang saja tatapanmu seperti
memintaku untuk berhubungan badan. Kau memiliki tatapan panas yang natural. Kau
tentu tidak akan sadar dengan apa yang telah kau lakukan padaku.”
“Apa kau menutup mata mantan-mantan
submisifmu?”
“Ya, tapi aku tidak pernah membuka
matanya sampai hubungan badan itu berakhir,” ujarnya. “Apa yang kaubicarakan
dengan kakekku?” Tanyanya ketika pelayan muncul membawa makanan untuk kami. Aku
hanya meminta sup kacang polong halus.
“Orangtuamu. Ayahmu, lebih tepatnya.
Kakekmu sangat menyayangimu, harus kautahu,”
“Aku tahu ia menyayangiku. Hanya
saja, aku tidak suka melihatnya berbicara dengan submisif baruku. Tidak ada
submisifku yang pernah berbicara dengannya dan bahkan memakan kuenya. Kue itu
adalah racun!” Serunya kesal. Kulihat urat-urat tangannya tercetak di kulitnya,
mengapa? Apa ia kesal? Tatapan matanya berapi-api, ia sangat kesal. Mengapa
tiap kali aku membicarakan tentang orangtuanya atau Ayahnya membuatnya sangat
marah? Apa ia sedendam itu pada orangtuanya karena bercerai? Setidaknya ia
masih memiliki Ayah yang bisa menyayanginya. Well, aku memang bukan orang kaya,
tapi aku bersyukur karena memiliki dua orangtua yang utuh dan selalu
menyayangiku. Aku cukup prihatin.
“Aku akan beruntung jika memiliki
kakek seperti itu,” ucapku, tenang. “Apa aku selalu membuatmu tersinggung jika
aku membicarakan tentang orangtuamu?”
“Aku tidak pernah membicarakan
tentang orangtuaku sebanyak ini pada mantan submisifku. Ia hanya tahu aku
memiliki orangtua yang telah bercerai,”
“Dan mengapa kau sangat kesal?
Banyak anak-anak yang mendapatkan nasib yang sama denganmu,” ujarku, santai.
Aku hanya ingin melihat sampai mana ia dapat bersabar. Meski aku tahu
membuatnya marah adalah resikonya. Dan siapa tahu saja ia akan melakukan
sesuatu yang buruk padaku. Kurasa nafsu makannya hilang karena ia segera
menyandarkan tubuhnya ke tempat duduk dan menatapku dengan tatapan dingin.
Bibirnya datar. Wajahnya tidak memerah atau apa pun namun kurasa ia sedang
marah. Biasanya orang pendiam memiliki amarah lebih parah daripada orang yang
sering marah. Entahlah, pria yang di hadapanku ini sangatlah sulit untuk
dimengerti.
“Ibuku berselingkuh dengan pria lain
yang tidak lain dan tidak bukan adalah pembersih kolamku. Aku tidak tahu kalau
Ibuku memiliki selera rendahan seperti itu. Ayahku menceraikannya. Mulai dari
sana Ayahku mengajarkanku bela diri karena Ibuku tidak pernah mengizinkan
Ayahku untuk mengajariku bela diri. Dari sana aku mendapatkan otot-otot yang
kauremas tadi,” sial! Berbicara tentang orangtuanya dan ia masih dapat
menggodaku? Seluruh kulit tubuhku meremang.
“Jadi kau hebat dalam bela diri?”
“Itulah mengapa aku menyukai
kekerasan dalam hubungan seks,”
“Kau ingin memukulku dengan tanganmu
yang keras itu?” Jantungku langsung saja berada dalam mulutku. Tidak, tidak,
tidak. Untunglah ini baru percobaan. Ini hanya percobaan, jika tidak berhasil,
aku bisa pergi darinya. Kapanpun. Ia terkekeh dan menggelengkan kepalanya.
Kumasukkan satu sendok sup ke dalam mulutku.
“Tentu saja tidak, tapi jika bisa
memakai telapak tanganku untuk memukul bokongmu yang seksi itu,” ujarnya
menjijikan. Ish! Aku merinding. “Tidak, bukan kekerasan memukulmu dengan kepalan
tanganku, Faith,”
“Aku mengerti,” ucapku mengambil
gelas air putih. Tumben sekali Tn. Justin meminum air putih. “Sudah berapa
orang mati karena tanganmu itu?” Tanyaku yang membuatnya tiba-tiba saja tersedak
ketika sedang meminum air putihnya. Oh? Apa yang salah dengan pertanyaanku? Apa
dia pernah membunuh seseorang sebelumnya? Jika ya, aku akan pergi darinya
sekarang juga. Ia mengelap bibirnya dengan kain yang telah disiapkan oleh
restoran ini.
“Banyak,” ucapnya, singkat. Darah
yang berada di kepalaku turun ke bawah, ke kakiku. Tubuhku melemas. Apa ia
serius telah membunuh banyak orang dengan tangannya itu? Itu bisa saja terjadi,
siapa tahu pukulannya adalah pukulan maut? “Kau percaya itu? Ya, aku tahu ini
sangat keren,” ucapnya, tersenyum bangga. Ia mengepalkan tangan kirinya –ia
seorang yang kidal—lalu matanya menelusuri kepalan tangannya itu. Matanya yang
tadinya berwarna cokelat biasa itu tiba-tiba terlihat seperti ada sebuah
bayangan hitam yang melapisinya, ini sangat menyeramkan. Apa ia sakit jiwa atau
semacamnya?
“Biasanya aku memukul orang itu
tepat di matanya agar ia hanya dapat melihat dengan satu mata. Tapi jika aku
tidak ingin ia bisa melihat, aku meninju matanya yang lain. Lalu hidungnya hingga
patah dan berdarah. Mulutnya …hingga giginya benar-benar tak menempel di
gusinya. Seluruhnya. Lalu BAM! BAM! BAM!” –aku sangat memerhatikannya
baik-baik—“Ia mati di tanganku. Biasanya aku melakukan itu pada orang yang
sangat kubenci dan kulakukan itu saat malam hari …ketika ia sedang tidur. Dan
BAM!” Aku tersentak ketika ia meninju telapak tangannya yang lain. “Kau tertipu
dengan ucapanku,” ujarnya tertawa. Aku mendesah. Seluruh bahuku yang menegang,
melemas seketika. Mengapa aku bisa begitu memerhatikan ucapannya? Bodohnya aku.
Ia tertawa hingga kepalanya terpental ke belakang namun untungnya ia tidak
jatuh bersama dengan kursinya itu. Akhirnya ia tertawa. Ya, benar apa yang
dikatakan Ms. Swift itu, suara tawanya sungguh indah. Ia tampak sangat …bahagia.
“Kau lihat wajahmu tadi? Kau sangat
ketakutan! Aku tidak pernah melihat wajah wanita setakut itu padaku,” ujarnya.
Aku tidak tersenyum padanya. Aku ingin balas dendam. Kuberikan padanya wajah
lesu dan kugelengkan kepalaku.
“Sebenarnya, itu sangat tidak lucu,”
ucapku, pelan. “Candaanmu benar-benar membuatku ketakutan,” lanjutku. Tawanya
yang bahagia itu berangsur-angsur hilang sembari ia menatapiku dengan raut
wajah yang bingung. Ia khawatir.
“Faith, aku hanya bercanda,”
ucapnya. “Aku sungguh minta maaf jika itu benar-benar membuatmu takut,”
katanya, memohon. Kugelengkan kepalaku, kedua alisku bertaut dan air mataku
mulai membendung.
“A-aku tidak ingin bersama-sama
dengan seorang pembunuh. Candaanmu sudah melewati batas, Tn. Justin. Aku keluar
dari perjanjian itu,” ucapku bangkit dari kursi dan membalikkan tubuhku untuk
keluar dari restoran. Ia mengikutiku dari belakang tanpa berteriak memanggil.
Aku keluar dari restoran sedangkan ia harus membayar tagihan terlebih dahulu.
Aku ingin sekali tertawa di dalam restoran, wajahnya sangat lucu. Aku keluar
dari parkiran dan berjalan memasuki jalan raya yang sepi. Aku cukup takut
berjalan sendirian yang dikedua belah jalanan yang kutemui hanyalah pepohonan
dan pepohonan. Setelah beberapa langkah berjalan, cahaya mobil dari belakang
mulai terlihat. Tn. Justin. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang sama
dengan kecepatan jalanku.
“Ayolah, Faith, aku hanya bercanda,”
“Kau yakin kau bukan pembunuh?
Karena aku …”
“Aku sama sekali bukan pembunuh,
Faith, aku hanya bercanda,”
“Kalau begitu, aku juga hanya
bercanda untuk keluar dari perjanjian itu! Aaaah!” Teriakku berlari secepat
mungkin darinya. Ia mengumpat dan tertawa. Ia menghentikan mobilnya dan berlari
mengikutiku. “Oh, Master! Aku hanya bercanda!”
“Tidak ada yang berani bercanda
kelewatan seperti itu padaku, Faith!” Ujarnya mengejarku terus menerus. Aku
sungguh gugup sekarang ketika kubalikkan kepalaku dan melihatnya sudah berada
dalam jarak yang sangat dekat denganku. Lalu, BAM! Tubuhku ditarik olehnya, aku
menjerit. Ia memelukku dan membalikkan tubuhku. “Kau sangat pintar bercanda,
Faith. Sangat lucu dan cukup membuatku khawatir,” ujarnya, kali ini serius.
Wajahku dan wajahnya sungguh dekat, ia menyelipkan rambutku yang berantakan ke
belakang telingaku.
“Aku hanya bercanda. Aku masih ingin
mengikuti perjanjian itu,” ucapku.
“Lain kali jangan membuatku khawatir
seperti itu. Kau membuatku sangat bergairah sekarang. Ah, ya, kau harus
dihukum.” Ucapnya seduktif sekaligus mengancam. Aku terkesiap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar