Minggu, 15 Desember 2013

Right Mistakes Bab 7



CHAPTER SEVEN

FAITH

            Kuperhatikan kakek-kakek yang sedang berada di hadapanku yang sedang terduduk di atas kursi hangat nan nyaman itu di balik meja bacanya. Aku terduduk di sofa yang lain sambil memegang sebuah buku yang lain, yang tentunya tidak setebal buku yang ia baca sekarang. Kacamata yang ia pakai sudah sangat tebal, ia dari tadi terdiam sejak kedatanganku. Aku harap ia ingin berbicara denganku karena sekarang aku merasa sangat kesepian. Tn. Justin sedang berada di dalam ruang kerjanya dan tentunya, ia sedang bekerja. Ia tampak serius dan berkonsentrasi saat sedang bekerja, jadi aku tidak berani untuk mengganggunya. Hubungan badan tadi memang sangat menakjubkan bagiku, tentu, karena aku tidak pernah berhubungan badan dengan siapa pun sebelumnya. Aku terkesan dengan caranya yang cukup pengertian itu. Meski aku tahu, ia ingin melakukannya lagi. Begitupun aku, tapi aku tidak bisa, aku sangat kelelahan.
            Ketika aku terbangun dari tempat tidur, aku sudah berpakaian lengkap dengan tubuh yang sangat harum. Rambutku kering dan tersisir rapi. Meski aku tidak tahu dimana tadi aku berhubungan badan karena saat aku terbangun, tempat tidur yang kutempati tidak sama sekali berantakan atau basah. Aku sebenarnya lapar sekarang, tapi aku malu untuk meminta makan pada Tn. Justin. Ataupun kakek-kakek yang ada di hadapanku. Ia tampak bisu saat kubuka pintu perpustakaan dan ya, aku bertemu dengan tempat yang luar biasa menakjubkan besarnya serta tinggi. Ada dua tangga di perpustakaan ini untuk mengambil buku-buku yang tinggi. Ketika aku baru saja membuka buku yang ingin kubaca, kakek-kakek yang terduduk itu menurunkan kacamata yang ia pakai sampai ke ujung hidungnya. Ia menutup bukunya dan lalu mengintip dari balik kacamatanya. Seketika aku gugup.
            “Tidak ada kekasih Justin yang pernah masuk ke dalam perpustakaan ini,” ujarnya dengan suara yang serak khas kakek-kakek. “Kau cukup berani untuk masuk ke dalam sini,’
            “Tn. Justin mengizinkanku untuk masuk ke dalam perpustakaan ini,” ucapku, menjawab. Ia tersenyum padaku –senyumannya sungguh hangat—kerutan di sekitar matanya terlihat. Wajahnya sudah berkerut, rambutnya seluruhnya sudah putih, ia memiliki kumis juga. Tangannya menarik kacamatanya dari ujung hidungnya lalu tergantung begitu saja di depan dadanya. Oh, ia memakai rantai untuk kacamatanya, benar sekali, seharusnya sudah kuduga. Ia kemudian melipatkan kedua tangannya di atas buku besar yang ia baca tadi lalu menarik nafas. Jadi, ini kakek Tn. Justin? Ia tampak sangat baik.
            “Kau kekasih Justin pertama yang masuk ke dalam perpustakaan ini dan berbicara denganku. Kau kekasihnya bukan?”
            “Bukan,” ucapku. “Aku hanya partner seksnya,” lanjutku.
            “Oh, aku tidak pernah tahu itu. Kau sangat manis, siapa namamu?” Tanyanya sangat ramah. Oh, mungkin kakek ini yang mengajari Tn. Justin bagaimana bersikap ramah. Namun mengapa tatapan hangat kakek Justin tidak sama dengan tatapan Tn. Justin yang sangat dingin? Ini sangat aneh.
            “Faith,” gumamku. Ia menganggukkan kepalanya.
            “Aku Florek. Kau bisa memanggilku Florek. Kau ingin memakan kue?” Tanyanya beranjak dari tempat duduknya. Ia memiliki tubuh yang cukup besar namun tidak tinggi. Bahunya bungkuk, seperti kakek-kakek pada umumnya, jalannya juga cukup lambat. Ia memakai sebuah tongkat ketika ia berjalan. “Aku membuat kue cokelat,” lanjutnya.
            Oh, ternyata ia pintar membuat kue cokelat. Aku suka kue cokelat. Dengan semangat aku menutup buku yang kupegang lalu menaruhnya di atas sofa dan mengikutinya dari belakang, ia membuka pintu dan keluar. Kudengar suara berisik di luar sana. Suara Tn. Justin yang penuh dengan amarah. Ia beberapa kali mengatakan kata kotor. Florek mendesah dan menggelengkan kepalanya di depanku, sepertinya ia sering mendengar cucunya yang sering berteriak seperti itu. Aku tidak suka dengan pria yang sering berteriak. Entahlah, jika orang itu berteriak ataupun membentak, hatiku langsung saja tertusuk dan air mataku tanpa diminta keluar dari mataku. Ya, cukup aneh.
            “Emosi Justin selalu meluap-luap, sampai sekarang aku masih menunggu seseorang yang bisa membuat emosinya tidak mendidih,” komentar Florek dari depan. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku. Kami menaiki tangga kecil untuk menuju dapur. Dapurnya besar, banyak panci yang tergantung di atas langit-langit dapur. Bagaimana jika terjadi gempa? Orang yang sedang memotong sesuatu di atas meja yang di atasnya panci-panci pasti ia yang mati duluan. Karena ia yang akan terhantam panci itu terlebih dahulu. Cukup ngeri, aku tidak berani masuk ke dalam perbatasan meja batu –bar sarapan—yang Florek dengan beraninya masuk. Suara Tn. Justin masih terdengar sampai dapur lalu beberapa detik kemudian ia berhenti. Florek telah mengeluarkan kue-kuenya dari panggangan kue dengan tangan yang telah disarung. Segera ia menaruh kue-kue itu ke atas piring putih besar dan kembali menaruh loyang kue itu ke dalam panggangan kue. Ia berjalan padaku dengan piring berisi kue itu lalu tersenyum.
            “Dia satu-satunya cucuku yang paling kusayang,”
            “Tentu, ia memang sangat baik,” ucapku, asal. Florek menggelengkan kepalanya, ia menipiskan  bibirnya.
            “Bukan tentang dia baik atau jahatnya,” ujarnya. “Aku sangat menyayanginya karena ia bertumbuh tanpa orangtua yang lengkap. Ia membutuhkan banyak cinta dari luar sana. Aku tidak ingin ia tidak merasa tidak dicintai. Ibu dan Ayahnya bercerai dan ia ikut dengan anakku, Ayahnya. Ibunya pergi entah kemana, Ayahnya merawatnya hingga ia berumur 17 tahun bersama denganku. Namun Ayahnya meninggal karena kecelakaan jadi akulah yang merawatnya, “ jelasnya. Ini informasi yang tidak terucap dari mulut Tn. Justin.
            “Ayahku juga meninggal karena kecelakaan,” ucapku mengangkat kedua bahuku. “Ibuku meninggal karena stroke,” aku mulai mengambil kue cokelat yang ia sediakan. Kue bundar berwarna cokelat itu dengan segera kugigit. Mmh, rasanya sungguh nikmat. Kupejamkan mataku untuk lebih menikmati kue ini. Tidak ada duanya, ini adalah kue cokelat terenak yang tidak pernah kucoba sebelumnya. Ia seharusnya menjadi pengusaha kue. Ia tertawa sehingga aku membuka mataku.
            “Aku belajar membuat kue ini sejak aku menikah dengan istriku. Ia meninggal setelah melahirkan Ayah Justin. Jadi bisa dibilang, aku sudah berpengalaman merawat anak lelaki. Dari semua kue yang ia ajarkan padaku, hanya ini yang benar-benar bisa kubuat. Tapi Justin tidak pernah memakan kue ini seumur hidupnya,”
            “Tidak mungkin!” Seruku, tak percaya sambil menggelengkan kepalaku. Tidak mungkin! Tn. Justin tidak mungkin tidak pernah mencoba kue seenak ini. Seharusnya ia mencobanya, bahkan sekarang aku sudah mengambil kepingan kedua. Florek tertawa-tawa dengan kepala yang terangguk lalu tangannya mengambil kursi yang ada di sebelahnya dan duduk berhadapan denganku. “Kue ini hanya sangat enak dan ia tidak pernah mencobanya? Mengapa?” Tanyaku.
            “Ia memiliki teori kalau memakan kue buatanku akan membuatnya keracunan,” ujarnya tertawa kembali. Florek terlihat sangat bahagia, kebahagiaannya benar-benar menular padaku. Aku ikut tertawa. Bodohnya Tn. Justin! Aku hanya masih tidak percaya ia tidak pernah membuat kue ini.
            “Kapan terakhir kau membuat kue ini sebelum kau membuat kue ini?” Tanyaku.
            “Setiap hari aku membuatnya,” lanjutnya. Mataku terbuka lebar sama dengan mulutku yang ikut terbuka lebar. Aku ingin sekali berteriak. Bagaimana bisa Tn. Justin tidak pernah mencoba kue buatan kakeknya sendiri dan Florek setiap hari membuat kue ini? Jika aku tinggal di sini, aku sudah yakin kalau aku akan sangat gendut. “Tapi aku menyuruh Allan untuk memberikan kue-kue ini pada tunawisma,” lanjutnya. Kedua bahuku melemas, untunglah, diberkatilah tunawisma itu karena telah memakan kue yang Florek buat. Florek mendongakkan kepalanya untuk melihat seseorang di belakangku yang kuyakin adalah Tn. Justin.
            “Jadi, kau sudah bertemu dengan kakekku, Faith,” ucap Tn. Justin dari belakang. Aku membalikkan tubuhku –dari tadi aku tidak duduk—tanganku telah memegang kue ketiga yang telah berada di mulut. Aku mematahkannya dengan segera lalu mengunyahnya. Kuanggukan kepalaku. “Apa pun yang ia katakan tentangku itu adalah salah,”
            “Aku tahu kau dari dia,” ucapku memutar kepalaku. “Kau harus mencoba kue ini,” ujarku mengambil salah satu keping kue dan membalikkan tubuhku pada Justin. Kusodorkan kue itu padanya. “Ayo, ini enak,” tapi Justin menggeleng-gelengkan kepalanya. Tangannya mendorong tanganku untuk menjauhkan kue itu dari hadapannya. Apa masalahnya? Ia sangat tidak menghargai usaha kakeknya yang telah membuatkannya kue enak ini.
            “Tidak, tidak, tidak. Kakekku tidak tahu apa-apa tentang masalah kue,” komentarnya. “Sekarang, mari kita pergi dari rumah untuk mencari makan,”
            “Mengapa kita tidak memakan kue ini saja?” Tanyaku memasukkan kue itu kembali ke dalam mulutku. “Mmh, ini sangat lezat, Tn. Justin. Kau harus mencobanya,”
            “Tidak,”
            “Aku tidak akan ikut denganmu jika kau tidak mencoba kue buatannya,” ujarku seperti anak kecil, kulipat kedua tanganku yang sudah tidak memegang kue lagi. Mulutku masih mengunyah kue. Ia memejamkan matanya untuk beberapa detik, sepertinya ia sedang menahan amarahnya, aku tahu tingkahku sekarang seperti anak kecil tapi pria yang ada di hadapanku ini harus belajar bagaimana menghargai kakeknya yang telah membuat kue cokelat lezat ini. Tubuhku kembali menegang seketika, ia memberikanku tatapan sihirnya padaku. Mengapa ia selalu melakukan itu sebagai senjatanya? Aku memiliki senjata apa untuk membuatnya bertekuk lutut di hadapanku? Ini sangat tidak adil. Kupikir ia akan marah padaku atau mengancam sesuatu padaku, ia mengambil salah satu kepingan cokelat lalu kembali ia memejamkan matanya dan memasukkan kue itu ke dalam mulutnya. Hanya setengah lalu ia mengembalikan kue itu dari tempatnya. Aku tersenyum, matanya terbuka.
            “Pergi, sekarang.” Ucapnya tidak ingin dibantah.
            “Selamat tinggal, Florek! Sungguh senang bisa bertemu denganmu. Aku akan datang kembali untuk memakan kue itu lagi,” ujarku mengedipkan mataku padanya saat Justin menarik tanganku. Ia tersenyum.
            “Aku akan membuatnya sebanyak mungkin,” serunya.

***

            Restoran. Lagi. Aku tidak terbiasa dengan masakan restoran, aku lebih senang dengan masakan rumah. Biasanya Mozes juga memasak makanan untukku meski masakannya tidak seenak yang terlihat di MasterChef. Apa Tn. Justin memang tidak pernah makan makanan buatan rumah? Aku mendesah pelan sambil menunggu makanan yang akan datang. Sudah malam dan aku tidak tahu apa aku akan pulang atau tidak. Tapi aku harus menemani Mozes hari ini. Ia tidak mungkin kutinggalkan di rumah sendirian. Tn. Justin sedang sibuk dengan ponselnya untuk beberapa saat lalu ia mendongak.
            “Aku membosankan eh?” Tanyanya mencondongkan tubuhnya ke depan. Kuangkat kedua bahuku dan menatapnya tanpa ekspresi.
            “Kau tidak berbicara. Kau tidak menyenangkan seperti kakekmu,” ucapku acuh. Restoran mewah di pinggiran kota, baru pertama kali aku keluar dari kota Altanta karena sebelumnya aku tidak pernah bertemu dengan siapa pun di luar kota Altanta. Tidak ada keluarga lain yang mengunjungi kami di rumah –bahkan di pemakaman hanya jemaat gereja yang mendatangi pemakaman Ibuku. Justin terkekeh, ia memasukkan ponselnya ke dalam kantongnya lalu mendesah.
            “Apa yang ingin kautahu tentangku?” Tanyanya. Akhirnya! Aku berseru dalam hati. Akhirnya ia bertanya seperti itu padaku. Aku ingin tahu bagaimana bisa ia bertahan hidup tanpa orangtua. Aku tentu ingin tahu masa lalu partner seksku.
            “Kakekmu bilang, kau tidak pernah bisa mengendalikan emosimu. Bukankah itu penyakit anak remaja? Apa kau masih anak remaja?” Tanyaku menyelipkan humor ke dalamnya. Namun ia tidak tertawa. Ia tidak pernah tertawa! Maksudku, tertawa terbahak-bahak atau semacamnya. Ia hanya …demi Tuhan, hanya terkekeh! Aku yang Taylor Swift katakan tentang: aku sadar tawamu adalah suara terindah yang pernah kudengar itu terjadi dalam hidupku. Tapi belum pernah ada suara tawa lelaki yang terbahak-bahak menjadi suara terindah yang pernah kudengar. Hanya Ayahku, kurasa, dan Florek. Justin menggelengkan kepalanya.
            “Aku hanya bertemperamental tinggi. Tapi aku tidak akan marah padamu jika kau tidak membuat kesalahan. Sejauh ini, kau adalah gadis yang sangat manis. Bagaimana tadi?” Tanyanya. Pipiku langsung memerah ketika ia mengangkat topik tadi permukaan. Kutahan senyumanku untuk tidak terlihat malu. Ia sepertinya menikmati permainannya sekarang. Kukendalikan diriku lalu kubuka mulutku.
            “Wonderful,” bisikku. “Tapi aku tidak bisa melihatmu. Meski pada akhirnya aku melihatmu, tapi kamarnya remang-remang. Aku tidak sepenuhnya dapat melihatmu. Apa itu salah satu kesukaanmu?”
            “Ya,” jawabnya. “Aku hanya senang melihat submisifku diam, tak bicara dan hanya mendesah untukku dan tidak menatap padaku, hanya saja, aku tahu saat kau menatapku kau hanya membuatku akan cepat keluar. Aku mempunyai obsesi untuk membuat para gadis mendapatkan pelepasan, tebak apa? Aku bangga karena aku orang pertama yang memerawanimu,” ucapnya santai. Bahkan sekarang adalah restoran. Ya, aku tahu, ia sudah kehilangan akalnya.
            “Mengapa saat aku menatapmu kau cepat keluar?” Tanyaku, bingung.
            “Sekarang saja tatapanmu seperti memintaku untuk berhubungan badan. Kau memiliki tatapan panas yang natural. Kau tentu tidak akan sadar dengan apa yang telah kau lakukan padaku.”
            “Apa kau menutup mata mantan-mantan submisifmu?”
            “Ya, tapi aku tidak pernah membuka matanya sampai hubungan badan itu berakhir,” ujarnya. “Apa yang kaubicarakan dengan kakekku?” Tanyanya ketika pelayan muncul membawa makanan untuk kami. Aku hanya meminta sup kacang polong halus.
            “Orangtuamu. Ayahmu, lebih tepatnya. Kakekmu sangat menyayangimu, harus kautahu,”
            “Aku tahu ia menyayangiku. Hanya saja, aku tidak suka melihatnya berbicara dengan submisif baruku. Tidak ada submisifku yang pernah berbicara dengannya dan bahkan memakan kuenya. Kue itu adalah racun!” Serunya kesal. Kulihat urat-urat tangannya tercetak di kulitnya, mengapa? Apa ia kesal? Tatapan matanya berapi-api, ia sangat kesal. Mengapa tiap kali aku membicarakan tentang orangtuanya atau Ayahnya membuatnya sangat marah? Apa ia sedendam itu pada orangtuanya karena bercerai? Setidaknya ia masih memiliki Ayah yang bisa menyayanginya. Well, aku memang bukan orang kaya, tapi aku bersyukur karena memiliki dua orangtua yang utuh dan selalu menyayangiku. Aku cukup prihatin.
            “Aku akan beruntung jika memiliki kakek seperti itu,” ucapku, tenang. “Apa aku selalu membuatmu tersinggung jika aku membicarakan tentang orangtuamu?”
            “Aku tidak pernah membicarakan tentang orangtuaku sebanyak ini pada mantan submisifku. Ia hanya tahu aku memiliki orangtua yang telah bercerai,”
            “Dan mengapa kau sangat kesal? Banyak anak-anak yang mendapatkan nasib yang sama denganmu,” ujarku, santai. Aku hanya ingin melihat sampai mana ia dapat bersabar. Meski aku tahu membuatnya marah adalah resikonya. Dan siapa tahu saja ia akan melakukan sesuatu yang buruk padaku. Kurasa nafsu makannya hilang karena ia segera menyandarkan tubuhnya ke tempat duduk dan menatapku dengan tatapan dingin. Bibirnya datar. Wajahnya tidak memerah atau apa pun namun kurasa ia sedang marah. Biasanya orang pendiam memiliki amarah lebih parah daripada orang yang sering marah. Entahlah, pria yang di hadapanku ini sangatlah sulit untuk dimengerti.
            “Ibuku berselingkuh dengan pria lain yang tidak lain dan tidak bukan adalah pembersih kolamku. Aku tidak tahu kalau Ibuku memiliki selera rendahan seperti itu. Ayahku menceraikannya. Mulai dari sana Ayahku mengajarkanku bela diri karena Ibuku tidak pernah mengizinkan Ayahku untuk mengajariku bela diri. Dari sana aku mendapatkan otot-otot yang kauremas tadi,” sial! Berbicara tentang orangtuanya dan ia masih dapat menggodaku? Seluruh kulit tubuhku meremang.
            “Jadi kau hebat dalam bela diri?”
            “Itulah mengapa aku menyukai kekerasan dalam hubungan seks,”
            “Kau ingin memukulku dengan tanganmu yang keras itu?” Jantungku langsung saja berada dalam mulutku. Tidak, tidak, tidak. Untunglah ini baru percobaan. Ini hanya percobaan, jika tidak berhasil, aku bisa pergi darinya. Kapanpun. Ia terkekeh dan menggelengkan kepalanya. Kumasukkan satu sendok sup ke dalam mulutku.
            “Tentu saja tidak, tapi jika bisa memakai telapak tanganku untuk memukul bokongmu yang seksi itu,” ujarnya menjijikan. Ish! Aku merinding. “Tidak, bukan kekerasan memukulmu dengan kepalan tanganku, Faith,”
            “Aku mengerti,” ucapku mengambil gelas air putih. Tumben sekali Tn. Justin meminum air putih. “Sudah berapa orang mati karena tanganmu itu?” Tanyaku yang membuatnya tiba-tiba saja tersedak ketika sedang meminum air putihnya. Oh? Apa yang salah dengan pertanyaanku? Apa dia pernah membunuh seseorang sebelumnya? Jika ya, aku akan pergi darinya sekarang juga. Ia mengelap bibirnya dengan kain yang telah disiapkan oleh restoran ini.
            “Banyak,” ucapnya, singkat. Darah yang berada di kepalaku turun ke bawah, ke kakiku. Tubuhku melemas. Apa ia serius telah membunuh banyak orang dengan tangannya itu? Itu bisa saja terjadi, siapa tahu pukulannya adalah pukulan maut? “Kau percaya itu? Ya, aku tahu ini sangat keren,” ucapnya, tersenyum bangga. Ia mengepalkan tangan kirinya –ia seorang yang kidal—lalu matanya menelusuri kepalan tangannya itu. Matanya yang tadinya berwarna cokelat biasa itu tiba-tiba terlihat seperti ada sebuah bayangan hitam yang melapisinya, ini sangat menyeramkan. Apa ia sakit jiwa atau semacamnya?
            “Biasanya aku memukul orang itu tepat di matanya agar ia hanya dapat melihat dengan satu mata. Tapi jika aku tidak ingin ia bisa melihat, aku meninju matanya yang lain. Lalu hidungnya hingga patah dan berdarah. Mulutnya …hingga giginya benar-benar tak menempel di gusinya. Seluruhnya. Lalu BAM! BAM! BAM!” –aku sangat memerhatikannya baik-baik—“Ia mati di tanganku. Biasanya aku melakukan itu pada orang yang sangat kubenci dan kulakukan itu saat malam hari …ketika ia sedang tidur. Dan BAM!” Aku tersentak ketika ia meninju telapak tangannya yang lain. “Kau tertipu dengan ucapanku,” ujarnya tertawa. Aku mendesah. Seluruh bahuku yang menegang, melemas seketika. Mengapa aku bisa begitu memerhatikan ucapannya? Bodohnya aku. Ia tertawa hingga kepalanya terpental ke belakang namun untungnya ia tidak jatuh bersama dengan kursinya itu. Akhirnya ia tertawa. Ya, benar apa yang dikatakan Ms. Swift itu, suara tawanya sungguh indah. Ia tampak sangat …bahagia.
            “Kau lihat wajahmu tadi? Kau sangat ketakutan! Aku tidak pernah melihat wajah wanita setakut itu padaku,” ujarnya. Aku tidak tersenyum padanya. Aku ingin balas dendam. Kuberikan padanya wajah lesu dan kugelengkan kepalaku.
            “Sebenarnya, itu sangat tidak lucu,” ucapku, pelan. “Candaanmu benar-benar membuatku ketakutan,” lanjutku. Tawanya yang bahagia itu berangsur-angsur hilang sembari ia menatapiku dengan raut wajah yang bingung. Ia khawatir.
            “Faith, aku hanya bercanda,” ucapnya. “Aku sungguh minta maaf jika itu benar-benar membuatmu takut,” katanya, memohon. Kugelengkan kepalaku, kedua alisku bertaut dan air mataku mulai membendung.
            “A-aku tidak ingin bersama-sama dengan seorang pembunuh. Candaanmu sudah melewati batas, Tn. Justin. Aku keluar dari perjanjian itu,” ucapku bangkit dari kursi dan membalikkan tubuhku untuk keluar dari restoran. Ia mengikutiku dari belakang tanpa berteriak memanggil. Aku keluar dari restoran sedangkan ia harus membayar tagihan terlebih dahulu. Aku ingin sekali tertawa di dalam restoran, wajahnya sangat lucu. Aku keluar dari parkiran dan berjalan memasuki jalan raya yang sepi. Aku cukup takut berjalan sendirian yang dikedua belah jalanan yang kutemui hanyalah pepohonan dan pepohonan. Setelah beberapa langkah berjalan, cahaya mobil dari belakang mulai terlihat. Tn. Justin. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan jalanku.
            “Ayolah, Faith, aku hanya bercanda,”
            “Kau yakin kau bukan pembunuh? Karena aku …”
            “Aku sama sekali bukan pembunuh, Faith, aku hanya bercanda,”
            “Kalau begitu, aku juga hanya bercanda untuk keluar dari perjanjian itu! Aaaah!” Teriakku berlari secepat mungkin darinya. Ia mengumpat dan tertawa. Ia menghentikan mobilnya dan berlari mengikutiku. “Oh, Master! Aku hanya bercanda!”
            “Tidak ada yang berani bercanda kelewatan seperti itu padaku, Faith!” Ujarnya mengejarku terus menerus. Aku sungguh gugup sekarang ketika kubalikkan kepalaku dan melihatnya sudah berada dalam jarak yang sangat dekat denganku. Lalu, BAM! Tubuhku ditarik olehnya, aku menjerit. Ia memelukku dan membalikkan tubuhku. “Kau sangat pintar bercanda, Faith. Sangat lucu dan cukup membuatku khawatir,” ujarnya, kali ini serius. Wajahku dan wajahnya sungguh dekat, ia menyelipkan rambutku yang berantakan ke belakang telingaku.
            “Aku hanya bercanda. Aku masih ingin mengikuti perjanjian itu,” ucapku.
            “Lain kali jangan membuatku khawatir seperti itu. Kau membuatku sangat bergairah sekarang. Ah, ya, kau harus dihukum.” Ucapnya seduktif sekaligus mengancam. Aku terkesiap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar