Minggu, 15 Desember 2013

Right Mistakes Bab 4



CHAPTER FOUR

FAITH

            Bahu bidang itu lepas dari pandanganku ketika pintu lift tertutup. Tn. Justin tidak membalas sapaanku yang ramah. Kupikir ia lelaki yang ramah, tapi ternyata tidak. Ia malah menjatuhkan pandangan penuh kebencian pada lelaki yang sedang berada di sebelahku. Aura jahat itu dapat kurasakan ke seluruh tubuhku ketika matanya menatap tajam pada atasanku. Sebenarnya, apa masalahnya? Aku tidak mengerti ia bisa memberikan efek berbeda dari orang-orang yang pernah kutemui. Hanya dia yang dapat membuat darahku berdesir ketika matanya bertemu dengan mataku.
            Tn. Alex sudah beberapa mengajakku kencan, namun aku tidak menganggapnya sebagai kekasihku. Ia belum memintaku sebagai kekasihnya. Meski aku tidak akan menerimanya karena peraturan di hotel kami adalah tidak boleh ada karyawan yang berpacaran sesama karyawan yang bekerja di hotel ini. Dan peraturan itu juga berlaku bagi Tn. Alex. Aku hanya sekedar mengaguminya. Ia pria yang manis dan ia memiliki selera humor tinggi. Terkadang ia berusaha untuk mengecup bibirku, namun aku tidak pernah mengizinkannya dengan cara halus. Kujauhi wajahnya ketika bibirnya berusaha menyentuh bibirku. Hanya sekedar kecupan pipi sudah cukup. Lennion sudah berkali-kali memberitahu padaku bahwa Tn. Alex ingin berhubungan seks denganku, tapi aku tidak ingin memberikan keperawananku kepada lelaki yang kelak bukan suamiku.
            Hening mengisi lift kami. Ini semakin mendukung pikiranku yang daritadi tertuju pada tatapan Tn. Justin yang tajam itu. Mengapa ia melakukan itu padaku? Aku merasa bersalah. Aku mendesah dan menggelengkan kepalaku. Ya Tuhan, aku baru sadar. Pasti ia berpikir bahwa Tn. Alex adalah kekasihku dan aku telah berbohong padanya. Sungguh sial. Aku tidak pernah berbohong kecuali dalam hal yang mendesak.
            “Ada apa?” Suara berat dari Tn.Alex terdengar di telingaku dengan nada bertanya.
            “Tidak ada,” balasku berusaha untuk tidak gugup. Bahkan aku bingung mengapa tiba-tiba saja aku gugup. Kuselipkan beberapa rambutku yang tergantung di kedua belah kepalaku ke belakang telingaku. Ia berdeham.
            “Siapa lelaki tadi?” Tanya Tn. Alex.
            “Dia hanya Tn. Justin yang menginap di hotel ini. Oh, dan dia juga pemilik rumah sakit yang Ibuku tempati. Ia lelaki yang baik,” sekilas aku memutar kembali apa yang kuucapkan tadi di otakku. Ia lelaki yang baik? Secara tak langsung, dia memang lelaki yang baik. Tapi secara tak langsung, ia lelaki yang jahat telah menghancurkan pikiranku kemarin hanya dalam satu pertemu. Aku kebingungan serta kewalahan dengan apa yang terjadi kemarin. Ketika ia membawa seikat bunga pada Ibuku, mereka berdua tampak sangat akrab. Apa selama ini Tn. Justin sudah kenal dengan Ibuku dan Ibuku tidak pernah memberitahu padaku? Biasanya Ibu tidak suka melihatku berjalan dengan seorang lelaki yang sejenis Tn. Justin. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi?
            “Bagaimana keadaan Ibumu?”
            “Dia baik-baik saja, kemarin. Tapi aku berharap hari ini keadaannya sama seperti kemarin. Karena beberapa hal yang lalu, keadaannya menurun kembali dan dokter harus merawatnya lebih intens. Aku tidak mengerti mengapa stroke bisa begitu parah, padahal Ibu sudah mengikuti segala perawatan terbaik di rumah sakit itu. Namun ia tak kunjung keluar dari rumah sakit,”
            “Aku hanya dapat berharap yang terbaik bagi Ibumu,” saat itu juga pintu lift terbuka. Tn. Alex keluar lebih dahulu, diikuti aku dari belakang. Kami berjalan menuju ruangannya yang berada di paling ujung koridor. Ia berjalan penuh dengan kewibawaan, rambutnya tidak begitu panjang namun cocok untuk wajahnya, dan ia sangat tinggi. Ia membuka pintu ruang kerjanya untukku dan dengan segera aku masuk.
            “Bagaimana dengan kencan malam nanti?” Pertanyaannya segera menyerangku tanpa ampun. Aku tercekat.

***

            “Aku sungguh minta maaf, Lennion, beritahu Tn. Sicrossire kalau aku tidak bisa masuk kerja sore ini. Ibuku…” Aku tidak dapat menyelesaikan kata-kataku ketika aku mendapat kabar bahwa Ibuku masuk ke dalam ruang operasi. Aku tidak tahu operasi apa yang sedang dijalani, Mozes tidak memberitahuku apa yang terjadi pada Ibuku! Aku sudah bilang berkali-kali padanya hari ini untuk menghubungiku siang ini, tapi ia tidak menghubungiku. Ia sudah bekerja siang ini dan suster Carla tidak menghubungiku ketika Ibuku sudah masuk ke dalam ruang operasi. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi sekarang? Seharusnya dokter-dokter ini harus meminta persetujuanku terlebih dahulu sebelum melakukan operasi. Mengapa mereka membuat hidupku semakin sulit? Aku terisak.
            “Aku mengerti. Aku sungguh menyesal mendengar Ibumu kembali masuk ke ruang operasi,”
            “Terima kasih, Lennion,” bisikku segera mematikan ponselku. Aku menggenggam ponselku sekencang mungkin hingga kukuku memutih. Kemana Mozes? Aku sudah lama sekali menghubunginya dan ia tidak mengangkat panggilan dariku. Aku terduduk lemas di atas kursi ruang tunggu, tepat di samping pintu ruang operasi, aku menundukkan kepalaku. Tangisanku memecah, aku menghirup udara sedalam-dalamnya untuk menenangkan diriku, namun aku tidak berhasil. Kedua bahuku naik-turun ketika aku terisak. Apa yang terjadi pada Ibuku? Aku membisikkan doa di tiap tetesan air mata yang menetes pada Tuhan, kumohon jangan ambil Ibuku. Sudah cukup aku terpuruk karena kehilangan Ayahku, tapi tidak dengan Ibuku. Aku sudah memperjuangkannya bagaimana pun caranya. Aku bekerja mencari uang untuk membiayai kesehatannya, namun mengapa hasilnya tetap nihil?
            Aku melepas sepatu hak tinggiku dan mengangkat kedua kaki ke atas kursi. Kupeluk lututku seerat mungkin dan menyembunyikan wajahku di antara kedua lututku. Air mataku tetap mengalir. Ini tidak boleh terulang kembali. Kembali aku teringat dengan apa yang terjadi pada Ayahku. Kata-kata terakhir Ayah ketika ia meninggalkanku dari pintu rumah: ‘Ayah akan membawakan hadiah untukmu nanti malam.’ Dia memang membawakanku hadiah. Hadiah pahit yang tidak akan pernah kulupakan dalam hidupku. Aku berusaha untuk tidak berpikir negatif bahwa Ibuku akan cepat pergi dari dunia ini. Kata terakhir yang kudengar pagi tadi lewat ponsel Mozes adalah: ‘Aku mencintaimu.’ Jika ia mencintaiku, mengapa ia harus kembali masuk ke dalam ruang operasi itu? Mengapa dokter-dokter itu harus bertindak kembali seperti pertama kali ia masuk ke dalam rumah sakit ini?
            Tubuhku menggigil secara tiba-tiba. Aku butuh pelukan. Siapa yang akan menjadi orang yang memelukku ketika aku sedang menangis? Tentu bukan Mozes! Ibuku, bagaimana jika ia tidak akan ada di dunia ini lagi? Aku berdoa pada Tuhan, jika memang Ibuku memang harus bertemu dengan Ayahku di surga dan dapat membuatnya bahagia …aku akan membiarkannya pergi.
            “Faith,” kudengar suara memanggil namaku. Kudongakkan kepalaku, Tn. Justin berada di hadapanku dengan tangannya yang memegang sapu tangan. “Aku menyesal dengan apa yang terjadi pada Ibumu,” lanjutnya.
            “Tn. Justin!” Desahku menangis pecah, kakiku turun dan aku berdiri dari kursi. Aku memeluknya dengan erat. Ia membalas pelukanku, ia sangat hangat. Aku menangis terisak dalam pelukannya. Ia membawaku duduk bersama dengannya. Ia memangkuku di atas pahanya lalu mengelus kepalaku dengan lembut. Siapa aku berani-beraninya memeluk dan berpangku di atas pahanya? Aku merasa bersalah karena telah bersikap kasar padanya kemarin.
            “Dia ada di dalam. Bertaruh nyawa. Bagaimana jika ia tidak berhasil memperjuangkan kehidupannya?”
            “Terkadang, kau harus membiarkannya pergi demi kebaikannya. Kau tidak mungkin tega membiarkannya tetap berada di dunia dengan keadaan yang buruk seperti itu, Faith, kau harus berpikir dua kali,” ujarnya bijaksana. Aku diam, namun aku masih tetap menangis. “Ssh,” desisnya agar aku tidak menangis. Namun aku tidak dapat menahan tangisan ini.

JUSTIN

            Setelah perceraian orangtuaku, aku tidak pernah menangis. Amarah selalu melingkupiku setiap saat. Hanya saja, amarahku harus dipercik oleh api. Dan api itu sering membakar amarahku. Meski aku tahu apa yang dihadapi Faith memang sangatlah berat, aku tidak sama sekali tersentuh. Ibunya yang menginginkan ini. Ibunya ingin mengakhiri kehidupannya demi anak-anaknya, ia tidak ingin melihat Faith bekerja keras baginya kembali karena ia tidak mungkin hidup selamanya di dalam rumah sakit. Ia meminta dr. Carlisle untuk mengakhiri kehidupannya. Seharusnya memang dr. Carlisle meminta persetujuan dari Fatih, namun perintah Ibu Faith lebih kuat dibanding Faith.
            Gadis bertubuh mungil ini sedang meringkuk bagaikan anak bayi dalam pelukanku. Aku tak tega melihatnya menangis sendirian. Tidak, aku bukan lelaki yang romantis. Aku hanya sedang menjadi seorang pria. Ia menerima sapu tanganku yang sekarang telah menyerap air matanya. Menit demi menit kami lalui, gadis ini akhirnya terlelap. Aku terdiam. Kugelengkan kepalaku ketika pikiran nakal mulai mendesak masuk ke dalam otakku. Lexise, ini bukanlah saat yang tepat! Ibunya sedang sekarat di dalam sana namun kau masih menginginkan tubuh gadis ini? Lelaki bejat! Tapi aku memang lelaki bejat yang penuh karisma. Aku tidak peduli apa yang gadis-gadis luar katakan padaku, aku hanyalah lelaki egois yang menginginkan surga dunia. Aku telah membuat neraka di dunia, kenikmatan surgawi yang kuciptakan sendiri. Ya, seperti yang dikatakan Harry Schaumburg: ‘Ketika orang-orang mencari kenikmatan surga dengan cara mereka sendiri, maka mereka telah menciptakan neraka mdi dunia dengan hasrat yang tak terkendalikan’.
            Nerakaku adalah neraka dimana gadis-gadis ingin rasakan.
            Mozes seketika muncul dengan keringat yang bercucuran di sekitar tubuhnya. Dia sangat kotor dan aku berharap dia tidak menyentuhku. Ya, buruh.
            “Bagiamana keadaan Ibuku?”
            “Belum ada kabar,”
            “Faith? Ada apa dengannya?” Mozes tampaknya sangat khawatir dengan keadaan adiknya. Begitupun aku. Aku membutuhkan Faith untuk tetap sehat. Ini memperburuk segalanya, rencana yang kusiapkan untuk mendapatkannya tertunda begitu saja karena meninggal Ibunya nanti. Ya, Ibunya pasti meninggal karena itu memang keinginan Ibunya sendiri.
            “Dia terlelap. Dia menangis, keadaannya sangat buruk. Aku akan mencarikannya ruang kosong,” ucapku sambil menggendong Faith. Aku berjalan melewati Mozes, namun tangannya terangkat, menahanku untuk melangkah.
            “Jangan macam-macam dengan adikku,” ia mengancamku. Ancamannya tidak sama sekali menyentuh ketakutanku. Atau mungkin aku tidak memiliki rasa takut?
            “Pasti.” Balasku sesingkat mungkin. Kembali aku berjalan meninggalkannya untuk mencari ruang rawat yang kosong. Mungkin aku bisa menikmati pemandangan indah setelah aku membaringkan gadis yang kugendong ke atas tempat tidur.

***

            Aku masih penasaran dengan lelaki yang berjalan dengannya tadi pagi. Siapa dia berani-beraninya berjalan bersama dengan calon submisifku? Tidak boleh ada yang menyentuh Faith selain aku. Rasanya aku ingin sekali membunuh lelaki itu yang berpura-pura tidak menyadari kalau aku sedang memerhatikannya. Tidak ada yang bisa menahanku untuk mendapatkannya, sekalipun lelaki itu. Aku melipat bibirku ke dalam lalu berpikir kembali, masih tak percaya, dia belum pernah disentuh oleh seorang lelaki? Ia jelas sama sekali tidak berpengalaman. Namun ia mempunyai naluri submisif. Ia cocok untuk dijadikan budak. Namun keadaan sosialnya yang menghambat hubungan ini. Jika ia sedikit terbuka padaku, aku pasti sekarang ada di atas tempat tidur bersama dengannya.
            Ia sangat sulit untuk diajak bekerja sama. Sudah lebih dari 1 jam ia terlelap namun aku tak bosan menatapi wajahnya. Aku belum menyentuh tubuhnya. Sama sekali tidak. Matanya segera menatap padaku, lalu sontak ia bangkit dari tempat tidur.
            “Ibuku!” Serunya.
            “Belum keluar,” bisikku menggeleng-gelengkan kepalaku. Ia mendesah, ia memukul keningnya dengan telapak tangan kanannya. Beberapa detik ia berada di posisi itu, ia mengangkat kepalanya.
            “A-aku harus mandi, kurasa,” gumamnya turun dari tempat tidur. Kamar VIP yang telah kutempati ini memang sangat nyaman. Mataku tak lepas darinya yang sedang berjalan menuju kamar mandi. Ia menarik pensil yang menahan sanggulan itu, akhirnya, demi apa pun …akhirnya aku dapat melihat rambutnya yang tergerai. Aku memejamkan mataku. Tanganku menarik rambutnya yang panjang itu dari belakang, memasuki tubuhnya berkali-kali, memukul bokongnya sepuasku hingga ia menjerit penuh kesakitan sekaligus kenikmatan. Lalu aku mendapatkan pelepasanku. Sial, hanya karena ia menggeraikan rambutnya bayang-bayangku sudah berterbangan entah kemana.
            Ketika aku membuka mataku, ia sudah berada di dalam kamar mandi. Tanganku menyentuh tombol di bawah tempat tidur untuk memanggil suster. Aku ingin meminta pakaian pasien serta celana dalam untuk Faith, tidak mungkin ia kembali memakai celana dalam yang sama dalam satu hari. Beberapa saat kemudian pintu kamarku terbuka, suster muncul. Carla.
            “Master,” bisiknya. Yeah, dia adalah salah satu mantan submisifku. Dia cukup berguna dalam mencaritahu tentang Faith.
            “Bisa kau ambilkan pakaian pasien dengan celana dalam untuk Faith? Bagaimana keadaan Ibu Faith?” Tanyaku. Carla mendekatiku lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “Dia meninggal. Apa kita harus memperlihatkan apa telah kau siapkan itu, Master?”
            “Tidak, belum saatnya,” bisikku. “Cepat ambilkan ia pakaian bersih,”
            “Baik, Master,” balasnya segera keluar dari kamarku. Aku menelan ludahku. Dulu dia salah satu submisif yang bertahan paling lama denganku. Ia memiliki rasa padaku, tapi aku menolaknya. Sejak saat itu ia meninggalkanku dan kami hanya menjalin pertemanan. Beruntung aku karena dr. Carlisle telah menjadi penggantiku. Beberapa menit setelahnya, Carla muncul dengan pakaian pasien yang bersih bersama dengan celana dalam lalu ia menaruhkannya ke atas tempat tidur. Hmm, memang cukup lucu memiliki celana dalam di rumah sakit. Tapi celana dalam itu tidak kembali dicuci, melainkan dibuang. Ia meninggalkanku bertepatan ketika Faith membuka pintu kamar mandi. Pakaian yang sama telah ia pakai, namun aku yakin ia tidak memakai celana dalam yang sama. Ia terlihat sangat bersih.
            “Aku menyiapkan celana dalam untukmu, pakailah, jangan biarkan milikmu dingin karena tidak ada yang menutupinya,” ujarku, seduktif. Pipinya memerah dan lalu tangannya meraih pakaian yang Carla telah siapkan.
            “Terima kasih,” bisiknya. Lalu ia kembali masuk ke dalam kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Tingkahnya sangat lucu, aku menertawakannya dalam hati.

***

FAITH

            Aku menatap Ibuku yang terbaring di atas tempat tidur tanpa nyawa. Ia sudah pergi. Tuhan telah memanggilnya. Bibirku terlipat ke dalam, sebisa mungkin aku menahan tangisku, tapi kembali air mata itu terjatuh. Dari belakang Mozes memelukku dan ia terisak. Bagaimana dengannya? Siapa yang akan mendatangi pernikahanku kelak? Siapa yang akan menjadi wakilku? Aku tidak memiliki paman atau bibi yang dapat memerhatikan kami. Tapi aku tak sanggup menatapi wajah Ibuku lagi. Aku membalikkan tubuhku dan segera memeluk Mozes. Aku menangis sejadi-jadinya. Ia mengelus punggungku dengan lembut.
            “Mungkin memang sudah rencana Tuhan seperti ini,” bisik Mozes di telingaku. Namun aku masih tak dapat menahan rasa sakit yang kuterima. Ini terlalu cepat. Mengapa Ibu harus menyusul Ayahku dalam waktu yang sangat dekat? Mengapa bukan aku saja yang Tuhan ambil? Aku ingin bertemu dengan Tuhan juga! Aku ingin tahu bagaimana rasa pelukan Tuhan yang dapat melindungiku. Namun kenyataan berkata lain.
            “Aku akan menanggung segala biaya pemakaman,” suara Tn. Justin dari seberang tempat tidur Ibuku terdengar. Aku melepaskan pelukanku dari Mozes lalu menyeka hidungku.
            “Tidak perlu,” kugelengkan kepalaku. “Aku bukan pengemis,”
            “Aku hanya ingin membantu,” tukasnya cepat, tanpa ekspresi. Lelaki ini sangat sulit diikuti, oh, mengapa Ibu harus pergi sekarang? Aku tidak bisa meminta pendapatnya tentang Justin. Justin bukan siapa-siapa di sini, namun mengapa ia ingin membantuku? Mengapa lelaki ini sangat peduli dengan Ibuku? Hubungan apa yang tidak kuketahui di antara mereka? Aku terdiam.
            “Tidak, tapi terima kasih telah berusaha untuk membantu,”
            “Aku turut berdukacita,” ujarnya beranjak dari tempatnya. Ia meninggalkan kami berdua tanpa ekspresi. Dia tidak terhanyut bersama denganku dan Mozes. Ia bukanlah lelaki yang peka, tentu. Tidak, tidak, tidak. Aku menyeka hidungku dengan sapu tangan yang Tn. Justin berikan padaku. Oh, ya ampun. Sapu tangannya! Apa aku harus memberikannya dengan keadaan yang sudah kotor? Tapi ini adalah miliknya. “Aku harus mengembalikan sapu tangan ini,” bisikku masih terisak. Aku berlari keluar dari ruang operasi. Kulihat Tn. Justin berjalan menuju lift namun aku meneriaki namanya. Ia berhenti melangkah dan membalikkan tubuhnya.
            “Ada apa, Faith?” Ia menyebut namaku dengan nada yang lebih rendah. Ketika aku telah sampai di hadapannya, aku berusaha menarik nafas dalam-dalam agar tak terisak.
            “Sapu tanganmu, terima kasih,” ucapku berusaha untuk tersenyum.
            “Itu bukan milikku.” Ucapnya datar. Kubentang sapu tangan yang kupegang lalu terdapat jahitan nama bertuliskan Edwina. Milik Ibuku, mengapa Tn. Justin bisa mendapatkan sapu tangan ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar