CHAPTER FOUR
FAITH
Bahu
bidang itu lepas dari pandanganku ketika pintu lift tertutup. Tn. Justin tidak
membalas sapaanku yang ramah. Kupikir ia lelaki yang ramah, tapi ternyata
tidak. Ia malah menjatuhkan pandangan penuh kebencian pada lelaki yang sedang
berada di sebelahku. Aura jahat itu dapat kurasakan ke seluruh tubuhku ketika
matanya menatap tajam pada atasanku. Sebenarnya, apa masalahnya? Aku tidak
mengerti ia bisa memberikan efek berbeda dari orang-orang yang pernah kutemui.
Hanya dia yang dapat membuat darahku berdesir ketika matanya bertemu dengan
mataku.
Tn.
Alex sudah beberapa mengajakku kencan, namun aku tidak menganggapnya sebagai
kekasihku. Ia belum memintaku sebagai kekasihnya. Meski aku tidak akan
menerimanya karena peraturan di hotel kami adalah tidak boleh ada karyawan yang
berpacaran sesama karyawan yang bekerja di hotel ini. Dan peraturan itu juga
berlaku bagi Tn. Alex. Aku hanya sekedar mengaguminya. Ia pria yang manis dan
ia memiliki selera humor tinggi. Terkadang ia berusaha untuk mengecup bibirku,
namun aku tidak pernah mengizinkannya dengan cara halus. Kujauhi wajahnya
ketika bibirnya berusaha menyentuh bibirku. Hanya sekedar kecupan pipi sudah
cukup. Lennion sudah berkali-kali memberitahu padaku bahwa Tn. Alex ingin
berhubungan seks denganku, tapi aku tidak ingin memberikan keperawananku kepada
lelaki yang kelak bukan suamiku.
Hening
mengisi lift kami. Ini semakin mendukung pikiranku yang daritadi tertuju pada
tatapan Tn. Justin yang tajam itu. Mengapa ia melakukan itu padaku? Aku merasa
bersalah. Aku mendesah dan menggelengkan kepalaku. Ya Tuhan, aku baru sadar.
Pasti ia berpikir bahwa Tn. Alex adalah kekasihku dan aku telah berbohong
padanya. Sungguh sial. Aku tidak pernah berbohong kecuali dalam hal yang
mendesak.
“Ada
apa?” Suara berat dari Tn.Alex terdengar di telingaku dengan nada bertanya.
“Tidak
ada,” balasku berusaha untuk tidak gugup. Bahkan aku bingung mengapa tiba-tiba
saja aku gugup. Kuselipkan beberapa rambutku yang tergantung di kedua belah
kepalaku ke belakang telingaku. Ia berdeham.
“Siapa
lelaki tadi?” Tanya Tn. Alex.
“Dia
hanya Tn. Justin yang menginap di hotel ini. Oh, dan dia juga pemilik rumah
sakit yang Ibuku tempati. Ia lelaki yang baik,” sekilas aku memutar kembali apa
yang kuucapkan tadi di otakku. Ia lelaki
yang baik? Secara tak langsung, dia memang lelaki yang baik. Tapi secara
tak langsung, ia lelaki yang jahat telah menghancurkan pikiranku kemarin hanya
dalam satu pertemu. Aku kebingungan serta kewalahan dengan apa yang terjadi
kemarin. Ketika ia membawa seikat bunga pada Ibuku, mereka berdua tampak sangat
akrab. Apa selama ini Tn. Justin sudah kenal dengan Ibuku dan Ibuku tidak
pernah memberitahu padaku? Biasanya Ibu tidak suka melihatku berjalan dengan
seorang lelaki yang sejenis Tn.
Justin. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi?
“Bagaimana
keadaan Ibumu?”
“Dia
baik-baik saja, kemarin. Tapi aku berharap hari ini keadaannya sama seperti
kemarin. Karena beberapa hal yang lalu, keadaannya menurun kembali dan dokter
harus merawatnya lebih intens. Aku tidak mengerti mengapa stroke bisa begitu
parah, padahal Ibu sudah mengikuti segala perawatan terbaik di rumah sakit itu.
Namun ia tak kunjung keluar dari rumah sakit,”
“Aku
hanya dapat berharap yang terbaik bagi Ibumu,” saat itu juga pintu lift
terbuka. Tn. Alex keluar lebih dahulu, diikuti aku dari belakang. Kami berjalan
menuju ruangannya yang berada di paling ujung koridor. Ia berjalan penuh dengan
kewibawaan, rambutnya tidak begitu panjang namun cocok untuk wajahnya, dan ia
sangat tinggi. Ia membuka pintu ruang kerjanya untukku dan dengan segera aku
masuk.
“Bagaimana
dengan kencan malam nanti?” Pertanyaannya segera menyerangku tanpa ampun. Aku
tercekat.
***
“Aku
sungguh minta maaf, Lennion, beritahu Tn. Sicrossire kalau aku tidak bisa masuk
kerja sore ini. Ibuku…” Aku tidak dapat menyelesaikan kata-kataku ketika aku
mendapat kabar bahwa Ibuku masuk ke dalam ruang operasi. Aku tidak tahu operasi
apa yang sedang dijalani, Mozes tidak memberitahuku apa yang terjadi pada
Ibuku! Aku sudah bilang berkali-kali padanya hari ini untuk menghubungiku siang
ini, tapi ia tidak menghubungiku. Ia sudah bekerja siang ini dan suster Carla
tidak menghubungiku ketika Ibuku sudah masuk ke dalam ruang operasi.
Sebenarnya, apa yang sedang terjadi sekarang? Seharusnya dokter-dokter ini
harus meminta persetujuanku terlebih dahulu sebelum melakukan operasi. Mengapa
mereka membuat hidupku semakin sulit? Aku terisak.
“Aku
mengerti. Aku sungguh menyesal mendengar Ibumu kembali masuk ke ruang operasi,”
“Terima
kasih, Lennion,” bisikku segera mematikan ponselku. Aku menggenggam ponselku
sekencang mungkin hingga kukuku memutih. Kemana Mozes? Aku sudah lama sekali
menghubunginya dan ia tidak mengangkat panggilan dariku. Aku terduduk lemas di
atas kursi ruang tunggu, tepat di samping pintu ruang operasi, aku menundukkan
kepalaku. Tangisanku memecah, aku menghirup udara sedalam-dalamnya untuk
menenangkan diriku, namun aku tidak berhasil. Kedua bahuku naik-turun ketika
aku terisak. Apa yang terjadi pada Ibuku? Aku membisikkan doa di tiap tetesan
air mata yang menetes pada Tuhan, kumohon jangan ambil Ibuku. Sudah cukup aku
terpuruk karena kehilangan Ayahku, tapi tidak dengan Ibuku. Aku sudah
memperjuangkannya bagaimana pun caranya. Aku bekerja mencari uang untuk
membiayai kesehatannya, namun mengapa hasilnya tetap nihil?
Aku
melepas sepatu hak tinggiku dan mengangkat kedua kaki ke atas kursi. Kupeluk
lututku seerat mungkin dan menyembunyikan wajahku di antara kedua lututku. Air
mataku tetap mengalir. Ini tidak boleh terulang kembali. Kembali aku teringat
dengan apa yang terjadi pada Ayahku. Kata-kata terakhir Ayah ketika ia
meninggalkanku dari pintu rumah: ‘Ayah akan membawakan hadiah untukmu nanti
malam.’ Dia memang membawakanku hadiah. Hadiah pahit yang tidak akan pernah
kulupakan dalam hidupku. Aku berusaha untuk tidak berpikir negatif bahwa Ibuku
akan cepat pergi dari dunia ini. Kata terakhir yang kudengar pagi tadi lewat
ponsel Mozes adalah: ‘Aku mencintaimu.’ Jika ia mencintaiku, mengapa ia harus
kembali masuk ke dalam ruang operasi itu? Mengapa dokter-dokter itu harus
bertindak kembali seperti pertama kali ia masuk ke dalam rumah sakit ini?
Tubuhku
menggigil secara tiba-tiba. Aku butuh pelukan. Siapa yang akan menjadi orang
yang memelukku ketika aku sedang menangis? Tentu bukan Mozes! Ibuku, bagaimana
jika ia tidak akan ada di dunia ini lagi? Aku berdoa pada Tuhan, jika memang
Ibuku memang harus bertemu dengan Ayahku di surga dan dapat membuatnya bahagia
…aku akan membiarkannya pergi.
“Faith,”
kudengar suara memanggil namaku. Kudongakkan kepalaku, Tn. Justin berada di
hadapanku dengan tangannya yang memegang sapu tangan. “Aku menyesal dengan apa
yang terjadi pada Ibumu,” lanjutnya.
“Tn.
Justin!” Desahku menangis pecah, kakiku turun dan aku berdiri dari kursi. Aku
memeluknya dengan erat. Ia membalas pelukanku, ia sangat hangat. Aku menangis
terisak dalam pelukannya. Ia membawaku duduk bersama dengannya. Ia memangkuku
di atas pahanya lalu mengelus kepalaku dengan lembut. Siapa aku
berani-beraninya memeluk dan berpangku di atas pahanya? Aku merasa bersalah
karena telah bersikap kasar padanya kemarin.
“Dia
ada di dalam. Bertaruh nyawa. Bagaimana jika ia tidak berhasil memperjuangkan
kehidupannya?”
“Terkadang,
kau harus membiarkannya pergi demi kebaikannya. Kau tidak mungkin tega
membiarkannya tetap berada di dunia dengan keadaan yang buruk seperti itu,
Faith, kau harus berpikir dua kali,” ujarnya bijaksana. Aku diam, namun aku
masih tetap menangis. “Ssh,” desisnya agar aku tidak menangis. Namun aku tidak
dapat menahan tangisan ini.
JUSTIN
Setelah
perceraian orangtuaku, aku tidak pernah menangis. Amarah selalu melingkupiku
setiap saat. Hanya saja, amarahku harus dipercik oleh api. Dan api itu sering
membakar amarahku. Meski aku tahu apa yang dihadapi Faith memang sangatlah
berat, aku tidak sama sekali tersentuh. Ibunya yang menginginkan ini. Ibunya
ingin mengakhiri kehidupannya demi anak-anaknya, ia tidak ingin melihat Faith
bekerja keras baginya kembali karena ia tidak mungkin hidup selamanya di dalam
rumah sakit. Ia meminta dr. Carlisle untuk mengakhiri kehidupannya. Seharusnya
memang dr. Carlisle meminta persetujuan dari Fatih, namun perintah Ibu Faith
lebih kuat dibanding Faith.
Gadis
bertubuh mungil ini sedang meringkuk bagaikan anak bayi dalam pelukanku. Aku
tak tega melihatnya menangis sendirian. Tidak, aku bukan lelaki yang romantis.
Aku hanya sedang menjadi seorang pria. Ia menerima sapu tanganku yang sekarang
telah menyerap air matanya. Menit demi menit kami lalui, gadis ini akhirnya
terlelap. Aku terdiam. Kugelengkan kepalaku ketika pikiran nakal mulai mendesak
masuk ke dalam otakku. Lexise, ini bukanlah saat yang tepat! Ibunya sedang
sekarat di dalam sana namun kau masih menginginkan tubuh gadis ini? Lelaki
bejat! Tapi aku memang lelaki bejat yang penuh karisma. Aku tidak peduli apa
yang gadis-gadis luar katakan padaku, aku hanyalah lelaki egois yang
menginginkan surga dunia. Aku telah membuat neraka di dunia, kenikmatan surgawi
yang kuciptakan sendiri. Ya, seperti yang dikatakan Harry Schaumburg: ‘Ketika
orang-orang mencari kenikmatan surga dengan cara mereka sendiri, maka mereka
telah menciptakan neraka mdi dunia dengan hasrat yang tak terkendalikan’.
Nerakaku
adalah neraka dimana gadis-gadis ingin rasakan.
Mozes
seketika muncul dengan keringat yang bercucuran di sekitar tubuhnya. Dia sangat
kotor dan aku berharap dia tidak menyentuhku. Ya, buruh.
“Bagiamana
keadaan Ibuku?”
“Belum
ada kabar,”
“Faith?
Ada apa dengannya?” Mozes tampaknya sangat khawatir dengan keadaan adiknya.
Begitupun aku. Aku membutuhkan Faith untuk tetap sehat. Ini memperburuk
segalanya, rencana yang kusiapkan untuk mendapatkannya tertunda begitu saja
karena meninggal Ibunya nanti. Ya, Ibunya pasti meninggal karena itu memang
keinginan Ibunya sendiri.
“Dia
terlelap. Dia menangis, keadaannya sangat buruk. Aku akan mencarikannya ruang
kosong,” ucapku sambil menggendong Faith. Aku berjalan melewati Mozes, namun
tangannya terangkat, menahanku untuk melangkah.
“Jangan
macam-macam dengan adikku,” ia mengancamku. Ancamannya tidak sama sekali
menyentuh ketakutanku. Atau mungkin aku tidak memiliki rasa takut?
“Pasti.”
Balasku sesingkat mungkin. Kembali aku berjalan meninggalkannya untuk mencari
ruang rawat yang kosong. Mungkin aku bisa menikmati pemandangan indah setelah
aku membaringkan gadis yang kugendong ke atas tempat tidur.
***
Aku
masih penasaran dengan lelaki yang berjalan dengannya tadi pagi. Siapa dia
berani-beraninya berjalan bersama dengan calon submisifku? Tidak boleh ada yang
menyentuh Faith selain aku. Rasanya aku ingin sekali membunuh lelaki itu yang
berpura-pura tidak menyadari kalau aku sedang memerhatikannya. Tidak ada yang
bisa menahanku untuk mendapatkannya, sekalipun lelaki itu. Aku melipat bibirku
ke dalam lalu berpikir kembali, masih tak percaya, dia belum pernah disentuh
oleh seorang lelaki? Ia jelas sama sekali tidak berpengalaman. Namun ia
mempunyai naluri submisif. Ia cocok untuk dijadikan budak. Namun keadaan
sosialnya yang menghambat hubungan ini. Jika ia sedikit terbuka padaku, aku
pasti sekarang ada di atas tempat tidur bersama dengannya.
Ia
sangat sulit untuk diajak bekerja sama. Sudah lebih dari 1 jam ia terlelap
namun aku tak bosan menatapi wajahnya. Aku belum menyentuh tubuhnya. Sama
sekali tidak. Matanya segera menatap padaku, lalu sontak ia bangkit dari tempat
tidur.
“Ibuku!”
Serunya.
“Belum
keluar,” bisikku menggeleng-gelengkan kepalaku. Ia mendesah, ia memukul
keningnya dengan telapak tangan kanannya. Beberapa detik ia berada di posisi
itu, ia mengangkat kepalanya.
“A-aku
harus mandi, kurasa,” gumamnya turun dari tempat tidur. Kamar VIP yang telah
kutempati ini memang sangat nyaman. Mataku tak lepas darinya yang sedang
berjalan menuju kamar mandi. Ia menarik pensil yang menahan sanggulan itu,
akhirnya, demi apa pun …akhirnya aku dapat melihat rambutnya yang tergerai. Aku
memejamkan mataku. Tanganku menarik rambutnya yang panjang itu dari belakang,
memasuki tubuhnya berkali-kali, memukul bokongnya sepuasku hingga ia menjerit
penuh kesakitan sekaligus kenikmatan. Lalu aku mendapatkan pelepasanku. Sial,
hanya karena ia menggeraikan rambutnya bayang-bayangku sudah berterbangan entah
kemana.
Ketika
aku membuka mataku, ia sudah berada di dalam kamar mandi. Tanganku menyentuh
tombol di bawah tempat tidur untuk memanggil suster. Aku ingin meminta pakaian
pasien serta celana dalam untuk Faith, tidak mungkin ia kembali memakai celana
dalam yang sama dalam satu hari. Beberapa saat kemudian pintu kamarku terbuka,
suster muncul. Carla.
“Master,”
bisiknya. Yeah, dia adalah salah satu mantan submisifku. Dia cukup berguna
dalam mencaritahu tentang Faith.
“Bisa
kau ambilkan pakaian pasien dengan celana dalam untuk Faith? Bagaimana keadaan
Ibu Faith?” Tanyaku. Carla mendekatiku lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Dia
meninggal. Apa kita harus memperlihatkan apa telah kau siapkan itu, Master?”
“Tidak,
belum saatnya,” bisikku. “Cepat ambilkan ia pakaian bersih,”
“Baik,
Master,” balasnya segera keluar dari kamarku. Aku menelan ludahku. Dulu dia
salah satu submisif yang bertahan paling lama denganku. Ia memiliki rasa
padaku, tapi aku menolaknya. Sejak saat itu ia meninggalkanku dan kami hanya menjalin
pertemanan. Beruntung aku karena dr. Carlisle telah menjadi penggantiku. Beberapa
menit setelahnya, Carla muncul dengan pakaian pasien yang bersih bersama dengan
celana dalam lalu ia menaruhkannya ke atas tempat tidur. Hmm, memang cukup lucu
memiliki celana dalam di rumah sakit. Tapi celana dalam itu tidak kembali
dicuci, melainkan dibuang. Ia meninggalkanku bertepatan ketika Faith membuka
pintu kamar mandi. Pakaian yang sama telah ia pakai, namun aku yakin ia tidak
memakai celana dalam yang sama. Ia terlihat sangat bersih.
“Aku
menyiapkan celana dalam untukmu, pakailah, jangan biarkan milikmu dingin karena
tidak ada yang menutupinya,” ujarku, seduktif. Pipinya memerah dan lalu
tangannya meraih pakaian yang Carla telah siapkan.
“Terima
kasih,” bisiknya. Lalu ia kembali masuk ke dalam kamar mandi untuk mengganti
pakaiannya. Tingkahnya sangat lucu, aku menertawakannya dalam hati.
***
FAITH
Aku
menatap Ibuku yang terbaring di atas tempat tidur tanpa nyawa. Ia sudah pergi.
Tuhan telah memanggilnya. Bibirku terlipat ke dalam, sebisa mungkin aku menahan
tangisku, tapi kembali air mata itu terjatuh. Dari belakang Mozes memelukku dan
ia terisak. Bagaimana dengannya? Siapa yang akan mendatangi pernikahanku kelak?
Siapa yang akan menjadi wakilku? Aku tidak memiliki paman atau bibi yang dapat
memerhatikan kami. Tapi aku tak sanggup menatapi wajah Ibuku lagi. Aku
membalikkan tubuhku dan segera memeluk Mozes. Aku menangis sejadi-jadinya. Ia
mengelus punggungku dengan lembut.
“Mungkin
memang sudah rencana Tuhan seperti ini,” bisik Mozes di telingaku. Namun aku
masih tak dapat menahan rasa sakit yang kuterima. Ini terlalu cepat. Mengapa
Ibu harus menyusul Ayahku dalam waktu yang sangat dekat? Mengapa bukan aku saja
yang Tuhan ambil? Aku ingin bertemu dengan Tuhan juga! Aku ingin tahu bagaimana
rasa pelukan Tuhan yang dapat melindungiku. Namun kenyataan berkata lain.
“Aku
akan menanggung segala biaya pemakaman,” suara Tn. Justin dari seberang tempat
tidur Ibuku terdengar. Aku melepaskan pelukanku dari Mozes lalu menyeka
hidungku.
“Tidak
perlu,” kugelengkan kepalaku. “Aku bukan pengemis,”
“Aku
hanya ingin membantu,” tukasnya cepat, tanpa ekspresi. Lelaki ini sangat sulit
diikuti, oh, mengapa Ibu harus pergi sekarang? Aku tidak bisa meminta
pendapatnya tentang Justin. Justin bukan siapa-siapa di sini, namun mengapa ia
ingin membantuku? Mengapa lelaki ini sangat peduli dengan Ibuku? Hubungan apa
yang tidak kuketahui di antara mereka? Aku terdiam.
“Tidak,
tapi terima kasih telah berusaha untuk membantu,”
“Aku
turut berdukacita,” ujarnya beranjak dari tempatnya. Ia meninggalkan kami
berdua tanpa ekspresi. Dia tidak terhanyut bersama denganku dan Mozes. Ia
bukanlah lelaki yang peka, tentu. Tidak, tidak, tidak. Aku menyeka hidungku
dengan sapu tangan yang Tn. Justin berikan padaku. Oh, ya ampun. Sapu
tangannya! Apa aku harus memberikannya dengan keadaan yang sudah kotor? Tapi
ini adalah miliknya. “Aku harus mengembalikan sapu tangan ini,” bisikku masih
terisak. Aku berlari keluar dari ruang operasi. Kulihat Tn. Justin berjalan
menuju lift namun aku meneriaki namanya. Ia berhenti melangkah dan membalikkan
tubuhnya.
“Ada
apa, Faith?” Ia menyebut namaku dengan nada yang lebih rendah. Ketika aku telah
sampai di hadapannya, aku berusaha menarik nafas dalam-dalam agar tak terisak.
“Sapu
tanganmu, terima kasih,” ucapku berusaha untuk tersenyum.
“Itu
bukan milikku.” Ucapnya datar. Kubentang sapu tangan yang kupegang lalu
terdapat jahitan nama bertuliskan Edwina.
Milik Ibuku, mengapa Tn. Justin bisa mendapatkan sapu tangan ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar