Minggu, 15 Desember 2013

Right Mistakes Bab 6




CHAPTER SIX

FAITH

            Pikiranku masih kacau karenanya. Aku butuh ruangan untuk bernafas. Tenggorokanku tercekat, ludahku tak dapat kutelan, dan kepalaku mulai pening. Teh yang ia buat untukku telah habis beberapa menit yang lalu, aku masih berada di bawah tatapannya yang misterius. Ia tersenyum, meski aku selalu ragu akan senyuman yang ia berikan padaku. Senyuman itu terasa sangat janggal dan aku tidak pernah melihat senyuman tidak tulus itu namun berarti. Beberapa lembar kertas masih berada dalam genggamanku, tetapi aku tidak sanggup untuk membacanya lebih lanjut lagi. Perjanjian macam apa ini? Yeah, macam permainan Christian Grey. Mengapa aku bisa hampir sama memiliki takdir seperti Anastasia Steele? Kugelengkan kepalaku, tidak, itu hanyalah sekedar novel yang kubaca untuk menghiburku. Ini tidak mungkin nyata. Tapi tetap saja hubungan BDSM memang nyata dan ada di dunia ini, cukup banyak lelaki minat dengan hubungan seperti ini.
            Mungkin semacam psikopat. Atau wanita yang memiliki penyakit masokis. Tn. Justin jelas tahu aku tidak mengikuti aliran ini. Aku tidak sama dengannya. Bukan apa-apa, tapi aku sepertinya tidak dapat menjalani ini semua. Tapi mengapa ia memilihku sebagai submisifnya? Mungkin di bagian awal aku bercanda dengannya. Saat aku memang tidak mengerti apa maksud dominan di sini dan aku mengatakan padanya: “Apa? Maksudmu semacam Dominic? Subway?” . Baru membaca perjanjian ini saja kepalaku sudah pening dan membutuhkan ruang untuk bernafas.  Sekarang aku tahu mengapa Ana Steele membutuhkan waktu untuk berpikir tentang ini. Mataku terjatuh padanya lalu kugelengkan kepalaku.
            “Apa aku boleh pulang?” Tanyaku berbisik. Kedua alisnya terangkat, wajahnya terlihat kecewa. Aku tidak begitu peduli apa ia akan kecewa atau tidak dengan jawabanku, yang terpenting sekarang aku butuh istirahat. Dan ini tidak masuk akal, beberapa jam yang lalu Ibuku baru saja dimakamkan dan sekarang aku telah diperhadapkan oleh perjanjian ini. Justin terdiam sejenak, matanya melihat pada kertas yang masih kupegang lalu ia menatap padaku kembali dengan tatapan tajam. Hatiku mendesah ketika ia menjatuhkan pandangan itu. Ia memang sangat hebat dalam keahliannya. Kutelan ludah sebisaku. Ia menggelengkan kepalanya.
            “Kau tidur di kamarmu. Aku telah menyiapkannya untukmu,” ucapnya, santai. Aku memiliki kamar sendiri di rumahnya? Mengapa ia harus repot-repot menyiapkan kamar untukku? Ia bangkit dari kursinya, tanpa mengatakan apa pun padaku. Tidak ada “Ayo” atau “Biar kutunjukkan” atau sejenisnya. Tapi hanya berdiri dari kursinya dan berjalan keluar dari dapur, tentu, aku ikut berdiri dan berjalan di belakangnya. Ia memiliki bahu yang lebar, rambutnya tampak mengilap dari belakang, rasanya aku ingin mencium aroma rambutnya. Bukan apa-apa, shampoo apa yang ia pakai? Siapa tahu aku bisa memakainya juga. Ia membawaku melewati lorong lalu belok ke sebelah kanan setelah kami mencapai ujung lorong, masih ada lorong lain yang bisa membawa kita ke …oh, tunggu dulu, aku mendapati beberapa anak tangga yang membawa kami ke sebuah ruangan yang luas. Sebuah televisi besar yang menempel di tembok, tiga sofa panjang yang tertata berhadapan, karpet yang luas ..meja belajar, apa ini ruang keluarga? Tapi ia hanya tinggal bersama dengan kakeknya. Kulihat ada dua pintu di ruangan luas ini, satu pintu menuju balkon dan satunya lagi …aku tidak tahu. Tn. Justin ternyata telah berada di pintu yang aku tidak tahu menuju kemana itu, ia menunggu dan menatapiku tanpa ekspresi. Langsung saja aku menuruni anak tangga dan berjalan menuju pintu itu.
            “Ini kamarmu,” ucapnya membuka pintu itu setelah aku mencapainya. “Kau akan tidur di sini jika aku membutuhkanmu. Untuk itulah aku bertanya jadwal kerjamu agar aku bisa mengatur waktu bersama,”
            “Aku belum mengatakan apa pun tentang perjanjian itu. Dan untuk informasi saja, aku masih belum percaya dengan yang namanya berhubungan seks dengan kata aman. Untuk apa kata aman jika kau hanya berhubungan seks?” Tanyaku sambil masuk ke dalam kamarku. Oh, kamar ini bahkan lebih besar dibandingkan apartemen yang kusewa. Pantas saja ia sangat sombong, ini pantas untuk ia sombongkan, tapi kadang itu bisa membuatnya kehilangan teman-temannya. Satu tempat tidur ukuran besar dengan sprei putih monoton, lemari yang memiliki 6 pintu dengan kaca di tiap pintunya. Sebuah meja dan kursi, entah untuk apa. Sebuah kursi santai –yang mungkin untuk bersantai sambil membaca sebuah buku. Apalagi? Aku seperti tuan putri, dan aku tidak ingin diperlakukan seperti tuan putri. Ini sangat berlebihan. Aku tentu bukan berada dalam sebuah dongeng yang dimana aku berperan sebagai putri yang dipungut dari jalanan dan mendapatkan fasilitas berlebihan seperti ini. Aku masih menunggu jawaban Justin, ia masih berada di mulut pintu sedangkan aku mencoba-coba duduk di atas tempat tidur yang sangat empuk ini. Aku memukul-mukulnya dengan gemas.
            “Dengan kekerasan. Itu sangat diperlukan, Faith. Kau akan mengatakan kata aman jika kau  sudah merasa sangat kesakitan dan tidak dapat melanjutkan kekerasan yang merangsang itu, jadi kita akan mendapatkan pelepasan secepat mungkin,” jelasnya memerhatikanku. Meja rias juga ada di dalam kamar ini, sebuah televisi, kulkas mini …apa ini? Sebuah hotel? Mengapa ia harus pergi ke hotelku jika ia memiliki rumah –baiklah, tidak begitu jauh dari kota Atlanta? Memang menuju ke sini membutuhkan waktu tiga jam tapi tetap saja tidak begitu jauh dari kota Atlanta. Oke, memang jauh dari kota Altanta. Ini di pinggiran kota Altanta, kurasa ia menyukai kesunyian. Karena ia sepertinya tidak memiliki tetangga di sini, tentu, masuk ke dalam rumahnya saja kita harus melewati pintu gerbang yang dimana jika dibuka kita akan langsung bertemu dengan jalan beraspal yang menanjak menuju ke atas rumahnya. Taman di halaman depannya lebih luas dibanding taman di belakang hotel. Ia memang pantas menyombongkan dirinya dengan segala yang ia miliki, tapi ia tak cukup sombong untuk dapat menciptakan dunia. Atau mungkin ia menciptakan dunianya sendiri? Tidak, aku tidak boleh terseret masuk ke dalam sana.
            “Kau masih sadar, Faith?” Suaranya terdengar kembali, aku mengangkat kepalaku. Kuanggukan kepalaku. “Tapi aku tidak merasa kau mendengarkanku,” lanjutnya, dingin.
            “Aku mengerti maksudmu apa. Aku pernah mengikuti seminar tentang seks. Aku belajar tentang seks, aku tahu bagaimana caranya untuk menghindari seks. Dan BDSM? Aku memang mengerti apa tujuan perjanjianmu. Tapi aku masih tidak dapat melakukannya, selama ini aku hanya mendapatkan teori, tidak dengan praktek. Aku hanya takut, aku tidak dapat melakukannya,” jelasku memberikan padanya wajah bersungut. Ia mendesah, kakinya membawa tubuhnya yang seperti tubuh lelaki Yunani itu dari mulut pintu lalu menutupnya lalu bunyi kunci pintu terdengar. Tidak, aku belum siap untuk berhubungan seks jika ia memintaku untuk melakukannya.
            “Kau harus percaya padaku. Kita akan mencobanya, kau bisa melakukannya denganku. Kau hanya akan mengatakan kata aman jika kau tak sanggup lagi. Mengerti maksudku, Faith?” Tanyanya berdiri di hadapanku, ia menarik daguku ke atas lalu mengelusnya dengan lembut.
            “Mengapa aku harus percaya padamu?”
            “Agar kita dapat melakukan ini,” ucapnya mendorong tubuhku  ke atas tempat tidur. Ia sangat agresif, ia sudah berada di atas tubuhku tanpa menindihku. Wajahnya sangat dekat denganku, beberapa rambutnya yang panjang itu jatuh ke atas keningnya. Mataku menatap matanya dengan tatapan ragu dan takut. Ia seperti menikmati permainannya tapi aku tidak mengerti mengapa ia tiba-tiba saja menyeringai. Aku belum mengatakan “ya” atau “tidak” padanya. Ia tidak boleh menyentuhku. Aku hanya tidak bisa melakukannya. Ibuku baru saja meninggal dan ini tidak boleh terjadi. Air mataku mulai menetes ke samping kepalaku, ada apa denganku tiba-tiba saja menangis? Aneh.
            “Ada apa Faith?” Tanyanya, ketakutan.
            “Aku tidak bisa melakukannya,” bisikku. “Maksudku, Ibuku baru saja dimakamkan. Aku tidak bisa melakukan ini,”
            “Kau benar,” ucapnya bangkit dari tempat tidur. “Istirahatlah. Kita akan melakukannya secepat mungkin, sayang.” Bisiknya penuh janji dan aku yakin ia akan menepatinya. Aku hanya belum siap untuk melakukan itu. Aku mendesah memejamkan mataku.
            “Aku akan memikirkannya dan memberitahumu apa keputusanku. Beri aku beberapa hari, Justin,” ucapku membuatnya berhenti melangkah ketika ia sedang berjalan menuju pintu kamarku.
            “Tentu, aku akan menunggunya. Kapan selesai cutimu?”
            “Satu minggu ke depan.”
            “Bagus.”

***

JUSTIN

            Tiga hari aku telah menunggu Faith untuk menentukan jawabannya. Ini sangat sulit dari yang kubayangkan, ternyata menunggu kepastian darinya seperti menunggu hal terpenting dalam hidupku. Kuharap ia telah melupakan kematian Ibunya, ia sudah menangis berhari-hari setelah Ibunya meninggal. Ia bukanlah tipe gadis yang terus berlarut-larut dalam keadaannya. Ia mudah bangkit dari kepahitan dan aku butuh dirinya untuk menjadi submisifku. Aku tahu, aku adalah pria yang egois namun aku tidak peduli apa yang akan dipikirkan oleh orang lain tentang diriku, termasuk Faith. Aku bukanlah orang yang mengingkari janjiku, jika aku sudah berjanji pada seseorang aku akan melakukan apa yang kujanjikan. Dan aku membenci orang yang mengingkari janjinya. Jika Faith tidak memberikan jawabannya hari ini, aku akan memaksanya seperti aku memaksa Ibunya di rumah sakit. Aku tidak peduli jika ia menangis atau semacamnya, ia harus menjadi milikku. Baru kali ini aku bersikeras untuk mendapatkan seorang gadis. Ia seperti piala. Ini antara aku dan Alex Sicrossire sialan itu. Aku senang menjadi pemenang, itu seperti obsesi. Dan aku harus mendapatkan Faith untuk menjadi seorang pemenang.
            Tiga hari itu juga aku tidak bertemu dengannya. Namun aku menyuruh orang bawahanku untuk terus mengikuti kemanapun ia pergi dan memberitahu perkembangannya. Hari ini aku telah memberitahu Faith untuk datang bersama dengan sopirku yang kukirim untuknya. Dia telah mendapat nomor ponselku sebelum ia beranjak pergi dari rumahku. Aku menunggu di atas sofa ruang tamu dengan anggur yang berada di atas meja kacaku. Kakekku berada di dalam perpustakaan. Itu kamarnya. Ia pecinta buku, aku tidak dapat melarangnya untuk pergi dari ruangan itu. Ia selalu tertidur di sana, jadi beberapa pelayanku terpaksa harus mengangkatnya dari perpustakaan menuju kamarnya. Ia tidak pernah menggangguku, aku mencintai kakekku. Aku hanya membalas budi padanya karena ia telah merawatku pasca Ayahku meninggal karena kecelakaan. Ibuku pergi entah kemana, aku tidak peduli.
            Jadi selama hubungan BDSM –ku berlangsung, kakekku tidak mungkin menggangguku. Tidak pernah, lebih tepatnya. Ia belum mengetahui hubunganku ini. Tidak ada salah satu dari submisifku yang ingin bergaul dengannya. Rata-rata mereka tidak menyukai buku. Pintu rumah terbuka tepat ketika aku selesai menyesap anggurku. Hatiku berbunga-bunga ketika yang muncul itu adalah Faith. Kulihat penampilannya yang tak terurus itu. Ia harus tahu bagaimana caranya berpakaian. Rambut yang tersanggul, kemeja berwarna merah muda pucat serta celana jins biru panjang ia pakai tampak pas padanya. Tapi kurasa ia harus terbiasa dengan rok atau semacamnya. Kuberikan padanya senyum ketika mataku melihat ia membawa surat perjanjian itu.
            “Kemarilah, duduk,” perintahku yang membuatnya menuruni beberapa anak tangga, lalu ia berjalan menuju salah satu sofa dekatku. “Ingin anggur?”
            “Tidak,” bisiknya pelan. Aku mengangguk. “Aku akan mencobanya,” bisiknya, tahu aku tidak ingin berbasa-basi lagi. Ia duduk dekatku, tangannya yang memegang surat perjanjian itu ia berikan padaku dan segera saja aku mengambilnya. Kubuka map yang berisikan surat-suratku yang …telah ia tandatangani. Gadis pintar. Aku bangkit dari sofa lalu menarik tangannya untuk berdiri dari sofa.
            “Mau kemana?” Tanyanya ketakutan.
            “Aku tidak akan menyakitimu,” ucapku. “I’ll fuck you. Right now,” ucapku menggodanya.

***

FAITH

            Mataku tertutup oleh sebuah selendang hitam sehingga aku tidak dapat melihat apa pun sekarang. Tubuhku sudah telanjang di atas tempat tidur, entah tempat tidur siapa. Aku disuruhnya diam di atas tempat tidur ini. Aku telah mencukur apa pun yang berbulu dari leher hingga ujung kakiku. Ya, aku menandatanganinya. Tidak ada salahnya aku mencobanya, ini akan menjadi sebuah pengalaman yang kuharap tidak merusak apa pun dalam hidupku. Tubuhku terasa sangat dingin di dalam kamar ini, aromanya sangat harum, aku bisa mencium aroma Tn. Justin di kamar ini. Ia meninggalkanku sebentar di kamar ini dengan keadaan yang telanjang. Telanjang. Aku cukup takut dengan apa yang akan kulakukan bersama dengannya, aku masih perawan. Perawan. Bisakah kau percaya itu? Pintu kamar terbuka dan kembali tertutup dan dikunci.
            “Sial,” umpatnya. “Kau sangat seksi dari jarak jauh, Faith. Aku tidak akan menyakitimu kali ini, kita hanya menjalaninya dengan hubungan seks biasa. Aku tahu kau masih perawan dan aku akan melakukannya lembut,” ucapnya terburu-buru. Ada apa?
            “Ya,”
            “Ya apa sayang?”
            “Ya, Master,” ucapku menelan ludah. Nafasnya terengah-engah di bawah tempat tidur. Kurasa ia baru saja berlari. Tangannya yang dingin itu menyentuh betisku yang membuat seluruh tubuhku gemetar dan berakhir pada satu titik di bagian bawahku. Ia menarik kedua betisku agar terpisah. Tangannya yang besar itu mengelus pahaku sampai betis, tanganku mulai meremas sprei.
            “Diam, Faith. Aku yang mengontrol semua hubungan seks ini dan kau hanya harus mengikuti apa yang kukatakan. Mengerti?”
            “Ya, Master,” jawabku berusaha untuk tidak meremas sprei atau pun menggoyangkan pinggulku ke atas. Tangannya kali ini menyentuh paha bagian dalamku, lalu ujung jarinya mulai menekan-nekan paha bagian dalamku dengan lembut. Aku mulai mendesah pelan. Dapat kurasakan ia naik ke atas tempat tidur saat kasur tempat tidur ini tertekan ke bawah. Jari-jari terampilnya mulai menyentuh bagian yang tak pernah disentuh oleh orang lain, aku tersentak ketika ia menyentuhnya lalu menekannya.
            “Oh, Master!” Jeritku melengkuk ke bawah, menekan tempat tidur.
            “Diam,” tegurnya. Jarinya tidak terus menerus terdiam di sana, ia mulai mengelus perutku yang telanjang. Ia naik ke atasku tanpa menindih tubuhku. Aku tidak dapat melihat wajahnya sekarang, tapi aku tahu ia sedang tersenyum sekarang. Kurasakan hembusan nafasnya yang hangat itu menerpa leherku, ia mengecup leherku hingga bunyi cepakannya terdengar. Aku terkesiap, mendesah pelan.
            “Bagaimana dengan ini?” Tanyanya mulai meremas buah dadaku setelah berlama-lama telapak tangannya mengelus-elus permukaan buah dadaku. Aku mendesah dengan kedua alis bertaut. Bibir mengecup pipiku kali ini, lalu mulutku. Kubuka mulutku, aku kehausan, ini sangat panas. Aku mengisap apa pun yang dapat kuhisap, bibirnya bahkan lidahnya. Tangannya yang satunya lagi mulai memegang pipi kananku agar kepalaku tertahan sedangkan tangannya yang lain masih memainkan buah dadaku. Jarinya yang hebat itu mulai memilin putingku lembut. Aku mengerang dalam mulutnya.
            “Aku ingin melihatmu, Justin,” bisikku di sela ciuman. “Ngh,” lenguhku ketika tiga jarinya mulai mengelus-elus bagian bawahku dengan lembut. Aku tidak bisa tidak menggoyangkan pinggulku.
            “Aku akan memukul bokongmu jika kau masih menggerakan pinggulmu,” ancamnya yang membuatku segera menghentikan gerakan pinggulku. Jarinya berputar-putar di atas bagian intimku dengan lembut. Rasanya sangat lembab di bawah sana, licin, sesekali ia mencolok bagian bawahku untuk menarik cairan yang ada di dalamnya tanpa menyakitiku. Aku mendesah-desah di bawah sentuhannya, ia tersenyum. Kedua tanganku mulai meremas sprei, kembali ia mengecup bibirku dan melumat mulutku hingga aku tidak dapat bernafas. Ia memukul bagian bawahku kilat hingga aku tersentak ke atas. Itu tidak sakit, itu nikmat. Bagaimana bisa? Sekarang aku mengerti apa maksudnya. Aku menelan air liurnya yang mengalir masuk ke dalam mulutku. Kali ini jari tengahnya saja yang mengelus-elus bagian atasku, bagian tersensitif. Klitorisku. Jarinya berputar-putar di sekitar sana yang membuatku tak dapat menahan eranganku. Ia segera meredamkan eranganku dengan mulutnya. Aku tak berani untuk meremas rambutnya sebelum ia mengizinkanku.
            “Oh, shit, Master! What happened?” Erangku melepaskan ciuman ini. Tubuhku bergetar bersamaan ketika putaran jarinya semakin cepat. Pinggulku tertekan ke bawah, aku rasa banyak sekali cairan yang keluar. Aku mendesah dengan kedua alis yang bertaut, ia mengawasiku. Aku terus mendesah, menjerit dan mengerang. Kudengar ia menggeram. “Masterhh,” desahku ketika selama lebih dari 20 detik aku mendapatkan pelepasan yang biasanya kudengar dari Lennion. Ini rasanya. Sangat nikmat, menakjubkan dan aku tidak dapat menjabarkannya dengan kata-kata. Tidak sampai di situ saja, aku rasakan sesuatu yang lembab menyentuh bagian bawahku kembali. Lidahnya, oh ini sangat menggelikan. Tapi apa yang dapat kulakukan? Ia yang mengontrol skenario hubungan intim ini.
            “Rasamu sangat gurih dan manis,” komentarnya ketika ia mengisap sebagian cairanku yang tadi mengalir. Pinggulku bergerak, ia memukul pahaku hingga aku terdiam. Lidahnya mengais-ngais ke dalam lubangku untuk mencari cairan yang masih tersisa, aku hanya dapat mengerang dan menahan gerakan pinggulku yang masih kutahan. Lebih dari dua menit aku harus melewati siksaan penuh nikmat itu. Akhirnya kepalanya pergi dari bagian intimku. Ia bergerak, kurasakan ia berada di atas tubuhku.
            “Kau menyukainya, huh?” Tanyanya menggodaku. Aku tidak tahu pasti, tapi aku memang menyukainya. Kurasakan sesuatu yang lembab kembali menyentuh bagian intimku namun kali ini bukan lidahnya, tapi miliknya. Benda itu telah menyentuhku, menggesek-gesek bagian luarnya bahkan ia menggesek-geseknya pada klitorisku hingga aku hanya dapat menautkan kedua alisku kembali. “Kau gadis kecil yang nakal telah membuatku terangsang tiap kali kita bertemu. Kau sangat manis. Harum. Dan aku menyukainya, submisifku yang cantik,” bisiknya mengelus pipiku dengan lembut. “Aku akan melakukannya dengan pelan, mengerti?”
            “Ya, Master,” ucapku.
            “Aku tidak yakin,” ujarnya ragu. Begitupun aku. Bagaimana jika rasanya sakit seperti apa yang dikatakan oleh Lennion? Aku tidak berpengalaman. Ini adalah resiko yang akan kudapat, kesakitan saat melakukan hubungan badan untuk yang pertama kalinya. “Faith, apa kau yakin kau sudah siap?”
            “Sekalipun tidak kau akan tetap melakukannya,” ucapku asal. Ia tersenyum.
            “Aku memasukimu,” ia memberitahu padaku. Ia mulai mendorong tubuhnya ke tubuhku dan kurasakan benda itu mulai masuk ke dalam bagian intimku. Tanganku meremas kencang sprei yang dari tadi menjadi korban kekerasanku. Aku melenguh, berusaha menahan rasa sakitnya.
            “Umpf,” lenguhku dengan dagu yang terangkat ke atas.
            “Fuck!” geram Justin ketika ia berusaha memasukinya. Oh, ia sangat besar, aku tidak dapat melakukannya. Aku berteriak kencang ketika ia memaksa masuk seluruhnya. Kedua alisku masih bertaut dan nafasku memburu. Tubuhku yang berkeringat telah menyentuh tubuhnya yang berkeringat juga, ini adalah sensasi yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Ia mulai menusukku satu kali, aku mengerang. Lalu ia berhenti. “You’re so tight, damn, Faith!” erangnya.
            “Master, can I grab you arms?” Tanyaku meminta izin.
            “Sure,” balasnya sesingkat mungkin, tanpa buang-buang waktu dengan segera aku mencengkram kedua lengannya yang berada di kedua belah kepalaku. Mataku masih tertutup, aku tidak dapat melihat ekspresi wajahnya seperti apa sekarang. Ia mulai bergerak kembali, aku melolong kesakitan dan tanganku meremas lengannya. “Damn, Faith!” geramnya, entah apa yang ia rasakan sekarang. Pinggulnya mulai bergoyang-goyang perlahan-lahan. Sakit itu berangsur-angsur hilang setelah ia terus menggerakan pinggulnya. Tubuhnya terus menusuk tubuhku hingga aku tersentak ke atas. Mulutnya mulai menutup mulutku kembali. Eranganku kembali teredam, tubuhku tersentak-sentak ke atas namun mulutnya tak pernah meninggalkan mulutku. Kedua tangannya mulai mengangkat pahaku ke atas dan aku mulai melingkarkan kakiku di sekitar pinggangnya. Salah satu tangannya menarik ke atas selendang hitam yang menutupi mataku sehingga sekarang aku dapat melihatnya. Holy shit! Ia tampak sangat menggairahkan. Wajah bercucuran dengan keringat, dari ujung rambutnya, keringat jatuh ke atas tubuhku. Ini sangat seksi. Aku tidak dapat menampun segala perasaan ini.
            “Master, its coming again!” Ucapku mendesah. Ia menatapku dalam-dalam, menusuknya hingga menyentuh hatiku dan hatiku juga ikut mendesah. Pinggulnya bergerak semakin lama semakin cepat. Bunyi cepakan tubuh kami terdengar. Miliknya menusukku begitu dalam hingga aku harus memejamkan mataku merasakan kenikmatannya. Setiap gesekan yang kuterima, cairan itu pula yang kembali melumasi segalanya. Mulutnya mulai mencium buah dadaku, ujung putingku ia gigit dengan lembut hingga kulit kepalaku mulai meremang. Tanganku yang memegang lehernya bergetar, sekujur tubuhku bergetar, kakiku menekan punggungnya agar lebih menempel dengan tubuhku.
            “I’m coming, Master!” jeritku menggelepar di bawah tubuhnya. Ia mulai menurunkan kepalanya, mengecup bibirku. Meminum air liurku seolah-olah itu adalah mata air dari pegunungannya. Ia menggeram, pinggulnya semakin cepat bergerak dan semakin brutal.
            “Ah, fuck, Faith! Fuck! Oh yes!” erangnya yang sepertinya mendapatkan pelepasan. Kuperhatikan dirinya yang kepalanya terangkat ke atas dan berteriak. Namun aku tidak merasakan apa pun, aku tidak merasakan sesuatu mengalir ke rongga bagian bawahku. Tidak, ia  memakai kondom. Akhirnya ia menghentikan gerakan pinggulnya setelah ia benar-benar mendapatkan pelepasannya. Tubuhku sudah tak menegang lagi, seluruh tubuhku melemas. Tubuhku rasanya tak bertulang. Aku sangat lemas.
            “Faith,” ucapnya. “Kau tidak akan pergi kemanapun tanpa diriku. Karena sekarang kau adalah milikku.” Ucapnya, mengesahkan segalanya. Aku tidak menjawabnya, aku hanya lelah. Fuck!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar