CHAPTER SIX
FAITH
Pikiranku
masih kacau karenanya. Aku butuh ruangan untuk bernafas. Tenggorokanku
tercekat, ludahku tak dapat kutelan, dan kepalaku mulai pening. Teh yang ia
buat untukku telah habis beberapa menit yang lalu, aku masih berada di bawah
tatapannya yang misterius. Ia tersenyum, meski aku selalu ragu akan senyuman
yang ia berikan padaku. Senyuman itu terasa sangat janggal dan aku tidak pernah
melihat senyuman tidak tulus itu
namun berarti. Beberapa lembar kertas masih berada dalam genggamanku, tetapi
aku tidak sanggup untuk membacanya lebih lanjut lagi. Perjanjian macam apa ini?
Yeah, macam permainan Christian Grey. Mengapa aku bisa hampir sama memiliki takdir seperti Anastasia Steele? Kugelengkan
kepalaku, tidak, itu hanyalah sekedar novel yang kubaca untuk menghiburku. Ini
tidak mungkin nyata. Tapi tetap saja hubungan BDSM memang nyata dan ada di
dunia ini, cukup banyak lelaki minat dengan hubungan seperti ini.
Mungkin
semacam psikopat. Atau wanita yang memiliki penyakit masokis. Tn. Justin jelas
tahu aku tidak mengikuti aliran ini. Aku tidak sama dengannya. Bukan apa-apa,
tapi aku sepertinya tidak dapat menjalani ini semua. Tapi mengapa ia memilihku
sebagai submisifnya? Mungkin di bagian awal aku bercanda dengannya. Saat aku
memang tidak mengerti apa maksud dominan di sini dan aku mengatakan padanya:
“Apa? Maksudmu semacam Dominic? Subway?” . Baru membaca perjanjian ini saja
kepalaku sudah pening dan membutuhkan ruang untuk bernafas. Sekarang aku tahu mengapa Ana Steele
membutuhkan waktu untuk berpikir tentang ini. Mataku terjatuh padanya lalu
kugelengkan kepalaku.
“Apa
aku boleh pulang?” Tanyaku berbisik. Kedua alisnya terangkat, wajahnya terlihat
kecewa. Aku tidak begitu peduli apa ia akan kecewa atau tidak dengan jawabanku,
yang terpenting sekarang aku butuh istirahat. Dan ini tidak masuk akal,
beberapa jam yang lalu Ibuku baru saja dimakamkan dan sekarang aku telah
diperhadapkan oleh perjanjian ini. Justin terdiam sejenak, matanya melihat pada
kertas yang masih kupegang lalu ia menatap padaku kembali dengan tatapan tajam.
Hatiku mendesah ketika ia menjatuhkan pandangan itu. Ia memang sangat hebat
dalam keahliannya. Kutelan ludah
sebisaku. Ia menggelengkan kepalanya.
“Kau
tidur di kamarmu. Aku telah menyiapkannya untukmu,” ucapnya, santai. Aku
memiliki kamar sendiri di rumahnya? Mengapa ia harus repot-repot menyiapkan
kamar untukku? Ia bangkit dari kursinya, tanpa mengatakan apa pun padaku. Tidak
ada “Ayo” atau “Biar kutunjukkan” atau sejenisnya. Tapi hanya berdiri dari
kursinya dan berjalan keluar dari dapur, tentu, aku ikut berdiri dan berjalan
di belakangnya. Ia memiliki bahu yang lebar, rambutnya tampak mengilap dari
belakang, rasanya aku ingin mencium aroma rambutnya. Bukan apa-apa, shampoo apa
yang ia pakai? Siapa tahu aku bisa memakainya juga. Ia membawaku melewati
lorong lalu belok ke sebelah kanan setelah kami mencapai ujung lorong, masih
ada lorong lain yang bisa membawa kita ke …oh, tunggu dulu, aku mendapati
beberapa anak tangga yang membawa kami ke sebuah ruangan yang luas. Sebuah
televisi besar yang menempel di tembok, tiga sofa panjang yang tertata
berhadapan, karpet yang luas ..meja belajar, apa ini ruang keluarga? Tapi ia
hanya tinggal bersama dengan kakeknya. Kulihat ada dua pintu di ruangan luas
ini, satu pintu menuju balkon dan satunya lagi …aku tidak tahu. Tn. Justin
ternyata telah berada di pintu yang aku tidak tahu menuju kemana itu, ia
menunggu dan menatapiku tanpa ekspresi. Langsung saja aku menuruni anak tangga
dan berjalan menuju pintu itu.
“Ini
kamarmu,” ucapnya membuka pintu itu setelah aku mencapainya. “Kau akan tidur di
sini jika aku membutuhkanmu. Untuk itulah aku bertanya jadwal kerjamu agar aku
bisa mengatur waktu bersama,”
“Aku
belum mengatakan apa pun tentang perjanjian itu. Dan untuk informasi saja, aku
masih belum percaya dengan yang namanya berhubungan seks dengan kata aman.
Untuk apa kata aman jika kau hanya berhubungan seks?” Tanyaku sambil masuk ke
dalam kamarku. Oh, kamar ini bahkan lebih besar dibandingkan apartemen yang
kusewa. Pantas saja ia sangat sombong, ini pantas untuk ia sombongkan, tapi
kadang itu bisa membuatnya kehilangan teman-temannya. Satu tempat tidur ukuran
besar dengan sprei putih monoton, lemari yang memiliki 6 pintu dengan kaca di
tiap pintunya. Sebuah meja dan kursi, entah untuk apa. Sebuah kursi santai
–yang mungkin untuk bersantai sambil membaca sebuah buku. Apalagi? Aku seperti
tuan putri, dan aku tidak ingin diperlakukan seperti tuan putri. Ini sangat
berlebihan. Aku tentu bukan berada dalam sebuah dongeng yang dimana aku
berperan sebagai putri yang dipungut dari jalanan dan mendapatkan fasilitas
berlebihan seperti ini. Aku masih menunggu jawaban Justin, ia masih berada di
mulut pintu sedangkan aku mencoba-coba duduk di atas tempat tidur yang sangat
empuk ini. Aku memukul-mukulnya dengan gemas.
“Dengan
kekerasan. Itu sangat diperlukan, Faith. Kau akan mengatakan kata aman jika kau
sudah merasa sangat kesakitan dan tidak
dapat melanjutkan kekerasan yang merangsang itu, jadi kita akan mendapatkan
pelepasan secepat mungkin,” jelasnya memerhatikanku. Meja rias juga ada di
dalam kamar ini, sebuah televisi, kulkas mini …apa ini? Sebuah hotel? Mengapa
ia harus pergi ke hotelku jika ia memiliki rumah –baiklah, tidak begitu jauh
dari kota Atlanta? Memang menuju ke sini membutuhkan waktu tiga jam tapi tetap
saja tidak begitu jauh dari kota Atlanta. Oke, memang jauh dari kota Altanta.
Ini di pinggiran kota Altanta, kurasa ia menyukai kesunyian. Karena ia
sepertinya tidak memiliki tetangga di sini, tentu, masuk ke dalam rumahnya saja
kita harus melewati pintu gerbang yang dimana jika dibuka kita akan langsung
bertemu dengan jalan beraspal yang menanjak menuju ke atas rumahnya. Taman di
halaman depannya lebih luas dibanding taman di belakang hotel. Ia memang pantas
menyombongkan dirinya dengan segala yang ia miliki, tapi ia tak cukup sombong
untuk dapat menciptakan dunia. Atau mungkin ia menciptakan dunianya sendiri?
Tidak, aku tidak boleh terseret masuk ke dalam sana.
“Kau
masih sadar, Faith?” Suaranya terdengar kembali, aku mengangkat kepalaku.
Kuanggukan kepalaku. “Tapi aku tidak merasa kau mendengarkanku,” lanjutnya,
dingin.
“Aku
mengerti maksudmu apa. Aku pernah mengikuti seminar tentang seks. Aku belajar tentang
seks, aku tahu bagaimana caranya untuk menghindari seks. Dan BDSM? Aku memang
mengerti apa tujuan perjanjianmu. Tapi aku masih tidak dapat melakukannya,
selama ini aku hanya mendapatkan teori, tidak dengan praktek. Aku hanya takut,
aku tidak dapat melakukannya,” jelasku memberikan padanya wajah bersungut. Ia
mendesah, kakinya membawa tubuhnya yang seperti tubuh lelaki Yunani itu dari
mulut pintu lalu menutupnya lalu bunyi kunci pintu terdengar. Tidak, aku belum
siap untuk berhubungan seks jika ia memintaku untuk melakukannya.
“Kau
harus percaya padaku. Kita akan mencobanya, kau bisa melakukannya denganku. Kau
hanya akan mengatakan kata aman jika kau tak sanggup lagi. Mengerti maksudku,
Faith?” Tanyanya berdiri di hadapanku, ia menarik daguku ke atas lalu
mengelusnya dengan lembut.
“Mengapa
aku harus percaya padamu?”
“Agar
kita dapat melakukan ini,” ucapnya mendorong tubuhku ke atas tempat tidur. Ia sangat agresif, ia
sudah berada di atas tubuhku tanpa menindihku. Wajahnya sangat dekat denganku,
beberapa rambutnya yang panjang itu jatuh ke atas keningnya. Mataku menatap
matanya dengan tatapan ragu dan takut. Ia seperti menikmati permainannya tapi
aku tidak mengerti mengapa ia tiba-tiba saja menyeringai. Aku belum mengatakan
“ya” atau “tidak” padanya. Ia tidak boleh menyentuhku. Aku hanya tidak bisa
melakukannya. Ibuku baru saja meninggal dan ini tidak boleh terjadi. Air mataku
mulai menetes ke samping kepalaku, ada apa denganku tiba-tiba saja menangis?
Aneh.
“Ada
apa Faith?” Tanyanya, ketakutan.
“Aku
tidak bisa melakukannya,” bisikku. “Maksudku, Ibuku baru saja dimakamkan. Aku
tidak bisa melakukan ini,”
“Kau
benar,” ucapnya bangkit dari tempat tidur. “Istirahatlah. Kita akan
melakukannya secepat mungkin, sayang.” Bisiknya penuh janji dan aku yakin ia
akan menepatinya. Aku hanya belum siap untuk melakukan itu. Aku mendesah memejamkan mataku.
“Aku
akan memikirkannya dan memberitahumu apa keputusanku. Beri aku beberapa hari,
Justin,” ucapku membuatnya berhenti melangkah ketika ia sedang berjalan menuju
pintu kamarku.
“Tentu,
aku akan menunggunya. Kapan selesai cutimu?”
“Satu
minggu ke depan.”
“Bagus.”
***
JUSTIN
Tiga
hari aku telah menunggu Faith untuk menentukan jawabannya. Ini sangat sulit
dari yang kubayangkan, ternyata menunggu kepastian darinya seperti menunggu hal
terpenting dalam hidupku. Kuharap ia telah melupakan kematian Ibunya, ia sudah
menangis berhari-hari setelah Ibunya meninggal. Ia bukanlah tipe gadis yang
terus berlarut-larut dalam keadaannya. Ia mudah bangkit dari kepahitan dan aku
butuh dirinya untuk menjadi submisifku. Aku tahu, aku adalah pria yang egois
namun aku tidak peduli apa yang akan dipikirkan oleh orang lain tentang diriku,
termasuk Faith. Aku bukanlah orang yang mengingkari janjiku, jika aku sudah
berjanji pada seseorang aku akan melakukan apa yang kujanjikan. Dan aku
membenci orang yang mengingkari janjinya. Jika Faith tidak memberikan
jawabannya hari ini, aku akan memaksanya seperti aku memaksa Ibunya di rumah
sakit. Aku tidak peduli jika ia menangis atau semacamnya, ia harus menjadi milikku.
Baru kali ini aku bersikeras untuk mendapatkan seorang gadis. Ia seperti piala.
Ini antara aku dan Alex Sicrossire sialan itu. Aku senang menjadi pemenang, itu
seperti obsesi. Dan aku harus mendapatkan Faith untuk menjadi seorang pemenang.
Tiga
hari itu juga aku tidak bertemu dengannya. Namun aku menyuruh orang bawahanku
untuk terus mengikuti kemanapun ia pergi dan memberitahu perkembangannya. Hari
ini aku telah memberitahu Faith untuk datang bersama dengan sopirku yang
kukirim untuknya. Dia telah mendapat nomor ponselku sebelum ia beranjak pergi
dari rumahku. Aku menunggu di atas sofa ruang tamu dengan anggur yang berada di
atas meja kacaku. Kakekku berada di dalam perpustakaan. Itu kamarnya. Ia
pecinta buku, aku tidak dapat melarangnya untuk pergi dari ruangan itu. Ia
selalu tertidur di sana, jadi beberapa pelayanku terpaksa harus mengangkatnya
dari perpustakaan menuju kamarnya. Ia tidak pernah menggangguku, aku mencintai kakekku. Aku hanya membalas
budi padanya karena ia telah merawatku pasca Ayahku meninggal karena
kecelakaan. Ibuku pergi entah kemana, aku tidak peduli.
Jadi
selama hubungan BDSM –ku berlangsung, kakekku tidak mungkin menggangguku. Tidak
pernah, lebih tepatnya. Ia belum mengetahui hubunganku ini. Tidak ada salah
satu dari submisifku yang ingin bergaul dengannya. Rata-rata mereka tidak
menyukai buku. Pintu rumah terbuka tepat ketika aku selesai menyesap anggurku.
Hatiku berbunga-bunga ketika yang muncul itu adalah Faith. Kulihat
penampilannya yang tak terurus itu. Ia harus tahu bagaimana caranya berpakaian.
Rambut yang tersanggul, kemeja berwarna merah muda pucat serta celana jins biru
panjang ia pakai tampak pas padanya. Tapi kurasa ia harus terbiasa dengan rok
atau semacamnya. Kuberikan padanya senyum ketika mataku melihat ia membawa surat
perjanjian itu.
“Kemarilah,
duduk,” perintahku yang membuatnya menuruni beberapa anak tangga, lalu ia
berjalan menuju salah satu sofa dekatku. “Ingin anggur?”
“Tidak,”
bisiknya pelan. Aku mengangguk. “Aku akan mencobanya,” bisiknya, tahu aku tidak
ingin berbasa-basi lagi. Ia duduk dekatku, tangannya yang memegang surat
perjanjian itu ia berikan padaku dan segera saja aku mengambilnya. Kubuka map
yang berisikan surat-suratku yang …telah ia tandatangani. Gadis pintar. Aku
bangkit dari sofa lalu menarik tangannya untuk berdiri dari sofa.
“Mau
kemana?” Tanyanya ketakutan.
“Aku
tidak akan menyakitimu,” ucapku. “I’ll
fuck you. Right now,” ucapku menggodanya.
***
FAITH
Mataku
tertutup oleh sebuah selendang hitam sehingga aku tidak dapat melihat apa pun
sekarang. Tubuhku sudah telanjang di atas tempat tidur, entah tempat tidur
siapa. Aku disuruhnya diam di atas tempat tidur ini. Aku telah mencukur apa pun
yang berbulu dari leher hingga ujung kakiku. Ya, aku menandatanganinya. Tidak
ada salahnya aku mencobanya, ini akan menjadi sebuah pengalaman yang kuharap
tidak merusak apa pun dalam hidupku. Tubuhku terasa sangat dingin di dalam
kamar ini, aromanya sangat harum, aku bisa mencium aroma Tn. Justin di kamar
ini. Ia meninggalkanku sebentar di kamar ini dengan keadaan yang telanjang. Telanjang. Aku cukup takut dengan apa
yang akan kulakukan bersama dengannya, aku masih perawan. Perawan. Bisakah kau percaya itu? Pintu kamar terbuka dan kembali
tertutup dan dikunci.
“Sial,”
umpatnya. “Kau sangat seksi dari jarak jauh, Faith. Aku tidak akan menyakitimu
kali ini, kita hanya menjalaninya dengan hubungan seks biasa. Aku tahu kau
masih perawan dan aku akan melakukannya lembut,” ucapnya terburu-buru. Ada apa?
“Ya,”
“Ya
apa sayang?”
“Ya,
Master,” ucapku menelan ludah. Nafasnya terengah-engah di bawah tempat tidur.
Kurasa ia baru saja berlari. Tangannya yang dingin itu menyentuh betisku yang
membuat seluruh tubuhku gemetar dan berakhir pada satu titik di bagian bawahku.
Ia menarik kedua betisku agar terpisah. Tangannya yang besar itu mengelus
pahaku sampai betis, tanganku mulai meremas sprei.
“Diam,
Faith. Aku yang mengontrol semua hubungan seks ini dan kau hanya harus
mengikuti apa yang kukatakan. Mengerti?”
“Ya,
Master,” jawabku berusaha untuk tidak meremas sprei atau pun menggoyangkan
pinggulku ke atas. Tangannya kali ini menyentuh paha bagian dalamku, lalu ujung
jarinya mulai menekan-nekan paha bagian dalamku dengan lembut. Aku mulai
mendesah pelan. Dapat kurasakan ia naik ke atas tempat tidur saat kasur tempat
tidur ini tertekan ke bawah. Jari-jari terampilnya mulai menyentuh bagian yang
tak pernah disentuh oleh orang lain, aku tersentak ketika ia menyentuhnya lalu
menekannya.
“Oh,
Master!” Jeritku melengkuk ke bawah, menekan tempat tidur.
“Diam,”
tegurnya. Jarinya tidak terus menerus terdiam di sana, ia mulai mengelus
perutku yang telanjang. Ia naik ke atasku tanpa menindih tubuhku. Aku tidak
dapat melihat wajahnya sekarang, tapi aku tahu ia sedang tersenyum sekarang.
Kurasakan hembusan nafasnya yang hangat itu menerpa leherku, ia mengecup
leherku hingga bunyi cepakannya terdengar. Aku terkesiap, mendesah pelan.
“Bagaimana
dengan ini?” Tanyanya mulai meremas buah dadaku setelah berlama-lama telapak
tangannya mengelus-elus permukaan buah dadaku. Aku mendesah dengan kedua alis
bertaut. Bibir mengecup pipiku kali ini, lalu mulutku. Kubuka mulutku, aku
kehausan, ini sangat panas. Aku mengisap apa pun yang dapat kuhisap, bibirnya bahkan
lidahnya. Tangannya yang satunya lagi mulai memegang pipi kananku agar kepalaku
tertahan sedangkan tangannya yang lain masih memainkan buah dadaku. Jarinya
yang hebat itu mulai memilin putingku lembut. Aku mengerang dalam mulutnya.
“Aku
ingin melihatmu, Justin,” bisikku di sela ciuman. “Ngh,” lenguhku ketika tiga
jarinya mulai mengelus-elus bagian bawahku dengan lembut. Aku tidak bisa tidak
menggoyangkan pinggulku.
“Aku
akan memukul bokongmu jika kau masih menggerakan pinggulmu,” ancamnya yang
membuatku segera menghentikan gerakan pinggulku. Jarinya berputar-putar di atas
bagian intimku dengan lembut. Rasanya sangat lembab di bawah sana, licin,
sesekali ia mencolok bagian bawahku untuk menarik cairan yang ada di dalamnya
tanpa menyakitiku. Aku mendesah-desah di bawah sentuhannya, ia tersenyum. Kedua
tanganku mulai meremas sprei, kembali ia mengecup bibirku dan melumat mulutku
hingga aku tidak dapat bernafas. Ia memukul bagian bawahku kilat hingga aku
tersentak ke atas. Itu tidak sakit, itu nikmat. Bagaimana bisa? Sekarang aku
mengerti apa maksudnya. Aku menelan air liurnya yang mengalir masuk ke dalam
mulutku. Kali ini jari tengahnya saja yang mengelus-elus bagian atasku, bagian
tersensitif. Klitorisku. Jarinya berputar-putar di sekitar sana yang membuatku
tak dapat menahan eranganku. Ia segera meredamkan eranganku dengan mulutnya.
Aku tak berani untuk meremas rambutnya sebelum ia mengizinkanku.
“Oh,
shit, Master! What happened?” Erangku melepaskan ciuman ini. Tubuhku bergetar
bersamaan ketika putaran jarinya semakin cepat. Pinggulku tertekan ke bawah,
aku rasa banyak sekali cairan yang keluar. Aku mendesah dengan kedua alis yang
bertaut, ia mengawasiku. Aku terus mendesah, menjerit dan mengerang. Kudengar
ia menggeram. “Masterhh,” desahku ketika selama lebih dari 20 detik aku
mendapatkan pelepasan yang biasanya kudengar dari Lennion. Ini rasanya. Sangat
nikmat, menakjubkan dan aku tidak dapat menjabarkannya dengan kata-kata. Tidak
sampai di situ saja, aku rasakan sesuatu yang lembab menyentuh bagian bawahku
kembali. Lidahnya, oh ini sangat menggelikan. Tapi apa yang dapat kulakukan? Ia
yang mengontrol skenario hubungan intim ini.
“Rasamu
sangat gurih dan manis,” komentarnya ketika ia mengisap sebagian cairanku yang
tadi mengalir. Pinggulku bergerak, ia memukul pahaku hingga aku terdiam.
Lidahnya mengais-ngais ke dalam lubangku untuk mencari cairan yang masih
tersisa, aku hanya dapat mengerang dan menahan gerakan pinggulku yang masih
kutahan. Lebih dari dua menit aku harus melewati siksaan penuh nikmat itu. Akhirnya
kepalanya pergi dari bagian intimku. Ia bergerak, kurasakan ia berada di atas
tubuhku.
“Kau
menyukainya, huh?” Tanyanya menggodaku. Aku tidak tahu pasti, tapi aku memang
menyukainya. Kurasakan sesuatu yang lembab kembali menyentuh bagian intimku
namun kali ini bukan lidahnya, tapi miliknya.
Benda itu telah menyentuhku, menggesek-gesek bagian luarnya bahkan ia
menggesek-geseknya pada klitorisku hingga aku hanya dapat menautkan kedua
alisku kembali. “Kau gadis kecil yang nakal telah membuatku terangsang tiap
kali kita bertemu. Kau sangat manis. Harum. Dan aku menyukainya, submisifku
yang cantik,” bisiknya mengelus pipiku dengan lembut. “Aku akan melakukannya
dengan pelan, mengerti?”
“Ya,
Master,” ucapku.
“Aku
tidak yakin,” ujarnya ragu. Begitupun aku. Bagaimana jika rasanya sakit seperti
apa yang dikatakan oleh Lennion? Aku tidak berpengalaman. Ini adalah resiko
yang akan kudapat, kesakitan saat melakukan hubungan badan untuk yang pertama
kalinya. “Faith, apa kau yakin kau sudah siap?”
“Sekalipun
tidak kau akan tetap melakukannya,” ucapku asal. Ia tersenyum.
“Aku
memasukimu,” ia memberitahu padaku. Ia mulai mendorong tubuhnya ke tubuhku dan
kurasakan benda itu mulai masuk ke dalam bagian intimku. Tanganku meremas
kencang sprei yang dari tadi menjadi korban kekerasanku. Aku melenguh, berusaha
menahan rasa sakitnya.
“Umpf,”
lenguhku dengan dagu yang terangkat ke atas.
“Fuck!”
geram Justin ketika ia berusaha memasukinya. Oh, ia sangat besar, aku tidak
dapat melakukannya. Aku berteriak kencang ketika ia memaksa masuk seluruhnya.
Kedua alisku masih bertaut dan nafasku memburu. Tubuhku yang berkeringat telah
menyentuh tubuhnya yang berkeringat juga, ini adalah sensasi yang tidak pernah
kurasakan sebelumnya. Ia mulai menusukku satu kali, aku mengerang. Lalu ia
berhenti. “You’re so tight, damn, Faith!” erangnya.
“Master,
can I grab you arms?” Tanyaku meminta izin.
“Sure,”
balasnya sesingkat mungkin, tanpa buang-buang waktu dengan segera aku
mencengkram kedua lengannya yang berada di kedua belah kepalaku. Mataku masih
tertutup, aku tidak dapat melihat ekspresi wajahnya seperti apa sekarang. Ia
mulai bergerak kembali, aku melolong kesakitan dan tanganku meremas lengannya.
“Damn, Faith!” geramnya, entah apa yang ia rasakan sekarang. Pinggulnya mulai bergoyang-goyang
perlahan-lahan. Sakit itu berangsur-angsur hilang setelah ia terus menggerakan
pinggulnya. Tubuhnya terus menusuk tubuhku hingga aku tersentak ke atas.
Mulutnya mulai menutup mulutku kembali. Eranganku kembali teredam, tubuhku
tersentak-sentak ke atas namun mulutnya tak pernah meninggalkan mulutku. Kedua
tangannya mulai mengangkat pahaku ke atas dan aku mulai melingkarkan kakiku di
sekitar pinggangnya. Salah satu tangannya menarik ke atas selendang hitam yang
menutupi mataku sehingga sekarang aku dapat melihatnya. Holy shit! Ia tampak
sangat menggairahkan. Wajah bercucuran dengan keringat, dari ujung rambutnya,
keringat jatuh ke atas tubuhku. Ini sangat seksi. Aku tidak dapat menampun
segala perasaan ini.
“Master,
its coming again!” Ucapku mendesah. Ia menatapku dalam-dalam, menusuknya hingga
menyentuh hatiku dan hatiku juga ikut mendesah. Pinggulnya bergerak semakin
lama semakin cepat. Bunyi cepakan tubuh kami terdengar. Miliknya menusukku
begitu dalam hingga aku harus memejamkan mataku merasakan kenikmatannya. Setiap
gesekan yang kuterima, cairan itu pula yang kembali melumasi segalanya.
Mulutnya mulai mencium buah dadaku, ujung putingku ia gigit dengan lembut
hingga kulit kepalaku mulai meremang. Tanganku yang memegang lehernya bergetar,
sekujur tubuhku bergetar, kakiku menekan punggungnya agar lebih menempel dengan
tubuhku.
“I’m
coming, Master!” jeritku menggelepar di bawah tubuhnya. Ia mulai menurunkan
kepalanya, mengecup bibirku. Meminum air liurku seolah-olah itu adalah mata air
dari pegunungannya. Ia menggeram, pinggulnya semakin cepat bergerak dan semakin
brutal.
“Ah,
fuck, Faith! Fuck! Oh yes!” erangnya yang sepertinya mendapatkan pelepasan.
Kuperhatikan dirinya yang kepalanya terangkat ke atas dan berteriak. Namun aku
tidak merasakan apa pun, aku tidak merasakan sesuatu mengalir ke rongga bagian
bawahku. Tidak, ia memakai kondom.
Akhirnya ia menghentikan gerakan pinggulnya setelah ia benar-benar mendapatkan
pelepasannya. Tubuhku sudah tak menegang lagi, seluruh tubuhku melemas. Tubuhku
rasanya tak bertulang. Aku sangat lemas.
“Faith,” ucapnya. “Kau tidak akan
pergi kemanapun tanpa diriku. Karena sekarang kau adalah milikku.” Ucapnya,
mengesahkan segalanya. Aku tidak menjawabnya, aku hanya lelah. Fuck!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar