Minggu, 15 Desember 2013

Right Mistakes Bab 5




CHAPTER FIVE

FAITH

            Kuperhatikan dinding kamarku dengan tatapan kosong. Rasanya aku sudah tidak memiliki harapan hidup. Satu jam yang lalu, Ibu baru saja dimakamkan. Mozes bekerja, aku cuti kerja untuk beberapa hari. Untuk apa lagi aku bertahan hidup? Untuk siapa aku bertahan hidup? Aku sudah tidak memiliki tujuan hidup. Seorang suami? Tidak pernah terpikirkan sedikitpun olehku. Sudah tiga hari sejak meninggalnya Ibuku, aku tidak begitu banyak makan. Mungkin sekarang aku sudah turun beberapa kilo. Entah sampai aku akan berlarut-larut dalam kesedihan. Air mataku sudah terkuras habis siang tadi, mataku membengkak, oh aku pasti terlihat sangat jelek.
            Kemana Faith yang periang? Dia sedang beristirahat untuk beberapa saat. Tidak setiap saat orang yang terlihat bahagia itu bahagia. Orang terlucu sekalipun pasti pernah menangis. Dan orang bahagia muncul karena kepedihan. Ini tidak akan berlangsung lama, aku berjanji. Telingaku menangkap suara bel dari luar. Siapa lagi yang ingin bertemu denganku? Aku sudah bosan dengan bunga-bunga yang mereka bawakan untukku, untuk apa ia membawakan bunga-bunga sialan itu? Aku mendengus kesal. Kutinggalkan tempat tidur lalu kubuka pintu kamarku. Bunyi bel itu tak berhenti hingga akhirnya aku mencapai pintu. Tangan kananku menekan gagang pintu, pintupun terbuka. Tn. Alex ada di hadapanku. Bagaimana bisa? Mengapa Nathan membiarkannya masuk? Demi Tuhan, pasti Tn. Alex berbohong pada Nathan, kakek tua yang ceroboh itu.
            “Hei, Faith, maaf aku tidak bisa datang ke pemakaman Ibumu,” ujarnya. “Aku turut berduka cita, kubawakan bunga mawar untukmu,” lanjutnya menyodorkan seikat bunga mawar berwarna merah darah padaku. Aku terpaksa menerima bunga sialan ini. Jika ia bukan atasanku sudah pasti aku akan membuangnya.
            “Tidak apa-apa,” bisikku, atau mungkin hanya aku yang hanya bisa mendengarnya. “Masuklah,” ajakku. Ia segera masuk ke dalam apartemen kecilku, lalu ia mendesah. Matanya melihat ke atas sofa  yang dipenuhi dengan bunga mawar merah darah yang berserakan. Ia melipat bibirnya ke dalam, lalu kakinya berjalan menuju sofa yang lain. Mengapa ia harus datang? Kutautkan kedua alisku dan merengek dalam hati. Andai Mozes ada di rumah, sudah pasti aku menyuruhnya untuk membukakan pintu untuk Tn. Alex. Dan mengapa Tn. Alex tidak menghubungiku terlebih dahulu sebelum ia datang ke apartemenku? Aku terlihat buruk di hadapannya.
            “Sebenarnya, ada keperluan apa Tn. Alex?” Tanyanyaku seramah mungkin, suaraku serak. Mata Tn. Alex yang awalnya dari tadi memerhatikan bunga-bunga di atas sofa itu segera ia alihkan padaku. Ia terlihat kebingungan.
            “Aku hanya ingin melihat keadaanmu,”
            “Yah, kau tahulah, aku kehilangan,” ucapku kasihan pada diri sendiri. Aku memakai pakaian tidur berwarna merah muda yang memiliki gambar kelinci, oh, sangat imut. Di hadapan Tn. Alex! Tembak aku saja. Tanpa malu-malu aku berjalan menuju sofa yang dipenuhi dengan bunga itu, lalu kukesampingkan sebagian agar aku memiliki tempat yang kosong. “Aku tidak memiliki tujuan hidup, Tn. Alex,” desahku.
            Mata Tn. Alex tak lepas dariku, aku sudah menduganya ia akan melakukan itu padaku. Apa masalahku? Seharusnya aku sudah terbiasa. “Kau tidak memiliki tujuan hidup? Kau bahkan sudah menginjak 22 tahun,”
            “Dulu, aku memiliki tujuan untuk tetap menghidupi Ibuku. Tapi ia sudah tidak ada, jadi…”
            Kepala Tn. Alex tergeleng. “Bukan itu, itu bukan tujuan hidupmu,” ucapnya. “Mungkin kau harus mencoba untuk bersosialisasi di luar sana. Memulai kehidupan yang lebih terbuka. Dan siapa tahu, kau mendapat ilham apa tujuan hidupmu. Seperti misalnya, berpacaran?” Tanya Tn. Alex mulai memegang tangan kananku yang tersandar di pinggiran sofa. Kuperhatikan jari-jarinya yang mengelus jari-jariku, ia sangat hangat. Berbeda dengan Tn. Justin yang tangannya terasa sangat dingin. Aku tahu kemana tujuan percakapan Tn. Alex sekarang. Ia menginginkanku. Mengapa harus aku? Aku tidak secantik Lennion yang memiliki rambut pirang. Aku tidak memiliki mata biru indah seperti suster Carla. Aku merengek dalam hati, hidup ini sangat sulit ditebak. Kau tidak akan tahu apa yang akan terjadi 10 menit ke depan. Imajinasi yang telah kaubuat secara garis besar memang bisa saja terjadi, tapi kau tidak akan pernah tahu apa yang terjadi satu menit setelahnya. Seperti sekarang, aku tidak tahu kalau Tn. Alex akan datang ke apartemenku dan membicarakan hal pacaran.
            Kutarik tanganku dari elusan jari-jarinya. Ini tidak seharusnya terjadi. Ia sedang menggodaku, ia selalu menggodaku. Kugelengkan kepalaku dan kuberikan senyum manis.
            “Aku tidak tertarik dengan yang namanya pacaran, Tn. Alex,”
            “Mengapa?”
            “Pacaran hanya membuang-buang waktu,” bisikku tidak berani menatapnya, jadi kualihkan pandanganku pada bunga yang kupegang sekarang. Hening membentang di antara kami kemudian kudengar ia menarik nafas.
            “Ada hubungan apa kau dengan Tn. Justin, tamu hotel itu?” Benar bukan apa yang kukatakan? Kau tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mengapa ia harus memberikan pertanyaan-pertanyaan yang membuat otakku harus berpikir keras? Aku baru saja kehilangan Ibuku, bukankah seharusnya ia memelukku atau setidaknya langsung saja pulang dari apartemenku? Ia mempersulit segalanya.
            “Tidak,” bisikku. “Tidak ada,” lanjutku, kali ini kepalaku mendongak. Wajahnya seperti percaya padaku, akhirnya ia mengangguk. Beberapa saat setelahnya, tangannya yang panjang itu merogoh celana jins yang ia pakai. Ya, ia datang ke sini dengan kemeja berwarna merah muda pucat serta celana jins berwarna biru. Pakaian apa pun yang ia pakai akan selalu terlihat cocok di tubuhnya, ia hanya …tampan.
            “Apa yang akan kaukatakan sekarang?” Tanyanya memberikanku beberapa foto. Kuraih foto-foto dari tangannya lalu kulihat baik-baik. Holy cow! Aku terlihat cantik di sini! Oke, aku harus jujur, aku memang terlihat cantik di foto ini ketika aku tertidur di dalam pelukan Tn. Justin. Ya, bisa kubilang, wajahku  hanya terlihat bibirnya saja. Kuganti foto yang lain, muncul diriku yang digendong oleh Tn. Justin dengan Mozes yang ada di hadapannya. Dari mana Tn. Alex mendapatkan foto-foto ini? Apa dia mengikutiku? Apa sekarang aku terlihat seperti istri yang berselingkuh dari suami sehingga suamiku menyuruh seorang fotografer untuk mengikuti dan mengambil fotoku? Keren.
            “Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya,” ucapku mengangkat kepalaku. “Ia datang padaku, dan saat itu aku sangat terpuruk. Jadi aku memeluknya, ia memangkuku dan aku tertidur dalam pelukannya. Ketika aku terbangun, aku sudah berada di atas tempat tidur pasien. Dari mana kau mendapatkan foto-foto ini? Apa kau mengikutiku?” Tanyaku dengan tatapan menyelidik. Ia terdiam. Matanya tak melihat padaku, ia melihat pada lantai apartemenku. Kuperhatikan ia mengerjapkan matanya beberapa kali dengan bibir yang terlipat ke dalam. Mata birunya tidak ada yang bisa menyaingi.
            “I just…” suaranya tiba-tiba terdengar. “I got jealous,”
            “Why?”
            “Because…” ia menghentikan ucapannya lalu mulutnya kembali terbuka. “I love you, Faith,” matanya bertemu dengan mataku, memohon. Sial! Tepat ketika ia menyatakan cintanya padaku, bel apartemenku terdengar.
            “Tunggu sebentar,” pintaku padanya. Ia mengangguk, lalu aku bangkit dari sofa. Kata-kata terakhirnya tadi benar-benar membuat seluruh tubuhku tersengat listrik. Bagaimana bisa ia mencintaiku? Tidak mungkin. Memang, selama beberapa bulan terakhir ini kami memiliki hubungan yang benar-benar baik. Kami sering jalan-jalan bersama dan kencan, tapi bukan berarti aku mencintainya. Oh, aku pasti sudah memberikannya harapan yang besar. Faith bodoh! Aku mengutuk diriku sendiri. Tanganku membuka pintu apartemen. Tubuhku menegang, masalah baru akan datang.
            “Faith,” suara berat Tn. Justin terdengar. Awalnya, ia memang menatapku, namun sedetik kemudian ia melihat ke belakang pundakku. Tn. Alex. Matanya yang awalnya berwarna cokelat biasa itu berubah menjadi cokelat gelap yang tak dapat kujabarkan dengan kata-kata bagaimana bisa ia tiba-tiba merubah warna matanya. Aura jahat itu kembali merayap ke sekujur tubuhku. Matanya sayu, ia tak berekspresi, apa dia mayat hidup? Kutelan ludahku. Matanya kembali bertemu dengan mataku, namun kali ini ia terlihat sangat marah padaku. Apa masalahnya?
            “Kau berbohong padaku, Faith?” Tanyanya menuduh, namun ekspresinya tetap sama. Datar. Hanya kobaran api amarahnya terpancar dari matanya. “Mengapa?”
            “Aku tidak …dia bukan kekasihku,” kugelengkan kepalaku. “Kau bisa bertanya padanya langsung. Apa masalahmu padanya?” Tanyaku gemas, kuremas udara dan kutekuk lututku seperti hendak berlutut ingin memohon. “Dia hanya datang untuk membawakanku bunga,”
            “Oh, aku bukan membawakanmu bunga karena aku tahu kau membenci bunga. Aku membawakanmu ini. Bacalah dan berbahagialah. Sampai jumpa,” ucapnya memberikan sebuah kertas untukku. Tanganku sontak menggenggamnya ketika jari-jarinya telah melepas kertas ini. Ia beranjak dari tempatnya menuju lift. Perhatianku tertuju pada kertas yang kugenggam, langsung saja kubuka surat ini dan membacanya. Ini adalah surat dari Ibuku. Kubaca dari kata pertama hingga kata terakhir.
            Tn. Justin adalah lelaki yang baik. Ibu ingin kau bersama dengannya. Ia menginginkanmu sama seperti Ibu menginginkan dirimu bersama dengannya. Dia yang akan bertanggungjawab atasmu selain Mozes. Kau telah mendapatkan hadiahnya, Faith. Ibu menyayangimu.
            Ini memang tulisan Ibuku. Tidak jelas, Ibuku tidak dapat menulis sepenuhnya. Dan tidak mungkin surat ini dibuat-buat. Kapan ia membuat surat ini? Dan apa? Ibu ingin aku bersama dengan Tn. Justin? Mengapa? Tidak, tidak, tidak. Ini sangat aneh dan tidak masuk akal. Dari mana Ibu tahu bahwa Justin adalah lelaki yang baik? Segera saja aku meremas surat ini dan berlari keluar dari apartemenku. Dia sudah tidak ada di sekitar lorong, ia benar-benar pergi dariku? Aku berlari menuju lift dan menekan tombol lift berkali-kali. Jika memang Ibu menginginkanku aku bersama dengan Tn. Justin, aku akan melakukannya. Apa ini adalah tujuan hidupku? Apa Justin adalah tujuan hidupku? Pintu lift terbuka, aku langsung masuk. Tiap detik yang kulewati benar-benar memengaruhi nasib hidupku.

JUSTIN

            Jika bukan karena gadis itu di hadapanku, aku pasti akan membunuhnya. Aku tidak ingin menakuti Faith. Ia hanya terlalu polos untuk melihat tindakan buruk yang akan kuperbuat terhadap bosnya itu. Kubuka pintu mobilku dan masuk ke dalam lalu memasukan kunci untuk menyalakan mobil. Aku meminta Ibu Faith untuk membuat surat itu untuk anaknya. Sebenarnya, aku memang sangat jahat. Sebelum Ibu Faith meminta ia “kami bunuh” dengan cara “operasi”, aku memintanya untuk membuat surat permohonan agar Faith dapat bersamaku. Ia tidak dapat menulis, namun aku memaksanya. Surat itu akhirnya berada di tangan Faith. Aku sangat yakin, Faith pasti akan memutuskan kekasih bajingan sialannya itu. Begitu banyak kata kotor yang ingin kuucapkan bagi lelaki itu. Ia terduduk di atas sofa itu seperti orang bodoh dan menatapi bunga-bunga di atas sofa Faith yang lain, seolah-olah ia tidak tahu kalau aku ada di depan apartemen Faith.
            Ketukan dari kaca mobilku membuyarkan lamunanku. Faith yang mengetuk-ketuk kaca mobilku, saat itu juga kubuka kaca mobilku.
            “Ada apa Faith?” Tanyaku dengan nada suara yang sama seperti sebelumnya. Tapi ia gadis yang egois, ia tidak ingin menjawab pertanyaanku. Keegoisannya membuatku senang, kali ini. Kedua tangannya meraih wajahku dan ia memasukkan kepalanya ke dalam mobilku agar bibirnya dapat menyentuh bibirku. Kehangatan itu kembali terasa namun tak mengejutkanku. Bibirku masih menempel dengan bibirnya hingga akhirnya ia menarik wajahnya dariku. Ia tersenyum tapi terdapat setitik air mata yang menetes. Apa yang terjadi padanya?
            Aku terdiam tak memberi ekspresi apa pun padanya. “Aku tahu kau datang padaku bukan hanya untuk memberikan surat itu. Apa yang kauinginkan dariku?” Tanyanya melipat bibirnya ke dalam, pipinya memerah malu. Ada apa dengan kucing imut ini? Ia seolah-olah ingin masuk ke dalam rumah majikannya. Aku memerhatikan pakaian yang ia pakai, sepasang pakaian tidur berwarna merah muda dengan gambar kelinci yang menghias pakaiannya. Tidak, ia tidak akan datang ke rumahku memakai pakaian seperti ini. Ia masih memerhatikanku, menunggu jawaban dan senyuman manis itu hilang dari wajahnya. Kuberikan tatapan tajam pada Faith ketika aku mendongak.
            “Tidak di sini. Ganti pakaianmu, usir pria itu dari rumahmu dan kau akan pergi bersama denganku. Aku hanya menunggu 10 menit,”
            “Kemana?” Ia ingin tahu seperti anak kecil yang bertemu dengan orang asing yang mengajaknya untuk pergi keluar dari sekolah. Namun anak kecil itu takut diculik, kedua alisnya bertaut. Jari-jari panjang Faith memegang kaca yang terbuka. Rambutnya terikat tak rapi.
            “Ke rumahku, sekarang, Faith.” Perintahku tak ingin dibantah. Ia mengangguk, lalu pergi dari hadapanku. Bokongnya yang tercetak dari celana pakaian tidurnya itu terlihat bulat menggugah seleraku untuk menyantapnya. Mengapa ia bisa begitu seksi hanya dengan pakaian tidur anak kecil itu? Aku telah memberitahu Mozes akan rencana apa yang telah kubuat untuk Faith. Ia hanya memintaku untuk tidak menyakiti atau membuat adiknya menangis. Maksudku, aku tidak akan membuatnya menangis, tidak mungkin. Aku akan membuatnya senang dengan cara ia memenuhi segala permintaanku. Mozes tahu Ibunya akan meninggal. Segala rahasiaku dengan Ibu Faith telah kuberitahu pada Mozes sejam sebelum Ibu Faith masuk ke dalam ruang “operasi”. Mozes menganggukan kepalanya ketika Ibunya memohon untuk tidak memberitahu apa pun pada Faith tentang “operasi” palsu yang diadakan kami. Mozes mengerti, ia tahu, Ibunya tidak mungkin hidup dalam kesengsaraan. Tidak mungkin Ibunya akan hidup dengan hanya duduk di atas kursi roda di ruang tamu dan menonton televisi, menunggu anak-anaknya pulang dari tempat kerja. Lebih baik ia –Ibu Faith—mengakhiri kehidupannya saat ini juga.
            Dan aku telah memberitahu Mozes bahwa hari ini aku akan membawa Faith ke rumahku. Namun aku belum –atau tidak akan pernah—memberitahu Mozes tentang perjanjian hubunganku ini dengan Faith. Segala rahasia harus terjamin, Faith harus menuruti segala perintahku. Ia hanya perlu menandatangani beberapa perjanjian yang akan kuberikan maka semuanya selesai. Aku keluar dari mobilku setelah mematikan mesinnya dan bersandar di pintu depan, menunggu Faith.
            Well, setidaknya aku telah mengalahkan banci yang ada di atas sana. Faith lebih memilih diriku dibanding pemilik hotel terkenal itu. Pemilik hotel terkaya itu tak cukup kaya untuk disamakan denganku. Aku pemilik perusahaan yang memiliki banyak cabang di seluruh pelosok Amerika Serikat, galeri di Los Angeles dan New York serta rumah sakit di Atlanta. Uang yang kudapat dari perusahaan-perusahaanku tak dapat kutampung di brankas rumah. Bahkan aku harus mendonasikan uang-uang itu agar aku tidak terlalu kaya. Aku kaya, memang, tapi aku tak cukup kaya jika aku belum mendapatkan gadis submisif yang tepat. Nah, dengan adanya submisif aku akan merasa lebih kaya karena uang-uang itu aku akan berikan pada mereka penggila harta. Atau bisa kukatakan, itu adalah pembuktian bahwa aku cukup kaya.
            Faith memang tak secantik Carla atau submisif-submisifku yang sebelumnya. Ia tidak memiliki buah dada yang besar seperti Carla atau rambut cokelat panjang yang bergelombang. Ia tidak setinggi Carla. Tubuhnya tidak begitu mungil namun masih bisa dikatakan mungil, tapi itu yang membuatnya memiliki daya tarik tersendiri. Senyumnya menawan, tapi aku tidak pernah mendengarnya tertawa. Aku tidak pernah melihatnya dalam keadaan bahagia. Kapan aku bisa melihatnya? Setelah ia menandatangani surat perjanjianku, aku yakin, aku akan mendapatkan senyum bahagianya. Tentu saja, ia akan mendapatkan uang yang lebih banyak dibanding penghasilannya tiap bulan menjadi resepsionis. Sudah sepuluh menit aku menunggunya, namun ia tak kunjung datang. Ketika aku mengangkat tubuh dari pintu mobil, ia muncul dengan celana jins hitam dan kaos putih kelonggaran di tubuhnya, dan ia memakai sepatu Converse. Tidak membawa tas? Baiklah, mungkin ia hanya membawa ponsel dan dompet. Betapa sederhananya dia? Beberapa detik ketika ia keluar dari pintu, lelaki sialan itu muncul dan segera menolehkan kepalanya padaku. Ia terdiam sejenak menatapku, aku membencinya. Aku bersumpah aku akan membunuhnya setelah aku mendapatkan Faith. Jika satu kali ia menyentuh Faith, aku tidak akan segan-segan untuk membunuhnya. Well, perjanjianku dan Ibu Faith seperti itu, Faith adalah tanggungjawabku. Aku tidak ingin dirugikan.
            “Jadi aku menang eh?” Tanyaku berjalan menuju pintu depan yang lain. Ia mengikutiku dari belakang dan aku membuka pintu untuknya.
            “Menang?” Ia kelihatan bingung.
            “Menang mendapatkanmu, masuklah,” suruhku. Ia segera masuk ke dalam mobil dan aku menutup pintu. Kakiku melangkah secepat mungkin untuk mencapai pintu mobil depan yang lain, kembali aku masuk ke dalam mobil dan mulai memasukkan kunci untuk menyalakan mesin.
            “Aku akan ke rumahmu?” Tanyanya. Kuanggukan kepalaku. Aku tidak menyukai kericuhan di dalam mobil. Aku tak banyak bicara jika sudah berada di dalam mobil karena segala yang kulakukan di dalam mobil hanyalah berpikir. Aku tak terbiasa berbicara dengan submisif-submisifku di dalam mobil, sekalipun yang cerewet. Namun mulut Faith tak dapat berhenti untuk tidak mengucapkan sepatah kata padaku. Aku harus meladeninya agar aku hatinya dapat kuraih dengan mudah.
            “Seperti yang kubilang tadi,”
            “Apa yang akan kita lakukan di sana?” Tanyanya, tak berguna sama sekali. “Kuharap kau tidak akan membunuhku, aku tidak akan tahu jika siapa tahu saja kau memang seorang pembunuh.  Biasanya aku akan meminta izin pada Ibuku untuk pergi dengan seorang lelaki dan aku telah memberitahu pada Mozes bahwa aku pergi denganmu. Ia menyetujuinya, namun aku bingung, kupikir ia tidak menyukaimu,” lihat apa yang kubicarakan tadi? Mulutnya tak dapat berhenti mengucapkan sepatah katapun. Setidaknya ia sedang menjadi dirinya sendiri, ia gadis yang terbuka. Namun tentu aku tidak akan memberitahu padanya bahwa aku pernah membunuh orang, itu akan membuatnya ketakutan. Dan aku belum gila untuk mengatakan padanya.
            “Bukan itu. Aku tidak mungkin membunuh gadis secantik dirimu,” ucapku seduktif. Pipinya memerah. Mobilku mulai melaju. “Kita hanya akan membicarakan sesuatu yang kau ingin tahu ketika di restoran beberapa hari yang lalu.”

***

FAITH

            Rumahnya terlihat sangat modern. Ini jelas adalah rumah seorang milioner. Ruang tamunya terlihat elegan dengan lampu besar di langit-langit ruangan. Di salah satu dinding ruang tamunya, terdapat lukisan Elvis Presley dengan tinta hitam, hanya setengah wajahnya saja. Banyak barang-barang antik yang pasti ia beli dari pameran-pameran di luar negeri. Karena aku tidak pernah liat barang-barang seunik di ruang tamunya. Apa dia berusaha untuk memamerkan barang-barangnya pada tamu-tamu yang akan datang ke rumahnya? Jika ya, ia berhasil dan aku terpukau. Sebuah tangga melingkar setelah menempuh ruang tamu terlihat. Sebenarnya, aku melihat bar kecil di belakang tangga yang melingkar ini serta pintu di dekat bar itu menuju luar rumah, atau mungkin di sana ada kolam renang.
            “Aku sekarang tahu mengapa kau memiliki galeri,” ucapku mengomentari. Ia mulai menaiki tangga dan aku dapat mendengar suara dari seringainya di depanku. Kulihat ke sekeliling ruangan, ia memang memiliki banyak foto yang luar biasa indah. Apa itu hasil dari jepretannya sendiri? Aku tidak tahu. Mungkin saja ia memang suka menjepret pemandangan alam. Atau sesuatu yang menurutnya unik.
            “Mungkin lain kali aku akan memajang fotomu di antara foto-foto itu,” balasnya ketika ia mencapai lantai dua. Kami muncul di sebuah ruangan lain saat kakiku menginjak lantai bermotif ini. Kuperhatikan dinding pertama yang dipenuhi dengan foto-foto pemandangan di luar negeri, tapi tidak satu pun di antara foto itu terdapat dirinya. Apa ia tidak senang difoto? Mungkin. Ketika aku melihat dinding seberangnya, kulihat tulisan dari sebuah kuas raksasa yang bertuliskan: “No one can stop me.” Maksudnya? Mengapa ia menuliskan kata-kata itu di sebuah dinding dengan ukuran yang sangat besar? Tidak ada yang bisa menghentikannya? Menghentikannya untuk? Begitu aku masuk ke dalam rumahnya, begitu juga pertanyaan-pertanyaan menghujaniku tak henti-hentinya. Ada apa dengan rumah ini?
            “Apa kau akan diam di sana terus menerus?” Tanyanya yang telah berada di sebuah ambang pintu entah masuk ke dalam ruang mana.
            “Apa kau tinggal sendirian di rumah ini?” Tanyaku ingin tahu. Ya, mengapa? Ia tidak mungkin tinggal sendirian di dalam rumah sebesar ini bukan? Itu tidak mungkin.
            “Tidak, kakekku tinggal di sini bersama dengan beberapa pelayan serta pengawalku,”
            “Kau memiliki pengawal?”
            “Sebenarnya, kaki tanganku. Tapi aku biasa memanggilnya sebagai pengawal,” ucapnya, tidak ingin mengumbar-umbar privasinya. Aku mengangguk. Kakek? Ia tinggal bersama seorang kakek? Namun dimana? Dan dimana orangtuanya? Lelaki ini membuatku ingin terus bertanya padanya, tapi aku tahu ia pasti tidak senang jika aku terus menerus bertanya. Ruangan yang kumasuki adalah sebuah dapur. Dapur di lantai dua? Keren.
            “Anggur? Teh? Kopi atau air putih?”
            “Aku akan menolak anggur. Setelah itu kau yang pilih,” ucapku. Ia tersenyum. Terdapat sebuah meja bundar di tengah-tengah ruangan, bar sarapan dengan peralatan dapur yang sangat lengkap. Dapur ini benar-benar efisien. Aku terduduk di salah satu kursi meja makan bundar dan memerhatikannya yang membuatkanku secangkir teh. Baguslah.
            “Dimana orangtuamu?”
            “Meninggal,” ucapnya singkat. Oke, dari nada bicaranya ia membenci percakapan ini. Ia tidak suka membicarakan hal privasinya. Aku hanya dapat mengangguk. “Aku akan mengambil sesuatu itu untukmu. Tunggu di sini dan kau akan terkejut.”

***

            Kurasakan jantungku sekarang telah berada di mulut. Kelelawar sedang berterbangan di perutku. Bagaimana mungkin ia membuat perjanjian ini padaku? Oke, aku memang telah menandatangani perjanjian tentang aku tidak akan memberitahu siapa-siapa tentang diskusi yang akan kami tempuh. Tapi ini? Ini diskusi yang akan kulewati? Aku dimintanya untuk menjadi seorang submisif? Dia benar, aku terkejut. Terkejut dalam arti negatif. Tidak mungkin aku bisa menjadi seorang submisif sedangkan bercinta saja aku belum pernah? Ia ingin aku menuruti segala permintaannya. Ia menyuruhku untuk membaca peraturan-peraturan serta hukuman-hukuman perjanjian ini. Hubungan BDSM? Oh, aku tidak mengerti apa yang ia katakan.
            “Mengapa aku harus melakukan ini denganmu?”
            Ia terdiam sejenak di hadapanku dengan setengah gelas anggur di gelasnya. “Agar kau memenuhi kebutuhanku. Itu sederhana. Kau akan mendapatkan pengalaman yang tidak akan pernah kaulupakan dalam hidupmu. Aku tidak akan menyakitimu,”
            “Bagaimana kau tidak menyakitiku? Sedangkan di sini tertulis…” aku membaca satu bagian. “Kau akan memukul bokongku dengan gantungan pakaian? Apa? Dan ikat pinggang? Apa kau kehilangan akalmu? Ini sama sekali tidak normal.”
            “Aku akan memukulmu jika kau melanggar peraturan, itu jika kau melanggar peraturan. Dan segala aturan yang akan dijalankan adalah atas apa yang kukatakan dan kulakukan padamu ketika kita akan berhubungan badan,”
            “Kupikir kau akan bertanggungjawab atasku,”
            “Setelah kau menandatangani surat perjanjian ini, Faith. Kau sepenuhnya milikku setelah kau menandatanganinya. Ini mungkin memang akan sulit di bagian awal karena aku tahu kau belum berpengalaman,”
            “Mengapa aku?”
            “Karena kau memiliki naluri submisif. Kau adalah submisif alami. Tidak ada yang bisa memungkirinya. Aku akan menjadi Master paling bahagia di dunia jika aku mendapatkanmu, itulah mengapa aku memintamu untuk berpikir secara matang untuk menandatangani surat perjanjian ini,”
            “Dan jika aku menolaknya?”
            “Aku tidak ingin melakukannya dengan paksa, Faith,” ucapnya. Namun aku sangat yakin, ia tidak sepenuhnya menyelesaikan ucapannya itu. Aku hanya dapat merasakannya. “Kau bisa pergi dariku.”
            “Mengapa kau tidak memiliki hubungan yang normal? Menjadi normal sangatlah mudah,”
            “Menurutku ini adalah normal,” ucapnya, santai. Oh, penjepit puting? Pecutan? Apa-apaan yang sedang kubaca sekarang? Kutelan ludahku. Ibu memberiku pada lelaki yang ia anggap baik ini? Memukul bokong adalah hal baik? How can it be?
            “Kau tahu apa? Aku merasa seperti Anastasia Steele yang berhadapan dengan Christian Grey. Nah, sekarang aku tahu permainan Christian Grey macam apa yang kaumainkan,”
            “Aku tidak peduli. Aku bukanlah satu-satunya orang di dunia ini yang melakukan perjanjian ini. Ini semua soal kesenangan. Kesakitan. Dan kenikmatan. Kau akan merasa sangat takjub jika kau mendapatkan rasa sakit dan nikmat dalam waktu bersamaan.” Ucapnya kemudian memberikan seringai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar