CHAPTER FIVE
FAITH
Kuperhatikan
dinding kamarku dengan tatapan kosong. Rasanya aku sudah tidak memiliki harapan
hidup. Satu jam yang lalu, Ibu baru saja dimakamkan. Mozes bekerja, aku cuti
kerja untuk beberapa hari. Untuk apa lagi aku bertahan hidup? Untuk siapa aku
bertahan hidup? Aku sudah tidak memiliki tujuan hidup. Seorang suami? Tidak
pernah terpikirkan sedikitpun olehku. Sudah tiga hari sejak meninggalnya Ibuku,
aku tidak begitu banyak makan. Mungkin sekarang aku sudah turun beberapa kilo.
Entah sampai aku akan berlarut-larut dalam kesedihan. Air mataku sudah terkuras
habis siang tadi, mataku membengkak, oh aku pasti terlihat sangat jelek.
Kemana Faith yang periang? Dia sedang
beristirahat untuk beberapa saat. Tidak setiap saat orang yang terlihat bahagia
itu bahagia. Orang terlucu sekalipun pasti pernah menangis. Dan orang bahagia
muncul karena kepedihan. Ini tidak akan berlangsung lama, aku berjanji.
Telingaku menangkap suara bel dari luar. Siapa lagi yang ingin bertemu
denganku? Aku sudah bosan dengan bunga-bunga yang mereka bawakan untukku, untuk
apa ia membawakan bunga-bunga sialan itu? Aku mendengus kesal. Kutinggalkan
tempat tidur lalu kubuka pintu kamarku. Bunyi bel itu tak berhenti hingga
akhirnya aku mencapai pintu. Tangan kananku menekan gagang pintu, pintupun
terbuka. Tn. Alex ada di hadapanku. Bagaimana bisa? Mengapa Nathan
membiarkannya masuk? Demi Tuhan, pasti Tn. Alex berbohong pada Nathan, kakek
tua yang ceroboh itu.
“Hei,
Faith, maaf aku tidak bisa datang ke pemakaman Ibumu,” ujarnya. “Aku turut
berduka cita, kubawakan bunga mawar untukmu,” lanjutnya menyodorkan seikat
bunga mawar berwarna merah darah padaku. Aku terpaksa menerima bunga sialan
ini. Jika ia bukan atasanku sudah pasti aku akan membuangnya.
“Tidak
apa-apa,” bisikku, atau mungkin hanya aku yang hanya bisa mendengarnya.
“Masuklah,” ajakku. Ia segera masuk ke dalam apartemen kecilku, lalu ia
mendesah. Matanya melihat ke atas sofa
yang dipenuhi dengan bunga mawar merah darah yang berserakan. Ia melipat
bibirnya ke dalam, lalu kakinya berjalan menuju sofa yang lain. Mengapa ia
harus datang? Kutautkan kedua alisku dan merengek dalam hati. Andai Mozes ada
di rumah, sudah pasti aku menyuruhnya untuk membukakan pintu untuk Tn. Alex.
Dan mengapa Tn. Alex tidak menghubungiku terlebih dahulu sebelum ia datang ke
apartemenku? Aku terlihat buruk di hadapannya.
“Sebenarnya,
ada keperluan apa Tn. Alex?” Tanyanyaku seramah mungkin, suaraku serak. Mata
Tn. Alex yang awalnya dari tadi memerhatikan bunga-bunga di atas sofa itu
segera ia alihkan padaku. Ia terlihat kebingungan.
“Aku
hanya ingin melihat keadaanmu,”
“Yah,
kau tahulah, aku kehilangan,” ucapku kasihan pada diri sendiri. Aku memakai
pakaian tidur berwarna merah muda yang memiliki gambar kelinci, oh, sangat
imut. Di hadapan Tn. Alex! Tembak aku saja. Tanpa malu-malu aku berjalan menuju
sofa yang dipenuhi dengan bunga itu, lalu kukesampingkan sebagian agar aku
memiliki tempat yang kosong. “Aku tidak memiliki tujuan hidup, Tn. Alex,”
desahku.
Mata
Tn. Alex tak lepas dariku, aku sudah menduganya ia akan melakukan itu padaku.
Apa masalahku? Seharusnya aku sudah terbiasa. “Kau tidak memiliki tujuan hidup?
Kau bahkan sudah menginjak 22 tahun,”
“Dulu,
aku memiliki tujuan untuk tetap menghidupi Ibuku. Tapi ia sudah tidak ada,
jadi…”
Kepala
Tn. Alex tergeleng. “Bukan itu, itu bukan tujuan hidupmu,” ucapnya. “Mungkin
kau harus mencoba untuk bersosialisasi di luar sana. Memulai kehidupan yang
lebih terbuka. Dan siapa tahu, kau mendapat ilham apa tujuan hidupmu. Seperti
misalnya, berpacaran?” Tanya Tn. Alex mulai memegang tangan kananku yang
tersandar di pinggiran sofa. Kuperhatikan jari-jarinya yang mengelus
jari-jariku, ia sangat hangat. Berbeda dengan Tn. Justin yang tangannya terasa
sangat dingin. Aku tahu kemana tujuan percakapan Tn. Alex sekarang. Ia
menginginkanku. Mengapa harus aku? Aku
tidak secantik Lennion yang memiliki rambut pirang. Aku tidak memiliki mata
biru indah seperti suster Carla. Aku merengek dalam hati, hidup ini sangat
sulit ditebak. Kau tidak akan tahu apa yang akan terjadi 10 menit ke depan.
Imajinasi yang telah kaubuat secara garis besar memang bisa saja terjadi, tapi
kau tidak akan pernah tahu apa yang terjadi satu menit setelahnya. Seperti
sekarang, aku tidak tahu kalau Tn. Alex akan datang ke apartemenku dan
membicarakan hal pacaran.
Kutarik
tanganku dari elusan jari-jarinya. Ini tidak seharusnya terjadi. Ia sedang
menggodaku, ia selalu menggodaku.
Kugelengkan kepalaku dan kuberikan senyum manis.
“Aku
tidak tertarik dengan yang namanya pacaran, Tn. Alex,”
“Mengapa?”
“Pacaran
hanya membuang-buang waktu,” bisikku tidak berani menatapnya, jadi kualihkan
pandanganku pada bunga yang kupegang sekarang. Hening membentang di antara kami
kemudian kudengar ia menarik nafas.
“Ada
hubungan apa kau dengan Tn. Justin, tamu hotel itu?” Benar bukan apa yang
kukatakan? Kau tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Mengapa ia harus memberikan pertanyaan-pertanyaan yang membuat otakku harus
berpikir keras? Aku baru saja kehilangan Ibuku, bukankah seharusnya ia
memelukku atau setidaknya langsung saja pulang dari apartemenku? Ia mempersulit
segalanya.
“Tidak,”
bisikku. “Tidak ada,” lanjutku, kali ini kepalaku mendongak. Wajahnya seperti
percaya padaku, akhirnya ia mengangguk. Beberapa saat setelahnya, tangannya
yang panjang itu merogoh celana jins yang ia pakai. Ya, ia datang ke sini
dengan kemeja berwarna merah muda pucat serta celana jins berwarna biru. Pakaian
apa pun yang ia pakai akan selalu terlihat cocok di tubuhnya, ia hanya …tampan.
“Apa
yang akan kaukatakan sekarang?” Tanyanya memberikanku beberapa foto. Kuraih
foto-foto dari tangannya lalu kulihat baik-baik. Holy cow! Aku terlihat cantik
di sini! Oke, aku harus jujur, aku memang terlihat cantik di foto ini ketika
aku tertidur di dalam pelukan Tn. Justin. Ya, bisa kubilang, wajahku hanya terlihat bibirnya saja. Kuganti foto
yang lain, muncul diriku yang digendong oleh Tn. Justin dengan Mozes yang ada
di hadapannya. Dari mana Tn. Alex mendapatkan foto-foto ini? Apa dia
mengikutiku? Apa sekarang aku terlihat seperti istri yang berselingkuh dari
suami sehingga suamiku menyuruh seorang fotografer untuk mengikuti dan
mengambil fotoku? Keren.
“Aku
tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya,” ucapku mengangkat kepalaku. “Ia
datang padaku, dan saat itu aku sangat terpuruk. Jadi aku memeluknya, ia
memangkuku dan aku tertidur dalam pelukannya. Ketika aku terbangun, aku sudah
berada di atas tempat tidur pasien. Dari mana kau mendapatkan foto-foto ini?
Apa kau mengikutiku?” Tanyaku dengan tatapan menyelidik. Ia terdiam. Matanya
tak melihat padaku, ia melihat pada lantai apartemenku. Kuperhatikan ia
mengerjapkan matanya beberapa kali dengan bibir yang terlipat ke dalam. Mata
birunya tidak ada yang bisa menyaingi.
“I
just…” suaranya tiba-tiba terdengar. “I got jealous,”
“Why?”
“Because…”
ia menghentikan ucapannya lalu mulutnya kembali terbuka. “I love you, Faith,”
matanya bertemu dengan mataku, memohon. Sial! Tepat ketika ia menyatakan
cintanya padaku, bel apartemenku terdengar.
“Tunggu
sebentar,” pintaku padanya. Ia mengangguk, lalu aku bangkit dari sofa.
Kata-kata terakhirnya tadi benar-benar membuat seluruh tubuhku tersengat
listrik. Bagaimana bisa ia mencintaiku? Tidak mungkin. Memang, selama beberapa
bulan terakhir ini kami memiliki hubungan yang benar-benar baik. Kami sering
jalan-jalan bersama dan kencan, tapi bukan berarti aku mencintainya. Oh, aku
pasti sudah memberikannya harapan yang besar. Faith bodoh! Aku mengutuk diriku
sendiri. Tanganku membuka pintu apartemen. Tubuhku menegang, masalah baru akan
datang.
“Faith,”
suara berat Tn. Justin terdengar. Awalnya, ia memang menatapku, namun sedetik
kemudian ia melihat ke belakang pundakku. Tn. Alex. Matanya yang awalnya
berwarna cokelat biasa itu berubah menjadi cokelat gelap yang tak dapat
kujabarkan dengan kata-kata bagaimana bisa ia tiba-tiba merubah warna matanya.
Aura jahat itu kembali merayap ke sekujur tubuhku. Matanya sayu, ia tak
berekspresi, apa dia mayat hidup? Kutelan ludahku. Matanya kembali bertemu
dengan mataku, namun kali ini ia terlihat sangat marah padaku. Apa masalahnya?
“Kau
berbohong padaku, Faith?” Tanyanya menuduh, namun ekspresinya tetap sama.
Datar. Hanya kobaran api amarahnya terpancar dari matanya. “Mengapa?”
“Aku
tidak …dia bukan kekasihku,” kugelengkan kepalaku. “Kau bisa bertanya padanya
langsung. Apa masalahmu padanya?” Tanyaku gemas, kuremas udara dan kutekuk
lututku seperti hendak berlutut ingin memohon. “Dia hanya datang untuk
membawakanku bunga,”
“Oh,
aku bukan membawakanmu bunga karena aku tahu kau membenci bunga. Aku
membawakanmu ini. Bacalah dan berbahagialah. Sampai jumpa,” ucapnya memberikan
sebuah kertas untukku. Tanganku sontak menggenggamnya ketika jari-jarinya telah
melepas kertas ini. Ia beranjak dari tempatnya menuju lift. Perhatianku tertuju
pada kertas yang kugenggam, langsung saja kubuka surat ini dan membacanya. Ini
adalah surat dari Ibuku. Kubaca dari kata pertama hingga kata terakhir.
Tn. Justin adalah lelaki yang baik. Ibu
ingin kau bersama dengannya. Ia menginginkanmu sama seperti Ibu menginginkan
dirimu bersama dengannya. Dia yang akan bertanggungjawab atasmu selain Mozes.
Kau telah mendapatkan hadiahnya, Faith. Ibu menyayangimu.
Ini
memang tulisan Ibuku. Tidak jelas, Ibuku tidak dapat menulis sepenuhnya. Dan
tidak mungkin surat ini dibuat-buat. Kapan ia membuat surat ini? Dan apa? Ibu
ingin aku bersama dengan Tn. Justin? Mengapa? Tidak, tidak, tidak. Ini sangat
aneh dan tidak masuk akal. Dari mana Ibu tahu bahwa Justin adalah lelaki yang
baik? Segera saja aku meremas surat ini dan berlari keluar dari apartemenku.
Dia sudah tidak ada di sekitar lorong, ia benar-benar pergi dariku? Aku berlari
menuju lift dan menekan tombol lift berkali-kali. Jika memang Ibu
menginginkanku aku bersama dengan Tn. Justin, aku akan melakukannya. Apa ini
adalah tujuan hidupku? Apa Justin adalah tujuan hidupku? Pintu lift terbuka,
aku langsung masuk. Tiap detik yang kulewati benar-benar memengaruhi nasib
hidupku.
JUSTIN
Jika
bukan karena gadis itu di hadapanku, aku pasti akan membunuhnya. Aku tidak
ingin menakuti Faith. Ia hanya terlalu polos untuk melihat tindakan buruk yang
akan kuperbuat terhadap bosnya itu. Kubuka pintu mobilku dan masuk ke dalam
lalu memasukan kunci untuk menyalakan mobil. Aku meminta Ibu Faith untuk
membuat surat itu untuk anaknya. Sebenarnya, aku memang sangat jahat. Sebelum
Ibu Faith meminta ia “kami bunuh” dengan cara “operasi”, aku memintanya untuk
membuat surat permohonan agar Faith dapat bersamaku. Ia tidak dapat menulis,
namun aku memaksanya. Surat itu akhirnya berada di tangan Faith. Aku sangat
yakin, Faith pasti akan memutuskan kekasih bajingan sialannya itu. Begitu
banyak kata kotor yang ingin kuucapkan bagi lelaki itu. Ia terduduk di atas
sofa itu seperti orang bodoh dan menatapi bunga-bunga di atas sofa Faith yang
lain, seolah-olah ia tidak tahu kalau aku ada di depan apartemen Faith.
Ketukan
dari kaca mobilku membuyarkan lamunanku. Faith yang mengetuk-ketuk kaca
mobilku, saat itu juga kubuka kaca mobilku.
“Ada
apa Faith?” Tanyaku dengan nada suara yang sama seperti sebelumnya. Tapi ia
gadis yang egois, ia tidak ingin menjawab pertanyaanku. Keegoisannya membuatku
senang, kali ini. Kedua tangannya meraih wajahku dan ia memasukkan kepalanya ke
dalam mobilku agar bibirnya dapat menyentuh bibirku. Kehangatan itu kembali
terasa namun tak mengejutkanku. Bibirku masih menempel dengan bibirnya hingga
akhirnya ia menarik wajahnya dariku. Ia tersenyum tapi terdapat setitik air
mata yang menetes. Apa yang terjadi padanya?
Aku
terdiam tak memberi ekspresi apa pun padanya. “Aku tahu kau datang padaku bukan
hanya untuk memberikan surat itu. Apa yang kauinginkan dariku?” Tanyanya
melipat bibirnya ke dalam, pipinya memerah malu. Ada apa dengan kucing imut ini? Ia seolah-olah ingin
masuk ke dalam rumah majikannya. Aku memerhatikan pakaian yang ia pakai,
sepasang pakaian tidur berwarna merah muda dengan gambar kelinci yang menghias
pakaiannya. Tidak, ia tidak akan datang ke rumahku memakai pakaian seperti ini.
Ia masih memerhatikanku, menunggu jawaban dan senyuman manis itu hilang dari
wajahnya. Kuberikan tatapan tajam pada Faith ketika aku mendongak.
“Tidak
di sini. Ganti pakaianmu, usir pria itu dari rumahmu dan kau akan pergi bersama
denganku. Aku hanya menunggu 10 menit,”
“Kemana?”
Ia ingin tahu seperti anak kecil yang bertemu dengan orang asing yang
mengajaknya untuk pergi keluar dari sekolah. Namun anak kecil itu takut
diculik, kedua alisnya bertaut. Jari-jari panjang Faith memegang kaca yang
terbuka. Rambutnya terikat tak rapi.
“Ke
rumahku, sekarang, Faith.” Perintahku tak ingin dibantah. Ia mengangguk, lalu
pergi dari hadapanku. Bokongnya yang tercetak dari celana pakaian tidurnya itu
terlihat bulat menggugah seleraku untuk menyantapnya. Mengapa ia bisa begitu
seksi hanya dengan pakaian tidur anak kecil itu? Aku telah memberitahu Mozes
akan rencana apa yang telah kubuat untuk Faith. Ia hanya memintaku untuk tidak
menyakiti atau membuat adiknya menangis. Maksudku, aku tidak akan membuatnya
menangis, tidak mungkin. Aku akan membuatnya senang dengan cara ia memenuhi
segala permintaanku. Mozes tahu Ibunya akan meninggal. Segala rahasiaku dengan
Ibu Faith telah kuberitahu pada Mozes sejam sebelum Ibu Faith masuk ke dalam
ruang “operasi”. Mozes menganggukan kepalanya ketika Ibunya memohon untuk tidak
memberitahu apa pun pada Faith tentang “operasi” palsu yang diadakan kami.
Mozes mengerti, ia tahu, Ibunya tidak mungkin hidup dalam kesengsaraan. Tidak
mungkin Ibunya akan hidup dengan hanya duduk di atas kursi roda di ruang tamu
dan menonton televisi, menunggu anak-anaknya pulang dari tempat kerja. Lebih
baik ia –Ibu Faith—mengakhiri kehidupannya saat ini juga.
Dan
aku telah memberitahu Mozes bahwa hari ini aku akan membawa Faith ke rumahku.
Namun aku belum –atau tidak akan
pernah—memberitahu Mozes tentang perjanjian hubunganku ini dengan Faith. Segala
rahasia harus terjamin, Faith harus menuruti segala perintahku. Ia hanya perlu
menandatangani beberapa perjanjian yang akan kuberikan maka semuanya selesai.
Aku keluar dari mobilku setelah mematikan mesinnya dan bersandar di pintu
depan, menunggu Faith.
Well,
setidaknya aku telah mengalahkan banci yang ada di atas sana. Faith lebih
memilih diriku dibanding pemilik hotel terkenal itu. Pemilik hotel terkaya itu
tak cukup kaya untuk disamakan denganku. Aku pemilik perusahaan yang memiliki
banyak cabang di seluruh pelosok Amerika Serikat, galeri di Los Angeles dan New
York serta rumah sakit di Atlanta. Uang yang kudapat dari
perusahaan-perusahaanku tak dapat kutampung di brankas rumah. Bahkan aku harus
mendonasikan uang-uang itu agar aku tidak terlalu
kaya. Aku kaya, memang, tapi aku tak cukup kaya jika aku belum mendapatkan
gadis submisif yang tepat. Nah, dengan adanya submisif aku akan merasa lebih kaya karena uang-uang itu aku akan
berikan pada mereka penggila harta. Atau bisa kukatakan, itu adalah pembuktian
bahwa aku cukup kaya.
Faith
memang tak secantik Carla atau submisif-submisifku yang sebelumnya. Ia tidak
memiliki buah dada yang besar seperti Carla atau rambut cokelat panjang yang
bergelombang. Ia tidak setinggi Carla. Tubuhnya tidak begitu mungil namun masih
bisa dikatakan mungil, tapi itu yang membuatnya memiliki daya tarik tersendiri.
Senyumnya menawan, tapi aku tidak pernah mendengarnya tertawa. Aku tidak pernah
melihatnya dalam keadaan bahagia. Kapan aku bisa melihatnya? Setelah ia
menandatangani surat perjanjianku, aku yakin, aku akan mendapatkan senyum
bahagianya. Tentu saja, ia akan mendapatkan uang yang lebih banyak dibanding
penghasilannya tiap bulan menjadi resepsionis. Sudah sepuluh menit aku
menunggunya, namun ia tak kunjung datang. Ketika aku mengangkat tubuh dari
pintu mobil, ia muncul dengan celana jins hitam dan kaos putih kelonggaran di
tubuhnya, dan ia memakai sepatu Converse. Tidak membawa tas? Baiklah, mungkin
ia hanya membawa ponsel dan dompet. Betapa sederhananya dia? Beberapa detik
ketika ia keluar dari pintu, lelaki sialan itu muncul dan segera menolehkan
kepalanya padaku. Ia terdiam sejenak menatapku, aku membencinya. Aku bersumpah
aku akan membunuhnya setelah aku mendapatkan Faith. Jika satu kali ia menyentuh
Faith, aku tidak akan segan-segan untuk membunuhnya. Well, perjanjianku dan Ibu
Faith seperti itu, Faith adalah tanggungjawabku. Aku tidak ingin dirugikan.
“Jadi
aku menang eh?” Tanyaku berjalan menuju pintu depan yang lain. Ia mengikutiku
dari belakang dan aku membuka pintu untuknya.
“Menang?”
Ia kelihatan bingung.
“Menang
mendapatkanmu, masuklah,” suruhku. Ia segera masuk ke dalam mobil dan aku
menutup pintu. Kakiku melangkah secepat mungkin untuk mencapai pintu mobil
depan yang lain, kembali aku masuk ke dalam mobil dan mulai memasukkan kunci
untuk menyalakan mesin.
“Aku
akan ke rumahmu?” Tanyanya. Kuanggukan kepalaku. Aku tidak menyukai kericuhan
di dalam mobil. Aku tak banyak bicara jika sudah berada di dalam mobil karena
segala yang kulakukan di dalam mobil hanyalah berpikir. Aku tak terbiasa
berbicara dengan submisif-submisifku di dalam mobil, sekalipun yang cerewet.
Namun mulut Faith tak dapat berhenti untuk tidak mengucapkan sepatah kata
padaku. Aku harus meladeninya agar aku hatinya dapat kuraih dengan mudah.
“Seperti
yang kubilang tadi,”
“Apa
yang akan kita lakukan di sana?” Tanyanya, tak berguna sama sekali. “Kuharap
kau tidak akan membunuhku, aku tidak akan tahu jika siapa tahu saja kau memang
seorang pembunuh. Biasanya aku akan
meminta izin pada Ibuku untuk pergi dengan seorang lelaki dan aku telah
memberitahu pada Mozes bahwa aku pergi denganmu. Ia menyetujuinya, namun aku
bingung, kupikir ia tidak menyukaimu,” lihat apa yang kubicarakan tadi?
Mulutnya tak dapat berhenti mengucapkan sepatah katapun. Setidaknya ia sedang
menjadi dirinya sendiri, ia gadis yang terbuka. Namun tentu aku tidak akan
memberitahu padanya bahwa aku pernah membunuh orang, itu akan membuatnya
ketakutan. Dan aku belum gila untuk
mengatakan padanya.
“Bukan
itu. Aku tidak mungkin membunuh gadis secantik dirimu,” ucapku seduktif.
Pipinya memerah. Mobilku mulai melaju. “Kita hanya akan membicarakan sesuatu yang kau ingin tahu ketika di
restoran beberapa hari yang lalu.”
***
FAITH
Rumahnya
terlihat sangat modern. Ini jelas adalah rumah seorang milioner. Ruang tamunya
terlihat elegan dengan lampu besar di langit-langit ruangan. Di salah satu
dinding ruang tamunya, terdapat lukisan Elvis Presley dengan tinta hitam, hanya
setengah wajahnya saja. Banyak barang-barang antik yang pasti ia beli dari
pameran-pameran di luar negeri. Karena aku tidak pernah liat barang-barang
seunik di ruang tamunya. Apa dia berusaha untuk memamerkan barang-barangnya
pada tamu-tamu yang akan datang ke rumahnya? Jika ya, ia berhasil dan aku
terpukau. Sebuah tangga melingkar setelah menempuh ruang tamu terlihat.
Sebenarnya, aku melihat bar kecil di belakang tangga yang melingkar ini serta
pintu di dekat bar itu menuju luar rumah, atau mungkin di sana ada kolam
renang.
“Aku
sekarang tahu mengapa kau memiliki galeri,” ucapku mengomentari. Ia mulai
menaiki tangga dan aku dapat mendengar suara dari seringainya di depanku.
Kulihat ke sekeliling ruangan, ia memang memiliki banyak foto yang luar biasa
indah. Apa itu hasil dari jepretannya sendiri? Aku tidak tahu. Mungkin saja ia
memang suka menjepret pemandangan alam. Atau sesuatu yang menurutnya unik.
“Mungkin
lain kali aku akan memajang fotomu di antara foto-foto itu,” balasnya ketika ia
mencapai lantai dua. Kami muncul di sebuah ruangan lain saat kakiku menginjak
lantai bermotif ini. Kuperhatikan dinding pertama yang dipenuhi dengan
foto-foto pemandangan di luar negeri, tapi tidak satu pun di antara foto itu
terdapat dirinya. Apa ia tidak senang difoto? Mungkin. Ketika aku melihat dinding
seberangnya, kulihat tulisan dari sebuah kuas raksasa yang bertuliskan: “No one
can stop me.” Maksudnya? Mengapa ia menuliskan kata-kata itu di sebuah dinding
dengan ukuran yang sangat besar? Tidak ada yang bisa menghentikannya?
Menghentikannya untuk? Begitu aku masuk ke dalam rumahnya, begitu juga
pertanyaan-pertanyaan menghujaniku tak henti-hentinya. Ada apa dengan rumah
ini?
“Apa
kau akan diam di sana terus menerus?” Tanyanya yang telah berada di sebuah
ambang pintu entah masuk ke dalam ruang mana.
“Apa
kau tinggal sendirian di rumah ini?” Tanyaku ingin tahu. Ya, mengapa? Ia tidak
mungkin tinggal sendirian di dalam rumah sebesar ini bukan? Itu tidak mungkin.
“Tidak,
kakekku tinggal di sini bersama dengan beberapa pelayan serta pengawalku,”
“Kau
memiliki pengawal?”
“Sebenarnya,
kaki tanganku. Tapi aku biasa memanggilnya sebagai pengawal,” ucapnya, tidak
ingin mengumbar-umbar privasinya. Aku mengangguk. Kakek? Ia tinggal bersama
seorang kakek? Namun dimana? Dan dimana orangtuanya? Lelaki ini membuatku ingin
terus bertanya padanya, tapi aku tahu ia pasti tidak senang jika aku terus
menerus bertanya. Ruangan yang kumasuki adalah sebuah dapur. Dapur di lantai
dua? Keren.
“Anggur?
Teh? Kopi atau air putih?”
“Aku
akan menolak anggur. Setelah itu kau yang pilih,” ucapku. Ia tersenyum.
Terdapat sebuah meja bundar di tengah-tengah ruangan, bar sarapan dengan
peralatan dapur yang sangat lengkap. Dapur ini benar-benar efisien. Aku
terduduk di salah satu kursi meja makan bundar dan memerhatikannya yang membuatkanku
secangkir teh. Baguslah.
“Dimana
orangtuamu?”
“Meninggal,”
ucapnya singkat. Oke, dari nada bicaranya ia membenci percakapan ini. Ia tidak
suka membicarakan hal privasinya. Aku hanya dapat mengangguk. “Aku akan
mengambil sesuatu itu untukmu. Tunggu
di sini dan kau akan terkejut.”
***
Kurasakan
jantungku sekarang telah berada di mulut. Kelelawar sedang berterbangan di
perutku. Bagaimana mungkin ia membuat perjanjian ini padaku? Oke, aku memang
telah menandatangani perjanjian tentang aku tidak akan memberitahu siapa-siapa
tentang diskusi yang akan kami tempuh. Tapi ini? Ini diskusi yang akan
kulewati? Aku dimintanya untuk menjadi seorang submisif? Dia benar, aku
terkejut. Terkejut dalam arti negatif. Tidak mungkin aku bisa menjadi seorang
submisif sedangkan bercinta saja aku belum pernah? Ia ingin aku menuruti segala
permintaannya. Ia menyuruhku untuk membaca peraturan-peraturan serta
hukuman-hukuman perjanjian ini. Hubungan BDSM? Oh, aku tidak mengerti apa yang
ia katakan.
“Mengapa
aku harus melakukan ini denganmu?”
Ia
terdiam sejenak di hadapanku dengan setengah gelas anggur di gelasnya. “Agar
kau memenuhi kebutuhanku. Itu sederhana. Kau akan mendapatkan pengalaman yang
tidak akan pernah kaulupakan dalam hidupmu. Aku tidak akan menyakitimu,”
“Bagaimana
kau tidak menyakitiku? Sedangkan di sini tertulis…” aku membaca satu bagian.
“Kau akan memukul bokongku dengan gantungan pakaian? Apa? Dan ikat pinggang?
Apa kau kehilangan akalmu? Ini sama sekali tidak normal.”
“Aku
akan memukulmu jika kau melanggar peraturan, itu jika kau melanggar peraturan.
Dan segala aturan yang akan dijalankan adalah atas apa yang kukatakan dan
kulakukan padamu ketika kita akan berhubungan badan,”
“Kupikir
kau akan bertanggungjawab atasku,”
“Setelah
kau menandatangani surat perjanjian ini, Faith. Kau sepenuhnya milikku setelah
kau menandatanganinya. Ini mungkin memang akan sulit di bagian awal karena aku
tahu kau belum berpengalaman,”
“Mengapa
aku?”
“Karena
kau memiliki naluri submisif. Kau adalah submisif alami. Tidak ada yang bisa
memungkirinya. Aku akan menjadi Master paling bahagia di dunia jika aku
mendapatkanmu, itulah mengapa aku memintamu untuk berpikir secara matang untuk
menandatangani surat perjanjian ini,”
“Dan
jika aku menolaknya?”
“Aku
tidak ingin melakukannya dengan paksa, Faith,” ucapnya. Namun aku sangat yakin,
ia tidak sepenuhnya menyelesaikan ucapannya itu. Aku hanya dapat merasakannya. “Kau bisa pergi dariku.”
“Mengapa
kau tidak memiliki hubungan yang normal? Menjadi normal sangatlah mudah,”
“Menurutku
ini adalah normal,” ucapnya, santai. Oh, penjepit puting? Pecutan? Apa-apaan
yang sedang kubaca sekarang? Kutelan ludahku. Ibu memberiku pada lelaki yang ia
anggap baik ini? Memukul bokong adalah hal baik? How can it be?
“Kau
tahu apa? Aku merasa seperti Anastasia Steele yang berhadapan dengan Christian
Grey. Nah, sekarang aku tahu permainan Christian Grey macam apa yang
kaumainkan,”
“Aku
tidak peduli. Aku bukanlah satu-satunya orang di dunia ini yang melakukan
perjanjian ini. Ini semua soal kesenangan. Kesakitan. Dan kenikmatan. Kau akan
merasa sangat takjub jika kau mendapatkan rasa sakit dan nikmat dalam waktu
bersamaan.” Ucapnya kemudian memberikan seringai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar