Minggu, 15 Desember 2013

Right Mistakes Bab 3



CHAPTER THREE

JUSTIN

            Akhirnya. Akhirnya bibir itu menyentuh bibirku. Sial, dia sangat panas. Matanya terpejam merasakan bibirku, aku mulai mengecupinya satu kali. Namun matanya terbuka, ia menautkan kedua alisnya lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Tanpa mengatakan sepatah katapun, ia membuka pintu mobilku dan keluar. Ia tidak mengatakan ‘terima kasih’ atau ‘selamat malam’, tapi hanya sebuah dobrakan pintu mobil. Aku memejamkan mataku dengan tangan yang mengepal. Apa aku harus keluar? Raut wajahnya seperti ia ingin menangis karena aku mengecupinya. Ini sama sekali tidak sejalan dengan skenario yang kubuat di otak. Seharusnya ia tidak berlari dariku, seharusnya sekarang ia menginginkanku. Seharusnya sekarang dia telah berada di hotel bersama denganku. Dan seharusnya sekarang ia telah menandatangani kontrakku. Ini lebih sulit dari yang kukira.
            Aku memutuskan untuk turun dari mobil. Kubuka pintu mobil dan berharap jika aku bertemu dengannya di atas nanti, ia tidak menamparku. Setelah mengunci pintu mobilku, aku berjalan masuk ke dalam gedung apartemennya. Seorang penjaga apartemen sedang membaca sebuah buku dengan kacamata yang tergantung di ujung hidungnya, ia seorang kakek tua. Aku berdiri di hadapannya dan berharap ia tidak mengacaukan apa pun. Hanya saja, tidak mungkin aku mengambil pisauku dan menyembelihnya karena alasan dia tidak mengizinkanku untuk pergi ke atas. Setelah beberapa detik berada di hadapan kantornya, ia akhirnya mendongakkan kepalanya.
            “Ada yang bisa kubantu, sir?” Tanyanya dengan suara seraknya.
            “Dengar, bisakah kau mengizinkanku untuk bertemu dengan kekasihku? Faith? Aku memiliki masalah kesalahpahaman dengannya. Aku hanya ingin meluruskan yang benar,”
            “Tertangkap basah berselingkuh?”
            “Tidak, aku tidak berselingkuh. Ini privasi. Dimana apartemennya?”
            “Di lantai 3, nomor 7. Kuharap kau berhasil membuat hatinya luluh. Ya, aku mengerti mengapa dia bisa seperti itu. Faith adalah gadis yang sangat sensitif, seharusnya kau berhati-hati bertingkah laku jika sudah berpacaran dengannya,”
            “Pasti.” Balasku secepat mungkin. Kakek tua yang ceroboh! Aku berlari menuju lift dan menekan tombol menuju atas. Aku harus bertemu dengan Faith. Seharusnya ini tidak terjadi dan aku tidak boleh kehilangannya. Aku ingin dia menginginkanku, tanpa paksaan. Aku belum memaksanya, belum. Gadis ini sungguh menarik, dia hanya tidak sama dengan gadis-gadisku yang dulu. Cerita Ibu Faith tentang Faith tidak semenarik ini. Ibunya cukup ramah, sayang, Ibunya harus terserang stroke. Jujur saja, Ibunya terdiagnosa kanker payudara stadium 2. Faith belum mengetahui apa pun tentang ini. Hanya aku, dr. Carlisle, dan Ibunya yang mengetahui ini. Aku membiarkan Ibu Faith mendapatkan perawatan penyembuhan kanker payudara yang maksimal asalkan Faith akan menjadi milikku. Ibu Faith tidak ingin Faith tahu bahwa ia terserang kanker payudara karena ia tidak ingin melihat Faith semakin stress. Dan Ibunya hanya menganggukan kepalanya, entah mengapa ia malah memberikanku senyum juga ketika aku memberitahu padanya bahwa anaknya akan aman di tanganku. Dia mendukungku. Lihat? Mudah meraih hati orangtua.
            Aku masuk ke dalam lift setelah pintu terbuka.
            Ya, itu salah satu alasan mengapa aku harus mengejar Faith. Aku telah memberikan yang terbaik pada Ibunya, ia harus beruntung karena rumah sakit tidak memberikan tagihan tambahan karena aku yang bertanggungjawab. Aku tidak ingin dirugikan. Bisa kukatakan, Ibu Faith menjual anaknya hanya karena ia tidak ingin melihat anaknya stress. Setidaknya Ibu Faith beruntung karena aku yang menginginkan anaknya.
            Dentingan dari lift mulai terdengar. Pintu lift terbuka dan aku keluar. Mataku segera mencari-cari dimana apartemen nomor 7. Setelah mendapatkannya, aku menekan bel dari samping pintunya. Dua kali aku menekan belnya, akhirnya pintu apartemennya terbuka. Ia memakai kimono berwarna putih yang menutupi tubuhnya. Aku yakin dan percaya ia sedang telanjang di balik kimono itu. Sialan. Ketika ia melihatku, tangannya segera mendorong pintu itu kembali, namun aku menahannya.
            “Faith, ada apa? Mengapa kau berlari dariku?”
            “Aku terinfeksi HIV karena kau! Sekarang pergilah!” Teriaknya memberikan alis yang menyatu. Ia marah padaku. Tunggu sebentar, apa dia serius berbicara seperti itu padaku? Ini tidak masuk akal. Aku tidak mungkin sekotor itu. Tangannya yang kecil itu mulai mendorong pintunya lagi, namun aku masih menahannya.
            “Faith, katakanlah yang sebenarnya. Aku tidak ingin perpisahan terakhir malam ini menjadi perpisahan terburuk di hidupku,”
            “Apa? Aku mengatakan yang sebenarnya! Kau telah menularkan virus HIV dari bibirmu padaku. Kau pikir aku bercanda? Kita tidak pernah tahu orang asing yang mengecupmu ternyata positif HIV,” serunya kesal. Ia melipat kedua tangannya kali ini sehingga pintu yang kutahan terbuka semakin lebar.
            “Mengapa kau ketakutan setelah aku menciummu? Ada apa?”
            “Masuklah,” ajaknya dengan kepala yang menunjuk masuk ke dalam apartemennya. Segera saja aku masuk ke dalam apartemennya. Rapi. Sayang sekali, apartemennya sungguh kecil. Aku bisa membelikannya sebuah kondominium yang mewah untuknya jika ia ingin menandatangani kontrakku karena jika ia sudah menandatangani kontrak itu, ia sepenuhnya tanggungjawabku.
            “Jadi, kau ingin menceritakan apa yang sebenarnya terjadi tadi?” Tanyaku berdiri di ruang tamunya. “Aku hanya ingin bertemu denganmu lagi, tapi kau bersikap tak bersahabat,”
            “Maksudmu?”
            “Perpisahan tadi benar-benar bukan yang kuharapkan. Wajahmu ketakutan dan aku berpikir mungkin kau tidak ingin bertemu denganku lagi. Jadi, aku hanya ingin mendengarkan mengapa kau bersikap seperti itu padaku,” jelasku mulai duduk di atas sofanya yang sama sekali tidak cocok untukku. Kuperhatikan Faith yang berjalan dengan kimono yang ia pakai menuju dapur yang langsung terhubung dengan ruang tamu. Ia menggumamkan kata kotor, aku bisa mendengarnya.
            “Apa kau tidak merasakan ada hal yang aneh?” Tanyanya mengambil satu gelas kaca dan mengisinya dengan air putih dari keran. Tidak, aku tidak akan meminum minumannya. Tapi ternyata minuman itu untuknya.
            “Hal aneh?”
            “Ya, kau tahulah. Kita baru bertemu tadi siang dan malam ini kau telah mengecupku. Kau orang asing, Tn. Justin! Aku tidak tahu apa kau mempunyai penyakit yang mematikan yang dapat menular padaku. Bisa saja kau memiliki penyakit HIV,” jelasnya kesal. Mengapa gadis ini tidak pernah menurunkan temperature amarahnya? Apa hanya karena aku yang ada di hadapannya ia bersikap seperti ini? Aku bahkan baru bertemu dengannya setengah hari yang lalu. Dan penyakit HIV? Apa aku terlihat seperti orang yang terjangkit HIV? Demi Tuhan, dia benar-benar memintaku untuk menyumpal mulutnya dengan mulutku. Bibirku terasa hangat kembali ketika mengingat bibirku menyentuh bibirnya. Sentuhannya sangat merindukan. Aku terdiam, tidak membalasnya. Tahu-tahu ia sudah ada di hadapanku dengan raut wajah yang bingung.
            “Mengapa kau diam? Apa aku benar kau terjangkit HIV?”
            “Tidak,” balasku singkat. “Bukan itu. Aku sedang memikirkan kejadian di dalam mobil tadi. Ternyata bibirmu,”—aku mendongakkan kepalanya untuk melihatnya tajam—“hangat,” bisikku. Sontak tubuhnya menegang begitu saja. Sudah kuduga ia akan bereaksi seperti itu. Rasanya aku ingin menyentakkan tali kimono sialan itu agar tubuhnya yang telanjang itu terpampang di hadapanku. Namun aku tahu itu adalah tindakan yang akan membuatnya tidak ingin bertemu denganku lagi.
            “Berhenti berbicara hal seperti itu di hadapanku. Kau tahu sekarang adalah jam luar dari pekerjaanku. Selama ini bukan jam kerjaku, kau bukanlah tamu hotelku,”
            Aku tidak mengerti apa yang ia katakan. Maksudku, kau harus bersikap ramah karena dari dirimu sendiri. Bukan karena pekerjaan. “Jadi, hanya tamu-tamu hotel yang mendapatkan sikap ramahmu itu?”
            “Bukan itu maksudku,” desahnya. “Kau yang membuatku seperti ini. Kau tahu apa yang telah kaulakukan padaku? Kau membuatku hidupku hancur hanya dalam satu pertemuan, ini salah satu alasan mengapa aku tidak ingin bertemu denganmu,” aku tersinggung. Ucapannya membuatku kesal, namun aku tentu tidak membunuh gadis ini. Ia belum kupakai. Belum kujadikan budak seksku. Aku tahu ia akan menjadi submisifku. Ia polos dan ia seorang resepsionis. Ia bisa memenuhi apa yang kuinginkan jika ia masih berada di tempat kerjanya. Itu naluri. Ia memang penurut. Aku butuh gadis ini untuk menjadi submisif yang menurut padaku. Aku akan menjadi master paling bahagia di dunia jika ia menandatangani perjanjian kami. Tapi mungkin masih ada batu kerikil yang harus kuinjak dan kulewati, setelah itu, jalanku akan mulus seperti yang seharusnya. Aku menganggukan kepala satu kali.
            “Aku mengerti. Maaf jika aku telah menghancurkan hidupmu dalam waktu satu hari meski aku tidak mengerti darimana aku bisa menghancurkan kehidupanmu. Kau akan berterima kasih padaku suatu saat nanti,” jelasku bangkit dari tempat tidur. “Selamat malam, Nona Edwina,” lanjutku menutupi malam ini. Aku berjalan melewatinya yang tidak melihat padaku, aku tahu sekarang ia merasa bersalah karena telah berkata seperti itu padaku. Ia sadar apa yang telah ia lakukan padaku. Hanya dalam hitungan detik, aku percaya ia akan menyebut namaku. Kubuka pintu apartemennya dan berjalan keluar dari apartemen. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah …aku tidak menutup pintu apartemennya. Lalu empat langkah. Tinggal enam langkah lagi aku akan mencapai lift namun ia belum memanggilku.
            “Tn. Justin,” Bingo! Sudah kuduga ia akan memanggilku. Aku menghentikan langkahku lalu membalikkan tubuhku. “Tn. Justin,”
            “Ada apa, Faith?” Aku menekan nada rendah ketika menyebut namanya.
            “Aku sungguh minta maaf. Aku tidak bermaksud mengatakan itu. Hanya saja, ini adalah hari yang buruk bagiku,”
            “Aku mengerti. Tidak apa-apa, sampai bertemu besok,” ujarku sesopan mungkin. “Terima kasih atas kecupannya,” lanjutku seduktif. Ia melipat bibirnya ke dalam lalu menganggukan kepalanya. Aku terkekeh, kepalaku tergeleng.
            “Aku tidak terjangkit HIV, Faith, percaya padaku. Kau akan baik-baik saja,” terkadang gadis ini sangat lucu dengan segala kepolosan yang ia miliki. Aku bahkan bingung, mengapa gadis cantik sepertinya tidak pernah berhubungan dengan salah seorang lelaki? Apa dia lesbian? Tapi tidak mungkin. Ia tertarik padaku, aku tahu itu, tapi ia belum mengakuinya. Aku hanya butuh waktu lebih.
            “Selamat malam, Tn. Justin,” bisiknya. Aku hanya mengangguk dan membalikkan tubuhku lalu berjalan meninggalkannya. Dia belum beranjak dari tempatnya, pintunya belum tertutup, ia memerhatikanku. Tapi aku tidak peduli. Kukerutkan keningku ketika bayang-bayang nakal kembali menghinggap di otakku. Tangan dan kakinya yang terikat oleh tali dan matanya yang tertutup. Jeritan penuh penderitaan terdengar dari mulutnya. Oh, ya ampun, itu sangat merangsangku. Sialan kau, Faith!

***

FAITH

            Hari Kamis. Hari Kamis akan terasa sama dengan hari Senin, Selasa dan Rabu. Tidak ada yang berbeda di antara mereka. Mereka seperti saudara kembar yang menyebalkan. Dan sekarang, kembali aku harus berdoa pada Tuhan agar aku tidak bertemu dengan Tn. Justin. Tapi kemungkinan itu sangat kecil karena besok aku akan bertemu dengannya lagi karena dia harus check out. Bagaimana mungkin aku tersandung di batu yang besar seperti ini? Aku turun dari taksi setelah taksi ini telah berhenti. Angin musim dingin kembali menerjangku tanpa henti. Aku bersyukur karena hari ini aku membawa jaket hangatku karena malam nanti aku akan menjaga Ibuku. Kuharap hari ini Ibuku baik-baik saja.
            Aku menyapa satpam yang ada di depan hotel. Josh dan Margauze selalu mengajakku untuk makan malam bersama, tapi aku menolaknya. Bukan karena aku tidak tertarik, hanya saja, aku takut dengan mereka. Mereka seperti penjahat kelamin dan aku tidak ingin menjadi salah satu di antara mereka. Mereka bukan Tn. Alex yang kukagumi di hotel ini. Well, Tn. Alex adalah wakil direktur hotel ini. Ayahnya pemilik hotel ini. Ia masih muda dan tampan. Rambut cokelat panjang serta senyum menawan tak pernah lepas dari dirinya. Tapi ia sedang pergi ke luar kota untuk beberapa hari ini, jadi sampai sekarang aku belum bisa bertemu dengannya.
            James membuka pintu hotel untuk diselingi dengan senyum ramah yang ia miliki. Kakek tua yang kusayang itu memang perhatian padaku. Ia sudah kuanggap keluarga, kadang ia datang ke rumahku untuk Thanksgiving. Istri meninggal dan ia memiliki satu anak lelaki yang menjadi tentara di Irak. Aku cukup prihatin dengan keadaannya yang sudah tua itu tidak ada yang menemaninya. Jadi aku memintanya untuk datang ke rumahku jika ia membutuhkanku. Lennion sedang merias dirinya di depan cermin kecilnya.
            “Kudengar Tn. Justin mendekatimu, bagaimana rasanya?”
            “Tidak ada yang spesial. Ini masih pagi, Lennion. Apa tidak ada ucapan ‘selamat pagi’ untukku? Ayolah, aku ingin mengawali hari ini dengan senyuman. Jangan rusak pagiku yang indah,”
            “Aku tidak bermaksud seperti itu. Well, bagaimana keadaan Ibumu?”
            “Dia baik-baik saja,” bisikku terduduk di atas kursi dan mulai menyalakan komputer. Tepat ketika aku terduduk di atas kursi, lelaki itu kembali muncul di hadapanku. Demi Tuhan, ia semakin tampan.  Jangan ada yang mencubitku, seruku dalam hati. Alex Sicrossire sedang ada di hadapanku saat ini. Lelaki yang baru saja kubicarakan dalam otakku. Bagaimana bisa ia datang secepat ini? Demi Tuhan ia tersenyum padaku.
            “Selamat pagi, Faith,” sapanya. “Lennion,” kepalanya menoleh pada Lennion.
            “T-tn. Alex, selamat datang kembali,” ucapku berdiri dari tempat. Matanya kembali padaku dan tak lepas. Mata biru itu!
            “Faith, aku butuh kau berada di ruang kerjaku, sekarang,” tukasnya cepat. Ia berjalan melewatiku. Oh, percakapan yang ganjil. Aku menautkan kedua alisku dan memberikan tampang ‘masa bodoh’ lalu keluar dari meja resepsionis, mengikuti Tn. Alex dari belakang. Ia menekan tombol lift menuju atas dan berdiri di depanku. Kami memerhatikan petunjuk lift di atas yang sudah mencapai lantai tiga. Lalu turun kedua, berhenti sejenak, dan ting! Pintu lift terbuka. Muncullah mata cokelat tajam yang dapat kulihat dari sini. Sial, mengapa ia bisa bangun sepagi ini? Sedetik kemudian, mata kami bertemu.
            “Selamat pagi, Tn. Justin,” sapaku seramah mungkin. Namun pandangannya ia jatuhkan pada Tn. Alex, seketika itu juga mata cokelatnya berubah menjadi cokelat gelap. Aura jahat itu kembali terasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar