CHAPTER TWO
JUSTIN
Faith
Edwina. Gadis yang ada di hadapanku ini benar-benar menarik. Aku telah
mencaritahu tentangnya sudah sejak beberapa bulan yang lalu. Ibunya termasuk
salah satu pasien yang sering datang ke rumah sakit ini dari 5 bulan yang lalu.
Dan hampir dua bulan ini Ibunya menetap di rumah sakit. Aku melihat
identitasnya ketika salah satu suster di rumah sakitku sedang menanganinya.
Fotonya yang terselip di belakang kertas regitrasi membuatku pangling. Aku
tertarik dengannya ketika aku melihat wajah tanpa dosanya yang tersenyum ke
arah kamera. Dari tampangnya yang polos itu aku menemukan sesuatu yang
tersembunyi darinya dan memutuskan untuk mencaritahu lebih lanjut tentangnya.
Ternyata hal-hal yang kutemukan darinya menunjukkan bahwa ia adalah gadis yang
memiliki kehidupan yang hambar dan membosankan. Segala tentangnya yang umum
telah kuketahui dari orang suruhanku. Mengapa aku mencaritahu tentangnya?
Karena ialah yang terpilih.
Dengan
menjadi seorang dominan bermodal materi serta wajah yang superior, pastilah
gadis-gadis di luar sana akan bertekuk lutut dengan mudahnya di hadapanku.
Sejak awal, mereka dengan mudahnya menyerahkan dirinya padaku hanya demi
kekuasaan dan uang, gadis-gadis bodoh, mereka hanya kumanfaatkan sebagai pemuas
nafsu semata. Tidak dengan cara yang normal, aku senang melihat orang lain
kesakitan. Aku ingin melihat wajah-wajah gila harta itu menjerit penuh
kesakitan dan penderitaan di bawah kuasaku. Tapi aku ingin mereka menyerahkan
diri mereka secara sukarela tanpa ada paksaan. Dan aku telah berhasil mengambil
9 gadis di luar sana menjadi seorang submisif. Mereka menginginkanku, mereka
melakukan apa yang kukatakan dengan sukarela, dan mereka menandatangani kontrak
perjanjian yang bisa dikatakan tabu bagi orang normal. Tapi bagiku ini normal.
Aku tidak ingin menjalani sebuah hubungan berdasarkan cinta karena cinta hanya
akan membuatmu lemah. Aku tidak pernah jatuh cinta dengan siapa pun. Aku tidak
pernah mencintai orangtuaku. Mungkin, ya, aku pernah mencintai mereka. Dulu,
sebelum mereka bercerai dan hanya tinggal bersama Ayahku. Saat itulah aku
membenci hal yang berhubungan dengan cinta. Hatiku mengeras, tidak akan ada
yang bisa meluluhkannya, sama dengan gadis di hadapanku ini. Jangan harap aku tertarik
padanya karena aku merasakan getaran itu.
Aku tertarik padanya hanya karena ia memiliki tubuh yang mengundang lebah
jantan untuk berkumpul dan mengurumuninya. Dan ia hanyalah seorang calon submisif yang akan menandatangani
kontrakku.
Faith
menggoyang-goyangkan kedua kakinya di bawah meja makan restoran yang kami
kunjunginya. Ia tidak seperti pegawai resepsionis di sebuah hotel mewah. Ia
seperti anak kecil yang sedang menunggu Ibunya pergi ke toilet. Dari tadi ia
tidak melihat ke arahku, mungkin ia terintimidasi. Aku tidak bisa melepaskan
pandanganku dari mata cokelat dan rambut cokelat madunya yang masih tersanggul.
Tanganku gatal ingin sekali menggerai rambutnya.
“Apa
pekerjaan kakakmu?” Aku membuka percakapan. Kakaknya memiliki tubuh yang besar
serta dengan tattoo yang terhias di sekujur tangannya. Persis seperti mafia
Jepang. Tidak begitu menakutkan bagiku. Faith yang tadinya menoleh ke sebelah
kanan langsung menatapku. Ia mengangkat kedua alisnya.
“Oh,”
desahnya. “Dia hanya seorang buruh di sebuah pembangunan rumah. Tidak ada yang
istimewa,” jawabnya memberikan senyum paksa.
“Berapa
upah yang ia dapat setiap harinya?”
“Ia
dibayar per minggu. 500 dollar per minggu,”
“Dan
kalian bisa hidup dengan uang 2000 dollar per bulan?” Aku tertarik. Dengan
keadaan ekonominya yang bisa kukatakan tidak begitu banyak, atau rendah, aku
bisa menawarkan kontrak yang sama yang mengikatku dengan wanita-wanitaku
sebelumnya. Gadis itu menganggukkan kepalanya. Aku menghela nafas panjang.
Restoran Italia milik Joe Bastianich tampak mewah. Aku menyukai masakan-masakan
yang ia buat. Atau bisa kukatakan, chef yang memasak di restoran ini.
“Mengapa
kau membawaku ke sini? Ada sesuatu yang penting untuk dikatakan padaku?”
Tanyanya tiba-tiba. Aku terengah. Akhirnya ia bertanya. Tapi jika aku bertanya
tentang kontrak itu sekarang, aku yakin, ia pasti akan berlari dariku. Cukup
sulit aku menyentuh hatinya, ia tidak sama sekali tertarik denganku seperti
gadis lain. Ia aneh. Ia menolakku ketika aku mengajaknya untuk pergi membicarakan
sesuatu. Aku menatap matanya tajam hingga ia mendesah dalam hati, aku bisa
mendengarnya.
“Ya,
sesuatu,” bisikku seduktif. Aku bisa
memperlakukan wanita seperti apa yang aku mau. Jika aku menginginkan mereka
melakukan sesuatu yang kumau, maka mereka akan melakukannya. Jika aku mau
membuatnya mendesah dalam hati, aku bisa melakukannya. Sudah banyak gadis yang
kukencani –ya, aku mengencani wanita—dan aku belajar dari mereka bagaimana
menaklukan wanita dengan mudah. Sebentar lagi ia akan mengulangi apa yang
kukatakan. Satu, dua, tiga…
“Sesuatu?”
tanyanya. Sudah kuduga, aku menipiskan bibirku dan mengeluarkan seringaiku
diam-diam. Tetapi diluar dugaan, ia berkata dengan pelan, “jangan katakan kau
ingin memberiku drugs dan sejenisnya.
Jika ya, aku sudah pasti akan menolaknya,” ucapnya dengan wajah polos. Aku
terpaku sejenak dengan jawabannya yang keluar tanpa kuduga itu. Lalu secepat
mungkin aku menenangkan diriku kembali. Akupun berdeham lalu menggelengkan
kepalaku.
“Bukan
itu. Aku ingin menawarkan sesuatu padamu,” ujarku. Raut wajahnya tiba-tiba saja
berubah, kedua alis bertaut, dan mulutnya terbuka. Sialan, aku ingin sekali
membuat mulut itu penuh dengan lidahku. Tahan, Lexise! Kau tahu dia pasti belum
pernah melakukan ini sebelumnya. “Tapi lebih baik kita melewati malam ini
dengan makan malam sederhana,”
“Apa
ini sebuah kencan? Karena aku sama sekali tidak mengerti apa yang kauinginkan
dariku,”
“Aku
menginginkanmu,” jawabku cepat dan dingin. Ia terhenyak. Pelayan mulai datang
membawa pesanan kami. Aku ingin tahu apa ia pernah memiliki hubungan badan
dengan kata aman. Maksudku, kau tahulah, BDSM. Aku senang melihat orang yang
berhubungan badan denganku merasakan kesakitan. Ada rasa yang berbeda ketika
aku mendengar gadis-gadis itu menjerit kesakitan atas perlakuanku. Tapi bukan
hanya kesakitan yang kuberikan, aku juga memberikan kenikmatan pada mereka.
Bahkan, aku telah menjalani hubungan kontrak ini selama hampir lebih dari 1
tahun.
“Mengapa?”
Tanyanya seolah-olah ia tidak percaya. Ya, memang seharusnya ia seperti itu.
Aku tahu baginya ini pasti tidak masuk akal. Aku baru bertemu dengannya siang
tadi dan aku mengajaknya untuk makan malam bersama. Dia tidak tahu aku
sepenuhnya, sedangkan, aku tahu tentangnya hampir seluruh hidupnya.
“Aku
tidak ingin memiliki percakapan berat hanya untuk makan malam. Kapan jadwal
kerjamu? Maksudku, aku ingin bertemu denganmu lagi nanti,”
“Aku
tidak ingin bertemu lagi denganmu. Ini mungkin akan menjadi makan malam pertama
dan terakhir,” ia menolakku mentah-mentah. Sekesal-kesalnya aku melihat
tingkahnya, itu tidak memengaruhiku untuk menghentikan misiku mendapatkannya.
Jika aku menginginkan sesuatu, aku harus memilikinya. Mungkin gadis ini
memiliki trauma atau sesuatu. “Kau tahu, aku melihatmu seperti aku melihat Christian
Grey. Are you Christian Grey or something?”
“Aku
bukan Christian Grey sama sekali,” ucapku menggeleng-gelengkan kepalaku.
Tanganku mulai mengambil sendok untuk memakan sup yang kupesan. Ia memesan
risotto dan ia belum menyentuhnya sama sekali. Dan, siapa Christian Grey? Aku
tidak mengenalnya sama sekali. Siapa pun dia, aku tidak peduli.
“Karena
caramu berbicara yang misterius itu hampir sama dengannya,”
“Oh,
siapa dia?” Tanyaku.
“Hanya
tokoh fiksi di sebuah novel erotis. Ia digambarkan semenarik mungkin. Aku harus
jujur, kau memang menarik tapi bukan berarti aku akan memenuhi apa yang
kauminta. Aku tidak sama dengan wanita-wanita yang telah bersama denganmu,”
ujarnya, acuh. Ia asal bicara. Aku selalu berpikir untuk menyumpal mulutnya
dengan mulutku. Ia tidak sama sekali mengerti apa yang sedang ia bicarakan.
Tahu apa dia tentang wanita-wanita yang telah bersama denganku? Aku hanya
menggeleng-gelengkan kepalaku.
“Tokoh
fiksi. Aku nyata, dia tidak. Tahu apa kau tentang wanita-wanita yang telah bersama
denganku?” Ia mengedik bahunya. Nah, akhirnya tangannya mulai menyentuh sendok
dan mulai mengambil sesendok risotto dari piringnya. Tapi kakinya yang dari
tadi bergoyang-goyang itu tidak berhenti. Kapan ia menghentikan itu? Bahkan
beberapa kali ujung sepatunya menyentuh kakiku. Bagaimana bisa ia melakukan hal
yang membuatku terangsang? Dasar kau gila, Lexise! Ini adalah tempat umum dan
mengapa bisa-bisanya kau terangsang hanya karena gadis di hadapanmu menendang-nendang
kakimu? Aku memejamkan mataku dan menghembuskan nafas panjang.
“Ya,
kau seorang pengusaha. Terlebih lagi kau tampan, bagaimana bisa mereka menolak?
Nah, berbeda denganku. Aku sama sekali tidak tertarik denganmu. Kau hanya bisa
membuat pikiranku semakin berputar tak tentu arah. Tadi siang kita baru saja
bertemu dan malam ini kau sudah mengajakku ke restoran. Sebenarnya, permainan
Christian Grey macam apa yang sedang kaumainkan?”
Aku
menatapnya tajam lagi, dapat kurasakan ia mendesah dalam hati. Tangannya
melemas. Kakinya yang bergoyang itu berhenti untuk sesaat dan bahunya menurun.
Sudah kuduga ia akan bereaksi seperti itu.
“Permainan
Christian Grey? Kau tidak tahu apa yang kaukatakan, Faith,” ucapku menyebut
namanya. Gadis ini terlalu malu untuk mengakui bahwa ia menyukaiku.
“Kupikir
kita tidak berbicara hal yang berat,”
“Kau
yang mengangkat topiknya, Faith,” pipinya memerah begitu saja. Aku suka melihat
pipinya memerah seperti itu. Dia seperti anak kecil tanpa dosa. Aku butuh dia
untuk menjadi milikku. Ia tidak membalas perkataanku. “Apa kau sudah mempunyai
pacar?”
“Tidak,”
balasnya singkat. “Bagaimana dengan kau? Apa kau sudah mempunyai istri?”
“Apa
kau melihat cincin yang melingkar di jari manisku? Tidak, aku tidak menikah.
Mengapa kau bertanya seperti itu? Untuk apa aku membawamu ke sini jika aku
mempunyai istri?”
“Kau
benar.” Bisiknya mulai kembali memasukan makanan ke dalam mulutnya.
Selanjutnya, segalanya tampak diam. Kakinya kembali bergoyang-goyang seperti
anak kecil. Pantas saja tubuhnya kurus seperti ini, ia mengeluarkan seluruh
energinya ketika ia sedang makan. “Jadi, kau menginginkanku?” Ia berbicara
lagi.
“Ya,
tetapi bukan sebagai kekasihku,” balasku. Raut wajah Faith tiba-tiba saja
berubah menjadi penasaran.
“Kalau
begitu, apa yang kauinginkan dariku?”
“Seluruh
tubuhmu,” bisikku seduktif. Matanya membulat seketika lalu sendok yang berada
di tangannya ia lepas ke atas piring. Ia tersinggung. Sial. “Aku
menginginkanmu. Jika kau memenuhi apa yang kuinginkan, segala biaya yang harus
kaubayar akan kuhapus. Bagaimana dengan itu?”
“Dan
jika aku menolak?”
“Well,
kita lihat saja nanti apa yang akan terjadi.”
***
FAITH
Aku
menolaknya mentah-mentah. Aku bukan seorang pelacur yang tubuhnya dapat dipakai
lalu dibayar dengan cara seperti itu. Maksudku, aku memang bukan seorang
pelacur. Ia memperlakukan bagaikan seorang pelacur. Jadi, ini yang inginkan
dariku? Kau pasti bercanda! Sekecil apa pun gaji yang kudapat, bukan berarti
aku akan menyerah untuk mendapatkan uang dengan cara yang halal. Tubuh ini
milikku dan bukan untuk orang sembarangan. Aku akan mempersembahkan tubuh ini
pada lelaki yang kucintai. Dan Tn. Justin? Persetan dengannya.
Kudorong
pintu kamar Ibuku ketika aku telah berada di depan pintunya. Aku beruntung
karena jam jenguk masih buka dan masih bisa mengunjungi Ibuku. Mozes sedang
memberi makan untuk Ibuku di sebelah tempat tidur. Ia menatapku dari bawah
hingga atas dengan salah satu tangan yang bertumpu di ujung lututnya.
Tatapannya seperti seorang Ayah yang marah karena anak gadisnya pulang
terlambat ke rumah. Tapi aku mengabaikannya. Kuhempaskan tubuhku ke atas sofa
empuk dengan desahan nafas yang panjang.
“Bagaimana
dengan Tn.Justin?” Tanya Ibuku terdengar tak jelas. Ia terduduk, menatapku.
“Aku
tidak ingin membicarakannya,”
“Siapa
Tn. Justin?” Celetuk Mozes ingin tahu. Tanganku rasanya ingin mengambil sepatu
tinggi dan melempari Mozes tepat di kepalanya. Aku sudah bilang kalau aku tidak
ingin membicarakannya tapi ia malah
bertanya kembali. Is he stupid or
something?
“Dia
pemilik rumah sakit ini,” ucapku acuh. “Dan seluruh suster di rumah sakit ini
sepertinya akan membenciku karena telah menemani atasannya untuk makan malam
bersama. Oh, sangat keren,” ujarku menengadahkan kepalaku ke atas. Pintu kamar
Ibuku terbuka, muncul suster Carla dengan seragam rumah sakit.
“Faith,
percaya padaku, seluruh suter di rumah sakit ini percaya bahwa kau adalah
kekasih baru dari Tn. Justin,”
“Sempurna.
Dan semua suster di rumah sakit ini akan membenciku,” ujarku mengangkat kedua
tanganku ke atas lalu menjatuhkannya kembali ke atas sofa. “Dia merusak
kehidupanku hanya dalam satu hari,” rengekku terisak. Suster Carla tertawa melihatku lalu ia mulai
bertanya-tanya pada Ibuku tentang keadaanya. Aku memejamkan mataku untuk
beristirahat sebentar. Memikirkan mengapa ia menginginkanku. Ya, mungkin ia
memang sudah mengatakan mengapa ia menginginkanku, tapi apa yang ia inginkan sangatlah
melecehkanku. Seluruh tubuhmu. Apa?
Seluruh tubuhku dan jika aku menerimanya, tagihan rumah sakitku akan dihapus
sehingga Ibuku mendapatkan perawatan di rumah sakit secara cuma-cuma atau bisa
kubilang, gratis.
Dia
seperti Christian Grey dengan mata cokelat. Bedanya, Christian Grey tidak
se-agresif dia. Christian Grey digambarkan sopan, tampan, menarik, misterius,
ramah, dan Tn. Justin memiliki sifat-sifat itu. Meski ia tidak sepenuhnya
seperti Christian Grey dan tidak semenarik Christian Grey. Dan mengapa aku
malah berperang dengan pikiranku tentang Christian Grey dan Tn. Justin?
Lihat
apa yang dilakukan padaku hanya dalam satu hari. Kembali aku teringat dengan
tatapan tajamnya yang menusuk hingga menyentuh hatiku dan membuat hatiku
mendesah begitu saja. Tn. Justin sudah tahu apa yang ia lakukan padaku. Ia
benar-benar menguasai keahliannya.
“Hei,
berhentilah memimpikannya,” celetuk suster Carla tertawa. Aku mengangkat
kepalaku untuk melihatnya, ia telah membuka pintu kamar Ibuku dengan tawanya
yang masih terdengar. Namun tiba-tiba tawaan itu terhenti ketika pintu kamar
Ibuku terbuka lebih lebar. “Tn. Justin,” gumamnya sesopan mungkin. Apa? Aku
terhenyak, lagi. Mengapa setan itu masih berusaha mendekatiku? Aku sudah
menolaknya! Demi Neptunus aku ingin melenyapkan lelaki ini dari muka bumi ini. Atau aku yang lenyap dari muka bumi ini karenanya.
Suster Carla telah keluar, Tn.Justin masuk dengan seikat bunga mawar di
tangannya yang dibungkus dengan plastik. Oh, sial. Aku benci bunga.
“Ny.
Edwina,” ujar Tn.Justin berjalan mendekati tempat tidur Ibuku. Mengapa ia bisa
begitu perhatian dengan Ibuku? Bahkan dari tadi ia tidak melirik padaku. “Aku
membawakan bunga untukmu,” lanjutnya. Apa? Aku melongo. Kupikir bunga itu
untukku. Oh. Aku terlalu percaya
diri, ini memalukan. Seluruh perhatian Ibuku telah direbut oleh Tn. Justin yang
Ramah. Mozes yang ada di seberang Tn.Justin itu menatapnya dengan tatapan tak
percaya. Oh yeah, tentu saja. Untuk apa sang pemilik rumah sakit ini
sibuk-sibuk masuk ke dalam ruangan pasien yang ia tak kenal? Tapi sekarang aku
tahu untuk apa ia datang ke ruangan ini. Ia membisiki Ibuku sesuatu yang
membuat kepala Ibuku terangguk. Mengapa Ibuku tidak mengerti masalah apa yang
sedang kulewati bersama dengan Tn. Justin? Mengapa ia mempermudah tujuan Tn.
Justin untuk mendapatkanku? Dan mengapa aku harus diperhadapankan dengan setan
yang bisa-bisanya merusak kehidupanku hanya dalam satu hari? Aku merengek.
“Faith,
biar kuantar kau pulang,” ujar Tn. Justin setelah membisiki Ibuku.
“A-aku
tidak pulang,” bisikku. “Aku menemani Ibuku malam ini,”
“Hei!
Bukankah aku tadi pagi kau sudah setuju aku yang menjaga Ibu malam ini?”
Celetuk Mozes. Terima kasih Mozes atas dukunganmu. Aku menatap Mozes dengan
senyum paksa. Kulirik Tn. Justin yang menahan senyumnya. Crap! Ia sedang menertawakanku. Mozes mulai menatap pada Tn.
Justin, lalu mulutnya terbuka. “Kau boleh mengantarnya pulang. Tapi jangan
sekali-sekali kau berani menyentuhnya atau pun menyakitinya,”
“Aku
bahkan tak sampai hati untuk menyakiti adik kecilmu, Tn. Edwin,” ujar Justin
dengan keramahannya. Mozes menganggukan kepalanya satu kali. Terkadang memang
Mozes menyebalkan, tapi yang aku tahu adalah Mozes bersumpah akan membunuh
orang yang berani menyakitiku. Aku serius.
“Pulanglah,
Faith, aku tahu kau lelah,” suruh Mozes memaksaku. Aku menautkan kedua alisku
dan memejamkan mata seakan-akan aku ingin menangis. Dan ya, aku memang ingin
menangis karena Tn. Justin yang tidak berhenti menggangguku. Kuhitung satu
sampai tiga lalu membuka mataku. Sebuah tangan dengan jar-jari yang panjang
telah berada di hadapanku.
“Faith,”
ucap Tn. Justin menyebut namaku. Aku meraih tangannya dan bangkit dari sofa.
“Aku harus pergi, Ny. Edwina. Terima kasih,”
“Hati-hati
di jalan Faith!” Seru Mozes ketika aku dan Justin telah berada di keluar,
tangan Justin menarik pintu kamar Ibuku lalu menutupnya. Oh, sempurna.
“Semua
suster di rumah sakit ini mengira aku adalah kekasihmu. Dan itu adalah berita
buruk,” ujarku kesal. Aku menarik paksa tanganku dari pegangan tangannya lalu
berjalan lebih cepat darinya.
“Kita
tidak perlu buru-buru berjalan, Faith,” kembali ia menyebut namaku. “Mari kita
tutupi malam ini dengan percakapan yang ringan. Aku tidak akan menyinggung
permasalahan di restoran tadi.”
***
Lagu
country mulai terdengar di telingaku
dan Justin. Mobilnya mulai memasuki jalan raya. Kembali ia hening seperti dua
jam yang lalu. Ia menatap jalan penuh konsentrasi, bahkan ia terlihat seperti
membawa mobil tanpa ada orang di sebelahnya. Aku bukan tipe wanita yang dapat
diam jika ada seseorang yang kukenal –maksudku yang telah berbicara denganku
sebelumnya. Tapi aku lebih memilih diam daripada aku harus banyak bicara dan ia
akan mengomentariku lagi. Aku menyandarkan kepalaku lalu memejamkan mataku.
Menikmati lagu country yang ia putar.
Aku tidak tahu siapa yang menyanyikan lagu ini, tapi aku menyukainya. Kurasakan
dua mata memerhatikanku serta seringai dari samping. Kurasa ia sedang
memerhatikanku, namun aku berusaha untuk mengacuhkannya.
“Apa
sebelumnya kau pernah berhubungan badan?” Justin bertanya tiba-tiba. Dan topik
pembicaraannya benar-benar tidak menarik. Bahkan ia seperti menyinggungku.
Meski aku sedikit malu karena aku tidak pernah disentuh oleh lelaki sebelumnya.
Mataku terbuka langsung menatap padanya.
“Tidak,”
bisikku. “Aku tidak ingin Ibuku mati cepat,” lanjutku diselingi sedikit humor.
Ia mengangkat kedua alisnya lalu mengerutkannya. Ia sedang berpikir kurasa.
“Tidak
sekalipun?”
“Jawaban
apa yang kauharapkan?” Tanyaku malas. Ia menganggukan kepalanya, berusaha untuk
menyembunyikan rasa keterkejutannya. “Aku tidak mempunyai waktu untuk
berhubungan seks karena aku memiliki keluarga yang masih harus kuperhatikan,”
“Kau
memiliki paras yang cantik dan kau belum berhubungan seks sama sekali? Aneh,”
komentarnya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menolehkan kepalanya lalu
menatapku dengan tatapan tajam, lagi. Tatapan itu seperti senjata ampuhnya
untuk membuat seluruh tubuhku melemas. Mengapa ia selalu melakukan itu? Apa ia
berusaha untuk membuatku tidak dapat berjalan hanya karena ia menatapku? Kali
ini ia sama sekali tidak menatap hanya pada wajahku, ia mulai melihat dari
ujung kakiku dan kembali ke wajahku lalu kembali pada jalan raya.
“Aneh,”
komentarnya kembali.
“Mengapa
kau bertanya seperti itu? Kau ingin berhubungan badan denganku? Kau harus
melangkahi mayat Ibuku sebelum mendapatkanku,”
“Oh,
aku tidak perlu melakukan itu,” Justin mengangguk-anggukan kepalanya dengan
penuh keyakinan. Ia memasukkan bibir bawahnya ke dalam mulut, ia menggigitnya.
Mengapa ia melakukan itu di hadapanku? Ia sedang menggodaku? Sialan.
Mobilnya
berhenti tepat di depan apartemenku. Aku tidak memberitahu alamat rumahku
sebelumnya. Bagaimana bisa… oh, ya, identitas penanggungjawab. Tentu saja, ia
telah mencaritahu tentangku. “Bastard,” gumamku dengan suara sekecil mungkin.
“Apa
yang kaukatakan?” Tanyanya yang membuatku terkejut. Aku baru saja ingin membuka
pintu, tapi suaranya benar-benar mengejutkanku. Aku menoleh padanya.
“Tidak
ada,”
“Ya,
kau mengatakan sesuatu,” ucapnya. Lalu keningnya mengerut. “Tunggu sebentar,
aku melihat sesuatu di wajahmu,” ujarnya. Keningku ikut mengerut.
“Benarkah?”
“Ya,
kemarilah, biar kubersihkan,” suruhnya. Aku segera mendekatkan wajahku ke
arahnya. Jarinya mulai menyentuh keningku, ia membersihkan sesuatu di sana.
Mataku bertemu dengan matanya, tatapannya masih sama. Ia menatapku tajam. Namun
mataku terpejam ketika bibirnya menyentuh bibirku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar