Minggu, 15 Desember 2013

Right Mistakes Bab 2

CHAPTER TWO

JUSTIN

            Faith Edwina. Gadis yang ada di hadapanku ini benar-benar menarik. Aku telah mencaritahu tentangnya sudah sejak beberapa bulan yang lalu. Ibunya termasuk salah satu pasien yang sering datang ke rumah sakit ini dari 5 bulan yang lalu. Dan hampir dua bulan ini Ibunya menetap di rumah sakit. Aku melihat identitasnya ketika salah satu suster di rumah sakitku sedang menanganinya. Fotonya yang terselip di belakang kertas regitrasi membuatku pangling. Aku tertarik dengannya ketika aku melihat wajah tanpa dosanya yang tersenyum ke arah kamera. Dari tampangnya yang polos itu aku menemukan sesuatu yang tersembunyi darinya dan memutuskan untuk mencaritahu lebih lanjut tentangnya. Ternyata hal-hal yang kutemukan darinya menunjukkan bahwa ia adalah gadis yang memiliki kehidupan yang hambar dan membosankan. Segala tentangnya yang umum telah kuketahui dari orang suruhanku. Mengapa aku mencaritahu tentangnya? Karena ialah yang terpilih.
            Dengan menjadi seorang dominan bermodal materi serta wajah yang superior, pastilah gadis-gadis di luar sana akan bertekuk lutut dengan mudahnya di hadapanku. Sejak awal, mereka dengan mudahnya menyerahkan dirinya padaku hanya demi kekuasaan dan uang, gadis-gadis bodoh, mereka hanya kumanfaatkan sebagai pemuas nafsu semata. Tidak dengan cara yang normal, aku senang melihat orang lain kesakitan. Aku ingin melihat wajah-wajah gila harta itu menjerit penuh kesakitan dan penderitaan di bawah kuasaku. Tapi aku ingin mereka menyerahkan diri mereka secara sukarela tanpa ada paksaan. Dan aku telah berhasil mengambil 9 gadis di luar sana menjadi seorang submisif. Mereka menginginkanku, mereka melakukan apa yang kukatakan dengan sukarela, dan mereka menandatangani kontrak perjanjian yang bisa dikatakan tabu bagi orang normal. Tapi bagiku ini normal. Aku tidak ingin menjalani sebuah hubungan berdasarkan cinta karena cinta hanya akan membuatmu lemah. Aku tidak pernah jatuh cinta dengan siapa pun. Aku tidak pernah mencintai orangtuaku. Mungkin, ya, aku pernah mencintai mereka. Dulu, sebelum mereka bercerai dan hanya tinggal bersama Ayahku. Saat itulah aku membenci hal yang berhubungan dengan cinta. Hatiku mengeras, tidak akan ada yang bisa meluluhkannya, sama dengan gadis di hadapanku ini. Jangan harap aku tertarik padanya karena aku merasakan getaran itu. Aku tertarik padanya hanya karena ia memiliki tubuh yang mengundang lebah jantan untuk berkumpul dan mengurumuninya. Dan ia hanyalah seorang calon submisif yang akan menandatangani kontrakku.
            Faith menggoyang-goyangkan kedua kakinya di bawah meja makan restoran yang kami kunjunginya. Ia tidak seperti pegawai resepsionis di sebuah hotel mewah. Ia seperti anak kecil yang sedang menunggu Ibunya pergi ke toilet. Dari tadi ia tidak melihat ke arahku, mungkin ia terintimidasi. Aku tidak bisa melepaskan pandanganku dari mata cokelat dan rambut cokelat madunya yang masih tersanggul. Tanganku gatal ingin sekali menggerai rambutnya.
            “Apa pekerjaan kakakmu?” Aku membuka percakapan. Kakaknya memiliki tubuh yang besar serta dengan tattoo yang terhias di sekujur tangannya. Persis seperti mafia Jepang. Tidak begitu menakutkan bagiku. Faith yang tadinya menoleh ke sebelah kanan langsung menatapku. Ia mengangkat kedua alisnya.
            “Oh,” desahnya. “Dia hanya seorang buruh di sebuah pembangunan rumah. Tidak ada yang istimewa,” jawabnya memberikan senyum paksa.
            “Berapa upah yang ia dapat setiap harinya?”
            “Ia dibayar per minggu. 500 dollar per minggu,”
            “Dan kalian bisa hidup dengan uang 2000 dollar per bulan?” Aku tertarik. Dengan keadaan ekonominya yang bisa kukatakan tidak begitu banyak, atau rendah, aku bisa menawarkan kontrak yang sama yang mengikatku dengan wanita-wanitaku sebelumnya. Gadis itu menganggukkan kepalanya. Aku menghela nafas panjang. Restoran Italia milik Joe Bastianich tampak mewah. Aku menyukai masakan-masakan yang ia buat. Atau bisa kukatakan, chef yang memasak di restoran ini.
            “Mengapa kau membawaku ke sini? Ada sesuatu yang penting untuk dikatakan padaku?” Tanyanya tiba-tiba. Aku terengah. Akhirnya ia bertanya. Tapi jika aku bertanya tentang kontrak itu sekarang, aku yakin, ia pasti akan berlari dariku. Cukup sulit aku menyentuh hatinya, ia tidak sama sekali tertarik denganku seperti gadis lain. Ia aneh. Ia menolakku ketika aku mengajaknya untuk pergi membicarakan sesuatu. Aku menatap matanya tajam hingga ia mendesah dalam hati, aku bisa mendengarnya.
            “Ya, sesuatu,” bisikku seduktif. Aku bisa memperlakukan wanita seperti apa yang aku mau. Jika aku menginginkan mereka melakukan sesuatu yang kumau, maka mereka akan melakukannya. Jika aku mau membuatnya mendesah dalam hati, aku bisa melakukannya. Sudah banyak gadis yang kukencani –ya, aku mengencani wanita—dan aku belajar dari mereka bagaimana menaklukan wanita dengan mudah. Sebentar lagi ia akan mengulangi apa yang kukatakan. Satu, dua, tiga…
            “Sesuatu?” tanyanya. Sudah kuduga, aku menipiskan bibirku dan mengeluarkan seringaiku diam-diam. Tetapi diluar dugaan, ia berkata dengan pelan, “jangan katakan kau ingin memberiku drugs dan sejenisnya. Jika ya, aku sudah pasti akan menolaknya,” ucapnya dengan wajah polos. Aku terpaku sejenak dengan jawabannya yang keluar tanpa kuduga itu. Lalu secepat mungkin aku menenangkan diriku kembali. Akupun berdeham lalu menggelengkan kepalaku.
            “Bukan itu. Aku ingin menawarkan sesuatu padamu,” ujarku. Raut wajahnya tiba-tiba saja berubah, kedua alis bertaut, dan mulutnya terbuka. Sialan, aku ingin sekali membuat mulut itu penuh dengan lidahku. Tahan, Lexise! Kau tahu dia pasti belum pernah melakukan ini sebelumnya. “Tapi lebih baik kita melewati malam ini dengan makan malam sederhana,”
            “Apa ini sebuah kencan? Karena aku sama sekali tidak mengerti apa yang kauinginkan dariku,”
            “Aku menginginkanmu,” jawabku cepat dan dingin. Ia terhenyak. Pelayan mulai datang membawa pesanan kami. Aku ingin tahu apa ia pernah memiliki hubungan badan dengan kata aman. Maksudku, kau tahulah, BDSM. Aku senang melihat orang yang berhubungan badan denganku merasakan kesakitan. Ada rasa yang berbeda ketika aku mendengar gadis-gadis itu menjerit kesakitan atas perlakuanku. Tapi bukan hanya kesakitan yang kuberikan, aku juga memberikan kenikmatan pada mereka. Bahkan, aku telah menjalani hubungan kontrak ini selama hampir lebih dari 1 tahun.
            “Mengapa?” Tanyanya seolah-olah ia tidak percaya. Ya, memang seharusnya ia seperti itu. Aku tahu baginya ini pasti tidak masuk akal. Aku baru bertemu dengannya siang tadi dan aku mengajaknya untuk makan malam bersama. Dia tidak tahu aku sepenuhnya, sedangkan, aku tahu tentangnya hampir seluruh hidupnya.
            “Aku tidak ingin memiliki percakapan berat hanya untuk makan malam. Kapan jadwal kerjamu? Maksudku, aku ingin bertemu denganmu lagi nanti,”
            “Aku tidak ingin bertemu lagi denganmu. Ini mungkin akan menjadi makan malam pertama dan terakhir,” ia menolakku mentah-mentah. Sekesal-kesalnya aku melihat tingkahnya, itu tidak memengaruhiku untuk menghentikan misiku mendapatkannya. Jika aku menginginkan sesuatu, aku harus memilikinya. Mungkin gadis ini memiliki trauma atau sesuatu. “Kau tahu, aku melihatmu seperti aku melihat Christian Grey. Are you Christian Grey or something?”
            “Aku bukan Christian Grey sama sekali,” ucapku menggeleng-gelengkan kepalaku. Tanganku mulai mengambil sendok untuk memakan sup yang kupesan. Ia memesan risotto dan ia belum menyentuhnya sama sekali. Dan, siapa Christian Grey? Aku tidak mengenalnya sama sekali. Siapa pun dia, aku tidak peduli.
            “Karena caramu berbicara yang misterius itu hampir sama dengannya,”
            “Oh, siapa dia?” Tanyaku.
            “Hanya tokoh fiksi di sebuah novel erotis. Ia digambarkan semenarik mungkin. Aku harus jujur, kau memang menarik tapi bukan berarti aku akan memenuhi apa yang kauminta. Aku tidak sama dengan wanita-wanita yang telah bersama denganmu,” ujarnya, acuh. Ia asal bicara. Aku selalu berpikir untuk menyumpal mulutnya dengan mulutku. Ia tidak sama sekali mengerti apa yang sedang ia bicarakan. Tahu apa dia tentang wanita-wanita yang telah bersama denganku? Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku.
            “Tokoh fiksi. Aku nyata, dia tidak. Tahu apa kau tentang wanita-wanita yang telah bersama denganku?” Ia mengedik bahunya. Nah, akhirnya tangannya mulai menyentuh sendok dan mulai mengambil sesendok risotto dari piringnya. Tapi kakinya yang dari tadi bergoyang-goyang itu tidak berhenti. Kapan ia menghentikan itu? Bahkan beberapa kali ujung sepatunya menyentuh kakiku. Bagaimana bisa ia melakukan hal yang membuatku terangsang? Dasar kau gila, Lexise! Ini adalah tempat umum dan mengapa bisa-bisanya kau terangsang hanya karena gadis di hadapanmu menendang-nendang kakimu? Aku memejamkan mataku dan menghembuskan nafas panjang.
            “Ya, kau seorang pengusaha. Terlebih lagi kau tampan, bagaimana bisa mereka menolak? Nah, berbeda denganku. Aku sama sekali tidak tertarik denganmu. Kau hanya bisa membuat pikiranku semakin berputar tak tentu arah. Tadi siang kita baru saja bertemu dan malam ini kau sudah mengajakku ke restoran. Sebenarnya, permainan Christian Grey macam apa yang sedang kaumainkan?”
            Aku menatapnya tajam lagi, dapat kurasakan ia mendesah dalam hati. Tangannya melemas. Kakinya yang bergoyang itu berhenti untuk sesaat dan bahunya menurun. Sudah kuduga ia akan bereaksi seperti itu.
            “Permainan Christian Grey? Kau tidak tahu apa yang kaukatakan, Faith,” ucapku menyebut namanya. Gadis ini terlalu malu untuk mengakui bahwa ia menyukaiku.
            “Kupikir kita tidak berbicara hal yang berat,”
            “Kau yang mengangkat topiknya, Faith,” pipinya memerah begitu saja. Aku suka melihat pipinya memerah seperti itu. Dia seperti anak kecil tanpa dosa. Aku butuh dia untuk menjadi milikku. Ia tidak membalas perkataanku. “Apa kau sudah mempunyai pacar?”
            “Tidak,” balasnya singkat. “Bagaimana dengan kau? Apa kau sudah mempunyai istri?”
            “Apa kau melihat cincin yang melingkar di jari manisku? Tidak, aku tidak menikah. Mengapa kau bertanya seperti itu? Untuk apa aku membawamu ke sini jika aku mempunyai istri?”
            “Kau benar.” Bisiknya mulai kembali memasukan makanan ke dalam mulutnya. Selanjutnya, segalanya tampak diam. Kakinya kembali bergoyang-goyang seperti anak kecil. Pantas saja tubuhnya kurus seperti ini, ia mengeluarkan seluruh energinya ketika ia sedang makan. “Jadi, kau menginginkanku?” Ia berbicara lagi.
            “Ya, tetapi bukan sebagai kekasihku,” balasku. Raut wajah Faith tiba-tiba saja berubah menjadi penasaran.
            “Kalau begitu, apa yang kauinginkan dariku?”
            “Seluruh tubuhmu,” bisikku seduktif. Matanya membulat seketika lalu sendok yang berada di tangannya ia lepas ke atas piring. Ia tersinggung. Sial. “Aku menginginkanmu. Jika kau memenuhi apa yang kuinginkan, segala biaya yang harus kaubayar akan kuhapus. Bagaimana dengan itu?”
            “Dan jika aku menolak?”
            “Well, kita lihat saja nanti apa yang akan terjadi.”

***

FAITH

            Aku menolaknya mentah-mentah. Aku bukan seorang pelacur yang tubuhnya dapat dipakai lalu dibayar dengan cara seperti itu. Maksudku, aku memang bukan seorang pelacur. Ia memperlakukan bagaikan seorang pelacur. Jadi, ini yang inginkan dariku? Kau pasti bercanda! Sekecil apa pun gaji yang kudapat, bukan berarti aku akan menyerah untuk mendapatkan uang dengan cara yang halal. Tubuh ini milikku dan bukan untuk orang sembarangan. Aku akan mempersembahkan tubuh ini pada lelaki yang kucintai. Dan Tn. Justin? Persetan dengannya.
            Kudorong pintu kamar Ibuku ketika aku telah berada di depan pintunya. Aku beruntung karena jam jenguk masih buka dan masih bisa mengunjungi Ibuku. Mozes sedang memberi makan untuk Ibuku di sebelah tempat tidur. Ia menatapku dari bawah hingga atas dengan salah satu tangan yang bertumpu di ujung lututnya. Tatapannya seperti seorang Ayah yang marah karena anak gadisnya pulang terlambat ke rumah. Tapi aku mengabaikannya. Kuhempaskan tubuhku ke atas sofa empuk dengan desahan nafas yang panjang.
            “Bagaimana dengan Tn.Justin?” Tanya Ibuku terdengar tak jelas. Ia terduduk, menatapku.
            “Aku tidak ingin membicarakannya,”
            “Siapa Tn. Justin?” Celetuk Mozes ingin tahu. Tanganku rasanya ingin mengambil sepatu tinggi dan melempari Mozes tepat di kepalanya. Aku sudah bilang kalau aku tidak ingin membicarakannya tapi ia malah bertanya kembali. Is he stupid or something?
            “Dia pemilik rumah sakit ini,” ucapku acuh. “Dan seluruh suster di rumah sakit ini sepertinya akan membenciku karena telah menemani atasannya untuk makan malam bersama. Oh, sangat keren,” ujarku menengadahkan kepalaku ke atas. Pintu kamar Ibuku terbuka, muncul suster Carla dengan seragam rumah sakit.
            “Faith, percaya padaku, seluruh suter di rumah sakit ini percaya bahwa kau adalah kekasih baru dari Tn. Justin,”
            “Sempurna. Dan semua suster di rumah sakit ini akan membenciku,” ujarku mengangkat kedua tanganku ke atas lalu menjatuhkannya kembali ke atas sofa. “Dia merusak kehidupanku hanya dalam satu hari,” rengekku terisak.  Suster Carla tertawa melihatku lalu ia mulai bertanya-tanya pada Ibuku tentang keadaanya. Aku memejamkan mataku untuk beristirahat sebentar. Memikirkan mengapa ia menginginkanku. Ya, mungkin ia memang sudah mengatakan mengapa ia menginginkanku, tapi apa yang ia inginkan sangatlah melecehkanku. Seluruh tubuhmu. Apa? Seluruh tubuhku dan jika aku menerimanya, tagihan rumah sakitku akan dihapus sehingga Ibuku mendapatkan perawatan di rumah sakit secara cuma-cuma atau bisa kubilang, gratis.
            Dia seperti Christian Grey dengan mata cokelat. Bedanya, Christian Grey tidak se-agresif dia. Christian Grey digambarkan sopan, tampan, menarik, misterius, ramah, dan Tn. Justin memiliki sifat-sifat itu. Meski ia tidak sepenuhnya seperti Christian Grey dan tidak semenarik Christian Grey. Dan mengapa aku malah berperang dengan pikiranku tentang Christian Grey dan Tn. Justin?
            Lihat apa yang dilakukan padaku hanya dalam satu hari. Kembali aku teringat dengan tatapan tajamnya yang menusuk hingga menyentuh hatiku dan membuat hatiku mendesah begitu saja. Tn. Justin sudah tahu apa yang ia lakukan padaku. Ia benar-benar menguasai keahliannya.
            “Hei, berhentilah memimpikannya,” celetuk suster Carla tertawa. Aku mengangkat kepalaku untuk melihatnya, ia telah membuka pintu kamar Ibuku dengan tawanya yang masih terdengar. Namun tiba-tiba tawaan itu terhenti ketika pintu kamar Ibuku terbuka lebih lebar. “Tn. Justin,” gumamnya sesopan mungkin. Apa? Aku terhenyak, lagi. Mengapa setan itu masih berusaha mendekatiku? Aku sudah menolaknya! Demi Neptunus aku ingin melenyapkan lelaki ini dari muka bumi ini. Atau aku yang lenyap dari muka bumi ini karenanya. Suster Carla telah keluar, Tn.Justin masuk dengan seikat bunga mawar di tangannya yang dibungkus dengan plastik. Oh, sial. Aku benci bunga.
            “Ny. Edwina,” ujar Tn.Justin berjalan mendekati tempat tidur Ibuku. Mengapa ia bisa begitu perhatian dengan Ibuku? Bahkan dari tadi ia tidak melirik padaku. “Aku membawakan bunga untukmu,” lanjutnya. Apa? Aku melongo. Kupikir bunga itu untukku. Oh. Aku terlalu percaya diri, ini memalukan. Seluruh perhatian Ibuku telah direbut oleh Tn. Justin yang Ramah. Mozes yang ada di seberang Tn.Justin itu menatapnya dengan tatapan tak percaya. Oh yeah, tentu saja. Untuk apa sang pemilik rumah sakit ini sibuk-sibuk masuk ke dalam ruangan pasien yang ia tak kenal? Tapi sekarang aku tahu untuk apa ia datang ke ruangan ini. Ia membisiki Ibuku sesuatu yang membuat kepala Ibuku terangguk. Mengapa Ibuku tidak mengerti masalah apa yang sedang kulewati bersama dengan Tn. Justin? Mengapa ia mempermudah tujuan Tn. Justin untuk mendapatkanku? Dan mengapa aku harus diperhadapankan dengan setan yang bisa-bisanya merusak kehidupanku hanya dalam satu hari? Aku merengek.
            “Faith, biar kuantar kau pulang,” ujar Tn. Justin setelah membisiki Ibuku.
            “A-aku tidak pulang,” bisikku. “Aku menemani Ibuku malam ini,”
            “Hei! Bukankah aku tadi pagi kau sudah setuju aku yang menjaga Ibu malam ini?” Celetuk Mozes. Terima kasih Mozes atas dukunganmu. Aku menatap Mozes dengan senyum paksa. Kulirik Tn. Justin yang menahan senyumnya. Crap! Ia sedang menertawakanku. Mozes mulai menatap pada Tn. Justin, lalu mulutnya terbuka. “Kau boleh mengantarnya pulang. Tapi jangan sekali-sekali kau berani menyentuhnya atau pun menyakitinya,”
            “Aku bahkan tak sampai hati untuk menyakiti adik kecilmu, Tn. Edwin,” ujar Justin dengan keramahannya. Mozes menganggukan kepalanya satu kali. Terkadang memang Mozes menyebalkan, tapi yang aku tahu adalah Mozes bersumpah akan membunuh orang yang berani menyakitiku. Aku serius.
            “Pulanglah, Faith, aku tahu kau lelah,” suruh Mozes memaksaku. Aku menautkan kedua alisku dan memejamkan mata seakan-akan aku ingin menangis. Dan ya, aku memang ingin menangis karena Tn. Justin yang tidak berhenti menggangguku. Kuhitung satu sampai tiga lalu membuka mataku. Sebuah tangan dengan jar-jari yang panjang telah berada di hadapanku.
            “Faith,” ucap Tn. Justin menyebut namaku. Aku meraih tangannya dan bangkit dari sofa. “Aku harus pergi, Ny. Edwina. Terima kasih,”
            “Hati-hati di jalan Faith!” Seru Mozes ketika aku dan Justin telah berada di keluar, tangan Justin menarik pintu kamar Ibuku lalu menutupnya. Oh, sempurna.
            “Semua suster di rumah sakit ini mengira aku adalah kekasihmu. Dan itu adalah berita buruk,” ujarku kesal. Aku menarik paksa tanganku dari pegangan tangannya lalu berjalan lebih cepat darinya.
            “Kita tidak perlu buru-buru berjalan, Faith,” kembali ia menyebut namaku. “Mari kita tutupi malam ini dengan percakapan yang ringan. Aku tidak akan menyinggung permasalahan di restoran tadi.”

***

            Lagu country mulai terdengar di telingaku dan Justin. Mobilnya mulai memasuki jalan raya. Kembali ia hening seperti dua jam yang lalu. Ia menatap jalan penuh konsentrasi, bahkan ia terlihat seperti membawa mobil tanpa ada orang di sebelahnya. Aku bukan tipe wanita yang dapat diam jika ada seseorang yang kukenal –maksudku yang telah berbicara denganku sebelumnya. Tapi aku lebih memilih diam daripada aku harus banyak bicara dan ia akan mengomentariku lagi. Aku menyandarkan kepalaku lalu memejamkan mataku. Menikmati lagu country yang ia putar. Aku tidak tahu siapa yang menyanyikan lagu ini, tapi aku menyukainya. Kurasakan dua mata memerhatikanku serta seringai dari samping. Kurasa ia sedang memerhatikanku, namun aku berusaha untuk mengacuhkannya.
            “Apa sebelumnya kau pernah berhubungan badan?” Justin bertanya tiba-tiba. Dan topik pembicaraannya benar-benar tidak menarik. Bahkan ia seperti menyinggungku. Meski aku sedikit malu karena aku tidak pernah disentuh oleh lelaki sebelumnya. Mataku terbuka langsung menatap padanya.
            “Tidak,” bisikku. “Aku tidak ingin Ibuku mati cepat,” lanjutku diselingi sedikit humor. Ia mengangkat kedua alisnya lalu mengerutkannya. Ia sedang berpikir kurasa.
            “Tidak sekalipun?”
            “Jawaban apa yang kauharapkan?” Tanyaku malas. Ia menganggukan kepalanya, berusaha untuk menyembunyikan rasa keterkejutannya. “Aku tidak mempunyai waktu untuk berhubungan seks karena aku memiliki keluarga yang masih harus kuperhatikan,”
            “Kau memiliki paras yang cantik dan kau belum berhubungan seks sama sekali? Aneh,” komentarnya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menolehkan kepalanya lalu menatapku dengan tatapan tajam, lagi. Tatapan itu seperti senjata ampuhnya untuk membuat seluruh tubuhku melemas. Mengapa ia selalu melakukan itu? Apa ia berusaha untuk membuatku tidak dapat berjalan hanya karena ia menatapku? Kali ini ia sama sekali tidak menatap hanya pada wajahku, ia mulai melihat dari ujung kakiku dan kembali ke wajahku lalu kembali pada jalan raya.
            “Aneh,” komentarnya kembali.
            “Mengapa kau bertanya seperti itu? Kau ingin berhubungan badan denganku? Kau harus melangkahi mayat Ibuku sebelum mendapatkanku,”
            “Oh, aku tidak perlu melakukan itu,” Justin mengangguk-anggukan kepalanya dengan penuh keyakinan. Ia memasukkan bibir bawahnya ke dalam mulut, ia menggigitnya. Mengapa ia melakukan itu di hadapanku? Ia sedang menggodaku? Sialan.
            Mobilnya berhenti tepat di depan apartemenku. Aku tidak memberitahu alamat rumahku sebelumnya. Bagaimana bisa… oh, ya, identitas penanggungjawab. Tentu saja, ia telah mencaritahu tentangku. “Bastard,” gumamku dengan suara sekecil mungkin.
            “Apa yang kaukatakan?” Tanyanya yang membuatku terkejut. Aku baru saja ingin membuka pintu, tapi suaranya benar-benar mengejutkanku. Aku menoleh padanya.
            “Tidak ada,”
            “Ya, kau mengatakan sesuatu,” ucapnya. Lalu keningnya mengerut. “Tunggu sebentar, aku melihat sesuatu di wajahmu,” ujarnya. Keningku ikut mengerut.
            “Benarkah?”

            “Ya, kemarilah, biar kubersihkan,” suruhnya. Aku segera mendekatkan wajahku ke arahnya. Jarinya mulai menyentuh keningku, ia membersihkan sesuatu di sana. Mataku bertemu dengan matanya, tatapannya masih sama. Ia menatapku tajam. Namun mataku terpejam ketika bibirnya menyentuh bibirku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar