Minggu, 27 Oktober 2013

Right Mistakes Bab 1

CHAPTER ONE

FAITH

            Aku masih tidak menyangka dengan apa yang baru saja kulihat. Tn. Justin Drew Lexise adalah pemilik rumah sakit yang Ibuku tempati? Sudah berkali-kali aku masuk ke dalam lift itu dan aku baru menyadarinya. Maksudku, aku baru menyadari bahwa pemilik rumah sakit ini adalah orang yang bertemu denganku tadi pagi. Dan, mengapa Tn. Justin mengetahui tentang diriku? Aku tahu dia pemilik rumah sakit ini, tapi tidak mungkin ia mencari tahu seluruh identitas dari para pasien rumah sakitnya bukan? Dia bukan dokter, sudah jelas. Tiba-tiba saja sesuatu memukul otakku. Oh…tentu saja. Mengapa aku bisa melupakannya? Lennion sudah memberitahu padaku tentang Justin setelah aku mengantar Justin ke kamarnya. Ia memberitahuku bahwa Justin Lexise adalah pria tampan yang memiliki uang banyak. Ia mempunyai rumah sakit, galeri serta perusahaan terkenal di Amerika Serikat. Dan rumah sakit ini juga adalah miliknya.
            Oke, aku bisa menyimpulkan bahwa Tn.Justin sangatlah agresif. Sebelumnya, selama aku bekerja sebagai resepsionis di hotel, aku tidak pernah diminta untuk pergi mengantar tamu hotel ke kamarnya. Hanya pelayan yang membawa ke kamar mereka dengan kereta pengangkut barang. Lalu ia menyerangku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak masuk akal. Maksudku, aku dan dirinya baru saja bertemu, bagaimana bisa ia bertanya-tanya hal-hal yang aku sendiri tidak mengerti? Sepanjang percakapan tadi siang, tidak ada satu katapun yang terucap dari bibirnya atau bibirku yang dapat kumengerti. Tunggu… untuk apa aku memikirkan Tn. Justin yang memang tampan itu? Tidak, tidak, tidak. Ini adalah pemikiran yang salah. Aku tidak seharusnya memikirkan seseorang yang tidak berarti bagi hidupku.
            Kepalaku mendongak melihat kaca pintu kamar Ibuku untuk melihat Ibuku yang sedang diperiksa oleh dokter. Ibuku terserang stroke. Ya, sejak Ayahku meninggal, Ibu selalu merasa kesepian. Dulu saat Ayahku masih ada, semuanya tampak baik-baik saja. Ayah bekerja, aku bekerja, dan Mozes juga bekerja. Ayah bekerja sebagai tukang pos surat yang mengirim surat ke sana-sini. Ayah bekerja menjadi tukang pos surat sudah sangat lama. Ia menyukai pekerjaan itu. Sampai pada akhirnya, sebuah mobil menabrak sepeda motor yang ia kendarai. Ayahku meninggal karena kerusakan otak setelah kecelakaan itu. Ibuku mengalami depresi dan menangis berminggu-minggu. Ibu keluar-masuk rumah sakit sejak saat itu. Keadaan tubuhnya tidak menentu. Kadang ia sehat, kadang ia sakit. Sakit parah. Lalu stroke. Ibuku masih dapat berbicara, meski ucapannya tidak begitu jelas. Tangan kanannya tak dapat ia gerakan. Beberapa kali, aku dan Mozes membawanya kembali ke apartemen tapi keadaan Ibu malah semakin memburuk. Jadi aku memutuskan untuk membawa Ibu ke rumah sakit sehingga Ibuku akan mendapatkan perawatan yang intesif.
            Dokter keluar ketika aku selesai berpikir tentang Ibu. Dokter bernama Carlisle ini sangat ramah padaku. Ia masih muda. Umurnya menginjak 30 tahun dan ia belum menikah. Diam-diam aku mengaguminya karena ketelatenannya menjaga serta merawat Ibuku.
            “Apa yang bisa kukatakan, Faith? Semakin hari keadaan Ibumu semakin membaik. Aku harap ia dapat cepat keluar dari rumah sakit agar kau bisa memiliki waktu bersama yang panjang bersamanya. Kau bisa melihatnya sekarang,” dokter Carlisle menepuk-tepuk pundakku dan memberikan senyum manis. Matanya berwarna biru, rambutnya berwarna cokelat serta panjang, ia memiliki senyuman termanis yang pernah kulihat sebelumnya.
            “Terima kasih, dr. Carlisle, kau sangat baik,”
            “Sudah pekerjaanku untuk memastikan Ibumu baik-baik saja.” Lihat? Dia dokter yang bertanggungjawab. Aku menyukainya, tidak ada yang bisa membantah itu. Ibuku juga tahu tentang aku menyukai dokter Carlisle. Ibu hanya memberikan senyum saat itu.
            Tanpa membuang-buang waktu, dr. Carlisle meninggalkanku di tempat. Akhirnya aku membuka pintu kamar rawat Ibuku. Seorang suster masih berada di dalam sambil menulis sesuatu di sebuah kertas di atas papannya. Suster Carla. Ya, dia suster yang menangani Ibuku. Ia juga salah seorang yang selalu memberikan senyum manis dan ia ramah. Jika aku dan Mozes tidak berada di rumah sakit, ia yang akan menjaga Ibuku. Suster Carla masih lajang. Well, jika aku boleh beri saran padanya, aku akan menyarankannya untuk pergi keluar bersama dengan dr. Carlisle karena mereka berdua benar-benar cocok. Tubuh suster Carla sangatlah seksi, wajahnya cantik, dan yang membuatnya semakin cantik adalah mata birunya yang alami itu. Dan, dr.Carlisle memiliki postur tubuh yang tinggi dan yang lebih penting adalah ia menawan! Aku menepis segala pikiranku saat tanganku sudah menutup pintu kamar Ibuku.
            “Selamat siang, suster Carla,”
            “Selama siang, Faith, bagaimana hari kerjamu?” Nah, suster Carla juga orang yang sangat perhatian padaku. Bisa dibilang ia adalah kakakku dari ibu yang lain. Aku mengedikkan bahuku, memberitahu padanya tidak ada yang spesial. Atau mungkin, ada.
            “Semuanya berjalan baik-baik saja. Bagaimana dengan Ibuku?” Aku mengganti topik pembicaraan. Suster Carla masih berada di sebelah ranjang Ibuku, ia menatapku yang sudah terduduk di atas sofa –ibuku sudah terlelap.
            “Keadaannya sangat baik. Hari ini ia terus tersenyum, entah mengapa,” jawab suster Carla mengelus-elus tangan Ibuku yang berada dikedua sisi tubuhnya. Wajah Ibuku seperti anak kecil ketika ia sedang tertidur. Sangat damai. Ia tidak pernah setenang ini. Aku harap ia bisa pulang secepat mungkin dari rumah sakit. Aku tahu, Ibuku sudah bosan tinggal di rumah sakit untuk beberapa minggu yang hampir menginjak dua bulan. Aku menyandarkan tubuhku ke sandaran sofa, menengadahkan kepalaku ke atas dengan mulut yang terbuka. Mataku mulai terpejam.
            “Hah,” desahku. “Aku sangat lelah. Hari ini aku bertemu dengan orang aneh,”
            “Siapa? Jika orang aneh itu adalah pria, bisa ditebak, pasti dia menggodamu,”
            “Aku tidak tahu, dia pria, memang. Tapi aku tidak tahu apakah ia memang menggodaku atau tidak. Dia akan menginap di hotel selama tiga hari. Kau tahu Justin Drew Lexise?”
            “Ya, dia pemilik rumah sakit ini,” balas suster Carla cepat-cepat. Beberapa detik kemudian, nafasnya tercekat begitu saja lalu ia memberikan tatapan terkejut padaku. “Jangan bilang…”
            Aku menganggukkan kepalaku. “Ya, dia yang akan menginap di hotelku selama beberapa hari. Aku cukup takut ketika aku berdiri dekat dengannya. Terlebih lagi ketika aku berada dalam satu lift dengannya. Ia selalu menahan senyumnya namun ia tidak menundukkan kepalanya. Ia seperti menguasai keahliannya. Dan ia membawaku ke kamarnya, mengajakku untuk meminum anggur,”
            “Kau tidak berhubungan badan dengannya bukan?” Tanya Carla yang membuat mataku terbuka. Kepalaku terangkat, mataku segera menusuknya.
            “Aku tidak segila itu!” Seruku kesal, tak terima. “Kau ingin Ibuku cepat mati karena aku sudah tidak perawan sebelum aku menikah? Kau sudah tahu Ibuku adalah seorang rohaniawan,”
            “Maaf, aku hanya …kau tahulah, dia pria yang tampan. Seluruh suster di rumah sakit ini mengaguminya. Kau tahu fotonya yang terpajang di dalam lift itu? Semua suster menciuminya,” cerita suster Carla. Aku mengangkat salah satu alisku. “Baiklah, aku memang berlebihan. Tapi memang benar, dia pria tampan yang kaya. Semua wanita pasti ingin bersama dengannya,”
            “Hmm, yeah. Bahkan temanku, Lennion, sudah terlena akibat ketampanan dewa Yunani itu. Tapi tidak denganku! Mengapa harus ada orang-orang yang menyukainya? Asal kau tahu saja, pada awalnya ia memang ramah, tapi kau tahu apa yang ia katakan setelah beberapa saat aku berada di kamarnya? Ia mengusirku! Maksudku, cara penyampaiannya. Jika ia memang pemilik dari banyak perusahaan, rumah sakit serta galeri, tentu ia bisa bersikap ramah bukan? Aku hanya… argh! Jika aku mengingat cara dia mengusirku itu benar-benar membuatku kesal,”
            “Mungkin itu karena kau dianggap sebagai gadis yang mengesalkan baginya juga. Dia orang yang selalu membalas perlakuan yang sama terhadap orang yang memperlakukannya. Kau mengerti maksudku? Mungkin memang pada awalnya ia bersikap ramah padamu agar kau bisa memenuhi keinginannya, maksudku, kau juga bersikap ramah dengannya juga. Tapi jika kau menjalani percakapan yang membuatnya kesal, itu jika kau menyadarinya, dia akan membuatmu kesal juga,”
            “Jika sifatnya seperti itu, berarti dia tidak memiliki sifat yang dewasa,”
            “Atau dia memang pemegang kendali,” ceplos suster Carla tak dapat kumengerti. Pemegang kendali? Tidak, aku tidak sama sekali mengerti. Well, mungkin ia memang pemegang kendali percakapan, tapi …apa yang suster Carla katakan tidak dapat masuk ke dalam akalku. Apa dia sudah pernah bertemu dengan pemilik rumah sakit ini? Bukan bermaksud menyinggung, tapi dia hanya seorang suster –yang gayanya bukan seperti suster—di rumah sakit ini. Mungkin hanya dokter atau atasan-atasannya yang lain dapat bertemu dengan sang pemilik rumah sakit. Ia tertawa ketika ia sadar bahwa aku tidak mengerti apa yang ia katakan, ia tertawa. Maksudnya? Aku menaikkan salah satu alisku.
            “Kau akan mengerti jika kau sudah masuk ke dalam hidupnya,” ceracaunya sambil berjalan melewati sofa yang kududuki lalu membuka pintu kamar Ibuku. Sebelum ia benar-benar keluar dari kamar Ibuku, ia menghentikan langkahannya. “Hei, biar kuberitahu mengapa ia memperlakukanmu seperti itu,”
            “Apa?”
            “Dia tertarik padamu. Jika ia sudah tertarik pada seorang gadis, tidak akan ada yang bisa menghentikannya. Dia akan melakukan apa pun. Jadi, kau beruntung telah membuatnya tertarik padamu untuk yang pertemuan pertama,” jelas suster Carla, lalu ia memberikan senyum menggoda padaku. “Jaga celanamu tetap di pinggang!” Serunya tertawa terbahak-bahak sambil menutup pintu kamar Ibuku. Aku ingin sekali berteriak padanya dan mengatakan kata kotor, tapi Ibuku sedang tidur. Aku hanya dapat menahan tawaku. Jujur saja, Carla tipe wanita yang dapat menularkan tawanya pada siapa pun. Selera humornya sangat tinggi. Ibuku menyukainya sama sepertiku. Ia melakukan apa pun yang dr. Carlisle katakan sampai-sampai aku bingung mengapa ia bisa menjadi wanita yang begitu penurut. Atau mungkin ia sadar, pekerjaannya adalah menuruti perkataan sang dokter.
            Dan, apa? Justin Lexise menyukaiku? Yang benar saja! Ralat, ia tertarik padaku. Aku yakin dan percaya suster Carla baru saja meminum anggur yang membuatnya sedikit mabuk—makanya ia bilang bahwa sepanjang hari ini Ibuku tersenyum. Namun, satu pertanyaan terus menghinggap di otakku. Kata hatiku berkata setelah Tn. Justin mengedipkan matanya padaku: Kau yang terpilih.
            Tubuhku bergetar begitu saja. Kulepas sepatu tinggiku dan mengangkat kedua kakiku lalu melipatnya hingga ujung lututku menyentuh dadaku. Kepeluk keduanya dengan erat dengan dagu yang bertumpu di atasnya. Tiba-tiba aku merasa takut mengingat tatapannya serta senyum yang penuh misteri. Tidak, aku tidak boleh berprasangka buruk padanya. Mungkin memang dia selalu bersikap agresif pada setiap orang. Namun pertanyaan yang benar-benar tak pernah lepas dari otakku adalah dari mana ia mengenali wajahku dan namaku? Bagaimana?

***

            Jantungku berdegup kencang ketika aku ingin melewati daerah parkiran mobil. Aku baru saja benar-benar pulang dari hotel setelah tadi siang aku kembali ke hotel dan malam ini, jam 7 aku baru saja pulang dari hotel. Namun ada seseorang yang menghambat perjalananku untuk keluar dari halaman hotel ini. Ya, dia. Tn. Justin. Ia sedang berada di samping mobilnya dengan kedua alis yang bertaut, well, dia sedang menelpon. Ponselnya menempel dengan telinganya, tatapan matanya pada tanah yang ia injak seolah-olah ia melihat sesuatu yang sangat ia benci. Oh, baiklah, dari kejauhan ia memang dewa Yunani murni. Dia sangat tampan. Sialnya, aku harus melewatinya untuk mencapai pintu luar. Maksudku, aku harus belok ke kanan agar kakiku tidak lecet hanya karena aku memilih jalur ke kiri. Aku hanya dapat berdoa dalam hati saat aku mengambil langkah keberanian untuk melewatinya.
            Angin malam menerpa tubuhku. Aku tidak membawa jaket. Seharusnya aku tahu, sekarang musim dingin. Langit-langit di atas tidak dihiasi oleh bintang yang biasanya menemani mereka. Oh, mungkin itulah sebabnya mengapa malam ini lebih dingin dibanding malam-malam sebelumnya. Oke, itu adalah teori bodoh. Bintang tidak mungkin mempengaruhi cuaca bukan? Aku tidak tahu. Kepalaku menunduk ketika aku melewati mobil hitam pendek –aku tidak tahu jenis mobil macam apa itu—serta pemiliknya yang sedang merutuki orang yang diajaknya bicara. Saat aku melewatinya, aku bisa merasakan ada dua mata yang memerhatikan sepanjang aku berjalan, lalu kudengar dia berteriak. Dia berteriak.
            “Faith!” Teriaknya sehingga aku berhenti melangkah. Kuhitung satu sampai tiga untuk mengembalikan sifat ramahku yang sebenarnya kusimpan di hotel untuk besok. Aku berbalik. Tanpa kuketahui, Tn. Justin telah berada di belakangku. Aku pura-pura tidak tahu kalau ia yang memanggilku.
            “Tn. Justin? Ada yang bisa kubantu?” Tanyaku ramah. Ya, dia memang pria yang agresif. Tangannya sekarang telah mencengkram lenganku. “Tn. Justin? Kau mencengkram tanganku,” gumamku kesakitan akibat cengkramannya yang kencang. Ia sedang melonggarkan cengkramannya.
            “Ikut aku,”
            “Tapi aku tidak bisa, Tn. Justin. Aku harus pergi ke rumah sakit untuk bertemu dengan Ibuku,” ujarku sesegera mungkin. Tidak mungkin! Maksudku, tidak mungkin aku ikut dengannya. Ia baru saja mencengkramku tanpa alasan! Dia seperti orang yang sudah lama mengenalku, tapi kenyatannya kita baru saja bertemu tadi siang. Tatapan matanya padaku sangatlah tidak ramah. Tiba-tiba aura yang tadi siang kurasakan sekarang dapat kurasakan kembali. Aura jahat. Aura kotor. Entahlah, darahku berdesir ketika ia memberikan tatapan tajam itu padaku.
            “Ikut aku,” perintahnya tak ingin ditolak.
            “Aku bilang aku tidak bisa ikut denganmu, Tn. Justin!” Seruku berusaha untuk menarik lenganku dari cengkraman tangannya dengan sekuat tenaga. Tapi tangannya mencengkramnya semakin erat. “Aku tidak akan memenuhi perintahmu karena aku sudah berada di luar jam kerjaku. Kau tidak berhak memerintahku untuk melakukan apa pun yang kauinginkan. Kau tidak bisa memaksaku,”
            “Faith, ikut aku,”
            “Aku bilang, aku tidak bisa, Tn. Justin!” Kali ini aku berteriak. “Aku harus bertemu dengan Ibuku. Ibuku sedang berada dalam keadaan kurang sehat dan ia membutuhkanku. Sekarang, lepaskan aku!”
            “Kalau begitu, ikut aku, Faith,” ujarnya bersikeras. “Ke rumah sakitku,” lanjutnya dengan nada penuh kemenangan. Di sisi lain, aku bisa mendengar arti lain dari apa yang ia ucapkan. Ke rumah sakitku, ia seperti berkata: ‘Kau sudah tahu aku, bukan?’.  Tenagaku berangsur-angsur hilang. Dan ia sudah tahu jawaban apa yang akan kukatakan padanya.

***

            Berada di dalam mobil yang sama dengan Justin sangatlah aneh bagiku. Mobilnya melaju menuju rumah sakitnya diiringi lagu Justin Timberlake. Ia sangat tenang. Bibirnya kaku. Dan matanya dari tadi tak lepas dari jalanan yang ada di hadapannya. Ada sesuatu tentangnya. Mengingat bahwa aku yang terpilih membuat seluruh bulu romaku berdiri. Terpilih sebagai apa? Dan untuk siapa?
            “Dari mana kau mengetahuiku?” Tanyaku membuka percakapan. Kali ini kepala Justin menoleh padaku, namun ia tidak melihat ke sekujur tubuhku. Ia tidak seperti pria tua yang jika menatapku tidak hanya di wajahku saja. Tapi ke seluruh tubuhku. Matanya menusuk tajam hingga menyentuh hatiku. Oh. Aku mendesah dalam hati. Sedetik kemudian ia menatap lurus jalan.
            “Aku pemilik rumah sakit. Ibumu adalah salah satu pasien yang mempunyai tagihan rumah sakit yang cukup besar. Ini memang tidak penting, aku hanya penasaran siapa yang membiayainya? Anaknya. Anaknya hanyalah seorang resepsionis hotel. Tentu, gaji yang kaudapat belum tentu dapat menutupi tagihan rumah sakit bukan?
            “Aku menabung,” balasku menunduk kepala. “Kau pemilik rumah sakit dan bukankah ada orang lain yang dapat menangani masalah ini?”
            “Aku mau aku yang turun tangan. Itu bukan urusanmu kapan aku menangani rumah sakitku,”
            “Maaf,” bisikku. Nah, dan mengapa aku harus berada di dalam mobil yang sama dengan pemilik rumah sakit yang Ibuku tempati? Tidak masuk akal. Ini hampir bisa dikatakan mustahil. Aku hanyalah anak dari pasien di rumah sakitnya, dan ia pemilik rumah sakit, mengapa ini bisa terjadi? Ini konyol. Aku tidak dapat menampung seluruh perasaan ini. Seluruh prasangka tentangnya. Ini terlalu berlebihan. Aku ingin bernafas. “Jadi kau mencaritahu tentangku?”
            “Secara teknis, ya,” ucap Justin yang menoleh padaku, meski aku tidak balik menoleh padanya. “Rumah sakitku memiliki data lengkap seluruh pasien termasuk penanggungjawabnya,”
            “Oh,” aku tertegun. “Apa kau bisa mengganti lagunya?” Tanyaku mendongan dan aku tidak begitu tertarik dengan lagu Justin Timberlake yang satu ini. Suite and Tie. Musik lagu ini seperti sedang menggodaku dan Justin untuk berada di atas ranjang. Bibir Justin terlipat ke dalam, kurasa ia sedang menahan tawanya.
            “Lagu apa yang kau mau?”
            “Halo dari Beyonce. Apa kau punya?”
            “Tentu,” balasnya sesegera mungkin mencari lagu Beyonce dari playlist-nya.Ia menyentuh layar radionya, jarinya dengan lincah mencari lagu Beyonce. Lalu ia mendapatkannya. Detik setelahnya, lagu itu mengalun. “Ada apa dengan Beyonce?”
            “Oh, dia sang diva. Aku hanya menyukainya, suara sopran dan altonya sulit dicapai. Jika ia mengambil suara altonya, ia dapat mengambil nada terendah dari yang wanita miliki. Suara sopran yang ia miliki tidak kalah dengan Mariah Carey. Nafasnya sangat panjang, dia termasuk penyanyi yang kusukai,” jelasku yang membuat keningnya mengerut selama beberapa detik.
            “Ternyata kau banyak bicara,”
            “Aku memang banyak bicara, tapi tidak semua yang kubicarakan adalah seluruh apa yang kupikirkan,” jelasku tersinggung. Aku mendengus, ia malah terkekeh. Kembali keadaan mobil ini hening sepanjang perjalan hingga mobilnya mulai memasuki parkiran rumah sakitnya. Tidak terasa kami sudah sampai. Aku harus berterima kasih.

***

            “Kau malu karena apa?” Tanya Justin ketika kami masuk ke dalam lift. Bagaimana aku tidak malu? Sepanjang kami berjalan menuju lift semua orang menatapi. Bahkan para suster tiba-tiba saja menatapku dengan tatapan sinis. Apa yang sebenarnya mereka inginkan? Aku mendesah.
            “Tatapan-tatapan itu membuatku cukup risih,”
            “Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan. Mereka tidak mungkin berani menghinamu karena aku berada di sebelahku,”
            “Ya, tidak di depanku,” ujarku memutar bola mataku. Sebenarnya, aku sudah memberitahu Justin untuk tidak ikut pergi ke atas kamar Ibuku. Tapi ia bersikeras ingin bertemu dengan Ibuku dan melihat keadaannya. Katanya, ia dapat membantuku. Aku tidak dapat menolak bantuannya, ia memaksa. Atau bisa kukatakan, aku tidak ingin melihat tatapan di parkiran hotel tadi. Dimana matanya menatapaku dengan tatapan tajam dan aura jahatnya kembali terasa di sekujur tubuhku. Kami melihat ke atas lift untuk melihat kami telah berada di lantai berapa. Satu lantai lagi.
            Suster Carla pasti akan memasukkan tangannya ke dalam mulutnya jika ia mendapatiku sedang berjalan bersama dengan pemilik rumah sakitnya. Ia pasti tentu berada di tempatnya. Di setiap lantai tentunya suster-suster bertengger di dekat lift, di meja kerjanya yang ada di luar itu. Dan tentunya suster Clara akan melihat ini. Ia pulang jam 10 malam. Ini masih jam 7.30 malam.
            Pintu lift terbuka setelah dentingan lift terdengar. Tidak ada angin ataupun hujan, tangan Justin memegang tanganku dan berjalan terburu-buru keluar dari lift. Ia memegang tanganku. Tangannya dingin. Saat kami melewati meja kerja para suster, suster-suster itu menyapa Justin dengan penuh keramahan. Justin hanya memberikan senyum dan mengangguk, ia memang sangat ramah. Sial. Ia membawaku ke kamar Ibuku. Oh, ternyata dia sudah tahu dimana kamar Ibuku. Kami berhenti di depan pintu kamar Ibuku lalu ia memintaku untuk membuka pintu kamar Ibuku.
            “…akan datang,” suster Carla selesai berujar ketika aku masuk ke dalam bersama dnegan Justin. Aku masuk bersama dengan Justin. Sudah kuduga! Pasti jantugnnya sekarang berada di tenggorokannya. Suster Carla menatapku dengan tatapan tidak percaya lalu dengan segera ia melangakah mendekati kami.
            “Tn. Lexise,” sapanya. Ia keluar dari kamar Ibuku namun aku tidak melepaskan tatapanku padanya. Saat ia ingin menutup pintunya, ia memberikan acungan jempol padaku. Apa? Salah satu alisku terangkat. Apa maksudnya?
            “Ini Ibuku,” ujarku berjalan menuju tempat tidur Ibuku. Ibuku belum tertidur. “Di sana adalah kakakku, Mozes,” ucapku sambil menunjuk ke arah kakakku yang sedang terlelap di atas sofa dengan kaki yang berselonjor. “Ibu, ini adalah Tn. Justin Lexise. Dia adalah pemilik rumah sakit ini,”
            “Ny. Edwina,” sapa Justin dengan ramah. “Aku ingin melihat keadaanmu dan sekaligus aku ingin meminta izin padamu,” ujar Justin yang membuat keningku mengerut. Oh? Ibuku yang terbaring dengan bibir yang kaku tak sepenuh dapat berbicara mengangguk-anggukan kepalanya. Ia tertarik.
            “Apa itu?” Tanyanya tak jelas namun masih dapat dimengerti.
            “Apa aku boleh meminjam anakmu untuk dua jam ke depan? Aku ingin makan malam bersama dengannya.” Ibuku mengangguk dengan antusias. Apa? Aku tak percaya. Oh Ibu! Nafasku tercekat. Justin menoleh padaku dan kembali tersenyum misterius.

            Sial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar