CHAPTER ONE
FAITH
Aku
masih tidak menyangka dengan apa yang baru saja kulihat. Tn. Justin Drew Lexise
adalah pemilik rumah sakit yang Ibuku tempati? Sudah berkali-kali aku masuk ke
dalam lift itu dan aku baru menyadarinya. Maksudku, aku baru menyadari bahwa
pemilik rumah sakit ini adalah orang yang bertemu denganku tadi pagi. Dan,
mengapa Tn. Justin mengetahui tentang diriku? Aku tahu dia pemilik rumah sakit
ini, tapi tidak mungkin ia mencari tahu seluruh identitas dari para pasien
rumah sakitnya bukan? Dia bukan dokter, sudah jelas. Tiba-tiba saja sesuatu
memukul otakku. Oh…tentu saja.
Mengapa aku bisa melupakannya? Lennion sudah memberitahu padaku tentang Justin
setelah aku mengantar Justin ke kamarnya. Ia memberitahuku bahwa Justin Lexise
adalah pria tampan yang memiliki uang banyak. Ia mempunyai rumah sakit, galeri
serta perusahaan terkenal di Amerika Serikat. Dan rumah sakit ini juga adalah
miliknya.
Oke,
aku bisa menyimpulkan bahwa Tn.Justin sangatlah agresif. Sebelumnya, selama aku
bekerja sebagai resepsionis di hotel, aku tidak pernah diminta untuk pergi
mengantar tamu hotel ke kamarnya. Hanya pelayan yang membawa ke kamar mereka
dengan kereta pengangkut barang. Lalu ia menyerangku dengan
pertanyaan-pertanyaan yang tidak masuk akal. Maksudku, aku dan dirinya baru
saja bertemu, bagaimana bisa ia bertanya-tanya hal-hal yang aku sendiri tidak
mengerti? Sepanjang percakapan tadi siang, tidak ada satu katapun yang terucap
dari bibirnya atau bibirku yang dapat kumengerti. Tunggu… untuk apa aku
memikirkan Tn. Justin yang memang tampan itu? Tidak, tidak, tidak. Ini adalah
pemikiran yang salah. Aku tidak seharusnya memikirkan seseorang yang tidak
berarti bagi hidupku.
Kepalaku
mendongak melihat kaca pintu kamar Ibuku untuk melihat Ibuku yang sedang
diperiksa oleh dokter. Ibuku terserang stroke. Ya, sejak Ayahku meninggal, Ibu
selalu merasa kesepian. Dulu saat Ayahku masih ada, semuanya tampak baik-baik
saja. Ayah bekerja, aku bekerja, dan Mozes juga bekerja. Ayah bekerja sebagai
tukang pos surat yang mengirim surat ke sana-sini. Ayah bekerja menjadi tukang
pos surat sudah sangat lama. Ia menyukai pekerjaan itu. Sampai pada akhirnya,
sebuah mobil menabrak sepeda motor yang ia kendarai. Ayahku meninggal karena
kerusakan otak setelah kecelakaan itu. Ibuku mengalami depresi dan menangis
berminggu-minggu. Ibu keluar-masuk rumah sakit sejak saat itu. Keadaan tubuhnya
tidak menentu. Kadang ia sehat, kadang ia sakit. Sakit parah. Lalu stroke.
Ibuku masih dapat berbicara, meski ucapannya tidak begitu jelas. Tangan
kanannya tak dapat ia gerakan. Beberapa kali, aku dan Mozes membawanya kembali
ke apartemen tapi keadaan Ibu malah semakin memburuk. Jadi aku memutuskan untuk
membawa Ibu ke rumah sakit sehingga Ibuku akan mendapatkan perawatan yang
intesif.
Dokter
keluar ketika aku selesai berpikir tentang Ibu. Dokter bernama Carlisle ini
sangat ramah padaku. Ia masih muda. Umurnya menginjak 30 tahun dan ia belum
menikah. Diam-diam aku mengaguminya karena ketelatenannya menjaga serta merawat
Ibuku.
“Apa
yang bisa kukatakan, Faith? Semakin hari keadaan Ibumu semakin membaik. Aku
harap ia dapat cepat keluar dari rumah sakit agar kau bisa memiliki waktu
bersama yang panjang bersamanya. Kau bisa melihatnya sekarang,” dokter Carlisle
menepuk-tepuk pundakku dan memberikan senyum manis. Matanya berwarna biru,
rambutnya berwarna cokelat serta panjang, ia memiliki senyuman termanis yang
pernah kulihat sebelumnya.
“Terima
kasih, dr. Carlisle, kau sangat baik,”
“Sudah
pekerjaanku untuk memastikan Ibumu baik-baik saja.” Lihat? Dia dokter yang
bertanggungjawab. Aku menyukainya, tidak ada yang bisa membantah itu. Ibuku
juga tahu tentang aku menyukai dokter Carlisle. Ibu hanya memberikan senyum
saat itu.
Tanpa
membuang-buang waktu, dr. Carlisle meninggalkanku di tempat. Akhirnya aku
membuka pintu kamar rawat Ibuku. Seorang suster masih berada di dalam sambil
menulis sesuatu di sebuah kertas di atas papannya. Suster Carla. Ya, dia suster
yang menangani Ibuku. Ia juga salah seorang yang selalu memberikan senyum manis
dan ia ramah. Jika aku dan Mozes tidak berada di rumah sakit, ia yang akan
menjaga Ibuku. Suster Carla masih lajang. Well, jika aku boleh beri saran
padanya, aku akan menyarankannya untuk pergi keluar bersama dengan dr. Carlisle
karena mereka berdua benar-benar cocok. Tubuh suster Carla sangatlah seksi,
wajahnya cantik, dan yang membuatnya semakin cantik adalah mata birunya yang
alami itu. Dan, dr.Carlisle memiliki postur tubuh yang tinggi dan yang lebih
penting adalah ia menawan! Aku menepis segala pikiranku saat tanganku sudah
menutup pintu kamar Ibuku.
“Selamat
siang, suster Carla,”
“Selama
siang, Faith, bagaimana hari kerjamu?” Nah, suster Carla juga orang yang sangat
perhatian padaku. Bisa dibilang ia adalah kakakku dari ibu yang lain. Aku
mengedikkan bahuku, memberitahu padanya tidak ada yang spesial. Atau mungkin, ada.
“Semuanya
berjalan baik-baik saja. Bagaimana dengan Ibuku?” Aku mengganti topik
pembicaraan. Suster Carla masih berada di sebelah ranjang Ibuku, ia menatapku
yang sudah terduduk di atas sofa –ibuku sudah terlelap.
“Keadaannya
sangat baik. Hari ini ia terus tersenyum, entah mengapa,” jawab suster Carla
mengelus-elus tangan Ibuku yang berada dikedua sisi tubuhnya. Wajah Ibuku
seperti anak kecil ketika ia sedang tertidur. Sangat damai. Ia tidak pernah
setenang ini. Aku harap ia bisa pulang secepat mungkin dari rumah sakit. Aku
tahu, Ibuku sudah bosan tinggal di rumah sakit untuk beberapa minggu yang
hampir menginjak dua bulan. Aku menyandarkan tubuhku ke sandaran sofa,
menengadahkan kepalaku ke atas dengan mulut yang terbuka. Mataku mulai
terpejam.
“Hah,”
desahku. “Aku sangat lelah. Hari ini aku bertemu dengan orang aneh,”
“Siapa?
Jika orang aneh itu adalah pria, bisa ditebak, pasti dia menggodamu,”
“Aku
tidak tahu, dia pria, memang. Tapi aku tidak tahu apakah ia memang menggodaku
atau tidak. Dia akan menginap di hotel selama tiga hari. Kau tahu Justin Drew
Lexise?”
“Ya,
dia pemilik rumah sakit ini,” balas suster Carla cepat-cepat. Beberapa detik
kemudian, nafasnya tercekat begitu saja lalu ia memberikan tatapan terkejut
padaku. “Jangan bilang…”
Aku
menganggukkan kepalaku. “Ya, dia yang akan menginap di hotelku selama beberapa
hari. Aku cukup takut ketika aku berdiri dekat dengannya. Terlebih lagi ketika
aku berada dalam satu lift dengannya. Ia selalu menahan senyumnya namun ia
tidak menundukkan kepalanya. Ia seperti menguasai keahliannya. Dan ia membawaku ke kamarnya, mengajakku untuk meminum
anggur,”
“Kau
tidak berhubungan badan dengannya bukan?” Tanya Carla yang membuat mataku
terbuka. Kepalaku terangkat, mataku segera menusuknya.
“Aku
tidak segila itu!” Seruku kesal, tak terima. “Kau ingin Ibuku cepat mati karena
aku sudah tidak perawan sebelum aku menikah? Kau sudah tahu Ibuku adalah
seorang rohaniawan,”
“Maaf,
aku hanya …kau tahulah, dia pria yang tampan. Seluruh suster di rumah sakit ini
mengaguminya. Kau tahu fotonya yang terpajang di dalam lift itu? Semua suster
menciuminya,” cerita suster Carla. Aku mengangkat salah satu alisku. “Baiklah,
aku memang berlebihan. Tapi memang benar, dia pria tampan yang kaya. Semua
wanita pasti ingin bersama dengannya,”
“Hmm,
yeah. Bahkan temanku, Lennion, sudah terlena akibat ketampanan dewa Yunani itu.
Tapi tidak denganku! Mengapa harus ada orang-orang
yang menyukainya? Asal kau tahu saja, pada awalnya ia memang ramah, tapi kau
tahu apa yang ia katakan setelah beberapa saat aku berada di kamarnya? Ia
mengusirku! Maksudku, cara penyampaiannya. Jika ia memang pemilik dari banyak
perusahaan, rumah sakit serta galeri, tentu ia bisa bersikap ramah bukan? Aku
hanya… argh! Jika aku mengingat cara dia mengusirku itu benar-benar membuatku
kesal,”
“Mungkin
itu karena kau dianggap sebagai gadis yang mengesalkan baginya juga. Dia orang
yang selalu membalas perlakuan yang sama terhadap orang yang memperlakukannya.
Kau mengerti maksudku? Mungkin memang pada awalnya ia bersikap ramah padamu
agar kau bisa memenuhi keinginannya, maksudku, kau juga bersikap ramah
dengannya juga. Tapi jika kau menjalani percakapan yang membuatnya kesal, itu
jika kau menyadarinya, dia akan membuatmu kesal juga,”
“Jika
sifatnya seperti itu, berarti dia tidak memiliki sifat yang dewasa,”
“Atau
dia memang pemegang kendali,” ceplos suster Carla tak dapat kumengerti. Pemegang kendali? Tidak, aku tidak sama
sekali mengerti. Well, mungkin ia memang pemegang kendali percakapan, tapi …apa
yang suster Carla katakan tidak dapat masuk ke dalam akalku. Apa dia sudah
pernah bertemu dengan pemilik rumah sakit ini? Bukan bermaksud menyinggung,
tapi dia hanya seorang suster –yang gayanya bukan seperti suster—di rumah sakit
ini. Mungkin hanya dokter atau atasan-atasannya yang lain dapat bertemu dengan
sang pemilik rumah sakit. Ia tertawa ketika ia sadar bahwa aku tidak mengerti
apa yang ia katakan, ia tertawa. Maksudnya? Aku menaikkan salah satu alisku.
“Kau
akan mengerti jika kau sudah masuk ke dalam hidupnya,” ceracaunya sambil
berjalan melewati sofa yang kududuki lalu membuka pintu kamar Ibuku. Sebelum ia
benar-benar keluar dari kamar Ibuku, ia menghentikan langkahannya. “Hei, biar
kuberitahu mengapa ia memperlakukanmu seperti itu,”
“Apa?”
“Dia
tertarik padamu. Jika ia sudah tertarik pada seorang gadis, tidak akan ada yang
bisa menghentikannya. Dia akan melakukan apa pun. Jadi, kau beruntung telah
membuatnya tertarik padamu untuk yang pertemuan pertama,” jelas suster Carla,
lalu ia memberikan senyum menggoda padaku. “Jaga celanamu tetap di pinggang!”
Serunya tertawa terbahak-bahak sambil menutup pintu kamar Ibuku. Aku ingin
sekali berteriak padanya dan mengatakan kata kotor, tapi Ibuku sedang tidur.
Aku hanya dapat menahan tawaku. Jujur saja, Carla tipe wanita yang dapat
menularkan tawanya pada siapa pun. Selera humornya sangat tinggi. Ibuku
menyukainya sama sepertiku. Ia melakukan apa pun yang dr. Carlisle katakan
sampai-sampai aku bingung mengapa ia bisa menjadi wanita yang begitu penurut.
Atau mungkin ia sadar, pekerjaannya adalah menuruti perkataan sang dokter.
Dan,
apa? Justin Lexise menyukaiku? Yang benar saja! Ralat, ia tertarik padaku. Aku yakin dan percaya suster Carla baru saja
meminum anggur yang membuatnya sedikit mabuk—makanya ia bilang bahwa sepanjang
hari ini Ibuku tersenyum. Namun, satu pertanyaan terus menghinggap di otakku.
Kata hatiku berkata setelah Tn. Justin mengedipkan matanya padaku: Kau yang terpilih.
Tubuhku
bergetar begitu saja. Kulepas sepatu tinggiku dan mengangkat kedua kakiku lalu
melipatnya hingga ujung lututku menyentuh dadaku. Kepeluk keduanya dengan erat
dengan dagu yang bertumpu di atasnya. Tiba-tiba aku merasa takut mengingat
tatapannya serta senyum yang penuh misteri. Tidak, aku tidak boleh berprasangka
buruk padanya. Mungkin memang dia selalu bersikap agresif pada setiap orang.
Namun pertanyaan yang benar-benar tak pernah lepas dari otakku adalah dari mana
ia mengenali wajahku dan namaku? Bagaimana?
***
Jantungku
berdegup kencang ketika aku ingin melewati daerah parkiran mobil. Aku baru saja
benar-benar pulang dari hotel setelah tadi siang aku kembali ke hotel dan malam
ini, jam 7 aku baru saja pulang dari hotel. Namun ada seseorang yang menghambat
perjalananku untuk keluar dari halaman hotel ini. Ya, dia. Tn. Justin. Ia sedang berada di samping mobilnya dengan kedua
alis yang bertaut, well, dia sedang menelpon. Ponselnya menempel dengan
telinganya, tatapan matanya pada tanah yang ia injak seolah-olah ia melihat
sesuatu yang sangat ia benci. Oh, baiklah, dari kejauhan ia memang dewa Yunani
murni. Dia sangat tampan. Sialnya, aku harus melewatinya untuk mencapai pintu
luar. Maksudku, aku harus belok ke kanan agar kakiku tidak lecet hanya karena
aku memilih jalur ke kiri. Aku hanya dapat berdoa dalam hati saat aku mengambil
langkah keberanian untuk melewatinya.
Angin
malam menerpa tubuhku. Aku tidak membawa jaket. Seharusnya aku tahu, sekarang
musim dingin. Langit-langit di atas tidak dihiasi oleh bintang yang biasanya
menemani mereka. Oh, mungkin itulah sebabnya mengapa malam ini lebih dingin
dibanding malam-malam sebelumnya. Oke, itu adalah teori bodoh. Bintang tidak
mungkin mempengaruhi cuaca bukan? Aku tidak tahu. Kepalaku menunduk ketika aku
melewati mobil hitam pendek –aku tidak tahu jenis mobil macam apa itu—serta
pemiliknya yang sedang merutuki orang yang diajaknya bicara. Saat aku
melewatinya, aku bisa merasakan ada dua mata yang memerhatikan sepanjang aku
berjalan, lalu kudengar dia berteriak. Dia
berteriak.
“Faith!”
Teriaknya sehingga aku berhenti melangkah. Kuhitung satu sampai tiga untuk
mengembalikan sifat ramahku yang sebenarnya kusimpan di hotel untuk besok. Aku
berbalik. Tanpa kuketahui, Tn. Justin telah berada di belakangku. Aku pura-pura
tidak tahu kalau ia yang memanggilku.
“Tn.
Justin? Ada yang bisa kubantu?” Tanyaku ramah. Ya, dia memang pria yang
agresif. Tangannya sekarang telah mencengkram lenganku. “Tn. Justin? Kau
mencengkram tanganku,” gumamku kesakitan akibat cengkramannya yang kencang. Ia
sedang melonggarkan cengkramannya.
“Ikut
aku,”
“Tapi
aku tidak bisa, Tn. Justin. Aku harus pergi ke rumah sakit untuk bertemu dengan
Ibuku,” ujarku sesegera mungkin. Tidak mungkin! Maksudku, tidak mungkin aku
ikut dengannya. Ia baru saja mencengkramku tanpa alasan! Dia seperti orang yang
sudah lama mengenalku, tapi kenyatannya kita baru saja bertemu tadi siang.
Tatapan matanya padaku sangatlah tidak ramah. Tiba-tiba aura yang tadi siang
kurasakan sekarang dapat kurasakan kembali. Aura jahat. Aura kotor. Entahlah,
darahku berdesir ketika ia memberikan tatapan tajam itu padaku.
“Ikut
aku,” perintahnya tak ingin ditolak.
“Aku
bilang aku tidak bisa ikut denganmu, Tn. Justin!” Seruku berusaha untuk menarik
lenganku dari cengkraman tangannya dengan sekuat tenaga. Tapi tangannya
mencengkramnya semakin erat. “Aku tidak akan memenuhi perintahmu karena aku
sudah berada di luar jam kerjaku. Kau tidak berhak memerintahku untuk melakukan
apa pun yang kauinginkan. Kau tidak bisa memaksaku,”
“Faith,
ikut aku,”
“Aku
bilang, aku tidak bisa, Tn. Justin!” Kali ini aku berteriak. “Aku harus bertemu
dengan Ibuku. Ibuku sedang berada dalam keadaan kurang sehat dan ia
membutuhkanku. Sekarang, lepaskan aku!”
“Kalau
begitu, ikut aku, Faith,” ujarnya bersikeras. “Ke rumah sakitku,” lanjutnya
dengan nada penuh kemenangan. Di sisi lain, aku bisa mendengar arti lain dari
apa yang ia ucapkan. Ke rumah sakitku,
ia seperti berkata: ‘Kau sudah tahu aku, bukan?’. Tenagaku berangsur-angsur hilang. Dan ia
sudah tahu jawaban apa yang akan kukatakan padanya.
***
Berada
di dalam mobil yang sama dengan Justin sangatlah aneh bagiku. Mobilnya melaju
menuju rumah sakitnya diiringi lagu Justin Timberlake. Ia sangat tenang.
Bibirnya kaku. Dan matanya dari tadi tak lepas dari jalanan yang ada di
hadapannya. Ada sesuatu tentangnya. Mengingat bahwa aku yang terpilih membuat
seluruh bulu romaku berdiri. Terpilih sebagai apa? Dan untuk siapa?
“Dari
mana kau mengetahuiku?” Tanyaku membuka percakapan. Kali ini kepala Justin
menoleh padaku, namun ia tidak melihat ke sekujur tubuhku. Ia tidak seperti
pria tua yang jika menatapku tidak hanya di wajahku saja. Tapi ke seluruh
tubuhku. Matanya menusuk tajam hingga menyentuh hatiku. Oh. Aku mendesah dalam hati. Sedetik kemudian ia menatap lurus
jalan.
“Aku
pemilik rumah sakit. Ibumu adalah salah satu pasien yang mempunyai tagihan
rumah sakit yang cukup besar. Ini memang tidak penting, aku hanya penasaran
siapa yang membiayainya? Anaknya. Anaknya hanyalah seorang resepsionis hotel.
Tentu, gaji yang kaudapat belum tentu dapat menutupi tagihan rumah sakit bukan?
“Aku
menabung,” balasku menunduk kepala. “Kau pemilik rumah sakit dan bukankah ada
orang lain yang dapat menangani masalah ini?”
“Aku
mau aku yang turun tangan. Itu bukan urusanmu kapan aku menangani rumah
sakitku,”
“Maaf,”
bisikku. Nah, dan mengapa aku harus berada di dalam mobil yang sama dengan
pemilik rumah sakit yang Ibuku tempati? Tidak masuk akal. Ini hampir bisa dikatakan
mustahil. Aku hanyalah anak dari pasien di rumah sakitnya, dan ia pemilik rumah
sakit, mengapa ini bisa terjadi? Ini konyol. Aku tidak dapat menampung seluruh
perasaan ini. Seluruh prasangka tentangnya. Ini terlalu berlebihan. Aku ingin
bernafas. “Jadi kau mencaritahu tentangku?”
“Secara
teknis, ya,” ucap Justin yang menoleh padaku, meski aku tidak balik menoleh
padanya. “Rumah sakitku memiliki data lengkap seluruh pasien termasuk
penanggungjawabnya,”
“Oh,”
aku tertegun. “Apa kau bisa mengganti lagunya?” Tanyaku mendongan dan aku tidak
begitu tertarik dengan lagu Justin Timberlake yang satu ini. Suite and Tie. Musik lagu ini seperti
sedang menggodaku dan Justin untuk berada di atas ranjang. Bibir Justin
terlipat ke dalam, kurasa ia sedang menahan tawanya.
“Lagu
apa yang kau mau?”
“Halo
dari Beyonce. Apa kau punya?”
“Tentu,”
balasnya sesegera mungkin mencari lagu Beyonce dari playlist-nya.Ia menyentuh layar radionya, jarinya dengan lincah
mencari lagu Beyonce. Lalu ia mendapatkannya. Detik setelahnya, lagu itu
mengalun. “Ada apa dengan Beyonce?”
“Oh,
dia sang diva. Aku hanya menyukainya, suara sopran dan altonya sulit dicapai.
Jika ia mengambil suara altonya, ia dapat mengambil nada terendah dari yang
wanita miliki. Suara sopran yang ia miliki tidak kalah dengan Mariah Carey.
Nafasnya sangat panjang, dia termasuk penyanyi yang kusukai,” jelasku yang
membuat keningnya mengerut selama beberapa detik.
“Ternyata
kau banyak bicara,”
“Aku
memang banyak bicara, tapi tidak semua yang kubicarakan adalah seluruh apa yang
kupikirkan,” jelasku tersinggung. Aku mendengus, ia malah terkekeh. Kembali
keadaan mobil ini hening sepanjang perjalan hingga mobilnya mulai memasuki
parkiran rumah sakitnya. Tidak terasa kami sudah sampai. Aku harus berterima
kasih.
***
“Kau
malu karena apa?” Tanya Justin ketika kami masuk ke dalam lift. Bagaimana aku
tidak malu? Sepanjang kami berjalan menuju lift semua orang menatapi. Bahkan
para suster tiba-tiba saja menatapku dengan tatapan sinis. Apa yang sebenarnya
mereka inginkan? Aku mendesah.
“Tatapan-tatapan
itu membuatku cukup risih,”
“Aku
tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan. Mereka tidak mungkin berani
menghinamu karena aku berada di sebelahku,”
“Ya,
tidak di depanku,” ujarku memutar bola mataku. Sebenarnya, aku sudah
memberitahu Justin untuk tidak ikut pergi ke atas kamar Ibuku. Tapi ia
bersikeras ingin bertemu dengan Ibuku dan melihat keadaannya. Katanya, ia dapat
membantuku. Aku tidak dapat menolak bantuannya, ia memaksa. Atau bisa
kukatakan, aku tidak ingin melihat tatapan di parkiran hotel tadi. Dimana
matanya menatapaku dengan tatapan tajam dan aura jahatnya kembali terasa di
sekujur tubuhku. Kami melihat ke atas lift untuk melihat kami telah berada di
lantai berapa. Satu lantai lagi.
Suster
Carla pasti akan memasukkan tangannya ke dalam mulutnya jika ia mendapatiku
sedang berjalan bersama dengan pemilik rumah sakitnya. Ia pasti tentu berada di
tempatnya. Di setiap lantai tentunya suster-suster bertengger di dekat lift, di
meja kerjanya yang ada di luar itu. Dan tentunya suster Clara akan melihat ini.
Ia pulang jam 10 malam. Ini masih jam 7.30 malam.
Pintu
lift terbuka setelah dentingan lift terdengar. Tidak ada angin ataupun hujan,
tangan Justin memegang tanganku dan berjalan terburu-buru keluar dari lift. Ia memegang tanganku. Tangannya dingin.
Saat kami melewati meja kerja para suster, suster-suster itu menyapa Justin
dengan penuh keramahan. Justin hanya memberikan senyum dan mengangguk, ia
memang sangat ramah. Sial. Ia membawaku ke kamar Ibuku. Oh, ternyata dia sudah
tahu dimana kamar Ibuku. Kami berhenti di depan pintu kamar Ibuku lalu ia
memintaku untuk membuka pintu kamar Ibuku.
“…akan
datang,” suster Carla selesai berujar ketika aku masuk ke dalam bersama dnegan
Justin. Aku masuk bersama dengan Justin. Sudah kuduga! Pasti jantugnnya
sekarang berada di tenggorokannya. Suster Carla menatapku dengan tatapan tidak
percaya lalu dengan segera ia melangakah mendekati kami.
“Tn.
Lexise,” sapanya. Ia keluar dari kamar Ibuku namun aku tidak melepaskan
tatapanku padanya. Saat ia ingin menutup pintunya, ia memberikan acungan jempol
padaku. Apa? Salah satu alisku terangkat. Apa maksudnya?
“Ini
Ibuku,” ujarku berjalan menuju tempat tidur Ibuku. Ibuku belum tertidur. “Di
sana adalah kakakku, Mozes,” ucapku sambil menunjuk ke arah kakakku yang sedang
terlelap di atas sofa dengan kaki yang berselonjor. “Ibu, ini adalah Tn. Justin
Lexise. Dia adalah pemilik rumah sakit ini,”
“Ny.
Edwina,” sapa Justin dengan ramah. “Aku ingin melihat keadaanmu dan sekaligus
aku ingin meminta izin padamu,” ujar Justin yang membuat keningku mengerut. Oh?
Ibuku yang terbaring dengan bibir yang kaku tak sepenuh dapat berbicara
mengangguk-anggukan kepalanya. Ia tertarik.
“Apa
itu?” Tanyanya tak jelas namun masih dapat dimengerti.
“Apa
aku boleh meminjam anakmu untuk dua jam ke depan? Aku ingin makan malam bersama
dengannya.” Ibuku mengangguk dengan antusias. Apa? Aku tak percaya. Oh Ibu!
Nafasku tercekat. Justin menoleh padaku dan kembali tersenyum misterius.
Sial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar