Jumat, 20 Desember 2013

Kidnapped Bab 10 - End

***

            Pemakaman Theo tampak bersih. Kami baru saja meninggalkannya beberapa menit yang lalu. Justin memegang tanganku untuk masuk ke dalam kastilnya. Oh, soal Daniel, kami telah membakarnya. Sama seperti apa yang telah Daniel perbuat pada orangtua Justin. Aku tahu, bagi Justin memang berat ia telah mempercayai orang yang salah. Tapi setidaknya, semuanya telah berakhir. Ia mengangguk ramah pada penjaga pintu gerbang kastilnya dan kami masuk ke dalam.
            “Kau tahu, Chantal. Aku telah memikirkan ini selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu,” ujarnya, tiba-tiba. Oh, apa yang akan ia katakan?
            “Apa? Apa yang kaupikirkan?” tanyaku penasaran.
            “Kau tahulah, tentang aku hanya sebatang kara di dunia ini. Kau hamil dan aku adalah Ayah dari anak yang kau kandung,” ujarnya bertele-tele. Apa yang ia ingin bicarakan? Tiba-tiba ia menghentikan langkahannya tepat di tengah-tengah lapangan kastilnya. Tangannya yang lain memegang tanganku dan kami saling berhadapan.
            “Aku tidak suka yang namanya basa-basi Justin,” gumamku melipat bibir ke dalam.
            Justin menghela nafas lalu membuka mulut. “Chantal,” panggilnya. “Maukah kau menjadi satu-satunya wanita yang dapat membuatku bahagia selamanya?” Tiba-tiba tangan kirinya merogoh kantong pakaiannya lalu mengeluarkan cincin emas dari sana. Mulutku terbuka, tak percaya apa yang sedang ia lakukan padaku. Ia baru saja melamarku? Apa yang baru saja kuharapkan sedang terjadi? Ah, tidak mungkin! Bilang padaku kalau ini hanyalah sebuah mimpi!
            “Chantal, jawab aku. Maukah kau menikah denganku? Kau hanya perlu menyelam bersamaku di sebuah kolam yang berisikan darah perawan. Maukah kau Chantal?” ia mendesak.
            “Apa yang sedang kautunggu Justin? Cepat masukan cincin sialan itu ke jari manisku!” aku berseru menerimanya. Kerutan kening Justin yang bersikap was-was itu sekarang menghilang, kali ini datang dari senyum Justin sumringah lalu ia mulai memasukan cincin itu ke jari manisku. Tanpa membuang-buang waktu, Justin menarik leherku lalu bibir kami bertemu. Ciuman ini berbeda dengan ciuman terakhir yang pernah kurasakan bersama dengannya. Kali ini, ia lebih berperasaan. Kurasakan gigi taring Justin mulai terasa di sekitar bibirku. Lidahnya memaksa masuk ke dalam mulutku dan kami berdua mendengar suara tepuk tangan dari para vampire yang melihat kami.
            “Raja Kidrauhl akan menikah!” kudengar salah satu vampire berteriak riang. Bibir kami berpisah lalu kami melihat ke sekeliling kastil dan Justin melambaikan tangannya.
            “Aku adalah lelaki paling beruntung di dunia, kau tahu!” teriaknya tidak bersikap seperti Raja. Ya ampun, Justin. Ia tampak sangat menggemaskan jika melihatnya sedang sangat bahagia. “Panggil vampire dari seluruh dunia untuk merayakan pernikahanku! Sekarang, kirimkan seluruh undangan untuk datang ke kastil dan siapkan tempat-tempat untuk mereka menginap! Aku ingin pernikahan ini diadakan secara besar-besaran karena ini adalah hal yang membahagiakan dalam hidupku!” teriak Justin menyuruh seluruh para vampire untuk mempersiapkan segalanya. Aku hanya dapat memberikan senyum bahagiaku, karena aku tidak dapat berkata apa-apa lagi sekarang. Tangan Justin masih menggenggam tanganku lalu ia menoleh ke arahku.
            “Mungkin Ayah dan Ibuku tidak pernah membuatku tersenyum. Tapi sekarang aku mengerti sekarang mengapa kau muncul di hadapanku,” ujarnya dengan kata-kata manis.

***

            “Mengapa kau terdudukdi sini sedangkan nanti kita akan berada di pelaminan. Ada apa sayang?” Justin muncul dari belakang. Untuk yang pertama kalinya, di siang hari, di hutan dari Kerajaan Kidrauhl aku terduduk di atas bebatuan mereka. Kali ini aku melihat dedaunan yang mulai berguguran dan aku tersenyum Sekarang aku mengerti mengapa dedaunan itu berguguran. Sekarang aku tidak khawatir mau seberapa banyak daun yang berguguran dari pohon itu, karena sekarang aku tidak takut lagi. Sekarang aku tidak perlu ragu-ragu pergi keluar dari hutan ini karena aku keluar tidak akan sendirian lagi seperti dulu. Sekarang, ada tangan yang memegang tanganku setiap saat. Ya, Justin akan selalu ada di sisiku.
            Keyakinanku menjadikan hal yang kutakuti sekarang tak menakutkan lagi. Sekarang, tak ada lagi hal yang harus diragukan dalam kehidupanku. Termasuk keluar dari hutan sialan ini.
            “Tidak apa-apa,” gumamku. “Justin?”
            “Ya?”
            “Apa jika dedaunan pohon di hutan ini berguguran dan tak dapat meneduhkan kita lagi, apa kau akan selalu berada di sisiku? Maksudku, sampai hutan ini benar-benar tak ada,”
            “Apa ada alasan yang dapat membuatku lari darimu Justin?”
            “Aku tidak tahu,” kuangkat kedua bahuku. Justin meremas kedua bahuku lalu ia mengecup bahuku dengan lembut. Senyumku muncul.
            “Aku mencintaimu, Chantal. Chantal Bieber,” bisiknya. “Dan tidak akan ada yang dapat membuatku pergi darimu, Chantal. Aku berjanji.”

***

            Baru pertama kali ini aku melihat sebuah kolam yang berisi dengan darah. Bau darah yang sungguh harum bagiku serta aku tidak dapat meragukannya, darah ini pasti akan sangat manis. Pakaian yang kukenakan adalah sebuah gaun yang berwarna hitam berenda serta tipis. Dari luar, hanya ada dua pelayan yang akan menjaga pintu ruang upacara pernikahan sementara kami akan meminum sebagian darah di kolam. Kita tidak seperti manusia yang membutuhkan darah, bahkan kita tidak perlu menikah melakukan upacara ini. Kita berbeda dengan manusia.
            Mataku masih memerhatikan darah yang menggenang dengan tenang serta mengkilap akibat cahaya matahari dari jendela yang terbuka. Aku ragu melakukan ini namun Justin memaksaku untuk melakukan ini karena memang, ini adalah tradisi dari keturunan Kidrauhl. Menyelam di dalam darah agak membuatku sedikit ketakutan. Maksudku, aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Kau bisa membayangkan darah yang akan menempel di wajahku nanti dan rambutku. Aku masih menunggu Justin di luar sana yang tak kunjung datang. Sambil menunggu, aku menundukkan kepalaku untuk melihat keadaan perutku yang sudah semakin membesar.
            Kubayangkan seorang bayi dalam perutku yang sedang meringkuk sambil mengisap darahku di dalam sana. Kita adalah vampire, bayi di dalam perutku juga adalah vampire yang tentu kebutuhan ia di dalam sana adalah darah yang sangat banyak. Aku ingin anakku lahir dengan sehat. Kemudian aku memikirkan bagaimana sifat anakku nanti, kuharap sifat penggoda dari Justin tidak akan turun padanya karena aku tidak ingin anakku menjadi penggoda. Biarpun dia perempuan atau lelaki, aku tidak peduli. Bagaimana mata mereka nanti? Apa akan sama denganku dan Justin yang tidak pernah berubah di tiap situasi? Tentu, kuharap matanya akan seperti mata Justin.
            Suara deritan dari pintu ruang upacara terdengar sampai telingaku. Aku membalikkan tubuhku lalu kulihat Justin yang memakai jubah berwarna putih muncul di hadapanku. Seulas senyum menghiasi wajahnya yang rupawan hingga aku tak mampu untuk tidak membalas senyuman darinya. Pintu ruang upacara terkunci dan saat kita akan tenggelam dengan lautan cinta kami, kami akan menghilang di dalam sana dan keluar dari ruangan ini dengan tubuh yang berlumuran darah lalu kami telah menjadi suami-istri. Tidakkah kau merasa pernikahan vampire kali ini terlihat sangat mudah? Aku tertegun. Ia berjalan ke arahku sambil ia membuka tali jubahnya dan woah! Kulihat perutnya yang memiliki kotak-kotak di sana tercetak dengan sempurna. Putih, bertatto. Aku bahkan tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan untuk mendekskripsikan keindahan dari diri Justin. Ia melepaskan jubahku ke lantai dan masih berjalan ke arahku. Celana putih tergantung di pinggangnya dan hanya itu. Hanya itu yang ia pakai. Aku tak yakin apa yang akan terjadi setelah ini.
            “Kita tidak akan berhubungan di dalam kolam itu, sayang. Kau terlihat ketakutan sekali,” tegur Justin dengan halus. “Aku juga memikirkan si kecil di dalam sana,” ujarnya melanjutkan. Ia telah berada di hadapanku, berdiri kali ini kurasa ia lebih tinggi lagi. Apa dia masih berada dalam masa pertumbuhan? Atau aku yang semakin pendek? Tidak mungkin. Ini hanya perasaanku saja. Tangannya yang besar menarik pinggangku hingga renda-renda yang kupakai menggesek tubuhku yang hanya terbaluti pakaian dalam dibaliknya.
            “Aku tidak takut padamu, Justin. Kita akan menjadi suami-istri setelah ini. Memang mengapa kita tidak boleh melakukan hubungan badan di dalam sana?” aku penasaran. Ia berdeham lalu tangan kirinya mengambil sedikit rambutku yang menutupi pipi dan menyelipkannya ke balik telingaku.
            “Karena darah itu adalah darah perawan suci, sayang. Kita tidak boleh melakukan hubungan badan kita di sana karena aku sudah tak suci lagi. Kita hanya perlu masuk ke dalam sana dan mengucapkan janji-janji kita serta komitmen untuk kehidupan kita kelak. Kita telah mendiskusikannya bukan?” suara Justin yang serak basah itu membuat tubuhku bergetar di bawah sentuhannya. Lalu kulihat senyum tipisnya muncul. Tapi aku tidak ingin membuang waktu ini, aku ingin sekali menjadi istri dari Justin Bieber agar vampire lain tidak dapat memilikinya lagi. Aku ingin hanya akulah yang menjadi pemilik dari Justin. Aku tahu ini terdengar egois, tapi demi Tuhan aku sangat mencintainya. Aku mengabaikan apa yang ia katakan, menarik tubuhku dari dekapannya dan berjalan menuju kolam darah.  Berdiri di sisi kolam membuatku bergidik, apa rasanya? Kulangkahkan kaki untuk menuruni tangga kolam pertama. Saat kakiku menyentuh darah merah yang kental ini, tubuhku menegang namun tangan Justin dari belakang mendekap kedua lenganku.
            “Tenang,” bisiknya lembut. Satu kaki telah berhasil memasuki satu tangga kolam darah. Kemudian kakiku yang lain menyusulnya. Kedua kakiku terus melangkah dan semakin lama semakin dalam mengikuti turunan tangga yang kuinjak dan tangan Justin meninggalkan tubuhku. Sampai pada akhirnya, aku telah berada di tangga terakhir. Setengah tubuhku telah tertutupi oleh darah kemudian sampai pada lenganku saat kualngkahkan kakiku ke lantai kolam darah. Kuhembuskan nafasku untuk menenangkan tubuhku dan mataku terpejam. Kudengar langkah kaki Justin yang mulai memasuki kolam darah, sangat cepat ia telah berada di belakangku. Tangannya yang basah akibat darah membasahi bahuku.
            “Aku akan selalu membuatmu bahagia,” bisik Justin mengelus pundakku lalu turun ke lengan dengan perlahan masuk ke dalam darah dan menemukan tanganku. “Aku tidak akan pernah ingin membuatku sakit kembali seperti apa yang telah kulakukan padamu. Tugas apa pun yang kuhadapi, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku berjanji, tangan ini tidak akan pernah memukulmu sayang. Justru tangan ini akan merangkulmu dan anak kita nanti untuk melindungi kalian dari apa pun. Mulut ini tidak akan pernah membuat hatimu tersakiti, justru akan selalu memuja tiap jengkal darimu dan betapa hebatnya dirimu dalam hidupku. Mata ini tidak akan pernah melirik gadis lain karena bagiku, mata ini hanya akan tertuju padamu,” Justin mengucapkan kata-kata janjinya untuk pernikahan kami. Tangannya yang masih menggenggam tanganku meremasnya dalam darah. Aku menyimpan segala perkataannya dalam hatiku. Aku tahu Justin memiliki sisinya yang manis, inilah alasan mengapa aku ingin Justin menikahiku. Ia bukanlah lelaki yang jahat. Ia adalah pelindung bagiku.
            “Semua itu kulakukan karena aku mencintaimu,” ujar Justin yang menarik tanganku sehingga aku membalikkan tubuhku untuk melihatnya. Saat aku telah berbalik, Justin memberikan ekspresi wajah: sekarang ucapkan janjimu untukku.
            “Tidak banyak yang dapat kujanjikan untukmu, Justin. Tapi keyakinanku terhadapmu akan selalu menemaniku melewati apa pun. Aku mencintaimu,” ujarku tidak dapat menahan rasa untuk mengecup bibirnya yang sungguh menggoda bagiku. Kuangkat tanganku dari dalam darah dan melepaskan genggaman Justin, kedua tanganku merangkul leher Justin sehingga ia terpaksa harus menundukkan kepalanya. Kumajukan bibirku untuk bertemu dengan bibirnya. Kupejamkan mataku dan memiringkan kepalaku agar kecupan ini akan lebih terasa. Kedua tangannya yang besar memegang sisi pinggangku dan menarikku lebih dekat lagi. Lidah kami saling bertaut dan menghasilkan bunyi cepakan dari bibir kami. Terdengar sangat kotor namun aku sangat menikmatinya. Aku tidak tahu kapan itu terjadi namun aku telah menyelam ke dalam kolam darah dengan bibir yang masih bersatu dengan Justin. Sedikit-sedikit darah masuk ke dalam ciuman kami sehingga ciuman ini terasa lebih manis. Aku meneguk setiap darah yang masuk ke dalam mulutku. Dan mataku kembali terbuka saat Justin menarik pinggangku untuk muncul ke permukaan. Kulihat wajah Justin dan rambutnya dilumuri oleh darah –untunglah ia tidak memakai mahkotanya. Kutarik nafasku dan mengecap-kecap lidahku untuk menikmati darah yang masih tersisa di sekitar bibirku. Kujinjitkan kakiku karena aku sungguh bersemangat telah menjadi istri dari seorang Justin Bieber. Lalu, setelah ini apa? Kita keluar dengan tubuh yang dilumuri oleh darah? Aku rasa tidak. Justin tidak mengatakan apa-apa, dari tadi matanya terus memerhatikan wajahku dengan senyum yang tak meninggalkan wajahnya. Sebelumnya, aku tidak pernah melihat senyum Justin yang mengembang terus menerus seperti ini.
            “Kau tahu apa yang kulupakan?” tanya Justin tiba-tiba, darahnya yang berada di atas bibirnya jatuh masuk ke dalam mulutnya. Aku melipat bibirku dan mengangkat kedua bahuku seperti anak kecil yang ditanya, dimana kue ulang tahun nenekmu?
            “Cincin pernikahan kita! Ya Tuhan, betapa bodohnya aku. Di keturunan Kidrauhl, sang lelaki yang memegang kedua cincinnya lalu begitulah. Tapi, sial, aku terlalu gugup! Tunggu di sini,” ujar Justin terlihat sangat bodoh. Tapi aku tidak ingin melihat wajah suamiku sekarang tampak konyol saat keluar dari ruang ini. Saat ia ingin menjauhkan dirinya dariku, aku memegang tangannya.
            “Apa?” tanya Justin. “Kau tidak ingin memakai cincin pernikahan?”
            “Bukan, tapi..” aku menjinjitkan kakiku dengan salah satu tanganku menarik lehernya sedikit ke bawah sehingga sekarang lidahku menjilat pipinya yang dipenuhi darah. Lidahku menjilati pipi, rahangnya bahkan aku memasukan lidahku ke dalam mulutnya. Mengeluar-masukan lidahku ke dalam mulutnya seperti sedang berhubungan badan namun buru-buru aku mengeluarkan lidahku sebelum nafsu Justin naik. Lidahku terus menjilati wajahnya hingga benar-benar bersih dari darah, bahkan keningnya. Gila, aku tidak percaya aku sedang menjilati wajahnya! Kau tahu seberapa joroknya itu? Tapi aku tidak peduli.
            “Aku lebih memilih lidahmu yang membersihkan tubuhku dibanding air bersih,” gumam Justin yang menggodaku, aku hanya terkikik lalu menurunkan jinjitan kakiku. Well, wajahnya tidak terlalu bersih. Tapi setidaknya, pipinya telah bersih dan dagunya juga telah bersih.
            “Pergilah, kau sudah terlihat lebih tampan,” seruku mendorong tubuhnya menjauh dariku.
            “Aku bahkan tidak menyangka kau akan melakukan itu padaku. Jujur saja, aku menikmatinya. Aku menginginkannya lagi lain kali,” ceracau Justin berjalan keluar dari kolam darah. Celana putih yang ia pakai sekarang telah benar-benar berubah warna menjadi warna merah. Sangat merah! Darah itu menetes-netes dari sisi-sisi celana. Begitu juga dengan rambutnya. Intinya, ia sungguh berlumuran darah! Bahkan jika boleh, aku ingin menjilati darah itu kembali. Mungkin bagi manusia, Justin seperti es krim vanilla yang dilumuri oleh saus cokelat manis. Yeah, Justin terasa lebih manis jika ia dilapisi oleh darah. Kugigit bibir bawahku, memikirkan apa yang kulakukan tadi. Menjilati wajah Justin yang berlumur darah! Gila, aku tidak pernah seliar itu, tapi Justin tidak memberontak atau apa pun. Justru ia menginginkannya lagi. Bagaimana dengan wajahku? Apa wajahku sama seperti wajahnya tadi? Aku menelan ludahku.
            Pintu yang beberapa menit tadi tertutup sekarang terbuka kembali dan memunculkan Justin bersama dengan suara teriakan dari luar. Sialan! Pasti gadis-gadis di luar sana melihat tubuh Justin yang setengah telanjang itu. Mengapa Justin tidak keluar memakai jubah? Sial, tadi aku tidak memerhatikannya.
            “Cincin, Ratu Kidrauhl?”
            “Tentu, Raja Kidrauhl. Aku tidak sabar untuk memakai cincin yang dimana akan menandakan bahwa kau hanya milikku,”
            “Kau tampak sangat buas hari ini Ratu Kidrauhl, ada apa gerangan Ratu Kidrauhl?” Justin menggodaku dengan tangannya yang memegang sebuah kotak cincin. Ia berjalan masuk ke dalam kolam, namun gerakannya sangat lamban.
            “Bukankah yang menggoda Ratu Kidrauhl adalah Raja Kidrauhl yang sekarang sedang bertanya-tanya namun ia telah mengetahui jawabannya?”
            “Kau memang paling bisa mengelak,”

***

*Author POV*

            1 tahun kemudian..
            Dedaunan pohon itu semakin lama semakin banyak yang gugur. Wanita yang terduduk di atas batu besar itu khawatir melihat keadaan hutannya yang memang menyejukan namun tidak dapat menutupi tubuhnya, terlebih lagi sejak ia melahirkan, tingkat kekhawatirannya terhadap dunia semakin besar. Ia takut anaknya tidak cukup kuat untuk keluar di siang hari seperti ini bersama dengan Ayahnya yang berjabat sebagai Raja. Beberapa bulan yang lalu ia baru saja melahirkan anak vampire yang sekarang telah berumur beberapa bulan namun telah dapat berjalan –hormon vampire lebih cepat dibanding manusia. Anaknya yang menggemaskan itu berlari-lari bermain bersama dengan anjingnya, Fluppy yang masih hidup sampai sekarang –tentu saja, anjing ini juga vampire. Mereka juga sedang bermain bola sepak yang cukup menyenangkan.
            Beberapa kali wanita itu terkesiap saat ia melihat anaknya yang terjatuh ke atas tanah namun tertawa-tawa bahagia setelahnya, tidak menangis. Matanya yang menawan itu membuat para pelayan di Kerajaan terhipnotis. Theodorus Beamount Kidrauhl II telah lahir dengan warna mata yang permanen, berwarna emas kemaduan. Rambutnya bertumbuh sungguh cepat, berwarna cokelat kehitaman sedang berterbangan saat ia sedang berlari. Sekalipun dedaunan itu berguguran, sekarang tidak akan ada yang ia khawatirkan selain senyum dari anaknya. Ia tidak pernah ingin melihat anaknya sedih dan kekurangan kasih sayang seperti yang terjadi pada kedua orangtua Theo.
            “Aw!” Theo mengerang saat untuk yang kesekian kalinya ia terjatuh ke atas tanah. Chantal, Ibunya, terkesiap kembali. Namun Ayahnya, Justin, tampak biasa saja melihat anaknya terjatuh seperti itu. Baginya, Theo harus disiplin tanpa terintimidasi. Tapi Theo tidak menangis, ia bangkit dari jatuhannya. Sebelum ia kembali bermain bola dengan Ayahnya, ia melihat kedua tangannya yang kotor terkena tanah. Ia menepuk-nepuk tangannya lalu menggesek-gesekkannya agar tanah yang mengotori tangannya meninggalkan tangannya.
            “Theo, pelan-pelan sayang,” seru Chantal dari atas.
            “Dia tidak apa-apa, sayang,” Justin yang membalas Chantal dengan nada suara yang santai. Chantal hanya menganggukan kepalanya namun ia masih was-was. Mulut Theo yang mungil seperti paruh penguin itu mengerucut, masih memerhatikan tangannya yang kotor.
            “Ayo, Theo! Cepat tendang bola itu!” seru Justin menepuk tangannya dan memberikan gaya kuda-kuda pada anaknya bahwa ia siap untuk tendangan anaknya. Namun Theo tidak mempedulikan Ayahnya, ia masih memerhatikan tangannya. Matanya terfokus pada tanah yang masih menempel di telapak tangannya.
            “Kotor!” teriak Theo mendongakkan kepalanya ke atas dan mengangkat kedua tangannya yang mungil pada Ibunya. Tanpa berpikir panjang, Chantal melompat dari atas batu dan berdiri di hadapan anaknya. Ia terjongkok lalu meraih kedua tangan anaknya yang mungil. Mulutnya meniup-tiup telapak tangan anaknya dan membersihkan telapaknya.
            “Lapar,” gumam Theo.
            “Lapar? Kau ingin darah?” tanya Chantal masih membersihkan tangan Theo. Theo hanya mengangguk kepalanya. Chantal membalikkan kepalanya untuk menyuruh Justin mengambil botol darah yang ada di atas batu yang baru saja ia tinggalkan tadi. Justin sedang bermain-main dengan bola sepaknya, seolah-olah ia adalah pemain sepak bola yang hebat.
            “Ayah Justin yang paling tampan, bisakah kau mengambilkan botol darah di atas untuk anakmu yang kelaparan?” tanya Chantal dengan suara yang sangat lembut. Sontak Justin langsung menghentikan kakinya yang menendang-tendang bolanya lalu menolehkan kepalanya ke arah batu yang tadi diduduki Chantal. Terlihat botol berwarna hitam terdiam di atas sana. Justin melompat ke atas batu, berdiri di sana. Tangannya meraih botol darah anaknya namun ia memiliki rencana lain. Rencana agar ia dapat menikmati waktu yang berkualitas bersama dengan keluarganya.
            “Kau ingin darah ini?” Justin berteriak dari atas pada Theo. Theo menganggukkan kepalanya, polos. Mulut semakin mengerucut.
            “Ke sini, daddy!” teriak Theo mengangkat kedua tangannya sambil menggerak-gerakannya, menyuruh Justin untuk turun.
            “Dapatkan daddy, maka kau akan mendapatkan darahmu!” teriak Justin seperti anak kecil dan mulai berlari dari batu itu. Tapi ia tidak berlari begitu cepat, sebelum ia berlari sangat jauh dari tempat berdiri anaknya berdiri ..
            Theo menangis dan Justin mendengus.
            “Sial!”


2 komentar: