***
Pemakaman
Theo tampak bersih. Kami baru saja meninggalkannya beberapa menit yang lalu.
Justin memegang tanganku untuk masuk ke dalam kastilnya. Oh, soal Daniel, kami
telah membakarnya. Sama seperti apa yang telah Daniel perbuat pada orangtua
Justin. Aku tahu, bagi Justin memang berat ia telah mempercayai orang yang
salah. Tapi setidaknya, semuanya telah berakhir. Ia mengangguk ramah pada
penjaga pintu gerbang kastilnya dan kami masuk ke dalam.
“Kau
tahu, Chantal. Aku telah memikirkan ini selama berhari-hari bahkan
berminggu-minggu,” ujarnya, tiba-tiba. Oh, apa yang akan ia katakan?
“Apa?
Apa yang kaupikirkan?” tanyaku penasaran.
“Kau
tahulah, tentang aku hanya sebatang kara di dunia ini. Kau hamil dan aku adalah
Ayah dari anak yang kau kandung,” ujarnya bertele-tele. Apa yang ia ingin
bicarakan? Tiba-tiba ia menghentikan langkahannya tepat di tengah-tengah
lapangan kastilnya. Tangannya yang lain memegang tanganku dan kami saling
berhadapan.
“Aku
tidak suka yang namanya basa-basi Justin,” gumamku melipat bibir ke dalam.
Justin
menghela nafas lalu membuka mulut. “Chantal,” panggilnya. “Maukah kau menjadi
satu-satunya wanita yang dapat membuatku bahagia selamanya?” Tiba-tiba tangan
kirinya merogoh kantong pakaiannya lalu mengeluarkan cincin emas dari sana.
Mulutku terbuka, tak percaya apa yang sedang ia lakukan padaku. Ia baru saja
melamarku? Apa yang baru saja kuharapkan sedang terjadi? Ah, tidak mungkin!
Bilang padaku kalau ini hanyalah sebuah mimpi!
“Chantal,
jawab aku. Maukah kau menikah denganku? Kau hanya perlu menyelam bersamaku di
sebuah kolam yang berisikan darah perawan. Maukah kau Chantal?” ia mendesak.
“Apa
yang sedang kautunggu Justin? Cepat masukan cincin sialan itu ke jari manisku!”
aku berseru menerimanya. Kerutan kening Justin yang bersikap was-was itu
sekarang menghilang, kali ini datang dari senyum Justin sumringah lalu ia mulai
memasukan cincin itu ke jari manisku. Tanpa membuang-buang waktu, Justin
menarik leherku lalu bibir kami bertemu. Ciuman ini berbeda dengan ciuman
terakhir yang pernah kurasakan bersama dengannya. Kali ini, ia lebih
berperasaan. Kurasakan gigi taring Justin mulai terasa di sekitar bibirku.
Lidahnya memaksa masuk ke dalam mulutku dan kami berdua mendengar suara tepuk
tangan dari para vampire yang melihat kami.
“Raja
Kidrauhl akan menikah!” kudengar salah satu vampire berteriak riang. Bibir kami
berpisah lalu kami melihat ke sekeliling kastil dan Justin melambaikan
tangannya.
“Aku
adalah lelaki paling beruntung di dunia, kau tahu!” teriaknya tidak bersikap
seperti Raja. Ya ampun, Justin. Ia tampak sangat menggemaskan jika melihatnya
sedang sangat bahagia. “Panggil vampire dari seluruh dunia untuk merayakan
pernikahanku! Sekarang, kirimkan seluruh undangan untuk datang ke kastil dan
siapkan tempat-tempat untuk mereka menginap! Aku ingin pernikahan ini diadakan secara
besar-besaran karena ini adalah hal yang membahagiakan dalam hidupku!” teriak
Justin menyuruh seluruh para vampire untuk mempersiapkan segalanya. Aku hanya
dapat memberikan senyum bahagiaku, karena aku tidak dapat berkata apa-apa lagi
sekarang. Tangan Justin masih menggenggam tanganku lalu ia menoleh ke arahku.
“Mungkin
Ayah dan Ibuku tidak pernah membuatku tersenyum. Tapi sekarang aku mengerti
sekarang mengapa kau muncul di hadapanku,” ujarnya dengan kata-kata manis.
***
“Mengapa
kau terdudukdi sini sedangkan nanti kita akan berada di pelaminan. Ada apa
sayang?” Justin muncul dari belakang. Untuk yang pertama kalinya, di siang
hari, di hutan dari Kerajaan Kidrauhl aku terduduk di atas bebatuan mereka.
Kali ini aku melihat dedaunan yang mulai berguguran dan aku tersenyum Sekarang
aku mengerti mengapa dedaunan itu berguguran. Sekarang aku tidak khawatir mau
seberapa banyak daun yang berguguran dari pohon itu, karena sekarang aku tidak
takut lagi. Sekarang aku tidak perlu ragu-ragu pergi keluar dari hutan ini
karena aku keluar tidak akan sendirian lagi seperti dulu. Sekarang, ada tangan
yang memegang tanganku setiap saat. Ya, Justin akan selalu ada di sisiku.
Keyakinanku
menjadikan hal yang kutakuti sekarang tak menakutkan lagi. Sekarang, tak ada
lagi hal yang harus diragukan dalam kehidupanku. Termasuk keluar dari hutan
sialan ini.
“Tidak
apa-apa,” gumamku. “Justin?”
“Ya?”
“Apa
jika dedaunan pohon di hutan ini berguguran dan tak dapat meneduhkan kita lagi,
apa kau akan selalu berada di sisiku? Maksudku, sampai hutan ini benar-benar
tak ada,”
“Apa
ada alasan yang dapat membuatku lari darimu Justin?”
“Aku
tidak tahu,” kuangkat kedua bahuku. Justin meremas kedua bahuku lalu ia
mengecup bahuku dengan lembut. Senyumku muncul.
“Aku
mencintaimu, Chantal. Chantal Bieber,” bisiknya. “Dan tidak akan ada yang dapat
membuatku pergi darimu, Chantal. Aku berjanji.”
***
Baru
pertama kali ini aku melihat sebuah kolam yang berisi dengan darah. Bau darah
yang sungguh harum bagiku serta aku tidak dapat meragukannya, darah ini pasti
akan sangat manis. Pakaian yang kukenakan adalah sebuah gaun yang berwarna
hitam berenda serta tipis. Dari luar, hanya ada dua pelayan yang akan menjaga
pintu ruang upacara pernikahan sementara kami akan meminum sebagian darah di
kolam. Kita tidak seperti manusia yang membutuhkan darah, bahkan kita tidak
perlu menikah melakukan upacara ini. Kita berbeda dengan manusia.
Mataku
masih memerhatikan darah yang menggenang dengan tenang serta mengkilap akibat
cahaya matahari dari jendela yang terbuka. Aku ragu melakukan ini namun Justin
memaksaku untuk melakukan ini karena memang, ini adalah tradisi dari keturunan
Kidrauhl. Menyelam di dalam darah agak membuatku sedikit ketakutan. Maksudku,
aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Kau bisa membayangkan darah yang
akan menempel di wajahku nanti dan rambutku. Aku masih menunggu Justin di luar
sana yang tak kunjung datang. Sambil menunggu, aku menundukkan kepalaku untuk
melihat keadaan perutku yang sudah semakin membesar.
Kubayangkan
seorang bayi dalam perutku yang sedang meringkuk sambil mengisap darahku di
dalam sana. Kita adalah vampire, bayi di dalam perutku juga adalah vampire yang
tentu kebutuhan ia di dalam sana adalah darah yang sangat banyak. Aku ingin
anakku lahir dengan sehat. Kemudian aku memikirkan bagaimana sifat anakku
nanti, kuharap sifat penggoda dari Justin tidak akan turun padanya karena aku
tidak ingin anakku menjadi penggoda. Biarpun dia perempuan atau lelaki, aku
tidak peduli. Bagaimana mata mereka nanti? Apa akan sama denganku dan Justin
yang tidak pernah berubah di tiap situasi? Tentu, kuharap matanya akan seperti
mata Justin.
Suara
deritan dari pintu ruang upacara terdengar sampai telingaku. Aku membalikkan
tubuhku lalu kulihat Justin yang memakai jubah berwarna putih muncul di
hadapanku. Seulas senyum menghiasi wajahnya yang rupawan hingga aku tak mampu
untuk tidak membalas senyuman darinya. Pintu ruang upacara terkunci dan saat
kita akan tenggelam dengan lautan cinta kami, kami akan menghilang di dalam
sana dan keluar dari ruangan ini dengan tubuh yang berlumuran darah lalu kami
telah menjadi suami-istri. Tidakkah kau merasa pernikahan vampire kali ini
terlihat sangat mudah? Aku tertegun. Ia berjalan ke arahku sambil ia membuka
tali jubahnya dan woah! Kulihat perutnya yang memiliki kotak-kotak di sana
tercetak dengan sempurna. Putih, bertatto. Aku bahkan tidak tahu apa lagi yang
harus kukatakan untuk mendekskripsikan keindahan dari diri Justin. Ia
melepaskan jubahku ke lantai dan masih berjalan ke arahku. Celana putih
tergantung di pinggangnya dan hanya itu. Hanya itu yang ia pakai. Aku tak yakin
apa yang akan terjadi setelah ini.
“Kita
tidak akan berhubungan di dalam kolam itu, sayang. Kau terlihat ketakutan
sekali,” tegur Justin dengan halus. “Aku juga memikirkan si kecil di dalam
sana,” ujarnya melanjutkan. Ia telah berada di hadapanku, berdiri kali ini
kurasa ia lebih tinggi lagi. Apa dia masih berada dalam masa pertumbuhan? Atau
aku yang semakin pendek? Tidak mungkin. Ini hanya perasaanku saja. Tangannya
yang besar menarik pinggangku hingga renda-renda yang kupakai menggesek tubuhku
yang hanya terbaluti pakaian dalam dibaliknya.
“Aku
tidak takut padamu, Justin. Kita akan menjadi suami-istri setelah ini. Memang
mengapa kita tidak boleh melakukan hubungan badan di dalam sana?” aku
penasaran. Ia berdeham lalu tangan kirinya mengambil sedikit rambutku yang
menutupi pipi dan menyelipkannya ke balik telingaku.
“Karena
darah itu adalah darah perawan suci, sayang. Kita tidak boleh melakukan
hubungan badan kita di sana karena aku sudah tak suci lagi. Kita hanya perlu
masuk ke dalam sana dan mengucapkan janji-janji kita serta komitmen untuk
kehidupan kita kelak. Kita telah mendiskusikannya bukan?” suara Justin yang
serak basah itu membuat tubuhku bergetar di bawah sentuhannya. Lalu kulihat
senyum tipisnya muncul. Tapi aku tidak ingin membuang waktu ini, aku ingin
sekali menjadi istri dari Justin Bieber agar vampire lain tidak dapat
memilikinya lagi. Aku ingin hanya akulah yang menjadi pemilik dari Justin. Aku
tahu ini terdengar egois, tapi demi Tuhan aku sangat mencintainya. Aku
mengabaikan apa yang ia katakan, menarik tubuhku dari dekapannya dan berjalan
menuju kolam darah. Berdiri di sisi
kolam membuatku bergidik, apa rasanya? Kulangkahkan kaki untuk menuruni tangga
kolam pertama. Saat kakiku menyentuh darah merah yang kental ini, tubuhku
menegang namun tangan Justin dari belakang mendekap kedua lenganku.
“Tenang,”
bisiknya lembut. Satu kaki telah berhasil memasuki satu tangga kolam darah.
Kemudian kakiku yang lain menyusulnya. Kedua kakiku terus melangkah dan semakin
lama semakin dalam mengikuti turunan tangga yang kuinjak dan tangan Justin
meninggalkan tubuhku. Sampai pada akhirnya, aku telah berada di tangga
terakhir. Setengah tubuhku telah tertutupi oleh darah kemudian sampai pada
lenganku saat kualngkahkan kakiku ke lantai kolam darah. Kuhembuskan nafasku
untuk menenangkan tubuhku dan mataku terpejam. Kudengar langkah kaki Justin
yang mulai memasuki kolam darah, sangat cepat ia telah berada di belakangku.
Tangannya yang basah akibat darah membasahi bahuku.
“Aku
akan selalu membuatmu bahagia,” bisik Justin mengelus pundakku lalu turun ke
lengan dengan perlahan masuk ke dalam darah dan menemukan tanganku. “Aku tidak
akan pernah ingin membuatku sakit kembali seperti apa yang telah kulakukan
padamu. Tugas apa pun yang kuhadapi, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku
berjanji, tangan ini tidak akan pernah memukulmu sayang. Justru tangan ini akan
merangkulmu dan anak kita nanti untuk melindungi kalian dari apa pun. Mulut ini
tidak akan pernah membuat hatimu tersakiti, justru akan selalu memuja tiap
jengkal darimu dan betapa hebatnya dirimu dalam hidupku. Mata ini tidak akan
pernah melirik gadis lain karena bagiku, mata ini hanya akan tertuju padamu,”
Justin mengucapkan kata-kata janjinya untuk pernikahan kami. Tangannya yang
masih menggenggam tanganku meremasnya dalam darah. Aku menyimpan segala
perkataannya dalam hatiku. Aku tahu Justin memiliki sisinya yang manis, inilah
alasan mengapa aku ingin Justin menikahiku. Ia bukanlah lelaki yang jahat. Ia
adalah pelindung bagiku.
“Semua
itu kulakukan karena aku mencintaimu,” ujar Justin yang menarik tanganku
sehingga aku membalikkan tubuhku untuk melihatnya. Saat aku telah berbalik,
Justin memberikan ekspresi wajah: sekarang ucapkan janjimu untukku.
“Tidak
banyak yang dapat kujanjikan untukmu, Justin. Tapi keyakinanku terhadapmu akan
selalu menemaniku melewati apa pun. Aku mencintaimu,” ujarku tidak dapat
menahan rasa untuk mengecup bibirnya yang sungguh menggoda bagiku. Kuangkat
tanganku dari dalam darah dan melepaskan genggaman Justin, kedua tanganku
merangkul leher Justin sehingga ia terpaksa harus menundukkan kepalanya.
Kumajukan bibirku untuk bertemu dengan bibirnya. Kupejamkan mataku dan
memiringkan kepalaku agar kecupan ini akan lebih terasa. Kedua tangannya yang
besar memegang sisi pinggangku dan menarikku lebih dekat lagi. Lidah kami saling
bertaut dan menghasilkan bunyi cepakan dari bibir kami. Terdengar sangat kotor
namun aku sangat menikmatinya. Aku tidak tahu kapan itu terjadi namun aku telah
menyelam ke dalam kolam darah dengan bibir yang masih bersatu dengan Justin.
Sedikit-sedikit darah masuk ke dalam ciuman kami sehingga ciuman ini terasa
lebih manis. Aku meneguk setiap darah yang masuk ke dalam mulutku. Dan mataku
kembali terbuka saat Justin menarik pinggangku untuk muncul ke permukaan.
Kulihat wajah Justin dan rambutnya dilumuri oleh darah –untunglah ia tidak
memakai mahkotanya. Kutarik nafasku dan mengecap-kecap lidahku untuk menikmati
darah yang masih tersisa di sekitar bibirku. Kujinjitkan kakiku karena aku
sungguh bersemangat telah menjadi istri dari seorang Justin Bieber. Lalu,
setelah ini apa? Kita keluar dengan tubuh yang dilumuri oleh darah? Aku rasa
tidak. Justin tidak mengatakan apa-apa, dari tadi matanya terus memerhatikan
wajahku dengan senyum yang tak meninggalkan wajahnya. Sebelumnya, aku tidak
pernah melihat senyum Justin yang mengembang terus menerus seperti ini.
“Kau
tahu apa yang kulupakan?” tanya Justin tiba-tiba, darahnya yang berada di atas
bibirnya jatuh masuk ke dalam mulutnya. Aku melipat bibirku dan mengangkat
kedua bahuku seperti anak kecil yang ditanya, dimana kue ulang tahun nenekmu?
“Cincin
pernikahan kita! Ya Tuhan, betapa bodohnya aku. Di keturunan Kidrauhl, sang
lelaki yang memegang kedua cincinnya lalu begitulah. Tapi, sial, aku terlalu
gugup! Tunggu di sini,” ujar Justin terlihat sangat bodoh. Tapi aku tidak ingin
melihat wajah suamiku sekarang tampak konyol saat keluar dari ruang ini. Saat
ia ingin menjauhkan dirinya dariku, aku memegang tangannya.
“Apa?”
tanya Justin. “Kau tidak ingin memakai cincin pernikahan?”
“Bukan,
tapi..” aku menjinjitkan kakiku dengan salah satu tanganku menarik lehernya
sedikit ke bawah sehingga sekarang lidahku menjilat pipinya yang dipenuhi
darah. Lidahku menjilati pipi, rahangnya bahkan aku memasukan lidahku ke dalam
mulutnya. Mengeluar-masukan lidahku ke dalam mulutnya seperti sedang
berhubungan badan namun buru-buru aku mengeluarkan lidahku sebelum nafsu Justin
naik. Lidahku terus menjilati wajahnya hingga benar-benar bersih dari darah,
bahkan keningnya. Gila, aku tidak percaya aku sedang menjilati wajahnya! Kau tahu
seberapa joroknya itu? Tapi aku tidak peduli.
“Aku
lebih memilih lidahmu yang membersihkan tubuhku dibanding air bersih,” gumam
Justin yang menggodaku, aku hanya terkikik lalu menurunkan jinjitan kakiku.
Well, wajahnya tidak terlalu bersih. Tapi setidaknya, pipinya telah bersih dan
dagunya juga telah bersih.
“Pergilah,
kau sudah terlihat lebih tampan,” seruku mendorong tubuhnya menjauh dariku.
“Aku
bahkan tidak menyangka kau akan melakukan itu padaku. Jujur saja, aku
menikmatinya. Aku menginginkannya lagi lain kali,” ceracau Justin berjalan
keluar dari kolam darah. Celana putih yang ia pakai sekarang telah benar-benar
berubah warna menjadi warna merah. Sangat merah! Darah itu menetes-netes dari
sisi-sisi celana. Begitu juga dengan rambutnya. Intinya, ia sungguh berlumuran
darah! Bahkan jika boleh, aku ingin menjilati darah itu kembali. Mungkin bagi
manusia, Justin seperti es krim vanilla yang dilumuri oleh saus cokelat manis.
Yeah, Justin terasa lebih manis jika ia dilapisi oleh darah. Kugigit bibir bawahku,
memikirkan apa yang kulakukan tadi. Menjilati wajah Justin yang berlumur darah!
Gila, aku tidak pernah seliar itu, tapi Justin tidak memberontak atau apa pun.
Justru ia menginginkannya lagi. Bagaimana dengan wajahku? Apa wajahku sama
seperti wajahnya tadi? Aku menelan ludahku.
Pintu
yang beberapa menit tadi tertutup sekarang terbuka kembali dan memunculkan
Justin bersama dengan suara teriakan dari luar. Sialan! Pasti gadis-gadis di
luar sana melihat tubuh Justin yang setengah telanjang itu. Mengapa Justin
tidak keluar memakai jubah? Sial, tadi aku tidak memerhatikannya.
“Cincin,
Ratu Kidrauhl?”
“Tentu,
Raja Kidrauhl. Aku tidak sabar untuk memakai cincin yang dimana akan menandakan
bahwa kau hanya milikku,”
“Kau
tampak sangat buas hari ini Ratu Kidrauhl, ada apa gerangan Ratu Kidrauhl?”
Justin menggodaku dengan tangannya yang memegang sebuah kotak cincin. Ia
berjalan masuk ke dalam kolam, namun gerakannya sangat lamban.
“Bukankah
yang menggoda Ratu Kidrauhl adalah Raja Kidrauhl yang sekarang sedang
bertanya-tanya namun ia telah mengetahui jawabannya?”
“Kau
memang paling bisa mengelak,”
***
*Author POV*
1 tahun kemudian..
Dedaunan
pohon itu semakin lama semakin banyak yang gugur. Wanita yang terduduk di atas
batu besar itu khawatir melihat keadaan hutannya yang memang menyejukan namun
tidak dapat menutupi tubuhnya, terlebih lagi sejak ia melahirkan, tingkat
kekhawatirannya terhadap dunia semakin besar. Ia takut anaknya tidak cukup kuat
untuk keluar di siang hari seperti ini bersama dengan Ayahnya yang berjabat
sebagai Raja. Beberapa bulan yang lalu ia baru saja melahirkan anak vampire
yang sekarang telah berumur beberapa bulan namun telah dapat berjalan –hormon
vampire lebih cepat dibanding manusia. Anaknya yang menggemaskan itu
berlari-lari bermain bersama dengan anjingnya, Fluppy yang masih hidup sampai
sekarang –tentu saja, anjing ini juga vampire. Mereka juga sedang bermain bola
sepak yang cukup menyenangkan.
Beberapa
kali wanita itu terkesiap saat ia melihat anaknya yang terjatuh ke atas tanah
namun tertawa-tawa bahagia setelahnya, tidak menangis. Matanya yang menawan itu
membuat para pelayan di Kerajaan terhipnotis. Theodorus Beamount Kidrauhl II
telah lahir dengan warna mata yang permanen, berwarna emas kemaduan. Rambutnya
bertumbuh sungguh cepat, berwarna cokelat kehitaman sedang berterbangan saat ia
sedang berlari. Sekalipun dedaunan itu berguguran, sekarang tidak akan ada yang
ia khawatirkan selain senyum dari anaknya. Ia tidak pernah ingin melihat
anaknya sedih dan kekurangan kasih sayang seperti yang terjadi pada kedua
orangtua Theo.
“Aw!”
Theo mengerang saat untuk yang kesekian kalinya ia terjatuh ke atas tanah.
Chantal, Ibunya, terkesiap kembali. Namun Ayahnya, Justin, tampak biasa saja
melihat anaknya terjatuh seperti itu. Baginya, Theo harus disiplin tanpa
terintimidasi. Tapi Theo tidak menangis, ia bangkit dari jatuhannya. Sebelum ia
kembali bermain bola dengan Ayahnya, ia melihat kedua tangannya yang kotor
terkena tanah. Ia menepuk-nepuk tangannya lalu menggesek-gesekkannya agar tanah
yang mengotori tangannya meninggalkan tangannya.
“Theo,
pelan-pelan sayang,” seru Chantal dari atas.
“Dia
tidak apa-apa, sayang,” Justin yang membalas Chantal dengan nada suara yang
santai. Chantal hanya menganggukan kepalanya namun ia masih was-was. Mulut Theo
yang mungil seperti paruh penguin itu mengerucut, masih memerhatikan tangannya
yang kotor.
“Ayo,
Theo! Cepat tendang bola itu!” seru Justin menepuk tangannya dan memberikan
gaya kuda-kuda pada anaknya bahwa ia siap untuk tendangan anaknya. Namun Theo
tidak mempedulikan Ayahnya, ia masih memerhatikan tangannya. Matanya terfokus
pada tanah yang masih menempel di telapak tangannya.
“Kotor!”
teriak Theo mendongakkan kepalanya ke atas dan mengangkat kedua tangannya yang
mungil pada Ibunya. Tanpa berpikir panjang, Chantal melompat dari atas batu dan
berdiri di hadapan anaknya. Ia terjongkok lalu meraih kedua tangan anaknya yang
mungil. Mulutnya meniup-tiup telapak tangan anaknya dan membersihkan
telapaknya.
“Lapar,”
gumam Theo.
“Lapar?
Kau ingin darah?” tanya Chantal masih membersihkan tangan Theo. Theo hanya
mengangguk kepalanya. Chantal membalikkan kepalanya untuk menyuruh Justin
mengambil botol darah yang ada di atas batu yang baru saja ia tinggalkan tadi.
Justin sedang bermain-main dengan bola sepaknya, seolah-olah ia adalah pemain
sepak bola yang hebat.
“Ayah
Justin yang paling tampan, bisakah kau mengambilkan botol darah di atas untuk
anakmu yang kelaparan?” tanya Chantal dengan suara yang sangat lembut. Sontak
Justin langsung menghentikan kakinya yang menendang-tendang bolanya lalu
menolehkan kepalanya ke arah batu yang tadi diduduki Chantal. Terlihat botol
berwarna hitam terdiam di atas sana. Justin melompat ke atas batu, berdiri di
sana. Tangannya meraih botol darah anaknya namun ia memiliki rencana lain.
Rencana agar ia dapat menikmati waktu yang berkualitas bersama dengan
keluarganya.
“Kau
ingin darah ini?” Justin berteriak dari atas pada Theo. Theo menganggukkan
kepalanya, polos. Mulut semakin mengerucut.
“Ke
sini, daddy!” teriak Theo mengangkat kedua tangannya sambil
menggerak-gerakannya, menyuruh Justin untuk turun.
“Dapatkan
daddy, maka kau akan mendapatkan darahmu!” teriak Justin seperti anak kecil dan
mulai berlari dari batu itu. Tapi ia tidak berlari begitu cepat, sebelum ia
berlari sangat jauh dari tempat berdiri anaknya berdiri ..
Theo
menangis dan Justin mendengus.
“Sial!”
Cerita dunia beda... tapi tetep seru
BalasHapusini udh memang tamat atau masih ada lanjutannya thor ?
BalasHapus