Justin mengumpat dalam hati. Mengapa Laura harus
mengerang seperti itu? Langsung saja Justin terbatuk-batuk di tempatnya dan
mengerang sehingga Jasmine langsung membalikkan tubuhnya dengan raut wajah
panik. Ya, cara itu ternyata berhasil mengecohkan Jasmine. Justin langsung
terperosok jatuh ke atas tempat tidur dengan tangan yang menyentuh punggungnya.
“Ya
Tuhan, Jasmine. Punggungku, punggungku,” erang Justin merangkak naik ke atas
tempat tidurnya. Sebenarnya punggung Justin memang merasakan sedikit sakit.
Tetapi ini semua demi melindungi Laura dari amukan gorilla. Justin tidak ingin
mengambil resiko Laura akan terluka karena gantungan baju Justin melayang di
punggung atau lengan Laura. Yah, Jasmine tidak sejahat itu, kalau ditelaah
baik-baik. Justin hanya tidak ingin mengambil resiko, itu saja. Jasmine
membantu Justin untuk berbaring di atas tempat tidur. Tampaknya wanita itu
benar-benar kuatir dengan keadaan Justin yang bukannya membaik malah semakin
buruk.
“Seharusnya
kau tidak keluar dari rumah sakit dulu, lihatlah dirimu. Kau masih mengerang
kesakitan. Apa sudah merasa lebih baik?” Tanya Jasmine mengambil beberapa
bantal Justin dan ditaruhnya di belakang punggung Justin agar Justin bisa
terduduk dengan nyaman. Justin menggelengkan kepalanya, ia memberikan senyuman
terima kasih pada Jasmine sekaligus senyum penuh kelegaan karena Jasmine tidak
jadi membuka pintu lemarinya. Sedangkan Laura, ia ingin sekali tertawa dengan
situasi yang terjadi sekarang. Mengapa Justin bisa melakukan hal itu? Batuk dan
mengerang? Siapa sangka hal itu ternyata berhasil mengalihkan perhatian
Jasmine. Laura menggigit bibirnya. Kepalanya tadi membentur alumunium, tempat
gantungan baju Justin bertengger. Jadi sekarang ia terduduk, memeluk lututnya sambil
menggigit bibir untuk menahan tawa. Dari dalam ia mendengar Justin dan Jasmine
berbicara sebentar. Lalu ia mendengar Justin mengusir Jasmine dari kamarnya
dengan alasan Justin ingin beristirahat. Apa ada hal yang lebih lucu dari ini?
Alasan Justin benar-benar lucu!
“Baiklah
kalau begitu,” ucap Jasmine. Laura dapat mendengar suara langkahan kaki lalu
bukaan pintu, lalu pintu tertutup. Laura memejamkan matanya. Rasa syukur
menghujani tubuhnya, jadi, ia mendesah penuh kelegaan. Pintu lemari Justin terbuka
begitu saja dalam waktu beberapa detik, Laura langsung mengambil nafasnya
dalam-dalam. Menghirup udara luar. Berada di dalam lemari benar-benar
membuatnya pengap.
“Kau
baik-baik saja di dalam?” Tanya Justin menarik tangan Laura agar Laura berdiri.
Laura menganggukan kepalanya dengan senyum kaku. Nah, sekarang mereka berdua di
kamar ini, lagi. Dari luar sana terdengar suara larian menuju kamar Justin,
lalu bukaan pintu. Belum sempat Laura dimasukkan kembali ke dalam kamar,
Jasmine sudah muncul dengan raut wajah kesal dan masam. Jasmine merasa
diselingkuhi oleh kekasihnya sendiri—tapi memang itu benar sekali. Mulut Laura
menganga melihat Jasmine yang berada di ambang pintu dengan salah satu sepatu
di tangannya. Sepatu tinggi yang memiliki hak yang berujung tajam. Kemana
sepatu yang lain?, pikir Laura dalam situasi genting. Tentu saja Laura bertanya
seperti itu karena Jasmine tidak mengenakan sepatu apa pun. Justin membeku di
tempatnya. Ia melipat bibirnya ke dalam, matanya melirik Laura yang tangannya masih
berada dalam genggaman Justin. Hanya deru nafas dari tiga orang itu yang
terdengar di dalam kamar itu sampai akhirnya Jasmine yang memutuskan untuk
angkat bicara.
“Mengapa
kau melakukan ini?” Tanya Jasmine putus asa. Tangannya yang memegang sepatu tinginya
itu sekarang memerah. Terutama kukunya yang sekarang berubah menjadi warna
putih. Urat-urat hijau itu tercetak di tangannya yang langsing itu. Ya, benar
sekali, Jasmine ingin melempar sepatu itu pada salah satu orang di hadapannya.
Entah siapa yang harus ia lempari. Wanita itukah? Atau Justin, kekasihnya?
Tunangannya? Justin lalu melepaskan tangan Laura dan berdiri di depan Laura
untuk melindungi Laura. Jasmine menelan ludahnya dengan mata terpejam, sedetik
kemudian, air matanya mengalir menghias pipinya yang putih. Saat mata itu
terbuka, mata itu sudah berubah menjadi warna merah. Ia menangis. Kesal. Marah.
Seolah-olah jiwa psikopat yang seharusnya berada di dalam tubuh Jasmine itu
sekarang muncul. Tidak, ia tidak ingin melempar Justin dengan sepatunya. Tetapi
wanita sialan yang berada di belakang tubuh Justin! Ia ingin menjambak rambut
cokelat panjang itu dan memukul kepalanya dengan ujung sepatunya yang runcing!
Mengapa bisa-bisanya wanita itu berada di dalam kamar Justin?
“Jasmine,
aku harus jujur padamu, sayang,” ucap Justin selembut yang ia bisa.
“Jangan
panggil aku dengan panggilan sialan itu! Apa maumu sebenarnya? Aku sudah
berusaha sebaik mungkin untuk menjadi kekasih yang baik dan menjadi ibu bagi
Lily, tapi mengapa kau melakukan ini? Berselingkuh di belakangku?”
“Memangnya
kau ingin aku berselingkuh di depanmu?” Tanya Justin yang membuat Laura tertawa
tertahan di belakang. Tangan Laura yang memegang pinggang Justin sekarang
meremas pinggang Justin hingga Justin harus memainkan lidah di dalam mulutnya
agar tidak ikut tertawa. Setelah beberapa detik dapat menahan tawanya, akhirnya
Justin membuka mulutnya. “Dengar, Jasmine. Aku awalnya tidak bermaksud untuk
berselingkuh darimu. Kau tahu bukan tujuan awalku bertunangan denganmu adalah
langkah terakhir, apa kau benar-benar cocok menjadi ibu Lily atau tidak?
Ternyata, tidak. Selama satu bulan penuh kau tidak berada di rumah sakit. Kau
hanya berada di sana ketika aku berada di sana juga. Tapi Laura. Tiap hari ia
mendatangi Lily di rumah sakit. Terlebih lagi, Lily menyukainya,”
Kepala
Jasmine seperti terhantam oleh sesuatu. Kepalanya pening. Ia bingung dengan
penjelasan Justin. Benarkah selama ini Justin bertunangan hanya karena itu
adalah langkah terakhir Justin untuk memastikan apakah Jasmine layak menjadi
ibu Lily atau tidak? Bukan berdasar cinta?
“Tapi
aku mencintaimu,” bisik Jasmine, melemah. Tangannya yang memegang sepatu itu
menjatuhkan sepatunya ke lantai. Ia menatap Justin dengan raut wajah sedih. “Dan
kupikir, kau juga mencintaiku,”
“Jasmine,
a-aku memang mencintaimu. Dulu. Saat aku berpikir kau orang yang pas untuk
menjadi ibu Lily. Tapi, di belakangku, wanita ini …dia ternyata memiliki
kemampuan yang lebih dari yang kaupunya. Ia dapat membuat Lily merasa lebih
bahagia. Aku tidak ingin bersikap kasar padamu, tapi, kurasa kita harus
mengakhiri hubungan ini,” ucap Justin menggeleng-gelengkan kepalanya. Laura
memejamkan matanya, merasa bersalah karena ia telah membuat dua orang yang
telah membangun hubungan mereka selama 3 tahun lalu rubuh begitu saja karena
kedatangannya. Tapi itulah yang seharusnya memang terjadi. Jasmine memejamkan
matanya untuk beberapa saat. Emosi yang ia rasakan benar-benar meluap, namun
suara Justin yang lembut benar-benar berhasil menyurutkan emosi Jasmine, meski
Jasmine merasakan sakit hati. Tanpa sepatah katapun, Jasmine melangkah pergi
dari kamar Justin.
“Jasmine,
tunggu!” Justin memanggil. Senyum Jasmine mengembang ketika Justin
memanggilnya. Mungkin Justin akan meminta maaf padanya sebentar lagi, jadi,
Jasmine membalikkan tubuhnya.
“Ada
apa Justin?” Tanya Jasmine menatap Justin.
“Sepatumu.
Kau meninggalkan sepatumu,” ucap Justin menunjuk pada sepatu yang jatuh di
mulut pintu kamarnya. Dengan perasaan kesal, Jasmine langsung mengambil
sepatunya lalu berlari meninggalkan Justin. Setidaknya, Justin sudah tidak
berada dalam cengkraman Jasmine.
***
“Jadi, menurutmu, kemana kita akan pergi bersama
dengan Lily?” Tanya Justin meminta saran dari Laura. Malam ini mereka tampak
sangat akur di ruang makan. Memakan makanan mereka dengan santai sambil
membicarakan hal-hal yang sebenarnya tidak begitu penting namun dapat membuat
mereka semakin dekat. Laura tidak tahu harus pergi kemana. Ia tidak pernah
pergi keluar negeri sebelumnya. Bahkan ia tidak pernah berpikir sampai sana.
Hanya di New York, tempat tinggalnya. Jadi Laura hanya mengangkat kedua bahunya
lalu memakan makanannya.
“Aku
berpikir, kita harus pergi ke Kanada. Tempat orangtuaku dan memperkenalkanmu
pada mereka,” ucap Justin bersemangat. Laura terkejut hingga tersedak akan
ucapan Justin, tanpa berpikir panjang, Justin langsung memberikan minumannya
pada Laura. “Kupikir itu ide yang bagus. Pasti mereka akan mengapa,”
“Apa
kau gila?” Tanya Laura menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apa yang akan mereka
katakan nanti? Kau bahkan belum memberitahu pada mereka kalau kau sudah
memutuskannya,” ucap Laura menaruh gelas yang ia pegang tadi ke atas meja
makan. Justin mengedik bahu.
“Apa
pun pendapatmu, kita akan tetap pergi ke sana,” ucap Justin tidak peduli. Laura
melipat bibirnya ke dalam, tangannya memainkan makanannya sekarang. Nafsu
makannya hilang begitu saja. Ia akan pergi keluar negeri. Ia bahkan tidak
pernah berpikir bahwa ia akan pergi ke Kanada. Tapi itu terjadi sekarang. Ia
pergi bersama dengan pria tampan yang memiliki satu gadis cilik yang manis ke
Kanada nanti. Bukankah ini akan terlihat seperti keluarga kecil dibanding
terlihat seperti seorang pengusaha yang mengajak penjaga anaknya ke Kanada?
Hening berkepanjangan membuat mereka berbicara dengan pikiran mereka sendiri.
Justin belum memberitahu pada orangtuanya tentang hubungannya dengan Jasmine
sekarang. Pasti Jasmine sebentar lagi akan memberitahu pada orangtuanya, lalu
orangtuanya akan memberitahu orangtua Justin tentang hubungan mereka yang
rusak. Lalu tentu saja, Jasmine akan menyalahkan Laura. Dan orangtua Justin
juga akan menyalahkan Laura. Terlebih lagi, posisi Laura sebagai penjaga Lily
benar-benar mendukung. Bukankah memang banyak skandal antara penjaga anak
dengan majikannya di Amerika? Laura sudah termasuk di dalamnya—meski itu tidak
sepenuhnya benar. Dan Laura. Ia pasti
sudah tahu bahwa dirinya akan dihina habis-habisan oleh Jasmine! Laura
menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak terasa tangannya telah melepas garpunya. Ia
takut bertemu dengan orangtua Justin lagi –mereka sudah pergi 2 hari yang lalu
dari Amerika. Kali ini keadaan sudah berbeda. Justin dan Jasmine sudah putus
dan itu semua dikarenakan Justin ketahuan berduaan bersama dengan Laura di
dalam kamarnya oleh Jasmine! Tentu saja Laura akan dicap sebagai wanita perebut
kekasih orang. Atau jalang. Atau semacamnya. Bisa saja keduanya.
“Jangan
berpikir negatif,” ucap Justin menyarankan Laura, membuyarkan lamunan wanita
itu. Laura mendongak, menatap Justin dengan tatapan pasrah. Baiklah, jika memang
Justin ingin Laura pergi ke Kanada bersamanya, itu akan terjadi. Siapa yang
bisa menghentikan Justin sekarang? Ia mengontrol segalanya. “Semuanya akan
baik-baik saja, percaya padaku,”
“Ya,
tentu saja.” Ucap Laura lalu mengambil garpunya kembali. Ia memakan makanannya
begitu hening. Justin memerhatikan wanita itu dengan tatapan kasihan. Bukan
karena situasi yang terjadi sekarang. Tapi, masa lalunya. Mengapa bisa-bisanya
ibu Laura meninggalkan Laura? Itu termasuk kisah yang sedih untuk orang seperti
Laura. Ia juga termasuk wanita yang kuat melewati masalah-masalahnya. Dan
hebatnya, ia masih bisa bernafas di hadapan Justin dan dengan keadaannya yang
benar-benar …bisa dibilang, Laura bukan orang kekurangan. Merasa ditatapi terus
menerus oleh pria tampan itu, akhirnya Laura mendongak, membalas tatapan Justin
dengan tatapan jenuh.
“Apa
yang salah?” Tanya Laura memutar bola matanya, tidak suka diperhatikan. Justin
tertawa melihat tingkah Laura yang sepertinya memang kesal pada Justin. Justin
senang mengganggu orang, sebenarnya. Rasanya Laura ingin menyiram wajah Justin
atau memukul Justin. Atau melakukan kedanya secara bersamaan. Tapi ia
mengurungkan niatnya ketika ia melihat tawa ringan itu. Justin terlihat sangat
bahagia setelah selama satu bulan penuh, Laura jarang sekali melihat Justin
tertawa. Tapi hari ini? Hari ini Justin banyak tertawa. Bahkan punggungnnya
sakit hanya karena ia tertawa terbahak-bahak.
“Tidak
ada,” ucap Justin. “Hanya lucu,” lanjut Justin menutup bibirnya dengan kepalan
tangan kirinya. Oh, pria kidal yang tampan. Mungkin tulisan tangan Justin
memang hancur dan hampir bisa dibaca—atau dalam kata lain tidak bisa
dibaca—namun berbeda dengan wajahnya, wajahnya tidak hancur. Pemikiran Laura
yang seperti ini membuat dirinya merasa seperti anak remaja yang membicarakan
hal-hal yang tidak penting dari lelaki yang disukai.
“Apa
yang akan dikatakan oleh orangtuamu tentang hubunganmu dan Jasmine nanti?”
Tanya Laura. Tampaknya Laura memang tidak ingin mengikuti perkataan
Justin—walau tetap saja, apa pun yang dikatakan Laura akan
diabaikan—setidaknya, Laura sedang mencoba untuk membatalkan kepergiannya ke
Kanada.
“Mereka
akan menyukaimu. Percaya padaku. Sudah kubilang, mereka akan mengerti mengapa
aku memutuskannnya. Dari semua yang terpenting, Lily-lah yang terpenting. Aku
memilihmu untuk menjadi ibu Lily. Kita akan mencobanya. Aku masih memiliki
waktu 2 bulan untuk meluluhkan hatimu,” walau
sebenarnya, kau telah melakukannya, terdapat lanjutan dari Laura namun
terucapkan oleh hati yang tak sampai mulutnya. Laura menganggukkan kepalanya,
mengerti sepenuhnya dengan ucapan Justin sekarang. Dari semua yang terpenting,
Lily-lah yang terpenting. Justin memang sangat benar.
“Aku
ragu tentang itu,”
“Maksudmu
apa? Kupikir kau jatuh cinta pada Thomas hanya dalam waktu satu minggu. Dan aku
memiliki 3 bulan. Jadi, apakah sudah jelas siapa yang akan mendapatkanmnu?”
Tanya Justin menggoda sekaligus kesal karena hal ini pasti akan membawa-bawa
nama Thomas. Ia benci dengan mahluk
itu. Apalagi jika Justin bertemu dengannya secara langsung. Rasanya ia ingin
menumbuki wajah itu hingga berubah menjadi kentang tumbuk. Oh, omong-omong, dia
sudah dipecat dari kantor Justin sejak satu bulan yang lalu. Thomas tidak memberitahu
Laura karena itu perjanjian antara Justin dan Thomas. Jika Thomas memberitahu
Laura, otomatis Laura akan membenci Justin bukan? Jadi lebih baik Thomas diam,
sikat gigi lalu tidur. Tidak mengatakan apa-apa pada Laura.
“Besok.
Besok kita akan pergi ke Kanada.”
***
LAURA
HARE
Semuanya
semakin terasa nyata ketika aku turun dari pesawat pribadi milik Justin.
Pesawat pribadi? Oh, itu tidak mungkin! Aku tidak akan percaya Justin memiliki
pesawat pribadi. Namun kenyataannya adalah aku baru saja turun dari pesawat
itu. Justin sudah turun lebih dulu dariku dengan Lily berada dalam
gendongannya. Meski Lily pergi berjalan-jalan, Justin tidak ingin mengambil
resiko untuk kehilangan anak satu-satunya itu. Ia membawa suster pribadi –yang
jika dilihat seperti dokter pribadi—untuk ikut bersama kami ke Kanada. Lily
tertidur dalam gendongan Justin. Wajahnya tidak begitu pucat. Namun selama
perjalanan menuju Kanada, ia terus terdiam. Mungkin ia merindukan Thomas atau
Jimmy. Justin masuk ke dalam mobil bagian belakang, suster yang berada di
depanku disuruh untuk duduk di depan mobil, jadi aku duduk berdampingan dengan
Justin. Nancy tidak ikut pergi bersama dengan kami. Sejak kejadian kami
ketahuan membawa Thomas dan Jimmy ke rumah sakit, Justin tidak begitu banyak
bicara dengan Nancy. Ia juga tidak memecat Nancy, aku meminta Justin. Yah, aku
tidak ingin Nancy mendapat getahnya hanya karena perbuatanku yang sembrono.
“Apa
kau sudah memberitahu orangtuamu kalau kau akan datang hari ini?”
“Aku
tidak pernah memberitahu mereka akan kedatanganku,” ucap Justin menoleh padaku.
Tangan Justin mengelus-elus punggung Lily dengan lembut lalu ia menyandarkan
kepalanya pada kepala Lily—tidak menindih Lily sepenuhnya. “Biarkan ini menjadi
kejutan untuk mereka. Yang membuatku heran adalah orangtuaku tidak
menghubungiku. Ini sudah lebih dari 10 jam, kau tahu,”
“Mungkin
mereka memilih waktu yang tepat,” komentarku. Tiba-tiba saja tangan Justin yang
mengelus punggung Lily meraih tanganku, meremasnya dengan lembut. Mataku
akhirnya lebih terfokus pada tangan kami. Aku mendesah. Mobil ini sudah keluar
dari lapangan lepas landas. Kemudian terlihatlah jalanan luas yang dipenuhi
oleh mobil-mobil. Semuanya akan baik-baik saja.
***
AUTHOR
Justin
dan Laura baru saja tiba di rumah orangtua Justin. Rumah tampak sepi. Salah
seorang pelayan tiba-tiba saja muncul dan disusul oleh pelayan lain. Justin
segera menganggukkan kepalanya, menyuruh mereka untuk mengangkat koper-koper
yang mereka bawa ke kamar Justin dan Lily. Jadi, dimana kamar Laura? Yah, tidak
ada pilihan lain, tapi Laura akan tidur bersama dengan Justin. Justin memberi
Lily pada suster yang berdiri di belakangnya. “Bawa dia ke kamar,”
Dan
lalu Justin memegang tangan Laura untuk masuk lebih dalam. Biasanya orangtua
Justin berada di belakang taman mereka. Baru memasuki ruang keluarga, Justin
melihat benda-benda yang ia kenali berada di atas karpet, sofa dan lantai.
Barang-barang yang sering ia lihat. Lalu ia mendengar suara Pattie sedang
berbicara di belakang taman. “Ada apa?” Tanya Laura melihat raut wajah Justin
yang berubah menjadi raut wajah bingung. Justin mengerutkan kening, ia menarik
Laura namun tetap menempatkan Laura di belakang tubuhnya.
“Justin,
sebenarnya ada apa?” Tanya Laura dengan suara yang besar kali ini. Mereka
berjalan keluar dari pintu penghubung taman belakang dengan ruang keluarga.
Saat mereka keluar, Laura bisa melihat pemandangan terindah seumur hidupnya.
Taman belakang keluarga Herich memang identik dengan keluasannya. Tapi tumbuhan
di rumah orangtua Justin lebih bervariasi dan berbeda jenis.
“Hei,
mom. Dad. Apa yang terjadi di sini?” Tanya Justin melihat ibunya sedang
menepuk-nepuk seseorang. Tiba-tiba saja orang yang ditepuk-tepuk punggungnya
itu –wajah tak kelihatan karena tertutup rambutnya yang panjang—bangkit dari
kursi sebelah ibu Justin. Ia berlari menuju Justin dan mendorong tubuh Laura
yang berada di belakang tubuh Justin. Laura terjatuh, kepalanya membentur
lantai. Suara benturannya benar-benar kuat. Bahkan semua orang di halaman
belakang bisa mendengar suara benturan kepala itu. Dorongan dari wanita ini
sangat kuat.
“Jasmine!”
Bentak Justin menarik tubuh Jasmine dari atas tubuh Laura. “Apa-apaan yang
kaulakukan? Apa yang kaulakukan di rumah orangtuaku?”
“Dia
iblis! Dia sudah merusak hubunganku denganmu, Justin! Tidakkah kau sadar ia
adalah parasit bagi hubungan kita? Lepaskan aku! Lepaskan aku! Aku ingin
memusnahkannya dari dunia ini!” Teriak Jasmine berusaha lepas dari pelukan
Justin. Justin mundur, masuk ke dalam taman, menjauhkan Jasmine dari Laura.
Teriakkan berangsur-angsur hilang ketika mereka menghilang dari pandangan
Laura. Laura mengerang. Ayah Justin langsung berdiri, menolong Laura bangkit
dari lantai.
“Aku
yakin pasti kau sangat terluka,” ucap Ayah Justin berusaha menahan Laura agar
Laura bisa berdiri. Ibu Justin melihat Laura dengan raut wajah kasihan. Kedua
orangtua ini tampak bingung. Tidak seharusnya mereka mengikutcampuri hubungan
anaknya. Mereka tidak bisa memilih Laura atau Jasmine. Semua itu berada di
tangan Justin. Jika wanita itu adalah pilihan Justin, maka dia jugalah yang akan menjadi pilihan Pattie dan Jeremy. Baru
beberapa langkah masuk ke dalam rumah, Laura pingsan. Jika tidak ada tangan
Jeremy, mungkin Laura sudah terjatuh ke lantai.
“Aku
akan mengambil es batu.” ucap Pattie berjalan terburu-buru menuju dapur.
***
“Dia
sudah gila,” samar-samar Laura dapat mendengar suara Justin yang bernada marah
itu. Kepalanya benar-benar pening. Benturan kepala Laura benar-benar keras.
Bahkan ketika kejadian itu terjadi, Laura merasa tulang kepalanya retak dari belakang
hingga depan lalu cuss, kepalanya
terbuka begitu saja bersamaan dengan otaknya yang keluar. Setelah Laura merasa
ia dapat membuka matanya, ia mengerjap-kerjapkan mata terlebih dahulu. Laura
masih mendengar ocehan Justin penuh dengan maki-makian terhadap Jasmine. Dan
betapa sabarnya Justin untuk tidak memukul Laura. Seperti yang Justin pernah
akui, ia akan melindungi orang yang ia cintai. Jika orang yang ia cintai
diganggu atau disakiti, Justin akan turun tangan untuk membalasnya. Tapi Justin
sadar bahwa Jasmine adalah mantan tunangannya. Bagaimana pun Jasmine sudah
pernah mengarungi 3 tahun masa hidupnya bersama dengan Justin. Dan
beruntungnya, Justin masih memiliki hati.
“Dia
sudah bangun,” suara Pattie yang lembut terdengar. Namun Laura tidak dapat
melihat apa-apa, awalnya memang terlihat buram, tapi sekarang semuanya gelap. Gelap. Seketika itu juga ia panik. Ia
berusaha mencari-cari nafasnya.
“Laura.
Laura ada apa?” Tanya Justin panik. Laura dapat merasakan tangan Justin yang
menyentuh lengannya.
“Justin,”
Laura menelan ludahnya. “Aku… aku tidak dapat melihat. Semuanya gelap. Ya
Tuhan, aku tidak bisa melihat apa-apa!” Jerit Laura ketakutan. Tubuhnya
bergemetar di atas tempat tidur berukuran besar itu. Pattie segera menenangkan
Laura—dari tadi ia berada di sebelah tubuh Laura yang terbaring. Ia menyentuh
kepala Laura dengan lembut dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Hanya perlu memejamkan mata dan menenangkan dirinya, maka semuanya akan kembali
seperti semula. Laura mendengar suara lembut itu. Ia mendengarnya. Rasanya
sangat berbeda sekali dengan suara ibunya yang tiap hari membentaknya, mencaci
maki Laura, tetapi sekarang ia mendengar suara seorang ibu yang lembut dan
tangannya sedang mengelus kepala Laura. Air mata Laura mengalir. Justin dan
yang lainnya berpikir, mungkin karena panik, Laura menangis. Sebenarnya tidak.
Itu semua karena Laura merasa terlindungi sekarang. Dilindungi oleh seorang
ibu. Semuanya terdiam, kecuali Pattie yang dari tadi berceloteh. Menceritakan
hal-hal yang tidak pernah diketahui oleh Laura. Laura masih tidak melihat
apa-apa namun sekarang nafasnya lebih teratur. Justin memerhatikan ibunya.
Well, jika itu bisa membuat keduanya semakin dekat, Justin akan keluar dari
kamar. Justin akhirnya berjalan meninggalkan kamarnya bersama dengan ayahnya yang mengikuti Justin dari belakang.
Setelah mendengar suara tutupan pintu, Pattie menghentikan ucapannya.
“Apa
sudah merasa lebih baik?” Tanya Pattie perhatian. Laura menganggukkan
kepalanya.
“Tapi
aku masih belum bisa melihat. Aku takut sekarang,” bisik Laura terdengar manja.
Mungkin ini naluri karena ia tidak pernah mendapatkan kasih sayang selembut ini
sebelumnya. Hanya dari ayahnya ia mendapatkan ini. Tapi ibunya? Percayalah
kalian tidak ingin memiliki ibu seperti ibu Laura.
“Itu
hanya akan berlangsung beberapa jam. Benturan kepalamu memang benar-benar
kencang. Aku pernah merasakannya sebelumnya. Jadi, tetap tenang,” ucap Pattie
mengelus kepala Laura. “Ada yang ingin kutanyakan padamu, Laura.” Jantung Laura
berdegup kencang, lalu ia menggumam.
“Tentang
hubunganmu dengan Justin. Apa kau bisa menceritakan yang sebenarnya padaku? Aku
berjanji tidak akan membuat kalian berpisah,” ucap Pattie selembut mungkin.
Laura menelan ludahnya. Haruskah ia memberitahu Pattie? Yah, mungkin Pattie
adalah pendengar yang baik seperti Nancy. Dengan mata terpejam, Laura mulai
menceritakannya. Ia menceritakan bagaimana ia bisa bertemu dengan Justin.
Mengapa ia bisa berada di rumah Justin. Dan apa yang Laura lakukan bersama
dengan Justin selama berada di rumah. Laura pergi ke rumah sakit untuk merawat
dan menjaga Lily. Dan ia menceritakan tentang ia memukul punggung Justin dengan
gitar. Ia menceritakan tentang Thomas dan Jimmy. Selama lebih dari 30 menit
Laura menceritakan hubungannya dengan Justin namun Pattie masih setia
mendengarnya. Ini yang seharusnya Laura dan ibunya lakukan dulu ketika Laura
masih remaja. Tapi kenyataan berkata lain. “Aku tidak tahu apa yang kurasakan
sekarang. Apa aku mencintai Thomas atau Justin? Aku mencintai keduanya, namun
aku bingung memilih siapa,” ucap Laura.
“Pilihlah
dengan bijak, Laura. Aku tidak ingin kau sengsara karena memilih pilihan yang
salah,” ucap Pattie. “Aku akan memanggil Justin,” Pattie merangkak keluar dari
ranjang lalu berjalan menuju pintu kamar Justin dan menutup pintunya. Beberapa
detik kemudian, pintu kamar terbuka kembali. Justin muncul dengan perasaan
takut, gelisah, tapi juga bersyukur karena Laura sudah terbangun. Pintu
tertutup, Justin perlahan-lahan mendekati Laura yang memejamkan matanya.
“Laura?”
Panggil Justin. “Apa kau tertidur?” Tanya Justin. Laura memberikan tepukan pada
tempat tidur, meminta Justin untuk berbaring bersama dengannya di ranjang.
Segera saja Justin merangkak naik. Setelah berbaring di sebelah Laura, Justin
mengangkat kepala Laura dan menempatkannya di atas dadanya.
“Aku
menyimpan dadaku ini untuk sandaran kepalamu,” ucap Justin semanis mungkin.
Laura membuka matanya, namun masih gelap. Laura tertawa mendengar ucapan Justin
yang sok manis itu lalu ia memeluk Justin seerat yang ia bisa.
“Justin
ada yang ingin kukatakan padamu,” ucap Laura. “Tapi jangan marah padaku,
kumohon?”
“Ya,
apa itu?”
“Apa
kau berjanji?” Tanya Laura ragu-ragu. Justin menggumam, berjanji. “Ibumu sudah
tahu tentang hubungan kita yang sebenarnya. Ia tadi bertanya dan aku mengatakan
yang sebenarnya. Apa itu tidak apa-apa?” Tanya Laura takut-takut. Laura dapat
mendengar suara nafas yang tertahan lalu tangan Justin mengelus lengannya
dengan lembut sekarang.
“Itu…”
suara Justin menghilang. “Itu sempurna.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar