Jumat, 20 Desember 2013

A Beautiful Nightmare Bab 9





            Justin mengumpat dalam hati. Mengapa Laura harus mengerang seperti itu? Langsung saja Justin terbatuk-batuk di tempatnya dan mengerang sehingga Jasmine langsung membalikkan tubuhnya dengan raut wajah panik. Ya, cara itu ternyata berhasil mengecohkan Jasmine. Justin langsung terperosok jatuh ke atas tempat tidur dengan tangan yang menyentuh punggungnya.
            “Ya Tuhan, Jasmine. Punggungku, punggungku,” erang Justin merangkak naik ke atas tempat tidurnya. Sebenarnya punggung Justin memang merasakan sedikit sakit. Tetapi ini semua demi melindungi Laura dari amukan gorilla. Justin tidak ingin mengambil resiko Laura akan terluka karena gantungan baju Justin melayang di punggung atau lengan Laura. Yah, Jasmine tidak sejahat itu, kalau ditelaah baik-baik. Justin hanya tidak ingin mengambil resiko, itu saja. Jasmine membantu Justin untuk berbaring di atas tempat tidur. Tampaknya wanita itu benar-benar kuatir dengan keadaan Justin yang bukannya membaik malah semakin buruk.
            “Seharusnya kau tidak keluar dari rumah sakit dulu, lihatlah dirimu. Kau masih mengerang kesakitan. Apa sudah merasa lebih baik?” Tanya Jasmine mengambil beberapa bantal Justin dan ditaruhnya di belakang punggung Justin agar Justin bisa terduduk dengan nyaman. Justin menggelengkan kepalanya, ia memberikan senyuman terima kasih pada Jasmine sekaligus senyum penuh kelegaan karena Jasmine tidak jadi membuka pintu lemarinya. Sedangkan Laura, ia ingin sekali tertawa dengan situasi yang terjadi sekarang. Mengapa Justin bisa melakukan hal itu? Batuk dan mengerang? Siapa sangka hal itu ternyata berhasil mengalihkan perhatian Jasmine. Laura menggigit bibirnya. Kepalanya tadi membentur alumunium, tempat gantungan baju Justin bertengger. Jadi sekarang ia terduduk, memeluk lututnya sambil menggigit bibir untuk menahan tawa. Dari dalam ia mendengar Justin dan Jasmine berbicara sebentar. Lalu ia mendengar Justin mengusir Jasmine dari kamarnya dengan alasan Justin ingin beristirahat. Apa ada hal yang lebih lucu dari ini? Alasan Justin benar-benar lucu!
            “Baiklah kalau begitu,” ucap Jasmine. Laura dapat mendengar suara langkahan kaki lalu bukaan pintu, lalu pintu tertutup. Laura memejamkan matanya. Rasa syukur menghujani tubuhnya, jadi, ia mendesah penuh kelegaan. Pintu lemari Justin terbuka begitu saja dalam waktu beberapa detik, Laura langsung mengambil nafasnya dalam-dalam. Menghirup udara luar. Berada di dalam lemari benar-benar membuatnya pengap.
            “Kau baik-baik saja di dalam?” Tanya Justin menarik tangan Laura agar Laura berdiri. Laura menganggukan kepalanya dengan senyum kaku. Nah, sekarang mereka berdua di kamar ini, lagi. Dari luar sana terdengar suara larian menuju kamar Justin, lalu bukaan pintu. Belum sempat Laura dimasukkan kembali ke dalam kamar, Jasmine sudah muncul dengan raut wajah kesal dan masam. Jasmine merasa diselingkuhi oleh kekasihnya sendiri—tapi memang itu benar sekali. Mulut Laura menganga melihat Jasmine yang berada di ambang pintu dengan salah satu sepatu di tangannya. Sepatu tinggi yang memiliki hak yang berujung tajam. Kemana sepatu yang lain?, pikir Laura dalam situasi genting. Tentu saja Laura bertanya seperti itu karena Jasmine tidak mengenakan sepatu apa pun. Justin membeku di tempatnya. Ia melipat bibirnya ke dalam, matanya melirik Laura yang tangannya masih berada dalam genggaman Justin. Hanya deru nafas dari tiga orang itu yang terdengar di dalam kamar itu sampai akhirnya Jasmine yang memutuskan untuk angkat bicara.
            “Mengapa kau melakukan ini?” Tanya Jasmine putus asa. Tangannya yang memegang sepatu tinginya itu sekarang memerah. Terutama kukunya yang sekarang berubah menjadi warna putih. Urat-urat hijau itu tercetak di tangannya yang langsing itu. Ya, benar sekali, Jasmine ingin melempar sepatu itu pada salah satu orang di hadapannya. Entah siapa yang harus ia lempari. Wanita itukah? Atau Justin, kekasihnya? Tunangannya? Justin lalu melepaskan tangan Laura dan berdiri di depan Laura untuk melindungi Laura. Jasmine menelan ludahnya dengan mata terpejam, sedetik kemudian, air matanya mengalir menghias pipinya yang putih. Saat mata itu terbuka, mata itu sudah berubah menjadi warna merah. Ia menangis. Kesal. Marah. Seolah-olah jiwa psikopat yang seharusnya berada di dalam tubuh Jasmine itu sekarang muncul. Tidak, ia tidak ingin melempar Justin dengan sepatunya. Tetapi wanita sialan yang berada di belakang tubuh Justin! Ia ingin menjambak rambut cokelat panjang itu dan memukul kepalanya dengan ujung sepatunya yang runcing! Mengapa bisa-bisanya wanita itu berada di dalam kamar Justin?
            “Jasmine, aku harus jujur padamu, sayang,” ucap Justin selembut yang ia bisa.
            “Jangan panggil aku dengan panggilan sialan itu! Apa maumu sebenarnya? Aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjadi kekasih yang baik dan menjadi ibu bagi Lily, tapi mengapa kau melakukan ini? Berselingkuh di belakangku?”
            “Memangnya kau ingin aku berselingkuh di depanmu?” Tanya Justin yang membuat Laura tertawa tertahan di belakang. Tangan Laura yang memegang pinggang Justin sekarang meremas pinggang Justin hingga Justin harus memainkan lidah di dalam mulutnya agar tidak ikut tertawa. Setelah beberapa detik dapat menahan tawanya, akhirnya Justin membuka mulutnya. “Dengar, Jasmine. Aku awalnya tidak bermaksud untuk berselingkuh darimu. Kau tahu bukan tujuan awalku bertunangan denganmu adalah langkah terakhir, apa kau benar-benar cocok menjadi ibu Lily atau tidak? Ternyata, tidak. Selama satu bulan penuh kau tidak berada di rumah sakit. Kau hanya berada di sana ketika aku berada di sana juga. Tapi Laura. Tiap hari ia mendatangi Lily di rumah sakit. Terlebih lagi, Lily menyukainya,”
            Kepala Jasmine seperti terhantam oleh sesuatu. Kepalanya pening. Ia bingung dengan penjelasan Justin. Benarkah selama ini Justin bertunangan hanya karena itu adalah langkah terakhir Justin untuk memastikan apakah Jasmine layak menjadi ibu Lily atau tidak? Bukan berdasar cinta?
            “Tapi aku mencintaimu,” bisik Jasmine, melemah. Tangannya yang memegang sepatu itu menjatuhkan sepatunya ke lantai. Ia menatap Justin dengan raut wajah sedih. “Dan kupikir, kau juga mencintaiku,”
            “Jasmine, a-aku memang mencintaimu. Dulu. Saat aku berpikir kau orang yang pas untuk menjadi ibu Lily. Tapi, di belakangku, wanita ini …dia ternyata memiliki kemampuan yang lebih dari yang kaupunya. Ia dapat membuat Lily merasa lebih bahagia. Aku tidak ingin bersikap kasar padamu, tapi, kurasa kita harus mengakhiri hubungan ini,” ucap Justin menggeleng-gelengkan kepalanya. Laura memejamkan matanya, merasa bersalah karena ia telah membuat dua orang yang telah membangun hubungan mereka selama 3 tahun lalu rubuh begitu saja karena kedatangannya. Tapi itulah yang seharusnya memang terjadi. Jasmine memejamkan matanya untuk beberapa saat. Emosi yang ia rasakan benar-benar meluap, namun suara Justin yang lembut benar-benar berhasil menyurutkan emosi Jasmine, meski Jasmine merasakan sakit hati. Tanpa sepatah katapun, Jasmine melangkah pergi dari kamar Justin.
            “Jasmine, tunggu!” Justin memanggil. Senyum Jasmine mengembang ketika Justin memanggilnya. Mungkin Justin akan meminta maaf padanya sebentar lagi, jadi, Jasmine membalikkan tubuhnya.
            “Ada apa Justin?” Tanya Jasmine menatap Justin.
            “Sepatumu. Kau meninggalkan sepatumu,” ucap Justin menunjuk pada sepatu yang jatuh di mulut pintu kamarnya. Dengan perasaan kesal, Jasmine langsung mengambil sepatunya lalu berlari meninggalkan Justin. Setidaknya, Justin sudah tidak berada dalam cengkraman Jasmine.


***


            “Jadi, menurutmu, kemana kita akan pergi bersama dengan Lily?” Tanya Justin meminta saran dari Laura. Malam ini mereka tampak sangat akur di ruang makan. Memakan makanan mereka dengan santai sambil membicarakan hal-hal yang sebenarnya tidak begitu penting namun dapat membuat mereka semakin dekat. Laura tidak tahu harus pergi kemana. Ia tidak pernah pergi keluar negeri sebelumnya. Bahkan ia tidak pernah berpikir sampai sana. Hanya di New York, tempat tinggalnya. Jadi Laura hanya mengangkat kedua bahunya lalu memakan makanannya.
            “Aku berpikir, kita harus pergi ke Kanada. Tempat orangtuaku dan memperkenalkanmu pada mereka,” ucap Justin bersemangat. Laura terkejut hingga tersedak akan ucapan Justin, tanpa berpikir panjang, Justin langsung memberikan minumannya pada Laura. “Kupikir itu ide yang bagus. Pasti mereka akan mengapa,”
            “Apa kau gila?” Tanya Laura menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apa yang akan mereka katakan nanti? Kau bahkan belum memberitahu pada mereka kalau kau sudah memutuskannya,” ucap Laura menaruh gelas yang ia pegang tadi ke atas meja makan. Justin mengedik bahu.
            “Apa pun pendapatmu, kita akan tetap pergi ke sana,” ucap Justin tidak peduli. Laura melipat bibirnya ke dalam, tangannya memainkan makanannya sekarang. Nafsu makannya hilang begitu saja. Ia akan pergi keluar negeri. Ia bahkan tidak pernah berpikir bahwa ia akan pergi ke Kanada. Tapi itu terjadi sekarang. Ia pergi bersama dengan pria tampan yang memiliki satu gadis cilik yang manis ke Kanada nanti. Bukankah ini akan terlihat seperti keluarga kecil dibanding terlihat seperti seorang pengusaha yang mengajak penjaga anaknya ke Kanada? Hening berkepanjangan membuat mereka berbicara dengan pikiran mereka sendiri. Justin belum memberitahu pada orangtuanya tentang hubungannya dengan Jasmine sekarang. Pasti Jasmine sebentar lagi akan memberitahu pada orangtuanya, lalu orangtuanya akan memberitahu orangtua Justin tentang hubungan mereka yang rusak. Lalu tentu saja, Jasmine akan menyalahkan Laura. Dan orangtua Justin juga akan menyalahkan Laura. Terlebih lagi, posisi Laura sebagai penjaga Lily benar-benar mendukung. Bukankah memang banyak skandal antara penjaga anak dengan majikannya di Amerika? Laura sudah termasuk di dalamnya—meski itu tidak sepenuhnya benar.  Dan Laura. Ia pasti sudah tahu bahwa dirinya akan dihina habis-habisan oleh Jasmine! Laura menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak terasa tangannya telah melepas garpunya. Ia takut bertemu dengan orangtua Justin lagi –mereka sudah pergi 2 hari yang lalu dari Amerika. Kali ini keadaan sudah berbeda. Justin dan Jasmine sudah putus dan itu semua dikarenakan Justin ketahuan berduaan bersama dengan Laura di dalam kamarnya oleh Jasmine! Tentu saja Laura akan dicap sebagai wanita perebut kekasih orang. Atau jalang. Atau semacamnya. Bisa saja keduanya.
            “Jangan berpikir negatif,” ucap Justin menyarankan Laura, membuyarkan lamunan wanita itu. Laura mendongak, menatap Justin dengan tatapan pasrah. Baiklah, jika memang Justin ingin Laura pergi ke Kanada bersamanya, itu akan terjadi. Siapa yang bisa menghentikan Justin sekarang? Ia mengontrol segalanya. “Semuanya akan baik-baik saja, percaya padaku,”
            “Ya, tentu saja.” Ucap Laura lalu mengambil garpunya kembali. Ia memakan makanannya begitu hening. Justin memerhatikan wanita itu dengan tatapan kasihan. Bukan karena situasi yang terjadi sekarang. Tapi, masa lalunya. Mengapa bisa-bisanya ibu Laura meninggalkan Laura? Itu termasuk kisah yang sedih untuk orang seperti Laura. Ia juga termasuk wanita yang kuat melewati masalah-masalahnya. Dan hebatnya, ia masih bisa bernafas di hadapan Justin dan dengan keadaannya yang benar-benar …bisa dibilang, Laura bukan orang kekurangan. Merasa ditatapi terus menerus oleh pria tampan itu, akhirnya Laura mendongak, membalas tatapan Justin dengan tatapan jenuh.
            “Apa yang salah?” Tanya Laura memutar bola matanya, tidak suka diperhatikan. Justin tertawa melihat tingkah Laura yang sepertinya memang kesal pada Justin. Justin senang mengganggu orang, sebenarnya. Rasanya Laura ingin menyiram wajah Justin atau memukul Justin. Atau melakukan kedanya secara bersamaan. Tapi ia mengurungkan niatnya ketika ia melihat tawa ringan itu. Justin terlihat sangat bahagia setelah selama satu bulan penuh, Laura jarang sekali melihat Justin tertawa. Tapi hari ini? Hari ini Justin banyak tertawa. Bahkan punggungnnya sakit hanya karena ia tertawa terbahak-bahak.
            “Tidak ada,” ucap Justin. “Hanya lucu,” lanjut Justin menutup bibirnya dengan kepalan tangan kirinya. Oh, pria kidal yang tampan. Mungkin tulisan tangan Justin memang hancur dan hampir bisa dibaca—atau dalam kata lain tidak bisa dibaca—namun berbeda dengan wajahnya, wajahnya tidak hancur. Pemikiran Laura yang seperti ini membuat dirinya merasa seperti anak remaja yang membicarakan hal-hal yang tidak penting dari lelaki yang disukai.
            “Apa yang akan dikatakan oleh orangtuamu tentang hubunganmu dan Jasmine nanti?” Tanya Laura. Tampaknya Laura memang tidak ingin mengikuti perkataan Justin—walau tetap saja, apa pun yang dikatakan Laura akan diabaikan—setidaknya, Laura sedang mencoba untuk membatalkan kepergiannya ke Kanada.
            “Mereka akan menyukaimu. Percaya padaku. Sudah kubilang, mereka akan mengerti mengapa aku memutuskannnya. Dari semua yang terpenting, Lily-lah yang terpenting. Aku memilihmu untuk menjadi ibu Lily. Kita akan mencobanya. Aku masih memiliki waktu 2 bulan untuk meluluhkan hatimu,” walau sebenarnya, kau telah melakukannya, terdapat lanjutan dari Laura namun terucapkan oleh hati yang tak sampai mulutnya. Laura menganggukkan kepalanya, mengerti sepenuhnya dengan ucapan Justin sekarang. Dari semua yang terpenting, Lily-lah yang terpenting. Justin memang sangat benar.
            “Aku ragu tentang itu,”
            “Maksudmu apa? Kupikir kau jatuh cinta pada Thomas hanya dalam waktu satu minggu. Dan aku memiliki 3 bulan. Jadi, apakah sudah jelas siapa yang akan mendapatkanmnu?” Tanya Justin menggoda sekaligus kesal karena hal ini pasti akan membawa-bawa nama Thomas. Ia benci dengan mahluk itu. Apalagi jika Justin bertemu dengannya secara langsung. Rasanya ia ingin menumbuki wajah itu hingga berubah menjadi kentang tumbuk. Oh, omong-omong, dia sudah dipecat dari kantor Justin sejak satu bulan yang lalu. Thomas tidak memberitahu Laura karena itu perjanjian antara Justin dan Thomas. Jika Thomas memberitahu Laura, otomatis Laura akan membenci Justin bukan? Jadi lebih baik Thomas diam, sikat gigi lalu tidur. Tidak mengatakan apa-apa pada Laura.
            “Besok. Besok kita akan pergi ke Kanada.”


***


LAURA HARE

            Semuanya semakin terasa nyata ketika aku turun dari pesawat pribadi milik Justin. Pesawat pribadi? Oh, itu tidak mungkin! Aku tidak akan percaya Justin memiliki pesawat pribadi. Namun kenyataannya adalah aku baru saja turun dari pesawat itu. Justin sudah turun lebih dulu dariku dengan Lily berada dalam gendongannya. Meski Lily pergi berjalan-jalan, Justin tidak ingin mengambil resiko untuk kehilangan anak satu-satunya itu. Ia membawa suster pribadi –yang jika dilihat seperti dokter pribadi—untuk ikut bersama kami ke Kanada. Lily tertidur dalam gendongan Justin. Wajahnya tidak begitu pucat. Namun selama perjalanan menuju Kanada, ia terus terdiam. Mungkin ia merindukan Thomas atau Jimmy. Justin masuk ke dalam mobil bagian belakang, suster yang berada di depanku disuruh untuk duduk di depan mobil, jadi aku duduk berdampingan dengan Justin. Nancy tidak ikut pergi bersama dengan kami. Sejak kejadian kami ketahuan membawa Thomas dan Jimmy ke rumah sakit, Justin tidak begitu banyak bicara dengan Nancy. Ia juga tidak memecat Nancy, aku meminta Justin. Yah, aku tidak ingin Nancy mendapat getahnya hanya karena perbuatanku yang sembrono.
            “Apa kau sudah memberitahu orangtuamu kalau kau akan datang hari ini?”
            “Aku tidak pernah memberitahu mereka akan kedatanganku,” ucap Justin menoleh padaku. Tangan Justin mengelus-elus punggung Lily dengan lembut lalu ia menyandarkan kepalanya pada kepala Lily—tidak menindih Lily sepenuhnya. “Biarkan ini menjadi kejutan untuk mereka. Yang membuatku heran adalah orangtuaku tidak menghubungiku. Ini sudah lebih dari 10 jam, kau tahu,”
            “Mungkin mereka memilih waktu yang tepat,” komentarku. Tiba-tiba saja tangan Justin yang mengelus punggung Lily meraih tanganku, meremasnya dengan lembut. Mataku akhirnya lebih terfokus pada tangan kami. Aku mendesah. Mobil ini sudah keluar dari lapangan lepas landas. Kemudian terlihatlah jalanan luas yang dipenuhi oleh mobil-mobil. Semuanya akan baik-baik saja.


***


AUTHOR

            Justin dan Laura baru saja tiba di rumah orangtua Justin. Rumah tampak sepi. Salah seorang pelayan tiba-tiba saja muncul dan disusul oleh pelayan lain. Justin segera menganggukkan kepalanya, menyuruh mereka untuk mengangkat koper-koper yang mereka bawa ke kamar Justin dan Lily. Jadi, dimana kamar Laura? Yah, tidak ada pilihan lain, tapi Laura akan tidur bersama dengan Justin. Justin memberi Lily pada suster yang berdiri di belakangnya. “Bawa dia ke kamar,”
            Dan lalu Justin memegang tangan Laura untuk masuk lebih dalam. Biasanya orangtua Justin berada di belakang taman mereka. Baru memasuki ruang keluarga, Justin melihat benda-benda yang ia kenali berada di atas karpet, sofa dan lantai. Barang-barang yang sering ia lihat. Lalu ia mendengar suara Pattie sedang berbicara di belakang taman. “Ada apa?” Tanya Laura melihat raut wajah Justin yang berubah menjadi raut wajah bingung. Justin mengerutkan kening, ia menarik Laura namun tetap menempatkan Laura di belakang tubuhnya.
            “Justin, sebenarnya ada apa?” Tanya Laura dengan suara yang besar kali ini. Mereka berjalan keluar dari pintu penghubung taman belakang dengan ruang keluarga. Saat mereka keluar, Laura bisa melihat pemandangan terindah seumur hidupnya. Taman belakang keluarga Herich memang identik dengan keluasannya. Tapi tumbuhan di rumah orangtua Justin lebih bervariasi dan berbeda jenis.
            “Hei, mom. Dad. Apa yang terjadi di sini?” Tanya Justin melihat ibunya sedang menepuk-nepuk seseorang. Tiba-tiba saja orang yang ditepuk-tepuk punggungnya itu –wajah tak kelihatan karena tertutup rambutnya yang panjang—bangkit dari kursi sebelah ibu Justin. Ia berlari menuju Justin dan mendorong tubuh Laura yang berada di belakang tubuh Justin. Laura terjatuh, kepalanya membentur lantai. Suara benturannya benar-benar kuat. Bahkan semua orang di halaman belakang bisa mendengar suara benturan kepala itu. Dorongan dari wanita ini sangat kuat.
            “Jasmine!” Bentak Justin menarik tubuh Jasmine dari atas tubuh Laura. “Apa-apaan yang kaulakukan? Apa yang kaulakukan di rumah orangtuaku?”
            “Dia iblis! Dia sudah merusak hubunganku denganmu, Justin! Tidakkah kau sadar ia adalah parasit bagi hubungan kita? Lepaskan aku! Lepaskan aku! Aku ingin memusnahkannya dari dunia ini!” Teriak Jasmine berusaha lepas dari pelukan Justin. Justin mundur, masuk ke dalam taman, menjauhkan Jasmine dari Laura. Teriakkan berangsur-angsur hilang ketika mereka menghilang dari pandangan Laura. Laura mengerang. Ayah Justin langsung berdiri, menolong Laura bangkit dari lantai.
            “Aku yakin pasti kau sangat terluka,” ucap Ayah Justin berusaha menahan Laura agar Laura bisa berdiri. Ibu Justin melihat Laura dengan raut wajah kasihan. Kedua orangtua ini tampak bingung. Tidak seharusnya mereka mengikutcampuri hubungan anaknya. Mereka tidak bisa memilih Laura atau Jasmine. Semua itu berada di tangan Justin. Jika wanita itu adalah pilihan Justin, maka dia jugalah yang akan menjadi pilihan Pattie dan Jeremy. Baru beberapa langkah masuk ke dalam rumah, Laura pingsan. Jika tidak ada tangan Jeremy, mungkin Laura sudah terjatuh ke lantai.
            “Aku akan mengambil es batu.” ucap Pattie berjalan terburu-buru menuju dapur.


***


            “Dia sudah gila,” samar-samar Laura dapat mendengar suara Justin yang bernada marah itu. Kepalanya benar-benar pening. Benturan kepala Laura benar-benar keras. Bahkan ketika kejadian itu terjadi, Laura merasa tulang kepalanya retak dari belakang hingga depan lalu cuss, kepalanya terbuka begitu saja bersamaan dengan otaknya yang keluar. Setelah Laura merasa ia dapat membuka matanya, ia mengerjap-kerjapkan mata terlebih dahulu. Laura masih mendengar ocehan Justin penuh dengan maki-makian terhadap Jasmine. Dan betapa sabarnya Justin untuk tidak memukul Laura. Seperti yang Justin pernah akui, ia akan melindungi orang yang ia cintai. Jika orang yang ia cintai diganggu atau disakiti, Justin akan turun tangan untuk membalasnya. Tapi Justin sadar bahwa Jasmine adalah mantan tunangannya. Bagaimana pun Jasmine sudah pernah mengarungi 3 tahun masa hidupnya bersama dengan Justin. Dan beruntungnya, Justin masih memiliki hati.
            “Dia sudah bangun,” suara Pattie yang lembut terdengar. Namun Laura tidak dapat melihat apa-apa, awalnya memang terlihat buram, tapi sekarang semuanya gelap. Gelap. Seketika itu juga ia panik. Ia berusaha mencari-cari nafasnya.
            “Laura. Laura ada apa?” Tanya Justin panik. Laura dapat merasakan tangan Justin yang menyentuh lengannya.
            “Justin,” Laura menelan ludahnya. “Aku… aku tidak dapat melihat. Semuanya gelap. Ya Tuhan, aku tidak bisa melihat apa-apa!” Jerit Laura ketakutan. Tubuhnya bergemetar di atas tempat tidur berukuran besar itu. Pattie segera menenangkan Laura—dari tadi ia berada di sebelah tubuh Laura yang terbaring. Ia menyentuh kepala Laura dengan lembut dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Hanya perlu memejamkan mata dan menenangkan dirinya, maka semuanya akan kembali seperti semula. Laura mendengar suara lembut itu. Ia mendengarnya. Rasanya sangat berbeda sekali dengan suara ibunya yang tiap hari membentaknya, mencaci maki Laura, tetapi sekarang ia mendengar suara seorang ibu yang lembut dan tangannya sedang mengelus kepala Laura. Air mata Laura mengalir. Justin dan yang lainnya berpikir, mungkin karena panik, Laura menangis. Sebenarnya tidak. Itu semua karena Laura merasa terlindungi sekarang. Dilindungi oleh seorang ibu. Semuanya terdiam, kecuali Pattie yang dari tadi berceloteh. Menceritakan hal-hal yang tidak pernah diketahui oleh Laura. Laura masih tidak melihat apa-apa namun sekarang nafasnya lebih teratur. Justin memerhatikan ibunya. Well, jika itu bisa membuat keduanya semakin dekat, Justin akan keluar dari kamar. Justin akhirnya berjalan meninggalkan kamarnya bersama dengan ayahnya yang mengikuti Justin dari belakang. Setelah mendengar suara tutupan pintu, Pattie menghentikan ucapannya.
            “Apa sudah merasa lebih baik?” Tanya Pattie perhatian. Laura menganggukkan kepalanya.
            “Tapi aku masih belum bisa melihat. Aku takut sekarang,” bisik Laura terdengar manja. Mungkin ini naluri karena ia tidak pernah mendapatkan kasih sayang selembut ini sebelumnya. Hanya dari ayahnya ia mendapatkan ini. Tapi ibunya? Percayalah kalian tidak ingin memiliki ibu seperti ibu Laura.
            “Itu hanya akan berlangsung beberapa jam. Benturan kepalamu memang benar-benar kencang. Aku pernah merasakannya sebelumnya. Jadi, tetap tenang,” ucap Pattie mengelus kepala Laura. “Ada yang ingin kutanyakan padamu, Laura.” Jantung Laura berdegup kencang, lalu ia menggumam.
            “Tentang hubunganmu dengan Justin. Apa kau bisa menceritakan yang sebenarnya padaku? Aku berjanji tidak akan membuat kalian berpisah,” ucap Pattie selembut mungkin. Laura menelan ludahnya. Haruskah ia memberitahu Pattie? Yah, mungkin Pattie adalah pendengar yang baik seperti Nancy. Dengan mata terpejam, Laura mulai menceritakannya. Ia menceritakan bagaimana ia bisa bertemu dengan Justin. Mengapa ia bisa berada di rumah Justin. Dan apa yang Laura lakukan bersama dengan Justin selama berada di rumah. Laura pergi ke rumah sakit untuk merawat dan menjaga Lily. Dan ia menceritakan tentang ia memukul punggung Justin dengan gitar. Ia menceritakan tentang Thomas dan Jimmy. Selama lebih dari 30 menit Laura menceritakan hubungannya dengan Justin namun Pattie masih setia mendengarnya. Ini yang seharusnya Laura dan ibunya lakukan dulu ketika Laura masih remaja. Tapi kenyataan berkata lain. “Aku tidak tahu apa yang kurasakan sekarang. Apa aku mencintai Thomas atau Justin? Aku mencintai keduanya, namun aku bingung memilih siapa,” ucap Laura.
            “Pilihlah dengan bijak, Laura. Aku tidak ingin kau sengsara karena memilih pilihan yang salah,” ucap Pattie. “Aku akan memanggil Justin,” Pattie merangkak keluar dari ranjang lalu berjalan menuju pintu kamar Justin dan menutup pintunya. Beberapa detik kemudian, pintu kamar terbuka kembali. Justin muncul dengan perasaan takut, gelisah, tapi juga bersyukur karena Laura sudah terbangun. Pintu tertutup, Justin perlahan-lahan mendekati Laura yang memejamkan matanya.
            “Laura?” Panggil Justin. “Apa kau tertidur?” Tanya Justin. Laura memberikan tepukan pada tempat tidur, meminta Justin untuk berbaring bersama dengannya di ranjang. Segera saja Justin merangkak naik. Setelah berbaring di sebelah Laura, Justin mengangkat kepala Laura dan menempatkannya di atas dadanya.
            “Aku menyimpan dadaku ini untuk sandaran kepalamu,” ucap Justin semanis mungkin. Laura membuka matanya, namun masih gelap. Laura tertawa mendengar ucapan Justin yang sok manis itu lalu ia memeluk Justin seerat yang ia bisa.
            “Justin ada yang ingin kukatakan padamu,” ucap Laura. “Tapi jangan marah padaku, kumohon?”
            “Ya, apa itu?”
            “Apa kau berjanji?” Tanya Laura ragu-ragu. Justin menggumam, berjanji. “Ibumu sudah tahu tentang hubungan kita yang sebenarnya. Ia tadi bertanya dan aku mengatakan yang sebenarnya. Apa itu tidak apa-apa?” Tanya Laura takut-takut. Laura dapat mendengar suara nafas yang tertahan lalu tangan Justin mengelus lengannya dengan lembut sekarang.

            “Itu…” suara Justin menghilang. “Itu sempurna.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar