“Kau
harus menerima ini,” ujar Justin sambil memberikan sebuah kartu kredit yang
berada di tangannya. Hadiah yang lain? Astaga, apa-apaan ini? Aku tidak bisa
menerima ini semua. Ini terlalu berlebihan. Kalung, anjing dan kartu kredit
secara cuma-cuma? Ini sangat berlebihan dan aku tidak bisa hidup dengan
kemewahan ini. Hanya saja, aku lebih menyukai hidup yang sederhana. Dengan
semua kekayaan Justin, aku hanya butuh dirinya. Bukan kekayaannya. Aku bukan
wanita pecinta uang. Dulu, memang aku membutuhkan uang karena kebutuhanku yang
belum tercukupi. Tapi dengan Justin, apa yang kuinginkan telah tercapai.
Tinggal di rumah yang kuinginkan, tidak ada tagihan yang harus kubayar, terlebih
lagi, aku sudah tidak bekerja! Apalagi yang kubutuhkan selain Justin seorang?
Hanya dia.
Aku
terdiam. Melihat kartu kredit yang masih ia pegang.
“Terima
atau aku akan kembalikan anjing-anjing ini ke tempat semula, padahal Bee dan
Boo telah terlatih,” ujar Justin menggodaku. Ia menyeringai. Sialan! Dengan
pasrah, aku mengambil kartu kredit itu dari tangannya dan tersenyum pada
Justin.
“Bagaimana
perasaanmu setelah mendapatkan ini semua?” tanya Justin menyandarkan
siku-sikunya ke tepi sandaran sofa. Kepalanya ia sandarkan pada tangannya. Ia
terlihat bukan seperti 30 tahun. Bayangkan, aku hanya terlihat berselisih 5
tahun darinya. Bukan 10 tahun. Rasanya begitu sulit menerima kenyataan bahwa ia
hampir setengah baya. Acuh, aku hanya mengangkat kedua bahuku dan memberikan
mainan di bibir.
“Ini
semua sangat berlebihan. Aku hanya menginginkan dua ekor anjing tapi kau malah
menambahnya secara berlebihan. Tapi, terima kasih Justin,” ujarku mencoba untuk
tidak menatap matanya, melainkan pada Bee dan Boo yang masih diam namun dari
tadi mereka berdua mengelilingi kandangnya. Ah, aku ingin membelikan mereka
baju anjing. Pasti akan sangat lucu jika mereka benar-benar mengenakan baju.
“Anna,
kau harus terbiasa dengan ini. Kau tidak bisa membawa kehidupanmu yang lalu ke
dalam rumah ini. Kau harus terbiasa dengan lingkup kehidupanmu yang baru. Anna,
jangan buat aku marah,” ujar Justin yang terdengar berusaha untuk bersabar
denganku. Apa maksudnya? Aku memang seperti ini. Pakaian yang ia belikan bahkan
belum kusentuh. Walau aku tahu, pakaian yang ia belikan lebih mahal dan lebih
berkualitas. Tapi yang penting aku bisa memakai pakaian, yang layak. Yang masih
bisa menutupi tubuhku. Apa salahnya? Dan perhiasan ini, well, aku bisa
menerimanya. Tapi kartu kredit? Justin cukup memberikanku kehidupan seperti
ini, aku tidak membutuhkan uang. Namun ..
Aku
menyerah. Aku memang harus belajar hidup dalam kemewahan yang ada. Selama aku
masih bisa bernafas, aku akan menikmati ini semua. Apa yang telah diberikan
Tuhan melalui Justin. Ini sebuah keajaiban dalam hidupku.
“Baiklah,”
aku bangkit dari sofa untuk terduduk di atas karpet. Kubuka kandang yang
berwarna merah muda. Ini Bee. Aku tahu, aku tahu. Namanya tidak cocok untuk
nama anjing. Tapi mudah diingat. Dari warna kandangnya, sudah jelas ia
perempuan. Langsung saja, anjing mungil dengan bulu mereka yang tidak begitu
lebat berwarna cokelat keemasan muncul dan berlari ke arahku. Ia melompat
sehingga aku langsung menangkapnya. Ini sangat menyenangkan. Bahkan aku tidak
bisa menahan senyumanku.
“Bee,”
aku melirik pada Justin dan mengelus kepala Bee dengan lembut. “Aku tidak tahu
bagaimana harus berterima kasih padamu Justin, tapi ini sangat menyenangkan,”
aku berseru begitu senang. Justin ikut tersenyum padaku.
“Semuanya
akan baik-baik saja, Anna. Asalkan kau menyenangkanku. Kau tidak tahu bagaimana
harus berterima kasih?” Justin menggodaku. Aku mengerling padanya, seperti
wanita genit. “Dasar wanita nakal. Kau menggodaku!” seru Justin gemas padaku.
Aku tertawa. Mengapa jika ia berada di dalam rumah, ia terdengar begitu muda
dan menyenangkan? Sedangkan di luar sana, ia begitu dingin dan berkarisma
–meski di dalam rumah juga ia masih berkarisma. Apa dia hanya melakukan ini
padaku? Aku tidak tahu. Ia sangat muda sekarang. Apalagi saat ia tertawa.
Suaranya benar-benar indah. Seperti paduan suara surgawi yang terdengar di
telingaku.
“Aku
tidak menggodamu, ini natural,”
“Begitu
ya. Jadi, tidak tahu bagaimana harus berterima kasih padaku eh?” tanya Justin,
kembali lagi dengan nada suaranya seperti para pengusaha. Ia membungkukan
tubuhnya dan kedua siku-siku berada dikedua ujung lututnya, lalu ia melipat
tangannya. Kepalanya cukup dekat dengan kepalaku. Menjawab, aku hanya
menganggukan kepalaku.
“Aku
akan memberi tahumu bagaimana berterima kasih padaku,” ujarnya, “nanti malam.
Tapi aku harus bekerja sekarang. Jaga dirimu baik-baik dan jangan nakal. Kau
bisa pergi keluar – Ah, ya. Aku hampir lupa,” ucap Justin, sadar akan sesuatu.
Kemudian ia memundurkan tubuhnya dan berdiri.
“Logan!”
teriak Justin dengan kencang, hampir seperti membentak. Bee yang berada di
gendonganku tiba-tiba saja bersungut, menangis.
“Tenang
saja, ia tidak marah padamu,” aku berseru dengan suara kecil pada telinga Bee
dan mengelus kepalanya kembali. Aku mendongak. Kemudian aku melihat seorang
lelaki berambut hitam, rambutnya sedikit panjang dan rapi, tapi tubuhnya tinggi
dan tegap. Oh, dia Logan. Ia sudah memakai pakaian berwarna biru tua –hampir
hitam- dengan kacamata hitam yang ia pakai. Lalu ia membuka kacamatanya dan
menyelipkannya pada kantung seragam atasannya.
“Mrs.
Bieber,” ia menunduk dengan sopan. Kulirik Justin yang tiba-tiba saja bibirnya
menjadi sebuah garis lurus yang membeku.
“Dia
pengawalmu mulai dari sekarang. Kalau kau ingin keluar dari rumah, maksudku,
berpergian,” Justin langsung mengoreksi ucapannya, “kau harus pergi bersamanya.
Ia yang akan membawamu,” jelas Justin. Aku hanya menganggukan kepalaku,
mengerti.
“Bagus.
Sekarang, aku harus pergi bekerja. Kemarilah,” ucap Justin sambil merentangkan tangannya.
Aku melepaskan Bee dan bangkit dari karpet. Kuharap Bee tidak kemana-mana.
Berjalan menuju Justin, aku langsung memeluknya dengan erat. Ternyata seorang
Justin menyukai sebuah pelukan, aku juga begitu.
“Hati-hati
di jalan Justin,” ujarku mendongak. Kulihat Justin terkejut, matanya melebar.
Namun ia berusaha untuk menutupi kekejutannya. “Ya,” dia hanya menjawabku
singkat dan lalu mengecup bibirku dengan lembut dan cepat. Kemudian, ia
melepaskan pelukannya. Berjalan pergi meninggalkan ruang keluarga dan kemudian
menghilang di ruang tamu. Oh, astaga, aku merasa kehilangan saat ia pergi.
“Ayo
Boo,” aku berseru senang dan jongkok untuk mengeluarkan Boo keluar dari
kandangnya. Tiba-tiba ia menggonggong dengan suaranya yang sangat nyaring dan
keras. Ia benar-benar lucu.
“Logan?”
“Ya,
ma’am?” Aku tersentak. Ma’am? Apa aku terlihat seperti wanita 40 tahun? Astaga.
“Kau
bisa memanggilku, Anna. Itu terdengar lebih akrab,” suruhku, “apa kau ingin
menemaniku untuk bermain dengan anjing-anjing ini di taman?” tanyaku meraup Boo
dan Bee dalam gendonganku. Whoa! Mereka bertengkar, dengan cepat aku menjauhi
Boo dan Bee. Mereka menggonggong kembali.
Logan
berpikir sebentar, sorot matanya benar-benar misterius. Aku bahkan tidak tahu
apa yang sedang ia pikirkan.
“Dengan
senang hati,” akhirnya ia berucap dengan senyum. Aku memberikan Bee pada Logan
dan ia langsung menggendongnya.
“Ayo!”
aku berseru dengan senang dan berlari kecil untuk menuju taman.
***
*Justin Bieber POV*
Ucapan
Anna tadi benar-benar membuatku terkejut. ‘Hati-hati di jalan, Justin’.
Mengingatkanku pada wanita itu. Sialan. Mengapa Anna tampaknya begitu polos
sekali? Ia tidak perlu berkata seperti itu. Aku akan berhati-hati di
jalan.Keselamatan adalah yang utama dalam perjalanan. Wanita sial itu kembali
masuk ke dalam otakku. Kurasa aku harus jujur.
Chanta.
Itu panggilannya. Nama aslinya adalah Chantelle. Ia adalah submissive
pertamaku. Aku memutuskan menjadi seorang dominan sejak umurku 25 tahun. Tapi
aku bukan seorang lelaki yang gila control. Aku hanya ingin menjadi seorang
dominan di ranjang. Submissive, mereka seorang penurut bukan? Ya, itu mereka.
Maka dari itu aku tidak benar-benar mengontrol seorang submissive –kecuali
mereka memberontak. Anna benar-benar mengingatkanku pada Chanta. Dari semua
submissive, Chanta adalah gadis yang sangat polos –sebelum Anna datang-. Dia
gadis yang ceria, bersemangat dan ambisius. Ia berselisih sekitar 5 tahun
denganku. Tapi satu yang aku tidak pernah sadari dari kepolosannya. Ia seorang
gadis yang hanya menginginkan uangku. Ia tidak polos –setelah aku menyadari
pada akhirnya-. Sebelum aku menyadari ia tidak polos, Chanta adalah gadis yang
sangat memperhatikanku. Kau tahu, seperti ‘Hati-hati di jalan Justin!’ atau
‘Justin, apa kau sudah makan? Kau terlihat pucat.’. Aku menyukainya. Aku
melakukan apa pun untuk menjaganya tetap berada di rumahku. Tapi sial! Aku
ditipu. Pengawalku dan Chanta ternyata memiliki hubungan gelap. Dan ia meminta
banyak uang padaku. Aku memberikannya. Meski awalnya aku bingung mengapa ia
meminta begitu banyak uang dari pada biasanya. Tapi aku memang bodoh, ini
karena aku menyukainya. Hampir saja aku menginginkannya agar menjadi pacarku.
Aku memberikan banyak uang dan sehari setelah aku memberikan uang itu, ia
meninggalkanku. Bersama dengan pengawal sialanku. Membawa mobilku juga!
Aku
membenci hubungan sejak saat itu. Aku tidak percaya dengan yang namanya
hubungan pacaran, pernikahan, atau apa pun. Dominan-Submissive adalah yang
kupilih. Submissive akan mendapatkan kesenangan dari Dominan jika mereka
menurut pada Dominan. Dominan juga akan mendapatkan kesenangan jika Submissive
menurut padanya. Tidak didasari dari sebuah hubungan. Tidak dalam sebuah
ikatan. Tidak, tidak. Aku tidak menginginkan itu. Terlalu banyak tuntutan di
dalamnya. Dan menjadi Dominan tidak sama menjadi seorang pacar. Lelaki memang
bisa memberikan hadiah atau sesuatu pada pacarnya, tapi menjadi seorang
Dominan, itu adalah sebuah kewajiban untuk memberikan Submissive kesenangan
juga. Tidak ada ikatan. Tidak ada yang dirugikan. Tidak ada yang saling
mengejek. Tidak ada yang saling menjatuhkan. Uh, sangat tidak bisa dibayangkan
bagaimana laki-laki di luar sana memanjakan pacarnya yang terus merengek. Jika
aku menjadi mereka, aku akan menampar wanita itu. Sial!
Untung
saja Anna tidak seperti itu. Ia tidak menginginkan kemewahan. Tapi ia juga
harus belajar untuk menikmatinya.
Terlarut
dalam renunganku, aku terkejut saat pintu terbuka. Maria.
“Justin,”
“Apa
kau bisa sedikit sopan?” aku menegurnya. Dia bukan lagi Submissive-ku. Dia
tidak berhak memanggilku Justin lagi. Mr. Bieber.
“Mr.
Bieber. Pertemuan dengan Wiliam Roger,” ujarnya.
“Bawa
dia masuk,” ujarku bangkit dari kursiku untuk berjalan dan akan menyambutnya.
Aku
tidak tahu apa aku bisa melewati hari ini tanpa memikirkan Anna. Apalagi malam
ini akan menjadi malam yang sangat menyenangkan. Kurasa aku harus memiliki nama
panggilan pada Anna.
Mine.
Milikku. Mine. Ya, itu bagus.
***
*Anna Bieber POV*
“Logan,
tolong bantu aku,” ujarku sambil memberikan Bee padanya. Ia dengan sigap
langsung menggendong Bee. Hari ini aku baru saja membeli pakaian untuk Boo dan
Bee dengan kartu kredit yang Justin berikan padaku. Yang benar saja! Ia
memberikanku berpuluh ribuan dollar di sana. Dia pikir aku akan memakai uang itu
untuk apa? Mungkin aku bisa memikirkan itu nanti.
Kumasukan
dua kaki dengan Bee pada bolongan tangannya. Logan langsung memberdirikan Bee
agar aku bisa mengancingkan pakaiannya. Astaga, pakaian tidur ini benar-benar
cocok untuk Bee. Berwarna merah muda.
“Logan,
kapan kau bertemu dengan Justin?” tanyaku sambil mengancingkan kancing Bee.
“Aku
bertemu dengan Mr. Bieber kemarin. Aku teman Max,”
“Itu
sangat hebat. Apa yang Justin katakan padamu?” tanyaku penasaran. Maksudku,
untuk apa Justin memberikan aku pengawal? Ini semua benar-benar berlebihan.
Tapi seperti yang Justin katakan, aku harus terbiasa dengan kemewahan ini. Aku
telah menyandang gelar Mrs. Bieber. Dan aku seharusnya bangga. Dan aku bangga,
meski aku harus dijadikan seorang Submissive bagi Justin.
“Ia
hanya ingin Anda selalu aman. Paparazzi akan mengikuti Anda, Mrs. Bieber. Dan
ia tidak ingin apa yang berhubungan dengannya diketahui oleh paparazzi,”
ujarnya menjelaskan. Whoa! Aku baru sadar kalau Justin adalah seorang
Millioner. Tentu saja ia akan terpampang di majalah atau Koran. Ia pasti sering
menyumbangkan uang-uangnya sehingga banyak paparazzi yang mencari-carinya.
Apalagi Justin adalah seorang yang sangat tampan dan pastinya akan sangat
menguntungkan paparazzi jika mereka mendapatkan gambar Justin untuk menarik
para hati gadis-gadis membeli majalah mereka karena wajah Justin terpampang di
majalah mereka.
Tiba-tiba
ketakutan melanda diriku. Bagaimana jika ada paparazzi yang mengikuti dan
mengambil gambarku lalu aku akan masuk majalah? Itu sangat memalukan. Kurasa
dengan adanya Logan, semuanya akan baik-baik saja.
“Anna!”
teriak Justin. Aku langsung menggendong Bee dari tangan Logan dan Logan
langsung berdiri dari sofa yang kami duduki.
“Justin,”
aku tersenyum senang akan kedatangannya.
“Tebak
aku bawa apa?” tanya Justin tampak senang sekali. Astaga, ia benar-benar
terlihat seperti anak berumur 20 tahun. Ia memegang sebuah tas belanja dan
menunjukannya padaku. “Ayo ke kamarku,” ujar Justin berjalan menuju tangga.
“Logan,
tolong bawa Bee dan Boo ke kamarku. Maukah kau?” tanyaku memohon padanya dan
memberikan Bee padanya. Ia mengangguk.
Dengan
cepat aku berlari melewati tangga sambil membersihkan bajuku. Kubuka pintu
kamar Justin.
“Hei,”
ia menyapaku. “Tebak aku bawa apa, sayang?” tanyanya memanggilku sayang. Sial!
****
“Ya,
aku menyukainya,” ujarku tanpa melihatnya. Aku sedang melipat pakaian Bee dan
Boo di atas tempat tidurku. Justin baru saja membelikanku gelang kaki. Aku
menyukainya karena gelang itu memiliki lonceng dan itu dapat berdenting. Pasti
mahal sekali. Dan ukurannya benar-benar pas di kakiku. Meski awalnya, aku tidak
menerimanya karena hari ini aku telah mendapatkan kalung. Tapi aku tidak ingin
Justin marah padaku. Aku menurutinya.
Justin
telah memberikan banyak hadiah padaku hari ini. Apa yang harus kubelikan
untuknya? Aku ingin membelikannya barang. Meski aku tahu, pasti sudah banyak
barang yang telah ia miliki. Millioner! Bahkan baru-baru ini aku tahu kalau
Justin memiliki sebuah Mall di Kanada. Sial, dia terlalu kayak. Bahkan toko
buku pun ia punya. Tapi hanya ada di Inggris. Bagaimana mungkin aku bisa
menikah dengannya? Aku masih tidak bisa percaya.
“Justin,”
aku memanggilnya, mendongak. Ia sedang sibuk dengan ponselnya, lagi. Butuh
beberapa detik untuk Justin mencerna panggilanku. Ia menoleh padaku. “Mengapa
kau membelikanku barang-barang seperti ini?”
“Aku
ingin memperhias dirimu. Agar kau lebih cantik,”
“Apa
aku kurang cantik?” tanyaku, malu-malu. Astaga, apa yang baru saja kutanya
tadi? Itu benar-benar memalukan. Aku menunduk dan mengambil pakaian Bee yang
lain, lalu melipatnya. Bee dan Boo sudah tidur di sudut kamarku. Mereka tampak
tenang, aku tidak membiarkan mereka tidur di dalam kandang mereka. Mereka
benar-benar terlatih.
Kurasa
pipiku memerah saat Justin merangkak dari sisi tempat tidur menuju tengah-tengah.
Astaga, ia sudah dekat denganku.
“Anna,”
ia memanggilku, tapi aku tidak mendongak, “Anna, lihat aku,” suruhnya. Aku
mendongak dan melihatnya. Oh, Tuhan. Jika Kau ingin mengambil nyawaku, ambillah
dengan cara yang lebih mudah. Jangan berikan lelaki ini padaku Tuhan, karena ia
seperti malaikat pencabut nyawa! Aku berseru dalam hatiku saat melihat
keindahan dalam matanya yang berwarna cokelat. Kali ini cokelat gelap.
“Anna,
kau cantik, seksi, mungil dan manis. Aku hanya ingin sedikit perhiasan di tubuhmu.
Bukan berarti kau tidak cantik,” ujar Justin mengelus daguku dengan jari
telunjuk. Lalu ia memegangnya dan menarik wajahku untuk ia cium. Ia mengecup
bibirku dengan pelan dan melepasnya.
“Kau
submissive tercantik yang pernah kumiliki,”
“Terima
kasih,” aku mencoba untuk menunduk kembali dan fokus pada pakaian Boo, kali
ini.
“Kau
ingin kemana Anna? Katakan saja, aku akan dengan senang hati membawamu ke
tempat impianmu,” ujar Justin. Aku berpikir. Kemana? Aku tidak tahu. Tida ada
tempat yang lebih nyaman dibanding bersama Justin di sisiku. Aku akan kemana
saja asal Justin ikut bersamaku.
“Afrika?”
“Maka
kau akan ke sana segera,” ujarnya dengan santai. Aku tidak mengerti dengan
Justin.
“Justin,
apa kau selalu memakai uang-uang ini untuk kesenanganmu?” tanyaku akhirnya
mengutarakan perasaanku. Aku tidak menyukai Justin yang hanya membuang uang
untuk pergi ke sana kemarin dan menggunakannya untuk kesenangannya. Tidakkah ia
berpikir dengan anak-anak panti asuhan? Ia bisa menyumbangkannya ke sana juga. Meski
aku tahu, ia pasti telah melakukan itu berkali-kali. Aku ingin ke Afrika,
sekarang. Tapi aku tidak ingin semudah ini. Hanya saja, aku bermaksud ke sana
bukan untuk bersenang-senang. Tapi untuk membantu mereka. Aku senang membantu
orang.
Justin
belum menjawab pertanyaanku. Aku menunggu sambil mengangkat pakaian Bee untuk
dimasukan ke dalam laci lemari pakaianku. Kubuka pintu lemari dan lalu lacinya.
Untungnya ada tiga laci di sini. Kubuka laci pertama dan merapikan pakaian Bee.
Aku tidak ingin pakaian Bee dan Boo tertukar.
“Aku
yang telah berusaha keras untuk ini, maka aku layak untuk mendapatkan
kesenganan dari hasilnya, Mine,” ujarnya yang membuatku tersentak. Mine? Aku
membalikan tubuhku dan mengangkat salah satu alisku. Justin nyengir padaku.
Kali ini ia seperti anak kecil.
“Tidak
apa-apa aku memanggilmu Mine kan?” tanya Justin merogoh kantung celananya. “Aku
mungkin akan nyaman dengan panggilan itu,”
“Apa
kau sering memanggil submissive-mu dengan panggilan Mine (=Milikku) untuk
membuktikan bahwa mereka adalah miliki dalam jangka waktu yang singkat?”
tanyaku berdecak pinggang. Ia menatapku dengan tatapan tak percaya. Kemudian ia
bangkit dari tempat tidur, terduduk di sisinya. Hampir saja ia menghancurkan
tumpukan baju-baju Boo. Jika ia melakukan itu, aku akan marah besar.
“Tidak,”
akhirnya ia menjawab setelah lama berpikir.
“Baiklah,
kalau begitu kau boleh memanggilku Mine. Nah, sekarang aku ingin tanya,” ujarku
sambil mengambil tumpukan baju Boo dan memasukannya pada laci yang kedua.
Kurapikan serapi mungkin. “Apa yang akan kita lakukan malam ini?” tanyaku
menyiratkan sesuatu. Kau tahu, ‘sesuatu’. Karenanya aku ketagihan untuk
menyentuh tubuhnya dan mendesah untuknya. Memang terdengar seperti pelacur.
Tapi hei! Aku adalah istrinya. Dan aku boleh melakukan itu pada suamiku.
Kudengar ia tersenyum.
“Yah,
kau ingin tahu?” tanyanya ternyata sudah berada di belakangku. Kurasakan
lengannya mulai melingkar di sekitar pinggangku dan dagunya yang menyentuh
pundakku. Dengan malu-malu aku menganggukan kepalaku.
“Apa
kau yakin, Mine?” tanya Justin, kali ini ia mengecup pundakku. Salah satu
tangannya mulai menyisihkan semua rambutku pada pundakku yang lain. Sehingga
leherku sekarang terlihat untuknya. Ia mulai menciumi leherku.
“Aku
ingin kau berteriak-teriak. Meneriaki namaku. Oh, tunggu dulu. Tidak di sini.
Di kamarku,” ujar Justin. OH! Aku akan berhubungan badan dengan Justin di
kamarnya. Untuk yang pertama kalinya.
***
*Justin Bieber POV*
Aku
memanggilnya Mine dan ia tidak apa-apa dengan itu. Aku menyukainya. Itu seperti
menekankan bahwa ia adalah milikku. Kemarin malam adalah malam terindah yang
pernah kulewati. Melihatnya mendapatkan pelepasan sebanyak empat kali hampir
membuatnya pingsan. Aku tidak akan pernah memaafkan diriku jika ia benar-benar
pingsan hanya karena mendapatkan multipelepasan.
Aku
keluar dari kamar mandi. Ah ya, aku hampir lupa. Hari ini William Roger akan
menikah. Sialan. Aku lupa untuk membelikan Mine gaun untuk pergi ke sana. Dia
harus tampil cantik. Harus lebih cantik dibanding pengantin wanitanya.
Kukeringkan rambutku dengan handuk dan berjalan menuju lemari pakaianku. Hari
ini aku tidak bekerja, lagi, di kantor. Mungkin bekerja di rumah sambil melihat
Mine lebih menyenangkan.
Kutatapi
Mine yang masih tertidur pulas dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Dia
memang bayi halus yang polos. Tidurnya pun ia terlihat sangat cantik. Kuambil
kaos berwarna abu-abu dan celana berwarna hitam pendek untuk kupakai. Saat aku
selesai memakai pakaianku, kudengar Mine terisak.
Ia
menangis dalam tidur.
“Hiks,
tidak,” ia terisak, penuh denga kesakitan. Mataku melebar. Apa yang ia impikan?
Aku berjalan ke arahnya dengan langkah cepat dan langsung menggoyang-goyangkan
tubuhnya yang masih polos itu.
“Mine!”
aku berteriak untuk membangunkannya.
“Jangan!”
teriaknya, kembali terisak. Air matanya mengalir. Dan ia memberontak saat aku
mencoba untuk menggoncangkan tubuhnya.
“ANNA!”
aku membentaknya dan membangkitkan tubuhnya dari tempat tidur. Sontak matanya
terbuka dan seperti orang yang pusing, ia menggelengkan kepalanya namun matanya
terbuka. Matanya penuh dengan air mata. Apa yang ia impikan? Astaga, aku
khawatir dengan keadaannya sekarang. Bukan karena aku kasihan padanya, tapi
siapa lagi yang akan menyalurkan kebutuhanku selain keseksiannya?!
“Mine?”
aku berbisik, masih memegang kedua lengannya yang baru saja
kugoncang-goncangkannya. Ia telah terduduk. Matanya masih mencari-cari apa yang
harus ia tatapi. Kemudian aku merasa marah padanya. Aku ada di depannya!
“Mine,
lihat aku,” matanya yang berkeliaran langsung berhenti pada satu titik. Pada mataku.
Aku mulai memberikannya tatapan lembut. Aku tidak boleh memarahi gadis ini atau
ia akan pergi dari rumah ini. Tidak boleh. Itu tidak boleh terjadi. Dia
satu-satunya Submissive alami. Kepolosannya yang alami. Dan ia adalah seorang
gadis yang penurut. Tiba-tiba ia langsung memelukku.
“Aku
tidak punya siapa-siapa di dunia ini, Justin. Aku bahkan tidak tahu di mana
keberadaan orang tuaku. Mereka menghilang. Nicholas meninggal. Dan aku hanya
memilikimu di sini. Tolong jangan tinggalkan aku,” ia menangis. Tentu saja aku
tidak akan meninggalkannya. Ia Submissive-ku.
“Aku
tidak akan pernah meninggalkanmu, Mine. Kau sudah menjadi milikku,”
“Janji?”
“Aku
tidak bisa menjanjikan sesuatu yang tak pasti, Mine,” jawabku tanpa pikir
panjang. Ini adalah percakapan yang sangat hambar. Aku tidak ingin
membicarakannya. Aku memeluknya dengan erat. Untung saja selimut ini masih
menutupi dadanya, jika tidak, dari tadi aku sudah menyetubuhinya lagi.
“Apa
kau ingin pergi ke pernikahan temanku?”
“Tentu
saja,” ujarnya dengan suara parau.
“Semuanya
akan baik-baik saja, Mine,” aku berusaha untuk menenangkannya.
***
Astaga
Tuhan! Ampunilah dosaku jika dosaku begitu banyak. Jika Engkau memang
memberikannya untukku, aku akan menerimanya dengan senang hati. Tapi ya Tuhan,
aku benar-benar berterima kasih atas pemberianmu padaku. Aku terperangah
melihat seorang malaikat yang berdiri di
depan kaca lemari pakaiannya. Ia benar-benar cantik dengan gaun merah tua yang
ia pakai. Rambutnya tertata rapi dikarenakan pelayannya yang baru saja
meriasnya. Aku tidak tahu kalau ia akan secantik ini. Ini benar-benar melampaui
batas keinginanku.
Mine
terlihat begitu cantik malam ini. Gaun panjang hingga mata kakinya terlihat
begitu anggun. Punggungnya telanjang, namun bagian depannya tertutup hingga
leher. Kalung yang kuberikan terlihat di sana. Gelang kaki yang tersangkut di
mata kakinya juga terlihat. Tinggal sepatu saja yang belum ia pakai. Mine
membalikan tubuhnya dan wajahnya memerah.
“Kau
terlihat begitu cantik,” aku memuji, ia pantas untuk dipuji.
“Aku
terlihat begitu berlebihan,” ucapnya lesu. Tidak, astaga, tidak! Ia memakai
riasan wajah tidak begitu berlebihan. Justru ia tampak natural. Bahkan ia hanya
memakai bedak, kurasa.
“Tidak,
sayang, tidak,” aku mendekatinya. “Kemarilah,” aku merentangkan tanganku lalu
ia berjalan untukku memelukku. Kau tahu mengapa aku suka dipeluk olehnya?
Karena dadanya yang kenyal dan padat menempel dengan tubuhku begitu nyaman dan
nikmat sekali. Astaga, seperti sekarang ini. Aku bisa merasakannya di dadaku
juga.
“Mrs.
Bieber,” seorang pelayan muncul dari luar dan kami langsung melepas pelukan
kami. Aku tidak suka diganggung seperti ini. Tapi pelayan itu membawakan sepatu
untuk submissive-ku. Kubiarkan Mine memakai sepatu tingginya yang dibantu oleh
pelayan itu. Ia berbisik untuk tidak dibantu, tapi pelayan itu memaksa. Astaga,
rasanya aku ingin menampar bokongnya karena tidak menurut ucapanku! Ia harus
belajar untuk hidup mewah! Mengapa rasanya ia keras kepala sekali? Ia hanya
perlu menerima, itu saja pekerjaannya. Dan tentunya ia menyenangkanku.
Pelayan
keluar dari kamar Mine dan kemudian Mine menatapku lagi. Ia tampak ragu-ragu.
Kurasa ia tidak nyaman dengan pakaiannya. Apa yang harus kulakukan selain
memarahinya?
“Aku
tidak –“
“Anna,
kau harus memakai pakaian itu,”
“Iya,
tapi aku merasa tidak nyaman,”
“Mine,
sayang, kau harus memakainya. Kau tampak cantik. Jangan malu-malu. Kau pasti
adalah wanita tercantik di sana. Bahkan kau akan lebih cantik dari pada
mempelai wanitanya,” ujarku berusaha untuk tidak marah.
“Apa
aku bisa memakai pakaian yang lain?”
“Anna,
jangan buat aku marah. Pakai gaun sialanmu itu dan kita pergi,” aku menekan
setiap kata yang keluar. Mengancamnya. Kemudian ia menganggukan kepalanya,
pasrah. Aku memberikan siku-sikuku padanya dan ia langsung meraihnya. Kemudian
kami berjalan untuk keluar dari kamarnya. Berangkat menuju pesta pernikahan
Willam Roger.
***
“Aku
memimpikan lelaki itu,” bisik Mine dengan pelan. Ia menundukan kepalanya, tidak
menatapku. Akhirnya ia ingin membicarakan tentang mimpinya setelah tadi pagi
aku bertanya namun ia tidak menjawab. Aku tidak ingin ia terintimidasi dengan
pertanyaan itu sepanjang hari. Dan sekarang, sore ini, menuju pesta pernikahan
William Roger, di dalam mobil, ia membicarakannya.
“Siapa?”
“Lelaki
yang memperkosamu?”
“Ya,”
“Apa
kau ingat seperti apa orangnya?”
“Aku
tidak tahu. Tapi sungguh, aku bersumpah, aku yakin namanya …” ia menautkan
kedua alisnya, hampir bersatu.
“Siapa,
Mine?” tanyaku, kali ini aku menyentuh pundaknya yang telanjang. Ia mengambil
nafasnya dan menghembuskannya kemudian mendongakan kepalanya.
“Johnson
Bannet.” Bisiknya menatap mataku. Johnson Bannet?
****
*Anna Bieber POV* *permanent
Aku
hanya mengedarkan penglihatanku kepada siapa saja dan memperhatikan pakaian
mereka yang mereka kenakan. Sambil lengan Justin dan lenganku terus mengait.
Sedangkan tanganku yang satu lagi memegang segelas sampanye yang sama sekali
tidak kusentuh. Bahkan Justin sudah meminum beberapa gelas anggur yang berjalan
dibawakan oleh pelayan-pelayan. Kurasa pengantin wanitanya menyukai warna
merah. Pas sekali dengan gaun yang kukenakan. Tapi ini terlalu terbuka. Gaun
yang kupakai cukup terbuka. Memang, bagian depannya tidak terbuka, justru
sangat tertutup. Tapi bagian punggungku telanjang hingga pinggangku. Astaga,
itu benar-benar terbuka dan Justin menyukainya. Bahkan saat kami masuk ke dalam
pesta ini, tangannya tak bias diam untuk terus mengelusnya.
William
Roger. Dia adalah mempelai lelaki yang tampan. Kata Justin ini adalah
pernikahannya yang kedua. Dan aku mewajarkan itu. William terlihat sudah
setengah baya dan mempelai wanitanya benar-benar muda. Dan sudah pasti ini
adalah pernikahannya yang kedua. Nama istri William adalah Laura. Ia sangat
cantik dengan gaun berwarna putih yang ia kenakan, meski perhiasannya penuh
dengan warna merah. Intinya Laura benar-benar cantik sekali.
“Mine,
ada apa?” tanya Justin membuyarkan lamunanku. Ah, dan ya. Seperti yang kalian
tahu. Kepribadian Justin benar-benar berubah saat ia sudah keluar dari rumah
atau mobilnya. Tiba-tiba saja ia tampak lebih maskulin dan berwibawa. Hanya
menganggukan kepalanya saat orang-orang menyapanya. Tidak banyak tersenyum atau
berbicara. Kalau pun ia berbicara, ia berbicara dengan rekan kerjanya soal
bisnis. Yang tentunya aku tidak tahu apa yang ia bicarakan.
Dan
ia menentukan untuk berbicara denganku sekarang.
“Tidak
apa-apa. Laura benar-benar cantik,” kataku mendongak untuk melihatnya. Dan
seperti biasanya, aku selalu menyesal telah melakukan itu. Mata Justin. Tuhan,
astaga. Kakiku benar-benar tak bertulang sekarang, bahkan aku semakin
mengeratkan lenganku pada lengan Justin sehingga kami tambah menempel. Apalagi
sekarang aku memakai sepatu tinggi.
Justin
mendekatkan kepalanya pada telingaku.
“Tapi
kau yang paling cantik di mataku, Mine,” bisiknya yang membuat seluruh tubuhku
bergetar. Apa dia benar-benar berkata seperti itu? Pipiku memerah. “Minumlah,
tidak apa-apa. Alkoholnya tidak tinggi,” ujar Justin menyuruhku. Ragu-ragu, aku
mulai meneguk sampanye ini hingga habis. Sialan! Sialan! Tenggorokan terasa
tersiram dengan api. Aku langsung memejamkan mataku dan memberikan gelas ini
pada Justin. Ia langsung mengambilnya dan tertawa. Oh, suara itu. Aku
menundukan kepalaku dan menggelengkan kepalaku. Astaga, aku tidak terbisa
minum-minum yang beralkohol.
“Ini.
Minumlah lagi,” ujar Justin memberikan segelas sampanye lagi. Aku mengambilnya
dan menenggakannya lagi. Kupejamkan mataku lagi. Aku mungkin akan terbiasa
dengan ini.
“Lagi?”
tanya Justin sepertinya ingin aku mabuk. Tapi, persetan! Aku juga ingin
merasakan bagaimana rasanya menjadi orang mabuk. Aku mengambil segelas sampanye
lagi dari tangan Justin. Saat aku sadar, ternyata seorang pelayan berdiri di
depan kami dengan beberapa gelas penuh dengan sampanye. Aku menaruh gelas itu
pada nampan yang pelayan itu bawa lalu mengambilnya lagi.
“Whoa,
Mine. Hati-hati. Apa kau pernah minum ini sebelumnya?” tanya Justin terkejut
dengan tingkahku. Aku menggelengkan kepalaku dan menenggakan segelas sampanye
lagi sampai habis.
“Sudah,
Mine. Nanti kau mabuk,” ujar Justin saat aku sudah merasa pusing. Aku sudah
pusing! Aku sudah mabuk. Tubuhku rasa begitu berat. Kudengar Justin tertawa.
“Kau sudah mabuk. Lebih baik kita pulang,” ujar Justin menarik tanganku untuk
keluar dari pesta ini tanpa berpamitan dari Will. Padahal tadi aku hanya
mengambil lima sampanye. Mungkin ini karena pertama kalinya aku meminum minuman
yang beralkohol.
“Max!”
panggil Justin di kerumunan banyak orang di halaman depan. Ternyata Max
menunggu Justin di depan. Ia bahkan tidak berbicara dengan siapa pun. Ia hanya
berdiri di depan tiang rumah ini dengan kacamata yang ia pakai. Mengapa ia
tidak bersenang-senang atau berbicara? Tiba-tiba ada kilatan yang membuat
penglihatanku kabur.
“Sial!”
Justin berseru dan menarik tanganku dengan cepat untuk pergi menuju mobil.
***
“Justin!”
aku merintih pelan saat Justin melemparku dengan kasar ke kasurnya. Entahlah,
aku tidak ingin menangis atau apa pun. Justru sekarang aku dilingkupi oleh
nafsu yang bergejolak. Kemudian aku tertawa-tawa saat tangan Justin melepas
kedua sepatu tinggiku.
“Sial!”
ia terus menggumamkan kata Sial. Ada apa? Aku benar-benar bingung.
“Oh,
Justin. Kemarilah,”
“Ya,
sayang? Ada apa? Kau mengingkan aku?” tanyanya sambil melepaskan sepatuku yang
lain dan melemparnya dengan sembarangan. Kurasa aku harus berubah untuk menjadi
wanita nakal. Aku benar-benar bernafsu dan menginginkan Justin berada dalam
tubuhku sekarang. Kutarik dasi yang Justin kenakan agar ia menaiki tubuhku.
Mataku yang sayu langsung bertemu dengan matanya. Aku menganggukan kepalaku dan
memajukan kepalaku. Memeluk lehernya dengan kedua lenganku lalu kakiku yang
mengelilingi pinggang Justin.
“Aku
menginginkanmu Justin, lebih dari apa pun,” aku mendesah dan melumat bibirnya
dengan penuh rasa keingintahuan yang tinggi. Entahlah, rasanya aku menginginkan
Justin. Lebih dari pada biasanya. Ini mungkin adalah akibat dari alkohol tadi.
Tapi persetan dengan ini! Aku menginginkannya! Aku mengerang saat salah satu
tangan Justin mulai meremas-remas bagian dalam pahaku. Aku sudah basah
untuknya.
“Kau
mendapatkannya, sayang. Kau mendapatkannya,” ujarnya melepaskan ciuman ini.
Kemudian ia menciumi leherku. Salah satu tangannya yang lain mulai melepaskan
kalung yang terpasang dengan gaun ini
sehingga sekarang gaunku lepas. Ia menariknya ke bawah sehingga dadaku
sekarang terlihat untuknya.
“Oh,
sayang, ini benar-benar sempurna,” bisiknya menjilati leherku dengan lembut
lalu mengisapnya di sana. Mengemutnya seperti anak bayi yang meminum susu
ibunya. Aku mendesah pelan. Tangannya yang masih berada di bawah sana mulai
bermain naik semakin dalam. Kemudian jarinya menyentuh celana dalamku.
Membuatku tersentak dan memekik.
“Basah
ya sayang? Aku menyukainya,” bisiknya mengecupi daguku. Turun ke leherku lalu
pada dadaku. Ia hanya memainkan ujung lidahnya di sana. Di sekitar dadaku lalu
pada putingnya. Ah, sial. Aku mengerang dan mendongakan kepalaku ke belakang.
Bersamaan saat ia memasukan putingku ke dalam mulutnya, ia mengesampingkan
celana dalamku lalu memasukan jari tengahnya ke dalam sana. Aku mengerang
dengan keras.
“Oh,
Justin. Angh, sial!” aku menggeram dan memegang kedua bahu Justin. Aku ingin
merobek pakaian Justin sekarang. Ia masih rapi dengan rompi yang masih menempel
di tubuhnya. Ia sudah melepas jasnya tadi.
“Ya,
sebut namaku sayang. Aku senang mendengarnya,”
“Oh,
Justin. Kumohon, buat aku Justin! Buat aku –Aaaah!” aku mengerang panjang saat
Justin mengeluar-masukan jarinya di sana dengan cepat. Tangan Justin yang lain
menarik kepalaku dan mulutku mulai tertutup oleh mulutnya. Eranganku meredam
dalam mulutnya. Lidah kami bertarung dengan hebat. Pinggulku ikut bergoyang
bersama dengan jarinya. Ini benar-benar nikmat. Oh, astaga. Pelepasanku mulai
terbangun. Ia semakin mengeluar masukan jarinya di sana. Terus menerus, mulut
kami terus bertemu dan eranganku terus teredam dalam mulut Justin.
“Justin,”
aku memejamkan mataku dan mendongakan kepalaku, sehingga ciumanku dan Justin
terlepas. Aku terus menggoyangkan pinggul dan kemudian ..Oh Tuhan, astaga. Ini
benar-benar berlebihan. Tubuhku gemetar.
“Buka
matamu, Anna! Tatap aku!” bentak Justin. Aku melakukannya sambil terus
mengerang. Ini benar-benar intens. Salah satu tanganku merangkul lehernya dan
meremasnya. Justin ikut mengerang.
“Bagus
sayang, bagus. Sekali lagi,”
“Tidak!”
“Ya!”
kali ini ia melakukannya dengan kasar.
***
“Justin,
bagaimana bisa kau membuatkan aku kartu kredit?” tanyaku sambil mengelus Bee.
Justin sedang berenang di pagi hari. Bayangkan, berenang di pagi hari. Meski
aku tahu, sebenarnya matahari pagi benar-benar sehat untuk kami. Justin tampak
begitu seksi dengan celana renang ketat berwarna hitam yang ia kenakan. Dari
tadi aku menahan untuk tidak tergoda dengannya. Gigiku terus menggigit bibir
bawahku. Aku duduk bersilang di sisi kolam renang. Justin belum menjawab
pertanyaanku, ia terus berenang menjauhiku. Dia tidak ingin menjawab
pertanyaanku. Boo tampaknya sedang tidur nyenyak di atas handuk yang kusiapkan
di atas kursi santai. Ia terlihat imut dari sini.
Saat
aku membalikan kepalaku untuk melihat Justin lagi, ia sudah berada di depanku.
Melipat kedua tangannya di sisi kolam. Rambutnya yang berwarna cokelat itu
basah dan terus meneteskan air. Bibirnya tampak lebih basah –tentu saja—dan
tampaknya matanya lebih cerah.
“Aku
mendapatkan akta kelahiranmu dari orang tuaku,” ujarnya yang membuatku sedikit
terkejut. “Salinan dari kartu tanda pendudukmu dan kau tidak memiliki SIM.
Benar?” tanya Justin. Bagaimana bisa orang tua Justin memilikinya? Ah, ya. Aku
baru ingat. Saat aku menanda tangani surat itu aku harus memberikan akta
kelahiranku dan salinan dari kartu tanda pendudukku.Sialan! Pasti aku tampak
jelek sekali di kartu tanda pendudukku.
“Mengapa?”
“Jadi
kau tahu aku lahir di mana?”
“Ya,
tentu saja. Ternyata ..gadis ini dari Kanada. Hockey, ma’am?” aku tertawa saat
ia bercanda.
“Tidak,
terima kasih. Aku tidak tahu cara bermainnya bagaimana. Apa kau bisa?”
“Tidak
juga. Aku bukan orang Kanada. Orang tuaku orang Inggris campuran Amerika. Aku
melakukan hal-hal seperti ..bermain golf, basket, bola, kau tahu, semacamnya.
Tapi hockey? Tidak, aku tidak,”
“Kau
bermain basket?”
“Saat
SMA. Sudah lama sekali aku tidak bermain basket. Aku sibuk,”
“Tentu
saja,” aku mendesah dan sadar. Bee merengek untuk dilepaskan. Dengan lembut,
aku melepaskannya dan ia langsung berlari menuju taman. Mendengar gonggongan
dari Bee, mata Boo terbuka dan terkesiap. Kakinya yang mungil menumpu tubuhnya
juga yang mungil. Kemudian ia melompat dari kursi santai dan mengikuti Bee yang
kupikir sudah sampai di taman.
“Nancy!
Tolong lihat anjing-anjing itu,” teriak Justin. Nancy adalah salah satu pelayan
di sini. Kebetulan sekali ia sedang membersihkan taman dekat kolam. Sontak
Nancy terkesiap dan berlari kecil menuju Bee dan Boo yang menggonggong. Aku
mengalihkan penglihatanku kembali pada Justin.
“Mengapa?”
“Apa?”
“Mengapa
rasanya kau mudah sekali menyuruh-suruh orang, Justin?” aku memiringkan
kepalaku ke satu sisi. Sehingga rambutku yang cukup panjang ikut bergoyang.
“Karena
aku seorang Dominan. Berenang bersamaku!” suruh Justin menarik salah satu
kakiku sehingga aku terseret. Untungnya aku tidak terkejut sehingga aku
langsung memukul tangan Justin dan ia langsung melepasnya. Aku langsung
melompat padanya dan memeluknya di dalam kolam. Bibirku langsung bertemu dengan
bibirnya.
“Apa
yang kau suka, Mine? Katakan saja,”
“Aku
suka berhubungan badan denganmu,” aku memeluk lehernya dan tersenyum genit
padanya. Kusatukan keningku dengan keningnya dan mencoba untuk menciumnya lagi.
Tapi ia menjauh. Kening kami terpisah. Salah satu alisnya naik. Tiba-tiba saja
ia meraup bokongku dan menaikan tubuhku pada tubuhnya sehingga kakiku
mengelilingi pinggangnya.
“Kau
suka?” tanyanya lagi, kali ini kedua alisnya naik bersama. Aku menganggukan
kepalaku dengan malu-malu. Kurasa pipiku memerah. Kali ini ia yang menyatukan
keningnya dengan keningku. Kembali aku melingkarkan tanganku pada lehernya. Kau
tahu, sekarang aku hanya memakai bikini. Dan aku bisa merasakan sesuatu yang
keras di bawah sana. Oh, aku menginginkan itu.
“Mine,
kau nakal,”
“Karena
kau,”
“Benar,”
ujarnya. Tapi aku tidak menemukan suatu gairah lagi. Matanya yang tadinya
cerah, menggodaku, tiba-tiba saja menjadi gelap dan misterius. Ia memajukan
tubuhnya hingga punggungku menyentuh pada tembok kolam renang.
“Mine,
kumohon jujur,” ujarnya yang membuatku mengelus kepalanya. Ada apa? Aku benar-benar
mengelus belakang kepalanya dengan lembut. Dan aku memberikan raut wajah ‘Ada
apa, Justin?’. Ia memejamkan matanya dan mendesah pelan.
“Mine,
apa kau pernah berhubungan badan dengan Logan? Kemarin?” tanya Justin yang
membuatku terkejut dengan pertanyaannya. Apa-apaan? Aku sungguh kecewa dengan
ucapannya. Apa aku benar-benar terlihat seperti pelacur? Astaga. Elusan
tanganku pada kepala Justin berhenti. Tangan Justin yang berada di pinggangku
semakin mengencang. Ia tahu aku akan pergi dari hadapannya dengan cepat. Ia
tahu.
“Mengapa
kau bertanya seperti itu Justin?”
“Mine,
tolong jangan marah, kau hanya perlu menjawab Ya atau Tidak,” ujarnya. Aku
merasa seperti dilecehkan. Aku merasa ..astaga, Tuhan. Apa Justin selama ini
menganggapku sebagai pelacur? Tidak mungkin aku berhubungan badan dengan Logan!
Aku bahkan baru kenal Logan dua hari yang lalu.
“Apa
aku terlihat seperti pelacur bagimu?” tanyaku menahan air mataku.
“Kurang
lebih, ya.” Kata-kata yang meluncur benar-benar menusuk hulu hatiku. Pedih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar