Jumat, 02 Agustus 2013

Dominan - Submissive Bab 4

***

            “Kau harus menerima ini,” ujar Justin sambil memberikan sebuah kartu kredit yang berada di tangannya. Hadiah yang lain? Astaga, apa-apaan ini? Aku tidak bisa menerima ini semua. Ini terlalu berlebihan. Kalung, anjing dan kartu kredit secara cuma-cuma? Ini sangat berlebihan dan aku tidak bisa hidup dengan kemewahan ini. Hanya saja, aku lebih menyukai hidup yang sederhana. Dengan semua kekayaan Justin, aku hanya butuh dirinya. Bukan kekayaannya. Aku bukan wanita pecinta uang. Dulu, memang aku membutuhkan uang karena kebutuhanku yang belum tercukupi. Tapi dengan Justin, apa yang kuinginkan telah tercapai. Tinggal di rumah yang kuinginkan, tidak ada tagihan yang harus kubayar, terlebih lagi, aku sudah tidak bekerja! Apalagi yang kubutuhkan selain Justin seorang? Hanya dia.
            Aku terdiam. Melihat kartu kredit yang masih ia pegang.
            “Terima atau aku akan kembalikan anjing-anjing ini ke tempat semula, padahal Bee dan Boo telah terlatih,” ujar Justin menggodaku. Ia menyeringai. Sialan! Dengan pasrah, aku mengambil kartu kredit itu dari tangannya dan tersenyum pada Justin.
            “Bagaimana perasaanmu setelah mendapatkan ini semua?” tanya Justin menyandarkan siku-sikunya ke tepi sandaran sofa. Kepalanya ia sandarkan pada tangannya. Ia terlihat bukan seperti 30 tahun. Bayangkan, aku hanya terlihat berselisih 5 tahun darinya. Bukan 10 tahun. Rasanya begitu sulit menerima kenyataan bahwa ia hampir setengah baya. Acuh, aku hanya mengangkat kedua bahuku dan memberikan mainan di bibir.
            “Ini semua sangat berlebihan. Aku hanya menginginkan dua ekor anjing tapi kau malah menambahnya secara berlebihan. Tapi, terima kasih Justin,” ujarku mencoba untuk tidak menatap matanya, melainkan pada Bee dan Boo yang masih diam namun dari tadi mereka berdua mengelilingi kandangnya. Ah, aku ingin membelikan mereka baju anjing. Pasti akan sangat lucu jika mereka benar-benar mengenakan baju.
            “Anna, kau harus terbiasa dengan ini. Kau tidak bisa membawa kehidupanmu yang lalu ke dalam rumah ini. Kau harus terbiasa dengan lingkup kehidupanmu yang baru. Anna, jangan buat aku marah,” ujar Justin yang terdengar berusaha untuk bersabar denganku. Apa maksudnya? Aku memang seperti ini. Pakaian yang ia belikan bahkan belum kusentuh. Walau aku tahu, pakaian yang ia belikan lebih mahal dan lebih berkualitas. Tapi yang penting aku bisa memakai pakaian, yang layak. Yang masih bisa menutupi tubuhku. Apa salahnya? Dan perhiasan ini, well, aku bisa menerimanya. Tapi kartu kredit? Justin cukup memberikanku kehidupan seperti ini, aku tidak membutuhkan uang. Namun ..
            Aku menyerah. Aku memang harus belajar hidup dalam kemewahan yang ada. Selama aku masih bisa bernafas, aku akan menikmati ini semua. Apa yang telah diberikan Tuhan melalui Justin. Ini sebuah keajaiban dalam hidupku.
            “Baiklah,” aku bangkit dari sofa untuk terduduk di atas karpet. Kubuka kandang yang berwarna merah muda. Ini Bee. Aku tahu, aku tahu. Namanya tidak cocok untuk nama anjing. Tapi mudah diingat. Dari warna kandangnya, sudah jelas ia perempuan. Langsung saja, anjing mungil dengan bulu mereka yang tidak begitu lebat berwarna cokelat keemasan muncul dan berlari ke arahku. Ia melompat sehingga aku langsung menangkapnya. Ini sangat menyenangkan. Bahkan aku tidak bisa menahan senyumanku.
            “Bee,” aku melirik pada Justin dan mengelus kepala Bee dengan lembut. “Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih padamu Justin, tapi ini sangat menyenangkan,” aku berseru begitu senang. Justin ikut tersenyum padaku.
            “Semuanya akan baik-baik saja, Anna. Asalkan kau menyenangkanku. Kau tidak tahu bagaimana harus berterima kasih?” Justin menggodaku. Aku mengerling padanya, seperti wanita genit. “Dasar wanita nakal. Kau menggodaku!” seru Justin gemas padaku. Aku tertawa. Mengapa jika ia berada di dalam rumah, ia terdengar begitu muda dan menyenangkan? Sedangkan di luar sana, ia begitu dingin dan berkarisma –meski di dalam rumah juga ia masih berkarisma. Apa dia hanya melakukan ini padaku? Aku tidak tahu. Ia sangat muda sekarang. Apalagi saat ia tertawa. Suaranya benar-benar indah. Seperti paduan suara surgawi yang terdengar di telingaku.
            “Aku tidak menggodamu, ini natural,”
            “Begitu ya. Jadi, tidak tahu bagaimana harus berterima kasih padaku eh?” tanya Justin, kembali lagi dengan nada suaranya seperti para pengusaha. Ia membungkukan tubuhnya dan kedua siku-siku berada dikedua ujung lututnya, lalu ia melipat tangannya. Kepalanya cukup dekat dengan kepalaku. Menjawab, aku hanya menganggukan kepalaku.
            “Aku akan memberi tahumu bagaimana berterima kasih padaku,” ujarnya, “nanti malam. Tapi aku harus bekerja sekarang. Jaga dirimu baik-baik dan jangan nakal. Kau bisa pergi keluar – Ah, ya. Aku hampir lupa,” ucap Justin, sadar akan sesuatu. Kemudian ia memundurkan tubuhnya dan berdiri.
            “Logan!” teriak Justin dengan kencang, hampir seperti membentak. Bee yang berada di gendonganku tiba-tiba saja bersungut, menangis.
            “Tenang saja, ia tidak marah padamu,” aku berseru dengan suara kecil pada telinga Bee dan mengelus kepalanya kembali. Aku mendongak. Kemudian aku melihat seorang lelaki berambut hitam, rambutnya sedikit panjang dan rapi, tapi tubuhnya tinggi dan tegap. Oh, dia Logan. Ia sudah memakai pakaian berwarna biru tua –hampir hitam- dengan kacamata hitam yang ia pakai. Lalu ia membuka kacamatanya dan menyelipkannya pada kantung seragam atasannya.
            “Mrs. Bieber,” ia menunduk dengan sopan. Kulirik Justin yang tiba-tiba saja bibirnya menjadi sebuah garis lurus yang membeku.
            “Dia pengawalmu mulai dari sekarang. Kalau kau ingin keluar dari rumah, maksudku, berpergian,” Justin langsung mengoreksi ucapannya, “kau harus pergi bersamanya. Ia yang akan membawamu,” jelas Justin. Aku hanya menganggukan kepalaku, mengerti.
            “Bagus. Sekarang, aku harus pergi bekerja. Kemarilah,” ucap Justin sambil merentangkan tangannya. Aku melepaskan Bee dan bangkit dari karpet. Kuharap Bee tidak kemana-mana. Berjalan menuju Justin, aku langsung memeluknya dengan erat. Ternyata seorang Justin menyukai sebuah pelukan, aku juga begitu.
            “Hati-hati di jalan Justin,” ujarku mendongak. Kulihat Justin terkejut, matanya melebar. Namun ia berusaha untuk menutupi kekejutannya. “Ya,” dia hanya menjawabku singkat dan lalu mengecup bibirku dengan lembut dan cepat. Kemudian, ia melepaskan pelukannya. Berjalan pergi meninggalkan ruang keluarga dan kemudian menghilang di ruang tamu. Oh, astaga, aku merasa kehilangan saat ia pergi.
            “Ayo Boo,” aku berseru senang dan jongkok untuk mengeluarkan Boo keluar dari kandangnya. Tiba-tiba ia menggonggong dengan suaranya yang sangat nyaring dan keras. Ia benar-benar lucu.
            “Logan?”
            “Ya, ma’am?” Aku tersentak. Ma’am? Apa aku terlihat seperti wanita 40 tahun? Astaga.
            “Kau bisa memanggilku, Anna. Itu terdengar lebih akrab,” suruhku, “apa kau ingin menemaniku untuk bermain dengan anjing-anjing ini di taman?” tanyaku meraup Boo dan Bee dalam gendonganku. Whoa! Mereka bertengkar, dengan cepat aku menjauhi Boo dan Bee. Mereka menggonggong kembali.
            Logan berpikir sebentar, sorot matanya benar-benar misterius. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan.
            “Dengan senang hati,” akhirnya ia berucap dengan senyum. Aku memberikan Bee pada Logan dan ia langsung menggendongnya.
            “Ayo!” aku berseru dengan senang dan berlari kecil untuk menuju taman.

***

*Justin Bieber POV*

            Ucapan Anna tadi benar-benar membuatku terkejut. ‘Hati-hati di jalan, Justin’. Mengingatkanku pada wanita itu. Sialan. Mengapa Anna tampaknya begitu polos sekali? Ia tidak perlu berkata seperti itu. Aku akan berhati-hati di jalan.Keselamatan adalah yang utama dalam perjalanan. Wanita sial itu kembali masuk ke dalam otakku. Kurasa aku harus jujur.
            Chanta. Itu panggilannya. Nama aslinya adalah Chantelle. Ia adalah submissive pertamaku. Aku memutuskan menjadi seorang dominan sejak umurku 25 tahun. Tapi aku bukan seorang lelaki yang gila control. Aku hanya ingin menjadi seorang dominan di ranjang. Submissive, mereka seorang penurut bukan? Ya, itu mereka. Maka dari itu aku tidak benar-benar mengontrol seorang submissive –kecuali mereka memberontak. Anna benar-benar mengingatkanku pada Chanta. Dari semua submissive, Chanta adalah gadis yang sangat polos –sebelum Anna datang-. Dia gadis yang ceria, bersemangat dan ambisius. Ia berselisih sekitar 5 tahun denganku. Tapi satu yang aku tidak pernah sadari dari kepolosannya. Ia seorang gadis yang hanya menginginkan uangku. Ia tidak polos –setelah aku menyadari pada akhirnya-. Sebelum aku menyadari ia tidak polos, Chanta adalah gadis yang sangat memperhatikanku. Kau tahu, seperti ‘Hati-hati di jalan Justin!’ atau ‘Justin, apa kau sudah makan? Kau terlihat pucat.’. Aku menyukainya. Aku melakukan apa pun untuk menjaganya tetap berada di rumahku. Tapi sial! Aku ditipu. Pengawalku dan Chanta ternyata memiliki hubungan gelap. Dan ia meminta banyak uang padaku. Aku memberikannya. Meski awalnya aku bingung mengapa ia meminta begitu banyak uang dari pada biasanya. Tapi aku memang bodoh, ini karena aku menyukainya. Hampir saja aku menginginkannya agar menjadi pacarku. Aku memberikan banyak uang dan sehari setelah aku memberikan uang itu, ia meninggalkanku. Bersama dengan pengawal sialanku. Membawa mobilku juga!
            Aku membenci hubungan sejak saat itu. Aku tidak percaya dengan yang namanya hubungan pacaran, pernikahan, atau apa pun. Dominan-Submissive adalah yang kupilih. Submissive akan mendapatkan kesenangan dari Dominan jika mereka menurut pada Dominan. Dominan juga akan mendapatkan kesenangan jika Submissive menurut padanya. Tidak didasari dari sebuah hubungan. Tidak dalam sebuah ikatan. Tidak, tidak. Aku tidak menginginkan itu. Terlalu banyak tuntutan di dalamnya. Dan menjadi Dominan tidak sama menjadi seorang pacar. Lelaki memang bisa memberikan hadiah atau sesuatu pada pacarnya, tapi menjadi seorang Dominan, itu adalah sebuah kewajiban untuk memberikan Submissive kesenangan juga. Tidak ada ikatan. Tidak ada yang dirugikan. Tidak ada yang saling mengejek. Tidak ada yang saling menjatuhkan. Uh, sangat tidak bisa dibayangkan bagaimana laki-laki di luar sana memanjakan pacarnya yang terus merengek. Jika aku menjadi mereka, aku akan menampar wanita itu. Sial!           
            Untung saja Anna tidak seperti itu. Ia tidak menginginkan kemewahan. Tapi ia juga harus belajar untuk menikmatinya.
            Terlarut dalam renunganku, aku terkejut saat pintu terbuka. Maria.
            “Justin,”
            “Apa kau bisa sedikit sopan?” aku menegurnya. Dia bukan lagi Submissive-ku. Dia tidak berhak memanggilku Justin lagi. Mr. Bieber.
            “Mr. Bieber. Pertemuan dengan Wiliam Roger,” ujarnya.
            “Bawa dia masuk,” ujarku bangkit dari kursiku untuk berjalan dan akan menyambutnya.
           
            Aku tidak tahu apa aku bisa melewati hari ini tanpa memikirkan Anna. Apalagi malam ini akan menjadi malam yang sangat menyenangkan. Kurasa aku harus memiliki nama panggilan pada Anna.
            Mine. Milikku. Mine. Ya, itu bagus.

***

*Anna Bieber POV*

            “Logan, tolong bantu aku,” ujarku sambil memberikan Bee padanya. Ia dengan sigap langsung menggendong Bee. Hari ini aku baru saja membeli pakaian untuk Boo dan Bee dengan kartu kredit yang Justin berikan padaku. Yang benar saja! Ia memberikanku berpuluh ribuan dollar di sana. Dia pikir aku akan memakai uang itu untuk apa? Mungkin aku bisa memikirkan itu nanti.
            Kumasukan dua kaki dengan Bee pada bolongan tangannya. Logan langsung memberdirikan Bee agar aku bisa mengancingkan pakaiannya. Astaga, pakaian tidur ini benar-benar cocok untuk Bee. Berwarna merah muda.
            “Logan, kapan kau bertemu dengan Justin?” tanyaku sambil mengancingkan kancing Bee.
            “Aku bertemu dengan Mr. Bieber kemarin. Aku teman Max,”
            “Itu sangat hebat. Apa yang Justin katakan padamu?” tanyaku penasaran. Maksudku, untuk apa Justin memberikan aku pengawal? Ini semua benar-benar berlebihan. Tapi seperti yang Justin katakan, aku harus terbiasa dengan kemewahan ini. Aku telah menyandang gelar Mrs. Bieber. Dan aku seharusnya bangga. Dan aku bangga, meski aku harus dijadikan seorang Submissive bagi Justin.
            “Ia hanya ingin Anda selalu aman. Paparazzi akan mengikuti Anda, Mrs. Bieber. Dan ia tidak ingin apa yang berhubungan dengannya diketahui oleh paparazzi,” ujarnya menjelaskan. Whoa! Aku baru sadar kalau Justin adalah seorang Millioner. Tentu saja ia akan terpampang di majalah atau Koran. Ia pasti sering menyumbangkan uang-uangnya sehingga banyak paparazzi yang mencari-carinya. Apalagi Justin adalah seorang yang sangat tampan dan pastinya akan sangat menguntungkan paparazzi jika mereka mendapatkan gambar Justin untuk menarik para hati gadis-gadis membeli majalah mereka karena wajah Justin terpampang di majalah mereka.
            Tiba-tiba ketakutan melanda diriku. Bagaimana jika ada paparazzi yang mengikuti dan mengambil gambarku lalu aku akan masuk majalah? Itu sangat memalukan. Kurasa dengan adanya Logan, semuanya akan baik-baik saja.
            “Anna!” teriak Justin. Aku langsung menggendong Bee dari tangan Logan dan Logan langsung berdiri dari sofa yang kami duduki.
            “Justin,” aku tersenyum senang akan kedatangannya.
            “Tebak aku bawa apa?” tanya Justin tampak senang sekali. Astaga, ia benar-benar terlihat seperti anak berumur 20 tahun. Ia memegang sebuah tas belanja dan menunjukannya padaku. “Ayo ke kamarku,” ujar Justin berjalan menuju tangga.
            “Logan, tolong bawa Bee dan Boo ke kamarku. Maukah kau?” tanyaku memohon padanya dan memberikan Bee padanya. Ia mengangguk.
            Dengan cepat aku berlari melewati tangga sambil membersihkan bajuku. Kubuka pintu kamar Justin.
            “Hei,” ia menyapaku. “Tebak aku bawa apa, sayang?” tanyanya memanggilku sayang. Sial!
****

            “Ya, aku menyukainya,” ujarku tanpa melihatnya. Aku sedang melipat pakaian Bee dan Boo di atas tempat tidurku. Justin baru saja membelikanku gelang kaki. Aku menyukainya karena gelang itu memiliki lonceng dan itu dapat berdenting. Pasti mahal sekali. Dan ukurannya benar-benar pas di kakiku. Meski awalnya, aku tidak menerimanya karena hari ini aku telah mendapatkan kalung. Tapi aku tidak ingin Justin marah padaku. Aku menurutinya.
            Justin telah memberikan banyak hadiah padaku hari ini. Apa yang harus kubelikan untuknya? Aku ingin membelikannya barang. Meski aku tahu, pasti sudah banyak barang yang telah ia miliki. Millioner! Bahkan baru-baru ini aku tahu kalau Justin memiliki sebuah Mall di Kanada. Sial, dia terlalu kayak. Bahkan toko buku pun ia punya. Tapi hanya ada di Inggris. Bagaimana mungkin aku bisa menikah dengannya? Aku masih tidak bisa percaya.
            “Justin,” aku memanggilnya, mendongak. Ia sedang sibuk dengan ponselnya, lagi. Butuh beberapa detik untuk Justin mencerna panggilanku. Ia menoleh padaku. “Mengapa kau membelikanku barang-barang seperti ini?”
            “Aku ingin memperhias dirimu. Agar kau lebih cantik,”        
            “Apa aku kurang cantik?” tanyaku, malu-malu. Astaga, apa yang baru saja kutanya tadi? Itu benar-benar memalukan. Aku menunduk dan mengambil pakaian Bee yang lain, lalu melipatnya. Bee dan Boo sudah tidur di sudut kamarku. Mereka tampak tenang, aku tidak membiarkan mereka tidur di dalam kandang mereka. Mereka benar-benar terlatih.
            Kurasa pipiku memerah saat Justin merangkak dari sisi tempat tidur menuju tengah-tengah. Astaga, ia sudah dekat denganku.
            “Anna,” ia memanggilku, tapi aku tidak mendongak, “Anna, lihat aku,” suruhnya. Aku mendongak dan melihatnya. Oh, Tuhan. Jika Kau ingin mengambil nyawaku, ambillah dengan cara yang lebih mudah. Jangan berikan lelaki ini padaku Tuhan, karena ia seperti malaikat pencabut nyawa! Aku berseru dalam hatiku saat melihat keindahan dalam matanya yang berwarna cokelat. Kali ini cokelat gelap.
            “Anna, kau cantik, seksi, mungil dan manis. Aku hanya ingin sedikit perhiasan di tubuhmu. Bukan berarti kau tidak cantik,” ujar Justin mengelus daguku dengan jari telunjuk. Lalu ia memegangnya dan menarik wajahku untuk ia cium. Ia mengecup bibirku dengan pelan dan melepasnya.
            “Kau submissive tercantik yang pernah kumiliki,”
            “Terima kasih,” aku mencoba untuk menunduk kembali dan fokus pada pakaian Boo, kali ini.
            “Kau ingin kemana Anna? Katakan saja, aku akan dengan senang hati membawamu ke tempat impianmu,” ujar Justin. Aku berpikir. Kemana? Aku tidak tahu. Tida ada tempat yang lebih nyaman dibanding bersama Justin di sisiku. Aku akan kemana saja asal Justin ikut bersamaku.
            “Afrika?”
            “Maka kau akan ke sana segera,” ujarnya dengan santai. Aku tidak mengerti dengan Justin.
            “Justin, apa kau selalu memakai uang-uang ini untuk kesenanganmu?” tanyaku akhirnya mengutarakan perasaanku. Aku tidak menyukai Justin yang hanya membuang uang untuk pergi ke sana kemarin dan menggunakannya untuk kesenangannya. Tidakkah ia berpikir dengan anak-anak panti asuhan? Ia bisa menyumbangkannya ke sana juga. Meski aku tahu, ia pasti telah melakukan itu berkali-kali. Aku ingin ke Afrika, sekarang. Tapi aku tidak ingin semudah ini. Hanya saja, aku bermaksud ke sana bukan untuk bersenang-senang. Tapi untuk membantu mereka. Aku senang membantu orang.
            Justin belum menjawab pertanyaanku. Aku menunggu sambil mengangkat pakaian Bee untuk dimasukan ke dalam laci lemari pakaianku. Kubuka pintu lemari dan lalu lacinya. Untungnya ada tiga laci di sini. Kubuka laci pertama dan merapikan pakaian Bee. Aku tidak ingin pakaian Bee dan Boo tertukar.
            “Aku yang telah berusaha keras untuk ini, maka aku layak untuk mendapatkan kesenganan dari hasilnya, Mine,” ujarnya yang membuatku tersentak. Mine? Aku membalikan tubuhku dan mengangkat salah satu alisku. Justin nyengir padaku. Kali ini ia seperti anak kecil.
            “Tidak apa-apa aku memanggilmu Mine kan?” tanya Justin merogoh kantung celananya. “Aku mungkin akan nyaman dengan panggilan itu,”
            “Apa kau sering memanggil submissive-mu dengan panggilan Mine (=Milikku) untuk membuktikan bahwa mereka adalah miliki dalam jangka waktu yang singkat?” tanyaku berdecak pinggang. Ia menatapku dengan tatapan tak percaya. Kemudian ia bangkit dari tempat tidur, terduduk di sisinya. Hampir saja ia menghancurkan tumpukan baju-baju Boo. Jika ia melakukan itu, aku akan marah besar.
            “Tidak,” akhirnya ia menjawab setelah lama berpikir.
            “Baiklah, kalau begitu kau boleh memanggilku Mine. Nah, sekarang aku ingin tanya,” ujarku sambil mengambil tumpukan baju Boo dan memasukannya pada laci yang kedua. Kurapikan serapi mungkin. “Apa yang akan kita lakukan malam ini?” tanyaku menyiratkan sesuatu. Kau tahu, ‘sesuatu’. Karenanya aku ketagihan untuk menyentuh tubuhnya dan mendesah untuknya. Memang terdengar seperti pelacur. Tapi hei! Aku adalah istrinya. Dan aku boleh melakukan itu pada suamiku. Kudengar ia tersenyum.
            “Yah, kau ingin tahu?” tanyanya ternyata sudah berada di belakangku. Kurasakan lengannya mulai melingkar di sekitar pinggangku dan dagunya yang menyentuh pundakku. Dengan malu-malu aku menganggukan kepalaku.
            “Apa kau yakin, Mine?” tanya Justin, kali ini ia mengecup pundakku. Salah satu tangannya mulai menyisihkan semua rambutku pada pundakku yang lain. Sehingga leherku sekarang terlihat untuknya. Ia mulai menciumi leherku.
            “Aku ingin kau berteriak-teriak. Meneriaki namaku. Oh, tunggu dulu. Tidak di sini. Di kamarku,” ujar Justin. OH! Aku akan berhubungan badan dengan Justin di kamarnya. Untuk yang pertama kalinya.

***

*Justin Bieber POV*

            Aku memanggilnya Mine dan ia tidak apa-apa dengan itu. Aku menyukainya. Itu seperti menekankan bahwa ia adalah milikku. Kemarin malam adalah malam terindah yang pernah kulewati. Melihatnya mendapatkan pelepasan sebanyak empat kali hampir membuatnya pingsan. Aku tidak akan pernah memaafkan diriku jika ia benar-benar pingsan hanya karena mendapatkan multipelepasan.
            Aku keluar dari kamar mandi. Ah ya, aku hampir lupa. Hari ini William Roger akan menikah. Sialan. Aku lupa untuk membelikan Mine gaun untuk pergi ke sana. Dia harus tampil cantik. Harus lebih cantik dibanding pengantin wanitanya. Kukeringkan rambutku dengan handuk dan berjalan menuju lemari pakaianku. Hari ini aku tidak bekerja, lagi, di kantor. Mungkin bekerja di rumah sambil melihat Mine lebih menyenangkan.
            Kutatapi Mine yang masih tertidur pulas dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Dia memang bayi halus yang polos. Tidurnya pun ia terlihat sangat cantik. Kuambil kaos berwarna abu-abu dan celana berwarna hitam pendek untuk kupakai. Saat aku selesai memakai pakaianku, kudengar Mine terisak.
            Ia menangis dalam tidur.
            “Hiks, tidak,” ia terisak, penuh denga kesakitan. Mataku melebar. Apa yang ia impikan? Aku berjalan ke arahnya dengan langkah cepat dan langsung menggoyang-goyangkan tubuhnya yang masih polos itu.
            “Mine!” aku berteriak untuk membangunkannya.
            “Jangan!” teriaknya, kembali terisak. Air matanya mengalir. Dan ia memberontak saat aku mencoba untuk menggoncangkan tubuhnya.
            “ANNA!” aku membentaknya dan membangkitkan tubuhnya dari tempat tidur. Sontak matanya terbuka dan seperti orang yang pusing, ia menggelengkan kepalanya namun matanya terbuka. Matanya penuh dengan air mata. Apa yang ia impikan? Astaga, aku khawatir dengan keadaannya sekarang. Bukan karena aku kasihan padanya, tapi siapa lagi yang akan menyalurkan kebutuhanku selain keseksiannya?!
            “Mine?” aku berbisik, masih memegang kedua lengannya yang baru saja kugoncang-goncangkannya. Ia telah terduduk. Matanya masih mencari-cari apa yang harus ia tatapi. Kemudian aku merasa marah padanya. Aku ada di depannya!
            “Mine, lihat aku,” matanya yang berkeliaran langsung berhenti pada satu titik. Pada mataku. Aku mulai memberikannya tatapan lembut. Aku tidak boleh memarahi gadis ini atau ia akan pergi dari rumah ini. Tidak boleh. Itu tidak boleh terjadi. Dia satu-satunya Submissive alami. Kepolosannya yang alami. Dan ia adalah seorang gadis yang penurut. Tiba-tiba ia langsung memelukku.
            “Aku tidak punya siapa-siapa di dunia ini, Justin. Aku bahkan tidak tahu di mana keberadaan orang tuaku. Mereka menghilang. Nicholas meninggal. Dan aku hanya memilikimu di sini. Tolong jangan tinggalkan aku,” ia menangis. Tentu saja aku tidak akan meninggalkannya. Ia Submissive-ku.
            “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Mine. Kau sudah menjadi milikku,”
            “Janji?”
            “Aku tidak bisa menjanjikan sesuatu yang tak pasti, Mine,” jawabku tanpa pikir panjang. Ini adalah percakapan yang sangat hambar. Aku tidak ingin membicarakannya. Aku memeluknya dengan erat. Untung saja selimut ini masih menutupi dadanya, jika tidak, dari tadi aku sudah menyetubuhinya lagi.
            “Apa kau ingin pergi ke pernikahan temanku?”
            “Tentu saja,” ujarnya dengan suara parau.
            “Semuanya akan baik-baik saja, Mine,” aku berusaha untuk menenangkannya.

***

            Astaga Tuhan! Ampunilah dosaku jika dosaku begitu banyak. Jika Engkau memang memberikannya untukku, aku akan menerimanya dengan senang hati. Tapi ya Tuhan, aku benar-benar berterima kasih atas pemberianmu padaku. Aku terperangah melihat seorang  malaikat yang berdiri di depan kaca lemari pakaiannya. Ia benar-benar cantik dengan gaun merah tua yang ia pakai. Rambutnya tertata rapi dikarenakan pelayannya yang baru saja meriasnya. Aku tidak tahu kalau ia akan secantik ini. Ini benar-benar melampaui batas keinginanku.
            Mine terlihat begitu cantik malam ini. Gaun panjang hingga mata kakinya terlihat begitu anggun. Punggungnya telanjang, namun bagian depannya tertutup hingga leher. Kalung yang kuberikan terlihat di sana. Gelang kaki yang tersangkut di mata kakinya juga terlihat. Tinggal sepatu saja yang belum ia pakai. Mine membalikan tubuhnya dan wajahnya memerah.
            “Kau terlihat begitu cantik,” aku memuji, ia pantas untuk dipuji.
            “Aku terlihat begitu berlebihan,” ucapnya lesu. Tidak, astaga, tidak! Ia memakai riasan wajah tidak begitu berlebihan. Justru ia tampak natural. Bahkan ia hanya memakai bedak, kurasa.
            “Tidak, sayang, tidak,” aku mendekatinya. “Kemarilah,” aku merentangkan tanganku lalu ia berjalan untukku memelukku. Kau tahu mengapa aku suka dipeluk olehnya? Karena dadanya yang kenyal dan padat menempel dengan tubuhku begitu nyaman dan nikmat sekali. Astaga, seperti sekarang ini. Aku bisa merasakannya di dadaku juga.
            “Mrs. Bieber,” seorang pelayan muncul dari luar dan kami langsung melepas pelukan kami. Aku tidak suka diganggung seperti ini. Tapi pelayan itu membawakan sepatu untuk submissive-ku. Kubiarkan Mine memakai sepatu tingginya yang dibantu oleh pelayan itu. Ia berbisik untuk tidak dibantu, tapi pelayan itu memaksa. Astaga, rasanya aku ingin menampar bokongnya karena tidak menurut ucapanku! Ia harus belajar untuk hidup mewah! Mengapa rasanya ia keras kepala sekali? Ia hanya perlu menerima, itu saja pekerjaannya. Dan tentunya ia menyenangkanku.
            Pelayan keluar dari kamar Mine dan kemudian Mine menatapku lagi. Ia tampak ragu-ragu. Kurasa ia tidak nyaman dengan pakaiannya. Apa yang harus kulakukan selain memarahinya?
            “Aku tidak –“
            “Anna, kau harus memakai pakaian itu,”
            “Iya, tapi aku merasa tidak nyaman,”
            “Mine, sayang, kau harus memakainya. Kau tampak cantik. Jangan malu-malu. Kau pasti adalah wanita tercantik di sana. Bahkan kau akan lebih cantik dari pada mempelai wanitanya,” ujarku berusaha untuk tidak marah.
            “Apa aku bisa memakai pakaian yang lain?”
            “Anna, jangan buat aku marah. Pakai gaun sialanmu itu dan kita pergi,” aku menekan setiap kata yang keluar. Mengancamnya. Kemudian ia menganggukan kepalanya, pasrah. Aku memberikan siku-sikuku padanya dan ia langsung meraihnya. Kemudian kami berjalan untuk keluar dari kamarnya. Berangkat menuju pesta pernikahan Willam Roger.

***

            “Aku memimpikan lelaki itu,” bisik Mine dengan pelan. Ia menundukan kepalanya, tidak menatapku. Akhirnya ia ingin membicarakan tentang mimpinya setelah tadi pagi aku bertanya namun ia tidak menjawab. Aku tidak ingin ia terintimidasi dengan pertanyaan itu sepanjang hari. Dan sekarang, sore ini, menuju pesta pernikahan William Roger, di dalam mobil, ia membicarakannya.
            “Siapa?”
            “Lelaki yang memperkosamu?”
            “Ya,”
            “Apa kau ingat seperti apa orangnya?”
            “Aku tidak tahu. Tapi sungguh, aku bersumpah, aku yakin namanya …” ia menautkan kedua alisnya, hampir bersatu.
            “Siapa, Mine?” tanyaku, kali ini aku menyentuh pundaknya yang telanjang. Ia mengambil nafasnya dan menghembuskannya kemudian mendongakan kepalanya.
            “Johnson Bannet.” Bisiknya menatap mataku. Johnson Bannet?
****

*Anna Bieber POV* *permanent

            Aku hanya mengedarkan penglihatanku kepada siapa saja dan memperhatikan pakaian mereka yang mereka kenakan. Sambil lengan Justin dan lenganku terus mengait. Sedangkan tanganku yang satu lagi memegang segelas sampanye yang sama sekali tidak kusentuh. Bahkan Justin sudah meminum beberapa gelas anggur yang berjalan dibawakan oleh pelayan-pelayan. Kurasa pengantin wanitanya menyukai warna merah. Pas sekali dengan gaun yang kukenakan. Tapi ini terlalu terbuka. Gaun yang kupakai cukup terbuka. Memang, bagian depannya tidak terbuka, justru sangat tertutup. Tapi bagian punggungku telanjang hingga pinggangku. Astaga, itu benar-benar terbuka dan Justin menyukainya. Bahkan saat kami masuk ke dalam pesta ini, tangannya tak bias diam untuk terus mengelusnya.
            William Roger. Dia adalah mempelai lelaki yang tampan. Kata Justin ini adalah pernikahannya yang kedua. Dan aku mewajarkan itu. William terlihat sudah setengah baya dan mempelai wanitanya benar-benar muda. Dan sudah pasti ini adalah pernikahannya yang kedua. Nama istri William adalah Laura. Ia sangat cantik dengan gaun berwarna putih yang ia kenakan, meski perhiasannya penuh dengan warna merah. Intinya Laura benar-benar cantik sekali.
            “Mine, ada apa?” tanya Justin membuyarkan lamunanku. Ah, dan ya. Seperti yang kalian tahu. Kepribadian Justin benar-benar berubah saat ia sudah keluar dari rumah atau mobilnya. Tiba-tiba saja ia tampak lebih maskulin dan berwibawa. Hanya menganggukan kepalanya saat orang-orang menyapanya. Tidak banyak tersenyum atau berbicara. Kalau pun ia berbicara, ia berbicara dengan rekan kerjanya soal bisnis. Yang tentunya aku tidak tahu apa yang ia bicarakan.
            Dan ia menentukan untuk berbicara denganku sekarang.
            “Tidak apa-apa. Laura benar-benar cantik,” kataku mendongak untuk melihatnya. Dan seperti biasanya, aku selalu menyesal telah melakukan itu. Mata Justin. Tuhan, astaga. Kakiku benar-benar tak bertulang sekarang, bahkan aku semakin mengeratkan lenganku pada lengan Justin sehingga kami tambah menempel. Apalagi sekarang aku memakai sepatu tinggi.
            Justin mendekatkan kepalanya pada telingaku.
            “Tapi kau yang paling cantik di mataku, Mine,” bisiknya yang membuat seluruh tubuhku bergetar. Apa dia benar-benar berkata seperti itu? Pipiku memerah. “Minumlah, tidak apa-apa. Alkoholnya tidak tinggi,” ujar Justin menyuruhku. Ragu-ragu, aku mulai meneguk sampanye ini hingga habis. Sialan! Sialan! Tenggorokan terasa tersiram dengan api. Aku langsung memejamkan mataku dan memberikan gelas ini pada Justin. Ia langsung mengambilnya dan tertawa. Oh, suara itu. Aku menundukan kepalaku dan menggelengkan kepalaku. Astaga, aku tidak terbisa minum-minum yang beralkohol.
            “Ini. Minumlah lagi,” ujar Justin memberikan segelas sampanye lagi. Aku mengambilnya dan menenggakannya lagi. Kupejamkan mataku lagi. Aku mungkin akan terbiasa dengan ini.
            “Lagi?” tanya Justin sepertinya ingin aku mabuk. Tapi, persetan! Aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi orang mabuk. Aku mengambil segelas sampanye lagi dari tangan Justin. Saat aku sadar, ternyata seorang pelayan berdiri di depan kami dengan beberapa gelas penuh dengan sampanye. Aku menaruh gelas itu pada nampan yang pelayan itu bawa lalu mengambilnya lagi.
            “Whoa, Mine. Hati-hati. Apa kau pernah minum ini sebelumnya?” tanya Justin terkejut dengan tingkahku. Aku menggelengkan kepalaku dan menenggakan segelas sampanye lagi sampai habis.
            “Sudah, Mine. Nanti kau mabuk,” ujar Justin saat aku sudah merasa pusing. Aku sudah pusing! Aku sudah mabuk. Tubuhku rasa begitu berat. Kudengar Justin tertawa. “Kau sudah mabuk. Lebih baik kita pulang,” ujar Justin menarik tanganku untuk keluar dari pesta ini tanpa berpamitan dari Will. Padahal tadi aku hanya mengambil lima sampanye. Mungkin ini karena pertama kalinya aku meminum minuman yang beralkohol.
            “Max!” panggil Justin di kerumunan banyak orang di halaman depan. Ternyata Max menunggu Justin di depan. Ia bahkan tidak berbicara dengan siapa pun. Ia hanya berdiri di depan tiang rumah ini dengan kacamata yang ia pakai. Mengapa ia tidak bersenang-senang atau berbicara? Tiba-tiba ada kilatan yang membuat penglihatanku kabur.
            “Sial!” Justin berseru dan menarik tanganku dengan cepat untuk pergi menuju mobil.

***

            “Justin!” aku merintih pelan saat Justin melemparku dengan kasar ke kasurnya. Entahlah, aku tidak ingin menangis atau apa pun. Justru sekarang aku dilingkupi oleh nafsu yang bergejolak. Kemudian aku tertawa-tawa saat tangan Justin melepas kedua sepatu tinggiku.
            “Sial!” ia terus menggumamkan kata Sial. Ada apa? Aku benar-benar bingung.
            “Oh, Justin. Kemarilah,”
            “Ya, sayang? Ada apa? Kau mengingkan aku?” tanyanya sambil melepaskan sepatuku yang lain dan melemparnya dengan sembarangan. Kurasa aku harus berubah untuk menjadi wanita nakal. Aku benar-benar bernafsu dan menginginkan Justin berada dalam tubuhku sekarang. Kutarik dasi yang Justin kenakan agar ia menaiki tubuhku. Mataku yang sayu langsung bertemu dengan matanya. Aku menganggukan kepalaku dan memajukan kepalaku. Memeluk lehernya dengan kedua lenganku lalu kakiku yang mengelilingi pinggang Justin.
            “Aku menginginkanmu Justin, lebih dari apa pun,” aku mendesah dan melumat bibirnya dengan penuh rasa keingintahuan yang tinggi. Entahlah, rasanya aku menginginkan Justin. Lebih dari pada biasanya. Ini mungkin adalah akibat dari alkohol tadi. Tapi persetan dengan ini! Aku menginginkannya! Aku mengerang saat salah satu tangan Justin mulai meremas-remas bagian dalam pahaku. Aku sudah basah untuknya.
            “Kau mendapatkannya, sayang. Kau mendapatkannya,” ujarnya melepaskan ciuman ini. Kemudian ia menciumi leherku. Salah satu tangannya yang lain mulai melepaskan kalung yang terpasang dengan gaun ini  sehingga sekarang gaunku lepas. Ia menariknya ke bawah sehingga dadaku sekarang terlihat untuknya.
            “Oh, sayang, ini benar-benar sempurna,” bisiknya menjilati leherku dengan lembut lalu mengisapnya di sana. Mengemutnya seperti anak bayi yang meminum susu ibunya. Aku mendesah pelan. Tangannya yang masih berada di bawah sana mulai bermain naik semakin dalam. Kemudian jarinya menyentuh celana dalamku. Membuatku tersentak dan memekik.
            “Basah ya sayang? Aku menyukainya,” bisiknya mengecupi daguku. Turun ke leherku lalu pada dadaku. Ia hanya memainkan ujung lidahnya di sana. Di sekitar dadaku lalu pada putingnya. Ah, sial. Aku mengerang dan mendongakan kepalaku ke belakang. Bersamaan saat ia memasukan putingku ke dalam mulutnya, ia mengesampingkan celana dalamku lalu memasukan jari tengahnya ke dalam sana. Aku mengerang dengan keras.
            “Oh, Justin. Angh, sial!” aku menggeram dan memegang kedua bahu Justin. Aku ingin merobek pakaian Justin sekarang. Ia masih rapi dengan rompi yang masih menempel di tubuhnya. Ia sudah melepas jasnya tadi.
            “Ya, sebut namaku sayang. Aku senang mendengarnya,”
            “Oh, Justin. Kumohon, buat aku Justin! Buat aku –Aaaah!” aku mengerang panjang saat Justin mengeluar-masukan jarinya di sana dengan cepat. Tangan Justin yang lain menarik kepalaku dan mulutku mulai tertutup oleh mulutnya. Eranganku meredam dalam mulutnya. Lidah kami bertarung dengan hebat. Pinggulku ikut bergoyang bersama dengan jarinya. Ini benar-benar nikmat. Oh, astaga. Pelepasanku mulai terbangun. Ia semakin mengeluar masukan jarinya di sana. Terus menerus, mulut kami terus bertemu dan eranganku terus teredam dalam mulut Justin.
            “Justin,” aku memejamkan mataku dan mendongakan kepalaku, sehingga ciumanku dan Justin terlepas. Aku terus menggoyangkan pinggul dan kemudian ..Oh Tuhan, astaga. Ini benar-benar berlebihan. Tubuhku gemetar.
            “Buka matamu, Anna! Tatap aku!” bentak Justin. Aku melakukannya sambil terus mengerang. Ini benar-benar intens. Salah satu tanganku merangkul lehernya dan meremasnya. Justin ikut mengerang.
            “Bagus sayang, bagus. Sekali lagi,”
            “Tidak!”
            “Ya!” kali ini ia melakukannya dengan kasar.

***

            “Justin, bagaimana bisa kau membuatkan aku kartu kredit?” tanyaku sambil mengelus Bee. Justin sedang berenang di pagi hari. Bayangkan, berenang di pagi hari. Meski aku tahu, sebenarnya matahari pagi benar-benar sehat untuk kami. Justin tampak begitu seksi dengan celana renang ketat berwarna hitam yang ia kenakan. Dari tadi aku menahan untuk tidak tergoda dengannya. Gigiku terus menggigit bibir bawahku. Aku duduk bersilang di sisi kolam renang. Justin belum menjawab pertanyaanku, ia terus berenang menjauhiku. Dia tidak ingin menjawab pertanyaanku. Boo tampaknya sedang tidur nyenyak di atas handuk yang kusiapkan di atas kursi santai. Ia terlihat imut dari sini.
            Saat aku membalikan kepalaku untuk melihat Justin lagi, ia sudah berada di depanku. Melipat kedua tangannya di sisi kolam. Rambutnya yang berwarna cokelat itu basah dan terus meneteskan air. Bibirnya tampak lebih basah –tentu saja—dan tampaknya matanya lebih cerah.
            “Aku mendapatkan akta kelahiranmu dari orang tuaku,” ujarnya yang membuatku sedikit terkejut. “Salinan dari kartu tanda pendudukmu dan kau tidak memiliki SIM. Benar?” tanya Justin. Bagaimana bisa orang tua Justin memilikinya? Ah, ya. Aku baru ingat. Saat aku menanda tangani surat itu aku harus memberikan akta kelahiranku dan salinan dari kartu tanda pendudukku.Sialan! Pasti aku tampak jelek sekali di kartu tanda pendudukku.
            “Mengapa?”
            “Jadi kau tahu aku lahir di mana?”
            “Ya, tentu saja. Ternyata ..gadis ini dari Kanada. Hockey, ma’am?” aku tertawa saat ia bercanda.
            “Tidak, terima kasih. Aku tidak tahu cara bermainnya bagaimana. Apa kau bisa?”
            “Tidak juga. Aku bukan orang Kanada. Orang tuaku orang Inggris campuran Amerika. Aku melakukan hal-hal seperti ..bermain golf, basket, bola, kau tahu, semacamnya. Tapi hockey? Tidak, aku tidak,”
            “Kau bermain basket?”
            “Saat SMA. Sudah lama sekali aku tidak bermain basket. Aku sibuk,”
            “Tentu saja,” aku mendesah dan sadar. Bee merengek untuk dilepaskan. Dengan lembut, aku melepaskannya dan ia langsung berlari menuju taman. Mendengar gonggongan dari Bee, mata Boo terbuka dan terkesiap. Kakinya yang mungil menumpu tubuhnya juga yang mungil. Kemudian ia melompat dari kursi santai dan mengikuti Bee yang kupikir sudah sampai di taman.
            “Nancy! Tolong lihat anjing-anjing itu,” teriak Justin. Nancy adalah salah satu pelayan di sini. Kebetulan sekali ia sedang membersihkan taman dekat kolam. Sontak Nancy terkesiap dan berlari kecil menuju Bee dan Boo yang menggonggong. Aku mengalihkan penglihatanku kembali pada Justin.
            “Mengapa?”
            “Apa?”
            “Mengapa rasanya kau mudah sekali menyuruh-suruh orang, Justin?” aku memiringkan kepalaku ke satu sisi. Sehingga rambutku yang cukup panjang ikut bergoyang.
            “Karena aku seorang Dominan. Berenang bersamaku!” suruh Justin menarik salah satu kakiku sehingga aku terseret. Untungnya aku tidak terkejut sehingga aku langsung memukul tangan Justin dan ia langsung melepasnya. Aku langsung melompat padanya dan memeluknya di dalam kolam. Bibirku langsung bertemu dengan bibirnya.
            “Apa yang kau suka, Mine? Katakan saja,”
            “Aku suka berhubungan badan denganmu,” aku memeluk lehernya dan tersenyum genit padanya. Kusatukan keningku dengan keningnya dan mencoba untuk menciumnya lagi. Tapi ia menjauh. Kening kami terpisah. Salah satu alisnya naik. Tiba-tiba saja ia meraup bokongku dan menaikan tubuhku pada tubuhnya sehingga kakiku mengelilingi pinggangnya.
            “Kau suka?” tanyanya lagi, kali ini kedua alisnya naik bersama. Aku menganggukan kepalaku dengan malu-malu. Kurasa pipiku memerah. Kali ini ia yang menyatukan keningnya dengan keningku. Kembali aku melingkarkan tanganku pada lehernya. Kau tahu, sekarang aku hanya memakai bikini. Dan aku bisa merasakan sesuatu yang keras di bawah sana. Oh, aku menginginkan itu.
            “Mine, kau nakal,”
            “Karena kau,”
            “Benar,” ujarnya. Tapi aku tidak menemukan suatu gairah lagi. Matanya yang tadinya cerah, menggodaku, tiba-tiba saja menjadi gelap dan misterius. Ia memajukan tubuhnya hingga punggungku menyentuh pada tembok kolam renang.
            “Mine, kumohon jujur,” ujarnya yang membuatku mengelus kepalanya. Ada apa? Aku benar-benar mengelus belakang kepalanya dengan lembut. Dan aku memberikan raut wajah ‘Ada apa, Justin?’. Ia memejamkan matanya dan mendesah pelan.
            “Mine, apa kau pernah berhubungan badan dengan Logan? Kemarin?” tanya Justin yang membuatku terkejut dengan pertanyaannya. Apa-apaan? Aku sungguh kecewa dengan ucapannya. Apa aku benar-benar terlihat seperti pelacur? Astaga. Elusan tanganku pada kepala Justin berhenti. Tangan Justin yang berada di pinggangku semakin mengencang. Ia tahu aku akan pergi dari hadapannya dengan cepat. Ia tahu.
            “Mengapa kau bertanya seperti itu Justin?”
            “Mine, tolong jangan marah, kau hanya perlu menjawab Ya atau Tidak,” ujarnya. Aku merasa seperti dilecehkan. Aku merasa ..astaga, Tuhan. Apa Justin selama ini menganggapku sebagai pelacur? Tidak mungkin aku berhubungan badan dengan Logan! Aku bahkan baru kenal Logan dua hari yang lalu.
            “Apa aku terlihat seperti pelacur bagimu?” tanyaku menahan air mataku.

            “Kurang lebih, ya.” Kata-kata yang meluncur benar-benar menusuk hulu hatiku. Pedih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar